komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

🌙🌙🌙

“Kamu mau pastry, pancake, atau slice cake?”

Saat ini Tsukishima dan Yachi telah tiba di salah satu resto yang dapat dibilang cukup bergengsi dan juga high end bagi mereka para mahasiswa dengan uang pas-pasan. Maklum awal bulan, tidak ada salahnya mahasiswa perantauan seperti mereka menikmati self reward mewah semacam ini. Dan di sini lah mereka sekarang, tengah memesan menu untuk menemani mereka bersua atau lebih tepatnya menemani Yachi yang tengah dilanda gulana.

“Huum… aku mau coklat nutella pancake deh! Kamu strawberry cheesecake kan ya?”

“Iya,”

Gadis mungil itu pun mengangkat tangannya, memanggil pelayan mereka dan menyebutkan pesanannya. Setelah memastikan makanan yang mereka pesan telah sesuai pelayan itu kemudian undur diri untuk menyiapkan kudapan mereka.

Yachi pun mengeluarkan laptop dan juga lembaran skripn yang telah ia print salinannya dan menyerahkannya pada Tsukishima, ada cukup banyak coretan sana sini dan beberapa hal yang diberi warna-warni stabilo di sana. Lelaki jangkung itu membacanya dengan seksama sembari membolak-balikkan lembaran kertas yang cukup tebal itu.

“Itu salinan draft terbaru sih, kak Kenma bilang ngga ada revisi tapi ya gitu, dia bilang aku harus mikirin ending-nya sebelum akhirnya kita bisa proses syuting sih… yang mana… minggu ini harus udah jadi karena minggu depan timeline produksi kita udah masuk ke reading,”

Tsukishima hanya bergumam pelan sebelum kemudian dirinya menyandarkan tubuhnya dan melipat kedua tangannya—ditatapnya gadis di hadapannya itu lamat-lamat, “Terus, apa yang kamu bingungkan? Kenapa kamu waktu itu bilang mau ending gantung aja?” tanyanya.

Yachi mungkin adalah sahabatnya, jika mereka saat ini tidak berada dalam konteks dan ranah profesional alias membahas skrip film, Tsukishima tidak akan bertanya demikian—ia akan sedikit lebih lembut (mungkin). Tapi karena di sini dirinya adalah sutradara dari film yang Yachi garap maka ia harus tau sudut pandang gadis itu akan ceritanya. Kenapa dirinya memilih akhir demikian untuk progres naskah mereka yang sudah sangat bagus ini.

“Karena… aku gatau mau dibawa kemana akhir dari karakternya—,” dan Tsukishima pun memukul halus kepala Yachi dengan tumpukan kertas naskah itu, membuat gadis itu mengaduh sakit sembari memegangi kepalanya.

“Kamu bisa-bisa digantung kak Kenma kalo jawab gitu. Kamu yng nulis, sudah jadi konsekuensimu buat tau akhir dari ceritamu, mau kamu bawa kemana karakternya,” jelasnya. Yachi hanya bisa memberengut sebal karena ucapan laki-laki itu memang benar adanya. Tapi mau bagaimana lagi?

Naskahnya kali ini terlalu personal bagi Yachi—dan ketika hubungannya sendiri tidak mendapat perkembangan atau arah kemana akan ia bawa, maka karakter dari naskahnya pun tidak bergerak maju—pada akhirnya dirinya memang bingung akan hubungannya dengan Hinata, perasaannya, dan apa yang dia inginkan.

“Apa sih yang bikin kamu ragu sama cowo yang kamu ceritain di sini?” tanya Tsukishima tiba-tiba—sedikit memajukan duduknya ke arah sang puan. Fokusnya tertuju pada lembar kedua naskah di tangannya—pada adegan di mana Yachi—yang menggambarkan dirinya dengan sang puan—menceritakan bagaimana ia bertemu dan tertarik dengan sang tuan.

“Dari yang aku baca, sang Puan merasa nyaman, ada banyak ketertarikan di antara mereka, kedekatan mereka pun mengalir begitu saja—dia ngga pernah merasa senyaman itu sebelumnya, lalu apa yang diragukan sang Puan?”

“Justru itu Kei…, karena ia merasa nyaman ia pun merasa ragu…,” dan Tsukishima pun kembali menggetok kepala Yachi dengan lembaran naskah di tangannya, “Sakit!”

“Dan di situ tugas kamu Yachi, sebagai penulis skenario—bukan sebagai karakter yang digambarkan, tetapi sebagai seseorang yang mengatur mereka. Jika memang karaktermu merasa ragu akan rasa nyaman itu maka kamu dapat menceritakannya kenapa bisa begitu,”

Tsukishima pun menghela nafas pelan, “Aku tau mkta memang harus mengasumsikan penonton kita ini mampu mengambil deduksi dari cerita kita—tapi kalau ngga diberi penjelasan maka penonton ngga bisa mengerti keraguan yang dirasakan oleh sang Puan.”

“Ibarat ya, aku penonton, penggambaran filmmu tuh… mereka punya mutual feeling tapi akhirnya mereka ga bersama atau gantung, buat apa kamu menggambarkan semua perasaan yang membuncah ruah itu pada akhirnya? Di sini kita perlu turn and twist untuk menjelaskan kenapa sang puan ini ragu akan perasaannya,”

“Contohnya?”

Satu pertanyaan yang Yachi lontarkan itu sukses membuat Tsukishima menengok ke arah sang gadis sebelum kemudian tersenyum dan menghela nafas berat. Tangannya ia ulurkan untuk mengusak kasar surai pirang sang puan. Mengundang protes dari gadis mungil itu karena membuat rambutnya berantakan.

“Kok nanya aku, kamu yang paling tau akan hubungan sang Puan dan Tuan kan?”

Ah iya benar juga

Fokus perhatian mereka sedikit teralih oleh kedatangan pelayan yang mengantarkan menu makanan pesanan mereka. Setelah memastikan semuanya sesuai pelayan itu pun pamit undur diri—menyisakan mereka untuk lanjut dalam percakapan yang sempat terpotong.

Walaupun sedikit ragu, Yachi pun perlahan mulai bercerita.

“Emang bener…, kalau selama ini aku lagi deket sama cowo… ada lah… ga aku sebut namanya. Tapi gimana ya…, terlalu mulus dan natural… kesukaan kita sama…, kita banyak nyambungnya… dan justru bikin aku takut atau ragu,”

“Kenapa?”

“Karena aku merasa pada akhirnya aku tidak mengenalnya sepenuhnya… maksud aku… rasa nyaman ini yang kemudian membuatku merasa bahwa perasaan ini ‘mutual’ tapi nyatanya aku gatau apa-apa soal dia,”

Dan Tsukishima pun hanya tersenyum mendengar curahan hati gadis tersebut. Dirinya sangay mengerti akan perasaan tersebut dan bukankah itu yang dirasakan mereka yang tengah jatuh cinta. Takut bahwa perasaannya pun hanya akan bertepuk sebelah tangan.

“Aku boleh kasih saran ngga?” celetuk Tsukishima tiba-tiba sembari berpangku tangan dan menatap lekat gadis di hadapannya. Walau sedikit ragu gadis itu mengangguk mengiyakan.

“Sebelum itu, aku ada cerita… aku ada suka sama orang, bisa dibilang dari kita semester satu sampai sekarang kita udah semester empat… dua tahun berarti,”

“HAH BENERAN? KOK GAK CERITA?” Potong Yachi tiba-tiba, dan tentu saja gadis itu terkejut pasalnya selama ini Tsukishima tak pernah menceritakan apapun perihal asmaranya. Cih ia merasa seidkit dikhianati, ia kira hubungan mereka istimewa.

“Jangan dipotong dulu cil ini kan lagi cerita,”

Oh iya iya

“Oke lanjut ya…, dua tahun aku naksir orang dan ya temen-temenku yakinin aku buat confess tapi aku nolak karena ya sama seperti yang dirasain sama karaktermu. Aku ragu… takutnya perasaan itu ngga mutual,”

“Tapi… bedanya, aku akhirnya tau akan perasaan orang yang aku suka dan perasaanku ke dia sama apa yang aku inginkan buat aku, dia dan diri kita.”

“Gimana itu caranya kamu akhirnya tau dan bisa mutusin itu?”

“Karena ada orang lain yang selalu di lihat sama cewe ini. Aku sadar kalo emang bukan aku orangnya. Kita deket tapi ya berasa jauh… menurutku kadang memang kita paham perasaan kita apa yang kita inginkan itu karena adanya kehadiran orang lain… dan yah… kehilangan. Rasa sakit hati kadang bikin kita paham bahwa sesuatu itu berharga,”

“Tapi aku gamau ada yang sakit di cerita ini,”

Dan Tsukishima pun kembali memukul pelan pucuk kepala Yachi, “Kalau begitu kamu egois. Membiarkan karaktermu terus berada dalam ragu, hubungan dan perasaan yang mengawang,”

“Yah, tapi terserah sih mau gimana akhirnya toh kamu yang punya cerita. Dan perasaanmu itu kamu yang menentukan,”

Tsukishima mengambil sepasang piring dan pisau dessert miliknya, memotong kecil kue miliknya sebelum meletakkannya di piring dessert milik Yachi, tak lupa dengan sepotong stoberi besar yang menjadi buah favorit gadis itu.

“Udah yuk, makan dulu sebelum es di pancake-mu cair tuh,”

“Ah! Iya…,”

Seakan terhipnotis Yachi pun menuruti apa yang dikatakan Tsukishima. Pembicaraan mereka pun berganti topik dari pembahasan mengenai naskah film mereka dan curahatn hati yang ada. Menjadi hal-hal sederhana seperti cerita-cerita selingan selama mereka mejalani hari.

Tapi yang jelas, Yachi pun tau dan sadar, dan sepertinya ia telah memiliki sudut pandang baru yang berbeda dari sebelumnya.

