komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

rutinitas


Sejak saat itu, tahu-tahu mereka sudah berakhir seperti ini, menghabiskan waktu bersama, dirinya, Lev, dan juga Lenna, layaknya hal tersebut hanyalah rutinitas harian yang selalu mereka lakukan tiap pekannya.

Pagi menyingsing, sang bagaskara menyapa insan di bawah sana dari atas cakrawala. Semesta pun turut bersuka cita, ditemani dengan lantunan harmoni dari burung-burung gereja, berbahagialah manusia akhir pekan telah tiba.

Sang puteri tersenyum sumringah, membuat sang bagaskara di atas sana iri karenanya, sinarnya kalah cerah dari senyum sumringah sang puteri. Bahagia yang tak terelakkan, sudah lama sekali sejak terakhir Lev melihat sang puteri begitu berseri. Sejak kepergian sang isteri tercinta sendu seolah turut merenggut sinar satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya.

Ia mengalihkan pandang kepada sang pemilik netra semanis madu, tersenyum, berterima kasih dalam diam. Hadirnya Yaku bisa dibilang anugerah baginya bersamaan dengan kembalinya binar dalam mata sang puteri.

Semesta, maafkanlah Lev karena telah berburuk sangka atas skenario yang telah kau susun diam-diam. Semesta, maafkan Lev karena telah menyumpah serapahi guratan takdir rahasia sang Penguasa.

Lev menghela nafas pelan, tersenyum simpul bersamaan dengannya beban di bahunya seakan ikut terbang ke udara melambung tinggi, tubuhnya terasa ringan terawang-awang. Paling tidak sekarang ia dapat melihat kembali senyum mengembang sang puteri layaknya rutinitas sehari-hari yang telah lama ia rindukan.

tombol reset


Seutas kurva terbentuk dengan cantik pada wajahnya manakala memandang pemandangan yang begitu menghangatkan nurani. Tangan sang ayah terulur ‘tuk membelai lembut mahkota kebanggaan sang puteri, bangga atas puteri kecilnya yang manis, penuh cinta kasih, membuat siapa saja yang melihatnya turut merasakan keteduhannya.

“Yaku-san, maafkan aku, aku terlambat menjemput Lenna”

“Tidak apa, lagian Lenna anak yang baik, aku tidak masalah bahkan jika kau menitipkan Lenna padaku selama sebulan”

“Ah iya, kalau Yaku-san tidak keberatan maukah ikut makan malam bersama kami? Kami juga akan mengantarkanmu pulang. Hitung-hitung ucapan terima kasih karena mau direpotkan”

“Eh? Tidak usah, tidak perlu, lagipula aku tidak mempermasalahkannya”

“Tapi aku mempermasalahkannya Yaku-san”

“Sungguh tidak perlu untuk melakukan itu”

Yaku berteriak dalam hati, ingin rasanya ia melarikan diri saja, hatinya menjerit tidak enak pada Lev yang terus memaksanya padahal ia tidak begitu mempermasalahkannya.

Ditengokkan kepalanya kala ia merasakan tarikan kecil pada lengan kanannya, mendapati binar penuh harap dari sang puteri, ugh, ia benar-benar membenci ini. Bagaimana bisa ia menolak jika seperti ini? Hatinya terlalu lemah.

“Baiklah aku akan ikut”

canggung


“Lenna anak yang baik, dia begitu penurut, manis…

…mirip sang ibu”


Keheningan masih setia menemani, seolah enggan menyingkir, membuat mereka satu sama lain larut dalam pikir.

Mungkin ‘canggung’ adalah kata yang cocok menggambarkan kondisi mereka saat ini. Kekalutan dan rasa takut yang telah lama tidak diacuhkan tanpa permisi hadir di permukaan.

Lidah terasa kelu, membiarkan diri larut dalam pikir, obrolan mereka tak lebih dari sekedar basa-basi kesibukan sehari-hari.

