Warning: Properti dan Hak Milik Suna Rintarou, Do not watch and even dare to touch
Rintarou menolehkan kepalanya kala mendengar suara derit pintu yang terbuka, mendapati sosok Motoya, kekasihnya, yang baru saja kembali dari lounge asrama mereka.
“Hai,”
Sapaan barusan terdengar penuh kecanggungan, tidak seceria Motoya biasanya, sang pemilik suara tahu pasti, dari nada pesan yang dikirimkan oleh Rintarou, sebuah pertanda akan adanya semacam 'perang dingin' di antara mereka dan itu terlihat jelas dari Rintarou yang masih diam di posisinya.
“Duduk,” ujarnya, bukan meminta tetapi memerintah. Meskipun begitu Motoya terlihat sangat sangsi, enggan terutama ketika Rintarou menepuk pahanya berulang menyuruhnya duduk di sana.
“Aku bisa duduk di kasur kok,”
Rintarou tidak menjawab masih terus menepuk pahanya sebagai perintah tak langsung yang menyuruhnya duduk di sana.
“Aku bisa—”
“Komori Motoya”
Seketika Motoya dapat merasakan bulu kuduknya meremang, adrenalinnya berpacu, Rintarou telah memanggilnya dengan nama lengkap, nada rendah, dan penuh penekanan yang berarti titahnya adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
Mau tidak mau Motoya menurut, menduduki dirinya di atas pangkuan Rintarou, ia dapat merasakan Rintarou memeluk pinggangnya, menariknya mendekat hingga tak ada ruang di antara mereka.
“Jadi, kamu ngga mau jelasin sesuatu ke aku gitu?”
Motoya dapat merasakan tangan Suna memasuki kaos yang ia kenakan, telapak tangan hangat itu bertemu dengan permukaan kulitnya, kasar, memberikan sensasi menggelikan namun juga menjadi candu baginya di saat bersamaan.
“Je-jelasin apa...?”
“Sesuatu yang mungkin aku ngga tau? Misalnya pemotretanmu yang di share sama Atsumu?”
Motoya dapat merasakan usapan tangan Rintarou yang semakin sensual, mengelitikinya tepat di titik sensitif tubuhnya, membuatnya meremang. Rintarou memang tidak pernah basa-basi baik dalam tindakan ataupun ucapan dan kadangkala Motoya membenci itu.
“Ya... Ya gitu, pemotretan biasa... A-aku cuma ngikutin arahan mereka...”
“Kamu tau kan kalo aku paling ngga suka ngobrol tapi lawan bicaraku ngga natap aku langsung? Ngga sopan”
Ia dapat merasakan Rintarou menarik dagunya, menyuruhnya untuk menatapnya, astaga sudah hampir dua tahun mereka menjalin hubungan tetapi Motoya masih saja berdebar ketika Rintarou seperti ini.
Kedua netra mereka bertemu, ia dapat merasakan tangan Rintarou yang menjelajah dan mengusap bagian sensitif tubuhnya dengan sengaja, menggelitiknya, memberikan sensasi aneh pada tubuh Motoya yang membuat gejolak dan gairah dalam dirinya seketika meningkat.
“A-aku cuma... eum... ikutin arahnya mereka..., mereka maunya aku pake apa... gayanya gimana...”
“Hmmm...”
Motoya dapat merasakan panas tubuhnya yang meningkat dari sebelumbya ketika Rintarou mendekat dan menghembuskan nafas hangatnya di sana, sengaja menggodanya dengan tangannya yang sekarang asik menggerayangi tubuh bagian depannya, memainkan kedua tonjolan kecil yang telah mengeras di bawah bajunya.
“Kamu tau kan aku benci kalau ada orang yang ngeliat 'barang'ku tanpa ijin?”
Ia hanya bisa pasrah ketika Suna mengecup setiap inci ceruk lehernya, sesekali mengelitiknya dengan deru nafas hangat dan juga beberapa kecupan yang meninggalkan bercak kemerahan di sana.
Motoya hanya bisa diam, mengangguk sebagai jawaban karena dirinya sudah terlalu lelah untuk bersuara, begitu terangsang hanya dengan cumbuan di area sensitifnya, mengigiti bibir bawahnya menahan desahannya.
“Apalagi kalau itu sampai disebarluaskan tanpa izinku”
“Aah...,” satu desahan lolos dengan sempurna ketika Rintarou menjilati daun telinga milik Motoya, membuatnya menyeringai puas.
Tangannya pun kembali menjelajah dan sekarang turun pada gundukan dibalik celana training yang ia kenakan, mengelus lembut dari luar sana.
“Haruskah aku memberitahu mereka kalau Komori Motoya adalah properti dan hak milik Suna Rintarou yang tidak boleh dilihat dan disentuh sembarangan?”
“Aah... Haahh... Hhh...”
Motoya berusaha mati-matian untuk menahan desahannya, bersembunyi di ceruk leher Rintarou ketika lelaki tersebut asik menyisakan banyak tanda kepemilikan di ruas tubuhnya, memastikan tak ada sejengkal pun yang terlewaht terutama pada bagian yang terkespos ketika pemotretan majalahnya kemarin.
Leher, dada, dan juga perut, semua tak luput dari Rintarou. Sembari asik menyisakan ruam kemerahan kedua tangan Rintarou pun tidak diam begitu saja, kedua tangan yang sendari tadi asik memberikan foreplay di anal dan juga genitalnya, jelas saja membuat Motoya di mabuk kepayang, terlihat jelas dari deru nafas yang terengah, kulit memerah, dan peluh dimana-mana.
