komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

💛💛💛

Hari itu adalah hari yang tepat untuk tidak melakukan apa pun—suhu udara yang tidak terlalu lembab maupun kering, apartemen yang tidak terlalu besar itu pun cukup lenggang karena penghuni unitnya yang sudah berkecimpung dengan urusan hari Senin pagi. Ada Wakatoshi yang harus segera ke pabrik tempat ia magang, lalu Shinsuke yang pagi-pagi harus mengejar sang dosen pembimbing…

huft…

Menyisakan Kiyoomi dan juga Tsukasa. Sungguh berkah bagi Kiyoomi karena akhir pekannya bertambah menjadi tiga hari—jadwal jurusannya sedang cukup baik dengan menyisakan hari Senin yang kosong tanpa jadwal sama sekali.

Sementara sebagai seorang freelancer dengan projek yang tak pernah menentu, Tsukasa bisa saja mendapati hari-hari weekdays sebagai hari libur namun menelan kenyataan pahit di mana terkadang ia bekerja empat puluh delapan jam penuh saat weekend

“Haaaah…,”

Kiyoomi menghela nafas berat dilanda kebosanan yang teramat sangat, setelah sukses menginvansi kamar milik Tsukasa, lelaki yang jauh lebih tinggi dan besar dari yang lebih tua itu justru seenaknya bersandar di punggung Tsukasa yang tengah sibuk dengan mainan barunya. Kehadiran Kiyoomi tidak terlalu menarik perhatiannya karena sudah sering bertemu tiap hari dibanding dengan mainan barunya ini.

Meskipun demikian ia tidak bisa menutupi rasa jengkelnya kepada lelaki itu.

“Kiyoomi, I swear to god kamu beraaaaat,”

Tsukasa berusaha menghalau tubuh Kiyoomi, tetapi lelaki itu semakin menggencetnya, membuatnya mengaduh sakit karena terhimpit lantai dan tubuh besar setinggi hampir dua meter itu.

“KIYOOMIII NANTI AKU PENYEEEEET, LEGONYA JUGA PENYEEEEET AAAARRGGH”

“Aw! Aw! jangan dicubit!!”

“Habisnya nyebelin, ganggu orang mulu,” keluh Tsukasa sebelum kemudian kembali mengalihkan fokusnya pada lego-legonya.

Kiyoomi hanya bisa tersenyum kecil melihat wajah kesal Tsukasa—membuatnya terlihat menyerupai musang (dalam artinya positif tentunya) gumamnya.

Nope, tidak ada cium hari ini anak muda,” jelas Tsukasa yang mengerti gelagat Kiyoomi—lelaki itu tiba-tiba mencondongkan tubuhnya hendak mencium pipinya, yang tentu saja langsung Tsukasa halau dengan tangannya, menutupi wajah Kiyoomi yang hampir mendekat, menyisakan satu desis kecewa dari lelaki itu.

“Aku bosen kak,”

“Aku enggak, jadi aku gak peduli,”

Ouch

“Dinginnya…,”

Meskipun demikian, walau sudah dilarang, Kiyoomi masih keras kepala (atau mungkin ngelunjak) kalau tidak bisa cium berarti boleh peluk kan? Ya kan, ya kan?!

Kiyoomi pun memosisikan posisi duduknya—duduk sedikit menyamping dibelakang Tsukasa dengan kaki yang terlipat, di sandarkannya kepalanya di bahu Tsukasa yang tidak memprotes apapun—sama sekali—karena sudah terlanjur lelah dengan Kiyoomi.

“Kamu wangi,” komentar Kiyoomi saat semerbak wangi harum tubuh dan rambut Tsukasa memenuhi indera penciumannya. Sementara itu Tsukasa hanya berdeham sebagai jawaban, sibuk membaca petunjuk pada papan legonya.

Mengerti Tsukasa tak akan marah ataupun membalas, Kiyoomi pun menciumi pucuk kepala berwarna hijau muda itu beberapa kali, dia suka aromanya, dia harus bertanya kepada Tsukasa merk sampoo favoritnya itu!

“Ini kamu pakai sampo yang mana?” tanya Kiyoomi, menyisakan satu ciuman panjang di kepala Tsukasa.

“Hmm? Yang waktu itu kita belanja bareng itu loh, kamu bilang mending pakai sampoku biasannya itu,”

Ah! Kiyoomi ingat!

Tangan kiri Kiyoomi pun ia bawa untuk merengkuh pinggul Tsukasa sebelum kemudian membawa tubuhnya mendekat, membuat punggungnya kemudian bersentuhan dengan dadanya. Di peluknya longgar lelaki yang lebih tua itu sembari membenamkan kepalanya dalam ceruk leher Tsukasa.

Sementara tangan Tsukasa yang masih menganggur itu pun dibawa untuk mengelus pucuk kepala Kiyoomi dengan lembut, astaga mau lagi kalau Kiyoomi boleh nglunjak, ia sangat suka diperhatikan seperti ini.

“Kamu kenapa?” tanya Tsukasa tiba-tiba, “Kenapa apanya?”

Pertanyaan balik Kiyoomi membuat Tsukasa mengerlingkan matanya malas, “Kamu kenapa tiba-tiba gini? Ada masalah?”

“Emang salah kalau aku ngasih perhatian ke orang yang aku sayang?”

Tsukasa tidak menjawab, ia hanya diam sembari menghela nafas pelan…

…sebelum kemudian memberikan satu kecupan singkat pada pipi Kiyoomi, membuat lelaki jangkung tersebut membeku dalam posisinya, merespon apa yang sebenarnya terjadi tadi.

“MAU LAGI????”

“Ga boleh nglunjak,”

“Curaaaang,” gerutu Kiyoomi, membuat Tsukasa terkekeh kecil sembari menyusun balok-balok legonya, sesekali Kiyoomi memberikan kecupan di ceruk leher Tsukasa, tidak menggoda ataupun bernafsu, hanya kecupan panjang yang sedikit membuat Tsukasa merasa geli.

Tiga puluh menit kemudian, cukup lama bagi Tsukasa menyusun balok sebelum kemudian ia mengalah dan kemudian menyenderkan tubuhnya pada Kiyoomi, membiarkan lelaki itu menopang berat tubuhnya.

“Kenapa? Sulit?”

“Engga, bosen aja…,”

“Kalau ngerjain sesuatu tuh dikerjain sampai selesai…,”

Tipikal Kiyoomi sendiri, tetapi Tsukasa tidak melawan ataupun membantah, sembari masih memeluk pujaan hatinya itu, Kiyoomi pun menyusun sisa-sisa lego yang ada.

Tsukasa hanya diam di posisinya, memperhatikan Kiyoomi yang teliti dan pelan-pelan menyelesaikan puzzlenya. Meski terkadang lelaki itu bergerak gelisah tapi Kiyoomi sama sekali enggan menyingkirkan ataupun melepaskan pelukan pada Tsukasa. Sementara itu, Tsukasa, tangan kirinya ia biarkan mengenggam sembari mengelus lembut tangan Kiyoomi yang memeluknya dan tangan kanannya sesekali membantu Kiyoomi menyusun legonya.

Di dalam posisinya itu Tsukasa berusaha mencari kehangatan dan kenyamanan dari dekap tubuh Kiyoomi, membiarkan lengan kekarnya memeluknya erat. Sesekali memainkan tangan Kiyoomi yang menganggur itu.

“Agak susah ya ternyata ini,” celetuk Kiyoomi, Tsukasa hanya berdeham mengiyakan sembari memasangkan balok-balok lego yang belum terpasangkan.

Di saat seperti ini, hanya ada dirinya dan Kiyoomi, kehangatan mereka berdua serta perhatian-perhatian sederhana yang membuatnya berpikir…

Ah at the end of the day…, I’ve eventually fallen for you again.

I’ve been falling for you again… countless time

Layaknya sebuah rumah, bukan sekadar tempat singgah—walau kadang memuakkan, menjemukan, dan membuatnya berpikir bahwa dirinya tak akan pernah pulang lagi. Rumahnya adalah Kiyoomi, tempatnya berpulang dengan kerinduan yang teramat besar. Tidak bisa dipungkiri, kehangatan-kehangatan yang diberikan lelaki itu adalah telah menjadi alasan yang cukup sederhana bagi Tsukasa untuk merasakan rindu dan juga perasaan membuncah dalam dirinya.

Sebenarnya Tsukasa adalah seseorang yang cukup sederhana, tapi dirinya hanya takut kecewa akan ketakutannya sendiri. Kecewa menyakiti seseorang yang ia sayang atau tidak bisa menjadi seseorang yang diharapan Kiyoomi

“Ini gimana ya…,” gumam Kiyoomi bingung. Tangan kiri Tsukasa pun terulur ke tenguk Kiyoomi dan membawanya untuk menghadapnya sebelum kemudian memberikan satu kecupan dalam kepada lelaki itu… tentu saja membuat Kiyoomi terkejut bukan main.

Tsukasa melepaskan ciuman mereka terlebih dahulu, tidak ada ekspresi apa pun di wajah rupawannya, ia hanya diam sembari memandangi fitur wajah Kiyoomi dan membelai lembut ujung poni lelaki itu, memainkannya sebelum kemudian menyibakkannya ke atas agar dapat melihat kedua pasang manik selegam arang itu.

“Kiyoomi…,”

. . . . . . . . . . . . . . . . . “Aku sayang banget sama kamu,”

Satu kalimat yang tidak akan pernah Kiyoomi duga, walau satu-satunya yang ingin ia dengar tetapi tetap saja, mendengarnya langsung seperti ini selalu sekse membuatnya diam membatu, membisu dan tak mengerti apapun.

Tanpa Kiyoomi sadari wajahnya pun seketika bersemu merah, membuat Tsukasa terkekeh kecil.

“Kamu yang dari dulu pengen denger aku bilang gitu tapi kenapa kamu kaget sendiri?”

Ya habisnya…,

“Siapa yang ngga kaget…”

Kiyoomi hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu, penuh kekikukkan. Sementara Tsukasa bisa dalam posisinya itu memandangi Kiyoomi berjam-jam.

“Berarti ini…, kita…, balikan…?”

Satu pertanyaan Kiyoomi yang membuat Tsukasa kemudian kembali mengalihkan fokusnya dari lelaki itu. Memainkan jemari Kiyoomi dan menautkannya dengan miliknya.

“Hmm…? Kalau kamu ngga keberatan…, aku pengen kita take everything slowly tapi. Aku gamau kita berdua nantinya terbebani hal-hal yang tidak seharusnya… jadi…—,”

“—aku mohon bantuannya ya,”

Ucapan Tsukasa itu ia akhiri dengan seutas senyum simpul sembari menolehkan pandangnya ke arah Kiyoomi. Dapat ia rasakan pelukan lelaki itu semakin mengerat—dihujaminya setiap inci wajah Tsukasa dengan ciuman singkat sebelum mengkahirnya dengan satu kecupan panjang di kening lelaki itu.

“Aku gamau janji apa-apa, tapi aku akan berusaha yang terbaik,”

Dan Tsukasa pun mencubit hidung mancung Kiyoomi tersebut.

“Kita, ada aku juga di hubungan ini,”

Kiyoomi pun membawa Tsukasa untuk menghadap dirinya sebelum kemudian kembali memaluknya erat . Ah iya, sekarang mereka bersama-sama, kembali bersama-sama.

Dan dapat Tsukasa rasakan tubuh Kiyoomi bergetar pelan—penuh haru, entah mengapa dirinya merasakan perasaan begitu membuncah seperti ini.

“Kok kamu nangis sih?”

“Maaf…, aku ngga pernah seemosional ini,”

“Udah, udah…,”

Tsukasa pun mengusap-usap punggung lebar Kiyoomi dengan lembut, penuh kasih sayang.

💛💛💛

Back then when he could only whisper an ode of love

Kiyoomi slowly learn about it epiphany, about the sorrow of hurting someone he loves, about the despair whenever hurting someone he loves

Love is never be in perfect shape and complete form

But as he understands it… love already wins all

And finally he can hums a beautiful hymn of love

. . . . . And Tsukasa never be deaf of the whisper of his love

His favorite sound is his hymn of love after all

💛💛💛

Please listen to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/3HEfLSVUo9rxdD0JxbLAUU?si=glUUXyHaR1K3nsm4x8jOzQ

💛💛💛

Rombongan mereka tiba di Okinawa keesokan harinya—kala surya telah tenggelam dan terlelap dalam mimpi malam. Kiyoomi meregangkan persendiannya yang pegal serta ototnya yang kebas (khususnya bagian leher) karena menyetir hampir kurang lebih dua belas jam lamanya.

Sedangkan Wakatoshi sibuk menurunkan barang bawaan mereka, dibantu oleh Osamu dan Motoya sementara Rintarou sibuk membuka kunci rumah villa kediaman keluarga Suna tersebut.

Jujur saja, Kiyoomi cukup terkesima akan tempat tinggalnya ini. Alih-alih bergaya modern dan sedikit dipengaruhi oleh gaya arsitektur kebaratan—kediaman Suna tersebut justru mempertahankan seni arsitektur oriental khas Jepang dengan sebagian besar bangunannya terdiri dari kayu jati sebagai pilar penyongkongnya.

Berapa jumlah kekayaan keluarga Suna ya kira-kira?

“Yailah kak, masa gitu doang kram,”

Fokus perhatian Kiyoomi teralih pada sosok Tsukasa yang baru saja turun dari mobil dengan jalan sedikit tertatih. Wajahnya nampak menahan kesal kepada Atsumu yang meledeknya.

“Iyaya, enak banget bilang gitu saat space duduk lo udah bisa dibuat main bulu tangkis,” sarkasnya sembari berbungkuk memegangi lututnya.

Sementara itu Shinsuke nampak sibuk memapah Tsukasa yang nampak kesulitan untuk berdiri, Kiyoomi pun membawa dirinya untuk menghampiri Tsukasa dan membantu Shinsuke untuk membuat Tsukasa berdiri tegap.

“Gapapa kak?” tanyanya khawatir yang hanya dibalas kekehan kecil Tsukasa, “Astaga aku cuma kesemutan…,”

Tangan Kiyoomi ia bawa untuk menjadi tumpuan bagi Tsukasa sebelum laki-laki itu benar-benar busa berdiri dan menghilangkan kebas di kakinya. Saat di rasa kondisi Tsukasa telah membaik, lelaki itu melepaskan pegangannya kepada Kiyoomi tak lupa berterima kasih padanya karena telah membantunya.

“Oh iya, ini ada empat kamar ya sama satu kamar mandi—jadi mandinya gantian giliran gitu—,” jelas Rintarou saat mereka memasuki kediaman Suna tersebut.

Rumah itu memiliki penampilan tradisional yang sederhana—namun pada nyatanya dalamnya sangat luas dan menyambut mereka dengan kehangatan khas rumah plesiran. Dengan pintu yang menghubungkan pelataran depan, garasi mobil di sampingnya, serta ruang tamu utama. Pelataran rumah Suna nampak asri dengan lahan minimalis yang dirawat cukup baik

Untuk ruang tamunya sendiri adalah tatami yang dapat dialoh fungsikan sebagai ruang kumpul keluarga yang dilengkapi sofa kayu bermatras, vas bunga, dan juga televisi—tak lupa pencahayaan lampu sedikit teranam serta lampu meja di kedua sisi sofa. Ruangan selanjutnya adalah dapur yang berfungsi ganda sebagai ruang makan.

Pantry dapurnya cukup rapih dan bersih—berbeda dengan ruang tamu yang kental akan gaya oriental tradisional Jepang, dapurnya sendiri cukup modern dengan pantry berbahan marmer dan juga kompor induksi. Meski demikian, untuk bar dan meja makannya sendiri masih tetap konsisten dengan furnitur berbahan kayu jati.

Dari ruang makan tersebut terbagi empat ruang makan yang terbagi di dua penjuru dan satu kamar mandi. Jika berjalan ke arah timur maka mereka akan ditemukan sebuah pintu yang terhubung dengan teras dan pekarangan belakang kediaman Suna. Kata Rintarou itu adalah pojok bersua favoritnya—untuk menyendiri ataupun mengobrol ringan dengan keluarga dan teman-temannya ketika berkunjung kemari.

