komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

Sakusa menekuk wajahnya, berbanding terbalik dengan Atsumu yang sedang cengar-cengir ngga jelas memamerkan senyum kudanya, membuat Sakusa kesal.

Siapa yang tidak kesal ketika dirinya tiba-tiba menjadi pusat perhatian karena suara teriakan menggelegar Miya Atsumu yang memanggil namanya. Di panggil dengan begitu semangat oleh 'orang asing' yang baru ia kenal semalam, dadah-dadah melambaikan tangan dan mengajaknya makan siang.

Bukan kepalang tanggung, ia sudah kepalang malu, mau tidak mau ia pun mengiiyakan ajakan makan siang Atsumu.


“Sumpah dah ya, kok gue malah kasihan sama mejanya, lo bersihin segitunya malah jadinya kayak ngamplas mejanya”

“Berisik banget sih”

Sakusa menatap Atsumu, bergantian dengan tisu yang sudah lecek akibat terlalu bersemangatnya membersihkan meja. Tisu, Atsumu, tisu, atsumu, begitu terus secara kemudian. Tercetuslah satu buah ide usil di kepalanya.

“YA TUHAN, EMANG TAMPANG GUE SEDEKIL APA SAMPE LO NGEBUANG TISU KE GUE?!”

Sakusa hanya tersenyum mengejek, tidak memedulikan pandangan aneh orang-orang di cafetarian kampus yang melihat pertunjukkan opera sabun gratis di antara mereka.


“Eh Kasa? Itu bukannya Sakusa sama Atsumu ya?”

Iizuna menolehkan arah pandangnya ke mana Kita menunjuk, mendapati Sakusa dan Atsumu yang terlihat begitu 'akrab' satu sama lain.

“Apa gapapa mereka dibiarin gitu aja? Dari semalem kejaannya tengkar mulu lo”

“Udah gapapa, kalo Sakusa tengkar sama orang tandanya dia sayang”

“Kok gitu?”

“Buktinya dia tengkar mulu kerjaannya sama Komori”

Ia menekuk bibirnya kecewa mendengar jawaban Iizuna barusan, cemberut, kalau itu sih beda kasus! Ini masalah Sakusa dan Atsumu baru saling kenal.

Dibanding menghiraukan Iizuna, dirinya kembali menengok ke arah dua sejoli yang tengah beradu cekcok tersebut.

Meskipun terlihat tidak akur namun entah mengapa Kita dapat melihat kedua orang itu dapat menjadi teman baik.

“Kamu mau gabung sama mereka? Besok aja ke toko bukunya?” tanya Iizuna yang sadar bahwa fokus sahabatnya itu sendari tadi hanya tertuju ke meja Sakusa dan Atsumu.

Ah iya, dirinya sudah ada janji jalan dengan Iizuna

Kita berjalan menuju Iizuna, menggaet lengan lelaki itu sebelum kemudian membawanya keluar.

Nope ngga perlu, lagian kan aku udah janji sama kamu, udah lama kan kita ngga kencan

Ujarnya sembari memberi sedikit penekanan dengan nada menggoda di kata kencan.

Meskipun mereka sudah terbiasa seperti ini satu sama lain, tetapi Kita tidak sadar bahwa perilakunya barusan memberikan efek pada diri sahabatnya itu.

Iizuna menggerutu sebal, membuat Kita tertawa puas.


Hanya kepada Iizuna, Kita dapat menunjukkan sifat jahilnya seperti ini.

Dan hanya karena Kita, Iizuna dapat dibuat salah tingkah.

Suna menghela nafas pelan, ia melihat ke arah jam dashboard mobilnya, jam setengah delapan malam, sudah telat setengah jam dari waktu janjian.

Terkadang ia heran dengan pola pikir dan perilaku impulsifnya ini, bukankah waktu itu ia yang bilang kepada Osamu untuk tidak datang karena ia tidak mengenal siapa-siapa? Lalu kenapa sekarang ia ada di sini? Memakirkan mobilnya tepat di depan tempat makan yang ditentukan?

Haruskah ia turun?

Lamunannya seketika buyar ketika dering ponselnya memenuhi pendengarannya, sebuah panggilan masuk dari Osamu.

“Halo?”

Jadi dateng ngga?

”...jadi, ini gue masih di depan, baru sampek”

Oh yaudah, langsung masuk aja, kita di area outdoor

Panggilan itu diakhiri secara sepihak, satu helaan nafas kembali keluar dari mulutnya, dengan segera ia mematikan mobilnya dan mengambil dompetnya.


“Ah—Suna?!” ia nenoleh kala seseorang memanggil namanya, mendapati sosok familier dan juga asing di saat bersamaan. Suna yakin ia tidak mengenal siapa lelaki itu tetapi ia merasa pernah melihat figurnya.

“Ah sori lo pasti ngga kenal gue, kenalannya nanti aja ya, lo bisa bantuin gue ngga bawain minuman ke anak-anak di belakang? Ini agak berat gue takut tumpah”

“Sini aja biar gue yang bawa kalo gitu”

“Eh gausah—”

“Itung-itung karena gue telat”

Dengan segera Suna mengambil nampan dengan enam gelas minuman dari lelaki itu meskipun lirih ia dapat mendengar lelaki itu mengucapkan terima kasih.


“Gue ngga ngerti kalo lo selain jago nulis karya ilmiah juga jago bakar-bakar ya”

“Kalo lo bakar emosi”

Atsumu mendesis, padahal ia niatnya kan baik ya mau ngajak ngobrol sama kenalan siapa tau cowo yang sedang sibuk menggoreng daging itu bisa membantunya kalau dia ada tugas nulis jurnal.

Iseng, tangannya pun tergerak untuk mengambil daging dari pemanggang yang seketika disingkirkan dengan kasar oleh Sakusa.

“PELIT BANGET?!”

“Belum mateng itu, kalo lo ambil jorok malah jadi kuman”

Iizuna yang melihat pertengkaran antara Sakusa dan Atsumu itu hanya bisa terkekeh pelan, “Maaf ya Tsumu, Sakusa emang gitu orangnya cleanfreak” dengan menekankan dan memberi petik dengan kedua tangannya pada kata cleanfreak


“Lo baca Kalil Gibran juga?”

Akaashi menoleh dengan antusias, meskipun samar Osamu dapat mendengar nada penuh harap dari jawaban Akaashi, “Iya, lo juga baca?”

“Bukan gue, tapi dia” jawabnya seraya menunjuk kembarannya yang entah tengah meributkan hal apa dengan Sakusa, dassr tukang ribut.

“Gue kira lo juga suka baca kayak Atsumu, soalnya— sorry tampang lo lebih nerd dan timbang Atsumu”

Osamu terbahak, tawanya cukup keras bagi mereka berdua tetapi karena kebisingan restoran tersebut paling tidak tawa Osamu sedikit teredam.

“Gausah minta maaf kali, sering kok gue dibilang lebih culun daripada Atsumu, doi emang tampang berandalan. Tapi ya dia hobinya baca makanya dia masuk sastra, kalo gue mah hobinya makan”

“Terus kenapa masuknya bisnis bukan gizi?”

“Biar gue bisa bikin restoran”

Osamu dapat melihat Akaashi membalas dengan wajah tak percayanya, sebelum satu tawa renyah keluar mengudara dengan begitu ringannya yang tanpa sadar juga mengundang Osamu untuk ikut tersenyum.

“Humor lo boleh juga ya”

“Makasih, orang bilang gue punya worst dad jokes jadi gue tersanjung dibilang kayak gitu”


“Komori Motoya”

Suna menautkan kedua alisnya, menatap bingung lelaki bersorai cokelat yang tengah menyodorkan jabat tangannya.

“Ayolah Suna, apa kamu tidak tau apa yang harus dilakukan ketika seseorang mengajakmu kenalan?”

Ujaran Komori tersebut seketika membuat Suna balik membalas jabat tangannya meskipun dengan sedikit enggan.

“Suna Rintarou”

Dan Suna dapat melihat Komori tersenyun cerah ketika ia membalas jabat tangannya.


Kita menoleh, tersenyum ke arahnya ketika Iizuna kembali sembari membawakannya semangkuk shabu-shabu.

Thank you

“Gimana? Kamu seneng ngga di sini?”

“Hah? Kok tanya aku? Ini kan acaramu”

Lelaki itu meneguk beer miliknya, memang menghabiskan malam pesta BBQ dengan segelas beer dingin adalah nikmat tersendiri.

“Ya seneng, siapa sih yang ngga seneng ngabisin waktu sama temen-temennya”

Pernyataan itu tak dibalas ataupun dilanjut dengan obrolan lain, berganti dengan tawa renyah Iizuna dan Kita melihat cekcok antara Sakusa dan Atsumu.

