komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo


Tawa hangat dan seruan yang saling sahut-sahutan itu memenuhi rumah plesir milik keluarga Suna tersebut. Para jejaka tengah asik bermain voli di halaman belakang sedangkan para gadis tengah berkumpul dan bercengkrama di ruang tengah sembari menikmati cemilan sisa makan malam yang telah mereka siapkan tadi.

“Asli Ri, sayang banget tadi kamu ngga bisa ikut pas di rumahnya Kita, ngga bisa liat Atsumu jatuh hampir pas bajak sawah”

“Seriusan? Ih kalian kok ngga ngevideoin sih”

“Kayaknya Suna ada deh dia kan mesti nyimpen blackmail si kembar”

“Pacar aku senista itu ya?”

“Lambe turah sih”

Yukie tersenyum simpul sembari memakan keripik singkong Daisuki-nya dan memilih untuk lebih banyak mendengarkan. Dia senang bisa berada di tengah-tengah teman-temannya ini menghabiskan liburan bersama tak hanya dengan teman dekat namun juga kerabat dan orang terdekat yang mungkin kesempatan yang sukar sekali untuk di dapat.

“Habisnya Akinori sok ngide sih mau nganterin aku sekalian pake acara mogok di tol lagi hadeh” keluh Kaori yang mungkinntelah kesekian kalinya tiap kali ia pergi kencan dengan kekasihnya itu.

Tentu saja ditimpali dengan saran untuk membeli mobil baru tapi tetap saja—

“Katanya duitnya buat biaya nikah, padahal aku gak mau nikah muda”

Ya, memang, di antara mereja yang hubungannya terlihat telah memasuki jenjang serius adalah Kaori dan Konoha serta Hana dan juga Kita, tinggal menunggu siapa yang bakalan sebar undangan duluan.

“Berani taruhan deh yang bakalan nikah duluan itu kalo ngga Kaori ya Hana dulu” celetuk Mika yang diangguki setuju olehnya dan juga Kiyoko.

“Sok tau, ngedahuluin Tuhan kamu”

“Kan cuma nebak!”

“Tapi sayang banget ngga sih! Ngga ada Suga sama Komori coba kalo pasti tambah seru!”

“Udah dibilang kan Suga sibuk ngajar pas libur semester gini-gini”

“Komori sendiri gimana? Kapan rencana balik Jepang? Masa udah pacaran lama tapi dari awal ketemu virtual mulu”

Merasa nama sang kekasih disebut sendari tadi Yukie mengalihkan pandangnya, mendapati keempat temannya sudah duduk memutar menghadapnya, menunggu ceritanya.

“Dia balik Jepang itu pasti, tapi ngga tau kapan soalnya dia kayak sibuk banget akhir-akhir ini”

Keempat gadis lainnya berusaha maklum, Kiyoko memberikan pelukan hangat kepada Yukie, mau dilihat pun memang kondisi Yukie yang cukup sulit jika dibanding mereka lainnya.

Meskipun Mika dan Suna juga bertemu via omegle sama seperti Yukie dan Komori tetapi mereka masih satu negara, satu kota dan bisa bertukar sapa dan berbagi kehangatan langsung, mereka dapat mencecap dan merasakan hangat satu sama lain.

Hana dan Kiyoko juga mau tak mau harus LDR tetapi tidak terpaut oleh batasan ruang dan waktu yang mana mereka harus mencuri-curi kesempatan hanya untuk bisa mengobrol yang tidak lebih dari lima menit.

Jujur, melihat hubungan teman-temannya kadang Yukie merasa iri—tidak bukan iri, konotasinya terlalu negatif—lebih tepatnya cemburu.

Ia juga ingin dapat bertemu dan merasakan hangatnya dekap sang kekasih secara nyata, mendengar suara berat namun renyah favoritnya tiap kali tertawa dan menghabiskan waktu untuk berkencan, benar-benar kencan di akhir pekan, bukan kencan virtual di mana mereka hanya bisa streaming satu platform.

Tapi mau bagaimana lagi kan? Namanya juga sudah risiko menjalin hubungan jarak jauh, ia juga bukan anak kecil atau yang baru pertama pacaran dan merengek ini itu, menuntut Komori untuk dapat menghabiskan waktunya 24/7 bersamanya.


“Nee-san”

Gadis bersurai merah muda itu pun menoleh, memberhentikan game Cookie Run-nya sejenak ketika mendapati Sakusa yang entah kesambet apa datang menghampirinya dan memanggilnya seperti itu.

Jangan bilang dia masih mau bahas insiden ramen waktu itu?

“Aku tau itu harusnya jadi dialog monolog tapi aku ngga mau bahas itu kok jangan khawatir”

Mulutnya menganga sedikit, menggumamkan 'oh' panjang sembari menggeser duduknya, memberikan tempat kepada Sakusa.