“Aku tidak tau kalau Yaku-san bekerja di sini”

“Ah, iya, aku sudah lama bekerja di sini. Kurang lebih tiga tahun, kau sendiri bagaimana? Karirmu terlihat lancar-lancar saja, kau semakin sering berseliweran baik menjadi model iklan, majalah, ataupun bermain drama dan film”

“Yaku-san bisa saja”

“Ngomong-ngomong bagaimana kabar istrimu?’

Entah mengapa Lev dapat merasakan udara menjadi sesak, nafasnya tercekat, kilas balik kenangan buruk pun kembali datang. Ia menghela nafas berat.

“Istriku, dia sudah lama meninggal akibat kecelakaan tunggal”

“Maafkan aku”

“Tidak apa, itu sudah lama berlalu”

Hening kembali menghampiri, baik di antara mereka tidak ada yang ingin memulai percakapan satu sama lain. Dari sudut matanya Yaku menelisik. Gurat wajahnya seketika sendu, garis wajahnya menyiratkan pilu.

“Papa aku sudah selesai”

Kedua adam itu menengok, sang ayahanda berusaha tersenyum, menutupi pilu agar sang puteri tidak ikut bermuram. Sebesar apapun sendu dan laranya, tak sepantasnya ia menunjukkannya pada sang puteri. Itulah tugas sang ayah.

“Yaku-san, kami pulang dulu”

Sang gadis cantik itu tersenyum, meciptakan kurva sipit layaknya lengkungan bulan sabit kala tersenyum membuat pemilik netra kecokelatan itu terlanjur gemas dan mengusak surai keabu-abuan itu.

“Sampai bertemu lagi Lenna, kalian hati-hati di jalan ya”

Ah iya, Lev teringat sesuatu, sebelum kelupaan.

“Yaku-san, bolehkah aku meminta nomormu? Agar mudah menghubunginya ketika aku hendak menjemput Lenna” “Tentu saja”

skenario semesta


Lembayung senja menggantung cantik menghias sang jagat cakerawala, aroma petrikor yang khas menyapa, memberi ketenangan pada sanubarinya, ditemani oleh kicau burung penuh sukacita. Hari berbahagia! Semesta tersenyum, salah satu insannya sedang bersuka cita di bawah sana.

Tercatat dalam kalender harian Lev, ini adalah hari perdana ia datang dan menjemput sang puteri, layaknya pangeran dengan kereta kencananya sedikit mendramatisir memang tapi biarlah. Intinya hari ini Lev berbahagia.

Bukan perihal asmara, di umur yang matang ini hal tersebut bagi Lev hanyalah persoalan menye-menye yang telah lalu. Beranjaknya usia, bertambah dewasanya umur seseorang, bagi mereka bahagia itu cukup sederhana.

Sesederhana dengan ia yang akhirnya mendapat senggang dan menyempatkan waktu untuk menjemput sang puteri. Ia tersenyum sumringah.

Angannya berkelana, apa yang bisa mereka lakukan untuk menghabiskan senggang yang panjang. Mungkin habis ini mereka bisa mampir sejenak, membeli boneka? Atau mungkin cake dan manisan lainnya?

“Lenna! Papa datang untuk menjemputmu!”

“Papa?!”

Ia dapat mendengar pekik girang dari sang puteri, membayangkan betapa sumringahnya sang peri kecil kala tau sang ayahanda menjemputnya.

“Lenna, hati-hati sayang nanti kamu jatuh!”

Gurat terkejut jelas tersirat, mereka berdua saling beradu tatap, bukan hanya Lev namun juga sosok lain dengan netra cokelat mengkilap.

Semesta memang lucu, skenario Tuhan memang tidak pernah bisa ditebak. Semesta memang lucu dan kadang bajingan, Lev hanya bisa bersumpah serapah. Ia kira hari ini semesta turut bersuka cita, berbahagia atas dirinya dan Lenna yang akhirnya dapat menghabiskan senggang bersama. Nyatanya, perasaan bahagia itu tidaklah abadi.

