komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo


Jadi Gini Ceritanya


Jadi gini, sekadar klarifikasi agar tidak terjadi berita yang simpang siur, biasalah yang Kunimi maksud di sini adalah alasan putusnya dengan Kageyama Tobio—-duapuluhtahun, professional atlet muda yang bermain di timnas Jepang—-adalah hanya karena sepatah dua patah alasan klise yang bahkan engga banget bagi mereka yang telah memasuki usia kepala dua ini. Ya, kesibukkan dan juga kurangnya komunikasi.

Cih, mengingatnya saja sudah membuat Kunimi kesal, dasar cowo sagitarius, Sukanya cari-cari alasan! Bilang saja kalau bosan! Pakai alasan sok-sokan sibuk mengejar karir sebagai atlet voli yang padahal mereka berdua sudah berkomitmen sejak awal, padahal kalau dibandingkan dirinya—-oke, cut sampai sini karena Kunimi benci membanding-bandingkan nasib. Ya sudahlah waktu itu Kunimi juga sudah terlalu capek berdebat, ia sudah terlalu lelah dengan teman kosnya yang rese dan selalu mendengarkan musik rock dengan volume sangat keras hingga terdengar sampai kamarnya, tagihan listrik serta air yang habisnya sampai membuat Kunimi bahkan tidak sanggup berkata-kata lagi. Belum lagi kehidupan kampusnya yang sempat kacau balau karena dosen dan juga kakak tingkat rese.

Iya, dia tidak mau berdebat lagi dengan Kageyama yang sudah dapat dipastikan akan menambah kekesalan atas keresekan untuk memintanya putus, ya sudah, untuk apa uring-uringan lagi. Nasi telah menjadi bubur, kalau kata mbak Raisa sih:

Mau dikatakan apalagi, kita tak akan pernah satu lagi

Jadi ya gitu deh, akhirnya mereka putus.

Kalau ditanya kesel apa engga? YA JELAS LAH KESEL YA KALI ENGGA? MIKIR ATUH MIKIR. Maaf gengs emosi tapi yang bikin Kunimi lebih kesel di sini adalah yang minta putus siapa yang galau malah siapa, cuih, rasain sekarang lo nyeselkan?


Orang berkata, jatuh cinta itu sulit jika kau tidak siap untuk patah hati. Akan tetapi pada nyatanya, bagi Rintarou mencintai Komori Motoya begitu mudah dan sederhana.


Mencintai Komori Motoya itu mudah

Rintarou tidak memerlukan makan malam mewah yang menyawa sebuah hotel atau dengan pendar kerlip lampu kota Tokyo sebagai pemanis.

Cukup dengan mereka makan malam bersama di apartemen Rintarou.

Cukup dengan Rintarou yang selalu menyisihkan dan memakan daging ayam ataupun unggas lainnya yang tidak sengaja Motoya pesan karena lelaki itu alergi unggas dan tepung sejak bayi.

Cukup dengan Rintarou yang menghafal betul menu favorit Motoya secara lengkap tanpa terkecuali. Seporsi uramaki sushi dengan isian ikan salmon setengah matang, tidak terlalu mentah ataupun matang, dengan paduan dua setengah sendok teh kecap asin dicampur dengan satu sendok teh kecap manis.

Cukup dengan melihat senyum cerah milik sang terkasih kala Rintarou pulang dengan membawa sekresek penuh Onigiri Miya dan Motoya akan menghambur memeluknya, menghujaminya dengan beragam ciuman di pipi.

Cukup dengan Rintarou yang tidak pernah mengeluh ataupun menunjukkan ekspresi tidak suka tiap kali Motoya mencoba memasak dan hasilnya jauh dari ekspetasi. Rintarou yang tetap akan memakannya tanpa menghakiminya.


Mencintai Komori Motoya itu mudah

Tiap kali sang mentari dirundung pilu, awan sendu senantiasa mampir menyembunyikan senyumnya, menghilangkan hangatnya hidup sang terkasih. Komori Motoya dilanda gundah, cintanya sedang bersedih.