“Yukie nee-san lagi apa?”

“Jangan panggil nee-san bisa ngga sih?” pintanya

Bukan karena apa tetapi ia merasa tidak enak sama sepupu pacarnya itu, memang benar ia lebih tua tetapi sejak hari pertama ia menjalin hubungan dengan Komori, Yukie telah memberitahunya untuk menghapus semua batasan usia dan juga formalitas.

“Kebiasaan maaf, btw lagi apa? Ini udah jam 10 malem loh, nanti Komori marah kalau tau kamu belum tidur”

“Jangan bilang kamu disuruh Motoya buat kayak gini?”

Sang lelaki menggaruk tengkuk belakangnya yang tidak gatal membuat Yukie terkekeh kecil.

“Gausah khawatir kamu, udah kebiasaan sebelum tidur paling ngga telpon atau chat sama Motoya bentar” ujarnya.

Namun jawabannya itu masih tetap tidak bisa menghilangkan kecanggungan dan kekikukan di antara mereka, seperti ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Sakusa namun lelaki itu menahannya. Yukie pun tidak memaksanya, ia menunggunya.

“Motoya bakalan balik ke Jepang kok, jadi ngga usah khawatir”

Oh? Tiba-tiba sekali

Namun entah mengapa ujaran Sakusa itu menghapus sedikit rasa cemburunya tadi siang, membuat Yukie tersenyum simpul.

“Makasih ya Sakusa”

“Kiyoomi yang bener”

“Kalau gitu berhenti manggil aku nee-san”


Kalau harus diceritakan bagaimana kisah kasih mereka bermula, mungkin bisa dibilang cukup lucu bila diingat kembali.

Kala itu, akhir musim gugur, hari ke limabelas tepat pertengahan bulan kesepuluh, ia putus, Bokuto Koutarou, kekasihnya sejak sekolah menengah itu mengakhiri hubungan mereka sepihak, dengan dalih yang cukup klise di mana dirinya tidak kuat LDR ditambah dengan kesibukan membabibuta tepat pada tahun pertama Yukie memasuki jenjang perguruan tinggi.

Halah mbel

Alasan cukup klise untuk menutupi perselingkuhannya dengan Akaashi Keiji, adik kelas mereka semasa SMA, pada akhirnya Yukie tidak mau ambil pusing juga, mungkin sampai di sini saja kisah mereka, yang terdengar seperti lirik lagu tetapi ia tidak tahu pasti juga judulnya apa.

Dia berbohong jika mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, ia menangis tersedu-sedu setiap malamnya, menyumpah serapahi, kecewa bukan karena hubungan yang berakhir setelah terjalin kurang lebih empat tahun, tetapi kenapa Bokuto berbohong kepadanya. Ia kira dirinya dan Bokuto (meskipun kala itu masih menjadi pacar) adalah CS (bukan customer service hanya sebutan sahabat sejati yang begitu akrab) di mana tidak ada rahasia di antara mereka.

Aduh, kenapa panjang sekali padahal baru menceritakan bagaimana dia putus dengan sang mantan kekasih, muqodimah saja belum masuk, tetapi sekali lagi ya sudahlah.

Untung saja ia mempunyai sahabat-sahabat yang sangat baik hati dan begitu menyayanginya. Lima Sempurna, nama gengnya, yang terdiri atas dirinya, Shimizu Kiyoko, Suzumeda Kaori, Misaki Hana, dan juga Yamaka Mika

Mereka lah yang membantunya memulihkan diri dari pahitnya luka akan patah hati dan Yukie sangat bersyukur atas kehadirannya, yang mana selain mengobati luka dari masa lalu mereka lah yang secara tak langsung membuka jalan bagi Yukie hingga dapat bertemu dengan dek pacar yang sekarang terbentang entah berapa ribu kilometer jauhnya di belahan bumi lainnya.


“Kamu ngga mau nyoba gitu main omegle? Siapa tau ketemu bule”

Entah dari mana asal muasalnya, sebab-musahabnya juga apa Yukie tidak tahu-menahu pasti, yang jelas kala itu mereka sedang melakukan sleepover di apartemen Kaori dan tiba-tiba Mika yang baru saja kembali dari supermarket bersama Hana menyarankan hal tersebut.

“Hah?”

“Iya, main omegle, siapa tau dapet bule” jelasnya sekali lagi berusaha meyakinkan

Yukie berusaha menarik kesimpulan, bahwa kala itu Mika menyarankan hal tersebut karena pengalamannya bermain omegle sehabis diputusi oleh Daishou.

“Kenapa ngga tinder aja?”

“Ih nanti ngga bisa nyari bule!”