Bersamaan dengan sosok masa lalu yang hadir seketika memberhentikan roda rotasi kehidupannya, semua terasa sesak, waktu seakan terhenti, untuk sepersekian detik dua sosok yang saling kenal itu memilih untuk tak bersua, terlalu larut akan keterkejutan.

terima kasih teruntuk Leo


Pintu mobil ditutup, sang ayah memastikan agar sang puteri telah menggunakan sabuk pengamannya sebelum kemudian melajukan kemudi, Menyisir arteri jantung kehidupan sang negeri matahari terbit, Tokyo yang tidak pernah sepi. Bahkan kala petang semakin menyingsing dengan rembulan yang kembali.

Sang puteri tak henti-hentinya berkicau sepanjang jalan, perannya berganti menjadi sang pencerita. Pendongeng ulung tentang betapa bahagianya sukma dalam diri ketika ia dapat bersua dengan teman-teman, bertemu jumpa dengan orang-orang baik dan penuh kasih di luar sana. Layaknya kembali pulang dalam cengkrama keluarga jauh lama tak jumpa.

Tolong ingatkan Lev, ia harus benar-benar berterima kasih kepada Leo, selain mau harus direpotkan karena berbagi paras serupa. Leo bukan hanya sekadar saudara ataupun sebatas keluarga bagi Lev. Namun, ia juga lah sang sahabat, teman sejawat yang dapat benar-benar diandalkan, Benar, ia harus berterima kasih kepada Leo, sudah tak dapat terhitung berapa kali sering ia merepotkan sang kembaran.

Terima kasih kepada Leo, yang mau direpotkan kapanpun dirinya membutuhkan. Terima kasih kepada Leo, tanpanya mungkin ia akan selamanya kehilangan untaian utas kurva sempurna pada paras ayu sang puteri tercinta.

malam panjang


Selebrasi perayaan yang bisa dibilang sangat sederhana, untuk lelaki dewasa, mapan, dan berada di atas tenar. Hanya sebatas meniup lilin dan juga doa, menghabiskan satu dua potong roti karena mereka bukanlah pecinta manis seraya berbagi cerita satu sama lain.

Oh tidak, sebenarnya tidak sebatas itu, malam mereka masih cukup panjang jika hanya dihabiskan dengan bercerita.


Bukanlah hal yang mengherankan, jika sepasang kekasih, yang bisa dibilang saling bersua dan bercumbu. Berbagi kehangatan, gelora hasrat, dan juga kasih terhadap satu sama lain.

Awalnya hanya sebatas ciuman singkat, saling curi di bibir satu sama lain, entah siapa yang memilih untuk memperdalamnya, toh mereka juga menikmatinya.

Gairah hasrat tersebut jelas tentu tak terbentung, enam bulan lebih hampir tak berjumpa dan bertukar sapa, tentu mereka saling merindu.

Dari semua lagu, nada, dan suara, leguhan panjang sarat akan desah kenikmatan sang kekasih adalah harmoni musik favorit Suna, Komori adalah karya, dan ialah sang pencipta, menolehkan setiap goresan dalam inci tubuhnya. Suna benar-benar suka, ia dimabuk kepalang.

Komori Motoya, benar-benar indah

Dan di tengah pagutan ia akan selalu mengambil jeda, untuk berhenti, sekadar memandangi sang mahakarya di bawah sana. Rambut berantakan, mata sayu akan kilatan nafsu, gemerlap keringat membasahi tubuh di bawah bias teranam.

“Motoya, kamu indah”

Tetap saja, ia masih suka merona manakala sang kekasih memuji dan mengungkapkan kekagumannya akan sosoknya.

Karena bagi Komori, dibandingkan dirinya ia bukanlah apa-apa daripada pahatan sempurna dewa-dewa yunani yang menjelma menjadi sang sosok idola, Suna Rintarou.

“Kalau begitu kamu mempesona”

Sang idola kembali mencumbunya, memastikan ia telah mencium dan menciptakan 'karya' di setiap inci tubuh sang kanvas favoritnya.