Dan Rintarou tahu betul, kekasihnya itu tidak perlu saran yang sok menghakimi, petuah yang seakan membandingkan nasih.

Sang kekasih hanya perlu hangatnya peluk di tengah pedihnya pelik.

Ia merentangkan tangannya, menjadi rumah untuk Motoya pulang. Merengkuhnya, hingga bermenit-menit lamanya, terkadang sampai Motoya tertidur setelah puas menangis dalam rengkuh hangat Rintarou.

Rintaraou tidak akan berucap banyak, ia tahu bahwa Motoya tidak perlu kata, hanya presensi yang mampu menguatkannya.


Mencintai Komori Motoya itu mudah

Motoya tidak membutuhkan kemewahan dan gemerlap indahnya kilau emas, untuk apa lagipula? Dia bisa mendapatkan itu dengan mudahnya?

Kemewahan itu relatif, dan bagi Motoya cukup sederhana, Rintarou tau itu.

Cukup dengan Rintarou yang hadir menemaninya, di apartemen mereka di kala hari libur, hanya bermalas-malasan, mendapat kemerdekaan mereka, bebas memakan junk food dan mengesampingkan fakta bahwa mereka adalah atlet nasional.

Melihat Motoya yang memakan pizza ataupun burger dengan begitu lahapnya.

Pipi gembul dengan noda saus tomat yang tak sengaja tertinggal di sudut bibirnya.

Mencintai Komori Motoya itu mudah dan juga sederhana.


Jika dijabarkan dengan lengkap, tidak akan cukup menggambarkan betapa mudahnya mencintai Komori Motoya bagi Suna Rintarou.

Kasihnya seluas semesta, jangkauan yang relatif namun juga tak terhingga.

Namun melakukkannya begitu mudah, seperti halmya dengan hembusan nafas setiap detiknya.

Mencintai Komori Motoya itu mudah

akhir berbahagia


“Lenna! Hati-hati sayang! Nanti kamu jatuh!”

Sang ayah mengingatkan sementara gadis cantik itu memilih untuk tidak acuh, berlari riang menghambur ke tengah padang bunga dengan tawa yang mengudara dengan burung-burung berkicau berbahagia menyambut kehadirannya, sementara kupu-kupu berhambur menyingkir, menghindar karena tahu bahwa keindahan mereka telah kalah saing. Semesta sedang tersenyum berbahagia di atas sana turut bersuka cita atas pesta pora manusia-manusia yang sedang berhura, akhir pekan kembali tiba!

“Biarkan saja, dia kelewat senang”

“Kau benar, tapi aku takut ia mencelakakan dirinya sendiri”

Lev melirik, memperhatikan lelaki mungil yang sekarang tengah berdiri tepat di sebelahnya, tampak khawatir atas tingkah sang puteri namun juga kelewat lelah jika harus berlari mengejarnya. Ingatkan Yaku atas usianya yang sudah tidak terlalu muda.

Seulas senyum mengembang seiring dengan dengan Yaku yang mendumel kesal di sebelahnya, menggemaskan. Biarlah itu menjadi gumamnya seorang diri atau Yaku akan menjadi uring-uringan mengatakan bahwa ia tidaklah menggemaskan!

Maka nikmat Tuhan manakah yang kau dusta kan?

Tidak ada.

Lev begitu bersyukur atas kebaikan yang diberikan oleh semesta kepadanya, terkadang merasa tak pantas mendapatkannya mengingat kesalahan yang ia lakukan dahulu. Namun Yaku selalu ada dan menenangkannya.

Setiap manusia tentu melakukan kesalahan, aku, kamu, bahkan kita di masa lampau.

Hidup terlalu berharga jikalau kau hanya terlalu fokus pada hal yang jelas takkan pernah bisa kau rubah sampai kapanpun.

Kau tahu betul anganmu akan masa lalu tak akan terkabul dan merubah apapun.

Semesta akan mengutukmu jika kau terus merutuki hidupmu yang lalu.