Saat itu pun kemudian terbagi menjadi dua kubu, pertama tim Tinder dengan dalih “Yang deket aja biar bisa ketemuan” dan satunya lagi tim Omegle dengan alasan “Biar bisa dapet bule”

Melihat pertengkaran teman-temannya itu bisa dibilang cukup menghibur, sama ricuhnya seperti ketika tim Avengers terbagi menjadi tim Ironman dan Captain America dalam perang Civil War. Padahal mah Yukie ngga ada niatan buat bikin salah satu akun tersebut, apalagi keduanya, masalah cowo mah urusan belakangan, ngga punya pacar bukan berarti dirinya gagal dalam seleksi kehidupan kan? Paling ya dikucilkan dari pergaulan sedikit ketika malam minggu tiba.

Mika yang masih keukeuh itu pun mengambil alih laptop yang seharusnya digunakan untuk streaming drama Goblin yang telah mereka rencanakan jauh-jauh hari. Jemari lentiknya lincah menbuka laman tab pencarian baru, mengetikan website omegle dan membuatkan Yukie akun di sana.

“Nah aku udah buatin kamu akun, terserah sih mau kamu pake ya syukur kalo engga gapapa, tapi kalo kamu mau cari bule main aja omegle terus usahain online-nya tuh jam-jam mereka jam-jam makan siang atau pulang kantor sih, risikonya ya palingan on tengah malem”

Awalnya Yukie cuma “Oh iya” terhadap saran Mika tersebut, ia tidak akan pernah percaya ataupun menyangka bahwa dirinya akan benar-benar log in dan online omegle hanya untuk mencari “bule”


Malam itu Yukie terbangun, tidak, lebih tepatnya ia baru saja bangun dari tidur sorenya yang sudah kebablasan .

Malam itu pukul satu dini hari, teman-temannya sudah pasti telah pergi bertandang ke alam mimpi masing-masing, Yukie yang tidak memiliki siapa-siapa untuk di-chat atupun di ganggu itupun berinisiatif menyalakan laptopnya, membuka laman omegle yang entah dengan ajaibnya alamat website-nya ia hafal.

Bercanda terhadap dirinya sendiri untuk mencari bule.

Setelah cukup lama berkelana di website tersebut (untuk mempelajari dan menyesuaikan dirinya menggunakan omegle) ia menemukan satu profil yang cukup menarik dirinya, jemarinya bergerak untuk mengeklik dua kali pada icon send messages


Shirofuku Yukie >> Hello

Person A >> Oh? Hi!

Shirofuku Yukie >> I just found your profile interesting

May i get to know you?

Person A >> Hahaha ofc

What a silly question, no offense, people plays omegle to test their luck so they can get someone to know or maybe bf/gf

So i guess it also ur reason plays it, did you get another breakup?

Shirofuku Yukie >> well 'i just' for the correct one

Person A >> i see


Dalam basa-basi singkat awal mula 'pertemuan' mereka Yukie tau kalau partner matching-nya itu saat ini tinggal di London dan cukup terkejut kala ia bilang bahwa dirinya berasal dari Jepang karena kemampuan berbahasa Inggrisnya yang cukup bagus (tau sendiri kan sterotipe orang Asia Timur dikatakan tidak bisa berbahasa Inggris).

Berbagi bagaimana kabar satu sama lain dan informasi-informasi umum yang pada umumnya dibagikan pada jumpa pertama seperti program studi yang diambil, gender, dan juga usia.

Percakapan mereka mengalir begitu saja, layaknya orang yang telah lama mengenal, Yukie menemukan dirinya cocok dengan teman barunya itu.


Person A >> you might be little suprised if i told you my nationality

Shirofuku Yukie >> why do i should be suprised?

Person A >> aku orang Jepang yang kebetulan kuliah di London

Shirofuku Yukie >> serius? Astaga padahal niatku main omegle buat nyari bule ujung-ujungnya ketemu nippon juga duh

Person B >> hahaha maaf kalau bikin kamu kecewa

tapi masak kamu ngga ngerti atau pernah denger aku si padahal aku tau kamu siapa lo

Shirofuku Yukie >> hah?

Person B >> aku Komori Motoya, dari Itachiyama


Dan Yukie tidak tau bahwa cara kerja semesta dapat sekonyol ini.

Siapa tang tidak tau Komori Motoya? Seseorang yang mendapat gelar Top High School Japan Libero pada masanya.

Kenapa, dari sekian banyak cara atau kesempatan untuk berkenalan, dengan seseorang yang bahkan sebelumnya lingkupnya begitu dekat dengan lingkar kehidupannya garis takdir mereka justru dipertemukan oleh website online dan terpisah beribu-ribu kilometer jauhnya di belahan bumi lainnya dengan kodek “mencari bule”?


