komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

— i just want to be embraced by yourself and erase all hesitancy about us


Komori membuka pintu apartmen milik Suna setelah memasukkan sandi yang bahkan tidak pernah berubah sejak ia pertama kali mengenal lelaki tersebut. Ia melepaskan sepatunya, meletakkannya pada rak sepatu tepat di sebelah kanan pintu sebelum melegang masuk setelah memastikan ia mengunci kembali kediaman lelaki tersebut.

Seolah telah begitu menghafal seluk beluk apartemen tersebut layaknya rumah sendiri Komori melenggang dengan begitu ringannya, meletakkan tas ranselnya pada sofa ruang tengah sebelum mencuci kaki dan tangannya, kebiasaannya sendari kecil. Ia mengusap poninya ke belakang, celingukan, mencari kemana sosok pemilik rumah.

Pasti di kamar

Gumamnya, ia segera menyusur apartemen yang tidak terlalu luas itu, menuju kamar sang kekasih dan membuka pintunya, mendapati Suna yang asik di depan meja kerjanya dengan headphone di kepala, membuatnya menghela nafas, pantas Suna tidak mendengarnya masuk.

Atensi Suna segera teralih mana kala dirinya mendapati sensasi dingin menyapa kedua pipinya dan juga beban berat di atas kepalanya. Sementara itu Komori asik memainkan kedua pipi milik Suna, memeluk lelaki itu dari belakang dan menyandarkan pipinya pada pucuk kepala lelaki itu meskipun merasa sedikit tidak nyaman karena headphone yang menganggu.

“Loh? Sejak kapan kamu sampai?” tanyanya seraya melepas headphone-nya membuat Komori mengangkat dirinya sebelum kembali bersandar pada Suna.

“Baru aja, kamu ngga denger soalnya asik bikin lagu” dan jawaban tersebut sontak membuat Suna terkekeh.

“Ganti baju dulu sana”

Komori menurut, ia pergi meninggalkan lelaki itu dan berjalan menuju almari di sudut kamar. Mengambil setelan piyama satin berwarna biru dongker milik Suna dan mengenakannya.

Ya, kebesaran.

Mau gimana lagi kan? Tinggi mereka terpaut sepuluh sentimeter, apalagi mengingat bahu bidang milik Suna yang jauh lebih lebar dibanding miliknya.

Komori kembali berjalan menuju Suna namun kali ini dia justru memilih untuk duduk di pangkuan lelaki tersebut, untung saja kursi kerja Suna adalah kursi gaming yang kuat menopang bobot mereka berdua.

“Celananya mana?” tanya Suna kala ia melirik sekilas ke arah Komori yang saat ini tengah mencari posisi nyaman di atas pangkuannya “Kebesaran”.

Suna tidak menjawab ia kembali fokus pada pekerjaannya sembari Komori memutuskan memejamkan matanya dan bersandar pada Suna.


Komori membuka kedua matanya kembali kala Suna seolah tidak mempedulikannya, ia menoleh ke arah lelaki itu yang wajahnya terlihat serius mengerjakan urusannya.

“Kamu kenapa?” tanya Suna saat ia merasakan sedikit gesekan-gesekan kasar pada bagian bawahnya sementara Komori terus bergerak gelisah di atas pangkuannya.

I want you

Satu kekehan kembali keluar dari bibir lelaki itu, “Kenapa? Ada masalah?” dan Komori pun menggeleng.

Liar, babe aku kenal kamu udah dua tahun lo ya, dan kamu kalau udah clingy atau needy gini biasanya ada sesuatu”

“Aku ga boleh gitu manja ke kamu?”

Suna mendaratkan satu kecupan singkat di bibir Komori, “Boleh, banget malahan. Yaudah deh aku foreplay aja dulu ya? Masih ada kerjaan”

Komori mengangguk tidak mempermasalahkannya. Ia dapat merasakan sensasi hangat dan juga kasar tangan kiri lelaki tersebut kala memberikan belaian lembut pada paha putih susunya, menyingkap atasan piyama yang menutupinya sebagian sembari tangan satunya sibuk sama pekerjaannya, seakan ia tau apa yang biasa dilakukan untuk memanjakan Komori.

Sementara itu tangan Komori juga tidak bisa diam, ia membuka sedikti celana training yang dikenakan Suna, memberikan handjob pada adik kecilnya.

Kadang Komori terkesan, bagaimana wajah Suna terlihat tidak menunjukkan raut perubahan sama sekali kala ia memberikan rangsangan seperti ini, sementara dirinya sudah terlihat memerah hanya dengan usapan lembut pada paha bagian dalamnya.

Suna mendekap lelaki itu, membawanya mendekat sebelum kembali mencium singkat bibir Komori, seirama dengan tangan Komori yang sibuk mengurut miliknya di bawah sana ia pun menyingkap dalaman lelaki itu memainkan anak dibawah sana dan sesekali memberikan pijatan pada milik lelaki itu.

Komori memejamkan matanya, nafasnya memberat, impuls otaknya merespon dengan baik setiap rangsang dan sentuhan milik Suna. Sementara tangan Suna sibuk dengan miliknya di bawah sana lelaki itu tak hentinya menciumi pucuk kepalanya, memberikan beragam afeksi dan juga kasih sayang.

Hanya dengan Suna, Komori bisa merasakan dicintai dan dihargai teramat sangat seperti ini.

“Sayang, kamu udah keluar lo” dan Komori hanya mengangguk.

Suna memundurkan kursinya, agar mereka mendapat ruang lebih banyak sebelum jemarinya sibuk membuka tiap kancing pada atasan lelaki tersebut, mencumbu setiap inci tubuhnya dan meninggalkan beragam bercak kemeran di sana yang sukses meloloskan desahan kenikmatan dari bibir bulat Komori.

Suna suka itu, menyukai wajah Komori ketika ia dapat memberikan kenikmatan pada tubuh kekasihnya tersebut.

You are such a beautiful creature babe, damn how could i deeply in love with you?

You should, kalau engga aku bakalan marah” tawa renyah mengudara dari bibir Suna.

Suna mencium Komori, membuat Komori tersenyum di tengah ciuman mereka. Ciuman tersebut berlangsung lama dan juga dalam, seolah mengatakan bahwa Suna benar-benar menyukainya.

Tidak, ia tergila-gila pada sosok di atas pangkuannya itu.

