💛💛💛
Please listen to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/3HEfLSVUo9rxdD0JxbLAUU?si=glUUXyHaR1K3nsm4x8jOzQ
💛💛💛
Rombongan mereka tiba di Okinawa keesokan harinya—kala surya telah tenggelam dan terlelap dalam mimpi malam. Kiyoomi meregangkan persendiannya yang pegal serta ototnya yang kebas (khususnya bagian leher) karena menyetir hampir kurang lebih dua belas jam lamanya.
Sedangkan Wakatoshi sibuk menurunkan barang bawaan mereka, dibantu oleh Osamu dan Motoya sementara Rintarou sibuk membuka kunci rumah villa kediaman keluarga Suna tersebut.
Jujur saja, Kiyoomi cukup terkesima akan tempat tinggalnya ini. Alih-alih bergaya modern dan sedikit dipengaruhi oleh gaya arsitektur kebaratan—kediaman Suna tersebut justru mempertahankan seni arsitektur oriental khas Jepang dengan sebagian besar bangunannya terdiri dari kayu jati sebagai pilar penyongkongnya.
Berapa jumlah kekayaan keluarga Suna ya kira-kira?
“Yailah kak, masa gitu doang kram,”
Fokus perhatian Kiyoomi teralih pada sosok Tsukasa yang baru saja turun dari mobil dengan jalan sedikit tertatih. Wajahnya nampak menahan kesal kepada Atsumu yang meledeknya.
“Iyaya, enak banget bilang gitu saat space duduk lo udah bisa dibuat main bulu tangkis,” sarkasnya sembari berbungkuk memegangi lututnya.
Sementara itu Shinsuke nampak sibuk memapah Tsukasa yang nampak kesulitan untuk berdiri, Kiyoomi pun membawa dirinya untuk menghampiri Tsukasa dan membantu Shinsuke untuk membuat Tsukasa berdiri tegap.
“Gapapa kak?” tanyanya khawatir yang hanya dibalas kekehan kecil Tsukasa, “Astaga aku cuma kesemutan…,”
Tangan Kiyoomi ia bawa untuk menjadi tumpuan bagi Tsukasa sebelum laki-laki itu benar-benar busa berdiri dan menghilangkan kebas di kakinya. Saat di rasa kondisi Tsukasa telah membaik, lelaki itu melepaskan pegangannya kepada Kiyoomi tak lupa berterima kasih padanya karena telah membantunya.
“Oh iya, ini ada empat kamar ya sama satu kamar mandi—jadi mandinya gantian giliran gitu—,” jelas Rintarou saat mereka memasuki kediaman Suna tersebut.
Rumah itu memiliki penampilan tradisional yang sederhana—namun pada nyatanya dalamnya sangat luas dan menyambut mereka dengan kehangatan khas rumah plesiran. Dengan pintu yang menghubungkan pelataran depan, garasi mobil di sampingnya, serta ruang tamu utama. Pelataran rumah Suna nampak asri dengan lahan minimalis yang dirawat cukup baik
Untuk ruang tamunya sendiri adalah tatami yang dapat dialoh fungsikan sebagai ruang kumpul keluarga yang dilengkapi sofa kayu bermatras, vas bunga, dan juga televisi—tak lupa pencahayaan lampu sedikit teranam serta lampu meja di kedua sisi sofa. Ruangan selanjutnya adalah dapur yang berfungsi ganda sebagai ruang makan.
Pantry dapurnya cukup rapih dan bersih—berbeda dengan ruang tamu yang kental akan gaya oriental tradisional Jepang, dapurnya sendiri cukup modern dengan pantry berbahan marmer dan juga kompor induksi. Meski demikian, untuk bar dan meja makannya sendiri masih tetap konsisten dengan furnitur berbahan kayu jati.
Dari ruang makan tersebut terbagi empat ruang makan yang terbagi di dua penjuru dan satu kamar mandi. Jika berjalan ke arah timur maka mereka akan ditemukan sebuah pintu yang terhubung dengan teras dan pekarangan belakang kediaman Suna. Kata Rintarou itu adalah pojok bersua favoritnya—untuk menyendiri ataupun mengobrol ringan dengan keluarga dan teman-temannya ketika berkunjung kemari.