Kau hidup bukan untuk dirimu di masa lampau, tetapi untuk dirimu sekarang, untuk aku, untuk Lenna, dan juga kita.

Sinar harapan itu bisa saja hilang, hidupnya bisa saja dilanda pilu. Tetapi harus diingat bahwa ia tidaklah sendiri, disaat semua harap itu sirna digantikan ratap Lenna hadir layaknya setitik cahaya dalam gelapnya sendu. Ada kebahagiaan yang harus diperjuangkan, ada setitik cahaya yang harus ia jaga. Puteri kecilnya.

Kehadiran Yaku, sosok yang berhubungan erat dengan masa lampaunya bukan sebagai trauma atau ketakutan yang selalu membayangi. Yaku adalah bagian dari dirinya yang hilang, melengkapkan puzzle kehidupannya yang rumpang, menyempurnakan dirinya. Hadirnya Yaku menghapuskan kekhawatiran sang ratu yang telah pergi menemui penguasa semesta di atas sana. Tersenyum simpul melihat raja dan puterinya masih berdiri teguh mempertahankan kerajaan mereka bersama-sama.

Masa lalu itu memang nyata adanya namun salah bila membiarkan diri terus larut pada ketakutan yang bahkan tidak akan memberikan apa-apa. Sekarang Lev yakin, dan ia siap untuk menyongsong hari esok dengan senyum.

Karena ia tahu, ia tidaklah seorang diri.

vice versa


“Yaku-san!”

Yang dipanggil namanya menoleh, terkejut kala sang gadis kecil itu seketika menghambur ke dalam pelukkannya, semesta sang puteri tengah berbahagia hari ini, menyisakan tanya besar dalam kepala sang pengasuh. Ada apa gerangan yang membuat sang puteri begitu berbahagia hari ini? Aneh, tidak seperti biasanya.

“Lenna kelihatannya senang sekali hari ini, ada apa?’

“Lenna senang karena habis ini Lenna tidak perlu menunggu akhir pekan ataupun datang kemari untuk menghabiskan waktu bersama Yaku-san!”

“Huh?”

Gadis kecil itu menoleh, wajahnya semakin berseri mendapati ayahnya yang baru saja masuk, sedikit terburu seolah Yaku bisa saja pergi barang sedetik pun ia terlambat.

“Ada apa ini? Apa kalian merahasiakan sesuatu dariku? Kalian berdua mencurigakan”

Sang puteri kecil itu terkekeh kecil membuat keingintahuan Yaku semakin besar, sementara Lev terlihat gugup sembari mengusap tengkuk belakangnya yang tak gatal, ia salah tingkah.

“Apa tawaranmu yang waktu itu masih berlaku Yaku-san?”

Alisnya berkerut, bingung dengan maksud ucapan Lev barusan. Memakan waktu beberapa detik sebelum kemudian kedua netra kecokelatan tersebut membulat akan keterkejutan, tak percaya dengan ‘tawaran’ Lev barusan.

Lev, rasa itu kembali hadir, aku ingin mengajakmu kembali. Kita seperti sedia kala.


“Iya Yaku-san, aku juga ingin kita kembali seperti sedia kala. Maaf jika aku memberikan jarak dan memakan waktu yang cukup lama. Karena ini bukan tentang aku dan kamu saja. Ini tentang kita, aku, kamu dan juga Lenna”

jembatan dari segala tanya


Burung-burung saling bercakap, kicaunya mengudara menyapa pagi sang semesta, penguasa jagat pun seraya tersenyum turut berbahagia. Sang gadis berlari dengan riang menghamburkan diri kepada sang semesta.

Sang ayah hanya terkekeh melihat kelakuan sang puteri, terlalu girang karena ajakan ‘kencan’. Rehat adalah pilihan terbaik untuk berakhir pekan.

“Lenna mau es krim?”

“Tentu! Yang rasa stroberi satu ya Pa!”