Ride me” ujarnya kala mereka memutus ciuman satu sama lain.

Suna menurunkan celananya hingga sebatas lutut sebelum kemudian Komori naik dan duduk tepat di atas miliknya, meringis kala ia sadar bahwa mereka tidak menggunakan lube serta pemanasan yang kurang.

“Kamu gapapa?” ia mengangguk, “It's fine

Itu adalah seks mereka yang cukup pelan meskipun selama ini mereka tidak pernah terburu-buru. Tidak banyak gerakan sebenarnya, cukup Suna yang memberikannya kehangatan serta memenuhi dirinya di dalam sana.


“Kamu bikin apa?” tanya Komori sembari memeluk leher milik Suna, ia menolehkan kepalanya ke samping agar dapat melihat wajah lelaki itu.

Bisa dibilang posisi mereka saat ini cukup lucu, Suna layaknya menggendong bayi besar pada pangkuannya.

“Bikin lagu, kalo sama kamu bikin anak”

“Ngaco”

Suna terbahak mendengar umpatan Komori barusan, membuat Komori tersenyum kecil.

“Aku mau denger boleh ngga?” pintanya membuat Suna terdiam sejenak sebelum menjawabnya “Engga boleh”

“Kenapa?”

“Soalnya nanti ga bakal jadi surprise

Komori cemberut, ngambek, memutuskan untuk kembali memuluk Suna.

“Ya ngambeknya gausah sambil ngegoda gitu dong ini aku nahan biar ngga keluar di dalem”

“Bodo, biar tau rasa”

Suna menghela nafas pelan sebelum kemudian mengecup bahu putih Komori.

“Aku kasih bocoran pas interlude aja ya? Tapi ada syaratnya”

“Apa?”

“Kamu cerita dulu kamu kenapa, ada masalah apa sampai bikin kamu gelisah gini”

Suna menarik Komori menjauh agar bisa menatap lelaki itu, mendapati Komori yang tengah kembali mengigiti bibir bawahnya, “Aku udah bilang berapa kali buat ngga kebiasaan gigitin bibir, Motoya?”

“Aku cemburu”

“Hah? Kenapa tiba-tiba?”

Ia dapat merasakan panas berkumpul di kedua pipinya, membuatnya bersemu merah.

“Aku cuma takut, takut sama hubungan kita atau perasaan kamu yang bakal berubah”

Suna tersenyum memberikan kecupan pada kening Komori berulang kali.

“Sekarang gimana? Masih takut ngga?” tanya Suna, Komori pun menggeleng sebagai jawaban membuat Suna tersenyum.

As i said to you before, i'm deeply in love with you, jadi kamu gausa ngerasa takut lagi ya? Di hubungan ini ada kita berdua ngga cuma kamu ataupun aku, tapi kita”


Bait Kata, Untaian Cerita


Sejak pesan singkat melalui DM tersebut Akaashi dan akun sikembar acap kali bertukar pesan satu sama lain. Lebih sering sikembar yang mengirim pesan terlebih dahulu, memberikan beberapa kata penghibur serta penyemangat, betapa ia menyukai karya dan tulisan Akaashi.

Kadang Akaashi bertanya, kenapa sikembar sampai segitunya dan ia hanya menjawab “Karna kamu pantas mendapatkannya, aku jujur, dan tulisan kamu bagus kok” betapa terharunya Akaashi (meskipun terkesan berlebihan) membaca pesan singkat itu.

Iya, penulis lepas siapa yang tidak terharu, apalagi tidak memiliki nama yang besar dan pembaca setia mana kala mendapat sanjungan seperti itu? Tidak ada.

Begitu lah awal mula hubungan mereka, sejak saat itu Akaashi dan sikembar selalu menyempatkan waktu untuk bertukar pesan.

Yang awal mulanya membahas sastra, sajak, dan puisi perlahan menjadi keseharian satu sama lain, kadang kala mereka bertukar pikiran satu sama lain. Jujur, bertukar pesan dengan sikembar membuka pandangan baru bagi Akaashi, ia mencatat banyak poin yang mungkin bisa ia masukkan ke dalam tulisannya.

Inspirasi itu bisa berbentuk apa saja, dari mana dan siapa saja asalnya. Bagi Akaashi, bertemu sikembar adalah salah satu bentuk inspirasi yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Apalagi sejak saat itu, traffic bacaannya ikut meningkat, siapa sangka ia bakalan mendapat banyak retweet, likes, serta support di setiap ceritanya.

Bahkan akun besar seperti milik Osamu, seorang food-o-graphy, Komori, ketua broadcasting kampus, hingga Kita, yang notabenya presbem kampus mereka melirik cerita ecek-eceknya tersebut.

Sampai ketika Akaashi menyerukan isi hatinya, bahwa ia ingin bertemu dengan sikembar.

Bukannya mengiyakan, sikembar justru menolak mengatakan;

Jangan ah, nanti kamu ngga percaya kalo itu aku pas udah ketemu

Alasan yang tidak masuk akal, ia hanya ingin berterima kasih dengan sikembar, atas semua dukungan ia bisa sampai di tahap ini, menyelesaikan Ruang Bersua di tengah rasa bosan dan kehilangan gairahnya.

Ia hanya ingin bertemu dengan pembacanya, penyemangatnya, apa itu salah?

Tidak, tidak ada yang salah, tapi aku takut setelah kamu tau siapa aku kamu bakalan nolak aku

Alasan yang konyol, Akaashi terus mendesaknya hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu. Pukul 10 siang, di District 11 dekat kampus Tokyo.

Akaashi tiba lebih awal, karna ia ingin melihat-lihat dulu, siapa tau bisa jadi bahan menulisnya sampai suatu ketika ia mendapati figur familiar memasuki cafe tersebut. Miya Osamu, tidak kaget, jelas fotografer makanan seperti Osamu datang ke tempat ini.


“Akaashi Keiji, baitkata, dengan cerita Ruang Berusa yang habis ini tamat” sapa Osamu, pertama kali ketika Akaashi tidak ada niatan bahkan untuk menghampiri lelaki itu.

Masih dengan tatapan bingung lelaki itu nengulurkan tangannya, berkenalan.