“Ada empat kamar nih, pembagian tidurnya gimana?” tanya Shinsuke kepada yang lain—belum sempat Atsumu mengangkat tangan untuk berpendapat Osamu, sang kembaran sudah memotongnya terlebih dahulu, “Dilarang modus,” membuat Atsumu mendecih sebal. Gagal lagi rencananya untuk kelon dengan Shinsuke! Cih!

Spinwheel aja gimana?” saran Motoya yang seketika dibalas anggukan setuju penuh antusias dari Atsumu dan juga Osamu.

Sementara itu, baik Tsukasa, Shinsuke, maupun Wakatoshi tidak terlalu mempermasalahkannya—mereka tidak terlalu masalah untuk tidur dengan siapa. Berbeda dengan Kiyoomi yang tengah dalam hati telah ribut sendiri, berharap ia tidak sekamar dengan Atsumu maupun Rintarou karena kedua orang itu super duper menyebalkan.

Rintarou pun mengeluarkan ponselnya—menuliskan nama mereka di website spinwheel sebelum menekan layar gadget tersebut sebelum akhirnya diperoleh hasi sebagai berikut…

Kamar 1: Tsukasa dan Wakatoshi Kamar 2: Atsumu dan Motoya Kamar 3: Kiyoomi dan Osamu Kamar 4: Shinsuke dan Rintarou

“Yaaay!” Motoya dan Atsumu bersorak riang sembari bertukar tos satu sama lain. Osamu pun menghampirinya untuk mengajaknya masuk dan meletakkan bawaan mereka—Kiyoomi hanya menjawab, mengiyakan, mengatakan ia akan menyusul.

Meski demikian perhatiannya tak bisa lepas dari Tsukasa dan Wakatoshi yang nampak dekat dan saling berbincang santai satu sama lain.

“Gue cukup lega lo yang jadi temen sekamar gue,” ujar Tsukasa dengan nada riang. “Sama,”

Tanpa menghiraukan mata Kiyoomi yang nampak sibuk dan memincing—mengekori ke mana Tsukasa beranjak kedua lelaki itu nampak santai mengobrol satu sama lain, sebelum akhirnya Kiyoomi beranjak dari tempatnya menuju kamarnya dengan Osamu.

💛💛💛

“Loh? Ushijima? Tsukasa? Kalian mau ke mana?”

Kiyoomi yang baru saja selesai mandi dan berjalan menuju kamarnya pun terhenti—tertarik dengan pertanyaan Shinsuke kepada Tsukasa dan Wakatoshi yang masih mengenakan pakaian mereka tadi dan bersiap untuk pergi lagi.

“Mau bonding dulu nih sama Ushijima! Lo mau nitip apa Shin?” jawab Tsukasa sedikit bergurau—cengiran lelaki itu nampak lebar dan berseri.

Kiyoomi masih dalam posisinya—diam-diam menguping pembicaran tersebut sembari mencuri-curi pandang, penasaran (dan sedikit risau).

“Kamu ga pakai jaket?” tanya Wakatoshi kepada Tsukasa. “Angin malem ga baik buat kesehatan, kamu juga cuma pake kaos gitu,”

Entah mengapa Kiyoomi dapat merasakan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya.

“Gak usah gapapa! Lagian kita cuma bentar kan ya?”

Entah mengapa diri Kiyoomi merasa risau dan tidak tenang—ia hanya bisa menghela nafas sebelum kemudian kembali berjalan menuju kamarnya. Berharap semoga gejolak aneh dalam dirinya bisa segera mereda setelah ia menenangkan diri.

💛💛💛

“WAAAAAAAH PANTAAAAI!!”

Atsumu, Osamu, dan juga Motoya nampak kegirangan dengan mata penuh binar melihat hamparan permadani pasir serta deru gelombang air laut yang silih berganti—layaknya anak kecil yang akhirnya diberi waktu bermain ke pasar malam favoritnya, ketiga ‘remaja’ lupa umur itu pun seketika lari berhamburan untuk lekas-lekas bermain.

Kiyoomi hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari melihat tingkah sepupunya itu, sementara Rintarou sibuk mengabadikan momen menggemaskan Motoya di ponsel pintar miliknya.

“Maaf ya, kalau Motoya sulit banget diatur, terkadang,” ucapnya tiba-tiba kepada Rintarou yang dibalas dengan satu kekehan kecil, “Kamu bilang sering pun gak apa-apa, tapi aku masalah sama hal tersebut,”

Kiyoomi tidak merespon appaun—tetapi ekspresi penuh tanya dan keingintahuan tersebut menjelaskan semuanya, membuat Rintarou terkekeh kecil dan menghentikan kegiatannya, dimasukkannya ponsel miliknya ke dalam saku celananya.

“Aku bukan tipikal orang yang bisa dengan mudah mengekspresikan diri, orang bilang aku kurang rileks padahal aku sudah cukup santai menikmati hidupku,”

Okay, then?

Pertanyaan Kiyoomi tersebut mengundang tawa kecil dari sosok Rintarou, sementara lelaki itu nampak melipat kedua tangannya di depan dada sembari sedikit berpikir, “Tapi Motoya tuh tipe orang kelewat ekspresif, kadang liat dia tuh bikin mikir ‘Oh iyaya ternyata menyenangkan juga’, ‘Eh iya ternyata seru’, dan banyak macamnya—jadi ya kadang aku ngevideoin, atau ngefoto, momen kita biar keinget kalo hidup tuh walau banyak tainya tapi cukup menyenangkan,”

You are the happiest whenever you are with him gitu maksudnya?”

“Aku kalo bilang gitu diledekin dangdut habis-habisan sama sepupumu itu, but indeed its true. Aku udah cukup bahagia dengan ini semua tapi karena ada Motoya jadi lebih bahagia lagi,”

Kiyoomi tak merespon apapun, dirinya hanya mengangguk pelan sebagai balasan, mereka pun kembali dalam keheningan masing-masing sebelum akhirnya fokus perhatian mereka teralih oleh suara panggilan Tsukasa.

Kids jangan lupa pakai sunscreen ya!”

Mendengar panggilan Tsukasa tersebut Rintarou pun kembali mengeluarkan ponselnya, sementara itu Kiyoomi masih diam pada posisinya dan perhatiannya teralih pada Rintarou.

“Kak Iizuna, kak Kita, bang Ushi! Ayo foto dulu!” mintanya sembari mengarahkan lensa ponselnya ke arah ketiga lelaki tersebut yang tentu saja dibalas senyuman lebar dan beragam pose dari Tsukasa dan Shinsuke. Sementara itu Wakatoshi masih diam dalam posisinya—membuat lelaki jangkung tersebut ditarik oleh Tsukasa untuk sedikit menunduk dan bergaya. Satu tangkapan foto kemudian tersimpan di ponsel milik Rintarou.

“Kamu ga ikut main sama mereka?” tanya Tsukasa kepada Kiyoomi, masih dengan seutas senyum di wajahnya. Entah mengapa, tanpa Kiyoomi sadari, tatapannya pun melembut ketika melihat Tsukasa, ia balas senyumannya sembari menggeleng, “Nggak ah, airnya kotor,”

Jawaban klise khas Kiyoomi yang sepertinya sudah Tsukasa kira, lelaki itu hanya terkekeh pelan mendengarnya.

“Kamu udah pakai sunscreen?”

“Udah tadi sebelum berangkat,”

“KIYOOMI AYO MAIN VOLI!”

Kiyoomi terkejut—dan hampir saja tersungkur saat merasakan beban berat yang tiba-tiba menimpa dirinya. Sementara itu, Tsukasa yang melihatnya hanya bisa dibuat terkekeh pelan melihat tingkah dua sepupu yang sikapnya saling bertolak belakang.

“Motoya udah pakai sunscreen belum?” tanya Tsukasa yang dibalas cengiran selebar dan secerah mentari dari lelaki bersurai cokelat tersebut—sembari mengeluarkan tanda peace, “Sudah dong kak!”

“Kak ayo main voli pantai!”

Skip dulu deh, aku lagi ga terlalu pengen keringetan,”

Jawaban Tsukasa tersebut mengundang ketidakpuasan dari Motoya, membuat lelaki itu memberengut lucu dengan bibir mengkerucut.

“Kiyoomi ikut dong, aku ga ada temen mainnya nih,” ajak Motoya dengan sedikit memaksa kepada Kiyoomi—ah tidak, ralat—sangat memaksa, sembari mengguncang-guncangkan bahu lelaki tersebut membuat Kiyoomi mendecih tidak nyaman.

“Ajak pacarmu sana,” ketusnya, ayolah dia hanya ingin berduaan bersama Tsukasa, kenapa sepupunya ini tidak bisa membaca situasi sih?

“Rin mana mau!”

LALU APAKAH DIRINYA TERLIHAT BERMINAT???

Melihat Motoya yang terus merengek itu membuat Kiyoomi hanya bisa mengerlingkan matanya malas, “Sama siapa aja?”

“Aku, Atsumu, sama bang Ushi!”

Dan Kiyoomi hanya bisa mendengus sebal, “Dua set aja,”

“YES CIUM DULU,”

“NO!”

Tawa Tsukasa pun pecah melihat Kiyoomi yang berusaha mendorong Motoya yang bersikeras mendaratkan sebuah ciuman di pipi sepupunya (no homo) pasalnya pemandangan saat itu sangatlah lucu, dengan bibir Motoya yang dimajukan layaknya ikan cucut dan Kiyoomi yang benar-benar hampir histeris karena tidak sudi didekati.

Pemandangan seperti ini cukup familiar bagi Tsukasa, mengingatkannya pada masa SMA mereka dulu. Saat Motoya selalu datang dan memaksa Kiyoomi—yang saat itu juga tengah bicara kepadanya, seakan Motoya memang sengaja menganggu mereka berdua atau tidak membiarkan Kiyoomi menghabiskan waktu dengannya.

Ah, some people and memories really never change right?

💛💛💛

Kiyoomi menghapus peluh yang menetes di sisi pelipisnya—sembari mengibaskan kerah kaus oblongnya. Kiyoomi menggumam sebal ke arah matahari pukul sebelas Okinawa yang teriknya menyamai mentari di pukul satu siang Tokyo—menyebalkan. Fakta bahwa dia juga kalah dari tim Wakatoshi dan Motoya membuat kekesalanny berkali lipat bertambah. Toss dari Atsumu memang selalu payah.

“Payah,” ledek Kiyoomi yang tentu saja menyulut api dari Atsumu. “HAAAAAAAH?!”

Sementara itu Shinsuke hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan kekasihnya itu—Osamu, Rintarou, dan Tsukasa lun nampaknya tak ada niatan untuk menelerai mereka—lebih tepatnya mereka enggan meninggalkan gubuk kecil tempat berteduh saat ini.

Kiyoomi menepis cengkraman Atsumu dan cepat-cepat merapikan kerah pakaiannya. Menghiraukan teriakkan nyaring Atsumu yang masih nampak kesal. Dibawanya langka kakinya menuju Tsukasa yang tengah terduduk santai dmbersama Shinsuke dan Osamu.

Good game, good game Kiyoomi,” puji Tsukasa sembari bertepuk tangan—entah mengapa kekesalannya karena terik hari ini yang membuatnya berkeringat serta tingkah menyebalkan Atsumu meluap begitu saja—rasa kesal yang digantikan dengan seutas senyum lembut yang hanya ia tunjukkan kepada Tsukasa.

Ah—mengingat ia kalah hari ini, sepertinya sedikit memalukkan mengetahui Tsukasa sepanjang permainan memperhatikannya.

Good game apanya… orang kalah gitu…,” cicit Kiyoomi sembari menolak untuk bertukar pandang dengan Tsukasa. Meski begitu manik hitamnya sesekali curi-curi pandang dengan sepasang netra kecokelatan milik Tsukasa, “Tapi bagus kok mainnya! Lagian cuma main-main aja,”

Kiyoomi yang dari dulu sudah terbiasa dengan berbagai macam bentuk pujian serta seruan yang mengelu-elukan namanya—tetapi entah mengapa dirinya merasa malu dah juga kikuk jika Tsukasa yang memujinya. Sebuah pujian sederhana yang sukses membuatnya salah tingkah.

“Nih minum dulu, sama lap keringat,” lelaki itu menyodorkan sebotol minuman isotonik dingin serta handuk putih bersih kepada Kiyoomi, yang seketika diterima oleh Kiyoomi. Diusapkannya permukaan halus handuk tersebut untuk mengusap peluh di wajah.

“Hmm? Apa?” tanya Tsukasa saat Kiyoomi tiba-tiba mengambil jemarinya, memeganginya, seakan anak kecil yang ingin menggandengnya. Sementara itu Tsukasa masih dengan seutas senyum di wajahnya masih menatap lekat Kiyoomi sembari memainkan tangan mereka.

Setelah membersihkan wajahnya dari peluh yang membasahi, ia lampirkan handuknya pada bahunya—sebelum kemudian membiarkan tangannya yang kosong untuk mengusap poni Tsukasa, yang nampak basah karena keringat.

“Kenapa…?”

Kiyoomi hanya menggeleng saat Tsukasa menatapnya bingung—penuh tanya karena perhatian tiba-tiba Kiyoomi. Seakan melupakan bahwa mereka tidak ada apa-apa di antara mereka dan interaksi antara Tsukasa dan Kiyoomi tanpa mereka sadari menjadi pusat perhatian teman-temannya yang lain (yang berusaha diabaikan sepenuh hati tapi sulit karena nampak menarik)

“Hari ini panas ya?”

Tsukasa sedikit terkejut mendengar pertanyaan basa-basi dari Kiyoomitersebut, mengingat bagaimana lelaki itu adalah tipikal orang yang selalu berterus terang dan jarang memulai percakapan terlebih dahulu—tapi saat ini, Kiyoomi ada di hadapannya, melontarkan satu pertanyaan basa-basi hanya untuk dapat mengobrol dengannya.

Meski demikian ada satu hal luput dari perhatian Tsukasa sejak Kiyoomi pertama kali datang menghampirinya, bagaimana lelaki itu berdiri di hadapannya dan tepat memunggungi sinar terik mentari yang sendari tadi menusuk permukaan kulit Tsukasa. Punggung besar Kiyoomi tengah berusaha menghalanginya, menghalaunya, dan memberi bayang-bayang agar Tsukasa dapat berlindung di baliknya.

💛💛💛

Malam itu nampak lenggang—Kiyoomi yang baru saja menyelesaikan mandi malamnya itu nampak bingung dan keheranan, di mana orang-orang?

“Oh?”

“Bang Ushi? Mana yang lain?” tanya Kiyoomi kepada Wakatoshi yang baru saja kembali dari pelataran halaman belakang. Lelaki yang lebih tua itu tidak langsung menjawab—dirinya seakan berusaha mengingat-ingat sesuatu, “Osamu, Atsumu, sama Shin kalau aku ngga salah inget lagi nonton di kamar Atsumu. Nah kalo Komori sama Suna lagi keluar aja, katanya mau cari makan di luar,”

Bohong banget pasti sepupunya itu mau curi-curi waktu untuk pacaran

Meskipun demikian, umpatan hatinya itu tetap ia biarkan menjadi rahasia untuk dirinya sendiri.

“Bang Ushi sendiri mau ke mana?” tanya Kiyoomi kepada Wakatoshi yang tengah membawa dua gelas kosong ke arah dapur sebelum kemudian mencucinya, apakah seniornya itu baru saja bersama dengan Tsukasa?

“Aku mau ke kamar, mau telpon pacarku bentar,”

Oh.

Ada semacam kekikukan di atmoster yang mengitari Kiyoomi dan juga Wakatoshi—jadi begini penampakan dua sosok lelaki dengan tipe kepribadian yang tidak jauh berbeda tengah dikumpulkan ke dalam satu ruangan yang sama. Seakan ada aura satu sama lain yang mengintimidasi dan membuat sesak siapapun yang lewat.

Deru aliran air dari kran wastafel itu terhenti, Wakatoshi pun kemudian meletakkan dua gelas mug yang telah bersih tersebut ke area penirisan air sebelum kemudian mengusap kering kedua tangannya.

“Udah dulu ya Sak, aku balik kamar dulu,”

“Ah iya bang, selamat tidur,”

Wakatoshi hanya tersenyum tipis sembari melambaikan tangannya—namun tepat sebelum dirinya kembali ke kamarnya Wakatoshi kemudian menghentikan langkahnya untuk menoleh ke arah Kiyoomi.