Hal yang paling Motoya suka dan juga benci di saat bersamaan adalah Rintarou yang memberinya hukuman berupa foreplay berkepanjangan dan meninggalkannya begitu saja, membuatnya mau tidak mau harus bermain dengan dildo dan vibrator seharian karena Rintarou yang enggan memasukinya. Seperti sekarang.
Dengan nafas terengah Motoya berusaha menjelaskan kepada Rintarou bahwa ia tidak tau apa-apa yang tentu saja Rintarou tidak percaya dan justru semakin memasukkan jari-jarinya ke dalam anal milik Motoya, membuat lelaki itu merintih.
“Harusnya aku lebih hati-hati dalam menjaga apa yang milikku, benar begitu Motoya?”
Lelaki itu hanya menangguk lemah sembari mencengkeram kedua bahu Rintarou, gerakan jemari Rintarou semakin cepat diiringi dengan pijatan di penisnya membuatnya terengah dalam kenikmatan.
“Ri-rintarou...”
Saat di pucuk kenikmatannya dengan kurang ajar Rintarou menghentikannya, membuat Motoya tersiksa pada pelepasan yang berada diujung tanduk. Rintarou hanya tersenyum puas melihatnya.
“Sepertinya sudah cukup aku meninggalkan tanda kepemilikannya”
“Rin...”
“Tidak, kau tau konsekuensi dan hukumannya kan?”
Mata sejernih langit biru itu terlihat begitu sayu, tak bertenaga, dipenuhi oleh kabut nafsu yang kepalang untuk dipuaskan. Lelaki itu menyuruhnya menyingkir namun ia masih enggan.
Dengan segera Motoya memuaskan dirinya, kepalanya kembali ia sembunyikan dibalik ceruk leher Rintarou sementara kedua tangannya asik menggerayangi tubuhnya sendiri, dengan tangan kanan yang ia pompa ke dalam analnya dan tangan satunya membelai setiap inci tubuh atasnya yang telah telanjang bulat, mendesahkan nama Rintarou dengan mencium aroma tubuh lelaki itu, berfantasi bagaimana jika Rintarou yang membelainya.
Rintarou tersenyum puas, Motoya jarang menggodanya seperti ini apalagi mendengar erangan Motoya yang terdengar begitu putus asa bagaimana ia membutuhkan dirinya, sentuhannya, kecupannya, dan cintanya membuatnya di bawah sana mengeras dengan sendirinya.
Ia membuka sedikit celananya, seketika menarik Motoya untuk mendekap mengecupnya dalam dan melumat bibir ranum tersebut, menarik tangan Motoya untuk menghentikan kegiatannya.
Tanpa aba-aba dan juga pelumas Rintarou memasukkan miliknya yang sudah menegang itu, membuat Motoya tersontak kaget dalam lumatan mereka.
“Rin-rintarou! Pe-pelan-pelan! Aah!”
Sejujurnya Motoya membenci permainan yang kasar tetapi karena nafsunya yang sudah kepalang tanduk itu jeritan dan rintihannya seketika berubah menjadi erangan dan desahan. Tenaganya sudah habis, ia hanya duduk namun entah mengapa dirinya serasa begitu lemas terkulai tak berdaya.
Ia hanya bisa menyenderkan dirinya pada Rintarou, memeluknya sembari Rintarou menopang tubuhnya untuk melakukan penetrasi mereka. Motoya hanya bisa mendesah tanpa suara, sakit namun juga nikmat.
Dari bawah sana Rintarou dapat melihat Motoya yang terkulai indah ketika ia berhasil mencapai titik kenikmatannya, lubang surgawi miliknya seketika mengetat, di ambang batas kewajarannya setiap gerak tubuh Motoya mengisyaratkan untuk melakukannya lagi.
Pelepasan yang panjang dan juga indah, betapa Rintarou menyukai ekspresi kenikmatan Motoya pascaorgasme dari bawah sana, tak berselang lama ia pun keluar, memenuhi Motoya, bukannya melepaskannya Rintarlu justru membawa lelaki itu dan mendekat, mengistirahatkan raga lelah itu dalam sandarannya.
Ia terkekeh kecil mendengar deru nafas Motoya, mengecup pucuk kepala lelaki itu untuk menenangkannya, astaga mungkin dia sedikit kejam toh mau bagaimana lagi dia sedikit sensitif atas kepemilikkannya
“Maaf...”
“Kok kamu yang minta maaf?”
“Ya aku bikin kamu marah padahal kamu ngga suka aku kalau begitu”
“Ngomongnya ngadep aku dong...,”
Tangan lelaki dalam renguhannya itu bergerak untuk menutup mulut Rintarou. Dengan sisa tenaganya Motoya menjauhkan diri mereka sebelum memberi kecupan singkat pada bibir Rintarou dan kembali di posisinya semula, bahkan semakin memeluknya.
“Komori Motoya cuma punya Suna Rintarou, orang lain cuma bisa ngeliat foto tapi Suna Rintarou dapat semuanya,” cicitnya pelan, membuat Suna semakin terbahak karena tingkah gemas kekasihnya itu.
Esoknya, para anggota timnas yang meminta Motoya untuk memamerkan bentuk tubuhnya pun mendapat tatapan sinis penuh kebencian dari Suna Rintarou.
Bahkan hanya Suna Rintarou yang berani memarahi Kuroo Tetsurou sebagai penanggung jawab sponsor dan promosi mereka akibat menyuruh Motoya untuk melakukan pemotretan seperti itu padahal sejak awal Motoya selalu menolak kontrak atau pemotretan dengan tema terbuka
Ya, Komori Motoya, properti dan hak milik Suna Rintarou, tidak boleh dilihat ataupun disentuh sembarangan orang.