coming together: right here
🌙🌙🌙
“Kamu mau pastry, pancake, atau slice cake?”
Saat ini Tsukishima dan Yachi telah tiba di salah satu resto yang dapat dibilang cukup bergengsi dan juga high end bagi mereka para mahasiswa dengan uang pas-pasan. Maklum awal bulan, tidak ada salahnya mahasiswa perantauan seperti mereka menikmati self reward mewah semacam ini. Dan di sini lah mereka sekarang, tengah memesan menu untuk menemani mereka bersua atau lebih tepatnya menemani Yachi yang tengah dilanda gulana.
“Huum… aku mau coklat nutella pancake deh! Kamu strawberry cheesecake kan ya?”
“Iya,”
Gadis mungil itu pun mengangkat tangannya, memanggil pelayan mereka dan menyebutkan pesanannya. Setelah memastikan makanan yang mereka pesan telah sesuai pelayan itu kemudian undur diri untuk menyiapkan kudapan mereka.
Yachi pun mengeluarkan laptop dan juga lembaran skripn yang telah ia print salinannya dan menyerahkannya pada Tsukishima, ada cukup banyak coretan sana sini dan beberapa hal yang diberi warna-warni stabilo di sana. Lelaki jangkung itu membacanya dengan seksama sembari membolak-balikkan lembaran kertas yang cukup tebal itu.
“Itu salinan draft terbaru sih, kak Kenma bilang ngga ada revisi tapi ya gitu, dia bilang aku harus mikirin ending-nya sebelum akhirnya kita bisa proses syuting sih… yang mana… minggu ini harus udah jadi karena minggu depan timeline produksi kita udah masuk ke reading,”
Tsukishima hanya bergumam pelan sebelum kemudian dirinya menyandarkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya—ditatapnya gadis di hadapannya itu lamat-lamat, “Terus, apa yang kamu bingungkan? Kenapa kamu waktu itu bilang mau ending gantung aja?” tanyanya.
Yachi mungkin adalah sahabatnya, jika mereka saat ini tidak berada dalam konteks dan ranah profesional alias membahas skrip film, Tsukishima tidak akan bertanya demikian—ia akan sedikit lebih lembut (mungkin). Tapi karena di sini dirinya adalah sutradara dari film yang Yachi garap maka ia harus tau sudut pandang gadis itu akan ceritanya. Kenapa dirinya memilih akhir demikian untuk progres naskah mereka yang sudah sangat bagus ini.
“Karena… aku gatau mau dibawa kemana akhir dari karakternya—,” dan Tsukishima pun memukul halus kepala Yachi dengan tumpukan kertas naskah itu, membuat gadis itu mengaduh sakit sembari memegangi kepalanya.
“Kamu bisa-bisa digantung kak Kenma kalo jawab gitu. Kamu yng nulis, sudah jadi konsekuensimu buat tau akhir dari ceritamu, mau kamu bawa kemana karakternya,” jelasnya. Yachi hanya bisa memberengut sebal karena ucapan laki-laki itu memang benar adanya. Tapi mau bagaimana lagi?
Naskahnya kali ini terlalu personal bagi Yachi—dan ketika hubungannya sendiri tidak mendapat perkembangan atau arah kemana akan ia bawa, maka karakter dari naskahnya pun tidak bergerak maju—pada akhirnya dirinya memang bingung akan hubungannya dengan Hinata, perasaannya, dan apa yang dia inginkan.
“Apa sih yang bikin kamu ragu sama cowo yang kamu ceritain di sini?” tanya Tsukishima tiba-tiba—sedikit memajukan duduknya ke arah sang puan. Fokusnya tertuju pada lembar kedua naskah di tangannya—pada adegan di mana Yachi—yang menggambarkan dirinya dengan sang puan—menceritakan bagaimana ia bertemu dan tertarik dengan sang tuan.
“Dari yang aku baca, sang Puan merasa nyaman, ada banyak ketertarikan di antara mereka, kedekatan mereka pun mengalir begitu saja—dia ngga pernah merasa senyaman itu sebelumnya, lalu apa yang diragukan sang Puan?”
“Justru itu Kei…, karena ia merasa nyaman ia pun merasa ragu…,” dan Tsukishima pun kembali menggetok kepala Yachi dengan lembaran naskah di tangannya, “Sakit!”
“Dan di situ tugas kamu Yachi, sebagai penulis skenario—bukan sebagai karakter yang digambarkan, tetapi sebagai seseorang yang mengatur mereka. Jika memang karaktermu merasa ragu akan rasa nyaman itu maka kamu dapat menceritakannya kenapa bisa begitu,”
Tsukishima pun menghela nafas pelan, “Aku tau mkta memang harus mengasumsikan penonton kita ini mampu mengambil deduksi dari cerita kita—tapi kalau ngga diberi penjelasan maka penonton ngga bisa mengerti keraguan yang dirasakan oleh sang Puan.”