“Mungkin aku salah memperkenalkan diri, aku sikembar, pembaca setia dari semua bait kata yang kamu untai ke dalam cerita”


Pertemuan dengan sikembar adalah awal yang membawa pada hubungan romansa dengan Osamu, berawal dari pembaca setia yang saling mengagumi setiap karya satu sama lain kisah mereka terajut menjadi kasih asmara.

Dan awal kisah kasih mereka juga yang membawa akhir dalam karya terakhir Akaashi dalam serial Ruang Bersua miliknya.

Iya, inspirasi bisa berbentuk apa saja, berawal dari mana dan juga siapa saja.

Untuk Akaashi inspirasinya adalah Osamu.

— he screams love in everywords that come out from his mouth


Jujur saja, jika disuruh menceritakan tentang dirinya dan High You, Kita benar-benar tidak punya pandangan, darimana ia harus memulai dan sampai mana ia harus berhenti bercerita.


Mungkin,semua hal yang terjadi saat ini tidak akan pernah terjadi apabila Kita menolak ajakan berangkat bersama Atsumu yang kemudian berakhir dengan sarapan bubur ayam dekat kampus sebelum kelas pagi. Momen di mana ia mendapat tawaran menjadi manager band yang kala itu masih hanya sebatas wacana.

Masih segar dalam ingatannya, bagaimana dulu viewers Youtube dan total listeners mereka di Spotify bahkan hanya dua digit

Ketika sekarang mereka sudah mendapat panggilan atau bahkan job dengan bayaran yang terbilang lumayan untuk mengangsur UKT semesteran, maka dulu mereka yang mencari-cari tawaran panggung, bahkan cuma dibayar M2 sudah syukur.

Iya, M2, “Makasih, Mas”

Dan lebih bersyukur lagi kalau klien berbaik hati dengan memberikan makan siang atau minum. Iya, sesusah itu, tetapi mereka menikmatinya, asalkan bisa 'manggung' itu sudah cukup.

“Kamu tau Semi sama Tendou? Yang punya cafe di daerah Jimerto? Itu tawaran manggung pertama yang kami dapat, bukan nyari, beneran ditawarin” jelasnya, Komori masih diam mendengarkan.

Itu adalah pertama kalinya mereka mendapat bayaran yang sesungguhnya, mulai dari fee berupa snacks berupa kue kering dan minuman baik air putih ataupun kopi. Awalnya mereka menolak, tidak enak, apalagi sama-sama keluarga Komunikasi, tetapi Semi bilang karena dia yang menawari berarti sudah seharusnya ia memberikan upah.

“Gimana rasanya kak?”

Kita tidak menjawab, hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya, perasaan tersebut terlalu berharga, tidak bisa digambarkan.

“Ngeliat mereka tampil, dan denger mereka nyanyi i really know they are really passionated about this one. Put all their soul in every songs they play. It was and always been captivating. Apalagi Suna, dia yang paling passionated tentang ini, he put all his love, life, and emotion in every lyrics he sings


Sejak saat itu, High You menjadi band pengisi langganan di cafe milik Semi dan Tendou, sebelum kemudian Semi dan Tendou merekomendasikan mereka sehingga mereka bisa tampil di banyak tempat.

“Aku suka ngeliat nyanyi, aku suka bagaimana mereka benar-benar menuangkan jiwa mereka pada setiap lagu dan bait lirik yang mereka nyanyikan. Itulah kenapa aku mau jadi manager mereka, aku mau dukung mereka biar bisa terus bersinar—”

“—apalagi Suna”

Untuk sepersekian sekon raut wajah Komori berubah kala mendengar ucapan Kita barusan, tetapi ia berhasil mengontrolnya dengan baik. Bertanya, “Memangnya kenapa kalau Suna?”

“Dia beda sama yang lainnya Komori”

Hanya itu jawaban yang diberikan oleh Kita, Komori masih menunggu, menatap kepada yang lebih tua, di mana Kita lebih memilih memandangi gelas kopinya, memainkannya seolah presensi benda tersebut jauh lebih menarik dari Komori.

“Dia beda, jiwa mereka memang untuk musik, tetapi untuk Suna, presensi di atas panggung seolah membuatmu tersadar bahwa dunianya ada untuk musik, their performance were captivating, it because Suna put his soul into the songs dia menghidupkan penampilan mereka. Nyawanya ada di sana”

Jeda beberapa detik sebelum Komori menanggapinya, “I've heard it before nyawa dari suatu band ada pada vokalisnya, how they can deliver their emotion to the musics they play

“Ya, mereka mengomunikasikan perasaan mereka lewat lagu-lagu mereka. Itulah kenapa, Suna juga yang diberikan tanggung jawab buat menulis lirik lagu mereka sendiri, karna Suna dapat menyampaikan pesan dengan sangat apik melalui setiap bait lirik dan nyanyiannya”

“Oh? Kalian punya lagu sendiri?”

Bohong kalau Komori tidak tau

Yes, we are dan sekarang Suna sedang bikin lagu terbaru kami, setelah vakum beberapa bulan”

“Vakum?”

Kita menghela nafas berat, mengingat bagaimana beberapa bulan terakhir Suna kehilangan dirinya. Penampilannya masih menawan dan memikat hati, tetapi sebagai seseorang yang hampir satu tahun 'mengurus' mereka, Kita tau, kalau Suna mulai kehilangan jiwanya, sinarnya pada setiap lagu dan penampilan dirinya.

“Entahlah, aku hanya merasa beberapa bulan terakhir Suna seolah kehilangan dirinya, nyawanya ngga ada, dan jujur itu buat aku sedih. Maksud aku, dia seperti seseorang yang kehilangan pusat keseimbangannya, linglung, penampilannya masih tetap memikat hati tetapi kosong—”

Kita menghentikan kalimatnya sejenak, sebelum kemudian tersenyum cerah ke arah Komori.

“—tapi akhir-akhir ini, Suna kembali jadi Suna yang dulu, Suna yang memiliki 'jiwa'-nya dan itu terlihat jelas dari setiap lagu dan penampilan yang ia bawakan”

Komori tersenyum kecil mendengarnya, “Kak, maaf ya, tapi aku boleh nanya sesuatu ngga?”

Kita terkejut, untuk pertama kalinya Komori meminta izin seperti ini, entah kenapa ia dapat merasakan debar hati yang tak karuan dalam dirinya.

“Tentu”

“Kak Kita, suka sama Suna ya?”