“Iizuna ada di luar, aku gatau apa yang terjadi di antara kalian tapi saat ini kayaknya dia lagi butuh kamu,”

Itu adalah kalimat terakhir yang Wakatoshi ucapkan kepada dirinya sebelum sosoknya menghilang di balik pintu kamarnya.

💛💛💛

Pemandangan pertama yang Kiyoomi lihat adalah sosok Tsukasa yang tengah duduk bersantai di kursi teras—pandangannya terfokus pada legam langit malam yang dihiasi beberapa bintang, kepalanya sedikit bergiyang dengan beraturan, ke kanan dan ke kiri, tak lupa mukut kecilnya yang mengecapkan kata-kata tanpa suara, sepertinya lelaki itu tengah mendengarkan sebuah lagu dari earphone yang dikenakannya.

Kiyoomi pun berjalan mendekat sebelum kemudian mengambil duduk tepat di sebelah Tsukasa—membuat lelaki itu sedikit terkejut, akibat terlalu hanyut akan dunianya sendiri.

“Boleh aku duduk di sini?” tanya Kiyoomi, untuk beberapa detik tak ada jawaban yang terlontar dari bibir Tsukasa sebelum lelaki itu mengangguk, “Eh? Uhm… iya boleh,”

Lenggang kembali menyeruak di antara mereka—baik Tsukasa maupun Kiyoomi nampak larut akan lamunnya masing-masing. Kiyoomi sendiri tidak terlalu mempermasalahkannya. Pandangannya ia tolehkan sesaat kepada Tsukasa sebelum kemudian tersenyum simpul.

Dirinya sudah merasa cukup walau hanya dengan seperti ini

Tsukasa pun melepas sebelah earphone miliknya sebelum menawarkannya pada Kiyoomi, “Mau sharing?” dan uluran earphone itu pun Kiyoomi terima sebelum ia pasangkan pada kuping sebelah kirinya.

“Gimana Kiyoomi? Apa kamu menikmati liburan ini?” tanya Tsukasa tiba-tiba, pandangannya masih terfokus pada cahaya rembulan di atas sana.

Bagi Kiyoomi biasanya, acara seperti ini, liburan bersama teman seperti ini selalu ia pandang sebagai kegiatan yang sia-sia. Untuk apa mereka harus berpergian jauh jika hanya berpindah tempat tidur tanpa melakukan hal-hal menyenangkan.

Lagi pula dirinya juga hampir setiap hari bertemu teman-temannya, lalu untuk apa ia liburan bersama mereka? Bukankah akan mati bosan? Tapi kali ini berbeda.

Entah mengapa dirinya tidak pernah merasa serileks ini hanya dengan liburan bersama. Apakah ini yang dimaksud dengan perkataan Rintarou di mana dirinya mulai belajar untuk menjadi lebih rileks, menikmati hidupnya, dan mengapresiasi setiap momentum yang ada.

Hanya dengan melihat Tsukasa tersenyum maka ia pun juga turut merasa senang

Well…, it goes like this… Sometimes…,

Memorinya pun membawanya pada kilas balik hari-harinya bersama Tsukasa. Pada saat di mana hubungan mereka mulai merenggang—hal-hal yang Kiyoomi anggap sepele nyatanya menjadi awal dari akhir hubungan mereka.

Jika saat itu Kiyoomi lebih menyadari perasaannya—untuk dapat mengapresiasi hal-hal kecil, lebih berusaha untuk membuat Tsukasa tersenyum ketika bersama dirinya apa akhirnya mereka akan berakhir seperti ini?

*You comprise to make some deals

“Aku senang kok,” jawabnya singkat membuat Tsukasa tersenyum kecil dan mengangguk, “Syukurlah,”

Kiyoomi pun mengalihkan pandangannya kepada Tsukasa yang masih larut dalam dunianya. Membuat Kiyoomi turut tersebyum simpul bagaimana Tsukasa selalu menemukan cara untuk menikmati momen-momen seperti ini.

“Kak Tsukasa,” panggilnya dengan suara pelan namun juga lembut, membuat lelaki bersurai hijau itu menolehkan pandangannya ke arah Kiyoomi.

“Aku sayang kamu,”

Pernyataan perasaan tiba-tiba yang tidak pernah Tsukasa tiba, mungkin juga bagi Kiyoomi—tapi tak apa, Kiyoomi membiarkan momen ini larut begitu saja dan membiarkan mereka hanyut di dalamnya. Dapat Kiyoomi lihat wajah Tsukasa yang bersemu merah akibat ucapannya barusan.

“A—,”

“Aku sayang kak Tsukasa dan aku sadar dulu aku payah banget ya?”

Ucapan Kiyoomi barusan menyisakan tanda tanya di benak Tsukasa, perlahan lelaki itu dapat mulai mengontrol diri dan emosinya—dibiarkannya Kiyoomi untuk melanjutkan ucapannya.

“Kak Tsukasa pasti capek banget ngurus orang kayak aku, seseorang yang ga bisa mengungkapkan perasaannya. Kalo aku sayang kak Tsukasa,”

Manik hitam itu nampak teduh namun juga menatap Tsukasa lekat-lekat. Membuat siapapun yang menatapnya berusaha menerka-nerka apa yang ada di balik sana.

“Kalau dulu aku ngajak kak Tsukasa untuk pergi ke salah satu museum kota, kalau dulu aku ngajak kak Tsukasa untuk pergi nonton bioskop, ada berbagai macam pertanyaan, kalau dulu begini, kalau dulu begitu. Apakah aku bisa liat senyum kak Tsukasa lebih banyak dan lebih lama lagi?”

His smiles are the blessings from above that he wasted all the times

“Aku sayang sama kak Tsukasa, sayang banget… sampai cuma sebatas liat senyum kak Tsukasa udah cukup, mungkin aku dulu egois ya karena cuma mau liat kak Tsukasa senyum ke aku. Tapi nyatanya aku ngga berusaha untuk itu,”

Kiyoomi sedikit menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal itu, sedikit salah tingkah sendiri atas ucapannya—ah harusnya dirinya tidak berkata apa-apa. Mungkin Tsukasa akan menganggap dirinya terlalu memaksakan diri untuk menerima perasaannya kembali.

“Kiyoomi…, we were clueless, both of us, as the rest,”

Kedua tangan Tsukasa terangkat untuk menangkup kedua pipi Kiyoomi sebelum mencubitnya pelan, membuat lelaki itu mengaduh.

“Kata siapa aku ga bahagia pas sama kamu? I was the happiest of me when we were together. Stop guilt tripping yourself,”

Sosok Tsukasa pun mendekat dan merengkuh Kiyoomi, memberikan usapan lembut di punggung lebar lelaki itu sembari menumpukan dagunya di bahu lebar Kiyoomi. Tangan besar Kiyoomi pun ia bawah untuk membalas pelukan tersebut.

“Maaf ya bikin kamu ngerasa kayak gini. Aku juga sama kayak kamu, ada berbagai skenario di kepalaku, kalau aja waktu itu aku berani buat ngomongin semuanya ke kamu gimana ya akhirnya?”

Tsukasa pun melepaskan pelukan mereka—walau Kiyoomi nampak enggan melepaskan cecap hangat tubuh kasihnya itu.

“Tapi aku berterima kasih buat kamu, makasih ya udah mau berjuang buat aku. Sampai akhir,”

And we’ll finally find love.

Ah, dan rasa-rasanya Kiyoomi tidak akan pernah siap untuk jatuh cinta kesekian kalinya kepada Tsukasa

Jika Kiyoomi ditanya, bagaimana dirinya mendefinisikan cinta, bagaimana dirinya memandang cinta, dan bagaimana dirinya jatuh cinta. Maka semua jawabannya ada di sosok di hadapannya.

Kiyoomi sudah menemukan definisinya sendiri akan cinta, pada sosok Tsukasa

Perasaan itu memang abstrak adanya, kadangkala ia bisa bersifat malu-malu, selayaknya remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Kadang pula bersifat membara, penuh gelora dan juga gairah. Layaknya bara api dan pijarnya. Namun sering kali perasaan itu sesederhana hanya ingin menghabiskan waktu berdua, dengan sang kekasih hati.

Dan ketika seseorang sudah merasakan berbagai macam kecamuk perasaan yang mereka sebut dengan cinta, mereka pun masih sering sulit mendefinisikannya.

“Kak Tsukasa,”

“Ya?”

“Boleh gak aku cium kamu?”

Tsukasa tidak menjawab apapun, tetapi ia majukan tubuhnya ke arah Kiyoomi untuk memberikan satu kecupan di bibir lelaki itu—yang tentu saja dibalas oleh satu rengkuhan hangat pada tubuhnya.

Dibawanya wajah Tsukasa untuk semakin mendekat—dari sebuah kecupan singkat menjadi satu ciuman panjang dan juga dalam, mengecap rasa satu sama lain. Manis dan menyisakkan satu kesan menggelitik di hati Kiyoomi.

💛💛💛

Love is just like playing a game You might be lost at first But don’t worry about it, all of us are just clueless as the rest And you’ll eventually win at the end

💛💛💛

Please listen to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/72sfmdpuO5r8cBDgs7MqZZ?si=PCWmm3gsQpCOJ6EWL0QeFg&context=spotify%3Aplaylist%3A37i9dQZF1DZ06evO1YBCTj

💛💛💛

Malam itu cafe rooftop apartmen mereka tidaklah terlalu ramai seperti biasanya, hanya ada beberapa muda-mudi serta beberapa pasang sejoli yang tengah menikmati waktu intim untuk sekedar bercengkrama ataupun bercumbu.

Mata Kiyoomi sibuk menelisik—hingga akhirnya mendapati sosok Shinsuke yang tengah asik mengobrol dengan Atsumu di salah satu sudut cafe.

“Aku kira kita cuma berdua aja kak,” ujarnya sembari mengambil duduk di hadapan Shinsuke.

“Nanti aku mau balik ke tempatnya Atsumu bentar sebelum pulang, makanya dia nungguin,”

“Kenapa? Gak suka?”

Kiyoomi tidak menjawab perkataan sinis Atsumu tersebut—dari tempatnya ia duduk Kiyoomi hanya diam dan ‘menilai’ presensi lelaki yang memang cukup ia kenal karena mereka berbagi sirkel sepermainan yang sama di mana Atsumu dan kembarannya adalah teman SMA dari pacar sepupunya yang juga merupakan adik tingkat Tsukasa di kampus.

Sementara itu, Shinsuke yang mengerti akan suasana serta tensi kurang mengenakkan dari dua lelaki bertolak sifat itu hanya bisa menghela nafas berat dan menelerainya. “Udah dong ih kamu, aku ngajak ke sini bukan buat tengkar buat Sakusa! Sana deh ngerokok atau ngapain,” omel Shinsuke sembari memukuk pelan paha Atsumu.

Lelaki bersurai pirang itu sedikit memberengut—bergaya imut untuk meluluhkan hati Shinsuke yang justru dihadiahi tatapan horror dari Kiyoomi—sungguh teramat tidak pantas seorang Miya Atsumu berlagak seperti itu.

Miya Atsumu, lelaki yang Kiyoomi kenal sedikit blangsakan dan urakan itu pun mengalah—tentu saja fakta tersebut membuat Kiyoomi terkejut bukan main—sisi lain Atsumu yang mungkin jika diketahui Osamu maupun Rintarou akan jadi bahan bualan mereka selama sebulan ke depan. Bagaiman Atsumu menurut dengan perkaan Shinsuke—meninggalkan sebuah ciuman singkat di bibir Shinsuke sebelum meninggalkan mereka dan tak lupa sedikit mengejek Kiyoomi sebelum benar-benar pergi.

“Aku gatau kalau Atsumu bisa seperti itu,” ucap Kiyoomi yang mengundah kekeh kecil dari Shinsuke, mengiyakan pernyataan tersebut, “Aku juga awalnya kaget karena waktu pertama kenal dia memang tengil banget, tapi setelah pacaran cukup lama dia anak yang baik banget,”

Mendengar penjelasan Shinsuke barusan membuat Kiyoomi sedikit tertegun—diam merenungi ucapan dan tiap kata yang ada. Mengenal seseorang dan menjalin hubungan dengan seseorang, walau orang yang sama bisa berarti kita kita menengal seseorang yang ‘sepenuhnya berbeda’.

“Seperti mengupas bawang ya?”

“Masudnya?”

“Kak Tsukasa pernah bilang, mengenal seseorang dan menjalin hubungan dengan seseorang itu seperti mengupas bawang… mendapati layer-layer yang tidak ada habisnya, mengenal sisi yang belum pernah kita ketahui sebelumnya,”

Shinsuke hanya tersenyum simpul sembari berpangku tangan atas penjelasan Kiyoomi tersebut, “Aku gatau apakah ini bisa dikatakan sama, tetapi aku pernah membaca kalau di budaya Jepang manusia itu punya tuga topeng, yang ia kenakan dan dikenal baik selama ini, yang dikenakan kepada orang lain, dan sisi yang tidak pernah diketahui sama sekali,”

Shinsuke pun mengaduk-aduk sedotan minumannya untuk sesaat, memperhatikan genangan air pekat yang membentuk riaknya tersendiri, “Mungkin itulah sebabnya, seseorang tidak akan pernah bisa memahami dirinya sendiri, ia perlu orang lain untuk memahaminya,” jawabnya.

Menyisakan satu tanda tanya besar di benak Kiyoomi—apa maksud dari kalomat itu? Sedikit sangsi ia memikirkan bahwa Shinsuke hanya mengajaknya bertemu untuk membicarakan hal-hal filosofis seperti ini. Dan apa tujuannya ia berkata demikian?

“Sakusa, kamu sendiri bagaimana? Menurutmu Tsukasa itu orang yang seperti apa?”

Pertanyan yang memang menjadi alasan mereka bertemu malam hari ini akhirnya terucap juga, walau Kiyoomi sudah mengantisipasinya, mendengarnya langsung seperti ini seakan membuatnya gugup dan hilang akal. Kalima yang ingin ia rangkai pun seketika bubar dan bingung harus memulai dari mana.

“Aduh maaf ya Sakusa pertanyaannya tiba-tiba sekali, tapi santai aja, aku tidak akan men-judge penilaianmu akan Tsukasa,” ucap Shinsuke sembari terkekeh melihat raut wajah Kiyoomi yang menegang, disesapnya espresso miliknya sebelum kembali berucap, “Bagiku Tsukasa bukan sekadar sahabat, aku melihatnya sebagai kakak—yang seringkali bawel tapi selalu mengusahakan yang terbaik, kurasa kamu juga akan setuju akan hal ini,”

Kiyoomi tidak menjawab apa-apa, dirinya hanya diam dan mendengarkan, sikapnya itu pun seakan menjadi konfrimasi atas ucapan Shinsuke barusan, menyisakan ruang bernama kesunyian sebelum akhirnya ia pecahkan.

“Bagi, kak Tsukasa adalah orang yang aku kagumi…, aku selalu melihat dia sebagai pribadi yang dapat diandalkan, percaya diri, dan punya pesona…,”

Ucapannya menggantung begitu saja, Shinsuke yang duduk di hadapannya pun tak punya keinginan untuk memotongnya, memberikan ruang pda Kiyoomi untuk melanjutkan.

“Empat tahun aku bersama kak Tsukasa tapi rasa-rasanya aku hanya melihat dia dari kacamata yang sama… tapi sejak tinggal bersama…, dan uh… hubungan kita berakhir aku jadi bisa melihat banyak sisi dari kak Tsukasa…,”

Bagaimana Kiyoomi melihat sisi Tsukasa yang sering kali bawel untuk urusan ‘rumah’, Tsukasa yang kekanak-kanakan ketika mabuk, Tsukasa yang tengil dan sering kali menjahili teman-temannya…

Ada banyak warna serta sisi yang terungkap dari Tsukasa jika Kiyoomi berusaha memahami lelaki itu lebih dalam lagi…

“…ah,”

Kenapa baru Kiyoomi sadari sekarang—bahwa selama ini yang Tsukasa minta dari dirinya adalah pengertiannya—bukan bagaimana Kiyoomi memandang Tsukasa sebagaimana selama ini ia memahaminya, tetapi sebagai Tsukasa—pribadi Tsukasa itu sendiri.

