🦋🦋🦋
Bagi para penumpang keberangkatan bandara udara Tokyo…
…dengan tujuan…
…diharapkan untuk segera memasuki ruang boarding…
Sepasang manik biru safir itu hanya bisa memandang dari balik jendela. Beradu dengan sang cakrawala, di antara mereka siapakah yang paling luas dan sulit tergapai jangkaunya… permadani biru yang membentang di atas sana dan misteri di balik atmosfernya atau perasaan yang tersembunyi di balik netra sekelam lautan itu.
Dara ayu itu hanya diam termenung, pandangnya mengabur jauh, angannya entah berkelana ke mana. Dari tempatnya ia berdiri ia masih dengan sabar menunggu, menunggu sang tuan untuk kembali.
Karena mereka telah berjanji untuk bersama
“Riko-chan? Ini kopernya aku bawa ke boarding ya?”
Gadis yang bernama Riko itu pun menolehkan kepalanya saat suara serak nan lembut itu memanggil namanya. Gerak samar dengan wajah sendu yang mengisyaratkan penantian panjang. Lelaki bersurai gondrong itu sangat paham betul perasaan gadis muda tersebut.
Tanpa banyak kata, hanya dengan sebuah anggukan kecil ia menjawab, mengiyakan bantuan lelaki itu.
“Geto-san…,”
“Ya?”
Ada jeda hening di antara mereka untuk sepersekian detik. Puan itu sudah memiliki susunan kata dan kalimat yang hendak ia lontarkan. Namun, entah mengapa lidahnya terasa begitu kelu, membuat tenggorokannya terasa kering seketika. Ia pun hanya bisa menelan ludah dengan kasar.
Gelagatnya nampak begitu gelisah. Bahkan orang-orang pun dapat merasakan kekhawatiran dan kecemasan sang gadis
Riko hanya bisa mengecap bibirnya yang seketika terasa kering. Untuk pertama kalinya, penantian panjangnya membuat dirinya merasa begitu cemas dan khawatir. Padahal selama ini tak pernah ada ragu sedikit pun yang terbesit di hatinya. Ia selalu yakin kepada sang tuan.
Tapi entah mengapa, hari ini, detik ini, ia merasa ragu, cemas, dan khawatir. Bagaimana jika sang tuan tidak bisa menepati janjinya? Apakah ia masih bisa bertemu dengan kasihnya? Apakah cintanya dapat menemukan jalannya untuk kembali pulang tanpa tersesat?
“Riko-chan…”
“Ya…?”
“Ayo… tarik nafas… ga usah khawatir, kamu tau sendiri kan dia bisa mengatasinya sendiri?”
Justru karena itu!
Karena ia terbiasa sendirian, itu akan semakin menbuatnya mengkhawatirkannya
“Geto-san… kenapa kamu bisa sangat percaya kepadanya…?” tanya Riko penuh ragu.
Lelaki itu tidak langsung menjawab, ada jeda cukup lama di antara mereka dan entah mengapa membuat dirinya merasa begitu sesak karena terlalu lama menunggu.
“Karena aku sahabatnya,” jawabnya penuh pasti dengan seutas senyum yang mengembang. Sepasang manik sebiru safir itupun beradu dengan manik sekelam langit malam yang nampak memancarkan binarnya.
Penuh keyakinan akan setiap ucap katanya dan mungkin hanya itu yang dapat mereka lakukan, ia hanya bisa yakin kepada sang tuan. Paling tidak itu yang akan membuatnya kasihnya tidak merasa sendiri.
“Kamu juga harus percaya padanya. Jika melihatmu menyedihkan seperti ini dia justru akan meledekmu sambil cengengesan,”
Yang dikatakan itu ada benarnya juga. Entah mengapa seketika dirinya dapat mendengar suara tawa renyah namun juga mengejek khas lelaki itu sebelum mengakhirinya dengan kalimat, ‘kamu tidak perlu khawatir karena akulah yang terkuat’
Sosok yang begitu percaya diri dan ekstrensik. Namun ucapannya tersebut pun seakan memberikan rasa aman dan nyaman, membuatnya percaya bahwa ia dapat mengandalkannya.
Gadis itu pun kembali menolehkan pandangannya, kembali menatap cakrawala biru di luar sana—mencari ketenangan untuk hatinya yang sendari tadi risau—ia pun hanya bisa berdoa dan percaya kepada kasihnya.