Hari itu, Komori tidak tahu dan mendapat satu pun petunjuk ataupun ide ke mana Suna akan membawanya.

Setelah selesai menyambungkan ponselnya dengan bluetooth speaker mobilnya ia pun melajukan kemudinya, mengajaknya berkeliling.

Halo?

Audio mobilnya entah mengapa memutar voice note milik Suna, ia ingin memberi tahu Suna sebelum suara lelaki itu dalam rekamannya menghentikannya.

Kalo kamu denger ini, selamat, karena rekaman ini spesial ditujukkan untuk kamu, Komori Motoya

*Kalau dibilang pertemuan kita cukup unik, kamu yang tiap hari 'nguntit' aku, iya nguntit dalam tanda kutip, di ruang broadcasting bilang kalau suaraku bagus dan kita berakhir menghabiskan sore bersama sambil bernyanyi*

Jujur, aku benci sebenarnya bernyanyi untuk orang lain, tapi entah kenapa, kamu bikin aku nyaman, pujian tulus kamu bikin aku percaya diri dan berani nyanyi depan orang lain

*Tapi tau ngga sih? Kamu itu orang lain pertama yang aku biarin dengerin aku nyanyi, aneh kan?*

Dari sana kita mulai dekat, aku sering ngeresein kamu, habisnya, kamu gemes banget tiap aku bilang penguntit, jangan ngambek ya? Tau sendiri kan aku payah banget cari topik obrolan

Bagi aku, musik itu sesuatu yang eksklusif, aku enggan berbagi, tapi sama kamu, gatau rasanya aku ingin membagikan dunia yang aku anggap hanya satu-satunya untukku, bukan demi komersil atau keuntungan pribadi, tetapi untuk sesuatu yang jauh lebih intim, lebih personal, hanya aku dan kamu

Rekaman itu berhenti sesaat, sebelum kemudian berganti menjadi melodi up beat yang begitu familiar bagi Komori.

You're always be my day one Day zero when i was no one I'm nothing by myself You and no one else Thankful you're my day one

“Suna...”

Yang dipanggil hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tanda bahwa dirinya sedang gugup dan tidak siap diintograsi saat ini.

“Sori, aku—duh harusnya ngga gini, kamu sih pake acara bilang kalau suka sama aku duluan”

“Engga, bukan itu yang mau aku bahas, but seriously, did you into me all these time? Ini tuh bikin aku heran apalagi kamu tiba-tiba ngejauh”

“Kan aku udah bilang kamu sih pake acara bilang kamu suka aku duluan, waktu itu aku masih kek unbelievable waktu kamu bilang itu sudden shocks

“Jahat banget ih digantung itu ga enak tau...”

“Maaf...”

Tepat ketika Suna melontarkan kata maaf lagu tersebut berakhir, dari sudut matanya Suna dapat menyadari bahwa Komori sendari tadi sedang menatapnya.

“Apa?”

“Hey? Jahat banget harusnya kamu nembak aku ada adegan romantis peluk kek atau apa malah dijutekkin”

Astaga Suna tidak habis pikir, di saat seperti ini Komori bisa-bisanya!

chu

Satu kecupan medarat bagai kilatan sengatan listrik, begitu cepat dan mengejutkan, membuat Komori melotot.

“Sekarang itu dulu, nanti peluk sama cium sisanya pas udah sampai rumah aku masih nyetir”

“Say so yang udah aku-kamuan”



“Komori Motoya”

“Ya?”

“Aku mau menyatakan bahwa aku telah jatuh hati pada sahabatku sendiri yang juga ternyata jatuh hati pada sahabatku lainnya bernama Suna Rintarou”

Tentu saja, raut keterkejutan terlihat jelas di wajah Komori, itu sebuah pernyataan yang sebenarnya. Bukan pertanyaan cinta yang menanyakan 'maukah kau menjadi kekasihku'. Komori tersenyum.

“Terima kasih Hirugami, tapi maukah kau menunggu sembari berusaha mengobati luka patah hatiku? Dan menggantikannya dengan yang baru?”

Pernyataan itu dibalas dengan pertanyaan, sebuah tawaran.

“Tentu saja”

Dan tentu saja Hirugami menyanggupinya.


Mereka berteduh, di salah satu kios bakso yang masih membuka terpalnya di tengah derasnya hujan, memesan dua gelas teh panas dan juga dua mangkuk bakso untuk menghangatkan diri mereka.

Dengan jaket Hirugami yang tersampir di tubuh Komori ia berharap bahwa itu bisa memberi sedikit rasa hangat pada lelaki itu. Hirugami tidak ingin Komori sakit, selain karena dia sudah berjanji dengan Sakusa, sepupu Komori dan juga mama Komori untuk menjaganya ia juga tidak sanggup melihat sang pujaan hati satit.