“Ada empat kamar nih, pembagian tidurnya gimana?” tanya Shinsuke kepada yang lain—belum sempat Atsumu mengangkat tangan untuk berpendapat Osamu, sang kembaran sudah memotongnya terlebih dahulu, “Dilarang modus,” membuat Atsumu mendecih sebal. Gagal lagi rencananya untuk kelon dengan Shinsuke! Cih!
“Spinwheel aja gimana?” saran Motoya yang seketika dibalas anggukan setuju penuh antusias dari Atsumu dan juga Osamu.
Sementara itu, baik Tsukasa, Shinsuke, maupun Wakatoshi tidak terlalu mempermasalahkannya—mereka tidak terlalu masalah untuk tidur dengan siapa. Berbeda dengan Kiyoomi yang tengah dalam hati telah ribut sendiri, berharap ia tidak sekamar dengan Atsumu maupun Rintarou karena kedua orang itu super duper menyebalkan.
Rintarou pun mengeluarkan ponselnya—menuliskan nama mereka di website spinwheel sebelum menekan layar gadget tersebut sebelum akhirnya diperoleh hasi sebagai berikut…
Kamar 1: Tsukasa dan Wakatoshi
Kamar 2: Atsumu dan Motoya
Kamar 3: Kiyoomi dan Osamu
Kamar 4: Shinsuke dan Rintarou
“Yaaay!” Motoya dan Atsumu bersorak riang sembari bertukar tos satu sama lain. Osamu pun menghampirinya untuk mengajaknya masuk dan meletakkan bawaan mereka—Kiyoomi hanya menjawab, mengiyakan, mengatakan ia akan menyusul.
Meski demikian perhatiannya tak bisa lepas dari Tsukasa dan Wakatoshi yang nampak dekat dan saling berbincang santai satu sama lain.
“Gue cukup lega lo yang jadi temen sekamar gue,” ujar Tsukasa dengan nada riang. “Sama,”
Tanpa menghiraukan mata Kiyoomi yang nampak sibuk dan memincing—mengekori ke mana Tsukasa beranjak kedua lelaki itu nampak santai mengobrol satu sama lain, sebelum akhirnya Kiyoomi beranjak dari tempatnya menuju kamarnya dengan Osamu.
💛💛💛
“Loh? Ushijima? Tsukasa? Kalian mau ke mana?”
Kiyoomi yang baru saja selesai mandi dan berjalan menuju kamarnya pun terhenti—tertarik dengan pertanyaan Shinsuke kepada Tsukasa dan Wakatoshi yang masih mengenakan pakaian mereka tadi dan bersiap untuk pergi lagi.
“Mau bonding dulu nih sama Ushijima! Lo mau nitip apa Shin?” jawab Tsukasa sedikit bergurau—cengiran lelaki itu nampak lebar dan berseri.
Kiyoomi masih dalam posisinya—diam-diam menguping pembicaran tersebut sembari mencuri-curi pandang, penasaran (dan sedikit risau).
“Kamu ga pakai jaket?” tanya Wakatoshi kepada Tsukasa. “Angin malem ga baik buat kesehatan, kamu juga cuma pake kaos gitu,”
Entah mengapa Kiyoomi dapat merasakan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya.
“Gak usah gapapa! Lagian kita cuma bentar kan ya?”
Entah mengapa diri Kiyoomi merasa risau dan tidak tenang—ia hanya bisa menghela nafas sebelum kemudian kembali berjalan menuju kamarnya. Berharap semoga gejolak aneh dalam dirinya bisa segera mereda setelah ia menenangkan diri.
💛💛💛
“WAAAAAAAH PANTAAAAI!!”
Atsumu, Osamu, dan juga Motoya nampak kegirangan dengan mata penuh binar melihat hamparan permadani pasir serta deru gelombang air laut yang silih berganti—layaknya anak kecil yang akhirnya diberi waktu bermain ke pasar malam favoritnya, ketiga ‘remaja’ lupa umur itu pun seketika lari berhamburan untuk lekas-lekas bermain.
Kiyoomi hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari melihat tingkah sepupunya itu, sementara Rintarou sibuk mengabadikan momen menggemaskan Motoya di ponsel pintar miliknya.