Karena dengan ia percaya maka sang tuan tidak akan merasa sendiri
🦋🦋🦋
Jika boleh jujur, sejujurnya Gojo Satoru tidak seyakin itu bahwa ia dapat memenangkan pertempuran kali ini. Semua perkataan dan kepercayaan dirinya hanyalah omong kosong semata. Agar murid-muridnya tidak lagi khawatir. Agar tidak ada lagi nyawa dan masa muda melayang sia-sia hanya karena kelalaian sistem jujutsu.
Pada akhirnya ialah hanya yang terkuat namun tak bisa melindungi apa-apa. Beban yang harus ia tanggung seorang diri. Paling tidak kedepannya, sistem jujutsu tidak akan mengandalkan kekuatan dirinya seseorang.
Jika yang terkuat telah mati maka generasi selanjutnya pun akan saling bahu membahu. Sehingga tidak perlu menanggung beban seorang diri. Jika yang terkuat telah mati maka mereka harus menjadi yang terkuat bersama-sama.
Tidak ada seringai ataupun kekehan kecil penuh ledek dari bibirnya. Hanya ada satu tawa sumbang penuh penyesalan serta kesengsaraan. Pada akhirnya semua harus berakhir, seperti ini.
Sebenarnya ia sudah menduganya sejak dulu, dan sudah mengantisipasinya. Tapi fakta bahwa ia mati seorang diri tentunya masih tetap menyakitkan untuk ia terima.
Pada akhirnya ia akan tetap sendiri
Sungguh akhir yang malang bagi dia yang dijuluki sebagai terkuat
Dan ia pun kembali terkekeh. Di akhir hayatnya, tepat sebelum belati sebesar semesta milik sang raja kutukan itu memotong ruang dan waktu Gojo Satoru berandai-andai.
Apakah dirinya menjadi yang terkuat karena dia Gojo Satoru? Ataukah ia Gojo Satoru karena dirinyalah yang terkuat?
Sebenarnya untuk apa ia menjadi yang terkuat jikalau dirinya tidak bisa melindungi sesutu yang berharga untuknya?
Pada akhirnya ialah yang terkuat namun akan terus merasakan kesendirian hingga akhir hayatnya…
Pada akhirnya ialah yang terkuat yang takkan bisa menyelamatkan sahabatnya dari relung jurang keputusasaan.
Ialah yang terkuat yang hanya bisa memeluk jasad dingin kasihnya.
Dan ialah yang terkuat… yang pada akhirnya hanya seorang diri…
Satoru pun bertanya-tanya, untuk apa dirinya jadi yang terkuat jikalau ia selaku gagal melindungi mereka yang berharga untuknya… menyisakan dirinya seorang diri?
Dan ia pun kembali terkekeh.
Di akhir hayatnya, dalam pandangnya yang kabur antara mana yang nyata dan juga semu… satu hal yang ia ingat adalah pemandangan seekor kupu-kupu dengan kepaknya yang berwarna kehijauan.
🦋🦋🦋
Tuan bersurai putih pucat itu mengeluh linglung mana kala satu tepukan hangat mendarat berulang kali di bahu lebarnya. Bias cahaya atrifisial terasa menyilaukan bagi sepasang netra sebiru langit itu, membuat dirinya merasakan pening untuk beberapa saat.
“Satoru…, ah! Untunglah kamu sudah bangun!”
Kepalanya masih terasa pusing, dengan susah payah ia kerjapkan beberapa kali matanya untuk memofuskan pandangannya.
“Aku… di mana?”
“Sekarang kita ada di bandara, ayo penerbangan kita habis ini berangkat!”
Seketika ia terkejap kaget mana kala stimulus otaknya sudah dapat mengurai informasi dari gelombang suara yang terdengar teramat sangat familiar namun juga asing di pendengarannya.
Sepasang netra dengan penglihatan yang tak pernah salah itu pun terbelalak kaget mendapati sosok yang berdiri di hadapannya—seorang yang baru saja membangunkannya—dengan lidah yang kelu ia pun bertanya,
“…Suguru…?”
“Ya?”
Layaknya tersetrum oleh lonjakan listrik Satoru pun terlonjak kaget, membuat Suguru sama terkejutnya dengan gerakan tiba-tiba lelaki itu.
Di mana dia? Kenapa dia ada di sini? Bukannya seharusnya tadi dia…
Tunggu…, apakah sekarang semuanya sudah selesai…?
“Ya Satoru, semuanya sudah selesai… untukmu,”
Manik biru tersebut masih membulat sempurna tak percaya. Untuk sepersekian detik, sebelum akhirnya Satoru mengedipkan matanya berulang kali dan menghela nafas pela. Ia pun merasa sedikit lega.