“Hirugami, aku ditolak”

“Kamu udah bilang tadi”

Komori terkekeh, menatap nanar segelas teh hangat di genggamannya.

“Kenapa sih kamu bisa suka sama Suna? Tau kan kalau kamu berkali-kali ngga dihirauin, sama dia juga belum bisa move on dari Kita-san”

Ya, Komori tau betul tentang itu dan jika ditanya kenapa Komori bisa sangat menyukai Suna, sebenarnya alasannya cukup sepele.

Kala itu adalah hari ke duapuluhtiga pada bulan ketiga tahun duaributujuhbelas. Ketika dirinya baru memasuki tahun pertama SMA.

Waktu itu, bisa dibilang hari sial dan juga beruntungnya, siap karena seseorang tidak sengaja menumpahkan kopinya pada seragam putihnya, menyisakan noda yang membuat 'salah paham' sehingga orang-orang melirik ke arahnya, membuatnya tidak nyaman.

Suna yang duduk tepat di sampingnya menyadari pandangan orang-orang itu pun menyampirkan jas sekolah mereka, menutupi bagian depan tubuh Komori tak lupa bangkit berdiri untuk menutupi Komori dari pandangan dan juga gunjingan orang-orang.

Perlakuan kecil yang sukses membuat Komori tersipu malu, ia menemukan dirinya telah jatuh hati seketika.

Untuk pertama kalinya dalam enam belas tahun masa hidupnya, Suna Rintarou adalah cinta pertamanya.


“Apa kamu menyesal?”

Pertanyaan Hirugami itu sontak melahirkan tanya, Komori menoleh untuk menatap sang sahabat.

“Suna menolakmu, uh dengan cara yang cukup tidak etis?”

“Hmm? Tidak juga, aku pernah membaca sebuah buku ketika kamu jatuh cinta maka kamu juga harus siap dengan semua risiko dan konsekuensinya, salah satunya patah hati”

Ia menghela nafas sejenak sebelum melanjutkannya.

“Aku tidak menyesal, lagipula aku ditolak juga karena berharap padahal Suna tidak pernah memberikan harapan, apa pula yang harus disesalkan jatuh cinta?”

“Tidak ada”

Iya, tidak ada.

Jatuh cinta itu bisa ada baik dengan ataupun tanpa alasan, bisa karena hal besar atau kecil sekalipun.

Orang-orang seharusnya tidak perlu marah-marah ataupun mencak-mecak karena ditolak cintanya jika sendari awal tidak diberi harapan, untuk apa berharap kalau seperti itu?

Sayangnya mereka semua hanya siap jatuh cinta, tidak siap untuk menghadapi konsekuensinya, sudah terlalu terlena dengan konsep merah muda jatuh hati.


“Na? Ngga ke taman?”

Lelaki itu menoleh ke arah Hirugami yang datang menghampirinya, dengan santai dirinya mencangklongkan tas ranselnya sebelum bersiap pulang.

“Engga, gue kudu nganterin Kita-san ke tempat les-lesan”

Astaga, Hirugami kesal setengah mampus, memang benar kata si kembar, cinta memang bisa bikin orang tolol tetapi dia tidak tau kalau cinta bisa bikin orang jadi brengsek.

Dan Suna telah menjadi orang tolol yang brengsek karena cinta.

Tentu saja secara tidak sengaja, karena yang dikatakan Suna di group chat kala itu benar juga, ia tidak menyuruh Komori untuk menyatakan perasaan atau bahkan menunggunya di taman.

“Kalau dia pinter sih harusnya ngerti kalo gue ngga dateng-dateng berarti dia gue tolak”

Hirugami, sabar, yang waras ngalah.

“Na, tau ngga sih, lo emang sahabat gue tapi saat ini gue bener-bener pengen nonjok mulut lo”

Hirugani dengan kasar mengambil tasnya, meninggalkan Suna terlebih dahulu. Namun, melainkan melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah ia memilih memutar, menuju taman sekolah untuk menemui Komori.


Sendari tadi Hirugami tidak bisa tenang, sudah satu jam ia menunggu cukup jauh sehingga Komori tidak menyadari keberadaannya, awan mendung juga terlihat mulai menutupi sang cakrawala, ia mendecih habis ini hujan, mau sampai kapan Komori menunggu? Harusnya ia cukup cerdas mengetahui bahwa Suna telah menolaknya, secara tidak langsung.

Rintik hujan satu persatu jatuh membasahi bunyi, dari yang hanya satu dua menjadi tak terhitung jumlahnya, gerimis pun perlahan turun dan menjadi deras, Komori masih senantiasa menunggu.