🌙🌙🌙

“Jadi, apa sih yang bikin kamu segitu sukanya sama Yachi?”

“Kataku minimal nunggu makanannya datang gitu loh kak,”

Malam ini Tsukishima, Bokuto, Kuroo, dan Akaashi sepakat untuk nongkrong di salah satu kedai ramen langganan mereka—walau harus menempuh jalan cukup jauh dari kos mereka tapi demi makanan enak (dan juga karena lagi awal bulan, kalau akhir bulan mah boro-boro) maka mereka pun rela melakukannya. Terlepas dari itu, alasan utamanya adalah untuk menghibur bontot besar kesayangan mereka, si pieang yang sepertinya menjadi teman patah hati dan juga terjebak friendzone

Ketiga lelaki jangkung itu mengambil duduk di salah satu gampat yang cukup kosong—memilih untuk di area utama pasar ikan, bukan pantry yang langsung mengarah ke dapur. Setelah memesan makanan dan Akaashi membayarnya di sini lah cerita tentang Tsukishima pun di mulai.

🌙🌙🌙

Tsukishima dan Yachi itu sudah lama mengenal, mereka sudah bersama sejak masa orientasi. Bisa dikatakan terjebak dalam situasi di mana mereka harus lah bersama-sama

Mulanya mereka tak sengaja berkenalan ketika pra-orientasi jurusan mereka, berkenalan dengan teman seangkatan dan siapa sangka ternyata mereka sama-sama mahasiswa perantauan. Berbicara dan berbincang untuk waktu yang lama, dengan sesama teman perantauan yang lain mereka bersua di salah satu gazebo kampus sambil menikmati makanan yang disediakan para senior mereka.

Siapa sangka mereka pun kembali dipertemukan pada masa orientasi saat pemaparan unit kegiatan mahasiswa, sama-sama sedikit terkejut mendapati satu sama lain yang memiliki ketertarikan akan dunia layar lebar—khususnya di balik layar sinema. Dan semakin didekatkan oleh fakta di mana mereka tidak hanya berbagi kesukaan yang sama namun juga saling melengkapi satu sama lain. Paling tidak itu yang Tsukishima yakini.

Mereka tidaklah sama, sejatinya pola pikir mereka cukup berbeda terlepas banyak ketertarikan satu sama lain yang serupa. Di mana Yachi lebih mengedepankan perasaan dibandingkan logika, tidak seperti Tsukishima. Bagaimana Yachi melihat dunia dengan warna dan kacamata yang berbeda dengan Tsukishima. Tetapi, terlepas perbedaan yang ada siapa sangka justru Yachi adalah satu-satunya orang yang mampu memahami Tsukishima tanpa perlu laki-laki itu banyak berbicara atau bercerita tentangnya.

Yachi adalah satu-satunya orang yang berbeda dengannya namun dapat memahami cara pandangnya dengan begitu mudah dan sederhana. Layaknya sebuah cermin ia dapat melihat projeksi pikirannya dari Yachi Hitoka tanpa repot-repot berbicara—untuk pertama kalinya, Tsukishima merasa ada yang memahaminya dan itu lebih dari cukup untuknya.

Karena dari yang ia pelajari dan yakini, hubungan dapat terbentuk dan terjalin, terjaga dengan cukup baik jika adanya pemahaman satu sama lain.

Itu lah sebabnya ia merasa cukup dengan apa yang ia miliki dengan Yachi

🌙🌙🌙

“Tapi kayaknya sih Yachi lagi suka sama orang lain,” celetuk Tsukishima bersamaan dengan keempat porsi ramen pesanan mereka.

Asap panas mengepul dari keempat mangkuk mi ramen berukuran sedang tersebut. Lelaki bersurai pirang itu mengambil sepasang sumpit dan juga sendok. Di seruputnya kuah shoyu ramen miliknya—membuatnya tersenyum puas atas cita rasa otentik yang masih terjaga keasliannya sejak pertama dirinya datang ke sini.

“Tau itu darimana?”

Pertanyaan itu datang dari Akaashi, lelaki bersurai hitam dengan kacamata—senior satu tahun di atasnya itu mengambil bubuk cabe yang selalu ia bawa ke mana-mana membuat Tsukishima terkadang menatap sangsi dan juga khawatir karena lelaki itu punya riwayat penyakit lambung tapi kesukaannya pada pedas itu sudah tidak tertolong. Bahkan ia sampai membawa bubuk cabe kemana-mana. Setelah menambahkan bubuk cabe dengan porsi tidak manusiawi Akaashi pun menambahkan sambal bawaan tempat makan tersebut ke dalam kudapannya.

“Demi Tuhan Keiji, kamu mau dirawat di IGD lagi karena tukak lambung?” omel Kuroo. Jujur saja cukup lucu bagi Tsukishima melihat Kuroo dengan penampilan paling berandalan dan urakan itu justru tidak kuat memakan makanan pedas, sangat berbeda dengan Akaashi yang maniak sambel itu. Bahkan mereka berempat percaya kalau cinta Akaashi habis di cabai dan capcaisin.

“Awalnya sih cuma nebak-nebak aja ya, dari skrip terakhir yang ditulis sama Hitoka. Tema film kita tentang cinta… dan yah… penulis menuangkan apa yang ia rasakan dalam tulisannya, dan sebagai sutradara film yang Hitoka tulis aku dapat ngerasain perasaan Hitoka. Tapi aku gatau orangnya siapa, Hitoka belum mau cerita, dan aku menghargai pilihannya itu,” jelas Tsukishima cukup panjang.

Mereka pun menyantap kudapan mereka, membiarkannya hening sejenak untuk mengunyah dan menikmati sesap kuah panas ramen yang ada. Sesekali mengambil tempura yang mereka pesan.

“Kamu ga ada niatan confess?,” pertanyaan Bokuto itu pun mengundang satu kekehan kecil dari Tsukishima, “Ngapain? Nggak ah aku cukup puas dengan kondisiku sekarang,”

Tsukishima pun kembali menyantap ramennya, jeda cukup lama hingga dirinya selesai mengunyah kudapannya tersebut.

“Aku mau liat dulu, ending dari cerita Hitoka, gimana akhirnya perasaan dia berlabuh, baru mungkin setelah itu confess ke dia,”

“Walau itu berarti kamu ditolak?”

“Walau itu berarti aku ditolak,”

🌙🌙🌙

———

Sebulan berlalu lamanya—dan sesungguhnya cukup lucu bagi Sakusa mengingat mereka hanyalah orang asing yang tak sengaja dipertemukan di salah satu kedai kopi di pusat kota Tokyo—oh iya, yang dimaksud mereka di sini adalah dirinya dan Iizuna. Pada nyatanya Sakusa dan Iizuna tidak pernah janjian untuk bertemu di jam yang sama dan tempat yang sama, bahkan untuk bertukar kontak satu sama lain pun tidak dilakukannya hingga sekarang.

Biasanya Iizuna maupun Sakusa akan menunggu satu sama lain, jika Iizuna yang datang terlebih dahulu maka lelaki itu akan menunggu di antrian pesanan sembari menunggu Sakusa, begitu pula sebaliknya. Mereka kemudian akan berjalan menuju kantor masing-masing, berpisah di persimpangan kota—dan jika beruntung maka pada saat jam pulang kantor mereka akan kembali bertemu, dan kemudian berjalan bersama menuju stasiun sembari sesekali berhenti di salah satu mini market atau restoran untuk membeli makan malam.

“Terima kasih atas pesanan Anda, silahkan datang kembali,”

Sakusa menerima pesanan kopinya, sedikit bingung karena tidak mendapati Iizuna—dialihkan pandangannya pada arloji, jam menunjukkan pukul delapan tiga lima—terlambat lima menit dari waktu biasanya Iizuna atau dirinya datang.

Entah mengapa Sakusa sedikit kecewa

Dimasukkannya kembali dompetnya dalam tas kerjanya sebelum kemudian berlau, meninggalkan kedai kopi tersebut—untuk pertama kalinya setelah sebulan lamanya, Sakusa berjalan seorang diri menju kantornya, kembali pada rutinitasnya sendiri.

Tak apa, Sakusa telah terbiasa dengan kesendirian, baginya kehadiran orang lain adalah bentuk komprominya atas presensi dan eksistensi yang lain

———

Satu minggu Dua minggu Tiga minggu Satu bulan berlalu

Entah berapa lama Sakusa memutus untuk menghitung hari, dan berganti pada kesimpulan, bisa saja Iizuna mengganti toko kopi langganannya. Berusaha tidak memikirnya, bersikap acuh, tapi tetap saja, di setiap harinya ada sedikit harap di batin Sakusa di mana lelaki bersurai hijau itu akan muncul, di meja antrian kopi atau di depan kasih dan kemudian mereka akan menghabiskan waktu bersama untuk mengobrol selama perjalanan ke kantor.

Sedikit menyedihkan batinnya, di mana ia telat menemukan ‘teman’ di rutinitas yang cukup menjemukkan ini namun seketika harus kehilangannya tanpa sepatah kata.

Dan tepat pada sebulan sejak absennya Iizuna, Sakusa mendapati figur yang selama ini tengah ia tunggu sedang berbincang santai di depan meja antrian dengan sang kasih, menunggu pesanan kopinya dengan seutas senyum dan raut wajah yang ceria. Tanpa sadar, Sakusa pun mempercepat langkah kakinya, membuat denting lonceng di pintu masuk terdengar cukup berisik dari biasanya membuat Iizuna pun seketika menoleh ke arahnya.

“Selamat datang,”

“Oh! Hai Sakusa!”

Sakusa pun memesan kopinya tepat setelah menyapa singkat Iizuna, sedikit terburu-buru agar bisa langsung menuju dan mengobrol dengan lelaki itu.