“Siap yang mulia”

Mereka berteduh, mengistirahatkan letih di bangku taman sembari menunggu sang ayah, matanya asik menyisir sekeliling. Banyak anak-anak tertawa riang, bermain kejar-kejaran satu sama lain, kupu-kupu pun turut bergabung dengan mereka, menari-nari di tengah padang ilalang.

“Ini dia, satu cone es krim sesuai pesanan yang mulia”

“Papa ih malu”

“Aduh papa sakit hati lo”

Mereka terbahak, tawa mereka mengudara begitu ringannya, melepaskan segala beban yan terpendam. Lev tersenyum simpul kala melihat Lenna yang tertawa begitu lepas membuatnya tanpa sadar mengukir seutas senyum kecil, kurva melengkung yang akhir-akhir ini tanpa terasa sulit sekali dilakukan. Ah ingin sekali, ia dan Lenna terus seperti ini, berbahagia dan memiliki satu sama lain.

“Papa, menurut papa Yaku-san itu seperti apa orangnya?”

“Kenapa Lenna tiba-tiba bertanya seperti itu?”

Sang gadis mungil itu mengedikkan bahunya, seolah pertanyaan tersebut hanyalah pertanyaan sederhana seperti ‘sudah makan atau belum’. Yah, pada dasarnya memang pertanyaan tersebut begitu sederhana dan mudah untuk dijawab namun dilema dalam diri Lev tak urung menyulitkannya untuk menjelaskan yang sebenarnya kepada sang buah hati.

“Tidak apa, papa terlihat sangat nyaman dan senang tiap kali ada Yaku-san! Tapi memang sih Yaku-san itu baik banget! Bikin siapa saja suka sama dia hehehe”

Lev melupakan satu hal penting, seberapa kuat ia menyangkal seberapa besar ia bersikap egois dengan membohongi diri nan perasaannya ia melupakan fakta bahwa anak kecil adalah makhluk paling peka dan mengerti persoalan rumit yang dinamakan perasaan.

Orang dewasa terlalu banyak berpikir sehingga mereka tidak dapat mengerti, sementara mereka, para anak kecil dengan pola pikir yang cukup sederhana jauh lebih paham. Karena bagi mereka tau saja sudah cukup untuk memahami, menyadarinya dan menjawab semua tanda tanya yang menggantung dalam pikir.

“Aku ngga masalah kok kalau papa sama Yaku-san! Yaku-san orangnya baik, Lenna suka!”

“Lenna tau pasti papa capek banget harus ngurusin Lenna sama kerja sampai larut, asalkan papa bahagia dan dia orang yang sayang sama papa dan Lenna, Lenna ngga masalah kok!”

Tangannya terulur merengkuh sang buah hati dalam dekap. Mereka menghambur, melebur jadi satu dalam hangatnya kasih. Lenna adalah sebuah anugerah terindah yang Lev miliki.

sang puteri


Sang puteri terlelap di tengah keheningan malam, paras ayunya begitu damai dalam tenang membuat sang ayah tergerak tuk mengelus lembut mahkota kebanggaan sang puteri dengan penuh kasih, begitu perlahan, memastikan tak mengganggu tidur lelap malaikat kecilnya.

Matanya menyisir tiap sudut kamar yang tak terlalu luas itu sebelum kemudian atensinya terhenti pada bingkai foto yang terletak tak jauh dari nakas tempat itu, sembari tangan kanannya masih sibuk mengelus surai lembut sang puteri ia arahkan lengan satunya ‘tuk mengambil bingkai foto tersebut. Sebuah foto keluarga.

Dirinya tersenyum, senyum yang mengisyaratkan rasa pilu teramat sangat di dalamnya.

Dulu mereka keluarga kecil yang bahagia

Ia larut dalam pikirnya sendiri, andai saja malam itu ia tidak membiarkan sang istri mungkin mereka masih bisa berkumpul, bersenda gurau, berbagi pelukan penuh kehangatan satu sama lain tanpa perlu merasakan pilu dalam diri.

