Secercah Harap untuk Sang Ratap
Jika boleh dikata, jujur saja, Rintarou sendiri tidak tahu-menahu ataupun mengerti impuls otak mana yang membuatnya seketika tergerak mengikuti figur yang memilih untuk meninggalkan hiruk-pikuk selebrasi. Menyusul sang presensi yang bisa dibilang telah sukses mencuri atensi dirinya sejak seratustigapuluh hari lalu, terhitung tepat pada hari ke tigabelas dirinya bergabung.
Komori Motoya dan hadir dalam dirinya sukses membelokkan seluruh pusat atensi Suna Rintarou. Impulsif, bahkan dirinya sendiri tidak pernah membayangkannya.
Gelora dalam dirinya berkata, bahwa mengenal Komori Motoya menjadi salah satu dari tujuan yang tidak pernah ia rencanakan sebelumnya dalam daftar hidup Suna Rintarou.
Semesta punya cara tersendiri dalam merajut ceritera setiap insan dan kalbu dari sang pemeran utama. Begitu pula dengan awal kisah terangkai, hanya kisah, tidak perlu kasih, karena untuk memulainya terkadang hanya perlu setitik rasa penasaran.
Kala itu ia baru saja tiba dan uluran tangan putih berusaha menggapainya, mengajaknya berkenalan, bertukar nama dan saling bersua di relung kalbu masing-masing.
“Bukankah kita sudah saling mengenal sebelumnya?”
“Sudahlah tidak apa, siapa tahu, impersi kita terhadap satu sama lain berubah”
Tidak masuk akal, tetapi Rintarou tetap menerima ulurannya.
“Komori Motoya, senang bertemu denganmu”
“Kau di sini rupanya”
Seolah tak terusik, sosok tersebut bahkan tak bergeming sama sekali. Hanyut dalam ketenangan jiwa dan pikirnya sendiri dengan semesta yang senantiasa menemani.
Hening masih saja setia, bahkan mungkin Rintarou sendirilah yang menganggu momen intim antara sang penyendiri dengan heningnya.
“Duduklah, kau kesini bukan bermaksud untuk diam dan melihatku saja begitu kan? Yah, tetapi aku tidak memaksa”
“Ucapanmu terdengar seperti permintaan dibanding bujukan”
“Bukankah sama saja?”
Rintarou memilih diam dalam senyap, jawabannya cukup dengan ia ikut bersila, di sebelahnya.
“Aku selalu menyukai sepi”
“Aku terkejut akan mendengar hal itu dari seseorang yang bahkan begitu berisik”
Motoya tertawa, tawa puas nan renyah yang bisa dibilang baru pertama kali Rintarou dengar. Tanpa paksaan, tawa itu mengudara, melepaskan segala belenggu beban dalam dirinya.
“Rintarou, jika boleh jujur, aku dulu begitu membenci dirimu”
“Tiba-tiba sekali, tetapi terima kasih atas kejujurannya”
Ia lanjut bercerita, bahkan ketika Rintarou tidak memintanya. Meskipun begitu Rintarou pun mendengarkannya dengan seksama meskipun sang pencerita tidak memintanya.
“Aku suka sepi, aku suka tenang. Tetapi hadirmu layaknya riak dalam ketenangan sungai. Tetapi bukan berarti dirimu menganggu, hanya saja sang sungai belum siap”
“Meskipun begitu sungai tau, bahwa sang riak nyata adanya. Namun, sang sungai belum siap jika tatanan ketenangannya ricuh seketika hanya karena kehadiran setitik riak”
Mereka beradu tatap. Iris sedalam samudera itu menatap lurus kearah sang jenggala, begitu pula sebaliknya.
“Motoya, arti hidup itu apa?”
Senyap,
“Maaf, aku tidak bisa menjawab”
Karena baginya ia hidup layaknya roda yang terus berputar, poros yang tidak akan berhenti sampai ketika dirinya kehabisan sang oli. Ia hidup, hanya sebatas hidup dan melakukan yang seharusnya, fisiknya bisa saja sehat bugar namun atmanya telah lama mati.
Tinggal saja menunggu, kapan keropos itu menggerogotinya.
“Jika hidup adalah tentang kebahagiaan, apakah orang yang hidup hanya sebatas mereka masih diberi kesempatan 'bangun' tidaklah menghidupi kehidupan sebagaimana mestinya?”
“Motoya, apakah kau merasa cukup dengan kehidupanmu yang sekarang”
Ia menunduk, memilih untuk beradu tatap dengan rumput yang senantiasa berbisik menggelitik menggoda permukaan kulitnya, dibanding harus hilang tersesat dalam rimbun milik Rintarou
Riak itu kembali hadir, sosok Suna Rintarou memang begitu berbahaya bagi ketenangan jiwanya. Tak terduga, geloranya terlalu bergemuruh, mengubah tatanan kehidupan yang seharusnya sudah 'semesti'nya.
Tangis dalan hening itu seketika pecah, peluk Rintarou hadir 'tuk menenangkan pelik menahun milik Motoya yang sendari dulu tidak tahu kemana ia harus berlabuh untuk singgah dan beristirahat.
Keropos itu semakin menggerogotinya, menciptakan karat yang mematikan setiap sendi dan jeruji roda kehidupannya.
Untung saja, Rintarou adalah tempat pemberhentiannya.
Dibanding dengan kebahagiaan, Motoya jauh memilih tenang. Hidupnya sudah terlalu lama ricuh dan berisik oleh karenanya, ia selalu berusaha menciptakan tatanan kehidupannya, menuliskan daftar apa yang boleh dan tidak boleh, demi mencapai ketentraman sukma.
Ia membenci Rintarou, karena ia adalah riak kecil yang merusak tatanan ketenangan aliran arus sungainya. Meskipun begitu, Motoya sadar bahwa riak itu nyata adanya, ia tidak membohongi dirinya bahwa di setiap sungai selalu ada riak yang menemani.
Sebagaimana kehidupan berjalan dengan semestinya, menciptakan harmoni keseimbangannya.
Lonjakan itu perlu adanya sebelum mencapai keseimbangannya, titik ekuilibriumnya.
Sebagaimana kehadiran Rintarou di hidupnya.
“Motoya, ayo kita mencapai keseimbangan bersama, ayo kita membuat harmoni untuk satu sama lain”
“Kenapa kau tidak mengajakku untuk berbahagia?”
“Karena aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang bahkan belum bisa aku penuhi
Motoya, kau pantas bahagia, bukan karena atau untuk diriku. Berbahagia karena dan untuk dirimu sendiri“