“Hari ini agak terlambat?” tanya Iizuna berbasa-basi. Jika biasanya Sakusa benci orang melabeli atau mengatakan kepadanya bahwa ia terlambat mungkin untuk Iizuna saat ini dirinya tak terlalu mempermasalahkannya, sedikit berbohong kepada Iizuna, berkata bahwa keretanya sedikit terlambat dan Iizuna pun tak terlalu mengacuhkan detail seperti itu. Hanya sebuah basa-basi.

“Oh iya, kak Iizuna selama ini ke mana deh? Kok ga pernah kelihatan?”

Pertanyaan itu bukan dari Sakusa, tapi salah satu barista yang menyerahkan pesanan lelaki itu, sebelum kemudian diterimanya dan segera diminumnya es kopi tersebut—sedikit berbeda dari pesanannya biasanya, di mana Iizuna lebih suka memesan kopi panas.

“Iya nih, sebulan lalu ada field trip ke Osaka jadi ya gitu,”

“Lama banget kak sampai sebulan,”

Dan Iizuna hanya tertawa kecil, “Biasa, kerjaan,”

“Ah iya! Pesanan atas nama kak Sakusa!” dan Sakusa pun berjalan ke arah pantry untuk mengambil kopinya.

“Udah?” tanya Iizuna dan Sakusa pun mengangguk, “Kita duluan ya kak! See you!” pamit Iizuna kepada barista yang sepertinya sudah Iizuna kenal baik itu.

Iizuna dan Sakusa pun meninggalkan kedai kopi tersebut, dengan Sakusa yang membukakan pintu untuk Iizuna terlebih dahulu, Iizuna pun dengan sabar menunggu Sakusa sebelum mereka berjalan beriringan seperti rutinitas mereka sedia kali.

———

Ah rasanya seketika hari Sakusa menjadi menyenangkan

———

———

Sakusa itu bukanlah seorang pujangga—bukan pula seorang pengembara cinta, maka jika ia disuruh mendefinisikan apa itu cinta, maka ia tidak akan mampu mendefinisikannya secara jelas dan konkrit, semua terlalu abstrak untuk pola pikirnya.

Satu-satunya perasaan membuncah penuh suka cita akan indahnya cinta sejatinya pun baru ia rasakan di usianya yang bisa dikatakan tidaklah lagi muda—bukan cinta bersemi yang masih malu-malu di usia remaja—melainkan pada awal dua puluh tahunnya, bertemu dengan Atsumu dan menjadi rekan se kampusnya.

Atsumu menawarkan Sakusa akan apa itu cinta—paling tidak dari perspektif lelaki bersurai kuning tersebut. Memberikan sudut pandang cinta dari kacamata yang membuncah, penuh semangat, dan membara. Seakan selalu ada bara api di setiap percikannya.

Dan Sakusa pun berusaha untuk berkompromi akan sudut pandang itu—memahami cinta sebagaimana yang Atsumu ajarkan, menerimanya, berkompromi dengannya, membuatnya ia kemudian terbiasa.

Namun bagi Sakusa ia sebenarnya masih tidak mengerti akan apa itu cinta. Lambat laun, membuat Atsumu jemu hingga jengah—bara api itu pun perlahan kehilangan pijarnya, perciknya pun tak senyala semula—menyisakan bara tanpa api, hangus begitu saja.

Dan Sakusa pun merasakan apa yang namanya putus cinta untuk pertama kalinya… atau mungkin pupus cinta

Sakusa telah terbiasa atas kompromi untuk menerima kehadiran Atsumu dan cintanya, cinta yang membara, menyala dengan pijarnya. Dan ketika semua itu telah hangus tak bersisa Sakusa berasumsi bahwa ia tidak akan bisa jatuh cinta lagi—tak ada yang menawarkan baranya kembali padanya.

Dan yang ia rasakan sendiri adalah kehidupannya yang kembali seperti sedia kala, tanpa Atsumu—hei, bukannya ia menjadi jahat tetapi memang dia merasa bahwa tak ada perubahan signifikan karenanya—ia terbiasa dan familiar akan kehadiran Atsumu, meski demikian hilangnya presensi lelaki itu dalam hidupnya pun tak membawa perubahan banyak dalam rutinitasnya.

Karena sumbu antara Atsumu dan Sakusa terlalu bertolak belakang

Dan sepertinya putus cinta pertamanya membuatnya beranggapan bahwa tak masalah baginya hidup tanpa cinta. Karena warna dalam hidup Sakusa lebih dominan hitam dan putih, nyala merah bara api Atsumu yang sangat kontras pun tetap tak akan bisa padu dengan kehidupan Sakusa.

Terlalu menyala, terlalu cerah, dan seberapa besar Sakusa berusaha untuk berkompromi tetap saja mereka tidak akan bisa menciptakan harmoni.

———

Pagi itu, seperti biasa, Sakusa menaiki kereta listrik untuk menuju kantornya—seperti hari-hari pada umumnya, Sakusa akan duduk di salah satu kursi penumpang di gerbong kereta yang menurutnya cukup ideal, tidak terlalu awal maupun akhir, di mana juga orang-orang jarang mengambil pilihan gerbong tersebut.

Kegiatannya pun lagi-lagi sama, membaca buku sembari sesekali memperhatikan orang-orang yang mulai memadati kereta—satu jam telah berlalu, Sakusa pun turun saat kereta yang ia tumpangi telah tiba di stasiun tujuannya. Kembali melangkahkan kakinya ke salah satu toko kopi tempat ia di mana terbiasa memesan kopi untuk mengaqali harinya. Terbiasa, adalah suatu mindset yang telah Sakusa tanamkan sendari dulu, membuat gerak tubuhnya bergerak dalam kondisi autopilot tanpa sadar.

“Terima kasih, silahkan datang kembali,”

Sakusa pun menerima secangkir kopinya tersebut sebelum kemudian berlalu—hanya berselang beberapa langkah dari coffee shop langganannya tersebut ia dapat mendengar derap langkah kaki terburu-buru, sebelum akhirnya langkahnya terhenti karena seseorang menarik tangannya tiba-tiba, membuatnya memicingkan mata tak suka.

“Tuan! Maaf…!” dengan segera lelaki itu melepaskan tarikan tangannya melihat reaksi tak suka dari tuan berambut ikal tersebut. “Maaf jika lancang tetapi saya memanggil Anda daritadi…, ini… dompet Anda tertinggal,”

Sakusa mengamati dompet kulit tipis berwarna hitam sebelum menerimanya dan mengeceknya…, benar itru semu kartu-kartu miliknya. “Terima kasih,” ujarnya sebelum kemudian berlalu meninggalkan lelaki itu.

Meskipun demikian, dirinya masih sedikit terganggu, karena derap langkah kaki pelan dan ragu-ragu di belakangnya—seakan pelan-pelan mengikutinya, dan Sakusa dapati orang tersebut masih membuntutinya, mata bulatnya menatapnya penuh tanya sebelum tersenyum canggung.

“Apakah masih ada perlu?” tanyanya ketus.

“Jangan salah paham… saya juga kebetulan punya arah yang sama dengan Anda tapi sepertinya Anda sedikit terganggu dengan saya jadi saya jalan pelan-pelan…,”

Dan Sakusa pun menghela nafas pelan, “Baiklah maaf bila membuatmu salah paham,”

———

“Anda tidak perlu berjalan takut-takut seperti itu, aku tidak masalah jika kita berjalan beriringan, yah… sebagai ucapan terima kasih juga karena telah mengembalikan dompet saya,”

Dan lelaki itu tersenyum cerah sekali.

“Terima kasih!”

Mereka berjalan berdua, beriringan, bertukar topik pembicaraan serta basa-basi—lebih tepatnya lelaki itu yang lebih banyak berbicara dan Sakusa menjawab seperlunya.

“Ah! Kalau boleh tau nama Anda siapa?”

“Sakusa, Sakusa Kiyoomi,”

“Senang bertemu denganmu, Sakusa, perkenalkan namaku Iizuna,”

———

💙💙💙

Miwa memandangi pantulan dirinya dalam cermin itu lamat-lamat, seutas senyum manis merekah lebar di paras ayunya.

Sudah cantik! Sudang wangi! gumamnya ceria, memandangi penampilan dirinya, walau hanya dengan kaos putih polos dan juga celana jeans pendek miliknya namun dandanannya jelas cukup rapi dan menawan untuk sekadar dandanan rimah—apalagi dengan bibir merah merona yang membuat bibir ranumnya terlihat penuh seketika.

Dari kamarnya dan Tsukasa, Miwa dapat mendengar suara kenop pintu terbuka dan kemudian tertutup—seketika ekspresi sumringahnya pun semakin cerah.

Dengan cepat-cepat langkah kecilnya membawanya membuka pintu kamarnya, menyambut sang terkasih dengan seutas senyum cerah.

“Selamat datang!”

Tsukasa yang baru saya menaruh tas volinya itu sedikit terkejut dengan sambutan penuh semangat dari kekasihnya itu. Sang tuan berdiri termangu, sedikit menganga tidak percaya—penuh keterkejutan.

“…aku pulang…,”

Dan bagi Miwa reaksi kekasihnya begitu lucu, kekehan kecil pun terlepas dari bibir ranumnya itu.

Tsukasa hanya tersenyum simpul sebelum memberikan sebuah kecupan singkat dengan pelukan hangat kepada sang puan, “Sebentar ya, aku ganti baju dulu, pacarku cantik gini masa aku cuma pakai jersey latihan,”

Miwa pun hanya terkekeh dan mengambil jaket yang baru saja dilepaskan Tsukasa itu untuk ia bawa ke mesin cuci sebelum kemudian membiarkan kekasihnya itu untuk mengganti pakaiannya.

Selang beberapa menit Tsukasa pun kembali—dengan kaos putih polosnya dan celana pendeknya—sebelum kemudian mendudukan dirinya pada sofa di ruang TV mereka, mengajak Miwa untuk ikut duduk di sana, di atas pangkuannya dan dalam pelukannya.