Orang bilang menyesali takdir tidaklah baik, itu sama halnya dengan kau melangkahi ketentuan sang Penguasa semesta akan tetapi tidak ada salahnya kan berangan? Meskipun Lev tau angan itu tidak akan pernah bisa menjadi nyata.

Lamunnya membawa dirinya berkelana, menyusuri kilas balik lika-liku kehidupan selama ini, sesal yang tidak pernah bisa hilang. Ia menghela nafas berat. Ia tidak mau ingkar, menyangkal perasaan yang memang nyata adanya. Rasa yang perlahan tumbuh dalam relung diri, memberikan setitik nyaman dalam sanubari.

Ia memandang sang buah hati, sinar harapan dalam sendunya pilu kehidupan. Berujar maaf ia sampaikan dalam keheningan malam kepada sang puteri. Tidak bisa terus seperti ini, gadis itu patut mendamba kasih sayang kedua orang tua, hak yang seharusnya ia dapat.

Namun kelimut takut dan juga trauma itu kembali menyelimutinya, ragu kembali menghadang. Apakah benar ini yang terbaik bagi sang buah hati? Atau justru ia hanya memaksaan egonya kembali? Karena sungguh ia tidak ingin sang puteri dirundung pilu akibat keegoisan sang ayah, ia masih terlalu muda untuk merasakan sakit.

asa dalam rasa


Ijinkanlah mereka bersua, bertemu tatap dan saling berbicara, perkara hati ke hati.

“Lev, rasa itu kembali hadir, aku ingin mengajakmu kembali. Kita seperti sedia kala”

Lelaki jangkung itu tak bergeming. Ia tak memberi jawab, hanya meninggalkannya seorang diri dengan sang hening, menyisakan tanda tanya dalam diri. Meskipun begitu ia tidak marah ataupun kecewa. Semua sangka dan duganya telah menjadi nyata, menyisakan dirinya dengan senyum penuh kelegaan. Paling tidak ia tidak memilih untuk bungkam.

Ya, rasa itu nyata adanya, telah disuarakan dan dibiarkannya bersua menemui sang jagat agar semesta mampu mendengarnya.

Sulit rasanya untuk bersikap seperti sedia kala. Lenna dan Yaku bisa saja bersenda gurau seperti semula, sang pengasuh selalu sukses mengukir kurva pada paras ayu sang puteri, memberikan aman dan juga tentram di setiap hadir. Namun tidak dengan Lev yang perlahan menciptakan jarak untuk satu sama lain, antara dirinya dan juga Yaku.

Ia bisa saja menolaknya lalu selesai perkara namun perasaan bergemuruh tak karuan itu membuatnya linglung, untuk pertama kalinya Lev dilanda dilema. Takut itu kembali berkecamuk, menghantui sosoknya ketika seorang diri. Teriakan yang menggema seolah menudingnya ‘Semua itu salahmu

Ya, Lev hanya belum siap

Biarkanlah ia dan Yaku sedikit berjarak untuk saat ini, memberi jeda pada satu sama lain karena dia sendiri belum bisa memberi pasti ketika pikirnya dipenuhi tanya. Mungkin dengan ini ia dapat menemukan jawab dari sang tanya dalam diri.

membuncah


Ia tidak tahu pastinya kapan, yang jelas rasa itu nyata adanya. Rasa itu layaknya roll film yang memutar kilas balik masa putih abu-abu yang penuh nuansa merah jambu, di mana hanya ada dirinya dan Lev yang memadu kasih antar satu sama lain. Memaksanya untuk bernostalgia.

Bodoh, sangkalnya dengan tawa remeh yang menguar dengan sendirinya, mengudara dan menertawai lucunya rasa yang mungkin saja semu itu. Yaku, kau harusnya tahu diri, kau sudah terlalu tua untuk sebatas romansa menye-menye bernuansa merah jambu seperti itu. Menggelikan sekali.

Sekuat apapun ia menyangkalnya, tak dapat dipungkiri bahwa rasa itu terlalu besar wujudnya, menyisakan setitik asa dalam setiap rasa yang membuncah dan meletup-meletup dalam relung hati dirinya, haus akan pengakuan.