Bagaimana Tsukasa yang selama ini menahan diri, agar tidak mengkhawatirkannya karena begitulah sudut pandang Kiyoomi melihat lelaki itu, sosok yang tangguh dan seorang pekerja keras. Bukan Tsukasa yang tidak memperlihatkan sisi rapuhnya tetapi Kiyoomi yang terlalu abai dan menolak untuk memahaminya.

Ia menyadari kesalahannya, kenapa Tsukasa saat ini mendorongnya begitu jauh adalah bentuk kekecewaannya yang mendalam… Pasti selama ini Tsukasa hanya minta Kiyoomi, orang yang ia harapkan paling dekat dengannya mengenalnya dengan baik. Tapi justru Kiyoomi-lah yang oaling asing dengannya.

“Kak…,”

“Ironis bukan? Kadang kala kita baru memahami seseorang yang berharga untuk kita setelah semuanya berakhir… hanya karena kita takut kecewa,”

“Tsukasa itu…, dibalik sifatnya yang keras kepala sebenarnya pribadi yang rapuh. Dia membuat batasan tinggi antara dirinya dengan orang lain…,”

Shinsuke pun menghela nafas berat.

“Berbeda denganmu dan Ushijima yang memang sulit didekati, kamu akan mengenalnya dengan mudah, tetapi memahaminya akan sangat sulit…, mungkin itu caranya melindungi diri agar tidak mengecewakan orang lain…,”

“Kiyoomi…,”

Nada suara Shinsuke saat memanggilnya kala itu berbeda dari biasanya, tidak ada kelembutan maupun keramahan di sana. Seakan memberikan penekanan atau dominasi yang membuatnya seketika merasa segan.

“Maaf, kalo aku terdengar ikut campur, tapi aku cuma gamau Tsakusa terluka lebih dari ini…,”

Tidak, Shinsuke salah, bagi Kiyoomi Shinsuke tidaklah ikut campur—mungkin pertemuannya kali ini adalah sebuah tamparan—untuk memberikannya pemahaman baik akan Tsukasa maupun dirinya sendiri. Mungkin tanpa Shinsuke, Kiyoomi tidak akan pernah paham bagaimana cara dia memahami maupun memperlakukan Tsukasa.

Mungkin ini pula maksud dari Motoya agar dirinya memahami sendiri, kesalahannya dan merenunginya. Memahami akan sisi Tsukasa maupun dirinya sendiri yang tidak akan pernah bisa ia pahami sebelumnya.

“Kak…, aku harus balik dulu,” ucap Kiyoomi bangkit dari tempatnya tanpa menyesap minumannya, menyisakan Shinsuke yang memandangnya penuh tanda tanya, “Aku mau ke kak Tsukasa,” jelasnya sebelum kemudian meninggalkan Shinsuke begitu saja.

Sementara itu Shinsuke hanya diam termangu dan menatap punggung lebar milik Kiyoomi yang tengah berlari tergopoh-gopoh keluar dari cafe. Seutas senyum tipis pun terukir di wajah manis Shinsuke.

Memang manusia itu makhluk yang sulit dipahami

💛💛💛

Diketuknya pintu putih itu—hingga dihitungan ke lima, tak ada respon dari dalam sana—haruskah Kiyoomi menggunakan kunci cadangan? Lalu di mana Tsukasa? Bukankah hari ini dirinya bilang tidak akan ke mana-mana?

Detak jantung Kiyoomi pun seketika berpacu cepat—pikiran buruk serta kekhawatiran pun memenuhi otaknya yang membuatnya sulit berpikir jernih. Hingga akhirnya pintu putih itu pun terbuka dan menampilkan sosok Tsukasa dari baliknya.

“Ah? Sakusa? Udah pulang? Nunggu lama ya? Sori tadi gue ketiduran,”

Bohong

Diperhatikannya lamat-lamat air muka milik Tsukasa, ada jejak-jejak air mata diujung matanya—dan bagaimana suara lelaki itu terdengar serak. Tanpa permisi, impuls otak Kiyoomi pun bergerak dan membawanya untuk merengkuh tubuh Tsukasa, yang tentu saja dihadiahi sebuah penolakan besar disana.

Tapi rengkuhan itu lebih kuat dibanding tenaga Tsukasa yang sepertinya telah habis karena menangis.

“Maaf…, maaf…,” gumamnya berulang kali.

“Maaf, aku yang harusnya jadi orang yang paling mengerti kak Tsukasa justru jadi orang paling jauh dan gatau apa-apa…,”

Dilonggarkannya pelukan itu untuk bisa menangkul wajah mungil di hadapannya. Membawanya untuk menatap matanya lekat-lekat. Dapat Kiyoomi lihat linangan air mata yang terpancar dari sepasang manik berwarna kecokelatan tersebut.

“Kak Tsakusa udah ga perlu nutupin apa-apa lagi dari sekarang udah bebas bilang apa aja soal yang kak Tsukasa rasakan ataupun inginkan…,”

Dapat Kiyoomi lihat ekspresi wajah Tsukasa yang berubah—campur aduk—ada keterkejutan dan penuh tanya di sana. Bibir mungilnya sedikit menganga dan menguraikan beberapa patah kata yang terdengar acak.

“…aku… aku ga ngerti apa maksud kamu…,”

Kerlingan air mata di pelupuk mata Tsukasa pun perlahan menetes—yang semakin sama semakin deras tak tertolong sama sekali—buru-buru Kiyoomi mengusapnya dengan lembut yang justru membuat lelaki di hadapannya semakin tersedu-sedu.

“Gapapa kak…, aku juga baru belajar buat mengerti, yang jelas sekarang kak Tsukasa ga perlu pura-pura lagi karena ada aku di sini,”

Dapat Kiyoomi rasakan tubuh Tsukasa yang seketika menabrak dirinya, memeluk dan meremas pakaiannya. Tangan kekarnya ia bawa untuk kembali merengkuh tubuh Tsukasa yang bergetar dan menangis di dadanya. Tak ada isakan disana—kesedihan yang begitu sunyi namun terdengar begitu pelik di saat bersamaan.

Tangan kanannya ia bawa untuk memegang bagian kepala Tsukasa sementara tangan kirinya bergerak perlahan dan penuh kasih sayang untuk mengelus punggung lebarnya yang nampak mungil jika harus dibandingkan dengan miliknya.

💛💛💛

Please listen to this song for the mood: https://open.spotify.com/track/3HEfLSVUo9rxdD0JxbLAUU?si=8ta202L-RcGE6wwmBOQ3CA

💛💛💛

“Ah…”

Baik Shinsuke, Wakatoshi, maupun Tsukasa hanya bisa memandangi Kiyoomi sedikit tak percaya (khususnya Tsukasa) melihat penampilan penghuni paling muda di sini. Bagaimana tidak, pasalnya Kiyoomi hanya akan menemani Tsukasa ke salah satu supermarket di pusat perbelanjaan dekat kompleks apartment mereka, alih-alih berdandan santai layaknya Tsukasa, Kiyoomi justru muncul dengan dandanan head to toe yang sangat rapih layaknya orang hendak pergi kencan (atau memang itu inisiasinya).

“Ini… gue ganti celana panjang aja apa ya…?” tanya Tsukasa pada Kiyoomi dan dirinya sendiri.

Pasalnya ia merasa seperti gembel jika harus disandingkan dengan Kiyoomi saat ini—di mana lelaki itu mengenakan kaos putih dengan lengan di atas siku oversized yang dipadukan dengan celana pendek jeans selutut. Tak lupa dengan kaos kaki berwarna binge untuk menambah kesan manis dan juga youthful. Benar-benar dandanan yang tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan keseharian Tsukasa saat pergi bermain dengan teman-temannya.

Sementara itu di sisi lain Kiyoomi nampak necis dengan sweatshirt bermotif garis-garis hijau dan kuning yang dimasukkan ke dalam celana jeans light blue dengan aksesoris sabuk berwarna coklat tua di pinggangnya—yang membuat orang-orang lebih terkejut dan terheran-heran lagi adalah fakta di mana Kiyoomi mengenakan pakaian berwarna cerah yang jarang sekali akan dia lakukan.

Kiyoomi yang menjadi pusat perhatian hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sedikit salah tingkah.

“Jujur… ini pertama kalinya aku liat Tsukasa ngga pede dengan dandannya…,” celetuk Shinsuke, yang masih dibuat takjub dengan pemandangan di hadapannya. Karena mengenal Tsukasa kurang lebih tiga tahun lamanya dirinya paham betul bahwa lelaki itu sangat memedulikan penampilannya—ucapannya kemudian disetujui oleh Wakatoshi melalui anggukan singkat.

“Ini gue ganti celana sama pake cardigan deh biar lebih rapi dikit—agak minder sampingan sama Sakusa jujur… berasa gembel guenya…” keluhnya, melihat kebimbangan yang dilanda sahabatnya itu Shinsuke pun kemudian mengajukan sebuah saran untuknya.

“Oh aku tau Sa, gimana kalo kamu pakai sneakers-mu yang kuning? Biar senada gitu sama Sakusa? Terus ganti pakai ripped jeans aja gimana?”

Saran Shinsuke tersebut sepertinya mendapat perhatian penuh oleh Tsukasa sebelum akhirnya lelaki itu masuk kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian—tak lupa dengan kacamata ‘main’ miliknya sebagai aksesoris bergaya. Dirinya pun bisa tersenyum lebar penuh percaya diri sekarang.

“Nah cocok!” puji Shinsuke sementara itu Kiyoomi hanya diam dalam posisinya memperhatikan—sekiranya dirinya nampak begitu terpana dan pangling melihat Tsukasa dengan kacamatanya, memberikan kesan baru dan juga lebih dewasa dibanding biasanya.

“Kalian kayak mau nge-date

Celetukkan Wakatoshi tersebut seketika membuat Shinsuke tersedak dan Tsukasa hampir jantungan, sementara itu Kiyoomi berlagak santai dengan memasang masker wajahnya (padahal menahan salah tingkahnya). Akan tetapi, Tsukasa being Tsukasa yang menganggap abai celetukan Wakatoshi tersebut dan justru membercandainya.

Grocery date ya? Boleh juga deh, tapi buat apa kalo bukan sama pacar, cari dulu harusnya,” candanya.

“Emang mau nyari dimana Tsukasa?” tanya Shinsuke meladeninya Tsukasa pun hanya mengedikkan bahunya ringan, “Gatau, siapa tau ketemu di lift ntar,”

“Ngga minat cari di Bumble?”

“Gue bukan Kuroo fyi,”

“Siapa tau terpapar,”

“Dijadiin aja ga sih kak? Pacarannya,”

Sebuah celotehan asal dari Kiyoomi tersebut seketika Shinsuke tersedak ludahnya sendiri, sedikit panik melihat Kiyoomi dan Tsukasa secara bergantian—entah mengapa suasana di antara mereka berempat seketika menjadi canggung—dan belum sempat Shinsuke angkat suara untuk mencairkan suasana Tsukasa sudah tergelak terlebih dahulu sekaligus sedikit mencibir.

“Omongan lo kayak Kuroo! Buaya!” ledeknya, “Sejak kapan lo buaya Sakusa?!”

Dan belum sempat Kiyoomi menjawab atau menimpalinya Tsukasa sudah terlebih dahulu membuka pintu apartmen mereka, “Fyi aja, gue ga minat sama buaya, dan yuk ntar keburu sore,” berusaha cepat-cepat menghindari pembicaraan yang memang tidak ia inginkan.

Kiyoomi yang melihatnya pun hanya bisa menghela nafas pelan—sepertinya Tsukasa memang dengan sengaja menghindari pembicaraan tersebut, apapun itu, yang berhubungan dengan perasaannya maupun hubungan mereka—Kiyoomi hanya bisa memberengutkan wajahnya sembari mendecih sebal. Entah mengapa ia merasa kesal untuk alasan yang tak jelas.

Meski demikian, baik reaksi Kiyoomi maupun Tsukasa tak dapat luput dari mata jeli milik Shinsuke yang hanya bisa diam memperhatikan sembari menghela nafas berat dan menggelengkan kepalanya.

“Kalau gitu aku berangkat ya kak,”

“Hati-hati Sakusa,”

Bersamaan dengan sosok Sakusa yang menghilang dibalik pintu apartment yang tertutup—menyisakan Shinsuke dan juga Wakatoshi berdua—lelaki bersurai dual warna dan lebih pendek itu menghela nafas berat yang seketika mengundang perhatian seorang lainnya.

“HAAAAAAAAH…,”

“Kenapa Ta?”

“Kenapa ya kisah asmara orang lain pelik banget,”

Jawaban Shinsuke tersebut kemudian menyisakan satu tanda tanya besar di benak kepala Wakatoshi.

💛💛💛

Sore itu kota Tokyo dipayungi lembayung senja keorenan dengan bias hangat cahaya sang matahari yang bergegas beranjak untuk beristirahat. Mobil milik Kiyoomi itu melaju di jalanan Tokyo dengan kecepatan sedang, kesunyian menyelimuti di antara Tsukasa dan Kiyoomi yang mana mereka berdua enggan memulai pembicaraan satu sama lain—di mana Kiyoomi fokus pada jalanan Tokyo di hadapannya dan Tsukasa lebih memilih melihat pemandangan gedung-gedung Tokyo di kaca penumpanh—mataya menatap kosong gedung-gedung pencakar langit yang berlalu seiringan dengan laju kemudi mobil.

“Haaah…,” helaan nafas dari Tsukasa itu terdengar cukup nyaring di tengah situasi mereka yang begitu sunyi dan juga kikuk—mengundang perhatian Kiyoomi dari jalanan Tokyo untuk mengoleh kepada figur yang masih nampak abai akan presensinya.

Diperhatikannya fitur wajah seseorang yang menjadi cinta pertamanya itu—yang bahkan setelah semuanya yang terjadi di antara mereka perasaan itu masih ada di dalam hatinya—ditelisiknya perlahan. Leher jenjang milik Tsukasa, tulang rahangnya yang tegas, serta hidung mancungnya yang dulu menjadi bagian favoritnya untuk mengerjai yang lebih tua.

Kiyoomi jadi teringat di malam saat mereka ciuman untuk pertama kalinya—walau mungkin Tsukasa tidak akan pernah mengingatnya—bagaimana bibir tipis nan ranum itu menciumnya, memberikan sensasi kenyal dan juga manis asam sisa-sisa alkohol di sana. Membuat Kiyoomi penasaran, apakah rasanya akan tetap sama jika tanpa pengaruh alkohol?

Apakah ia juga akan merasakan rasa sedih yang bergelut dengan kecamuk sesuatu yang bermekaran dalam hatinya? Atau justru ada kegembiraan membuncah di sana? Kiyoomi penasaran.

Dengan cepat-cepat Kiyoomi menghilangkan kembali pikiran muluknya itu, terlalu banyak ‘jika’ di dalam hubungan mereka, sendari dulu, sendari Kiyoomi enggan menanyai kondisi mantan kekasihnya itu atau sekadar peduli. Ia tidak ingin sekarang mereka pun berakhir dengan ‘jika’ ketika Kiyoomi tidak melangkah maju—walau ia harus menelan pil pahit berupa penolakan—paling tidak ia akan berhenti ketika dirinya sendiri merasa lelah dan siap menerima kondisi ‘jika’ ia memilih untuk mundur nantinya.

Mungkin saat ini adalah di mana ia harus melangkah terlebih dahulu.

“Bosen kak?” tanya Kiyoomi tiba-tiba sembari sedikit melirik, Tsukasa nampaknya tak tertarik menoleh ke arah Kiyoomi dan hanya bergumam kecil sembari menganggukkan kepalanya, “Dikit,”

Masih fokus dengan kemudinya, tangan kiri Kiyoomi pun beranjak dan mengambil ponsel miliknya di dashboard mobil sebelum kemudian menyerahkannya kepada Tsukasa. “Setel lagu aja kak, sandinya masih sama kayak dulu atau pake facelock juga bisa. Kalo aku ga salah inget masih bisa detect wajah kak Tsukasa,” jelasnya.