Suna adalah musisi ingat? Tentu saja jemarinya dapat bermain dengan sangat handal, jemarinya terus bermain dalam lubang surgawi sang terkasih, menyesuaikan tempo, kadang cepat kadang lambat, jelas membuat Komori dimabuk kepayang.

Dan Suna sangat mengagumi wajah erotis sang kekasih kala ia tiba di pelepasannya. Tubuh yang melengkung hebat membentuk kurva sempurna, bahkan di saat para pendosa ini melakukan dosa ia masih teringat akan Kuasa yang telah menciptakan keindahan mutlak berwujud manusia.

Derit dan decit kasur menjadi alunan musik berisik yang memenuhi kamar, leguhan dan desa yang saling bergema, berbalas satu sama lain dalam senggema dan gumul penyatuan mereka.

Cinta kasih melebur jadi satu, mereka berdua sama-sama tiba pada puncak kenikmatan, dibawa melambung tinggi sebelum pelepasan itu keluar.

rumah


Ketukan tersebut begitu bergemuruh, berisik, tak sabaran. Tentu saja, rasa bersalah dan tergesa terkadang membuat seseorang kehilangan akal, tak bisa rasional.

“Kamu ngapain ih berisik banget?”

Iya, Suna memang sudah kehilangan akal, ia memeluk sang terkasih dengan menangis tersedu-sedu. Entahlah, tidak tahu juga kenapa Suna menjadi melankolis seperti ini, mungkin Komori harus berhenti merekomendasikan telenovela melodrama favoritnya kepada sang jaka.

Chagiyaa aku kira kamu marah sama aku! Chat ngga dibales, telpon ngga diangkat, pintu dikunci”

“Sebentar, satu-satu. Pertama, aku lagi mandi kedua ngapain kamu repot ketuk-ketuk pintu kalau kamu tau sandi apartmenennya?”

Hening, mereka saling beradu tatap, “Oh iya, aku lupa”

Tak ada dengusan kesal dari sang pemilik rumah. Sudah terlalu mahfum dengan sifat sang kekasih yang ceroboh.

Ia memperhati sekitar dengan seksama, antisipasi, memastikan tidak ada cecenguk menyebalkan bernama 'wartawan' sebelum mempersilahkan sang idola untuk bertamu.


Suna selalu suka, aroma menenangkan ini, katanya aroma khas Komori. Aroma yang membuatnya merasa kembali pulang, ke rumah paling hangat dan nyaman yang pernah ada.

Komori adalah rumahnya.

Dan tidak ada yang lebih membahagiakan, dibanding dengan merayakan hari jadi milikmu, pulang menuju rumah paling nyaman setelah suntuk dan lelahnya bekerja, tak lupa disambut sang terkasih.

Ia menghadiahi sang pemilik rumah dengan satu kecupan singkat di bibir. Komori adalah rumahnya untuk pulang.

ketiduran


Kedua netra sejernih telaga itu mengerjap, berulang kali, membiasakan diri terhadap bias teranam lampu kamat yang lupa dimatikan. Hal pertama yang terlintas dalam pikirnya, jam berapa sekarang?

“Bisa-bisanya sang tuan justru terlelap tenang di hari jadinya”

Terdengar decih tak suka yang lolos dari kedua celah bibirnya. Ia sewot, tak suka ritual bagun tidurnya justru disambut oleh suara nyaring Atsumu, bukan melodi lembut sang terkasih. Berbicara tentang sang terkasih sepertinya ia kelupaan sesuatu—

“Tsum, sekarang jam berapa?”

“Jam sembilan malam kenapa?”

“HAH SUMPAH? LO KOK NGGA BANGUNIN GUE?”

“LO NGGA MINTA GUE BANGUNIN TOLOL”

Ricuh itu mengundang rasa penasaran dari penghuni dorm lainnya. Pemilik surai ikal dan separuh bagian pinang terbelah dua milik Atsumu. Tidak berniat menelerai, mereka sudah terlalu biasa dengan bertengkaran kecil ini.