Sekali lagi, tutur dan cakapnya mungkin saja bisa ingkar namun lakunya tak dapat memungkiri, menghadirkan asa dalam asa meskipun ia tahu bahwa kepastian tidak akan datang menghampiri. Ia tidak ingin mematok ekspektasi tinggi yang justru akan menyisakan rala. Terdengar seperti pecundang memang namun itulah namanya realistis.

Yaku terlalu kalut dalam kemelut diri, mempertanyakan risalah hati namun justru ada seseorang yang diam-diam memperhati. Suga, sang sahabat namanya. Ia tahu bahwa sahabatnya itu sedang menaruh hati

rutinitas


Sejak saat itu, tahu-tahu mereka sudah berakhir seperti ini, menghabiskan waktu bersama, dirinya, Lev, dan juga Lenna, layaknya hal tersebut hanyalah rutinitas harian yang selalu mereka lakukan tiap pekannya.

Pagi menyingsing, sang bagaskara menyapa insan di bawah sana dari atas cakrawala. Semesta pun turut bersuka cita, ditemani dengan lantunan harmoni dari burung-burung gereja, berbahagialah manusia akhir pekan telah tiba.

Sang puteri tersenyum sumringah, membuat sang bagaskara di atas sana iri karenanya, sinarnya kalah cerah dari senyum sumringah sang puteri. Bahagia yang tak terelakkan, sudah lama sekali sejak terakhir Lev melihat sang puteri begitu berseri. Sejak kepergian sang isteri tercinta sendu seolah turut merenggut sinar satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya.

Ia mengalihkan pandang kepada sang pemilik netra semanis madu, tersenyum, berterima kasih dalam diam. Hadirnya Yaku bisa dibilang anugerah baginya bersamaan dengan kembalinya binar dalam mata sang puteri.

Semesta, maafkanlah Lev karena telah berburuk sangka atas skenario yang telah kau susun diam-diam. Semesta, maafkan Lev karena telah menyumpah serapahi guratan takdir rahasia sang Penguasa.

Lev menghela nafas pelan, tersenyum simpul bersamaan dengannya beban di bahunya seakan ikut terbang ke udara melambung tinggi, tubuhnya terasa ringan terawang-awang. Paling tidak sekarang ia dapat melihat kembali senyum mengembang sang puteri layaknya rutinitas sehari-hari yang telah lama ia rindukan.

tombol reset


Seutas kurva terbentuk dengan cantik pada wajahnya manakala memandang pemandangan yang begitu menghangatkan nurani. Tangan sang ayah terulur ‘tuk membelai lembut mahkota kebanggaan sang puteri, bangga atas puteri kecilnya yang manis, penuh cinta kasih, membuat siapa saja yang melihatnya turut merasakan keteduhannya.

“Yaku-san, maafkan aku, aku terlambat menjemput Lenna”

“Tidak apa, lagian Lenna anak yang baik, aku tidak masalah bahkan jika kau menitipkan Lenna padaku selama sebulan”

“Ah iya, kalau Yaku-san tidak keberatan maukah ikut makan malam bersama kami? Kami juga akan mengantarkanmu pulang. Hitung-hitung ucapan terima kasih karena mau direpotkan”

“Eh? Tidak usah, tidak perlu, lagipula aku tidak mempermasalahkannya”

“Tapi aku mempermasalahkannya Yaku-san”

“Sungguh tidak perlu untuk melakukan itu”

Yaku berteriak dalam hati, ingin rasanya ia melarikan diri saja, hatinya menjerit tidak enak pada Lev yang terus memaksanya padahal ia tidak begitu mempermasalahkannya.

Ditengokkan kepalanya kala ia merasakan tarikan kecil pada lengan kanannya, mendapati binar penuh harap dari sang puteri, ugh, ia benar-benar membenci ini. Bagaimana bisa ia menolak jika seperti ini? Hatinya terlalu lemah.

“Baiklah aku akan ikut”