Objek yang ditanya seperti itu tidak menjawabnya langsung, Komori dapat melihat semburat merah muda di kedua pipi putih bersih lelaki itu dan ia hanya bisa tersenyum kecut.

“Kelihatan ya?”

“Engga, cuma nebak aja, aku cenayang, sering juga dibilang S3 Percintaan” guraunya guna mencairkan suasana.

Bohong, dia bohong.

Karena Komori tahu betul, setiap kata yang terucap, setiap binar pada kedua mata keemasan itu menerikkan kekaguman lebih dari sekadar rasa kagum belaka.

Komori tahu betul itu, karena dia sama saja dengan bercermin, melihat Kita sekarang sama saja bercermin melihat ke arah dirinya sendiri.

Mereka berdua sama, bagaimana mereka berdua memandang Suna Rintarou dengan penuh kekaguman lebih dari sekadar kekaguman biasa.

Gadis Sampul

Ia tidak pernah menduga bahwa dirinya dapat jatuh cinta dengan gadis di sampul majalah yang bahkan tidak pernah terpikir untuk ia baca


Komori tidak tau apa yang mendorongnya ketika impuls otaknya membawa perintah untuk menggapai tumpukan majalah di atas meja. Ia hanya melihat-lihat sampul majalahnya saja, sebelum kemudian gerakannya seketika terhenti.

Ia terpaku, terpesona pada gadis di sampul majalah tersebut.

Konyol sekali, sungguh konyol.

Bagaimana bisa ia merasakan suatu debar aneh dalam dadanya hanya dengan melihat foto gadis di sampul majalah yang bahkan tidak pernah terpikir untuk dibaca?

Bagaimana bisa ia seketika terpana dengan sosok gadis yang bahkan ia belum pernah temui sebelumnya?

Iya, cinta memang konyol, perasaan tersebut bisa datang tiba-tiba, dimana pun dan kapan pun, tanpa permisi mengetuk pintu hati siapa saja yang ingin ia hampiri.


Ia mengambil majalah tersebut, membacanya—tuk hanya sekedar memandang foto gadis yang sukses mencuri hatinya—apakah mungkin kelak Tuhan akan mempertemukan mereka? Mungkin saja gadis itu bisa menjadi sampul hatinya.

Tapi dengan seketika ia menggelengkan kepalanya, terkekeh geli dengan angannya barusan.

Halu

Masihkah ia mendapatkan kesempatan ketika orang mengatainya tidak rupawan? Dengan gaya yang bahkan tidak mengikuti selera anak muda masa kini.

Tapi apa salahnya punya khayalan Harapan atau sekedar angan-angan

Iya, tidak ada yang salah, dengan segala harap yang ada dalam dirinya, Komori dengan segera mengambil ponselnya mengetikkan sebuah nama yang tertera pada majalah tersebut ke dalam laman pencarian internet.

Shirofuku Yukie

Semoga saja, Komori masih memiliki kesempatan untuk sekedar berkenalan dengannya menjadikannya gadis yang menyampuli hatinya, satu-satunya, dalam melewati hari-harinya.


Ku ingin gadis di sampul majalah itu, Juga jadi gadis yang akan temani hari-hariku Dan ku ingin cintanya jadi sampul di hatiku Yang terdepan dan selalu menjadi nomor satu

Patung Batu

Oh, siapa dia manis rupawan wajahnya Senyum dan pesona eloknya bak sebuah mantera Yang membuat siapa saja tersihir menjadi patung batu


Suna terpaku, membantu, kehilang pijakannya seketika pandangnya bertemu dengan senyum menawan yang terpatri pada wajah manis hingga membuat sepasang mata belo' tersebut menyipit dan menghilang, melahirkan sepasang sabit di wajahnya.

Bak sebuah mantera yang membuatnya tersihir dan berubah menjadi patung batu.

Ini baru pertama kalinya ia terbius seperti ini. Haruskah ia berjalan ke arahnya? Menyapanya dan mengajaknya berkenalan?

Mungkin saja, dengan begitu dirinya dapat menjalin kisah dan merajut kasih dengan sang objek

Jika Atsumu dapat mendengar seruan hatinya saat ini pasti lelaki itu sudah mengatainya dangdut, itu sudah pasti, Suna seratus persen yakin. Akan tetapu sekarang bukan saatnya untuk mempedulikan respon Atsumu.

Karna sekarang, tepat di hadapannya ada presensi yang jauh lebih menawan dan memaksanya untuk terus terpaku.

Sayang oh seribu sayang, Suna terlalu lama larut dalam lamunnya, angannya terlalu tinggi, membuatnya tidak sadar bahwa presensi yang memikat seluruh pusat atensinya itu t'lah berlalu begitu saja meninggalkannya dalam lamun dan ratap akan sesal, seharusnya ia lebih berani untuk mengajak sang pemikat hati bertukar nama, siapa tau bisa bertukar nomor telepon atau WhatsApp.


Komori menolehkan kepalanya dengan anggun, sepasang netra biru tersebut tak sengaja beradu tatap dengan sepasang netra sejernih telaga. Ia tersenyum, menyapa sang pemilik namun sayang seribu sayang lelaki dengan mata kehijauan menawan tersebut haya diam terpaku di tempatnya bak patung batu legenda jaman dahulu.

Membuatnya terkekeh, sosok yang menarik untuk dikenal, orang asing yang menjadi patung batu mana kala kedua pasang netra mereka bersitubruk.


Suna kembali ke tempat tersebut dengan harap, menghampiri tuan yang menjaga tempat itu sejak dulu kala, bertanya perihal si manis dengan segala keelokan yang dimilikinya. Berharap semoga saja dewi fortuna berpihak padanya, paling tidak ia bisa mengetahui nama sang pemikat hati.

Aku tak seharusnya menjadi patung batu Yang tersihir melihat dirimu Bagai legenda jaman dahulu

Lidah tak bertulang yang kelu mana kala melihat sosoknya, rangsangan yang mengirimkan impuls kepada otaknya untuk seketika membatu terpaku karna sosoknya, menghabiskan waktu berlarut dalam lamunannya.

Iya, seharunya ia tidak menjadi patung batu kala itu.

Andai saja ia berada di negeri dongeng, sebagai sang pangeran, dengan seribu satu macam keajaiban dari sang penulis.

Suna hanya bisa berharap dalam khayalnya.