Dengan ragu, diterimanya ponsel tipis berwarna dark grey tersebut dengan. Ada beragam tanya dalam benak Tsukasa, dan juga rasa penasaran. Ia pun mengikuti apa kaya Kiyoomi tersebut—sebagai bentuk pembuktian diri—dan memosisikan ponsel Kiyoomi tepat di hadapannya. Hanya butuh sepersekian sekon, kunci ponsel pintar tersebut terbuka dan menampilkan wallpaper ponsel Kiyoomi di mana merupakan foto full-face wajahnya yang bahkan Tsukasa tak ingat kapan mengambilnya, membuatnya diam termangu di posisinya, sebelum tercicit kecil, “…kaget…,”

“Kenapa kak?”

“Siapa yang ga kaget liat foto full-face-nya jadi wallpaper? Ini foto kapan btw aku ga inget,” tanya Tsukasa penasaran, dalam posisinya yang masih nampak fokus menyetir Kiyoomi berusaha mengingat-ingat.

Di lepaskannya masker wajahnya agar lebih leluasa berbicara dan menjawab pertanyaan lelaki itu, “Kalau aku ngga salah inget ini waktu kak Tsukasa semester dua? Kita staycation deh dan aku lagi bayar makan,”

Tsukasa pun nampak berusaha mengingat-ingat—bohong sebenarnya—karena memori kilas balik kenangan itu seketika tersaji dipikirannya. Membuatnya sedikit terkaget kecil sebelum tersenyum simpul.

“Ah! Yang sama Komori itu?”

“Iya yang itu,”

Tsukasa pun hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, entah mengapa ia merasa sedikit malu melihat fotonya sendiri—atau malu akan hal lain ia pun tak tahu pasti—yang jelas diingatannya waktu itu ia mengambil beragam foto asal, bahkan bersama Motoya maupun Kiyoomi.

“Kamu ada banyak pilihan foto kenapa milih ini deh…,”

“Soalnya lucu aja fotonya kak, kak Tsukasa wajahnya selayar,”

Jawaban Kiyoomi itu menyisakan ruang sunyi di antara mereka (kembali), berusaha menghindari kegugupan yang ada jemari Tsukasa pun asik menjelajahi ponsel Kiyoomi yang memang tampilannya tak jauh berbeda dari ingatan terakhirnya—dengan mudah ia menemukan aplikasi musik di sana dan membukanya, mencari-cari playlist yang biasa lelaki itu dengarkan.

Matanya sibuk mencari dan menelisik, namun yang ia temukan hanyalah nama-nama familiar untuknya.

💛’s forever all times us lately i’ve been fall in love;💛 . . . dan masih ada lagi

“Kenapa kak?” tanya Kiyoomi yang menydari perubahan air muka di Tsukasa, cepat-cepat lelaki itu menggeleng, “Aduh kok aku mendadak bingung ya?”

“Mau dengerin Fiji Blue ngga kak? Your forever favorite,”

“Eh? Boleh ide bagus! Kamu mau dengerin apa terusan nanti aku add qeue deh!”

Sore itu perjalanan mereka di temani oleh irama senandung lagu dari playlist dadakan yang mereka buat. Layaknya telah menjadi rutinitas sehari-hari yang sering mereka lakukan selama ini.

💛💛💛

“Biar aku aja kak yang dorong trolinya,”

Tsukasa yang saat itu hendak mengambil troli pun mengalah, sedikit memundurkan dirinya untuk membiarkan Kiyoomi mengambil kereta belanja mereka. Namun, belum sempat Kiyoomi mendorongnya Tsukasa sudah menepuk bahu lebarnya pelan—menyuruhnya sedikit membungkuk untuk berbisik.

“Kenapa kak?” tanya Kiyoomi keheranan sementara itu Tsukasa hanya menggaruk pipinya yang tidak gatal, “Suka aja sama warnanya, boleh ga?”

Dapat dilihatnya Tsukasa yang sedikit memohon—dan berharap kepada Kiyoomi—tatapan matanya seketika melembut kepada Tsukasa yang seperti itu. Bagi Kiyoomi baik troli biru maupun kuning tidak ada beda yang signifikan—hanya di warna. Tetapi melihat Tsukasa berharap kepadanua seakan menyentil sedikit hatinya. Kiyoomi pun mengembalikkan kereta belanja berwarna biru trsebut dan menggantinya dengan warna kuning. Melihatnya membuat Tsukasa tersenyum riang sembari mengepalkan tangannya.

Gemas, seperti anak kecil

“Yeay!”

“Kayak anak kecil,” ledek Kiyoomi, meski demikian dirinya tetap mengambil jalan di sebelah Tsukasa untuk dapat berbicara dengannya.

Lagipula ledekan tersebut bukanlah yang sebenarnya ia rasakan—dapat dilihatnya Tsukasa pun tak terlalu mengabaikannya—membuat Kiyoomi tersenyum simpul di balik maskernya.

“Biarin sih, let me be happy by a simple thing

“Iya iyaa,”

Ada semacam intonasi berbeda saat Kiyoomi mengatakan hal tersebut, nadanya terdengar lembut dan mengalah, membiarkan Tsukasa senang dengan hal sederhana seperti ini sepertinya sudah lama sekali ia lakukan sejak terakhir kali dan melihatnya tersenyum seperti itu adalah hal yang paling Kiyoomi suka.

Hapiness does fit you really well kak…

💛💛💛

Tsukasa dan Kiyoomi berjalan bersama—beriringan, dengan Kiyoomi yang tengah mendorong troli dan Tsukasa yang sibuk mengecek ponsel pintarnya untuk memastikan list keperluan mereka telah terpenuhi—kadang kala mereka berhenti sedikit memakan waktu lama, membanding promo merk tertentu dengan lainnya.

Kadang kala ada perdebatan kecil diantara mereka, dari yang esensial seperti kandungan bahan makanan ataupun bahan pengawet hingga se-remeh-temeh lebih baik pakai susuh UHT atau susu bubuk untuk sereal mereka.

Sendari dulu Kiyoomi tau bahwa Tsukasa adalah pribadi yang teliti dan juga telaten—tetapi dirinya tidak pernah tau tentang sisi ‘perhitungan’ milik lelaki bersurai hijau tersebut—mulut kecilnya kadang menggerutu hanya karena masalah promo atau perbedaan ukuran yang menyebabkan markup harga melambung tinggi. Sisi Tsukasa yang seperti itu entah mengapa membuat Kiyoomi makin jatuh hati, penuh perhatian dan ketelitian walau kadang kala terdengar bawel. Sampai membuatnya tidak sadar bahwa lelaki di hadapannya sudah berulang kali memanggil namanya—dirinya yang terlalu larut dalam lamunnya pun mengedipkan mata bingung.

“Kiyoomi? Halo dengan Sakusa Kiyoomi?” sapa Tsukasa sembari melambaikan tangan dihadapannya—lelaki itu nampak memberengut lucu sekarang.

“Iya? Ada apa kak?”

“Menurut kamu mending beli yang mana deh?” tanyanya sembari menyodorkan dua brand sampoo yang cukup terkenal, “Yang ini lagi ada promo, aku pernah nyoba dia wangi sih… cuma agak ga cocok di aku bikin rambut rontok—NANTI AKU BOTAK GIMANA?!” ujarnya sedikit panik. Tangannya pun kemudian beraling pada produk yang satunya.

“Terus kalo yang ini… sebenernya emang my regular sampoo… dia emang bagus sih… tapi mahal… sebagai unemployed aku kudu neken pengeluaran…,” jelas Tsukasa sembari memandangi kedua sampoo tersebut bergantian.

Kiyoomi pun kemudian mengambil pilihan sampoo kedua dan memasukkannya ke dalam troli belanja, belum sempat Tsukasa melayangkan protesnya ucapannya sudah ia potong lebih dulu, “Mending yang biasanya aja kak, udah pasti cocok. Kalo yang satunya kan ga cocok—pengobatan biasanya cost-nya lebih mahal dari perawatan. Gapapa neken uang jajan dulu,”

Masuk akal pikir Tsukasa, mereka pun melanjutkan kegiatan mereka—dan tepat sebelum menuju kasir untuk membayar mereka kembali mengecek ulang (untuk ke sebelas kalinya) apakah daftar belanjaan mereka sudah terpenuhi semua atau belum.

Saat Tsukasa tengah sibuk mencari kartu debutnya, Kiyoomi terlebih dahulu berdiri di hadapan kasir dan menyodorkan kartu ATM miliknya.

“Loh?”

“Gapapa kak, pakai uangku aja nanti gampang baginya pas udah di apartemen aja,”

Mereka pun kembali memasukkan belanjaan mereka ke dalam totebag yang sudah mereka bawa dari rumah sebelum memasukkannya kembali kantung-kantung belanja itu ke dalam troli.

“Padahal gak harus, bisanya Shin sama Ushijima udah transfer uangnya ke aku soalnya aku yang jatah belanja bulan ini. Nanti aku transfer ke kamu aja ya sisanya?”

Kiyoomi hanya mengangguk, sebagai jawaban, masih sibuk dengan kegiatan masing-masih.

Ah! Sebelum pulang Kiyoomi jadi teringat sesuatu!

“Kak, temenin aku bentar mau nggak? Aku mau beli parfum dulu,”

💛💛💛

Ada sebuah rahasia kecil tentang Kiyoomi, di mana dia sangat menyukai belanja keperluan sanitasi dan body wash sehari-hari. Alasannya sepele, ia menyukai aroma wangi khas sabun yang dikeluarkan oleh produk-produk tersebut (baik sintetis maupun klaim alami yang ada).

Itulah sebabnya wajah lelaki bersurai hitam tersebut hari ini nampak cerah dan berbunga—lebih-lebih dibanding biasanya—karena hal tersebut. Meski demikian, alasan sebenarnya adalah dia juga ingin untuk menghabiskan waktu sedikit lebih lama dengan Tsukasa, berlagak seolah tak ada yang salah di antara mereka dan berinteraksi tanpa canggung.

Karena Kiyoomi tau jika ia kembali sekarang maka Tsukasa akan berusaha mendorongnya, meminimalisir interaksi diantara mereka dan menolak seluruh tawarannya.

Jika Motoya melihatnya ‘modus’ (memakai kamus bahas Suna) seperti ini, pasti sepupunya itu akan menertawakannya dan mengasihaninya. Kiyoomi sangat-sangat bersyukur karena ledekan sepupu + pacar sepupunya itu adalah hal paling menyebalkan dan hal terakhir yang ingin Kiyoomi dengar.

Sementara itu, Tsukasa—menghiraukan Kiyoomi yang tidak segera mencari ‘parfum’ miliknya lelaki itu justru sibuk melihat-lihat produk yang dipajang di etalase yang ada. Menunggu Kiyoomi dengan sabar dan mencari-cari sesuatu yng menarik perhatiannya.

Kiyoomi sedikit melirik sekilas ke arah Tsukasa sebelum menghela nafas pelan—imaji seperti ini, walau semu dan sesaat, ia ingin membayangkan suatu hari nanti akan jadi kenyataan. Hal-hal sederhana yang dilakukan berdua bersama. Hanya ada Kiyoomi dan juga Tsukasa.

“Kiyoomi? Udah belum?” tanya Tsukasa sembari menghampiri Kiyoomi, lelaki itu nampak sedikit kalang kabut membuat Tsukasa terkekeh kecil. “Santai aja, aku cuma nanya. Kalau masih lama aku nunggu di luar aja ya?” ujarnya sembari menunjuk ke areal luar toko tersebut.

Buru-buru Kiyoomi mencari alasan, menolaknya, menahan Tsukasa lebih lama lagi untuk bersamanya.

“Eh gak usah kak… anu… aku boleh minta tolong ngga kak?”

“Bayar tapi,” imbuh Tsukasa, tersenyum jahil kepada Kiyoomi—ah jadi begini permainannya? Dari balik maskernya Kiyoomi pun tersenyum jahil.

“Yaudah nanti kak Tsukasa yang nyetir pulang,”

“YAH JANGAN DONG….,”

Sekarang gantian, Kiyoomi yang dibuat terkekeh dengan reaksi Tsukasa tersebut yang nampak sangat enggan untuk menyetir pulang.

“Bercanda kak, tapi menurut kak Tsukasa untuk wangi parfrum mending yang mana?”

“Hmm? Mana?”

Kiyoomi pun menyodorkan kertas parfrum yang sudah ia semprotkan ke pada Tsukasa, sementara itu lelaki itu nampak bergantian menciuminya, sebelum menetralkan aroma parfrum dengan bijih kopi yang ada.

Di posisinya Kiyoomi hanya diam memperhatikan dengan seksama—Tsukasa yang nampak khidmat menciumi aroma parfrum tersebut, ia berusaha untuk menahan diri, agar tidak tuba-tiba kembali mengelus kepala lelaki itu seperti kapan lalu.

Meski demikian Kiyoomi tetap tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dekat ini begitu saja, ia majukan sedikit badannya dan menyondongkan dirinya, agar bisa lebih dekat dengan Tsukasa yang masih sibuk memilih parfum.

“Kalo menurut aku ya, yang botolnya biru ini baunya terlalu strong aku ga terlalu suka, gatau kamu ya…,” jelasnya sembari menyodorkan kertas itu kepada Kiyoomi.

“Terus yang orens… baunya seger sih buah-buahan tapi kadang nyampur gitu… sama kayakny kalo kena keringat baunya jadi bikin mual,”

“Aku pribadi prefer dua ini sih, yang putih ini baunya lembut… sopan gitu di hidung aku, kalau yang satunya…,”

Tsukasa terdiam sejenak sebelum menolehkan pandangnya ke Kiyoomi, “Baunya kayak hutan campur air hujan… calming…, kayak kamu…,”

Kalimat terakhirnya terdengar begitu lirih, seakan Tsukasa tengah mencicitkan sesuatu yang tidak seharusnya Kiyooni dengar. Sementara itu Kiyoomi hanya mentanap lekat Tsukasa, membuat yang lebih tua cepat-cepat mengalihkan pandangannya dan tertawa canggung.

“Kak Tsukasa tadi bilang apa?”

“Hah? Engga kok! Ngga apa-apa! Itu sih menurut aku…,”

Tsukasa pun memundurkan dirinya, sedikit tidak nyaman dengan ruang sempit di antara mereka berdua—membuat Kiyoomi pun mau tidak mau pun akhirnya mengalah, “Kiyoomi aku tunggu di luar ya? Kepalaku agak pusing sama aroma parfum haha,”

Bohong

Dan sekali lagi Tsukasa pun mengelak, mendorongnya mundur. Kiyoomi dapat melihat raut wajah penuh kelelahan dari ekspresi Tsukasa barusan.

💛💛💛

Apa tidak lelah jadi orang yang terus lari dan membohongi dirinya sendiri?

💛💛💛

💛💛💛

Please listen to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/6OcCk1dbAb7XNHsC098oEM?si=3dCFy-i8Rla7SB2rp4XH3w

💛💛💛

Pagi itu Kiyoomi bangun sedikit kesiangan, salahkan pesta yang diadakan teman-teman serumahnya itu yang membuatnya terjaga hingga pukul tiga pagi—membuatnya bagun kesiangan seperti ini—untungnya sudah memasuki libur semester sehingga Kiyoomi tak perlu repot-repot buru-buru ke kampus.

Matanya masih terasa lengket dan ia dapat mencium aroma pengar dari mulutnya, ia membencinya, dengan cepat ia bangkit dari tidurnya menuju kamar mandi untuk berbesih diri.

Selang beberapa menit Kiyoomi pun keluar dengan penampilan yang lebih segar sehabis mandi. Tak ada lagi bau-bau pengar sisa minuman beralkohol semalam yang ia minum.

Meski demikian rasa-rasanya Kiyoomi tergelitik sendiri mengingat insiden semalam. Dirinya tak pernah menyangka dapat melihat sosok Tsukasa yang bawel dan sedikit kekanak-kanakan, membuatnya ingin sekali terkekeh karena kelakuannya.

💛💛💛

Malam itu Shinsuke, Wakatoshi, Tsukasa, dan Kiyoomi akhirnya bersua bersama setelah kurang lebih tiga bulan lamanya sejak kepindahannya dan saling mengenal satu sama lain.

Kesibukkan perkuliahan dan tugas akhir mereka membuat pesta penyambutan Kiyoomi tertunda beberapa bulan dari yang seharusnya diadakan—paling tidak pesta kali ini lebih meriah daripada biasanya—sekaligus pada perayaan hari kelulusan Tsukasa di mana mereka berkumpul dengan suka cita untuk merayakannya.