“Kayaknya mood pacarku lagi bagus, ada apa kalau boleh tau?” tanya Tsukasa—tangannya ia bawa untuk menyibak anak-anak rambut Miwa dan menyisipkannya dibalik telinganya—sebelum kemudian memberikan satu kecupan panjang di pipi gadis itu, pelukannya pun semakin mengerat, dan Miwa hanya terkekeh kecil karenanya.

“Emangnya ga boleh ya aku seneng karena pacarku pulang?” tanya Miwa.

Sekarang gantian, gadis bersurai pendek itu yang menciumi kekasih tampannya. Beberapa kali di pipi sebelum diakhir dengan sebuah kecupan panjang.

Kedua sejoli itu saling menatap satu sama lain, penuh cinta dan kasih sayang, sebelum akhirnya Miwa terkekeh sendiri—dengan semburat merah muda yang menghiasi kedua pipinya, entah mengapa ia merasa malu.

“Kenapa?”

“Gapapa, aku lucu aja kadang gitu masih suka malu sama kamu cuma karena hal-hal sepele seperti natap kamu lama,” ucapnya jujur, membuat Tsukasa terkekeh canggung bersamaan dengan pipi yang ikut tersipu.

“Ah iya, aku jadi lupa, katanya mau minta aku jadi tester kamu, gimana?” tanya Tsukasa. Mata lebar sang puan itu menatap Miwa bingung—dan tentu saja inilah sisi Tsukasa yang cukup menggemaskan di matanya, terlepas fakta bahwa memang ia lebih tua tiga tahun dari lelaki itu tetapi di beberapa aspek Tsukasa jauh lebih dewasa di banding dirinya, meski demikian Miwa selalu menyukai tatapan polos dari kekasihnya itu.

“Ya… jadi tester aja, lipstick-nya stained ngga,” jelasnya semebari mengusap bibir bawah sang tuan—Tsukasa tau kemana arah pembicaraan kekasihnya itu, hei, lagipula ia adalah lelaki dewasa yang berumur dua puluh tujuh tahun, tentu saja ia mengerti akan hal-hal seperti ‘itu’—meskipun demikian, Tsukasa tetap diam, menunggu kemana gadisnya akan membawanya, kemana pembicaraan ini akan berlabuh.

Jemari lentik itu pun menghentikan gerakannya, ditemani dengan sunyi apartemen dan deru AC yang mengiringi Miwa memajukan dirinya untuk mencium bibir sang terkasih, cukup lama sebelum kemudian lidahnya berusaha masuk yang disambut dengan senang hati oleh Tsukasa.

Pelukan pada pinggang ramping itu mengerat, tangan kiri Tsukasa pun ia bawa untuk mendekatkan mereka berdua, membawa tengkuk Miwa agar ciuman mereka bisa lebih dalam.

Sebuah ciuman yang begitu bergairah, hangat, dan membara—satu leguhan lepas dari bibir sang puan, membuat Tsukasa semakin masuk untuk mencecapi bibir kekasihnya itu, rasanya manis dan juga aditif, Tsukasa menyukainya, manis seperti kekasihnya.

Dan Miwa pun mengakhiri ciuman mereka, walau sedikit enggan, wajahnya nampak memerah di kedua sisinya—dengan mata yang sudah diselimuti oleh kabut nafsu—benang saliva pun tercipta di antara kedua belah bibir mereka saat gadis itu melepaskan ciumannya, tangan Tsukasa pun ia bawa untuk mengelapnya.

“Ngga bekas di kamu, awet juga ternyata, menurutmu gimana?” tanya Miwa dengan nafas sedikit terengah, Tsukasa hanya terkekeh kecil sembari mengusap pipi sang puan, “Manis, aku suka,”

Dan lelaki itu dihadiah sebuah pukulan kecil dari kekasihnya, “Opini yang lain coba,” membuat Tsukasa semakin terkekeh.

“Loh kan bener? Hmm… apa ya? Aku suka sih, warnanya kamu banget,”

Mereka pun saling beradu pandang satu sama lain, untuk beberapa saat sebelum Tsukasa kembali memajukan dirinya untuk mencium kekasihnya itu. Sepertinya, malam ini akan cukup panjang bagi mereka berdua.

💙💙💙

———

Siang itu Atsumu dan Kita tengah menonton pertandingan final pertandingan musim semi, sengaja berpencar dengan teman-teman lainnya—tanpa terasa ya, sudah hari terakhir, Inarizaki yang tersisih di babak kedua, sebuah pukulan telak yang tidak pernah bisa ia sangka sebelumnya.

Meski demikian bukan kekalahan yang seakan menodai kebanggan serta harga dirinya, melainkan senyum dan kata-kata dari kaptennya, Kita Shinsuke.

Terlepas hasilnya yang jauh dari kata memuaskan, bagi Kita, permainan teman-temannya sudah sangat baik dan ia bangga akan teman-temannya.

Atsumu pun berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan jadi pemain voli dan rekan tim yang dapat dibanggakan selalu oleh Kita, bahkan hingga ke nenek dan keluarga besarnya

Berlebihan memang, tetapi itu adalah janji yang akan Atsumu simpan untuk selamanya, karena senyum Kita adalah segalanya.

“Kamu jangan terlalu merasa bersalah atau membebani dirimu sendiri Tsumu, menurutku kita memang tidak bisa menebak kondisi turnamen, khususnya haruko sekarang,”

Kita tiba-tiba berceletuk ke arahnya, membuat Atsumu seketika menoleh untuk menatap figur di sebelahnya. Mungil dan lucu tetapi juga bisa terlihat begitu berwibawa. Sementara itu, fokus perhatian Kita masih tertuju pada rally panjang turnamen voli sekarang, kalau tidak salah ingat sekarang yang maju final adalah SMA Fukurodani dari Tokyo.

“Tapi kak, untuk pertandingan lawan Karasuno aku memang kurnag kompeten… aku banyak menyia-nyiakan poin…,”

Genggaman tangan Atsumu pada besi penghalang itu semakin menguat—tanpa sadar membuat telapak tangan dan buku-buku kukunya memutih. Jujur saja, rasa kecewanya begitu besar—dirinya tidak bisa memberikan yang terbaik, bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk sosok di sebelahnya. Presensi yang selama ini sibuk menyita waktu dan hatinya.

Meskipun demikian, Kita justru jauh lebih santai—seakan ada satu beban berat terlepas dari pundaknya. Memang ada rasa kecewa di hatinya, di mana dirinya gagal membawa timnya terbang lebih tinggi, tapi sekarang yang tersisa dalam dirinya adalah perasaan bangga dan juga puas.

“Gapapa kok Tsumu, bagiku kamu udah memberikan yang terbaik dan itu terlihat dari permainanmu. Aku suka setiap kamu serius dan mengerahkan yang terbaik di setiap permainanmu,”

Tolong katakan hal itu sekali lagi

“Kak Kita,”

Dilepaskannya genggaman tangan Atsumu pada pembatas besi tersebut, membawa dirinya untuk menoleh dan menatap sosok Kita, pujaan hatinya. Suaranya terdengar mantap dan bulat, sementara itu, Kita yang dipanggil namanya itu dapat merasakan degup jantungnya yang berpacu lebih cepat dari biasany dan nafasnya sedikit menderu. Ia dapat merasakan impuls otaknya meyuruhnya untuk menegang saat Atsumu menatapnya lekat-lekat.

“Kak Kita, aku suka sama kak Kita,”

Tidak ada jawaban, bantahan, ataupun intrupsi apapun dan sosok mungil. Dirinya masih dalam posisinya, diam mematung memandangi sosok Atsumu di hadapnnya yang masih menatapnya lekat-lekat.

“Aku suka sama kak Kita, maka izinkan aku untuk jadi pemain voli yang bisa selalu kak Kita banggakan. Aku bakalan ngasih permainan yang selalu kak Kita suka itu,”

TEEEEEEEET

Bel tanda set match terakhir itu pun seketika berbunyi setelah rally yang cukup panjang. Hiruk pikuk serta sorak sorai penuh suka cita dan kekecewaan saling sahut menyaut menenuhi arena GOR. Meskipun demikian, bagi Kita suara itu tidak apa-apanya, seakan bising itu tak pernah ada dan motion dalam sekitarnya pun seakan bergerak dalam kecepatan teramat lambat karena fokusnya sudah tersita penuh pada sosok Miya Atsumu. Pusat semestanya saat ini tengah berada di hadapannya.

———

“Ah! Itu Atsumu sama kak Kita! Hai!”

Itu Suna dan juga Komori—tunggu sejak kapan kedua pemuda itu jadi akrab satu sama lain seperti ini? Bahkan tidak ada anak Itachiyama ataupun Inarizaki lain yang bersama mereka, seakan sudah menjadi rutinitas biasa bagi mereka untuk jalan berdua seperti ini.

“Loh bukannya tadi sama yang lain?” tanya Suna yang seketika membuat Kita sedikit gelagapan untuk menjawab satu pertanyaan sederhana seperti itu. Untungnya ada Atsumu yang tak pernah canggung di setiap kondisi bahkan di situasi yang cukup tidak nyaman seperti ini, setelah apa yang barusan terjadi.

“Iya, tadi kak Shin bilang mau liat pertandingannya lebih deket lagi jadi kita mencar,”

“Kak Shin—ADUH!”

Komori seketika menginjak ujung jari kaki Suna, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan karena tindakan tiba-tiba tanpa aba-aba dari Komori. Suna memberengut sembari menatap Komori tidak suka, sementara Komori hanya menatap Suna tajam tanpa memberi permintaan maaf atau apa atas tindakannya.

“Kenapa?”

“Engga-ngga apa-apa Suna tuh emang suka kayak gitu gak sih?”