“Maaf ya, kalau Motoya sulit banget diatur, terkadang,” ucapnya tiba-tiba kepada Rintarou yang dibalas dengan satu kekehan kecil, “Kamu bilang sering pun gak apa-apa, tapi aku masalah sama hal tersebut,”
Kiyoomi tidak merespon appaun—tetapi ekspresi penuh tanya dan keingintahuan tersebut menjelaskan semuanya, membuat Rintarou terkekeh kecil dan menghentikan kegiatannya, dimasukkannya ponsel miliknya ke dalam saku celananya.
“Aku bukan tipikal orang yang bisa dengan mudah mengekspresikan diri, orang bilang aku kurang rileks padahal aku sudah cukup santai menikmati hidupku,”
“Okay, then?”
Pertanyaan Kiyoomi tersebut mengundang tawa kecil dari sosok Rintarou, sementara lelaki itu nampak melipat kedua tangannya di depan dada sembari sedikit berpikir, “Tapi Motoya tuh tipe orang kelewat ekspresif, kadang liat dia tuh bikin mikir ‘Oh iyaya ternyata menyenangkan juga’, ‘Eh iya ternyata seru’, dan banyak macamnya—jadi ya kadang aku ngevideoin, atau ngefoto, momen kita biar keinget kalo hidup tuh walau banyak tainya tapi cukup menyenangkan,”
“You are the happiest whenever you are with him gitu maksudnya?”
“Aku kalo bilang gitu diledekin dangdut habis-habisan sama sepupumu itu, but indeed its true. Aku udah cukup bahagia dengan ini semua tapi karena ada Motoya jadi lebih bahagia lagi,”
Kiyoomi tak merespon apapun, dirinya hanya mengangguk pelan sebagai balasan, mereka pun kembali dalam keheningan masing-masing sebelum akhirnya fokus perhatian mereka teralih oleh suara panggilan Tsukasa.
“Kids jangan lupa pakai sunscreen ya!”
Mendengar panggilan Tsukasa tersebut Rintarou pun kembali mengeluarkan ponselnya, sementara itu Kiyoomi masih diam pada posisinya dan perhatiannya teralih pada Rintarou.
“Kak Iizuna, kak Kita, bang Ushi! Ayo foto dulu!” mintanya sembari mengarahkan lensa ponselnya ke arah ketiga lelaki tersebut yang tentu saja dibalas senyuman lebar dan beragam pose dari Tsukasa dan Shinsuke. Sementara itu Wakatoshi masih diam dalam posisinya—membuat lelaki jangkung tersebut ditarik oleh Tsukasa untuk sedikit menunduk dan bergaya. Satu tangkapan foto kemudian tersimpan di ponsel milik Rintarou.
“Kamu ga ikut main sama mereka?” tanya Tsukasa kepada Kiyoomi, masih dengan seutas senyum di wajahnya. Entah mengapa, tanpa Kiyoomi sadari, tatapannya pun melembut ketika melihat Tsukasa, ia balas senyumannya sembari menggeleng, “Nggak ah, airnya kotor,”
Jawaban klise khas Kiyoomi yang sepertinya sudah Tsukasa kira, lelaki itu hanya terkekeh pelan mendengarnya.
“Kamu udah pakai sunscreen?”
“Udah tadi sebelum berangkat,”
“KIYOOMI AYO MAIN VOLI!”
Kiyoomi terkejut—dan hampir saja tersungkur saat merasakan beban berat yang tiba-tiba menimpa dirinya. Sementara itu, Tsukasa yang melihatnya hanya bisa dibuat terkekeh pelan melihat tingkah dua sepupu yang sikapnya saling bertolak belakang.
“Motoya udah pakai sunscreen belum?” tanya Tsukasa yang dibalas cengiran selebar dan secerah mentari dari lelaki bersurai cokelat tersebut—sembari mengeluarkan tanda peace, “Sudah dong kak!”
“Kak ayo main voli pantai!”
“Skip dulu deh, aku lagi ga terlalu pengen keringetan,”
Jawaban Tsukasa tersebut mengundang ketidakpuasan dari Motoya, membuat lelaki itu memberengut lucu dengan bibir mengkerucut.
“Kiyoomi ikut dong, aku ga ada temen mainnya nih,” ajak Motoya dengan sedikit memaksa kepada Kiyoomi—ah tidak, ralat—sangat memaksa, sembari mengguncang-guncangkan bahu lelaki tersebut membuat Kiyoomi mendecih tidak nyaman.
“Ajak pacarmu sana,” ketusnya, ayolah dia hanya ingin berduaan bersama Tsukasa, kenapa sepupunya ini tidak bisa membaca situasi sih?