“Ibarat ya, aku penonton, penggambaran filmmu tuh… mereka punya mutual feeling tapi akhirnya mereka ga bersama atau gantung, buat apa kamu menggambarkan semua perasaan yang membuncah ruah itu pada akhirnya? Di sini kita perlu turn and twist untuk menjelaskan kenapa sang puan ini ragu akan perasaannya,”
“Contohnya?”
Satu pertanyaan yang Yachi lontarkan itu sukses membuat Tsukishima menengok ke arah sang gadis sebelum kemudian tersenyum dan menghela nafas berat. Tangannya ia ulurkan untuk mengusak kasar surai pirang sang puan. Mengundang protes dari gadis mungil itu karena membuat rambutnya berantakan.
“Kok nanya aku, kamu yang paling tau akan hubungan sang Puan dan Tuan kan?”
Ah iya benar juga
Fokus perhatian mereka sedikit teralih oleh kedatangan pelayan yang mengantarkan menu makanan pesanan mereka. Setelah memastikan semuanya sesuai pelayan itu pun pamit undur diri—menyisakan mereka untuk lanjut dalam percakapan yang sempat terpotong.
Walaupun sedikit ragu, Yachi pun perlahan mulai bercerita.
“Emang bener…, kalau selama ini aku lagi deket sama cowo… ada lah… ga aku sebut namanya. Tapi gimana ya…, terlalu mulus dan natural… kesukaan kita sama…, kita banyak nyambungnya… dan justru bikin aku takut atau ragu,”
“Kenapa?”
“Karena aku merasa pada akhirnya aku tidak mengenalnya sepenuhnya… maksud aku… rasa nyaman ini yang kemudian membuatku merasa bahwa perasaan ini ‘mutual’ tapi nyatanya aku gatau apa-apa soal dia,”
Dan Tsukishima pun hanya tersenyum mendengar curahan hati gadis tersebut. Dirinya sangay mengerti akan perasaan tersebut dan bukankah itu yang dirasakan mereka yang tengah jatuh cinta. Takut bahwa perasaannya pun hanya akan bertepuk sebelah tangan.
“Aku boleh kasih saran ngga?” celetuk Tsukishima tiba-tiba sembari berpangku tangan dan menatap lekat gadis di hadapannya. Walau sedikit ragu gadis itu mengangguk mengiyakan.
“Sebelum itu, aku ada cerita… aku ada suka sama orang, bisa dibilang dari kita semester satu sampai sekarang kita udah semester empat… dua tahun berarti,”
“HAH BENERAN? KOK GAK CERITA?” Potong Yachi tiba-tiba, dan tentu saja gadis itu terkejut pasalnya selama ini Tsukishima tak pernah menceritakan apapun perihal asmaranya. Cih ia merasa seidkit dikhianati, ia kira hubungan mereka istimewa.
“Jangan dipotong dulu cil ini kan lagi cerita,”
Oh iya iya
“Oke lanjut ya…, dua tahun aku naksir orang dan ya temen-temenku yakinin aku buat confess tapi aku nolak karena ya sama seperti yang dirasain sama karaktermu. Aku ragu… takutnya perasaan itu ngga mutual,”
“Tapi… bedanya, aku akhirnya tau akan perasaan orang yang aku suka dan perasaanku ke dia sama apa yang aku inginkan buat aku, dia dan diri kita.”
“Gimana itu caranya kamu akhirnya tau dan bisa mutusin itu?”
“Karena ada orang lain yang selalu di lihat sama cewe ini. Aku sadar kalo emang bukan aku orangnya. Kita deket tapi ya berasa jauh… menurutku kadang memang kita paham perasaan kita apa yang kita inginkan itu karena adanya kehadiran orang lain… dan yah… kehilangan. Rasa sakit hati kadang bikin kita paham bahwa sesuatu itu berharga,”
“Tapi aku gamau ada yang sakit di cerita ini,”
Dan Tsukishima pun kembali memukul pelan pucuk kepala Yachi, “Kalau begitu kamu egois. Membiarkan karaktermu terus berada dalam ragu, hubungan dan perasaan yang mengawang,”
“Yah, tapi terserah sih mau gimana akhirnya toh kamu yang punya cerita. Dan perasaanmu itu kamu yang menentukan,”
Tsukishima mengambil sepasang piring dan pisau dessert miliknya, memotong kecil kue miliknya sebelum meletakkannya di piring dessert milik Yachi, tak lupa dengan sepotong stoberi besar yang menjadi buah favorit gadis itu.
“Udah yuk, makan dulu sebelum es di pancake-mu cair tuh,”
“Ah! Iya…,”
Seakan terhipnotis Yachi pun menuruti apa yang dikatakan Tsukishima. Pembicaraan mereka pun berganti topik dari pembahasan mengenai naskah film mereka dan curahatn hati yang ada. Menjadi hal-hal sederhana seperti cerita-cerita selingan selama mereka mejalani hari.
Tapi yang jelas, Yachi pun tau dan sadar, dan sepertinya ia telah memiliki sudut pandang baru yang berbeda dari sebelumnya.