“Ati-ati lo! Tengkar mulu lama-lama jadi sohib kalo ga gitu ya demen!” teriak Iizuna dari tempatnya yang seketika dibalas tatapan ngeri baik oleh Sakusa dan Atsumu.

“Berani banget ya Tsumu deketin Sakusa”

“Ya namanya juga Atsumu, bondo nekat

Malam mereka diisi dengan celotehan lagu serta senda gurau dan juga beragam aroma makanan yang mengugah selera. Mereka bersulang tinggi-tinggi, saling bersua berbagi kisah, belum jalinan kasih.

Tetapi mungkin saja malam itu menjadi awal dari beragam kasih yang memilin mereka kedalam satu sama lain, saling berkesinambungan, dengan cerita masing-masing.

Tidak ada yang tau akan menjadi seperti apa akhir dari malam yang menyenangkan itu.

“Kamu baca apa?”

Kita tersontak kaget, tanpa sadar tangannya seketika menutup aplikasi Twitternya dan segera menoleh kearah Iizuna. Entah kenapa ia dapat merasakan debar jantungnya berpacu cepat, padahal kan hanya Iizuna?

Ia dapat melihat Iizuna yang menatapnya bingung, penuh selidik penuh tanya sembari menyerahkan sebungkus roti asap dan juga sekotak susu. “Bukan apa-apa kok, btw makasih ya” kilahnya sambil menerima pemberian Iizuna.

By the way Twitter lagi rame ya akhir-akhir ini?”

“Kenapa kamu mikir kayak gitu”

Sahabat masa kecilnya itu mengambil duduk tepat disebelahnya.

“Hey Shin, gimana kalau ternyata menfess yang viral itu buat aku?”

Mendengar pengakuan 'narsis' dari Iizuna tersebut seketika membuat Kita tersedak, sahabatnya itu justru tertawa keras melihat reaksinya meskipun pada akhirnya tetap dibantu juga.

“Kamu sejak kapan jadi narsis gini?!”

“Salah ya? Aku punya reputasi loh”

Ia mendengus, tak pernah menduga bahwa Iizuna Tsukasa punya sisi narsis seperti itu, ternyata senyum ramahnya hanyalah kedok dari sikap congkak!

“Dasar geer! Bukan karena kamu anak baseball menfess itu buat kamu ya!” omelnya, Iizuna hanya membalas dengan gumaman malas sembari menegak susu kalengannya itu.

“Tapi probabilitas itu masih ada”

“Emangnya kalau memang benar menfess itu buat kamu kamu mau apa? Nerima dia?”

Tanpa sadar nada suara Kita berubah menjadi sengit, ia menatap Iizuna tak suka yang dibalas dengan raut kebingungan oleh lelaki itu.

Iizuna menghela nafas pelan, “Aku tolak” ujarnya sebelum kemudian diisi oleh jeda sejenak dan menoleh ke arah Kita, “Aku sudah suka seseorang”

Kita menautkan kedua alisnya bingung, untuk beberapa saat mereka hanya bertukar tatap hingga Iizuna bangkit berdiri seraya mengusak surai miliknya.

“Balik yuk, kamu ngga ada kelas kan abis ini?” dan Kita pun bangkit berdiri untuk mengikuti Iizuna.


Entah kenapa, Sakusa seolah memiliki radar tersendiri untuk mengetahui presensi keberadaan dari Iizuna Tsukasa, seniornya. Ia tersenyum kecut kala melihat Iizuna tengah duduk bersantai dengan Kita, entahlah Sakusa juga tidak tau kenapa ia seperti ini, sebagian dalam dirinya hanya tidak suka.

Aku sudah suka seseorang

Meskipun samar Sakusa masih dapat menangkap kalinat tersebut, matanya masih asik mengikuti setiap gerak gerik sepasang insan tersebut sebelum Komori memanggilnya, menariknya kembali ke kesadarannya.

“Kiyoomi? Kenapa?”

“Eh? Gapapa kok?”

Meskipun begitu pernyataan Iizuna barusan menyisakan semacam tanda tanya besar di kepala Sakusa.


“Eh? Itu bukannya kak Kita?”

Sang pemilik nama menoleh, mendapati sosok lelaki yang ia rasa wajahnya cukup familiar tengah menggandeng—lebih tepatnya menarik—seseorang lainnya seraya tersenyum ramah dan mengangkat tangannya sebagai salam sapaan.

“Uh...? Hai?”

“Astaga, maaf pasti kak Kita ngga seberapa kenal gue, gue Komori Motoya, terus ini Sakusa Kiyoomi, kami adek kelasnya kak Iizuna pas SMA”

Mulutnya membulat kecil, menggumamkan 'ooohh' panjang sembari menganggukkan kepalanya. Komori mengajaknya berbicara terkait beberapa hal dan menanyakan apakah mereka dapat duduk di sini karena hanya area tempat Kita duduk menonton pertandingan lah yang cukup sepi.

“Dia—ngga suka keramaian, katanya kotor” ujarnya sembari menunjuk Sakusa yang memberengut tidak suka, meskipun begitu Kita tetap mengijinkan mereka duduk di sekitarnya.

Komori tersenyum ramah dan berterima kasih sebelum mengambil duduk di kursi bawahnya diikuti dengan Sakusa. Ia memperhatikan mereka dengan seksama, mereka yang sempat dibicarakan di grup chat miliknya terkait menfess beberapa hari lalu.

Sebenarnya, untuk Komori, Kita sering mendengar banyak hal terkait lelaki itu, apalagi Komori adalah rekan siaran Osamu tetapi ia tidak tau kalau lelaki itu begitu ramah, mungkin itu sebabnya kenapa lelaki itu menjadi penyiar kondang.

Sedangkan Sakusa, ugh, Kita tidak mau menilainya terlebih dahulu, tetapi yang jelas lelaki itu sedikit tidak ramah.


“Loh?”

Sakusa dan Kita menoleh ketika mendengar celetukan Komori, lelaki itu sedang bertukar tatap dengan figur lain yang baru saja tiba, mungkin teman Komori, entahlah, untuk sosial butterfly seperti Komori bahkan dosen saja bisa menjadi teman karibnya.

“Akaashi Keiji ya? Mau nonton Atsumu?”

“Lo... Komori? Temannya Osamu”

Komori tersenyum cerah, senang karena Akaashi juga mengenalinya balik, dengan semangat ia menawarkan Akaashi duduk bersama mereka, tentu saja dengan meminta izin kepada Kita dan juga Sakusa, Sakusa hanya diam tak menjawab sedangkan Kita tak masalah dengan personel baru.

Sirine tanda pertandingan hendak di mulai dibunyikan, sorak sorai penonton seketika memenuhi bersamaan dengan para pemain baseball kampus yang baru saja memasuki lapangan.


Iizuna menoleh ketika ia mendengar seseorang menerikkan namanya begitu keras menapati Komori yang tengah melambai ceria ke arahnya, seketika menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.

“Kamu kesini sama siapa?” tanyanya sedikit berteriak agar Komori dapat mendengarnya dari atas sana.

Tak perlu menjawab, Iizuna dapat melihat Sakusa dan Kita yang ikut menghampiri Komori, menyapanya.

“Eh? Kamu beneran datang Shin?” tanyanya tak percaya, lelaki itu hanya tersenyum simpul dan mengangguk.

“Wiiihh, kak Kita beneran datang!”

“Hai Atsumu”

“LOH AKAASHI?! LO DATENG?!”

“Oh? Yaudah kalau gitu gue pulang”

“Dih, ngapain lo dateng?”

“Dih geer! Mau liat kak Iizuna ya bukan lo!”

Suna menoleh ke arah teman-temannya yang tengah bersua dengan karib mereka, berbeda dengannya, hanya dia yang tidak mengajak siapapun, tetapi ya urgensinya buat apa?

Ia ikut mendongak ke atas, memperhatikan Kita dan kemudian tiga wajah asing lainnya tanpa ekspresi meskipun ia cukup senang karena Kita datang.

Pandangnya tak sengaja bersitubruk dengan sang pemilik sorai kecokelatan, tak ada sapa atau hai karena mereka adalah orang asing, tetapi ia dapat melihat lelaki itu tersenyum ramah ke arahnya.

“Kayaknya kita harus pergi dulu, coach udah manggil buat kumpul” celetuk Iizuna yang dibalas anggukkan paham oleh yang lainnya, sebagai kapten tentu saja setiap titah dari mulut Iizuna adalah mutlak.

Have a good game!” lelaki bersurai cokelat itu berujar, ia tidak tau kepada siapa ucapan tersebut tertuju sehingga Suna memilih untuk tak menghiraukannya.


“Gilaaakkk gue capek bangettt” keluh Atsumu, Osamu yang merasa terganggu seketika melemparkan handuk miliknya tepat di wajah kembarannya, berusaha membungkamnya

Dengan segera Suna mengeluarkan ponselnya, mendokumentasikan perkelahian Miya bersaudara sebelum melaporkannya di group chat mereka, Iizuna yang sudah terbiasa dengan hal itu hanya bisa tertawa canggung dan mengambil barangnya.