“Rin mana mau!”
LALU APAKAH DIRINYA TERLIHAT BERMINAT???
Melihat Motoya yang terus merengek itu membuat Kiyoomi hanya bisa mengerlingkan matanya malas, “Sama siapa aja?”
“Aku, Atsumu, sama bang Ushi!”
Dan Kiyoomi hanya bisa mendengus sebal, “Dua set aja,”
“YES CIUM DULU,”
“NO!”
Tawa Tsukasa pun pecah melihat Kiyoomi yang berusaha mendorong Motoya yang bersikeras mendaratkan sebuah ciuman di pipi sepupunya (no homo) pasalnya pemandangan saat itu sangatlah lucu, dengan bibir Motoya yang dimajukan layaknya ikan cucut dan Kiyoomi yang benar-benar hampir histeris karena tidak sudi didekati.
Pemandangan seperti ini cukup familiar bagi Tsukasa, mengingatkannya pada masa SMA mereka dulu. Saat Motoya selalu datang dan memaksa Kiyoomi—yang saat itu juga tengah bicara kepadanya, seakan Motoya memang sengaja menganggu mereka berdua atau tidak membiarkan Kiyoomi menghabiskan waktu dengannya.
Ah, some people and memories really never change right?
💛💛💛
Kiyoomi menghapus peluh yang menetes di sisi pelipisnya—sembari mengibaskan kerah kaus oblongnya. Kiyoomi menggumam sebal ke arah matahari pukul sebelas Okinawa yang teriknya menyamai mentari di pukul satu siang Tokyo—menyebalkan. Fakta bahwa dia juga kalah dari tim Wakatoshi dan Motoya membuat kekesalanny berkali lipat bertambah. Toss dari Atsumu memang selalu payah.
“Payah,” ledek Kiyoomi yang tentu saja menyulut api dari Atsumu. “HAAAAAAAH?!”
Sementara itu Shinsuke hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan kekasihnya itu—Osamu, Rintarou, dan Tsukasa lun nampaknya tak ada niatan untuk menelerai mereka—lebih tepatnya mereka enggan meninggalkan gubuk kecil tempat berteduh saat ini.
Kiyoomi menepis cengkraman Atsumu dan cepat-cepat merapikan kerah pakaiannya. Menghiraukan teriakkan nyaring Atsumu yang masih nampak kesal. Dibawanya langka kakinya menuju Tsukasa yang tengah terduduk santai dmbersama Shinsuke dan Osamu.
“Good game, good game Kiyoomi,” puji Tsukasa sembari bertepuk tangan—entah mengapa kekesalannya karena terik hari ini yang membuatnya berkeringat serta tingkah menyebalkan Atsumu meluap begitu saja—rasa kesal yang digantikan dengan seutas senyum lembut yang hanya ia tunjukkan kepada Tsukasa.
Ah—mengingat ia kalah hari ini, sepertinya sedikit memalukkan mengetahui Tsukasa sepanjang permainan memperhatikannya.
“Good game apanya… orang kalah gitu…,” cicit Kiyoomi sembari menolak untuk bertukar pandang dengan Tsukasa. Meski begitu manik hitamnya sesekali curi-curi pandang dengan sepasang netra kecokelatan milik Tsukasa, “Tapi bagus kok mainnya! Lagian cuma main-main aja,”
Kiyoomi yang dari dulu sudah terbiasa dengan berbagai macam bentuk pujian serta seruan yang mengelu-elukan namanya—tetapi entah mengapa dirinya merasa malu dah juga kikuk jika Tsukasa yang memujinya. Sebuah pujian sederhana yang sukses membuatnya salah tingkah.
“Nih minum dulu, sama lap keringat,” lelaki itu menyodorkan sebotol minuman isotonik dingin serta handuk putih bersih kepada Kiyoomi, yang seketika diterima oleh Kiyoomi. Diusapkannya permukaan halus handuk tersebut untuk mengusap peluh di wajah.
“Hmm? Apa?” tanya Tsukasa saat Kiyoomi tiba-tiba mengambil jemarinya, memeganginya, seakan anak kecil yang ingin menggandengnya. Sementara itu Tsukasa masih dengan seutas senyum di wajahnya masih menatap lekat Kiyoomi sembari memainkan tangan mereka.