“One shot aja ya terus muter kayak biasanya mau ga?” saran Shinsuke sembari meletakkan empat botol minuman beralkohol di atas meja.

Tsukasa pun membuka salah satu diantaranya, sebelum menuangkannya setengah seloki untuk dirinya sendiri sebelum meneguknya.

“Boleh,”

Malam itu mereka duduk memutari meja makan, dengan minuman beralkohol dan juga beberapa cemilan tersaji di meja. Wajah Tsukasa nampak berseri, tersenyum lebar dengan ekspresi sumringah karena akhirnya kembali berkesempatan untuk berpesta setelah enam bulan lamanya.

“Happy banget kayaknya Tsukasa,” ledek Shinsuke sembari berpangku tangan melihat ke arah Tsukasa, sementara lelaki itu nampak tak mengindahkan ledekan Shinsuke tersebut dan justru menggeser minumannya kepada Wakatoshi, giliran selanjutnya.

“I’ve been waiting for this time in this six months ya! Dilarang protes!”

Shinsuke hanya mengangguk kecil sebelum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Kiyoomi, “Sakusa sendiri gimana? Kamu high atau low tolerence? Jangan terlalu maksain diri ya kalo udah ga kuat,”

“Sakusa itu high tolerence, sebelah dua belas sama aku. Waktu itu waktu acara UKM dia bisa habis dua botol sendiri,”

Dan Tsukasa serta Shinsuke nampak terkejut mendengar hal tersebut—tidak menyangka pula bahwa Wakatoshi yang melontarkannya—mereka nampak sangsi namun juga iri di saat bersamaan, dan kali ini minuman itu udah tiba di hadapan Kiyoomi yang segera ia tengguk dengan santainya.

Malam itu mereka berbincang dan bergurau santai hingga lupa waktu, salah satu hal yang cukup jarang dilakukan oleh Kiyoomi terlepas ia memiliki kadar toleransi yang tinggi terhadap alkohol, Kiyoomi selalu berusaha membatasi konsumsinya.

Tetapi malam ini adalah pengecualian, ia menikmati setiap tenggak minumam yang mampu sedikit membakar tenggorokannya tersebut tanpa peduli akan waktu, bersenda gurau dan berceloteh akan banyak hal kepada teman-teman barunya itu.

Memasuki dini hari orang yang pertama tepar adalah Shinsuke, wajahnya sudah sangat merah ditambah ekspresi seakan menahan mual, Tsukasa sudah menyarankannya untuk take it easy dan tidak masalah untuk ikut nimbrung tanpa minum.

Tak selang lama Tsukasa pun sama—menunjukkan indikasi bahwa dirinya sudah mulai tipsy dengan wajah yang memerah—berbeda dengan Shinsuke yang kehilangan kesadarannya, Tsukasa justru seakan diisi baterai dengan tenaga yang tak ada habisnya.

Ia bernyanyi sembarang dan mencelotehkan apapun—bahkan Kiyoomi masih ingat dengan Tsukasa yang tiba-tiba menyentil dahinya dan berkata ingin mencabut kedua tahi lalatnya—melihat Tsukasa yang seperti itu bukannya takut tapi Kiyoomi justru membalasnya, mengusilinya, “Coba, kalo berani,” yang membuat lelaki itu mendecih kesal.

Bahkan Tsukasa terkadang melakukan jogging ataupun push-up kecil karena kelebihan energi yang ia punya. Shinsuke yang sudah merasa sedikit lebih baik dan mengumpulkan kesadarannya itu berulang kali menyuruh Tsukasa untuk berhenti karena ia bisa-bisa muntah keesokkan paginya karena hungover.

Meski demikian Tsukasa terlalu keras kepala untuk mendengarkan—ia justru bernyanyi dan tak mengidahkan Shinsuke—sementara itu minuman tersebut yang bersisa satu setengah botol terus berputar di antara Wakatoshi dan Kiyoomi. Seakan melahirkan rivalitas tanpa sengaja diantara mereka, siapa yang akhirnya mendapat julukan ‘dewa minum’ pada malam panjang ini.

“Yang bisa ngabisin minumnya nanti aku cium,”

Shinsuke yang tengah meminum air mineral untuk menghilangkan pengar itu pun seketika tersedak mendengar ujaran Tsukasa barusan, ‘wah udah beneran mabuk nih orang’ pikirnya tetapi Tsukasa seakan tak peduli dan justru menjulurkan lidahnya mengejek.

Inilah salah satu alasan mengapa ia melarang Tsukasa minum terlalu banyak—lelaki itu akan kelewat nekad dan serampangan—juga menjadi alasan kenapa Tsukasa akan selalu ia larang untuk pergi ke club.

Mendengar celotehan tersebut baik Wajatoshi maupun Kiyoomi saling bertukar pandang satu sama lain, sementara itu Tsukasa hanya tersenyum puas membuat taruhan yang mungkin akan ia sesali nantinya. Dengan cepat Kiyoomi pun merebut dengan cepat botol smirnoff tersebut dan menengaknya hingga tandas sebelum kemudian menoleh ke arah Tsukasa dan mencondongkan tubuhnya, “So, where’s the prize you promised,”

Tsukasa hanya menatap Kiyoomi sebelum tangannya bergerak untuk menangkup wajahnya sebelum memberikan sebuah kecupan panjang di sana—membuat Kiyoomi cukup terkejut karenanya

Ada sebuah perasaan mengganjal dan sedih di sana, mengingat bagaimana hubungan mereka berakhir dan bagaimana Tsukasa saat ini berada di bawah pengaruh alkohol—tapi persetan dengan segala hal, impuls otaknya saat ini pun menyuruhnya untuk egois—mana ia balas menangkup wajah Tsukasa dan membalas ciuman tersebut, lebih dalam dan lama—layaknya malam-malam yang lewan saban hari dan hanya sekelebat tetapi pengalaman ciuman pertamanya itu takkan pernah Kiyoomi lupakan.

💛💛💛

“Pagi Sakusa,”

Sapa Shinsuke yang terlihat baru saja keluar dari kamarnya—sepertinya tak jauh beda dengannya yang baru saja bangun—Kiyoomi pun membalas sapaan tersebut seraya menganggukkan kepalanya. Dilihatnya Shinsuke yang berjalan menuju ruang makan dan mendapat Tsukasa yang tengah tergeletak lemah sembari menyandarkan dirinya di atas meja.

“Kamu masih pusing?” tanya Shinsuke yang dibalas leguhan tak bertenaga dari Tsukasa.

“Ah… ya Tuhan… perutku mual banget padahal udah gaada yang bisa dimuntahin,” keluh Tsukasa sebelum kemudian perlahan menegapkan posisi duduknya sembari memijat-mijat pelipisnya. Sementara itu Shinsuke hanya bisa menepuk-nepuk punggung lebar lelaki itu, “Dibilang jangan minum banyak-banyak ngeyel sih,” omelnya membuat Tsukasa hanya bisa meminta maaf dengan cicitan mungil.

“Oh iya, Sakusa udah sarapan belum? Ngga ada apa-apa sih pagi ini, apa mau beli aja?” tanya Shinsuke yang tidak segera Sakusa jawab—alih-alih menjawabnya ia lebih memilih untuk duduk di hadapan kedua seniornya itu.

“Belum kak, ngomong-ngomong kak Ushijima ke mana?” tanya Kiyoomi kepada mereka berdua, “Ushijima tadi udah keluar sekitar jam 9-an ada janji katanya,”

“Ah, Sakusa udah mandi ya? Maaf banget ya kalo kamar mandinya agak bau gimana… udah gue bersihin sih tapi kalo udah mendingan gue bersihin lagi,” jelas Tsukasa dapat Sakusa lihat bagaimana berantakannya raut lelaki itu saat ini—akibat pengaruh hungover—dengan mata merah berair dan bibir pucat pasi.

Tak perlu ditanyakan lebih lanjut Kiyoomi yakin bahwa kondisi lelaki di hadapannya itu tidak 100% baik.

“Engga bau apa-apa kok kak,” balasnya akan pertanyaan tersebut, membuat Tsukasa sedikit tersenyum lega mendengarnya—tetapi hal tersebut tak berselang lama sebelum kemudia dirinya bangkit dari duduknya dan kembali memuntahkan isi perutnya untuk kesekian kalinya.

Shinsuke yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari menghela nafas berat, seakan hal tersebut merupakan pemandangan familiar bagi dirinya. Dengan cekatan ia mengetikkan sesuatu di ponsel pintarnya.

“Aku pesanin bubur ayam ya? Mau?” tawarnya kepada Tsukasa yang masih di dalam kamar mandi. “Tolong, porsinya setengah aja ya,”

Mengangguk paham Shinsuke pun memesankan sarapan (yang cukup terlambat) untuk Tsukasa, bisa-bisa ia melukai lambungnha karena memuntahkan cairan asam di dalamnya jika terus seperti ini.

“Sakusa mau bubur juga?”

“Boleh kak…,”

“Oke! Udah aku pesenin sarapan untuk kita!”

Keheningan kembali menyeruak saat Tsukasa kembali dari kamar mandi dan meletakkan kepalanya di atas meja. Sungguh dirinya sangat lemah dan lesu saat ini seakan separuh jiwanya ikut keluar bersamaan dengan muntahannya tadi.

Melihat kondisi Tsukasa yang mengkhawatirkan tersebut Kiyoomi pun beranjang dari kursinya, mengambil beberapa buah apel untuk dikupas. “Perut kak Iizuna kosong kan abis muntah? Di makan dulu apelnnya dikit-dikit, kalau perut kosong langsung diisi makan berat nanti takutnya justru keluar lagi makanannya,”

Tsukasa hanya diam, memperhatikan Kiyoomi untuk sesaat sebelum melakukan apa yang disuruh oleh lelaki itu. Melihat Tsukasa yang hanya bisa diam dan menurut (walau nampak tak berdaya) entah mengapa memberikan perasaan ringan dan juga senang dalam diri Kiyoomi. Mungkin paling tidak lelaki itu tak sepenuhnya mendorongnya ataupun menjauhinya.

Sementara itu Shinsuke hanya bisa diam sembari memperhatikan. Seutas senyum tipis pun tanpa sadar tercetak di paras manisnya.

💛💛💛

💛💛💛

Please listen to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/1hWDc5jD5br9pXSOtubFlf?si=r-f82xsVTv-6twfc8-bbvg

💛💛💛

Empat tahun lamanya menjalin hubungan tidak membuat Kiyoomi familiar akan perasaan yang dinamakan cinta.

💛💛💛

Sejak awal perjumpaan mereka, Kiyoomi sudah menaruh kekaguman pada sosok Iizuna Tsukasa. Dirinya masih ingat betul kala itu di tahun ketiganya sekolah menengah pertama tengah menonton pertandingan voli musin semi untuk para anak-anak SMA.

Walau pada akhirnya mereka dapat menebak akhir dan siapa juaranya meski demikian rasa penasaran anak yang baru menginjak remaja itu tak dapat dibendung lagi dan di sana ia bertemu dengan Tsukasa untuk pertama kali.

Kiyoomi kecil saat itu telah dibuat kagum—akan ketelatenan yang dimiliki oleh Tsukasa—membuatnya kemudian mengira dan menerka-nerka apakah semua anak SMA akan sama telatennya seperti Tsukasa, atau paling tidak akankah dirinya seperti Tsukasa?

Tidak, tidak, kalian salah mengira jika Kiyoomi dibuat tergakum-kagum dan terpana akan kemampuan bermain voli Tsukasa, kalian salah besar—saat itu adalah final kejuaraan musim semi dan semua yang berlaga menunjukkan penampilan yang begitu memukau. Kekaguman terhadap sosok Tsukasa hanyalah satu hal kecil sederhana yang bagi Kiyoomi jarang sekali ditemukan di sebagian besar orang.

Saat itu ia hanya diam, beberapa saat untuk memperhatikan. Bagaimana Tsukasa dengan telaten merapikan barang-barangnya, hingga pada akhirnya menyadari presensi Kiyoomi yang tengah diam membatu memandanginya (atau lebih tepatnya mengamatinya).

Tsukasa pun bangkit dari posisi berjongkoknya, sedikit celingukan karena tak ada orang lain yang berlalu lalang untuk GOR Tokyo sebesar itu.

“Maaf? Apakah kamu butuh bantuan?” tanyanya kepada Kiyoomi.

Mungkin sepertinya saat itu Kiyoomi yang sudah dibuat kagum oleh sosok Tsukasa pun kemudian semakin tersihir dan terbius akannya. Bingung, dan gelagapan Kiyoomi pun menjawab, “Pintu keluar di mana ya kak?”

Tsukasa tidak langsung menjawab sebelum mengarahkannya. “Kamu lurus aja sampai mentok nanti belok kanan, nah ada tangga, kamu turun aja nanti udah sampai main hall utama untuk keluar,” jelasnya sembari mengarahkannya dengan gerak tangan.

“Mau aku antar sekalian?”

Tawaran Tsukasa itu pun tentunya ditolak mentah-mentah oleh Kiyoomi, yang kepalang malu akan dirinya sendiri dan itulah saat terakhir mereka bertegur sapa dan bicara sebelum akhirnya berpisah.

Kiyoomi ingat betul bagaimana Tsukasa yang tersenyum ke arahnya—menyisakan sensasi sedikit menggelitik bagi dirinya yan tak familiar dan tak ia ketahui apa namanya.

Kekagumannya terhadap sosok Tsukasa yang telaten, rapih, bersih, dan juga baik hati membuat Kiyoomi penasaran apakah semua anak SMA akan sama seperti sosok Tsukasa—membayangkannya saja membuat Kiyoomi berdebar tak karuan, tidak sabar untuk segera beranjak ‘dewasa’.

💛💛💛

Semusim telah berlalu dan di sinilah Kiyoomi sekarang—menginjakkan kaki di bangku sekolah menengah atas untuk pertama kalinyaa—orang bilang masa SMA adalah masa yang menyenangkan dan juga abadi selamanya, masa remaja di mana sebagian besar orang memilih untuk enggan beranjak dewasa dma terjebak pada warna-warni kehidupan.

Cerita para orang dewasa, kakak-kakaknya, ataupun orang tuanya sering kali membuat Kiyoomi menganggap itu hanyalah kiasan hiperbolis semata—dan tidak akan berpengaruh berarti bagi dirinya. Seketika pikiran pesimisnya dirinya buang jauh-jauh dengan sekelebat bayangan seorang anak SMA asing bersurai kehijauan yang dengan telaten merapikan pakaian dan barang-barangnya—seorang pemuda yang saat itu membantunya—menyisakan satu kekaguman yang membekas bagi diri Kiyoomi.

Meski demikian bukan berarti Kiyoomi akan bertemu dengan sosoknya kembali bukan?

“Kiyoomi! Ayo!”

Itu adalah Motoya, sepupu dan juga teman masa kecilnya yang kembali satu sekolah dengannya. Kiyoomi tidak menjawab dan hanya mengangguk memasuki sekolah barunya tersebut. Saat itu, dirinya yang tengah berganti sepatu di koridor laci bagi para siswa baru tak sengaja dikejutkan oleh suara celetukan yang cukup membekas di benaknya terlepas hanya memiliki kesempatan sekali untuk bertemu.

“*Udah dibilang pakai sweatshirt waktu latihan malam ngeyel sih, flu kan jadinya*,”

“Bisa ngga lo gak usah ikutan ngomel? Gue udah ditegor sama kapten dan pelatih tadi,”

Sukurin, dikasih tau ngeyel sih,

“Eh tapi tadi Tsumugi-san ikutan negur sih, menurut lo dia naksir gue ngga sih? Perhatian gitu kayaknya,”

Seakan terbius oleh mantra aneh dan juga asing bagi dirinya—kepala Kiyoomi pun seakan tergerak tanpa impuls dari otaknya sendiri—mengekori ke mana sosok itu pergi dan tengah mengobrol sama temannya itu.

“Eh—Na lo kenal dia? Kayaknya ngeliatin lo terus daritadi,”

Dengan cepat-cepat Kiyoomi menolehkan kembali pandangannyaa—malu karena tertangkap basah—sementara presensi asing yang belum ia ketahui namanya itu pun turut menoleh. Dalam hati Kiyoomi berdoa, semoga sosoknya tidak mengenali sosoknya. Tidak mungkin kan sekali bertemu langsung ingat, berbeda dengan Kiyoomi yang memang sudah tertarik dengan sosok itu jadi tidak mungkin kalau pemuda itu mengingatnya selayakny Kiyoomi mengingat sosoknya—

Loh? Kamu kan yang waktu itu!