Oh, sang pemikat hati, andai saja kau adalah lawan mainku dalam pentas dan sandiwara dongeng ini, ingin sekali aku mengenalmu, menjalin kisah dan memadu kasih bersama

Patung Batu


Oh, siapa dia manis rupawan wajahnya Senyum dan pesona eloknya bak sebuah mantera Yang membuat siapa saja tersihir menjadi patung batu


Suna terpaku, membantu, hilang pijakan, dirinya seketika terpana dengan senyum menawan yang terpatri pada wajah manis hingga membuat sepasang mata belo' tersebut menyipit dan menghilang, menerbitkan sepasang sabit di wajahnya.

Bak sebuah mantera yang membuatnya tersihir dan berubah menjadi patung batu.

Ini baru pertama kalinya ia terbius seperti ini. Haruskah ia berjalan ke arahnya? Menyapanya dan mengajaknya berkenalan?

Mungkin saja, dengan begitu dirinya dapat menjalin kisah dan merajut kasih dengan sang objek

Jika Atsumu dapat mendengar seruan hatinya saat ini pasti dia sudah mengatainya dangdut, itu sudah pasti, Suna seratus persen yakin tapi sekarang bukan saatnya untuk mempedulikan respon Atsumu.

Karna sekarang, tepat di hadapannya ada presensi yang jauh lebih menawan untuk diperhatikan.

Sayang oh seribu sayang, Suna terlalu lama larut dalam lamunnya, angannya terlalu tinggi, membuatnya tidak sadar bahwa presensi yang memikat seluruh pusat atensinya itu t'lah berlalu begitu saja meninggalkannya dalam lamun dan ratap akan sesal, seharusnya ia lebih berani untuk mengajak sang pemikat hati bertukar nama, siapa tau bisa bertukar nomor telepon atau WhatsApp.


Komori menolehkan kepalanya dengan anggun, sepasang netra biru tersebut tak sengaja beradu tatap dengan sepasang netra sejernih telaga. Ia tersenyum, menyapa sang pemiliknya namun sayang seribu sayang lelaki dengan mata kehijauan menawan tersebut haya diam terpaku di tempatnya bak patung batu legenda jaman dahulu.

Membuatnya terkekeh, sosok yang menarik untuk dikenal sang lelaki yang menjadi patung batu mana kala kedua pasang netra mereka bersitubruk.


Suna kembali ke temat tersebut dengan harap, menghampiri tuan yang menjaga tempat itu sejak dulu kala, bertanya mengenai si manis dengan segala keelokan yang dimilikinya. Berharap semoga saja dewi fortuna berpihak padanya, paling tidak ia bisa mengetahui nama sang pemikat hati.

Aku tak seharusnya menjadi patung batu Yang tersihir melihat dirimu Bagai legenda jaman dahulu

Lidah tak bertulang yang kelu mana kala melihat sosoknya, rangsangan yang mengirimkan impuls kepada otaknya untuk seketika membatu terpaku karna sosoknya, menghabiskan waktu berlarut dalam lamunannya.

Iya, seharunya ia tidak menjadi patung batu kala itu.

Andai saja ia berada di negeri dongeng, sebagai sang pangeran, dengan seribu satu macam keajaiban dari sang penulis.

Suna hanya bisa berharap dalam khayalnya.

Oh, sang pemikat hati, andai saja kau adalah lawan mainku dalam pentas dan sandiwara dongeng ini, ingin sekali aku mengenalmu, menjalin kisah dan memadu kasih bersama

too powerful

[ sunakomo oneshot, explisit nsfw without plot ]

Sinopsis: Mungkin lain kali Komori harus lebih berhati-hati dalam bertutur kata


Pelatih EJP tersenyum puas melihat performa Suna hari ini, begitu optimal, membuat Komori di sebrang sana berulang kali mendecakkan lidahnya karena kesal. Bahkan libero terbaik Jepang pun kewalahan hanya untuk menangani spike dari middle blocker tersebut.

Washio yang melihatnya hanya bisa berguman dalam hati, memohon pengampunan untuk lengan Komori karena harus berurusan dengan spike dari Suna.

You good?”, tanya Washio seraya mengulurkan tangannya kepada Komoti, membantu sang libero untuk berdiri.

Seraya menyeka peluh yang ada di keningnya ia menerima uluran tangan middle blocker yang lebih tua setahun darinya itu, “Haaaaah aku benci kalau Suna sudah seperti ini, his spikes are nasty, and it really annoy me”, ujarnya, Washio mengangguk setuju.

Kapten tim mereka memanggil mereka untuk berkumpul, time out untuk tim Komori dan Washio, mereka harus segera mengatur strategi untuk menghadapi Suna yang sedang dalam performa terbaiknya.


“Tch”, decih Suna manakala Komori beehasil menerima bolanya tersebut, meskipun tetap berakhir out dan poin untuk timnya.

Man, that's one was too powerful!”, ujar lelaki beralis bulat tersebut memperhatikan kemana arah bola tersebut keluar.

Peluit tanda pertandingan berakhir berbunyi dan latih tanding kali ini dimenangkan oleh tim Suna.


Komori memperhatikan kedua lengannya, huh? Sudah berapa lama sejak terakhir ia mendapat memar seperti ini? Suna benar-benar tidak main-main ya hari ini?

“Kalian bertengkar?”, tanya Washio yang datang menghampirinya, memperhatikan memar di kedua lengan lelaki malang itu.

“Huh? Engga? Kenapa?”

Washio tidak menjawab langsung, lirik matanya bergulir menuju kedua tangan lelaki itu yang memerah, “Tidak mungkin dia sampai membuatmu seperti itu kalau kalian tidak bertengkar”

Komori tergelak karenanya, ia mengibaskan tangannya, mengatakan bahwa ia baik-baik saja, mungkin dia saja yang kurang berlatih dan Washio hanya mengangguk paham.

“Oh iya, ngomong-ngomong kau tidak pulang? Libur natal dan tahun barumu bagaimana?”, tanya washio yang telah menjinjing tas ganti miliknya.

“Pulang kok, tapi kayaknya tanggal-tanggal 28 atau 29. Washio-san pulang sekarang?” dan Washio pun mengangguk.

“Kalo gitu aku duluan, jaga dirimu baik-baik”

Komori mengangkat tangannya, memberikan isyarat 'ok' sebelum melambaikan tangan kepada yang lebih tua. Ia menghela nafas panjang sedetik setelah Washio meninggalkan ruang ganti, seperti akan benar-benar sepi mengingat banyak rekan timnya yang kembali ke rumah masing-masing.