Setelah membersihkan wajahnya dari peluh yang membasahi, ia lampirkan handuknya pada bahunya—sebelum kemudian membiarkan tangannya yang kosong untuk mengusap poni Tsukasa, yang nampak basah karena keringat.
“Kenapa…?”
Kiyoomi hanya menggeleng saat Tsukasa menatapnya bingung—penuh tanya karena perhatian tiba-tiba Kiyoomi. Seakan melupakan bahwa mereka tidak ada apa-apa di antara mereka dan interaksi antara Tsukasa dan Kiyoomi tanpa mereka sadari menjadi pusat perhatian teman-temannya yang lain (yang berusaha diabaikan sepenuh hati tapi sulit karena nampak menarik)
“Hari ini panas ya?”
Tsukasa sedikit terkejut mendengar pertanyaan basa-basi dari Kiyoomitersebut, mengingat bagaimana lelaki itu adalah tipikal orang yang selalu berterus terang dan jarang memulai percakapan terlebih dahulu—tapi saat ini, Kiyoomi ada di hadapannya, melontarkan satu pertanyaan basa-basi hanya untuk dapat mengobrol dengannya.
Meski demikian ada satu hal luput dari perhatian Tsukasa sejak Kiyoomi pertama kali datang menghampirinya, bagaimana lelaki itu berdiri di hadapannya dan tepat memunggungi sinar terik mentari yang sendari tadi menusuk permukaan kulit Tsukasa. Punggung besar Kiyoomi tengah berusaha menghalanginya, menghalaunya, dan memberi bayang-bayang agar Tsukasa dapat berlindung di baliknya.
💛💛💛
Malam itu nampak lenggang—Kiyoomi yang baru saja menyelesaikan mandi malamnya itu nampak bingung dan keheranan, di mana orang-orang?
“Oh?”
“Bang Ushi? Mana yang lain?” tanya Kiyoomi kepada Wakatoshi yang baru saja kembali dari pelataran halaman belakang. Lelaki yang lebih tua itu tidak langsung menjawab—dirinya seakan berusaha mengingat-ingat sesuatu, “Osamu, Atsumu, sama Shin kalau aku ngga salah inget lagi nonton di kamar Atsumu. Nah kalo Komori sama Suna lagi keluar aja, katanya mau cari makan di luar,”
Bohong banget pasti sepupunya itu mau curi-curi waktu untuk pacaran
Meskipun demikian, umpatan hatinya itu tetap ia biarkan menjadi rahasia untuk dirinya sendiri.
“Bang Ushi sendiri mau ke mana?” tanya Kiyoomi kepada Wakatoshi yang tengah membawa dua gelas kosong ke arah dapur sebelum kemudian mencucinya, apakah seniornya itu baru saja bersama dengan Tsukasa?
“Aku mau ke kamar, mau telpon pacarku bentar,”
Oh.
Ada semacam kekikukan di atmoster yang mengitari Kiyoomi dan juga Wakatoshi—jadi begini penampakan dua sosok lelaki dengan tipe kepribadian yang tidak jauh berbeda tengah dikumpulkan ke dalam satu ruangan yang sama. Seakan ada aura satu sama lain yang mengintimidasi dan membuat sesak siapapun yang lewat.
Deru aliran air dari kran wastafel itu terhenti, Wakatoshi pun kemudian meletakkan dua gelas mug yang telah bersih tersebut ke area penirisan air sebelum kemudian mengusap kering kedua tangannya.
“Udah dulu ya Sak, aku balik kamar dulu,”
“Ah iya bang, selamat tidur,”
Wakatoshi hanya tersenyum tipis sembari melambaikan tangannya—namun tepat sebelum dirinya kembali ke kamarnya Wakatoshi kemudian menghentikan langkahnya untuk menoleh ke arah Kiyoomi.
“Iizuna ada di luar, aku gatau apa yang terjadi di antara kalian tapi saat ini kayaknya dia lagi butuh kamu,”
Itu adalah kalimat terakhir yang Wakatoshi ucapkan kepada dirinya sebelum sosoknya menghilang di balik pintu kamarnya.
💛💛💛
Pemandangan pertama yang Kiyoomi lihat adalah sosok Tsukasa yang tengah duduk bersantai di kursi teras—pandangannya terfokus pada legam langit malam yang dihiasi beberapa bintang, kepalanya sedikit bergiyang dengan beraturan, ke kanan dan ke kiri, tak lupa mukut kecilnya yang mengecapkan kata-kata tanpa suara, sepertinya lelaki itu tengah mendengarkan sebuah lagu dari earphone yang dikenakannya.