Dengan tangan sembrono yang berusaha 'tuk menjangkau gawai miliknya. Ada enam notifikasi pesan masuk dari sang pemilik hati terpampang nyata di sana. Menunggunya. Bolehkah Suna menangisi ketololannya sebentar saja?

“Mi, gue minta maaf banget ya, tapi ijinin gue mandi bebek ngga nyampe sepuluh menit abis itu otw apartemen Motoya. Minggu depan lo bebas ngasih gue kuliah tujuh menit gegara lupa janji sama Motoya tapi sekarang tolong ijinin gue pergi ya calon sodara ipar”

Hah?

Sang pemilik asma menautkan alisnya, membentuk semacam kurva keheranan yang terpatri jelas pada wajahnya.

Belum sempat menjawab, Suna dengan cepat melesat, mengambil handuk. Ia harus bersaing dengan sang waktu, semua orang tau bagaimana jahanamnya jalanan kota Seoul di jam-jam ini.

Motoya, tunggu abang

Seperti itulah dialog Suna saat ini jika diibaratkan sinema komedi romansa Indonesia tahun 90-an.

Secercah Harap untuk Sang Ratap


Jika boleh dikata, jujur saja, Rintarou sendiri tidak tahu-menahu ataupun mengerti impuls otak mana yang membuatnya seketika tergerak mengikuti figur yang memilih untuk meninggalkan hiruk-pikuk selebrasi. Menyusul sang presensi yang bisa dibilang telah sukses mencuri atensi dirinya sejak seratustigapuluh hari lalu, terhitung tepat pada hari ke tigabelas dirinya bergabung.

Komori Motoya dan hadir dalam dirinya sukses membelokkan seluruh pusat atensi Suna Rintarou. Impulsif, bahkan dirinya sendiri tidak pernah membayangkannya.

Gelora dalam dirinya berkata, bahwa mengenal Komori Motoya menjadi salah satu dari tujuan yang tidak pernah ia rencanakan sebelumnya dalam daftar hidup Suna Rintarou.


Semesta punya cara tersendiri dalam merajut ceritera setiap insan dan kalbu dari sang pemeran utama. Begitu pula dengan awal kisah terangkai, hanya kisah, tidak perlu kasih, karena untuk memulainya terkadang hanya perlu setitik rasa penasaran.

Kala itu ia baru saja tiba dan uluran tangan putih berusaha menggapainya, mengajaknya berkenalan, bertukar nama dan saling bersua di relung kalbu masing-masing.

“Bukankah kita sudah saling mengenal sebelumnya?”

“Sudahlah tidak apa, siapa tahu, impersi kita terhadap satu sama lain berubah”

Tidak masuk akal, tetapi Rintarou tetap menerima ulurannya.

“Komori Motoya, senang bertemu denganmu”


“Kau di sini rupanya”

Seolah tak terusik, sosok tersebut bahkan tak bergeming sama sekali. Hanyut dalam ketenangan jiwa dan pikirnya sendiri dengan semesta yang senantiasa menemani.

Hening masih saja setia, bahkan mungkin Rintarou sendirilah yang menganggu momen intim antara sang penyendiri dengan heningnya.

“Duduklah, kau kesini bukan bermaksud untuk diam dan melihatku saja begitu kan? Yah, tetapi aku tidak memaksa”

“Ucapanmu terdengar seperti permintaan dibanding bujukan”

“Bukankah sama saja?”

Rintarou memilih diam dalam senyap, jawabannya cukup dengan ia ikut bersila, di sebelahnya.

“Aku selalu menyukai sepi”

“Aku terkejut akan mendengar hal itu dari seseorang yang bahkan begitu berisik”

Motoya tertawa, tawa puas nan renyah yang bisa dibilang baru pertama kali Rintarou dengar. Tanpa paksaan, tawa itu mengudara, melepaskan segala belenggu beban dalam dirinya.