Ah, daripada merasa kesepian lebih baik dia bermain PS di lounge dengan paling tidak, dengan ini dirinya dapat menyabotase ruang santai untuk dirinya sendiri!


Suna yang tengah sibuk bersantai di lounge seraya membaca majalah itu pun menoleh kala mendapati suara derit pintu dibuka, mendapati Komori yang baru saja masuk sambil membawa secangkir cokelat hangat dan kue kering, lelaki itu sedikit terkejut kala mendapati Suna di sana.

“Suna? Aku tidak tau kalau kau belum kembali ke Aichi” celetuknya dan Suna bersikap tak acuh, lagi pula itu pertanyaan retoris.

Begitu pula dengan Komori, ia tidak terlalu peduli dengan sikap cuek lelaki itu. Seraya meletakkan piring dan gelasnya ia pun mendudukkan dirinya di sofa kosong sebelah Suna.

“Kau tau, kau hari ini benar-benar menyebalkan! Your nasty spikes were too powerful today and somehow it really annoy me!” ocehnya

Suna hanya meliriknya sekilas, menjawabnya dengan gumaman singkat.

“Kau tau Komori, aku bisa lebih kuat dari itu dan aku bisa membuktikannya sekarang dari sekadar spikes biasa”

Jawaban tersebut sontak membuat Komori terkejut dan kebingungan. Akan tetapi ada hal lain yang membuatnya lebih kaget, ketika Suna berdiri dan menggapai pinggangnya sebelum kemudian mengangkatnya.

“Hei—”

“180cm dengan berat 66kg, kau begitu ringan”, celetuknya masih dengan wajah datar, entah kenapa itu membuat Komori kesal.

“Hei aku tidak paham maksudmu apa tetapi perkataanmu barusan membuatku kesal”

“Aku hanya mengatakan fakta dan ngomong-ngomong pantas kau tidak bisa menerima spikes-ku barusan, kau terlalu lemah dengan badan kurus seperti ini”

“Sekarang kau mengejekku?!”

“Apa kau mau membuktikannya?”


Komori tidak mengerti apa yang terjadi, oke, dia memang pintar tetapi untuk kali ini rasanya otaknya bahkan lebih lambat dari seekor keong.

Bagaimana bisa, sekarang dirinya berakhir dengan pakaian yang telah dilucuti dengan Suna Rintarou tinggi badan 190cm dengan berat kurang lebih 80kg menindihnya dengan keadaan yang tidak jauh berbeda dengannya.

“Suna kau berat—”

“Segini berat? Katanya kau mau membuktikan padaku”

“Apa?! Membuktikan apa?! Tiba-tiba ditindih olehmu begitu saja huh?!”, ujarnya di bawah sana dengan mata yang melotot dan bagi Suna itu terlihat begitu menggemaskan.

Lelaki itu mendekat, memberikan kecupan singkat pada bibir yang di bawahnya, berulang kali hingga membuat Komori terkekeh.

“Kau kenapa terlihat kesal?” tanyanya, sedikit mengintrupsi kegiatan Suna yang tengah menciumi seluruh wajahnya sekarang.

“Aku? Kesal? Tidak juga” dan Komori hanya bisa merotasikan bola matanya malas, yang benar saja, Washio saja menyadarinya.

“Tapi Washio-san bilang—”

Suna pun kembali menciumnya, kali ini lebih lama dan dalam, bahkan terdengar kecipak lidah yang saling bergelut dan desahan dari bibir Komori.

“Bisakah kau tidak membahas orang lain ketika denganku?”

Tunggu—

Dan itu membuat Komori tersenyum jahil, “Kau cemburu?”

Bukannya menjawab, Suna justru memasukkan jemari telunjuknya ke dalam anal milik Komori, membuat lelaki di bawah sana memekik tertahan dan mencengkram erat lengan kekar milik Suna.

“Suna—”

Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya Suna kembali menambah jarinya hingga dua, merenggangkan anak tersebut dan memasukkannya lebih dalam, memberikan kepuasan serta sensasi getaran yang aneh bagi Komori.

Stimulus otaknya bekerja dengan cepat, rangsangan tersebut membuatnya memejamkan mata dan bergerak gelisah di bawah sana, iya, Komori memang semsitif, tetapi hal tersebut justru membuat Suna tidak memberikan ampun kepadanya.

Lelaki yang berada di atasnya itu membungkuk, berusaha menjaga posisi tubuhnya agar tidak ambruk menimpa Komori sembari tangan lainnya mengurut genital milik lelaki di bawah sana.

Sekarang gantian Suna yang tersenyum jail, melihat betapa merahnya wajah hingga telinga Komori tak lupa peluh membasahi kening lelaki itu.

Persetan jika ada yang memergoki mereka bercinta saat ini.

Ia mengangkat kaki kanan lelaki itu, meletakkannya pada bahunya agar jemarinya dapat lebih leluasa mengeksplor anal lelaki itu.

“Ah sial, aku lupa disini tidak ada pelicin”

Komori hanya bisa menatapnya dengan sayu di bawah sana, jujur saja, tubuhnya panas dingin, menyebalkan, padahal ini bukan pertama kalinya mereka bercinta.

“Motoya, ini akan sedikit kasar semoga kamu tidak apa-apa” dan Komori mengangguk sebagai jawaban.

Sebelum Suna memulainya ia berulang kali memberikan kecupan singkat pada wajah—terutama kening lelaki itu.

Matanya memejam, cukup erat hingga membuatnya tanpa sadar mengigit bibir bawahnya ketika genital Suna mulai perlahan memasukkinya membuatnya mau tidak mau melebar.

Nafasnya tertahan kala Suna tiba-tiba berhenti, ia tahu itu baru setengah, mengerti akan reaksi tubuh Komori yang masih terlalu kaku itu pun membuat Suna memberikan rangsangan-rangsangan kecil.

Ia menciumnya, mencumbunya berulang kali, mencecap setiap inci permukaan kukit Komori yang sensitif sembari perlahan menenggelamkan dirinya, berpenetrasi, membiarkan ia tenggelam seutuhnya dan menyatuh di dalamnya.