Kiyoomi pun berjalan mendekat sebelum kemudian mengambil duduk tepat di sebelah Tsukasa—membuat lelaki itu sedikit terkejut, akibat terlalu hanyut akan dunianya sendiri.
“Boleh aku duduk di sini?” tanya Kiyoomi, untuk beberapa detik tak ada jawaban yang terlontar dari bibir Tsukasa sebelum lelaki itu mengangguk, “Eh? Uhm… iya boleh,”
Lenggang kembali menyeruak di antara mereka—baik Tsukasa maupun Kiyoomi nampak larut akan lamunnya masing-masing. Kiyoomi sendiri tidak terlalu mempermasalahkannya. Pandangannya ia tolehkan sesaat kepada Tsukasa sebelum kemudian tersenyum simpul.
Dirinya sudah merasa cukup walau hanya dengan seperti ini
Tsukasa pun melepas sebelah earphone miliknya sebelum menawarkannya pada Kiyoomi, “Mau sharing?” dan uluran earphone itu pun Kiyoomi terima sebelum ia pasangkan pada kuping sebelah kirinya.
“Gimana Kiyoomi? Apa kamu menikmati liburan ini?” tanya Tsukasa tiba-tiba, pandangannya masih terfokus pada cahaya rembulan di atas sana.
Bagi Kiyoomi biasanya, acara seperti ini, liburan bersama teman seperti ini selalu ia pandang sebagai kegiatan yang sia-sia. Untuk apa mereka harus berpergian jauh jika hanya berpindah tempat tidur tanpa melakukan hal-hal menyenangkan.
Lagi pula dirinya juga hampir setiap hari bertemu teman-temannya, lalu untuk apa ia liburan bersama mereka? Bukankah akan mati bosan? Tapi kali ini berbeda.
Entah mengapa dirinya tidak pernah merasa serileks ini hanya dengan liburan bersama. Apakah ini yang dimaksud dengan perkataan Rintarou di mana dirinya mulai belajar untuk menjadi lebih rileks, menikmati hidupnya, dan mengapresiasi setiap momentum yang ada.
Hanya dengan melihat Tsukasa tersenyum maka ia pun juga turut merasa senang
Well…, it goes like this…
Sometimes…,
Memorinya pun membawanya pada kilas balik hari-harinya bersama Tsukasa. Pada saat di mana hubungan mereka mulai merenggang—hal-hal yang Kiyoomi anggap sepele nyatanya menjadi awal dari akhir hubungan mereka.
Jika saat itu Kiyoomi lebih menyadari perasaannya—untuk dapat mengapresiasi hal-hal kecil, lebih berusaha untuk membuat Tsukasa tersenyum ketika bersama dirinya apa akhirnya mereka akan berakhir seperti ini?
*You comprise to make some deals
“Aku senang kok,” jawabnya singkat membuat Tsukasa tersenyum kecil dan mengangguk, “Syukurlah,”
Kiyoomi pun mengalihkan pandangannya kepada Tsukasa yang masih larut dalam dunianya. Membuat Kiyoomi turut tersebyum simpul bagaimana Tsukasa selalu menemukan cara untuk menikmati momen-momen seperti ini.
“Kak Tsukasa,” panggilnya dengan suara pelan namun juga lembut, membuat lelaki bersurai hijau itu menolehkan pandangannya ke arah Kiyoomi.
“Aku sayang kamu,”
Pernyataan perasaan tiba-tiba yang tidak pernah Tsukasa tiba, mungkin juga bagi Kiyoomi—tapi tak apa, Kiyoomi membiarkan momen ini larut begitu saja dan membiarkan mereka hanyut di dalamnya. Dapat Kiyoomi lihat wajah Tsukasa yang bersemu merah akibat ucapannya barusan.
“A—,”
“Aku sayang kak Tsukasa dan aku sadar dulu aku payah banget ya?”
Ucapan Kiyoomi barusan menyisakan tanda tanya di benak Tsukasa, perlahan lelaki itu dapat mulai mengontrol diri dan emosinya—dibiarkannya Kiyoomi untuk melanjutkan ucapannya.