Sore ini, ketika senja yang membentang perlahan berganti menjadi petang, semesta sedang bersedih, menambah suasana sendu kedua orang tolol yang sedang jatuh hati.

Hirugami dan Komori yang malang, mereka telah dipermainkan oleh sesuatu yang bernama perasaan.

Hirugami melesak, menembus rintik hujan yang semakin deras menerikkan nama sang pujaan hati yang raut wajahnya sudah tidak karuan, terima kasih kepada sang semesta karena sukses menyamarkan jejak-jejak air mata di kedua sisi wajahnya.

“Komori Motoya, ayo pulang”

Sang pemilik nama itu menganggukkan kepalanya lesu, dengan seutas senyum yang telah kehilangan pendarnya ia menjawab.

“Hirugami, aku ditolak”

Komori tidaklah bodoh.


Lah Balikan?


“Ngapain lo ngeliatin gue segitunya?”

Pertanyaan sensi Kunimi itu tentu mengundang gelak tawa dari Kageyama, membuat Kunimi kesal, dia benci laki-laki di sebelahnya, dari dulu hingga sekarang ngga pernah berubah, selalu rese.

“Oh jadi ini alasan lo lama banget gue tungguin? Dandan? Mau keliatan cakep buat siapa?”

“Lo”

“Aduh aku terharu”

Dan Kunimi pun memberikan satu cubitan kecil pada bahu lelaki di sebelahnya, masih dengan tawanya Kageyama menginjak pedal gas mobilnya.

“Abisan kalo gue keliatan gembel atau gimana kan lo yang repot juga, masa lo nya udah cakep guenya gembel? Paling ngga, ngga jomplang”

“Oh gue ganteng berarti?”

“Ngomong sama kaca”

Dalam perjalanan menuju venue makan malam Adlers mobil mereka dipenuhi oleh gelak tawa Kageyama yang berulang kali menggoda Kunimi serta Kunimi yang berkali-kali menggerutu atau mendengus risih atas gombalan tidak bermutu Kageyama. Memang dari dulu hingga sekarang Kageyama sungguh payah di pick up lines. Tapi siapa sangka kan? Mereka dapat kembali berduaan dan berbagi canda tawa seperti saat ini seperti sedia kala.


“Loh Kageyama? Ini pacar kamu? Wah selamat ya”

Seketika semua mata teertuju pada Kageyama kala sang kapten, Hirugami Fukuro mengucapkan selamat kepada dua insan manusia tersebut dengan reaksi yang berbeda satu sama lain. Kunimi ingin mengatakan tidak tetapi dia pasti tidak akan terlalu dihiraukan mengingat statusnya sebagai outsider sedangkan Kageyama tengah senyam-senyum jigong najis ga jelas dan mengaminkan dalam hati.

“LOH KUNIMI? BALIKAN SAMA BAKAGEYAMA? KOK MAU?”

“AKU MENANG SHO! MEREKA BAKALAN BALIKAN ASIK BERARTI DARE-KU YA!”

“Kalian jadiin hubungan orang jadi taruhan?”

“Saya turut senang Kageyama, akhirnya kamu bisa rujuk dengan mantan kamu”

“Selamat”

Mendapat banyak todongan serta ucapan selamat silih berganti, bukannya menjawab “Bukan” sebagai kejelasan hubungan Kunimi dan dirinya, Kageyama justru menjawab “Belum” dengan senyum menyebalkan yang tercetak jelas di wajahnya. Untuk saat ini biarkan Kunimi pura-pura bodoh atau tidak melihat apa-apa karena ia tidak ingin menggantungkan harapannya.

“Mau kemana? Arah apartemenku kan harusnya belok kanan di perempatan tadi”

“Jalan-jalan dulu sebentar male mini gapapa kan? Cuma kita berdua”

Kunimi tidak menjawab, diamnya Kageyama artikan sebagai kata “Iya”, dalam kemudinya ia melajukan mobilnya membelah jalanan jantung kota Tokyo di tengah malam minggu penuh kerlip bias lampu dari gedung-gedung pencakar langit, jelas saja, ini Tokyo yang dibicarakan, kota yang tidak akan pernah ada matinya.


“Kenapa kamu jawab belum pas ditanya tadi?”

“Lah kan emang kita belum balikan atau pacaran? Kalo gue jawab iya yang ada digampar”

“OW! SAKIT! KAN DIGAMPAR!”

“Abisan dari dulu sampe sekarang masih sama-sama ngeselin, rese banget jadi manusia”

Kageyama melengos mengelus lengan atasnya yang masih terasa nyeri bekas pukulan Kunimi tersebut, tidak terlalu kuat tapi seakan seluruh energi dan kekesalannya terkumpul dalam satu titik sehingga menghasilkan nyeri yang teramat sangat,

“Nanti kalo gue memar giman?”