Sofa itu berdecit, tidak lupa dengan desahan panjang Komori yang sesekali lolos dari bibirnya, peluh membasahi baik Komori maupun Suna, membuat tubuh mereka terlihat mengkilap di bawah sinar teranam lampu.

Sudah tidak dapat terhitung sudah berapa kali mereka melepaskan pelepasan satu sama lain, baik milik Komori yang membasahi kedua perut mereka ataupun Suna yang memenuhi Komori.

Jujur saja, dibanding melakukan oral atau pelepasan di luar mereka berdua lebih suka seperti ini, Suna menyukai bagaimana anal Komori memijatnya, membungkusnya, dan memanjakannya hingga ia keluar di dalam sana.

Sedangkan Komori juga menyukai sensasi bagaimana milih Suna memenuhinya, menumbuknya hingga mengenai prostatnya dan memberikan kepuasan tiada tara, tidak lupa bagaimana cairan semen milik Suna itu memberikan kehangatan di dalam sana.

Yes, he know exactly how strong his lovers is, and now he learm to be more careful of his words so it could not pity his lovers or he would end up with a long night sex like this

At least both of them enjoy it

— kau hanya cukup mengerti akan mengapa.

Komori membuka pintu rumahnya tak kala dirinya menerima pesan singkat yang menyatakan bahwa Suna sudah sampai di depan rumahnya dengan sefoto kantong plastik penuh akan jajanan untuk mereka.

Tersenyum cerah, tentu saja, ia membukakan pintu rumahnya untuk sang tamu, mempersilahkannya masuk.

🌻🌻🌻

“Kamu mau nonton apa emangnya? Tumben banget minta homedate” tanyanya seraya bersandar pada bahu Suna seraya memeluk plusie berbentuk penguin pemberian lelaki itu, memperhatian layar televisi lcd-nya yang diutak-utik untuk mencari-cari series atau film yang ingin mereka tonton.

“Dibilangin, aku pengen leyeh-leyeh tapi juga pengen ngedate”

Komori pun hanya bisa menrotasikan bola matanya malas mendengar jawaban dangdut dari oknum bernama Suna Rintarou yang masih asik mencari-cari series yang ingin dia tonton. 'Lama' satu kata yang hanya ia bisa batinkan, saking sudah gemesnya karna Suna lama banget padahal hanya sakadar memilih tontonan.

“Ih apasih itu judulnya?”

“Apa?”

“Dramanya Kyungsoo yang pernah kamu rekomendasiin”

Komori tersenyum mengejek, menatap Suna tak percaya yang seolah mengatakan 'Serius? Mau nonton itu?' namun Suna tidak menghiraukannya masih terus mencari tanpa petunjuk.

“Kamu kesambat apa tiba-tiba pengen nonton itu?”

“Aku kemarin ngga sengaja liat adikku streaming itu, ngintip-ngintip dikit kok kayaknya seru makanya aku penasaran”

Bohong.

Suna bohong, sebenarnya sebelum tawaran homedate ini dirinya sudah melakukan semacam 'observasi' mencari profil dan menonton trailer tiap film dan drama yang dibintangi Kyungsoo tak lupa mendengarkan lagu-lagu EXO atau klip Kyungsoo menyanyi dan akhirnya dia penasaran sama drama Kyungsoo yang pernah direkomendasikan oleh Komori.

“Yang tentang apa dulu nih, ada yang dia jadi psikopat, pangeran lupa ingatan, anak film, sama anak SMA yang kena kekerasan di rumah dari mamanya” jelas Komori, Suna tersenyum, gotcha, umpannya tepat sasaran.

“Kayaknya yang anak SMA deh, soalnya aku inget si Kyungsoo itu pakai seragam SMA terus nangis sambil luka-luka gitu”

Suna melirik sekilas, mendapati wajah Komori yang seketika berubah menjadi ceria padahal dirinya hanya menceritakan sedikit saja dari yang ia 'tau'. Seutas senyum yang samar pun muncul pada wajah Suna.

“Itu 'It's Okay Thats Love'! Emang bagus banget si dramanya, tapi serius mau nonton itu? Genrenya melodrama lo, kamu kan ga suka tontonan gitu”

“Sesekali, kan selama ini kamu yang nemenin aku nonton sama nyesuain genreku, sekarang gantian biar aku yang nyesesuain kamu, nonton apa yang kamu suka, paling ngga bisa bikin aku ngerti kenapa kamu suka banget sama Kyungsoo”

  • hujan yang tak kunjung reda

Komori menatap pantulan dirinya, dengan sweater dan celana training milik Suna yang begitu kebesaran pada dirinya. Wajahnya bersemu, aroma yang menguar dari pakaian yang ia kenakan sekarang begitu khas dengan milik Suna (tentu saja, karena pada dasarnya pakaian tersebut memang milik Suna). Tangannya ia dekatkan pada penciumannya, meresapi, mencecapi tiap rasa dan aroma yang ada, aroma itu tidak pernah berubah dari dulu. Aroma yang selalunya membuatnya tenang dan memabukkannya.

Memalukan, kenapa ia harus bersikap layaknya stalker mengerikan hanya demi bisa merasakan kembali sensasi ini di saat sang pemilik berada tepat dalam jangkauannya.

“Motoya? Kamu gapapa? Kok lama banget”

Ia tersentak kaget, sedikit terkejut sebelum kemudian merapikan penampilannya (yang seharusnya sudah tidak perlu diapa-apakan lagi) sebelum kemudian kembali untuk menemui Suna yang sudah menunggunya.

***

Seharusnya Suna menaruh atensinya pada acara televisi di hadapannya, tapi ia justru tak bisa mengalihkan pandangnya dari sosok yang duduk tept di sebelahnya. Sudah berapa lama sejak terakhir kali mereka begitu dekat seperti ini? Mungkin ia harus berterima kasih kepada Tuhan, takdir, atau siapapun dan apapun itu di atas sana yang mengatur hujan dan membiarkannya tak kunjung reda hingga sekarang, membuatnya berhasil terjebak bersama sosok Komori di kamar apartemennya seperti saat ini.

Merasa ada yang memperhatikannya Komori pun menolehkan kepalanya, mendapati sosok Suna yang menatapnya begitu lekat dan juga dekat bahkan mereka bisa merasakan hangatnya deru nafas satu sama lain.