“Tapi tadi kalian mainnya bagus banget kok, yah pantes aja kita menang”

“Kita memang harus selalu menang kak! For our reputation!

“Tapi tadi kak Iizuna mainnya beda banget, lebih bersemangat, kenapa?”

Pertanyaan dari Suna barusan seketika membuat si kembar berhenti bertengkar, memperhatikan sang kapten yang wajahnya sudah bersemu merah karena salah tingkah, Atsumu tersenyum jahil.

“Hayooo, jangan-jangan kak Iizuna di tonton sama doi! Siapa tuh kak?!” godanya membuat Iizuna semakin gelagapan.

“Apaan sih Tsum! Suna juga aneh pertanyaannya! Gue main kayak biasanya!”

Ketiga adek tingkatnya itu masih menatapnya seakan menunggu jawaban lain terlontar dari mulutnya.

Ia menolehkan pandangnya, dengan suara lirih ia menjawab, “Lagian emang salah kalo gue mau main bagus? Di match terakhir gue? Demi tim kita? Demi kampus?”

Ia dapat melihat Atsumu yang berbinar penuh haru, seketika menerjangnya, terima kasih karena Iizuna dan kemampuan atletisnya sehingga ia dapat menangkap Atsumu dengan cepat dan tanggap. Dasar, memang suka berlebihan.

Tapi sebenarnya bukan itu alasannya, ia tidak berbohong, hanya saja ada alasan lain yang ia sembunyikan, tidak mungkin kan dia berkata bahwa ia senang karena Shinsuke datang?


What a game! Congrats yaa buat kalian semua!” keempat jejaka itu menoleh, mendapati Komori yang datang menghampiri mereka dengan Sakusa, Kita, dan juga Akaashi, mengucapkan selamat sembari memberikan satu set cemilan dan minuman isotonik penambah energi.

Iizuna bergerak, meringsuk dari keramaian menghampiri Kita, sahabatnya itu tersenyum, mengucapkan selamat dan menyodorkan cemilan kepada Iizuna.

Entah kenapa Iizuna mengharapkan lebih, seperti sebuah pujian, tidak hanya selamat tetapi ya sudahlah, Kita datang baginya sudah lebih dari cukup.


Suara musik opening sesi siaran radio kampus seketika mengudara, memenuhi setiap sisi penjuru kampus, tak terkecuali ruang produksi broadcasting.

“Hai Sam!”

Osamu yang baru saja tiba setelah menyelesaikan kelasnya itu pun membalas sapaan hangat dari rekan siarannya itu dengan singkat, sebelum mengambil naskah siaran dan mendengarkan briefing singkat sebelum bergabung dengan Komori di ruang sebelah yang hanya terbatas kaca.

How's your day?” tanya rekannya itu yang kemudian dibalas jawaban singkat dari Osamu. “Jutek amat sih masnya”

“Emang lo siapa? Pacar gue?”

Komori mendesis, mencibir ucapan Osamu itu, menjadi rekan selama kurang lebih setahun tentunya membuat Komori sudah terbiasa dengan kelakuan 'busuk' Osamu. Tentu saja, Osamu hanya versi kalem dari Atsumu, sisanya mereka sama aja!

“Bener-bener deh menfess semalem keep doing numbers agak bikin bete soalnya kita ganti script tiba-tiba”

Isn't it interesting?

“Oh? Sangat, sangat interesting bahkan GDM gue sampai rame bahas ginian. Anyways Atsumu suspect-in elo”

Semburan tawa renyah seketika memenuhi ruang siaran, dengan ekspresi tersirat seolah mengatakan 'Lo bercanda kan Sam?' Komori menatap Osamu, menuntut jawaban yang dibalas anggukan oleh lelaki itu. Gokil.

“Atas dasar apa emangnya Atsumu bilang kalo itu gue?”

“Wajah lo tersangka-able kali”

“Najis—”

'Samu?! Komori?! stand by ya! Kita abis ini mulai!

Melihat dan mendengar aba-aba Futakuchi dari ruang sebelah segera membuat Osamu dan Komori menghentikan obrolan mereka, bersiap memasang headphone masing-masing sebelum kemudian menyapa kawula muda di luar sana sesuai aba-aba Futakuchi.


Kembali lagi di Sabtu Merah Jambu tentunya bersama Hai SobatQ!!

By the way Sam, kayaknya jagad per-twitter-an sobat Q sempat gonjang-ganjing gegara satu menfess yang bisa disebut fenomenal di kampus kita ini, bener ngga sih?

“Wow, they really do it

As i said radio kampus emang paling gercep buat masalah beginian”

Atsumu meletakkan pesanannya, mengambil duduk tepat dihadapan Akaashi yang kesibukkannya tengah terhenti sejenak, fokusnya teralihkan pada siaran harian radio kampus yang baru saja di mulai ini.

Nyoh jangan lupa makan, ngambis mulu sampe tipes baru tau rasa dah lo”

Dengan sigap Akaashi menangkap sebungkus roti yang dilempar oleh Atsumu, mengucapkan sepatah kata terima kasih sebelum kemudian melahapnya.

“Taruhan deh, kalo menfess ini masih berlanjut bakalan jadi topik in banget buat siaran mereka, bisa dibilang jobs mereka nambah kalo beneran kejadian”

“Astaga tralala Akaashi, lo diajarin siapa buat taruhan gini? Dosa! Nyebut atuh

Akaashi melempari Atsumu dengan bungkusan plastik bekas rotinya itu, dengan cibiran kecil yang sebenarnya hanya guyonan semata tak sampai hati.

“Oiya, lo kenal Suna kan?” tanya Atsumu tiba-tiba yang hanya dibalas anggukan oleh Akaashi di tengah kunyahannya.

Setelah mendapat jawaban—dan juga izin dari Akaashi, Atsumu melanjutnya, mengatakan bahwa Suna mengira Akaashi adalah dalang dari kehebohan menfess semalam yang hanya direspon dengusan malas.

“Pasti alasannya gegara gue jurusan Sastra Klasik”

“Betul banget”

Klise

“Klise banget sumpa, kenapa nuduhnya gue bukan lo? Kan sama-sama anak Sastra Klasik”

“Mungkin wajah lo lebih indie lebih pujangga gitu”

“Kali aja, ngga kayak lo yang preman”

“Tai”


“Sakusa... seriously, you shouldn't do this everytime we have our meals together udah dibersihin juga kali, kan lo tadi liat sendiri kan?”

“Meskipun gitu kak, kita ngga bisa mastiin kan yang tadi udah bener-bener bersih atau belum”

“Emang dengan lo bersihin lo yakin seratus persen terbebas dari kuman dan bakteri jahat gitu?”

“Gue bersihinnya pake disinfektan kok”

Iizuna mengangkat sebelah alisnya, menatap Sakusa yang menatapnya balik seraya mengangkat sebotol semprotan disinfektan kecil yang selalu ia bawa.

Iizuna mengalah, tidak bisa melawan Sakusa dan kebiasaan bersih-bersihnya itu. Iya, dia mengakui dia suka bersih-bersih juga, dan dia kira Kita—sahabat karibnya sejak masih berwujud zigot adalah cleam freak terparah yang pernah ia kenal.

Yang tentu saja hipotesa tersebut dipatahkan oleh kehadiran Sakusa Kiyoomi tentunya.

“Ngomong-ngomong kak, besok Kak Iizuna main jam berapa?”

“Hmm? Sekitar jam 10 pagi mungkin—eh makasi ya mbak”

Sakusa mengangguk paham, menerima segelas jeruk panas yang baru saja tiba, mengaduknya sebelum menyesapnya.

“Kenapa? Mau nonton? Lo kan ga suka keramaian”

“Tapi kan Kak Iizuna yang main, lagian juga gue palingan sama Komori, dia kan bisa jaga situasi sekitar biar kondusif”

Iizuna tersedak, berusaha menahan tawannya namun gagal. Ah, ia ingat betul bagaimana Komori seketika menjadi ajudan pribadi Sakusa tiap kali mereka ada di tempat umun untuk mencegah Sakusa terkontaminasi dari bakteri luar.

Tidak, tentu saja yang barusan hanya imajinasi Iizuna semata, Sakusa tidak seekstrem itu, tetapi setiap kali Sakusa bilang Komori 'menjaganya' imajinasi tersebut selalu datang menghampiri.

“Apa yang lucu kak?” tanya Sakusa polos, Iizuna masih berusaha menahan tawanya, mengatakan bukan apa-apa.

Tidak mungkin kan Iizuna berkata ia melihat Komori dengan setelan jas dan juga kacamata ala-ala ajudan di setiap film aksi hollywood menghadang kerumunan agar Sakusa bisa jalan dengan leluasa.