…—kan

Kiyoomi pun kemudian malu-malu untuk kembali menolehkan kepalanya, mendapati kakak SMA baik hati yang ia pertama kali temui di GOR Tokyo.

Entah mengapa, Kiyoomi juga tidak tau, visualisasi Kiyoomi pada sosok itu berbeda dari pertemuan pertama mereka—Kiyoomi sendiri tidak mengerti mengapa—tapi kala itu sosoknya nampak berseri dengan bias cahaya pagi yang membelakanginya, menberikan kesan teranam yang meneduhkan, tak lupa dengan kelopak bunga sakura yang berguguran. Apakah karena musim semi? Tetapi Kiyoomi tidak pernah menyangka musim semi akan seindah itu.

Sementara itu Tsukasa hanya memandangnya dengan bingung—tak ada yang berinisiatif berbicara terlebih untuk selang beberapa detik sebelum kemudian Tsukasa membuka obrolan di antara mereka.

Wah, kita ketemu lagi ya,

Satu kalimat sederhana yang hanya Kiyoomi balas dengan anggukan badan—gitu-gitu sosok di hadapannya masihlah seniornya dan dirinya haruslah sopan.

“Kiyoomi ih! Ayo!”

Astaga! Dia lupa bahwa dirinya tengah buru-buru saat ini!

Sementara itu sosok Tsukasa hanya terkekeh kecil,

“Udah dulu ya, kamu ditungguin tuh—semoga nanti kita ketemu lagi,”

💛💛💛

Kiyoomi tidak akan pernah menduga kalau merah muda akan menjadi salah satu warna yang menghiasi kisah SMA-nya

Sore itu hanya tersisa Kiyoomi dan juga Tsukasa, setelah pesta perpisahan serta kelulusan para anggota kelas tiga. Sebagian besar anggota lainnya telah pulang terlebih dahulu, bahkan Motoya sekalipun, menyisakan mereka berdua.

Jika Kiyoomi ingat-ingat, sudah kurang lebih dua tahun lamanya ia menghabiskan waktu ‘bersama’ Tsukasa dan mengenal lebih dalam akan pribadinya. Tentu saja selama dua tahun ini kesannya pada lelaki itu telah banyak berubah, tetapi tetap hanya ada satu hal yang tertanam di benak Kiyoomi terhadap lelaki itu, dia adalah seorang pekerja keras.

Dan rasa kekagumannya itu pun terus bertumbuh dan mekar menjadi sesuatu yang lebih besar—seakan menggelitik relung hatinya—Motoya pun sering kali meledekinya, “Kamu suka kak Tsukasa kali,”

Tapi siapa yang tidak suka dengan pribadi seperti Tsukasa? Seorang pekerja keras, baik hati, rapi, dan perhatian.

“Iyasih, tapi dibanding suka aku lebih ngeliat kak Tsukasa sebagai kapten yang aku hormati,” itulah alasan Motoya ketika Kiyoomi bertanya bukanlah Tsukasa memang probadi yang mudah disukai oleh sebagian besar orang? Berbeda dengan dirinya tentunya yang jutek dan ‘sombong’.

“Tau gak sih, rasa sukaku ke kak Tsukasa sama rasa sukamu ke kak Tsukasa tuh beda! Kamu kayak ngeliat dia dari kacamata merah muda!”

Dan apapula kacamata merah muda?

Kiyoomi ingat betul bagaimana Motoya frustasi akan dirinya hingga rasanya ingin menjerit—dan Kiyoomi ingat betul Motoya berdoa agak Tsukasa dapat memiliki kesabaran ekstra mengurus dirinya.

“Aku gatau yang beruntung siapa, kamu suka kak Tsukasa atau kak Tsukasa disukai dama kamu. Tapi semoga kak Tsukasa bisa tahan ngurus kamu sih! Kadang sifatmu itu sedikit menyebalkan dan membuat orang lain frustasi!”

“Sakusa! Sakusa!”

Ia sedikit terlonjak kaget saat Tsukasa menepuk bahunya pelan sembari memanggil namanya, “Ah iya kak?”

Dan Tsukasa hanya terkekeh melihat Kiyoomi yang menatapnya dengan bingung, “Akhir-akhir ini kamu sering ngelamun ya? Ada masalah?”

Kiyoomi tidak langsung menjawab, menyisakan beberapa detik sebelum kemudian menggelengkan kepalanya.

“Ya sudah, aku mau nutup ruang klub nih,”

“Oh iya,”

Mereka berdua pun beranjak keluar dengan Tsukasa yang mengunci pintu ruang klub. Seharusnya Tsukasa tak perlu melakukan hal tersebut karena dia sudah lulus—tapi katanya ia ingin menyimpan kenangan terakhir di ruang klub yang banyak menjadi saksi hidup masa SMA-nya. Menjadi emosional bukanlah suatu kekurangan bukan?

“Nah ini kuncinya, kapten,” ujarnya sembari menekankan kata kapten kepada Kiyoomi, meledeknya karena Kiyoomi-lah kapten selanjutnya setelah Tsukasa.

Kiyoomi hanya bisa mengerlingkan bola matanya, sementara itu Tsukasa hanya terkekh kecil melihat reaksi adik kelasnya itu.

“Hehe, aku bakalan kangen banget sama ruang klub ini,” celetuknya tiba-tiba, “Maaf ya tiba-tiba emosional,”

“Gak ada yang salah dari menjadi emosional kok kak,”

“Haha makasih, walau mungkin itu bukan intensimu tapi kamu cukup pintar menghibur orang tanpa kamu sadari,”

“Aku tidak berniat menghibur,”

“Iya, iya~,”

Tidak ada percakapan lebih lanjut di antara mereka, untuk pertama kalinya Kiyoomi melihat sisi Tsukasa yang gugup dan juga kikuk, bahkan enggan meneruskan suatu pembicaraan—di matanya, Tsukasa adalah sosok yang percaya diri dan karismatik—tapi sore ini Kiyoomi dapat melihat Tsukasa yang kehabisan bahan pembicaraan, bahkan enggan untuk menatap matanya.

“Kalau gitu aku pulang dulu ya!”

“Mau aku antar kak?”

“Hah?”

Tsukasa pun mengangkat kembali kepalanya untuk menatap Kiyoomi yang menatapnya lekat. Dari posisinya sekarang Kiyoomi dapat melihat semburat merah muda di kedua sisi wajah Tsukasa, dan satu kata yang ada di benak Kiyoomi saat melihat ekspresi kebingungan Tsukasa itu. Menggemaskan.

“Ah…,” Tsukasa pun cepat-cepat menundukkan kepalanya dan bercicit kecil, “Boleh kalau kamu menawarkan,”

💛💛💛

Perjalanan mereka banyak diisi oleh keheningan—baik Tsukasa maupun Kiyoomi tak ada yang berinisiatif memulai pembicaraan terlebih dahulu—namun Kiyoomi menikmatinya, hanya dengan berdua bersama Tsukasa ia sudah merasa cukup. Mengingat mungkin ini kenangan terakhir bagi mereka berdua—Kiyoomi ingin agar momen ini abadi untuk selamanya.

“Aku bakalan kangen banget loh sama kalian! Aku serius!” celetuk Tsukasa tiba-tiba kepada Kiyoomi, kenapa harus begitu? “Iya, kak Iizuna tadi sudah bilang gitu kok,”

“Haha, takutnya kamu ngira itu cuma basa-basi, tapi aku serius! Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar, aku pasti kangen banget sama kalian!”

Kiyoomi pun menghentikan langkahnya, membuat Tsukasa pun turut berhenti dan memandangnya penuh tanya.

“Sakusa?”

Satu panggilan yang membuat Kiyoomi menghela nafas pelan, sebelum kemudian kembali menatap Tsukasa, menurunkan masker yang selalu ia kenakan sehari-harinya itu, “Kalau aku gimana kak? Kak Iizuna bakalan kangen juga gak?”

Satu pertanyaan yang ngga pernah Tsukasa duga akan terucap dari bibir Kiyoomi yang terkenal cuek dan hanya memperhatikan dirinya sendiri—saat ini Kiyoomi bahkan bertanya apa yang ia rasakan padanya—Tsukasa hanya bisa berkedip, sekali, dua kali dengan mulut sedikit menganga.

“Aku… juga bakalan kangen Sakusa…,” jawabnya

Entah mengapa seluruh beban seketika terangkat membuat badannya terasa ringan. Mendengar hal tersebut sudah cukup bagi Kiyoomi. Tanpa sadar dirinya pun tersenyum ke arah Tsukasa sebelum kembali mengenakan maskernya.

“Syukurlah, aku kira cuma aku yang bakalan kangen kak Iizuna. Mendengarnya saja sudah membuatku senang,”

Kiyoomi pun kembali melangkahkan kakinya untuk melanjutkan perjalanan mereka, “Ayo kak, keburu malam,”

Namun, Tsukasa tak beranjak dari posisinya membuat Kiyoomi mau tidak mau ikut berhenti dan menunggunya. Dari posisinya sekarang, Kiyoomi dapat melihat wajah Tsukasa yang bersemu merah seluruh mukanya.

“..aku suka kamu..,” cicitnya yang masih dapat Kiyoomi dengar.

Dan kali ini Kiyoomi yang dibuat diam membatu oleh pernyataan Tsukasa tersebut, sementara itu Tsukasa hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu sembari tertawa kikuk.

“Hahaha aneh ya? Lupain aja deh, maaf ya bikin suasana canggung,” ujarnya

Tapi Kiyoomi tentu tidak bisa mengabaikannya begitu saja, mengabaikan sosok yang hampir dua tahun lamanya memenuhi pikirnya dan memberikan perasaan-perasaan aneh yang tidak pernah ia rasakan

Bingung bereaksi seperti apa, Kiyoomi pun hanya terkekeh kecil membuat Tsukasa semakin merasa malu—dapat dilihat wajahnya yang semakin merah layaknya tengah direbus akan sesuatu.

“Kok diketawain?!”

Meski begitu Kiyoomi hanya bisa terkekeh sembari tersenyum ke arah Tsukasa.

“Habisnya aku ngerasa lucu, gimana aku bisa ngabaikan ucapan kak Iizuna tadi kalo selama ini aku juga selalu kepikiran kak Iizuna,”

Sore itu—walau tanpa resolusi yang jelas adalah awal dari hubungan mereka berdua.

💛💛💛

🌸🌸🌸

Kaedehara Kazuha rasanya ingin merutuki rekan sekantornya yang juga merangkap menjadi teman sejawatnya itu—sumpah demi Tuhan semesta alam rasa-rasanya ia ingin menguburkan dirinya hidup-hidup dibanding menahan rasa malu. Pasalnya, sang sahabat nampak melenggang tanpa tak tahu malu menuju sang pujaan hati, berbincang santai hingga akhirnya Kazuha mendapati sosok Ayaka yang sesekali melihat ke arahnya sembari tersenyum.

Mati sudah, Kazuha sudah tidak memiliki wajah dan keberanian untuk menapaki diri di hadapan Ayaka

Dirundung rasa kesal, Kazuha hanya bisa bergumam pada dirinya sendiri sebelum segera meninggalkan Heizou begitu saja. Jika lelaki itu kembali padanya maka Kazuha jamin ia akan merutuki seserius-seriusnya.

🌸🌸🌸

“Dih pergi duluan,”

Kalimat itu lah yang pertama kali terlontar dari bibir Heizou—bukanlah maaf ataupun salam—sedikit bajingan memang rekannya yang satu itu. Seakan menghiraukan Kazuha yang benar-benar gondok dan getol, Heizou pun dengan santai dan tak tahu malunya mengambil duduk di hadapan tuan yang tengah bermuram durja. Brengsek memang.

“Ntar lo kalo dapat chat dari Kamisato-san jangan lupa dibalas,” ujarnya santai membuat Kazuha mengerenyitkan dahinya dan memandang Heizou penuh tanya. “Kamisato-san?”

“Ya. Kamisato. Ayaka. Cewe yang lo taksir-taksir itu,”

“Hal bodoh apa yang kamu lakuin Heizou?” tanyanya penuh geram sementara sang oknum yang ditanya hanya mengedikkan bahunya tak acuh. “Kalo pake bahasanya Kaedehara Kazuha sih katanya menjalankan peranan semesta, biar roda takdir di antara kalian dapat bergerak bersama,”

Ucapan Heizou tersebut kemudian di hadiahi satu getokan ‘penuh cinta’ dari Kazuha dan juga sebuah lirikan tajam membuat Heizou mengaduh bersandiri wara layaknya hati mungilnya terluka akan sikap sahabatnya.

“Intinya lo harus berterima kasih ke gue dan jangan lupa tweetnya ya,”

“Malas banget,”

🌸🌸🌸

“TUNGGU!”

Melihat sosok sang puan yang presensinya mengisi hari dan hati Kazuha, dengan segera meminta kepada sang kemudi untuk menahan pintu selang beberapa saat—hingga langkah sang puan berhasil mengejarnya. Entah mengapa Kazuha merasa puas, ia seakan menang untuk hal yang bahkan ia tak mengerti apa.

“Terima kasih…”

Selayaknya oasis segar di padang pasir, Kazuha dapat merasakan desir menyejukkan yang menerpa hatinya yang selama ini gersah. Musim semi pun t’lah tiba, ia dapat merasakan letup asmara dan sesak bunga-bunga bermekaran yang memenuhi relung hati.

Merdu suaranya selaras dengan paras ayunya, tiap kata yang terucap layaknya sebuah senandung sebuah kidung—Kazuha bisa berlama-lama mendengar sang puan bicara dan akan terus terhipnotis tanpa sengaja—semerbak wangi parfumnya membuat Kazuha di mabung kepayang, membawa jiwanya pergi mengarungi semesta dan mengagumi betapa elok rupawannya wanita di hadapannya.

Puan di hadapannya diciptakan dengan penuh cinta oleh Tuhan

Kazuha pun menangguhkan dirinya—menarik nafas dalam-dalam untuk bersikap senormal mungkin—tak ingin selamanya menjadi patung batu dan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada di depan mata.

“Kakaknya ngga apa-apa?” tanya Kazuha, yang tentu saja ia rutuki karena adanya getar dalam ujar tiap katanya.

Kazuha hanya bisa berdoa dan memohon dalam hati agar Tuhan pun tidak mencabut kemampuannya untuk berdiri setelah ia bilang kata dan juga akal hanya karena sosok sang puan di hadapannya.

“Tidak apa-apa kak, makasih ya,”

Dirinya hanya mengangguk sebagai jawaban. Raganya terlalu lemah untuk sekadar berujar satu kata—lalu setelah ini apa? Tanyanya dalam diri dan kelimut kebingungan nan ragu—akankah jumpa pertama setelah sekian lama dan percakapan pertama mereka berakhir dengan cara yang tidak elok?

Skenario film yang selama ini Kazuha bayangkan sebelum tidur untuk sekadar bersua dengan sang puan pun sirna begitu saja karena rasa gugup yang ada.

Pada nyatanya jatuh cinta itu tidak seperti di film-film

“Kak…?”

Lamun dan kemelut pikirnya buyar manakala rupa sang puan hanya berjarak sekian senti dari wajahnya—memandangnya dengan raut penuh khawatir. Dengan buru-buru Kazuha menarik dirinya—berusaha untuk bereaksi senormal mungkin dan tidak mempermalukan dirinya lebih jauh dari ini.

“Ah, aku kira kakaknya sakit, soalnya daritadi nampak pucat,”

Oh sungguh perhatian dan manis sifatnya sukses menyentuh sanubari miliknya.

“Apa kakaknya mau duduk aja?” tawarnya.

Layaknya harmoni semesta yang dengan sengaja mempersatukan mereka (tentu saja yang Kazuha percayai dalam sepihak) mereka mengedarkan pandang kesekeliling ruang bus yang nampak penuh sesak akan hiruk pikuk manusia di jam-jam rush hour. Syukur beribu syukur tak kala mereka mendapati sudut ruang yang cukup lenggang, cukup untuk presensi mereka berdua berdiri dan mengobrol untuk sementara waktu hingga halte pemberhentian terakhir.