“Kok aku?”

Atsumu pun terkekeh—dengan cengiran menyebalkan dan segera merangkul akrab bahu Komori, “Jadi…, sejak kapan kalian akrab dan deket gini? Mana Sakusa sama kak Iizuna?”

“Eh main rangkul-rangul,” protes Suna yang tidak dihiraukan oleh Atsumu, temen doang kok cemburu ya ges ya.

“Iya nih tadi diajak keluar sama Suna soalnya aku bosen nemenin Sakusa yang lagi nungguin kak Iizuna di ruang kesehatan,”

Ah iya Iizuna, Kita jadi ingat kalau kapten Itachiyama itu cedera saat perempat final

“Gimana kondisi Iizuna?” tanya Kita tiba-tiba kepada Komori, “Ngga apa-apa sih udahan, cuma tadi pas jalan sempet ambruk dikit makanya Sakusa panik banget dan langsung bawa kak Iizuna ke ruang kesehatan padahal ya gapapa,”

“Sepupumu itu paranoid banget ya aku liat-liat,”

“Cuma ke kak Iizuna aja, aku pernah keserempet motor mana pernah Sakusa perhatian, yang ada kapok-kapokin,”

“Mau aku kasih perhatian,”

“Kak Kita! Ini loh Suna! Buaya banget! Gak suka!”

“Jelek ngadunya ke kak Kita!” protes Suna saat Komori berlari dan berlindung dibalik tubuh Kita, walau tak bisa membantu apa-apa karena Komori jauh lebih tinggi dari kaptennya itu.

Sementara itu Atsumu terlihat protes karena Komori yang terlihat akrab dengan Kita—kekasih beberapa menitnya lalu—meski demikian sama seperti Suna yang terlihat kesal dengan Atsumu yang tiba-tiba merangkul Komori—kali ini pun Atsumu kesal karena Komori sok akrab dengan Kita, yang tentu saja dihiraukan libero Itachiyama itu begitu saja.

Melihat tingkah mereka bertiga entah mengapa seakan memberikan perasaan hangat tersendiri di hatinya. Entah mengapa ia ingin momen ini berlangsung selamanya.

Kita tidak pernah protes akan moto sekolahnya yang terkadang terdengar cukup aneh—tapi saat ini, sepertinya ia sedikit tidak setuju akan hal itu. Siapa bilang seseorang tak perlu kenangan? Justru Kita ingin menyimpan kenangan ini untuk abadi selamanya.

———

“Eh aku barusan dikabarin Sakusa, katanya dia mau ke lounge sama kak Iizuna. Katanya cedera kakinya kak Iizuna gak apa-apa. Atsumu sama kak Kita mau ikut nyusul?”

“Boleh!”

———

———

Atsumu dapat merasakan pacu jantungnya yang berdetak dua kali lipat lebih cepat dari biasanya—membuatnya sedikit khawatir, apabila ia terkena penyakit gagal jantung di usia yang masih sangat muda, tidak, tidak, dirinya tidak mau. Atsumu harus jadi atlit nasional dulu!

Tapi bohong

Sebenarnya Atsumu tahu betul alasan dari pacu jantung yang tak menentu, bagaimana tidak, sang kasih—pujaan hati—Kita Shinsuke, memperbolehkan dirinya untuk meneleponnya, bagaimana mimpi! Bahkan Atsumu tidak bisa menghapuskan cengiran kudanya dari parasnya yang membuat Sakusa bergedik ngeri selama latih tanding tadi.

Sementara Komori tak henti-hentinya menggodanya, begitu penasaran penyebab di balik membuncahnya perasaan Atsumu sehingga membuat wajah lelaki itu berseri, di mana setiap pertanyan Komori akan dijawab ‘rahasia’ dengan nada menyebalkan.

Setelah makan malam, Atsumu cepat-cepat untuk mandi, tidak lupa sikat gigi dengan wajah sumringah. Padahal hanya sebatas telepon via suara biasa, tetapi Atsumu memilih baju terbaiknya, tak lupa memakai gel rambut dan menambahkan parfum untuk wangi tubuhnya. Ckckck dasar remaja yang di mabuk asmara.

Dengan semangat Atsumu pun keluar dari kamarnya, tidak ingin menganggu rekan sekamarnyaitu dengan suara berisik ataupun salah tingkahnya, dirinya pun memutuskan untuk menuju rooftop camp pelatihan, sembari memandnag langit berbintang di sana.

Cakep banget gak sih membayangkannya? Aku di sini dan kau di sana, hanya berjumpa via suara, jauh di mata namun dekat di hati cenah.

———

“Ha-halo,”

Sialan!

Atsumu merutuki dirinya sendiri, kenapa ia harus terdengar gugup dan terbata-bata seperti itu? Tidak keren! Mau ditaruh di mana mukanya di hadapan kak Kita-nya itu nanti?

Halo Atsumu

Deg

Atsumu dapat merasakan degup jantungnya yang seketika terhenti mendengar suara sapaan dari seberang sana. Astaga… memang benar kata orang-orang, rindu itu berat, Atsumu tak akan sanggup.

Kamu apa kabar di sana? Sehat-sehat kan?

“Ah… iya…,”

Atsumu hanya menggarui tengkuknya yang tidak gatal itu—sedikit kikuk dan gugup—seketika ia menjadi mati kutu, padahal ia sudah memikirkan berbagai macam topik serta lelucon yang mungkin akan terdengar garing nantinya tapi paling tidak dia sudah berusaha. Namun, mengapa—MENGAPA—saat ini ia merasa sangat kikuk, mati kutu, selayaknya patung batu?!

“Aku… sehat kok kak! Baik! Kak Kita gimana?”

Terdengar suara tawa renyah dari sebrang sana, yang entah mengapa sukses membuat kedua pipi Atsumu merah sempurna. Astaga ia beneran rindu.

Kamu kenapa gugup gitu?

Ya, karena aku senang dan kangen

Tapi ngga mungkin kan Atsumu berkata demikian?

“Hahah engga, hari ini cukup dingin mungkin bikin suaraku mengigil,”

Huum…, gitu ya…, terus gimana kamu di sana? Ngga cari ribut kan sama yang lain?

Atsumu memberengut tidak suka, ia kan bukan tipe anak yang suka cari gara-gara!

“Engga! Aku temenan baik kok sama mereka! Yah.., walau Sakusa masih suka sinis…, tapi ada Kageyama sama Komori! Oh Korai juga! Aku akrab sama mereka!”

Haha kok masih sinis Sakusa? Kan udah maafan

“Ya gatau kak, emang dia tipe anak nyebelin aja kali, oh iya kak Kita di sana gimana?”

Ada jeda sejenak di seberang sana, membuat degup dan debar jantung Atsumu semakin tak menentu. Ada banyak tanya dalam benaknya, apa? Kenapa?

Ya ga gimana-gimana sih, semua baik-baik aja

Sudah? Apakah begitu saja?

Atsumu kembali menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ah iya ya, apa yang seharusnya dia harapkan dari telepon ini?

Cuma…

Suara Kita di seberang sana sedikit menggantung dan Atsumu pun sabar menanti sosok di seberang sana untuk melanjutkannya.

Sepi aja ngga ada kamu

Satu kalimat yang seakan multitafsir di benak Atsumu, ia gaung-gaungkan berulang kali dalam alam bawah sadarnya. Sepi aja ngga ada kamu apakah hari-hari Kita sama sepinya jika tanpa dirinya?! Seketika perasaannya semakin membuncah, ada sorak sorai semu dalam dirinya. Dirinya berbahagia dan kembali penuh harap, air wajahnya pun menjadi cerah.

“Kan dua hari lagi aku pulang kak!”

Haha iya ya? Kok berasa lama banget ya

Dan senyum di wajah Atsumu itu semakin melebar. Jika ada Osamu di sini pasti ia sudah menatap kembarannya itu dengan ekspresi sangsi, tidak habis pikir dengan cengiran bodoh itu.

Malam itu, di atas rooftop gedung kamp kepemudaan voli Jepang, ada sesuatu yang bermekaran, ia, cinta dalam hati Atsumu, semakin membuncah, membuatnya semakin tidak sabar untuk kembali dan bertemu dengan sang tuan.

Malam itu, mereka menghabiskan banyak waktu untuk mengobrolkan apapun, melepas rindu walau hanya sebatas pesan suara. Tapi tak apa, Atsumu harus bersabar dua hari lagi, dan benar kata Kita, entah mengapa, dua hari pun terasa begitu lama.

———

“Kayaknya kak Kita udah ngantuk ya? Kalau gitu udah dulu ya kak, selamat malam mimpi indah, kalau ga indah mimpiin aku aja!”

Telepon itu pun berakhir dengan satu tawa renyah dari Kita sebelum membalas ucapan malam tersebut, rasa-rasanya Atsumu dapat mimpi indah setelah ini. Ia pun kantongi kembali teleponnya sebelum beranjak kembali dan mendengar sayup suara familiar namun dengan nada yang asing.

“Heem…, iya…,”

Iya benar, itu adalah suara Sakusa, namun berbeda dari biasanya. Jika biasanya akan terdengar nada sinis dan tak acuh dari lelaki itu entah mengapa malam ini Atsumu mendengarnya sedikit lebih lembut dan juga halus.

Pelan-pelan ia bawa langkahnya mengikuti suara itu, dan mendapati sosok Sakusa yang tengah membelakanginya, bertumpu tangan pada pagar besi di sana dengan telepon yang bersemat di antara leher dan telinganya sembari ia pegangi dengan tangan kanan.

“Gapapa kak, aku pengen cepetan pulang aja, ketemu kak Iizuna lagi,”

OH!

Dan seketika senyum di wajah Atsumu semakin lebar—lebih tepatnya seringai jail pun tercetak jelas di wajahnya.