Iya kan?


“Shin? Nih, mama nitipin martabak sekalian buat makan malam, katanya om dan tante ngga bakalan balik kan malem ini”

“Eh? Makasih ya 'Kasa”

Layaknya rumah sendiri Iizuna masuk tanpa perlu izin dari Kita, pemandangan yang cukup biasa dan juga familiar, ditambah lagi kedua orang tua Kita yang sudah 'menitipkan' sang anak kepada tetangga dan juga sahabat karibnya itu, Iizuna Tsukasa. Jadi bukanlah pemandangan yang aneh atupun mengejutkan melihat Iizuna yang dengan mudahnya keluar masuk atau berkeliaran di kediaman keluarga Kita.

“Kamu nginep ngga?”

“Engga dulu kayaknya, kakak baru aja balik jadi mungkin aku bantu-bantu di rumah—btw kamu ditanyain kok ngga pernah main lagi kerumah, janganlah alasan sibuk kuliah jadi jarang mampir padahal rumah cuma selisih berapa langkah”

Kita terkekeh mendengar omelan dari Iizuna tersebut, dengan logat daerah yang sangat khas tiap kali memperagakan tutur kata orang tuanya itu, menjadi hiburan tersendiri baginya.

“Mungkin pas ayah ibu udah balik, rumah ngga ada yang jaga”

“Justru karna itu Shin, mama khawatir banget kamu sendirian di rumah katanya mending kamu nginep aja”

Mama Iizuna bisa dibilang sebagai ibu kedua yang ia punya, bahkan perhatian yang mama Iizuna berikan terkadang jauh lebih berlebihan dibanding kepada anaknya sendiri atau orang tuanya sendiri yang kadang membuat Kita sedikit kerepotan apabila menolak tawaran dan ke ramah tamahan dari mama Iizuna.

Dengan jawaban template sebagai penolakan halus, “Iya tante, lain kali Shinsuke main ke rumah kalau sudah ngga terlalu padat jadwal kuliahnya”. Paling tidak jawaban itu bisa sedikit 'mendiamkan' mama Iizuna dari pertanyaan dan permintaan menuntutnya itu.

Kita memperhatikan Iizuna yang asik dengan ponselnya itu, dengan suara pelan dan juga lirih ia memanggil nama kecil sahabatnya itu.

”'Kasa aku mau nanya”

“Nanya apa?”

Dengan seketika Iizuna memasukkan ponselnya, menegakkan duduknya dan menghadap Kita yang duduk sembari masih memangku sebungkus martabak.

“Kamu tau soal menfess yang lagi rame itu ngga?”

Ia berusaha mengingat sebelum mengangguk mengiyakan sebagai jawaban. Berteman dengan Komori Motoya tentu membuat Iizuna selalu update dengan berita terhangat kampusnya, tak terkecuali menfess yang lagi diungkit oleh Kita saat ini.

“Kenapa emangnya? Tumben banget kamu nanya begituan”

“Ya gapapa sih, kamu tau ngga itu kira-kira siapa yang kirim menfess?”

“Engga, tapi aku tau kalau sebenernya kamu nanyain itu mau bahas hal lain selain menfess itu iya kan?”

Tepat sasaran, Iizuna selalu berhasil membaca dirinya layaknya membaca buku meskipun ia sudah berusaha menyembunyikan maksudnya.

Ia pun menghela nafas panjang...

“Menurutmu aneh ngga sih kalau orang belum pernah pacaran sama sekali”

“Kalau orangnya kamu menurutku sih ngga aneh”

Kita cemberut mendengar jawaban Iizuna namun rawut wajah serius Iizuna seakan mengatakan bahwa dirinya sama sekali tidak bercanda atau bergurau.

“Aku kan tadi cerita ke Aran, kalau aku belum pernah berpacaran sama sekali...”

“Terus kata Aran gimana?”

”...”

”...kata Aran, terlepas sudah atau belum pernah berpacaran tetapi yang namanya perasaan ya perasaan, kalau aku suka sama dia ya aku suka, validasi perasaan tidak serta merta oleh status saja...”

“Nah itu ngerti, terus kenapa?”

Kita menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, jujur dirinya sendiri bingung bagaimana harus menjelaskan kepada Iizuna, di sisi lain, Iizuna, dari gerak-gerik Kita saat ini dirinya dapat menangkap sahabatnya itu tengah menyembunyikan sesuatu dan Iizuna merasa ia tidak berhak mencampurinya kecuali jika Kita benar-benar ingin cerita kepadanya.

“Aku ngga tau apa yang bikin kamu resah, ucapan Aran atau menfess itu atau apapun itu tetapi aku berasumsi kalau saat ini kamu beneran lagi suka sama seseorang—”

“—kesimpulan dari mana?”

“Bentar jangan di potong dulu”

Kita menutup mulutnya membolehkan Iizuna melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong itu.

“Oke sampai mana tadi—oh iya, kenapa aku bisa beranggapan kamu lagi suka sama seseorang, karena dari ceritamu cuma ada satu kesamaan yaitu 'perasaan suka' dari sana aku menyimpulkan”

Tangan Iizuna terangkat untuk mengelus surai lembut milik Kita dengan seutas senyum yang terpatri di wajah tampannya, dengan rupa menawan seperti ini bukan tanpa alasan kenapa Iizuna bisa disukai banyak orang.

“Shinsuke, perasaan suka itu sesuatu yang normal, bukanlah memalukan jadi kamu ngga usah risau, gundah, atau gelisah saat mau menceritakannya, aku ngga maksa kamu cerita tapi gerak gerikmu seakan mengisyaratkan bahwa seseorang akan menertawakanmu saat tau kau sedang menyukai seseorang. Engga, ngga ada yang bakal ngetawain kamu, karena semua orang pernah ngerasain itu juga, aku pun sama kayak kamu”

”'Kasa pernah naksir seseorang”

Usapan lembut di surai Kita pun terhenti, pertanyaan tiba-tiba yang seketika mengubah rawut wajah Iizuna dengan keterkejutan selama beberapa detik sebelum Iizuna kembali berhasil mengontrol ekspresi wajahnya dengan seutas senyum.

“Iya, aku pernah—engga salah, aku sedang menyukai seseorang, cukup lama sih...”

“Siapa?”

“Bukan sekarang saatnya jamu tau, tapi mungkin nanti”

Nanti, yang tidak tau kapan


Sing a song on and on da da da ra da~

Sembari menyenandungkan lagu favoritnya itu ia membersihkan wajahnya, tak lupa memberikan serum dan beragam produk perawatan kulit lainnya yang di mata Rintarou semuanya sama, pembersih wajah

Sementara itu Rintarou hanya sibuk mengamati, sembari memeluk pinggang ramping milik Motoya saat lelaki itu masih sibuk dengan rutinitas perawatan kulitnya.

Rintarou mendongak, mendapati Motoya yang bibirnya tengah mengkerucut lucu, membaca-baca tulisan produk di tangannya, mengundang rasa penasaran bagi Rintarou.

“Kenapa?”

“Serum aku abis,” adu Motoya

“Yaudah gausah pakai”

“Sembarangan, malah serum itu yang penting buat bikin kulit kenyal sama bersinar!”

“Kamu udah menawan kok tanpa gituan”

Satu cubitan mendarat sempurna pada punggung tangan Rintarou, membuat lelaki itu mengaduh tak terima sedangkan Motoya mengomel tidak mau kalah dengan Rintarou.

“Besok itu kita pemotretan tau! Mau aku keliatan kucel di majalah? Kamu mah pacarnya perawatan harusnya seneng, support!”

Di bawah sana Rintarou hanya menyimak Motoya yang masih ngomel-ngomel, daripada dijeda atau dipotong, nanti dia yang disemprot.

Rintaraou memilih sibuk dengan rutinitasnya sendiri, mendusel-duselkan kepalanya pada ceruk leher Motoya, sesekali mengecupi leher jenjang itu, ah kenapa Rintaraou tiba-tiba kepikiran sesuatu—

Babe aku tau caranya biar kulitmu keliatan berseri dalam sekali malam tanpa perawatan,” ujarnya sembari tangannya menyikap atasan piyama tanpa bawahan yang dikenakan oleh Motoya itu.

“Gausah ngaco”

“Dih aku serius”

Tangan Rintarou masih asik mengelus perut rata milik kekasihnya, telapak tangan kasar itu memberikan sensasi hangat dan juga menggelikan dengan gerakan-gerakannya yang sensual sementara tangannya yang satunya sibuk menggoda sang 'adik' dibalik kain tipisnya itu.