“Rintarou, jika boleh jujur, aku dulu begitu membenci dirimu”

“Tiba-tiba sekali, tetapi terima kasih atas kejujurannya”

Ia lanjut bercerita, bahkan ketika Rintarou tidak memintanya. Meskipun begitu Rintarou pun mendengarkannya dengan seksama meskipun sang pencerita tidak memintanya.

“Aku suka sepi, aku suka tenang. Tetapi hadirmu layaknya riak dalam ketenangan sungai. Tetapi bukan berarti dirimu menganggu, hanya saja sang sungai belum siap”

“Meskipun begitu sungai tau, bahwa sang riak nyata adanya. Namun, sang sungai belum siap jika tatanan ketenangannya ricuh seketika hanya karena kehadiran setitik riak”

Mereka beradu tatap. Iris sedalam samudera itu menatap lurus kearah sang jenggala, begitu pula sebaliknya.

“Motoya, arti hidup itu apa?”

Senyap,

“Maaf, aku tidak bisa menjawab”

Karena baginya ia hidup layaknya roda yang terus berputar, poros yang tidak akan berhenti sampai ketika dirinya kehabisan sang oli. Ia hidup, hanya sebatas hidup dan melakukan yang seharusnya, fisiknya bisa saja sehat bugar namun atmanya telah lama mati.

Tinggal saja menunggu, kapan keropos itu menggerogotinya.

“Jika hidup adalah tentang kebahagiaan, apakah orang yang hidup hanya sebatas mereka masih diberi kesempatan 'bangun' tidaklah menghidupi kehidupan sebagaimana mestinya?”

“Motoya, apakah kau merasa cukup dengan kehidupanmu yang sekarang”

Ia menunduk, memilih untuk beradu tatap dengan rumput yang senantiasa berbisik menggelitik menggoda permukaan kulitnya, dibanding harus hilang tersesat dalam rimbun milik Rintarou

Riak itu kembali hadir, sosok Suna Rintarou memang begitu berbahaya bagi ketenangan jiwanya. Tak terduga, geloranya terlalu bergemuruh, mengubah tatanan kehidupan yang seharusnya sudah 'semesti'nya.

Tangis dalan hening itu seketika pecah, peluk Rintarou hadir 'tuk menenangkan pelik menahun milik Motoya yang sendari dulu tidak tahu kemana ia harus berlabuh untuk singgah dan beristirahat.

Keropos itu semakin menggerogotinya, menciptakan karat yang mematikan setiap sendi dan jeruji roda kehidupannya.

Untung saja, Rintarou adalah tempat pemberhentiannya.


Dibanding dengan kebahagiaan, Motoya jauh memilih tenang. Hidupnya sudah terlalu lama ricuh dan berisik oleh karenanya, ia selalu berusaha menciptakan tatanan kehidupannya, menuliskan daftar apa yang boleh dan tidak boleh, demi mencapai ketentraman sukma.

Ia membenci Rintarou, karena ia adalah riak kecil yang merusak tatanan ketenangan aliran arus sungainya. Meskipun begitu, Motoya sadar bahwa riak itu nyata adanya, ia tidak membohongi dirinya bahwa di setiap sungai selalu ada riak yang menemani.

Sebagaimana kehidupan berjalan dengan semestinya, menciptakan harmoni keseimbangannya.

Lonjakan itu perlu adanya sebelum mencapai keseimbangannya, titik ekuilibriumnya.

Sebagaimana kehadiran Rintarou di hidupnya.


“Motoya, ayo kita mencapai keseimbangan bersama, ayo kita membuat harmoni untuk satu sama lain”

“Kenapa kau tidak mengajakku untuk berbahagia?”