Sepertinya yang sedang jatuh cinta dan menahan rindu bukan hanya dirinya

———

Di malam pengukuhan pemenang dan juara utama dari Inter High Volleyball Tournament Japan, Suna tengah bersembunyi di salah satu pilar bangunan yang sepertinya nampak sia-sia menyembunyikan tinggi badannya yang nyaris 190cm tersebut. Alasan kenapa sang middle blocker Inarizaki tersebut berakhir di sini adalah karena dirinya melihat gerak-gerik mencurigakan dari setter dan kapten mereka, tentu saja Suna INGIN TAU ada apa dan ditelan oleh rasa penasaran teramat besar (sebenarnya alasan utamanya juga sebagai koleksi aibnya, ia senang sekali meledek Atsumu yang selalu mati kutu dan menurut apa kata Kita, walau jika dirinya ada di posisi Atsumu juga akan bereaksi demikian).

“Ngeliatin apa?” tanya Osamu yang tiba-tiba muncul dari pilar yang sama di belakang Suna, membuat lelaki itu sedikit mendongak ke arah kembaran objek observasinya.

“Aku kira kamu bakalan jadi penguntit mesum dari libero Itachiyama, ternyata cuma ngeliatin Tsumu sama Kak Kita,”

“Tapi mereka ngapain ya? Mencurigakan!” Osamu hanya bergumam sendiri dari tadi—tanpa menghiraukan Suna yang belum sempat menjawab—dan sama seperti lelaki dengan nomor punggung sepuluh itu, Osamu pun memosisikan dirinya sedikit melongok di belakang Suna untuk memperhatikan gerak-gerik mencurigakan dari kembarannya.

“Ya kan!! Mencurigakan!”

“Lagi ada apa sih?”

Itu adalah Ginjima, yang seketika ditarik oleh Suna dan Osamu untuk ikut bersembunyi dengan mereka, dan jika boleh jujur justru Suna, Osamu, dan Ginjima saat ini menjadi perhatian semua orang di Gymnasium Tokyo, bagaimana tidak, lihat saja, ada tiga remaja, pemain voli, dengan tinggi melebih rata-rata tengah bersembunyi di pilar bangunan kecil yang juga sia-sia menyembunyikan keberadaan mereka. Aneh memang.

“Kamu ngga ngerasa curiga gitu sama Atsumu dan kak Kita?” itu Osamu yang bertanya kepada Ginjima, pandang mata mereka masih terpaku pada Kita dan Atsumu yang sekarang tengah menghampiri kapten dari Itachiyama.

“Mencurigakan!” Jawab Ginjima menyetujui Osamu, Suna pun mengangguk setuju, sepakat!

———

“Iizuna?”

Sang empu pemilik nama itu pun menoleh, raut wajahnya sedikit terkejut dan juga bingung manakala mendapati kapten serta setter Inarizaki menghampirinya—cepat-cepat Iizuna membungkukkan badannya sebesar sembilan puluh derajat sempurna untuk menyapa mereka berdua.

“Ah iya? Ada yang bisa aku bantu…?” tanyanya sedikit ragu, bingung bagaimana memanggil kedua orang di hadapannya itu, “Kita, panggil aja Kita, terus ini Atsumu,”

“Ah… iya…, panggil aja Iizuna…, ada apa ya?”

Oh wow, ternyata Iizuna orang yang cukup straightforward rupanya

“Jadi gini Iizuna, sebelumnya aku sama Atsumu mau minta maaf,” jelas Kita.

Layaknya anak kecil yang mengikuti arahan sang orang tua, Atsumu masih dalam posisinya, sedikit menunduk saat Kita menyuruhnya menghampirinya dan Iizuna. Sementara itu di posisinya Iizuna masih tidak mengerti—tidak tahu menahu ada apa sebenarnya yang terjadi di sini.

“Minta maaf untuk apa?” tanya Iizuna karena jujur dirinya tidak tau apa-apa di sini. Tidak mungkin kan ia menerima perminta maaf tanpa tau permasalahannya.

“Maaf kak Iizuna, aku waktu final kemarin ngga sopan ke kak Iizuna…, sama kayaknya aku ngga sengaja bikin Sakusa kesal karena ngga sopan ke kak Iizuna…,” ucap Atsumu, suaranya tidak selantang seperti biasanya namun tidak begitu lirih sehingga Iizuna masih bisa mendengarnya dengan jelas.

Sementara itu Iizuna masih menatap mereka berdua dengan bingung, jika satu kata dapat menggambarkan kondisi Iizuna saat ini, tentu saja dalam hatinya ia hanya berucap…

Hah?

Singkat, padat, dan situasinya ngga jelas.

Sebenarnya Iizuna tidak terlalu mempermasalahkan perilaku Atsumu tersebut, karena hal tersebut sangat lah wajar terjadi—mengingat dalam kompetisi seperti ini tentunya sering kali ada sentimen pribadi terlibat di dalamnya, toh perilaku seperti itu sudah sering ia dapatnya jadi ya baginya hanya angin lalu saja.

Tapi ini Sakusa? Cukup jarang adik kelasnya itu mudah terpancing emosinya. Memang sih sejak kemarin kondisi hati Sakusa cukup buruk tapi Iizuna tidak terlalu menghiraukannya—kayak, kondisi hati Sakusa pernah ‘baik’ saja. Hei, maksudnya di sini adalah bukankah Sakusa memang tipe orang yang daftar hal tidak disukainya lebih banyak dari yang disukainya. Jadi permasalahan apa yang membuat Sakusa sampai kesal kepada Atsumu?

“Sebenarnya aku pribadi tidak terlalu mempermasalahkannya, tapi sebentar ya…, aku mau ngobrol dulu sama Sakusa,” jelasnya meninggalkan mereka berdua sementara untuk menghampiri Sakusa yang tengah menyendiri di salah satu sudut GOR Tokyo.

———

“Nah di sini kamu rupanya!”

Wajah Iizuna nampak berseri ketika mendapati sosok Sakusa—dan berbanding terbalik dengan ekspresi penuh suka cita dari lelaki berambut hijau itu—Sakusa justru masih nampak kesal dan bermuram (yah tidak salah sih, ini memang ekspresi sehari-harinya). Tapi Iizuna adalah Iizuna, yang tidak terlalu menghiraukan adik kelasnya yang grumpy itu.

“Kamu tau, kamu bakalan cepet tua kalau cemberut terus seperti itu,” jelasnya, berusaha mencairkan suasana dan Sakusa hanya mendengus kesal, membuat Iizuna terkekeh kecil sebelum kemudian menyenderkan dirinya tepat di sebelah Sakusa.

Iizuna pun merenggangkan tangan-tangannya ke depan, nampak lucu layaknya seekor hewan yang tengah merenggangkan badannya setelah tertidur lama. Kebiasaan Iizuna yang kadang menurut Sakusa tidak sesuai dengan umur dan perilaku lelaki itu.

“Jadi, tadi kapten dan setter Inarizaki dateng ke aku buat minta maaf, katanya ngga sengaja bikin aku sama kamu kesal,”

Ah jadi ini yang mau dibicarakan Iizuna

Sakusa tidak menjawab, membantah, ataupun mengintrupsi, membiarkan Iizuna melanjutkan ucapannya.

“Aku pribadi sih ngga masalah, tapi aku penasaran, karena sampai bikin Atsumu minta maaf ke aku personal—,”

“Siapa?” potong Sakusa tiba-tiba membuat Iizuna sedikit heran, itu bukanlah kebiasaan yang biasanya Sakusa lakukan, “Apa?”

“Kak Iizuna tadi manggil siapa?”

“Atsumu, kenapa emangnya?”

“AkuajagapernahdipanggilpakainamabelakangmasaAtsumuudah,”

“Kenapa?”

“Gapapa kak, lanjut aja,”

Walau Iizuna merasa heran ia tak mau mengambil pusing dan melanjutkannya, “Aku heran, sejauh aku kenal kamu, kamu itu bukan orang yang mudah terprovokasi…, sebenarnya ada apa sampai kamu kesal gitu. Sampai bikin mereka minta maaf langsung,”

“Engga ada apa-apa,”

“Huuuuum,”

Iizuna tidak melanjutkan, keheningan menyeruak di antara mereka, tetapi…. dalam posisinya sesekali Sakusa mencuri pandang ke arah figur di sebelahnya, yang masih diam dalam posisinya. Sepertinya tengah memikirkan sesuatu.

“Engga…, ga mungkin ga ada apa-apa Sakusa,” gumamnya sembari melipat kedua tangan di depan dadanya, bukannya terlihat seram tapi bagi Sakusa justru terlihat lucu.

Sakusa pun menghela nafas pelan, pada akhirnya dirinya yang mengalah, “Iya iya, maaf kak. Aku cuma kesal karena Atsumu ngomong yang engga-engga soal kak Iizuna,”

Jawaban Sakusa itu membuat Iizuna terkejut dan tidak percaya, namun juga penasaran di saat bersamaan. “Ngomongin apa memangnya?”

Dan Sakusa pun hanya mendecih sebelum memalingkan mukanya, entah kenapa, “Dia mau ngajak kak Iizuna sparring tiba-tiba, aku cuma gamau tiba-tiba dia ngelakuin yang engga-enggah,”

Wow

Iizuna bingung harus merespon apa, padahal hal tersebut dapat diabaikan begitu saja oleh Sakusa.

“He he,”

Dan Sakusa pun kembali melirik ke arah Iizuna yang tengah terkekeh kecil sembari menutupi mulutnya, “Kenapa?”

“Aku senang deh soalnya kamu mikirin aku, tapi aku gapapa kok kamu ga usah terprovokasi gitu,”

Ah?! SAKUSA ENGGA MIKIRIN IIZUNA SAMA SEKALI KOK!