“Kak Tsukasa pasti capek banget ngurus orang kayak aku, seseorang yang ga bisa mengungkapkan perasaannya. Kalo aku sayang kak Tsukasa,”
Manik hitam itu nampak teduh namun juga menatap Tsukasa lekat-lekat. Membuat siapapun yang menatapnya berusaha menerka-nerka apa yang ada di balik sana.
“Kalau dulu aku ngajak kak Tsukasa untuk pergi ke salah satu museum kota, kalau dulu aku ngajak kak Tsukasa untuk pergi nonton bioskop, ada berbagai macam pertanyaan, kalau dulu begini, kalau dulu begitu. Apakah aku bisa liat senyum kak Tsukasa lebih banyak dan lebih lama lagi?”
His smiles are the blessings from above that he wasted all the times
“Aku sayang sama kak Tsukasa, sayang banget… sampai cuma sebatas liat senyum kak Tsukasa udah cukup, mungkin aku dulu egois ya karena cuma mau liat kak Tsukasa senyum ke aku. Tapi nyatanya aku ngga berusaha untuk itu,”
Kiyoomi sedikit menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal itu, sedikit salah tingkah sendiri atas ucapannya—ah harusnya dirinya tidak berkata apa-apa. Mungkin Tsukasa akan menganggap dirinya terlalu memaksakan diri untuk menerima perasaannya kembali.
“Kiyoomi…, we were clueless, both of us, as the rest,”
Kedua tangan Tsukasa terangkat untuk menangkup kedua pipi Kiyoomi sebelum mencubitnya pelan, membuat lelaki itu mengaduh.
“Kata siapa aku ga bahagia pas sama kamu? I was the happiest of me when we were together. Stop guilt tripping yourself,”
Sosok Tsukasa pun mendekat dan merengkuh Kiyoomi, memberikan usapan lembut di punggung lebar lelaki itu sembari menumpukan dagunya di bahu lebar Kiyoomi. Tangan besar Kiyoomi pun ia bawah untuk membalas pelukan tersebut.
“Maaf ya bikin kamu ngerasa kayak gini. Aku juga sama kayak kamu, ada berbagai skenario di kepalaku, kalau aja waktu itu aku berani buat ngomongin semuanya ke kamu gimana ya akhirnya?”
Tsukasa pun melepaskan pelukan mereka—walau Kiyoomi nampak enggan melepaskan cecap hangat tubuh kasihnya itu.
“Tapi aku berterima kasih buat kamu, makasih ya udah mau berjuang buat aku. Sampai akhir,”
And we’ll finally find love.
Ah, dan rasa-rasanya Kiyoomi tidak akan pernah siap untuk jatuh cinta kesekian kalinya kepada Tsukasa
Jika Kiyoomi ditanya, bagaimana dirinya mendefinisikan cinta, bagaimana dirinya memandang cinta, dan bagaimana dirinya jatuh cinta. Maka semua jawabannya ada di sosok di hadapannya.
Kiyoomi sudah menemukan definisinya sendiri akan cinta, pada sosok Tsukasa
Perasaan itu memang abstrak adanya, kadangkala ia bisa bersifat malu-malu, selayaknya remaja yang baru pertama kali jatuh cinta. Kadang pula bersifat membara, penuh gelora dan juga gairah. Layaknya bara api dan pijarnya. Namun sering kali perasaan itu sesederhana hanya ingin menghabiskan waktu berdua, dengan sang kekasih hati.
Dan ketika seseorang sudah merasakan berbagai macam kecamuk perasaan yang mereka sebut dengan cinta, mereka pun masih sering sulit mendefinisikannya.
“Kak Tsukasa,”
“Ya?”
“Boleh gak aku cium kamu?”
Tsukasa tidak menjawab apapun, tetapi ia majukan tubuhnya ke arah Kiyoomi untuk memberikan satu kecupan di bibir lelaki itu—yang tentu saja dibalas oleh satu rengkuhan hangat pada tubuhnya.
Dibawanya wajah Tsukasa untuk semakin mendekat—dari sebuah kecupan singkat menjadi satu ciuman panjang dan juga dalam, mengecap rasa satu sama lain. Manis dan menyisakkan satu kesan menggelitik di hati Kiyoomi.
💛💛💛
Love is just like playing a game
You might be lost at first
But don’t worry about it, all of us are just clueless as the rest
And you’ll eventually win at the end