“Mau ngga? Special skin care treatment dari Suna Rintarou untuk kulit putih berseri Komori Motoya”

Motoya dapat merasakan sensasi hangat dari sisa nafas milik Rintarou, sembari menahan geli ia berusaha tidak menghiraukan Rintarou, semakin didengar maka akan semakin menjadi-jadi pula.


“Bukannya bikin kulit berseri kamu malah bikin kulitku ruam-ruam” gerutu Motoya kesal kala Rintarou sibuk memberikan ruam kemerahan di jenjang lehernya.

Kekasihnya itu tidak peduli, justru semakin sibuk dengan kegiatannya, sesekali menjilati dan memberikan kecupan pada ruam yang tercipta.

“Gausa protes kalau kamu juga suka” jelasnya sembari jemarinya asik bermain pada dua tonjolan yang sudah menegang di dadanya itu.

Rintarou menatap pantulan diri mereka di cermin kamar mandi, Motoya yang tengah menahan dirinya sekuat tenaga dengan bertumpu di kedua tangannya, meskioun enggan tetapi Rintarou tau bahwa kekasihnya itu sudah sangat terangsang, terlihat jelas dengan kulit kemerahan di beberapa titik sensitif milik Motoya.

“Yakin masih mau nolak? Kamu udah merah banget lo”

Ia menuntun tangan Motoya untuk mengelus miliknya sendiri yang sendari tadi telah menegang, gelengan lemah milik Motoya adalah jawabannya, membuat Rintarou cemberut tidak suka, harus ia sendiri yang memulainya nih?

“Rin... Besok kita pemotretan”

So what? Lagian aku kan cuma mau bantu kekasihku yang mau punya kulit berseri sebelum latihan, emang salah?”

Rintarou mengangkat kekasihnya, mendudukkannya pada wastafel kamar mandi sebelum menekuk kedua lututnya dan membukanya lebar-lebar.

Dengan telaten tangan kanan Rintarou melepas kancing atasan Motoya dan jemari tangan satunya sibuk memainkan anal milik Motoya, dari satu jari bertambah menjadi dua hingga tiga, mengeruknya dan memaksanya membuka dengan gerakan menggunting.

Setelah sukses melepaskan atasan milik Motoya Rintarou beralih, sekarang fokus pada bagian bawah Motoya, baik depan maupun belakang ia dapat meresakan precum kekasihnya itu.

Semua tolakan Motoya berubah menjadi erangan yang meminta lebih, sebagai kekasih yang baik tentu saja Rintarou memberikan apa yang Motoya inginkan hingga akhirnya tiba pada pelepasannya, begitu banyak memenuhi tangan Rintarou.

“Rin— ih jorok!” ujar Motoya tak terima karena justru Rintarou membaluri 'miliknya'

“Nanti kita mandi,” bersamaan dengan ucapannya itu ia membalikkan posisi Motoya, menyuruhnya menungging menghadap kaca sebelum memposisikan dirinya.

Memberikan pijatan sementara untuk merangsang dirinya sendiri sebelum menggesekkan miliknya pada anal milik Motoya dan pelan-pelan memasukkinya.

Meskipun mereka sudah sering melakukan ini Motoya masih dapat merasakan nafasnya tercekat dan dirinya terkulai lemas tiap kali Rintarou berhasil memasukinya seutuhnya dan memenuhinya.

Cengkraman Motoya yang mengerat bersamaan dengan pompaan dari Rintarou yang semakin cepat, kecipuk basah dan erangan akan kenikmatan saling sahut menyahut, mereka berdua sama-sama mengejar kenikmatan satu sama lain.

Di ujung kesadarannya Motoya dapat melihat pantulan mereka, ini sedikit memalukan namun entah kenapa berhasil membuat libidonya naik.

Ia tidak mau berbohong mengatakan dirinya jarang menonton film porno, namun melihat penyatuan mereka secara labgsung dan wajah Rintarou yang dimabuk kepayang entah mengapa membuat Motoya jauh terangsang, bahkan sukses membuatnya kembali 'menegak' bersamaan dengan pelepasan Rintarou yang memenuhinya, ia dapat merasakan sisa cairan milik Rintarou yang merembes keluar dan justru kembali dilaburi oleh Rintarou di sela kakinya.

God, it's my dirtiest sex i ever had” protesnya ketika melihat Rintarou tak hanya mengolesi cairannya pada kakinya namun juga punggungnya.

But you do enjoy it kamu aja sampai kebangun lagi cuma gegara liat pantulan kita lagi sex ya kan?”

Motoya dapat merasakan kedua pipinya memerah, sial ia tertangkap basah.

“Kamu masih ngerasa jijik ngga? Soalnya skin care treatment ku belum selesai aku juga mau mastiin kamu puas—” ujarnya sembari menoleh kearah milik Motoya yang kembali menegak dan telah mengeluarkan precum itu

Kalau begini Motoya juga tidak bisa menolak karena ia juga sama-sama ingin.

Biarlah saja malam ini Motoya berakhir dalam 'Suna Rintarou's skin care treatment'


Warning: Properti dan Hak Milik Suna Rintarou, Do not watch and even dare to touch


Rintarou menolehkan kepalanya kala mendengar suara derit pintu yang terbuka, mendapati sosok Motoya, kekasihnya, yang baru saja kembali dari lounge asrama mereka.

“Hai,”

Sapaan barusan terdengar penuh kecanggungan, tidak seceria Motoya biasanya, sang pemilik suara tahu pasti, dari nada pesan yang dikirimkan oleh Rintarou, sebuah pertanda akan adanya semacam 'perang dingin' di antara mereka dan itu terlihat jelas dari Rintarou yang masih diam di posisinya.

“Duduk,” ujarnya, bukan meminta tetapi memerintah. Meskipun begitu Motoya terlihat sangat sangsi, enggan terutama ketika Rintarou menepuk pahanya berulang menyuruhnya duduk di sana.

“Aku bisa duduk di kasur kok,”

Rintarou tidak menjawab masih terus menepuk pahanya sebagai perintah tak langsung yang menyuruhnya duduk di sana.

“Aku bisa—”

“Komori Motoya”

Seketika Motoya dapat merasakan bulu kuduknya meremang, adrenalinnya berpacu, Rintarou telah memanggilnya dengan nama lengkap, nada rendah, dan penuh penekanan yang berarti titahnya adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.

Mau tidak mau Motoya menurut, menduduki dirinya di atas pangkuan Rintarou, ia dapat merasakan Rintarou memeluk pinggangnya, menariknya mendekat hingga tak ada ruang di antara mereka.

“Jadi, kamu ngga mau jelasin sesuatu ke aku gitu?”

Motoya dapat merasakan tangan Suna memasuki kaos yang ia kenakan, telapak tangan hangat itu bertemu dengan permukaan kulitnya, kasar, memberikan sensasi menggelikan namun juga menjadi candu baginya di saat bersamaan.

“Je-jelasin apa...?”

“Sesuatu yang mungkin aku ngga tau? Misalnya pemotretanmu yang di share sama Atsumu?”

Motoya dapat merasakan usapan tangan Rintarou yang semakin sensual, mengelitikinya tepat di titik sensitif tubuhnya, membuatnya meremang. Rintarou memang tidak pernah basa-basi baik dalam tindakan ataupun ucapan dan kadangkala Motoya membenci itu.

“Ya... Ya gitu, pemotretan biasa... A-aku cuma ngikutin arahan mereka...”

“Kamu tau kan kalo aku paling ngga suka ngobrol tapi lawan bicaraku ngga natap aku langsung? Ngga sopan”

Ia dapat merasakan Rintarou menarik dagunya, menyuruhnya untuk menatapnya, astaga sudah hampir dua tahun mereka menjalin hubungan tetapi Motoya masih saja berdebar ketika Rintarou seperti ini.

Kedua netra mereka bertemu, ia dapat merasakan tangan Rintarou yang menjelajah dan mengusap bagian sensitif tubuhnya dengan sengaja, menggelitiknya, memberikan sensasi aneh pada tubuh Motoya yang membuat gejolak dan gairah dalam dirinya seketika meningkat.

“A-aku cuma... eum... ikutin arahnya mereka..., mereka maunya aku pake apa... gayanya gimana...”

“Hmmm...”

Motoya dapat merasakan panas tubuhnya yang meningkat dari sebelumbya ketika Rintarou mendekat dan menghembuskan nafas hangatnya di sana, sengaja menggodanya dengan tangannya yang sekarang asik menggerayangi tubuh bagian depannya, memainkan kedua tonjolan kecil yang telah mengeras di bawah bajunya.

“Kamu tau kan aku benci kalau ada orang yang ngeliat 'barang'ku tanpa ijin?”

Ia hanya bisa pasrah ketika Suna mengecup setiap inci ceruk lehernya, sesekali mengelitiknya dengan deru nafas hangat dan juga beberapa kecupan yang meninggalkan bercak kemerahan di sana.