Komori dapat merasakan jemari lentik Suna bergerak dan merapikan rambut-rambut berantakan pada wajahnya, kepalanya digerakkan, seolah meneliti setiap bagian dari wajahnya dan sesekali mengusap lembut pipi putihnya. Tangan itu berhenti tepat di bawah bibirnya, berhenti sejenak sebelum mengelusnya beberapa kali.

“Motoya”

Komori tidak menjawab sapaan tersebut, bersamaan dengan Suna yang perlahan memajukan dirinya dan mendekat kearahnya ia pun memejamkan matanya hingga ia dapat merasakan bibir Suna bertemu dan menyapa miliknya. Mereka hanya terdiam satu sama lain, tepat di saat Komori hendak membuka matanya Suna semakin maju dan mendekat, memperdalam ciuman mereka.

Tangan Suna yang semula bertumpu pada empuknya kasur itu pun bergerak membingkai kedua wajah Komori, lidahnya mulai bergerak, menginvansi. Bermain-main pada bibir bagian bawahnya, meminta izin untuk boleh masuk dan menjelajah ruang hangat di dalam sana.

“Euum”, leguhannya tertahan, membuatnya tidak sengaja membuka mulutnya yang kemudian dimanfaatkan oleh Suna untuk melesakkan lidahnya ke dalam sana. Mengabsen barisan giginya yang rapi dan juga berusaha menjangkau bahkan bagian terdalam dari mulutnya.

Suna bergerak maju hingga membuat Komori terbaring pada kasur kamarnya, ia memiringkan kepalanya agar mampu mendapat akses lebih di dalam sana dan mengajak lidah Komori untuk ikut berkelit dengannya.

Dengan ragu-ragu Komori membalas ajakan tersebut. Oh ayolah, Komori bukanlah pemula dan tentu saja dia sering melakukan hal ini dengan Suna, tetapi dengan kondisi hubungan mereka saat ini, ciuman yang ia lakukan terasa begitu canggung. Mengerti akan apa yang dirasakan lawannya itu Suna bergerak dengan lebih perlahan, berusaha agar terkesan tidak terburu-buru dan memaksa Komori.

Bibirnya tertarik membentuk seutas senyum kala Komori dirasa mulai terbiasa dan membalas ciumannya. Lidak mereka saling bergerak, melesak, dan berkelit satu sama lain. Berusaha untuk menjelajah ruang ataupun memberi perlawanan terhadap satu sama lain.

Leguhan demi leguhan sesekali lolos dari bibir Komori, bersamaan dengan entah saliva milik siapa yang menetes dari sudut bibirnya.

Komori menepuk dada Suna berulang kali, menandakan bahwa dirinya kehabisan pasokan oksigen. Dengan enggan Suna mengakhir ciuman mereka, bertingkah jahil dengan mengigit bibir bawah Komori membuat lelaki itu mengaduh tertahan.

Benang saliva tercipta di antara mereka sebelum kemudian terputus kala Suna menarik dirinya menjauh. Lelaki yang mengukungnya itu tersenyum, mengusap sudut bibir Komori yang basah dan sedikit memerah karna gigitannya.

“Sakit tau”, keluh yang di bawah, membuat Suna terkekeh.

Mereka saling bertukar pandang satu sama lain, dari atas sana Suna mampu melihat kedua netra jernih milih Komori, wajahnya memerah entah karna ciuman mereka barusan atau karna dinginnya pendingin ruangannya. Dari posisinya sekarang ia dapat melihat jenjang dan putih bersihnya leher hingga bahu milik Komori di bawah sana. Ia meneguk ludah, kerongkongannya tiba-tiba terasa kering.

Sial, ia dapat merasakan sesuatu di bawah sana mengeras kala mendapati tatapan polos dan penuh tanda tanya dari Komori di bawah sana, ia mendecih tidak suka.

“Kamu kenapa?”, tanya Komori, bisa-bisanya lelaki itu mempertanyakan itu padahal jelas-jelas dirinya terlihat frustasi.

Berusaha terlihat baik-baik saja, ia bergerak cepat memberikan ciuman ringan diantara kedua alis bulat milik Komori, kebiasaannya sendari dulu.

“Gapapa kok, kamu tidur ya udah malem”, jelasnya seraya bangkit dari posisinya, diikuti dengan Komori.

“Kamu ngga tidur juga?”

“Aku bisa tidur di sofa kok”

Suna mengusak lembut pucuk kepala lelaki itu, sebelum berlalu dan meninggalkannya seorang diri.

***

Komori menyentuh bibirnya, mengingat apa yang baru saja ia dan Suna lakukan sebelum lelaki itu pergi dan meninggalkannya. Ia mengigit bibir bawahnya hingga berdarah, merasa heran kenapa dia harus merasa sekesal ini, tetapi melihat gelagat Suna tadi, apa lelaki itu merasa bersalah? Menyesal atas ciuman mereka barusan?

Ia tersenyum miris, mungkin saja. Lagian apa yang ia harapkan dari Suna dengan hubungan mereka yang tidak baik-baik saja ini. Jelas saja Suna bersikap dingin seperti itu. Iya, apa yang ia harapkan.

***

Sementara itu Suna hanya bisa menghela nafas frustasi. Kesal terhadap dirinya sendiri yang tidak bisa menahan diri, hingga sampai mencium Komori tiba-tiba seperti tadi. Ditambah dengan tatapan kecewa Komori kala ia meninggalkan lelaki itu tiba-tiba seperti lelaki brengsek yang tidak bertanggung jawab.

TENTU SAJA IA HARUS PERGI ATAU PALING TIDAK TIDAK SATU RUANGAN DENGANNYA ATAU IA JUSTRU BERAKHIR MEMPERKOSA PACARNYA ITU.

Astaga...

Ia menatap pantulan dirinya sendiri di cermin, wajahnya kusut, bagaimana ia bisa bertemu, menjelaskan pada Komori dan meminta maaf, ia sudah tidak punya muka di hadapan lelaki itu. Semoga saja hubungannya tidak semakin memburuk karena kecerobohannya itu.

Untuk sekarang ia harus melupakan itu, pikir nanti saja. Ada sesuatu yang lebih mendesak yang harus ia lakukan, hasratnya sudah di puncak dan harus di keluarkan.

Sungguh Suna yang malang, justru berakhir bermain seorang diri seraya mendesahkan nama Komori berulang kali dengan frustasi.