“Aku engga!” ujarnya sebelum kembali memalingkan wajahnya, tanpa Iizuna sadar ada sedikit semburat merah mudah yang menjalar hingga ke kedua ujung telinga lelaki itu.

“Kalau gitu ayo kita ke mereka dan minta maaf juga atas ke salahpahaman yang ada,”

Itu ide buruk, Sakusa pun memandang Iizuna dengan sangsi dan tidak percaya, haruskah ia melalui berbagai macam jenis lautan manusia hanya untuk ke mereka berdua? Tidak bisakah mereka yang ke dirinya dan Iizuna? Kan mereka yang meminta maaf!

“Aku tau ekspresimu itu Sakusa, kamu ga perlu khawatir, kalau kamu takut, ada aku kok!”

“Tapi kak Iizuna ngga bisa menghilangkan kuman orang-orang,”

“Tapi aku bisa membuatmu merasa lebih tenang, bukankah di kondisi yang kurang mengenakkan punya seseorang yang bisa diandalkan adalah ide bagus?”

Masih dengan ekspresi wajah memberengut tidak suka, Sakusa pun membiarkan Iizuna, kaptennya itu berbuat sesukanya. Tapi sepertinya Sakusa sedikit mengerti sekarang, walau pandangan dan tatapan wajahnya dipenuhi oleh rasa curiga dan was-was Sakusa dapat merasakan bahunya yang tidak sekaku biasanya jika harus melewati lautan manusia.

Yah paling tidak ‘geretan’ tangan Iizuna di pergelangan tangannya bisa membuatnya merasa sedikit tenang.

———

———

Atsumu itu tipikal orang yang mudah disukai, di sisi lain ia justru pribadi menyebalkan dan sering membuat orang lain salah paham akan sikap ‘congkak’-nya. Ya, dalam tanda kutip tentunya. Congkak di sini dalam artian Atsumu yang tidak penah pintar memberi bumbu manis dalam setiap ucapannya, ketika dia mengatakan bahwa timnya akan menang, maka kalimat itu bukanlah semacam kalimat motivasi, untuk menyemangati hati teman-temannya, tentu bukan, Atsumu tidaklah sebaik itu (kecuali untuk satu orang spesifik, abaikan dalam kurung ini), tetapi ia mengatakan hal itu karena ia tau betul akan kekuatan teman-temannya, dan juga timnya, dan di sinilah Atsumu berada, di tengah lapangan utama Tokyo Gymnasium saat final Inter High dan berhadapan dengan Itachiyama, sekolah yang selalu digadang-gadang sebagai sekolah favorit seantero Jepang.

Jika berbicara mengenai Itachiyama dan Inarizaki, keduanya memang sekolah favorit, dan andalan bagi seluruh penggemar tim bola voli SMA di Jepang. Tetapi ada beberapa perbedaan mendasar di kedua tim tersebut.

Jika berbicara mengenai Inarizaki, maka mungkin satu kata yang terlintas dibenak orang-orang adalah ‘festival’. Alih-alih sebagai tim olahraga, para penonton dan penggemar Inarizaki melihat tim tersebut sebagai tim ‘idola’ (dengan hubungan parasosial di dalamnya, mungkin saja). Orang-orang akan membuat fanclub mengidolakan si kembar yang tampan itu.

Di sisi lain, penggemar Itachiyama tidak lah sebanyak Inarizaki. Mereka tidak memiliki apa yang disebut dengan ‘ketenaran’ karena kekuatan mereka berasalah dari ‘nama besar’ yang telah mereka miliki karena pencapaiannya.

Bagaimana tidak, Itachiyama itu memiliki Sakusa Kiyoomi, yang digadang-gadang sebagai Top Ace, iya Top Ace dia doang, yang lain mah beng-beng, tapi serius deh, jika Ushijima Wakatoshi mendapati predikat Top 3 Ace Jepang maka gelar yang disematkan di Sakusa adalah TOP ACE tanpa tambahan embel-embel nomor lainnya.

Ada juga Komori Motoya, yang memperoleh penghargaan selaku Libero SMA terbaik di penjuru negeri sakura itu. Meskipun demikian, bukan berarti di Inarizaki sebdiri tidak ada nama besar lainnya.

Contohnya saja Aran Ojiro, siapa yang tidak kenal dia, Top 4 Ace di Jepang (masuk ke dalam kategori yang sama tapi bedanya ada nomor yang disematkan dalam title miliknya) dan juga nama si kembar Miya itu sendiri, yang digadang-gadang sebagai Duo Kembar Voli Terbaik di Jepang.

Jika bertanya pendapat Atsumu pribadi dirinya sedikit kurang puas dengan julukan itu, YA KAAAAAALIIIIII… katanya, tentu saja ia ingin mendapat julukan sebagai Best Setter nasional Jepang, tapi ada satu nama yang harus dirinya kalahkan terlebih dahulu.

———

“SAKUSAAAA!!!!”

“KOMORIII!!!”

Lelaki bersurai cokelat dengan alis bulat yang khas itu tertawa terbahak melihat ekspresi muram dari sepupunya itu, nampak memberengut yang membuat Komori sedikit khawatir bahwa sepupu imutnya itu akan mengalami penuaan dini akibat minimnya ekspresi (dan juga kebahagiaan) di wajahnya.

“SAKUSAAAAAA!!”

Lelaki bersurai sedikit ikal dan gelap itu hanya bisa mendecih tiap kali namanya digaungkan seperti itu. Apa coba? Sama-sama manusianya apa yang spesial sampai harus-harus menerikkan namanya seperti itu? Tapi jika boleh jujur, ada hal lain yang lebih membuat Sakusa terganggu dibanding dengan teriakkan namanya…

“KYAAAAAAAAA IIZUNA-SAAAAAN!!”

“TSUKASAAAAAAA”

Sang pemilik nama hanya bisa terkekeh sembari melambaikan tangannya.

Penggemar Itachiyama ini juga sama menariknya dengan penggemar Inarizaki. Jikalau penggemar Inarizaki sebagian besar dipenuhi akan fans gadis dari si kembar Miya, dan beberapa orang tua yang mengidolakan Aran mau pun Suna, maka penggemar Itachiyama terbagi akan beberapa kubu.

Walau terlihat demikian, dengan kepribadian tidak ramah, Sakusa sendiri memiliki fans perempuan yang banyak (kalau bilang cukup saja rasanya seperti berbohong) bagi mereka kepribadian Sakusa tersebut menambah sisi keren dari pesona lelaki tidak ramah itu.

Sementara penggemar Komori atau lebih tepatnya sahabat-sahabat Komori tak terhitung berapa banyak jumlahnya itu, di dominasi oleh laki-laki. Meskipun demikian kubu-kubu Itachiyama itu dapat disatukan oleh satu orang yang tidak lain dan tidak bukan adalah…

“KYAAAAAAAAAA IIZUNAAAAA-SAAAAN!!

“TSUKASAAAA,”

Ya… kapten mereka yang sukses mencuri hati semua orang

Iizuna yang tengah menyapa temen-teman se timnya itu, kalau boleh jujur, merasa sedikit tidak nyaman, pasalnya ia merasa seperti tengah diawasi dan siap ditelan begitu saja. Dan benar saja…, tepat ketika dirinya mengalihkan pandangannya ke seberang net, Iizuna mendapati Miya Atsumu yang tengah menatapnya lekat-lekat seakan ia telah ditandai sebagai seorang target.

———

Baik Inatizaki maupun Itachiyama saling berjabat tangan sebelum memulai pertandingan mereka. Dan cih, rasa Atsumu ingin menghancurkan lawan di depannya semakin besar, apalagi melihat wajah tidak ramah dari Sakusa Kiyoomi, apa coba?!

“Bisa untuk lepas tangan kotormu, Miya?!”

“Haaaaaaah?! Kalau begitu ngga akan ku lepas agar dirimu semakin terganggu dan tidak bisa bermain baik Kiyoomi-kun,”

“Aku akan menghancurkanmu,”

“Coba saja!”

“Hei…, memangnya kalian ini anak kecil?!”

Komori hanya bisa berdecak pinggang melihat kelakuan kedua orang itu—dengan rivalitas tinggi, membuat Komori sedikit curiga (no homo) tapi benar-benar deh!

“Sepertinya ace-mu tanpa sengaja udah cari gara-gara ke kita,”

Komori menoleh dan mendapati lelaki bersurai hitam… dengan bentuk sedikit aneh jika ia boleh jujur… karena menyerupai bangun belah ketupat…, tapi jika tidak salah ingat, dan maafkan apabila salah ingat karena ingatannya seperti dori, ia adalah middle blocker dari Inarizaki, tunggu siapa pula namanya?

“Oh? Suna… Bintaro ya??”

“RIN-tarou, with R not B,” jelasnya, ya maaf ya… batin Komori

Sementara itu, kedua kapten sekolah tersebut saling bersalaman, Iizuna sendiri dapat merasakan aura yang cukup kuat dari kapten mungil Inarizaki tersebut, di sisi lain bagi Kita, meskipun Iizuna memiliki aura yang cukup ramah tapi entah mengapa ada sesuatu di sana, bukan cinta yang dirasakan itu nanti jadinya lirik lagu…, tapi semacam perasaan yang membuat segan…, mungkin seperti karisma.

“Semoga kita bersenang-senang,” jelas Iizuna di tengah jabat tangan mereka, masih dengan seutas senyum mengembang, Kita pun hanya tersenyum sembari membalas, “Ya, semoga permainan ini menyenangkan,”

———

Mata tajam Atsumu daritadi tak bisa luput dari presensi Iizuna yang berdiri di seberang net Inarizaki. Iizuna Tsukasa, siapa yang tidak kenal dengan nama Iizuna Tsukasa, kiprah dan kemampuannya dalam bermain voli sudah terlihat sejak SMP. Jika boleh jujur, Atsumu ingin sekali mengalahkan sosok di hadapannya itu, menghancurkan Iizuna berarti sama dengan menghancurkan Itachiyama oleh sebab itu—

“Tsumu kamu terlihat seperti sangat kelaparan, apa kamu belum makan siang?”