Motoya hanya bisa diam, mengangguk sebagai jawaban karena dirinya sudah terlalu lelah untuk bersuara, begitu terangsang hanya dengan cumbuan di area sensitifnya, mengigiti bibir bawahnya menahan desahannya.

“Apalagi kalau itu sampai disebarluaskan tanpa izinku”

“Aah...,” satu desahan lolos dengan sempurna ketika Rintarou menjilati daun telinga milik Motoya, membuatnya menyeringai puas.

Tangannya pun kembali menjelajah dan sekarang turun pada gundukan dibalik celana training yang ia kenakan, mengelus lembut dari luar sana.

“Haruskah aku memberitahu mereka kalau Komori Motoya adalah properti dan hak milik Suna Rintarou yang tidak boleh dilihat dan disentuh sembarangan?”


“Aah... Haahh... Hhh...”

Motoya berusaha mati-matian untuk menahan desahannya, bersembunyi di ceruk leher Rintarou ketika lelaki tersebut asik menyisakan banyak tanda kepemilikan di ruas tubuhnya, memastikan tak ada sejengkal pun yang terlewaht terutama pada bagian yang terkespos ketika pemotretan majalahnya kemarin.

Leher, dada, dan juga perut, semua tak luput dari Rintarou. Sembari asik menyisakan ruam kemerahan kedua tangan Rintarou pun tidak diam begitu saja, kedua tangan yang sendari tadi asik memberikan foreplay di anal dan juga genitalnya, jelas saja membuat Motoya di mabuk kepayang, terlihat jelas dari deru nafas yang terengah, kulit memerah, dan peluh dimana-mana.

Hal yang paling Motoya suka dan juga benci di saat bersamaan adalah Rintarou yang memberinya hukuman berupa foreplay berkepanjangan dan meninggalkannya begitu saja, membuatnya mau tidak mau harus bermain dengan dildo dan vibrator seharian karena Rintarou yang enggan memasukinya. Seperti sekarang.

Dengan nafas terengah Motoya berusaha menjelaskan kepada Rintarou bahwa ia tidak tau apa-apa yang tentu saja Rintarou tidak percaya dan justru semakin memasukkan jari-jarinya ke dalam anal milik Motoya, membuat lelaki itu merintih.

“Harusnya aku lebih hati-hati dalam menjaga apa yang milikku, benar begitu Motoya?”

Lelaki itu hanya menangguk lemah sembari mencengkeram kedua bahu Rintarou, gerakan jemari Rintarou semakin cepat diiringi dengan pijatan di penisnya membuatnya terengah dalam kenikmatan.

“Ri-rintarou...”

Saat di pucuk kenikmatannya dengan kurang ajar Rintarou menghentikannya, membuat Motoya tersiksa pada pelepasan yang berada diujung tanduk. Rintarou hanya tersenyum puas melihatnya.

“Sepertinya sudah cukup aku meninggalkan tanda kepemilikannya”

“Rin...”

“Tidak, kau tau konsekuensi dan hukumannya kan?”

Mata sejernih langit biru itu terlihat begitu sayu, tak bertenaga, dipenuhi oleh kabut nafsu yang kepalang untuk dipuaskan. Lelaki itu menyuruhnya menyingkir namun ia masih enggan.

Dengan segera Motoya memuaskan dirinya, kepalanya kembali ia sembunyikan dibalik ceruk leher Rintarou sementara kedua tangannya asik menggerayangi tubuhnya sendiri, dengan tangan kanan yang ia pompa ke dalam analnya dan tangan satunya membelai setiap inci tubuh atasnya yang telah telanjang bulat, mendesahkan nama Rintarou dengan mencium aroma tubuh lelaki itu, berfantasi bagaimana jika Rintarou yang membelainya.

Rintarou tersenyum puas, Motoya jarang menggodanya seperti ini apalagi mendengar erangan Motoya yang terdengar begitu putus asa bagaimana ia membutuhkan dirinya, sentuhannya, kecupannya, dan cintanya membuatnya di bawah sana mengeras dengan sendirinya.

Ia membuka sedikit celananya, seketika menarik Motoya untuk mendekap mengecupnya dalam dan melumat bibir ranum tersebut, menarik tangan Motoya untuk menghentikan kegiatannya.

Tanpa aba-aba dan juga pelumas Rintarou memasukkan miliknya yang sudah menegang itu, membuat Motoya tersontak kaget dalam lumatan mereka.

“Rin-rintarou! Pe-pelan-pelan! Aah!”

Sejujurnya Motoya membenci permainan yang kasar tetapi karena nafsunya yang sudah kepalang tanduk itu jeritan dan rintihannya seketika berubah menjadi erangan dan desahan. Tenaganya sudah habis, ia hanya duduk namun entah mengapa dirinya serasa begitu lemas terkulai tak berdaya.

Ia hanya bisa menyenderkan dirinya pada Rintarou, memeluknya sembari Rintarou menopang tubuhnya untuk melakukan penetrasi mereka. Motoya hanya bisa mendesah tanpa suara, sakit namun juga nikmat.

Dari bawah sana Rintarou dapat melihat Motoya yang terkulai indah ketika ia berhasil mencapai titik kenikmatannya, lubang surgawi miliknya seketika mengetat, di ambang batas kewajarannya setiap gerak tubuh Motoya mengisyaratkan untuk melakukannya lagi.

Pelepasan yang panjang dan juga indah, betapa Rintarou menyukai ekspresi kenikmatan Motoya pascaorgasme dari bawah sana, tak berselang lama ia pun keluar, memenuhi Motoya, bukannya melepaskannya Rintarlu justru membawa lelaki itu dan mendekat, mengistirahatkan raga lelah itu dalam sandarannya.

Ia terkekeh kecil mendengar deru nafas Motoya, mengecup pucuk kepala lelaki itu untuk menenangkannya, astaga mungkin dia sedikit kejam toh mau bagaimana lagi dia sedikit sensitif atas kepemilikkannya

“Maaf...”

“Kok kamu yang minta maaf?”

“Ya aku bikin kamu marah padahal kamu ngga suka aku kalau begitu”

“Ngomongnya ngadep aku dong...,”

Tangan lelaki dalam renguhannya itu bergerak untuk menutup mulut Rintarou. Dengan sisa tenaganya Motoya menjauhkan diri mereka sebelum memberi kecupan singkat pada bibir Rintarou dan kembali di posisinya semula, bahkan semakin memeluknya.

“Komori Motoya cuma punya Suna Rintarou, orang lain cuma bisa ngeliat foto tapi Suna Rintarou dapat semuanya,” cicitnya pelan, membuat Suna semakin terbahak karena tingkah gemas kekasihnya itu.


Esoknya, para anggota timnas yang meminta Motoya untuk memamerkan bentuk tubuhnya pun mendapat tatapan sinis penuh kebencian dari Suna Rintarou.

Bahkan hanya Suna Rintarou yang berani memarahi Kuroo Tetsurou sebagai penanggung jawab sponsor dan promosi mereka akibat menyuruh Motoya untuk melakukan pemotretan seperti itu padahal sejak awal Motoya selalu menolak kontrak atau pemotretan dengan tema terbuka

Ya, Komori Motoya, properti dan hak milik Suna Rintarou, tidak boleh dilihat ataupun disentuh sembarangan orang.


Malam ini berbeda dengan malam-malam sebelumnya, untuk pertama kalinya Suna Rintarou terkesima. Enggan memalingkan diri dari paras rupawan sang kekasih, Komori Motoya. Layaknya sebuah patung pahatan tanpa celah, pendar teranam lampu taman terpantul dan menggambarkan jelas guratan tipis yang selama ini luput dari pandangan.

Dalam diamnya ia terpana


Iya, malam itu berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Untuk pertama kalinya ia memohon kepada sang pemilik semesta, permohonan yang ia tahu betul bahwa itu sia-sia namun Suna terus berharap, bahwa malam itu, seketika waktu dan semua di sekitarnya terhenti sehingga ia dan Komori dapat abadi selamanya

Komori Motoya, sebuah nama sarat akan makna dan juga kenangan, kekasih palsunya yang terjebak dalam perjanjian bodoh yang pada akhirnya hanya bisa ia sesali

Malam itu, ia larut dalam lamunnya sembari termangu memandangi rupa menawan yang berdansa tepat di hadapannya. Malam itu, dimana bumi tempat ia berpijak seketika menjadi lantai dansa dan malam itu, hanya tentang dirinya, Komori, dan waktu yang ia harap menjadi abadi 'tuk selamanya


Suna dan Komori, dua nama berbeda, dua raga terpisah namun keberadaan dan keserasian mereka layaknya satu pasang terhadap satu sama lain, paling tidak itu yang diketahui orang-orang mengenai mereka. Nyatanya hubungan mereka adalah kebohongan belaka dengan semua perhatian semu dan kemesraan yang yang sebatas sandiwara palsu. Sebuah kontrak hubungan yang mengikat mereka satu sama lain, bukan dengan ikatan cinta ataupun perasaan melainkan perjanjian yang cukup menjadi rahasia mereka berdua.