🌸🌸🌸

“Loh? Berarti kita satu gedung kantor dong!”

Binar mata sang puan nampak penuh akan pijar dan cahaya—sepasang netra kebiruan yang nampak apik nan serasi dengan sebuah tahi lalat ke kecil di sebelah kanan bawah—tak pernah Kazuha sangka dan bayangkan jika ditelisik dengan lebih lanjut fitur wajah sang puan nampak begitu menawan.

Hidung bangir-nya yang nampak ramping, bibir tipis berwarna merah muda yang di setiap senyumnya sukses membuat satu lengkung sempurna dipadu dengan sepasang mata yang kemudian menyipit layaknya bulan sabit.

Semua yang ada dalam diri sang puan nampak begitu indah dan penuh akan harmoni. Suara merdunya pun melengkapi kesempurnaan layaknya sebuah nyanyian simfoni di minggu pagi

“Oh ya? Kamu di lantai berapa? Aku di lantai lima sih,”

“Serius? Aku di lantai empat sih, cuma harusnya kita beberapa kali ketemu kalo di kantor!”

Mungkin memang saat itu garis takdir mereka belum dipertemukan oleh Tuhan

Sore itu di dalam bus kota—dalam perjalanan menuju pulang—di bawah lembayung senja dengan bias sinar cahaya keorenan mereka mengobrol dalam santai, selayaknya dua sejoli—teman hidup—yang munggu waktu untuk dipertemukan (tentu saja ini yang Kazuha yakini).

Mereka seketika lupa akan peluh dan lelah yang ada dalam diri dan larut akan presensi satu sama lain. Mengabaikan hiruk pikuk orang-orang berlalu lalang silih berganti—seakan semesta ini hanya ada mereka berdua dan satu sama lain.

🌸🌸🌸

Sore itu di halte pemberhentian terakhir—sebelum mereka bertukar salam perpisahan karena persimpangan berbeda arah—akhirnya momen yang dinanti pun tiba. Sang puan bukanlah lagi sekadar nama dalam khayalan Kazehara Kazuha semata.

“Semoga kita besok ketemu lagi di kantor ya Kazuha!”

“Sampai ketemu besok di kantor atau di halte, Ayaka!”

🌸🌸🌸

💛💛💛

Please listen to this song to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/3BajoSb3TjPbcOC873OjbD?si=b_zCYPgLR7W6a1KZy3jRvA

💛💛💛

Pintu kamar di hadapan Kiyoomi itu akhirnya terbuka tepat di ketukan kelimanya—cukup membutuhkan waktu lama—membuat Kiyoomi khawatir jika Tsukasa mungkin telah tertidur. Tapi semua praduga Kiyoomi terbantahkan saat mendapati sosok Tsukasa dengan kaos putih oblongnya dan dengan bawahan celana kain berwarna abu-abu.

Rambut lelaki itu nampak masih sedikit basah—sepertinya lelaki itu baru saja selesai mandi—meski demikian raut wajahnya nampak begitu lelah dengan mata merah sembab.

“Sori aku baru aja selesai mandi, masuk aja,” jelasnya mempersilahkan Kiyoomi untuk masuk.

Itu adalah pertama kalinya bagi Kiyoomi untuk melangkahkan kakinya masuk ke kamar Tsukasa, bahkan saat mereka berpacaran pun belum pernah sama sekali—bagi Kiyoomi ataupun Tsukasa, kamar adalah ranah privasi masing-masing, berbeda dengan saat Tsukasa meminjam printer Kiyoomi, di mana hal tersebut hanya dapat dilakukan di kamar Kiyoomi. Saat ini, dengan kesadaran penuh Tsukasa mengajak Kiyoomi memasukki kamarnya, tanda bahwa lelaki itu mengajak Kiyoomi untuk memasukki sisi paling personal dari Tsukasa.

Tsukasa mengambil duduk di ranjang miliknya, sementara itu Kiyoomi ia persilahkan untuk duduk di kursi belajarnya. Manik kelam Kiyoomi berkeliling menyapu sekitar—mendapati boneka paus besar di dekat tempat tidur Tsukasa—itu adalah hadiah yang ia berikan saat ulang tahun terakhir lelaki tersebut.

Dan semakin mata Kiyoomi ia ajak berkeliling untuk menyapu kamar tersebut ada banyak sekali kenangan di sana, seakan tiba-tina mengajak Kiyoomi untuk bernostalgia, hari-harinya bersama dengan Tsukasa.

Isn’t it ironic? aku yang minta putus tapi aku ngebiarin kenangan kita hidup bareng sama aku,” celetuk Tsukasa sembari berpangku tangan, sedikit tersenyum getir.

It’s must been hard for you,”

“Hmm? Gak juga sebenarnya kalo aku ngebolehin diri sendiri buat ngelakuinnya, tapi sayangnya aku milih stuck di sini,” jelasnya.

Kiyoomi tau berkomunikasi dengan Tsukasa tidak akan pernah sulit—tetapi melihat bagaimana lelaki itu harus menahan derita selama ini, seorang diri—entah mengapa membuat hatinya terasa berat dan lidahnya terasa kelu.

“Maaf,”

Hanya maaf yang dapat terucap dari bibirnya

“Maaf untuk?”

Keheningan seketika menyeruak di antara mereka—pertanyaan Tsukasa yang seketika menyudutkannya, ia belum siap menjawabnya—tetapi jawaban dari pertanyaan itu yang paling Tsukasa tunggu.

“Kamu tau ga dulu kenapa aku minta putus?” tanya Tsukasa tiba-tiba dan Kiyoomi masih diam seribu bahasa. Memberikan ruang untuk Tsukasa bercerita.

“Karena aku takut, aku takut kalo sebenarnya di sini aku yang meminta lebih ke kamu, meminta waktu kamu, perhatian kamu, pengertian kamu. Waktu kamu bilang kamu ngga merasa ada yang salah dari kita, aku ngerasa apa aku emang yang nuntut kamu terlalu banyak ya?” jelasnya.

“Aku ngga marah, aku kecewa tapi aku juga senang—sejak aku masuk kuliah aku tau komunikasi kita jelek banget—selama ini pula aku wondering apa aku minta banyak ke kamu? apa yang kueang dari kamu? kenapa kayak gini? Dan ketika kamu tadi siang nanya ke aku gimana sidangku hari ini aku senang sekaligus sedih,”

“Karena selama ini itu yang aku cari—ah Kiyoomi ternyata selama ini khawatir sama aku—aku senang banget kamu nanya gitu ke aku kalo ternyata tanpa aku minta kamu juga khawatir sama aku… tapi aku kecewa kenapa ngga kamu lakuin dari dulu? Kemana kamu selama ini? Aku mau minta penjelasan… tapi aku takut, meminta lebih yang seharusnya ga aku minta…,”

Dan Kiyoomi pun tidak tau harus merespon seperti apa… ia hany bisa meminta maaf, membiarkan Tsukasa merasakan itu semu, hanya karena ketidakmampuannya untuk mengomunikasikan semuanya. Ternyata hanya masalah sepele namun kerusakan yang ditimbulkan bisa sefatal ini…

Tsukasa hanya menginginkan perhatiannya—yang memang seharusnya ia berikan tanpa Tsukasa minta—tapi Kiyoomi pikir Tsukasa dapat menangani semuanya, karena di mata Kiyoomi, Tsukasa adalah sosok yang selalu menyiapkan semuanya, sosok sempurna untuk menyelesaikan segalanya.

“Maaf… aku harusnya ga mikir… kalo kak Tsukasa bisa mengatasi semuanya sendirian… aku terlalu percaya kak Tsukasa bisa melakukannya dan akhirnya melupakan satu hal penting,”

Jeda keheningan seketika mengisi ruangan kamar Tsukasa—sang tuan pemilik kamar nampak enggan merespon apapun—yang ia cari selama ini hanyalah sebuah penjelasan, dan permintaan maaf Kiyoomi sudah menjelaskan semuanya.

Dan mungkin pada akhirnya ini memang akhirnya…

“Kak…,”

“Ya?”

Ucap Kiyoomi tertahan sejenak—ia menarik nafas dalam-dalam untuk mempersiapkan diri, khususnya batinnya.

“Apa kak Tsukasa berkenan, ngasih aku satu kesempatan terakhir, aku… aku akan lebih berusaha merhatiin kak Tsukasa… aku akan berusaha buat ga biarin kak Tsukasa ngerasain kesepian lagi atau meminta apapun lagi…,” ucapnya, lugas dan tegas.

Tsukasa tidak menjawab, ia hanya menatap nanar Kiyoomi—mungkin rasa kecewanya sudah cukup besar, yang ada sekarang pun hanya keraguan dan ketakutan.

“…tapi aku tetap pengen putus…,”

Tapi Tsukasa tidak benar-benar menolak tawaran Kiyoomi tersebut

“Kalau gitu aku akan berusaha balikkin kepercayaan kak Tsukasa lagi, sampai aku sendiri yang capek, sampe kak Tsukasa sendiri yang percaya sama aku,”

“Kamu keras kepala ya,”

“Karena aku gamau kehilangan sesuatu yang berharga lagi,”

💛💛💛

Please listen to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/2o1pb13quMReXZqE7jWsgq?si=-vOwpFL9TeqzIXabIdfntA

💛💛💛

Tsukasa hanya bisa diam termangu di dalam ruang sidangnya, sudah terhitung lika menit berlalu—sepertinya—sejak para penguji mengatakan bahwa dirinya lulus sidang akhir dengan nilai yang teramat memuaskan.

Tentu, tentu saja Tsukasa merasa senang, senang sekali—tetapi, entah mengapa dalam lubuk hati terdalamnya dirinya dapat merasakan kekosongan yang seketika menyeruak di sana. Menerobos keluar, membuatnya seketika bertanya-tanya, lalu apa? Sekarang apa?

Ia menghela nafas dalam-dalam. Tidak, tidak seharusnya dia merasa demikian, dirinya harus bersyukur karena akhirnya ia sudah bisa lulus sekarang! Tinggal mencari pekerjaan dan hidup mandiri, bukankah dengan demikian dirinya bisa merasa lebih bahagia?

Langkah kakinya pun ia bawa untuk keluar ruangan, terasa berat dan menyesakkan. Raut mukanya justru semakin tak karuan—jauh lebih kusut dan lesu dibandingkannsaat tadi ia harus berhadapan untuk sidang.

“Kak Tsukasa,”

Ditolehkan kepalanya saat suara bariton familiar itu menyapa gendang telinganya. Ia pun membulatkan matanya dalam ketidakpercayaan, mendapati sosok Kiyoomi yang tengah berdiri di hadapannya sembari memberikannya sebuah baket bunga matahari besar ke arahnya.

Huh? Kiyoomi? Sejak kapan? Kenapa? Tau darimana?

Seribu tanya pun memenuhi benak Tsukasa, meskipun demikian Kiyoomi nampak acih dengan kebingungan yang terpancar jelas di air wajah lelaki itu. Ia justru mengambil barang-barang milik Tsukasa untuk kemudian membawakannya.

“Ah… kok…? Daritadi…?” tanyanya gelagapan sembari menerima bunga tersebut dengan gugup.

“Lumayan, dari jam sebelas,”

Berarti sudah sejak sejam lalu dirinya sidang dan Kiyoomi menunggunya di sini.

“Selamat ya kak, atas kelulusannya,” ucapnya

Kedua manik Tsukasa dapat menangkap seutas senyum yang terpatri di paras rupawan milik Kiyoomi, membuat Tsukasa terkesima untuk sekian kalinya—dirinya pun mati kutu di posisinya, tak dapat bergerak ataupun bereaksi selayaknya sebuah patung batu.

“Makasih… sudah mau datang…,”

Hanya itu kalimat yang dapat Tsukasa ucapkan, sementara itu, Kiyoomi mengatakan bahwa hal tersebut bukanlah suatu masalah.

Walau mereka berjalan beriringan dan bersebelahan satu sama lain, Tsukasa dapat merasakan tembok tinggi dan jarak lebar yang memisahkan mereka. Seakan mereka hidup di masa yang berbeda tanpa menyadari eksistensi satu sama lain.

Jika boleh jujur, pikiran Tsukasa masih berhelut satu sama lain, mempertanyakan kehadiran sosok lelaki yang lebih tinggi tersebut. Bagaimana ia bisa ada disini? Apakah Komori yang memberitahukannya? Untuk apa ia repot-repot ke sini.

Entah mengapa hati Tsukasa terasa sedikit ngilu.

“Oh iya kak, gimana sidang hari ini?”

Satu pertanyaan sederhana yang seketika sukses menghentikan langkah Tsukasa, membuatnya diam mematung dengan mata yang berkaca-kaca.

Bagimana sidang hari ini? Bagaimana harinya?

Satu pertanyaan sederhana yang sukses membuat kaki Tsukasa lemas dan seketika membuatnya duduk terjongkok—Kiyoomi yang melihatnya seketika panik dan juga khawatir, apa yang terjadi? Kenapa Tsukasa bereaksi demikian? Apakah sidangnya tidak berjalan lancar?

Sementra itu, Tsukasa dapat merasakan pikirannya yang seketika berkabut—satu pertanyaan sederhana yang selama ini ia cari dari Kiyoomi, alasan di balik rumpangnya perasaan dalam benak diri Tsukasa. Perhatian dan kekhawatiran yang tak pernah ia dapat—yang dulu ia harus meminta-minta pada sosok di hadapannya.

Nyatanya hingga saat ini memang Kiyoomi lah kelemahannya, dan rasa kecewanya itu ada karena Kiyoomi yang tak pernah mengkhawatirkannya.

Dengan hati-hati Kiyoomi mengangkat tubuh Tsukasa, membawa wajah lelaki itu menatapnya—walau raut wajahnya nampak berantakan dengan hidung merah dan mata bengkak menahan nangis.

“Kak… kenapa…?”

Tsukasa hanya bisa tersedu, melihat betapa kacaunya kondisi lelaki di hadapannya tanpa sadar ia bawa sosok itu ke dalam dekapannya, berusaha menenangkannya—seperti dulu ketika ia berusaha menenangkan Tsukasa.

“Aku… aku… aku takut banget gagal tadi… gimana kalau misal aku ga lulus… terus kalian justru datang…? Gimana kalo aku ga lulus…? Buat apa kerja kerasku selama ini…?”

Di usapnya pucuk kepala yang lebih tua, dalam dekapnya Kiyoomi tersenyum simpul… ia paham akan kegelisahan tersebut.

“Buktinya ngga kejadian kan kak? Aku paham rasanya makanya aku di sini,”

Aku paham rasanya, makanya aku di sini

Dengan cepat Tsukasa menarik diri dari pelukan sang tuan—membuat Kiyoomi sedikit terkejut atas hal tersebut—yang lebih membuatnya terkejut adalah di mana Tsukasa menatapnya sangsi dan penuh keraguan.

“Kamu ga ngerti rasanya…,” lirihnya sembari menatap Kiyoomi tak percaya.

“Kak… aku ga maksud…,”

“Kalo kamu ngerti… kemana kamu selama ini Kiyoomi…?”

Kiyoomi tidak menjawab dan dari sepasang manik hitam miliknya ia dapat menangkap keraguan bercampur kekecewaan dari tatapan di hadapannya. Kiyoomi salah, dan dia tau akan hal itu.

Dan…, seharusnya ia tau kenapa Tsukasa begitu mendorongnya.., menciptakan jarak di antara mereka.

“TSUKASA!! SAKUSA!!”

Dengan kasar Tsukasa menghapus air matanya, berusaha untuk terlihat biasa saja saat mendengar sapaan familiar dari balik punggungnya.

“Shin!”

Dirinya dapat melihat sosok mungil Shinsuke—teman satu rumahnya itu—melambaikan tangannya dengan seutas senyum lebar, di temani oleh Atsumu, sang kekasih.

Tanpa menghiraukan presensi ataupun perasaan Atsumu yang ada di sebelahnya, Tsukasa pun segera menghambur dan memeluk erat Shinsuke. Shinsuke yang paham pun segera mengalihkan pandangannya ke arah Kiyoomi, mendapati sosok teman baru serumahnya itu menatap Tsukasa dengan penuh kecewa dan perasaan bersalah senelum kemudian memalingkan mukanya.