“HAAAAAH?!”

Atsumu menoleh ke arah kembarannya tersebut, mendapati Osamu yang nampak acuh tak acuh ke pasanya, sialan, padahal tadi Atsumu tengah mengalami main character momennya, kalau ini di anime-anime pasti dirinya tadi sudah pasti terlihat seperti antagonis super jahat yang siap membunuh musuhnya tanpa belas kasihan.

Sementara itu, Sakusa yang mengerti ke mana arah pandang Atsumu itu pun mendekat ke arah sang kapten yang tengah menyemangati teman-temannya itu, menyadari kehadiran Sakusa ke arahnya Iizuna pun otomatis mendekat agar bisa mendengar suara lirih ace-nya itu.

“Ada apa Sakusa?” tanyanya tanpa berbasa-basi, “Kak Iizuna daritadi dilihatin sama Miya,”

“Miya?”

“Iya,”

Pantas saja! Iizuna merasa sedikit merinding dan tidak nyaman hari ini! Ia berpikir apa ya?? Apa dia lupa membawa kunci kamarnya? Engga deh kan sudah double check juga, atau dia lupa membawa lint roller-nya? Tapi ternyata perasaan tidak nyaman itu berasal dari dua pasang mata yang sendari tadi memperhatikannya lekat, Iizuna pun menolehkan kembali pandangannya, mendapati Atsumu yang menatapnya lekat, adrenalinnya jadi terpacu.

“Wah, jadi rasanya seperti ini ya diperhatikan oleh orang hebat…, aku jadi sedikit gugup..,”

Ucapan Iizuna barusan bagi Sakusa terdengar sangat tidak masuk akal, untuk apa Iizuna merasa gugup? Kaptennya itu telah mempersiapkan semuanya dengan baik bukan? Kenapa ia harus merasa gugup?

“Ngga, aku gamau denger komentarmu, kenapa aku merasa gugup kan? Memangnya salah kalau aku merasa excited karena ada orang hebat memperhatikanku?”

“Tapi kak Iizuna juga hebat,”

TUNGGU DULU TUNGGU DULU!!

Sebentar, walau Atsumu sedang ‘bertengkar’ dengan Osamu pun tidak salah mendengar kan?? SEBENTAR?? Seingatnya dia habis dari THT deh minggu lalu… tapi tunggu dulu, Sakusa Kiyoomi yang menyebalkan itu bisa berkata manis seperti itu? Apakah Iizuna Tsukasa punya kemampuan tertentu selayaknya Kita Shinsuke (mau bilang gebetannya masih malu) atau mungkin ia dan Sakusa berada di posisi yang sama?

Tanpa sadar, Atsumu makin memperhatikan sosok Iizuna, jujur ia jadi semakin penasaran, apa sih hebatnya Iizuna?! dan entah mengapa hari ini Sakusa ingin sekali mengarahkan service ace ke wajah Atsumu itu.

———

“Menurutku ace Itachiyama itu terpancing sama Atsumu,”

Celetuk Osamu kepada Suna yang berada di sebelahnya, tetapi lelaki itu nampak sama sekali tak menghiraukannya, justru fokus pada hal lain yang ada di seberang net.

“Hei, libero Itachiyama itu namanya siapa?”

Tanya Suna tiba-tiba, membuat Osamu menatap Suna penuh tanya dan praduga—ada apa lagi ini dia?

“Komori Motoya, kenapa emangnya?”

“Manis dikit sih anaknya,”

HAH

Dan sekarang Osamu yang menatap Suna geli—begitu pula dengan Sakusa yang tak sengaja mendengar percakapan tersebut, HAAAAH???! Memangnya anak Inarizaki segenit ini??? Mereka hanya mau tanding voli kan bukan take me out kan?!?! Kenapa sih? Ada apa sih?! Ah, bertambah lagi satu target service ace dari Sakusa.

“AYO SAKUSAAA!”

BAM!!

Bola voli itu seketika melesak maju ke area pertahanan Inarizaki—tepat di samping Atsumu, membuatnya sedikit terkejut dengan sensasi angin di sebelah telinganya.

NO TOUCH SERVICE ACE

“YOSSSHAAAAA!!!”

Komori melayangkan sebuah ‘tamparan’ penuh cinta pada bahu sepupunya itu yang tersenyum puas—mengejek—ke arah Atsumu, dari seberang sana, jika diperhatikan dengan gaya ala-ala anime, pasti sudah terlihat kerutat bersudut empat di pelipis Atsumu. Sementara itu Iizuna hanya terkekeh kecil, sepertinya tanpa sadar Atsumu telah memberi bensin pada ace kesayangannya itu…, yah…, paling tidak ia tidak perlu repot-repot membakar semangat Sakusa.

“Terima kasih ya Atsumu-kun, sepertinya kaku berhasil membakar semangat ace kita,” ujarnya yang membuat Atsumu semakin kesal, seakan dengan sengaja menambah bensin di api Atsumu. “Akan kuhancurkan kalian dasar musang jelek,”

———

“NICE RECEIVE!”

“Nice thights!”

HAH

“HAAAAAAAH”

Kita yang tengah memperhatikan di sudut lapangan hanya bisa menatap Suna dengan tajam, dan mengancam. Apa pula maksud dari ‘nice thights’ itu?! Sementara itu Iizuna hanya menatap sangsi, dan juga penuh tanya, sebenarnya ini LAGI APA SIH?? KENAPA SIH???

“GOBLOOOK”

Itu adalah teriakan menggelegar dan penuh emosi dari Miya Atsumu, membuat siapa pun yang mendengarnya terkejut bukan main, lelaki bersurai pirang itu pun dengan membabi buta memukur belakang kepala rekan se timnya itu. Berulang kali menyalahkan Suna karena celetukan aneh dan mesumnya itu membuatnya hilang kontrol, berusaha menahan tawa membuatnya terlalu fokus sampai lupa mengoper ke Osamu.

Mungkin bagi Itachiyama ini yang dinamakan dengan blessings in disguise tapi tetap saja membuat siapa pun di lapangan bingung akan situasi dan kondisi yang ada.

TET TET TET TET

Ah! Itu tanda substitution dari Inarizaki—AH! Mereka menurunkan kapten mereka, seketika membuat Atsumu dan Suna pun terdiam, sekarang adalah match point dari Itachiyama, sudah saatnya Kita menggembleng rekan setimnya yang terlalu banyak bercanda itu.

———

☀️☀️☀️

Pukul 11:30

Jam wekker merah muda selaku penanda waktu di kamar kos Yachi itu nampaknya telah kehilangan harga diri dan esensi. Bagaimana tidak, pada waktu di mana seharusnya orang-orang tertidur lelap sembari asik bergelut dengan alam mimpi Yachi justru asik berkutat dengan laptop berukuran sepuluh inchinya tersebut.

Jemarinya bergerak kesana kemari dengan begitu bersemangatnya, menciptakan bunyi tak tik selayaknya senandung irama lagu bagi telinganya. Dalam posisi duduknya Yachi tersenyum pada dirinya sendiri—dirinya tak pernah merasa sepuas ini selama menulis skrip film… entah mengapa Yachi mendapat perasaan baik dalam mengerjakan revisi kali ini, jemarinya seakan bergerak dalam harmoni dengan untaian kata yang ada dalam benaknya, menyalurkan tiap ide dalam kalimat… menuliskan tiap adegan dalam benak… seakan ada sesuatu membuncah dalam diri Yachi yang membuatnya berbahagia menuliskan skrip miliknya.

☀️☀️☀️

Coming Together Written by Yachi Hitoka

☀️☀️☀️

Entah siapa yang memulai, tetapi ada satu ungkapan familiar yang mungkin, paling tidak, pernah sekali didengar oleh mereka sang penggiat seni.

Jangan jatuh cinta dengan seniman, karena kamu akan abadi dalam karya-karyanya

Percaya tidak percaya, sejujurnya Yachi tidak mau terlalu menelan bulat-bulat hal tersebut. Yah… mungkin itu adalah dirinya yang dulu, yang masih buta akan indahnya aksara, masih awam akan cinta, dan masih teguh akan asa.

Sampai pada akhirnya dirinya bertemu dengan Shoyo

Sosok Hinata Shoyo, bagi Yachi adalah seorang yang ekstrensik namun juga menarik. Layaknya memiliki magnet tersendiri yang membuat Yachi terhipnotis di setiap interaksi mereka.

Semua bermula dengan satu hal sepele yang tidak pernah Yachi sangka sebelumnya. Sebuah pesan singkat, terlampau singkat yang membuat siapapun melupakannya dengan mudah, tapi bagi Yachi pesan singkat itu adalah awal mula interaksi yang tak pernah Yachi ingin untuk diakhiri.

Membawanya pada obrolan di pukul dua malam… membahas hal-hal yang mereka sukai, kadang menu makan siang hari ini, hingga eksistensi dari konspirasi. Siapa pernah menduga bahwa Yachi dapat berbincang dengan begitu bebas dan leluasa—bahkan seringkali menimpali ujaran-ujaran asal yang sehari harinya.

Yachi dan Hinata itu sama, mereka berbagi spektrum yang sama

Ada banyak persamaan di antara mereka berdua, berbagi satu ketertarikan akan hobi yang sama, berbagi kecocokan akan lelucon sehari-hari. Sebelum akhirnya menyisakan sebuah tanya, akan ke mana interaksi ini membawanya?

☀️☀️☀️

Dan di akhir scene film tersebut Yachi menuliskan,

Puan menatap layar ponselnya Layar ponsel menampilkan satu pesan singkat dari Tuan

Puan bermonolog Sepertinya aku telah jatuh cinta

☀️☀️☀️