Hubungan yang tercipta atas dasar perasaan kecewa akan patah hati, ide gila seorang Suna Rintarou di mana mereka berdua saling menolong-lebih tepatnya memanfaatkan-satu sama lain 'tuk mencapai keinginan mereka. Katakanlah Suna itu orang yang manipulatif dengan memanfaatkan perasaan tulus Komori yang kebanyakan orang sebut sebagai cinta, atau mungkin Komori saja yang terlalu naif.

Satu tahun waktu yang cukup lama untuk sebuah hubungan pura-pura semata dan juga waktu yang diperlukan Komori untuk mengatakan permintaannya apa yang ia inginkan dari Suna dari hubungan ini.

Sebuah permintaan pertama dan mungkin juga terakhir dari Komori.


Suna, aku ingin kamu jadi pasanganku

Untuk malam ini saja, jadilah pasanganku tanpa adanya kepura-puraan


Dari sudut matanya ia mendapati Komori yang masih terduduk manis di posisinya, keheningan seperti ini sudah terlalu biasa mereka rasakan satu sama lain, katakan saja selama mereka berkencan mereka tidak pernah lebih dari membicarakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan sehingga ketika Komori memintanya menjadi pasangannya tanpa kepura-puraan sejuta tanya seketika mengerjap. Karena sejatinya raga mereka boleh saja begitu dekat, saling menyentuh dan menggapai namun hati mereka tidak akan pernah terhubung oleh perasaan satu sama lain.

Yang mengikat mereka hanyalah sebatas perjanjian. Oleh karena itu, ketika Komori memintanya untuk berhenti berpura-pura sejuta tanya seketika memenuhi kepalanya.

Sebenarnya bagaimana dan apa yang dilakukan pasangan pada umumnya?

“Kamu ganti pengharum mobil kamu ya?”

“Eh? Iya, papa beli yang baru...”

”...kamu suka ngga baunya?”

Ia sedikit terkejut dengan ucapannya barusan, begitu tiba-tiba namun juga mengalir begitu saja, dari sudut matanya ia mendapati Komori yang tersenyum simpul di tempatnya.

Ah..., sekarang Suna mengerti

Untuk pertama kalinya Suna sadar dan mengerti bahwa memulai pembicaraan 'pada umumnya' jauh lebih mudah dibanding yang ia kira. Tidak sesulit itu, hanya saja selama ini ia enggan, bukan ia yang mendorong Komori menjauh, selama ini Suna lah yang memberikan jarak di antara mereka sendari awal.


Jika saja Suna selama ini membiarkan Komori pelan-pelan menariknya, mungkin saja akhir hubungan mereka tidak akan seperti ini


“Kamu ngapain?”

“Emang aku ngga boleh bukain pintu buat pacar aku sendiri?”

Ia dapat melihat Komori yang tersipu dengan tawa kecil 'tuk menghapus rasa malu dalam diri. Pandangannya dengan seksama memperhati begitu hati-hati, enggan sedetik pun momentum lelaki tersebut, digapainya jemarinya untuk saling bertaut sebelum kemudian mengunci mobilnya.

“Sakusa engga ikut?” tanyanya yang dibalas gelengan lembut oleh Komori.

“Tau sendiri kan dia paling ngga suka tempat ramai kayak begini,”

“Ya siapa tau kan? Lagian kan malem ini juga sekali seumur hidup kan?”

“Bahkan kalau itu Iizuna-san sekalipun yang narik dia kesini dia ngga bakalan mau”

Mereka berdua berbagi tawa satu sama lain, masih dengan tangan yang saling bertaut, menyapa atau mengobrol dengan wajah-wajah familiar yang mereka temui, mencoba berbagai macam makanan hingga bahkan berfoto untuk mengabadikan kenangan manis mereka malam ini.

Suna tersenyum lembut mendengarkan setiap cerita dan kisah yang terucap di bibir ranum kekasihnya itu, Suna ingin merekam setiap momentum yang mereka lalui malam ini, enggan terlewatkan bahkan sedetik pun, biarkan otaknya sendiri yang menciptakan potongan-potongan kaleidoskop layaknya roll film yang dipenuhi oleh senyum dan juga wajah rupawan kekasihnya itu.

Ternyata, menjadi sepasang kekasih dengan binar penuh ketulusan dan juga perasaan cinta itu sangatlah mudah

“Ayo berdansa”

“Huh?”

Di bawah pendar lampu teranam Komori mendongak, memandang Suna dengan penuh tanya dan juga keraguan. Mereka berdua berdansa? Seolah menjawab semua tanya dalam diri, Suna pun mengulurkan tangannya yang disambut malu-malu. Dikecupnya punggung tangan selemput sutra dan seputih susu tersebut, seperkian detik tubuh Komori seolah merasakan semacam lonjakan, panas menjalar hingga menyisakan semu kemerahan di kedua sisi wajahnya.

“Tapi aku tidak bisa berdansa,”

“Tak apa, lagian kau berdansa denganku bukan seorang diri. Bisa atau tidak itu bukanlah masalah besar”

Suna menarik Komori untuk lebih dekat, memeluk mesra kedua panggul kecil milik lelaki itu, mengalungkan kedua tangan tersebut pada lehernya. Dengan alunan lembut musik opera klasik seketika tempat di mana bumi mereka berpijak berubah menjadi lantai lansa, begitu menenangkan, atensi mereka hanya tertuju untuk satu sama lain, tidak ada yang lebih menarik dibanding presensi satu sama lain. Semesta adalah milik mereka berdua, kemenangan sempurna untuk malam indah dan juga panjang.


Malam di bawah pendar sinar lampu teranam Suna dapat menangkap jelas bayangan siluet yang justru memperindah polesan wajah Komori yang memang telah tercipta menawan, ia berani bertaruh ketika Komori diciptakan Tuhan pasti sedang jatuh hati sehingga ketulusan perasaannya dapat tercetak jelas di salah satu hamba-Nya yang sekarang tepat berdansa dengannya.

Komori istimewa dan Komori berharga

“Kamu tau ngga kalau aku bahagia sekali malam ini”

“Tau kok, karena aku sama bahagianya denganmu”

Dan aku ingin malam ini abadi selamanya sehingga kita berdua bisa terus seperti ini

Biarkan, biarkan saja angan dan juga khayal tersebut ia simpan seorang diri. Ia tau permintaannya sia-sia namun jika Tuhan memang ada maka ijinkanlah ia memohon dan berharap bahwa malam itu akan benar-benar abadi. Suna rela melakukan apa saja menukarkan semua yang ia miliki asalkan malam indah ini bisa terus abadi, ia dan komori di satu momen dan juga lini garis dimensi yang sama.

Ia menarik Komori untuk lebih mendekat, menyelami sepasang netra sejernih langit biru tersebut. Meskipun sama namun bulir samar tersebut kasat akan penglihatannya telah menumpuk menciptakan selaput bening di sana.

Tangan Komori bergerak mengelus lembut sisi wajah Suna dengan seutas senyum yang terlihat begitu dipaksakan serta memilukan.

“Rintarou...,”

“Jangan menangis, karena aku ingin merekam malam indah ini sebagai kenangan yang membahagiakan bagi kita,”

Ucapannya seketika membawa mereka bernostalgia sejenak, satu tahun bukanlah waktu yang sebentar namun juga cukup lama bagi mereka sehingga bisa meresapi presensi serta perasaan satu sama lain. Pertama kalinya mereka menghabiskan waktu bersama dengan raga dan juga hati yang begitu dekat satu sama lain.

Mereka menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mencapai lini waktu ini bersama namun sayang momentum tersebut hanya sekelebat malam singkat namun juga indah ini yang mungkin jika dirangkum dalam kilas balik hidup mereka hanyalah sepersekian sekon.

Komori berjinjit untuk mengecup kedua belah bibir ranum milik Suna yang dibalas dekapan hangat oleh lelaki itu, kecupan panjang namun juga singkat bagi kenangan mereka. Suna enggan melepaskan, ciuman pertama mereka yang entah mengapa begitu memilukan dan juga menyedihkan.

Komori menarik diri, dengan alur air mata yang telah membekas di kedua sisi wajahnya, bahkan dengan penampilan yang begitu pedih tersebut Komori masih saja bisa tersenyum, hanya 'tuk orang yang ia cintai.