“Karena aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang bahkan belum bisa aku penuhi

Motoya, kau pantas bahagia, bukan karena atau untuk diriku. Berbahagia karena dan untuk dirimu sendiri


— drawing our moments


Motoya bergerak gelisah, di balik selimut putih ia terbangun, tidur lelapnya terganggu oleh suara gemericik gerimis di luar sana. Meskipun begitu tidak ada niatan sama sekali untuknya bangkit dari empuknya tempat tidur dan hangatnya rengkuhan Rintarou.

Ia memperhatikan, dengan menelisik setiap inci dan jengkal wajah rupawan yang tengah terlelap tepat di sampingnya. Seolah tak terganggu meskipun Motoya bergerak gusar sendiri tadi.

Tangannya terangkat, membawa dirinya mengelus guratan wajah bak pahatan patung yang begitu rupawan. Suna Rintarou, bahkan ketika terlelap pun ia begitu menawan.

Sesekali jemarinya bergerak, ia bawa untuk merapikan anak-anak rambut berantakan pada kening putih bersih lelaki itu. Motoya tersenyum, ia bahkan sanggup memandangi wajah terlelap Rintarou berjam-jam lamanya.

Oh, belum pernah dikatakan sebelumnya bukan? Bahwa Motoya sangat tergila-gila akan paras elok milik Rintarou

Ralat. Semua yang ada dilim Rintarou selalu sukses membuatnya terpesona

Ini adalah salah satu dari sekian banyak hobi yang ia miliki. Memandangi wajah damai milik Rintarou ketika terlelap. Menghapus semua perasaan gugup dan juga ragu, membawanya tenggelam ke dalam relung nostalgia akan semua kenangan yang mereka telah lewati bersama.

Setiap kali ia berbaring dalam rengkuhan hangat milik Rintarou, memandangi wajah terlelap lelaki tersebut, selalu sukses membawanya tenggelam lebih dalam. Menyelami setiap momen yang telah mereka lalui.


Motoya selalu berusaha, untung menggoreskan kuas warna dalam hati putihnya yang kosong. Menggambarkan sosok Rintarou yang baginya terlalu sempurna untuk digapai dan dituangkan.

Saat seperti ini, layaknya goresan warna lembayung senja yang menghangatkan. Menghidupkan kembali setiap harap dalam dirinya.


Gerakannya terhenti mana kala Rintarou menangkup tangannya, mengecupi punggung tangan hungga buku-buku jarinya sebelum meletakkannya di dekat dadanya.

“Kapan kamu bangun?”

“Dari tadi, pas kamu gerak-gerak terus. Tapi aku diem aja, kayaknya kamu lagi asik banget ngeliatin aku”

Motoya tidak menjawab ataupun bersemu, biarlah, untuk saat ini ia membiarkan Rintarou terbang dengan harap dan percaya dirinya. Toh memang betul adanya.

“Aku ganteng ya? Makanya ga bisa berhenti ngeliatin?”

“Lebih dari itu, kamu menawan”

Kedua kelopak tersebut perlahan membuka, manik sejernih jenggala itu kemudian beradu tatap dengan manik sedalam lautan miliknya.

“Kamu mikirin apa?”

Motoya menggeleng, tersenyum tulus ke arah Rintarou.

“Rintarou”

“Ya?”

Ia loloskan satu kecupan singkat, “Kamu berharga buat aku, banget.”

“Terima kasih udah memilih berjuang malam itu”

Motoya bangkit dari ranjang mereka, tubuhnya terlihat gemerlap dibawah sinar lampu. Tidak malu menampilkan memar kemerahan dan bekas gigitan, menandakan siapa pemilik sosoknya.

Ia mengambil atasan piyama milik Rintarou, mengenakannya.

“Aku bikinin sarapan dulu”


Saat hendak meraih kenop pintu kamar milik Rintarou, suara serak khas bagun tidur lelaki tersebut menghentikannya, memanggil namanya.

“Terima kasih juga karena malam itu kamu memilih untuk menggapai genggaman tanganku lagi”

Motoya menoleh kearahnya, tersenyum simpul sebelum kemudian tubuhnya hilang di balik pintu tersebut.