“Gausa lenjeh lo punya asuransi”

“Ya tapi kalo ditanya masa gue jawab gegara abis ditabok calon pacar?”

“Gue bukan calon pacar lo”

“Berarti pacar?”

Kunimi menoleh ke arah Kageyama sementara lelaki itu di kursi kemudinya perlahan mulai memelankan laju mobilnya sebelum memarkirkannya pada salah satu trotoar dekat taman kota sebelum menatap balik ke arah Kunimi, beradu tatap untuk sepersekian sekon sebelum terdengar helaan nafas pelan dari Kunimi.

“Belum balikan”

“Yaudah ayo balikan”

“Sumpah lo jelek banget ngajak balikannya”

“Iya ta iya?”

“Ga ada opsi engga kan?”

“Bener, dan gue juga ngga nerima opsi engga itu sendiri sih”

Dan sembari melajukan kembali kemudinya Kageyama dapat melihat seulas senyum tipis yang terukir di wajah Kunimi.


Beneran Makan Bareng


Denting lonceng berdentang kala pintu terbuka, hal pertama yang menyapa pendengarannya adalah alunan melodi petikan dawai gitar akustik serta suara syahdu sang vokalis. Café yang dipilih Kunimi ini memang terkenal dengan suasana naturalis dengan live music sessions tentunya, tipikal selera para insan muda dan juga mahasiswa metropolitan tentunya.

Pandangnya menyusuri area outdoor sebelum beralih ke indoor mendapati Kunimi yang sedang terduduk santai seorang diri di sana dengan segelas kopi sembari memainkan ponselnya, dengan segera Kageyama datang menghampiri.

“Hei, sori baru dateng, lo udah dari tadi?”

“Gak juga, mau langsung pesen makan aja?”

“Langsung aja gapapa”

Kunimi mengangguk paham sebelum bangkit dari duduknya sambil membawa dompet miliknya, mala mini sudah diniatkan untuk mentraktir Kageyama itung-itung membalas utang budi lelaki itu yang mengurusnya ketika sakit.


“Makanya sebelum nraktir itu dicek duit lo tinggal berapa gausah sok ngide malah jadinya duitnya kurang yang malu kan elo akhirnya”

“Diem, gue juga mana tau duit gue kurang soalnya biasanya segitu cukup!”

“Anak manajemen masa ga bisa manage duit”

“Gausa bawa-bawa jurusan!”

Kageyama terbahak, membuat wajah Kunimi bersemu memerah layaknya kepiting rebus karena malu, sialan!

Maksud hati mentraktir Kageyama karena hutang budi tapi justru duitnya kurang dan dia lupa bawa kartu debitnya, berakhir dengan Kageyama yang membayar semua makanan mereka, malunya kuadrat! Beranak pinak! Ini lah bunda yang dimaksud dengan sudah jatuh tertimpa tangga plus durian runtuhnya.

“Tapi asli, lo gausa sok-sokan ntraktir gue-“

“Guenya yang gaenak”

“Gue belum selese ngomong gausah dipotong”

“Ya maap”

Kageyama menghela nafas, memilih untuk mengalihkan pandangannya pada live performance musik saat ini.


“Lo gausa ntraktir gue buat bales budi, lo ngajak gue buat makan bareng lo atau bahkan kita chatting-an normal kayak dulu gue aja udah seneng”


Tilik


Kunimi bangkit dari tidurnya, berusaha untuk tidak menghiraukan nyeri dan pening yang rasanya seperti godam menghantam kepalanya, klenger, dari yang semulanya tiduran seketika harus bangkit berdiri membuatnya oleng seketika.

Dia benci darah rendah Susah payah mencapai gagang pintu dan membukanya, meskipun begitu pandangannya yang kabur dapat menangkap jelas sosok jangkung berambut hitam di baliknya yang membuatnya seketika terkejut. Ngapain, Kageyama Tobio, 20 tahun, professional atlet repot-repot datang ke kos kecilnya?

“Gue denger lo sakit dari Kindaichi, gue bawain makan sama obat soalnya kalo lo ngga ada yang njaga lo bakalan lupa minum obat”

Ingatkan Kunimi untuk menjewer Kindaichi yang super ember itu.

“Gapapa gue udah baikan lo bisa pulang”

“Dih? Pucet gitu baikan”

Mereka beradu tatap untuk sepersekian sekon sebelum akhirnya Kunimi mendengus nafas pelan, mengaku kalah atas itikad baik Kageyama dan mengijinkannya masuk. Entahlah beneran baik atau hanya siasat dan akal bulus lainnya untuk membuat mereka rujuk tetapi di kondisi Kunimi sekarang akan sangat percuma untuk mengusir sang atlet.