“Rintarou terima kasih karena telah mau membantuku untuk mencapai keinginanku selama ini, terima kasih karena telah menjadi kekasih yang baik untuk malam ini”

Tidak, jangan

“Rintarou..., ini terakhir kalinya sesuai perjanjian kamu harus membantuku mencapai keinginanku”

Berhenti, jangan lanjutkan

“Rintarou, aku ingin kita mengakhir perjanjian dan hubungan yang penuh akan kepura-puraan ini”


Hanya perlu waktu satu malam bagi Suna untuk merasakan ketulusan yang sama dengan Komori,

Hanya perlu waktu satu malam bagi Suna untuk melabuhkan perasaannya pada Komori,

Hanya perlu kecupan singkat seperkian sekon bagi Suna untuk merasa bahwa dirinya dan Komori saling memiliki, terikat, dan mencinta

Namun hanya perlu satu malam bagi Komori untuk menyerah terhadap cintanya pada Suna setelah merasakan sakit dan kesedihan dalam kepura-puraan satu tahun hubungan mereka

Malam teranam itu ada cinta yang tumbuh namun juga gugur


Berbeda dan kembarannya yang bak habis kejatuhan durian runtuh seperti sang fortuna tidak berpihak pada Osamu. Membuatnya menyumpah serapahi kehidupan! Pilih kasih! Padahal mama Miya tidak pernah pilih kasih dan selalu adil pada anak-anaknya.

Ia masih tidak terima, bisa-bisanya Atsumu selama pekan UTS lalu bisa menggaet hati presbem universitasnya yang terkenal berwajah datar dan dingin sedangkan dirinya hanya bisa menyukai dan menyanyai seseorang dalam diam. Sungguh ia mengakui kalau ia iri dan dengki.

Namanya Akaashi Keiji, tentu ia baru tau namanya setelah bertukar akun media sosial setelah berbincang cukup lama di aplikasi dating dan merasa bahwa cukup akrab terhadap satu sama lain.

Namun sayangnya, interaksi mereka hanya sebatas bertukar video lucu, memasukkan nama satu sama lain ke teman dekat dan beberapa reply di instagram story tidak kurang ataupun lebih. Sekali pun lebih paling-paling hanya membahas tentang perkuliahan atau kegiatan menarik di instastory.

Osamu menghela nafas pelan sembari memandangi ponselny dengan hati yang gundah gulana, teman-teman tongkrongannya itu sudah sangat biasa meskipun awalnya dibuat terkejut karena Osamu tidak pernah serisau ini kecuali berhubungan dengan makanan.

“Lemes amat kek mendoan dingin, nih risol mayo, susah loh belinya, gue sampe ke FEB”

Osamu melirik Suna malas, tetapi tetap menerima tawaran lelaki itu, memakan risol mayo favoritnya dengan lahap.

“Kalau kangen ya chat!”

Osamu hanya bisa merotasikan bola matanya malas, mungkin terdengaran mudah tetapi jika sudah melibatkan perasaan dan keraguan bakalan rumyan urusannya itu yang membuat Osamu berakhir terkena jitakan dari Atsumu.

“Lo belum nyoba udah ciut duluan, cupaw, kalau mau maju ya jangan ragu!”

“Lo ngomong gampang banget anjir?!”

“Ya emang gampang! Tinggal tanya apa kek misal suka kayang di lapangan basket atau apa gitu?!”

Ginjima sudah sangat terbiasa dengan pemandangan ini tak lupa dengan Suna yang mendokumentasikan pertengkaran rutin si kembar itu dengan hengpong berteknologi yang mengalahkan kecanggihan dispatch.

“Sini hape lo ah, lama banget bete gue”

Atsumu merebut paksa ponsel kembarannya. Jemarinya lincah membuka akun instagramnya dan mencari akun Akaashi, dengan cepat ia menemukannya, membuka story sebelum mengetikkan sesuatu dan mengembalikan ponsel tersebut pada Osamu.

“Lo ngirim apa anjir?!”

“Dia abis selese UTS, gue cuma bilang makasi, lo bisa mulai nyoba tanya-tanya atau ga gitu kirimin dia gift meals buat ucapan selamat”

Entahlah, Osamu tidak tau ia harus kesal tetapi dirinya juga terlalu gengsi jika harus berterima kasih, secara tidak langsung ia berharap bahwa dengan—ia masih mengumpulkan niat untuk mengucapkan kata ini—bantuan Atsumu, hubungannya dengan Akaashi dapat memasuki tahap lebih lanjut, yah semoga saja.


Meskipun dengan bantuan Atsumu, hal tersebut tidak sepenuhnya menghapuskan kerisauan di dalam diri Osamu. Iya mereka—Akaashi dan Osamu—memang kembali berbincang dan bertegur sapa via pesan singkat seperti sedia kala dan sekarang Osamu kembali dilanda gundah karena bingung harus ngasih Akaashi apa sebagai ucapan selamat telah melalui pekan UTS.

“Yaelah lu ngorder makanan bingung banget kek perawan ngebet kawin aja” ledek Atsumu sembari bermain PSP-nya di dek kasur atas saat Osamu sembari tadi terus menanyakan pendapatnya—layaknya angket sensus penduduk—ia harus mentraktir Akaashi apa.

“Kalo dibeliin kopi sama toast mau ga ya doi?”

“Pasti mau wong ditraktir, tapi kalo lo ragu coba aja tanya anaknya mau apaan”

“Dia jawabnya terserah”

Angel wes angel

Atsumu memperbaiki posisinya, membuat Osamu menoleh ke atas kala kembarannya itu memanggilnya.

“Ga perlu mahal, dia pasti ngehargai kok, kalo emang mau buat makan malem ya sekalian makanan berat kalo buat sarapan besok ya kirim roti atau apa yang bisa dipanasin—kayak Ginjima kemarin pas tengkar sama kak Akagi loh”

“Tsum, ijinkan gue bilang ini mungkin untuk sekali seumur hidup, tapi punya lo sebagai kembaran ternyata berguna ya”

Atsumu pun melemparkan bantal pada Osamu dengan makian pastinya, tentu saja dihindari dengan sigap dan justru Osamu ambil untuknya membuat Atsumu berteriak mengadu ke mama Miya.

Osamu hanya bisa terkekeh, senang sekali menggoda saudara kembarnya itu.


Osamu yang sedang asik mengejar highscore untuk game-nya seketika tersentak kaget, seketika terduduk tegap kala membaca nama yang tertera, Akaashi Keiji, ada apa gerangan sang pujaan hati menelepon?

Dengan sigap Osamu keluar kamar—daripada dia harus diejek oleh Atsumu—menuju ruang bersantai di belakang rumah.

“Ha-halo apa Akaashi?”

Sial, Osamu ingin merutuki dirinya sendiri, kenapa ia harus sampai tergagap seperti ini

“Hahaha, kamu kenapa gugup gitu?”

Berterima kasihlah pada tawa renyah Akaashi sehingga daoat menghapuskan kegugupan dalam diri Osamu.

“Gak... Gapapa kok, cuma kaget aja ditelpon, ada apa?”

“Hmm... Gapapa sih, cuma mau bilang makasih aja”

“Kan bisa lewat chat?”

Dan Osamu pun dapat kembali mendengar tawa renyah Akaashi.

Well, yah aku agak sungkan sama kamu, aku ngga kasih kamu apa-apa tapi kamu beliin banyak banget jadi aku pengen bilang langsunh ke kamu makanya aku nelpon”

Astaga ingin rasanya Osamu menangis terharu, mamak, anakmu di notis gebetan!

“Halo Osamu?”

“Ah iya? Sori-sori”

Astaga Osamu terlalu lama melamunkan diri, terbang bersama angannya sendiri, jadinya ia menghiraukan sang pujaan hati.

“Aku kira kamu kemana soalnya ngga bilang apa-apa”

Bolehkah Osamu berkata bahwa ia masih tidak percaya?

“Anu Akaashi, kamu suka kan?”

“Suka kok, banget malah, kebetulan roti yang kamu beliin buat aku rasa favoritku, kok bisa tau?”

“Telepati mata batin”

“Kamu bisa aja”

Hening sejenak, astaga Osamu ingin sekali rasanya merutuki diri dan kebodohannya, bagaimana bisa ia menjadi begitu canggung padahal sudah diberi kesempatan seperti ini?

“Semoga kamu suka ya Akaashi, sori banget ya aku beliinnya malem baget kayak gini pasti udah telat juga buat makan malam...”

“Iya gapapa”

“Selamat menikmati, selamat malam”

Osamu itu memang pecundang, diri dan perasaannya belun siap sepenuhnya terhadal sesuatu yang begitu meletup dan berdebar dalam hatinya.

Untuk orang yang disukai Osamu dalam diam, Akaashi Keiji. Osamu harap kau tidak salah paham kenapa Osamu begitu cepat mengakhir telepon atau percakapan kalian.

Bukan berarti ia tidak menyukaimu atau apa, hanya saja ia belum siap sepenuhnya dengan perasaan ini, degup jantungnya selalu membuatnya hilang fokus seketika.

Andai saja Akaashi dapat menyadarinya.