Paling tidak semuanya sudah selesai untuknya… untuk saat ini…
“Apakah hanya ada kita berdua di sini?” tanyanya kepada Suguru.
Sahabat terbaiknya itu tersenyum simpul, “Ngga, yang lain udah pada ngumpul. Nungguin kamu,”
Menunggunya ya?
Sebuah kalimat sederhana yang sukses meringankan hati Satoru yang selama ini dirudung oleh rasa sepi yang membiru pilu karena terlalu lama sendiri.
Apakah akhir hidupnya menjadi akhir dari kesendiriannya?
Seutas senyum yang tanpa sadar mengembang di wajah rupawannya, di mana ia tidak lagi sendirian, dan ada orang-orang yang senantiasa menunggu kehadirannya.
“…ada… siapa saja…?” tanyanya memastikan…
…dan penuh harap.
Suguru pun mengerti siapa yang di maksud oleh Satoru.
“Ada baiknya kamu segera menghampirinya karena sendari awal dirinya yang paling gelisah akan kondisimu,”
🦋🦋🦋
Dengan nafas terengah ia berlari sekuat tenaga menghampiri figur sang puan yang sendari tadi tengah memandang langit biru dari balik jendela dengan khidmat.
Derap langkah kaki yang terburu-buru itu pun juga nampaknya menganggu aktivitas dara ayu tersebut. Dengan gerakan gemulai ia menolehkan pandangnya. Dua pasang manik biru—dengan sepasang berwarna biru kelabu dan sepasang lagi berwarna biru cerah—itu pun saling beradu pandang dengan tatap penuh keterkejutan.
Kedua bibir ranum itu sedikit terbuka—terkejut—sebelum kemudian mengatup rapat. Sang tuan yang sendari tadi tergupuh-gupuh berlari ke arahnya seketika diam mematung saat berhadapan dengan sorot mata penantian penuh harap dari sang gadis.
Mereka saling terdiam satu sama lain
“…Amanai…,” panggilnya lirih… sementara itu sang puan pun nampak terlihat ragu untuk berlari dan berhambur ke dalam pelukannya… ia pun hanya bisa membalasnya, “…Satoru…,”
Kecanggungan menguar di antara mereka untuk sepersekian sekon, sebelum akhirnya Satoru menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Maaf ya…,”
dan hanya itu yang dapat terlontar dari ucapnya.
Maaf karena aku gagal melindungi
“Seharusnya aku yang minta maaf,”
Suara lembut sang puan adalah yang paling ia rindukan tetapi… bukan permintaan maaf yang ia ingin pertama kali dengar dari kasihnya itu.
Dapat ia temukan kesenduan di sepasang netra sekelam safir itu.
“Maaf Satoru, karenaku kamu harus sendirian, menanggung semuanya sendiri…”
“Maaf aku ngga bisa menemanimu…,”
Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf…
Karena sejatinya mereka berdua adalah korban dari takdir kejam yang dengan semena-mena menorehkan tintanya dalam lembar hidup mereka.
Meski demikian Satoru pun tidak menyangkal karena pertemuan penuh haru ini tidak ingin ia sambut dengan perdebatan menjemukan.
“Aku ngga pernah merasa sendiri kok Amanai,”
…
“Karena aku tau, kamu, Suguru, dan semuanya selalu ada—kalian selalu hidup dan bersamaku hingga akhir,”
Gadis itu terkekeh kecil mendengarnya—cukup jarang untuk mendapati kasihnya itu berkata-kata manis seperti itu.
“Aku sedikit kecewa karena bukan hanya aku di hatimu,” keluhnya.
“Walau begitu kamu pun tau kalau kamu punya tempat spesial,”
Mereka berdua pun kembali beradu pandang dengan seutas senyum tulus di wajah masing-masing. Sang pun berjalan peelahan ke arah Satoru sebelum kemudian mendekapnya erat.
“Terima kasih Satoru…, kamu tidak perlu khawatir, karena kamu sudah tidak sendirian lagi,”
🦋🦋🦋
Terima kasih karena selalu percaya padaku wahai cintaku
Terima kasih karena tidak pernah membiarkanku merasa sendirian
Terima kasih karena senantiasa menungguku
Dan aku kembali ke dalam pelukan di mana tempatku seharusnya berpulang sendari awal
🦋🦋🦋
Mulai detik ini…, kita berdua bersama-sama
🦋🦋🦋