“Gue beliin lo sup ayam, terus ini juga ada obat, susu beruang, sama pisang—-lo pasti belum makan siang kan? Ada dua sih jadi bisa sekalian buat makan malam nanti, tapi kalo lo males ini udah gue beliin oatmeal, sengaja ngga gue beliin roti soalnya seratnya gede takut bikin asam lambung lo makin naik”

“Tumben lo pinter beginian, dulu kan IPA remed”

“Gue atlet bego makanya ngerti beginian. Gausa lah sok pinter di teori tapi praktek makanan sehat bernutrisi gini aja lo ga bisa”

“Bawel banget si”

“Tanda sayang”

Kunimi memutar bola matanya malas, iya deh iya terserah mas mantan. Hari itu hampir selama seharian ia ditemani dengan Kageyama walau lebih banyak diem-dieman sih. Meskipun begitu Kunimi cukup senang dan bersyukur karena Kageyama datang berkunjung, cuma ya harus jual mahal, malu sama harga diri dan gengsi selangit.


Yang Penting Usaha


Sedari tadi, bukannya fokus dengan tumpukan jurnal dan essai di depan mata, angan Kunimi terlalu sibuk berjalan-jalan dan mengawang jauh sekali hingga lupa daratan. Memikirkan sang mantan, bukan, bukan karena ia merindukannya namun ini lebih ke tindakan bodoh dan absurd apa yang akan dilakukan Kageyama terkait gossip simpang siur dari Kindaichi. Kindaichi yang berulah dia yang repot, memang benar-benar sahabat sejati.

Masalahnya Kageyama itu terlalu bodoh, maaf saja, dan seringkali bertindak impulsif, yah semoga saja pikirannya tidak menjadi kenyataan, semoga saja Kageyama tidak melakukan kebodohan dengan tiba-tiba muncul di kampus atau bahkan perpustakaan kampusnya untuk membicarakan hal ini.

Namun sayang seribu sayang, hidup berjalan seperti komedi putar, dewi fortuna sepertinya suka sekali melihatnya sengsara, alih-alih mengabulkan doanya ia justru dihadapkan dengan momok yang paling ia wanti-wanti untuk hindari. Seketika kepalanya pening, hanya dengan melihatnya ditambah lagi dengan sang tersangka itu sedang berdebat sengit dengan ibu-ibu perpus yang terkenal super galak. Ya Tuhan, tabahkanlah Kunimi sekali lagi.

Sepertinya Kunimi harus pasang badan.

“Maaf bu atas keributannya, dia teman saya”

“Oh teman kamu? Tolong ya bilangin ke teman kamu ini, mau atlet voli professional, senam lantai atau bahkan kayang saya tidak peduli, apalagi sampai menimbulkan keributan di perpustakaan kalo ngga punya KTM ya ngga bisa masuk!”

“Baik bu saya mengerti”


“Lo ngapain sih pake sok ngide segala dateng ke kampus gue?’

Nada suaranya terdengar sinis, karena jujur saja dia begitu kesal dan juga jengah dengan sosok yang sekarang entah bagaimana menemaninya minum sekaleng soda di pinggir tempat dudukan koridor kampusnya.

“Mau nanya lo punya pacar apa engga soalnya waktu di chat lo ngga bales” Kunimi mendengus malas, kan, bego.

“Lo dapet gossip begituan dari siape?”

“Kindaichi”

“Dan lo percaya Kindaichi? Musyrik Kags kalo percaya dia”

“Jadi lo ngga punya pacar?”

Kunimi mendengus untuk yang kesekian kalinya.

“Gue deket emang sama kating, namanya Akaashi Keiji, satu prodi juga sama gue tapi dia udah punya pacar kok anak olahraga”

Jelasnya tanpa diminta karena dia tahu jika dia menjelaskan secara singkat Kageyama akan mendesaknya jadi daripada dia mendengus (lagi) serta membuang tenaga lebih mendengar desakan Kageyama nantinya tidak ada salahnya untuk memberi sebuah too much information kepada sang mantan yang keras kepala.

“Berarti lo ngga ada alasan buat nolak makan siang bareng gue kan? Mau?”

Pada akhirnya Kunimi kembali mendengus kesal.


Siang itu mereka makan siang (dengan catatan Kunimi yang sedikit terpaksa menerima ajakan makan siang tersebut) di salah satu rumah makan dekat kampusnya, hanya sebatas semangkuk ramen untuk Kageyama dan juga seporsi daging teriyaki untuk Kunimi (menu favoritnya yang bahkan dipesankan Kageyama tanpa perlu bertanya).

Makan siang mereka kala itu hanya sebatas ditemani obrolan template seperti bagaimana kuliah Kunimi dan juga jawaban kopipaste “Biasalah” karena memang Kunimi terlanjur sebal dan juga kesal.