komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

💛💛💛

Please listen to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/0wCiZgPLKt7M2aoPMBB6Tx?si=0R1pAXoKS02o8ND93DXuWA

💛💛💛

Pintu kayu di hadapannya itu pun akhirnya terbuka tepat pada ketukan ketiga, menampilkan sosok Kiyoomi berbalut celena pendek hitam yang senada dengan kaos polos yang dikenakannya. Tsukasa meneguk ludahnya kasar, membasahi tenggorokannya yang seketika kering, kenapa pula dirinya tiba-tiba merasa gugup?

“Ya kak?” tanya Kiyoomi sembari keluar dari kamarnya, sedikit terkejut mendapati sosok Tsukasa lah yang ternyata mengetuk pintu kamarnya.

“Boleh minta tolong ga? Isiin tinta printer, tintanya tinta suntik,” tanyanya.

Tanpa perlu menunggu lama, Kiyoomi pun mengiyakan permintaan Tsukasa—membuat lelaki itu sedikit terkejut dan tidak percaya, kalau boleh jujur, ia kira akan susah untuk membujuk Kiyoomi.

“Kak?”

“Ah iya! Bisa langsung ke kamar aja! Sori kalo nanti agak berantakan,”

💛💛💛

Definisi berantakan Iizuna Tsukasa tidak bisa dibayangkan dan disamakan dengan berantakan pada umumnya—terlepas bahwa Tsukasa seringkali berangkat pagi dan pulang menjelang tengah malam tapi kamarnya masih tertata dan barang-barang disimpan rapi ditempatnya. Hanya ada beberapa lembar kertas yang terserak di dekat mesin printer dan juga laptop yang menyala, menandakan aktifitas yang terakhir kali dilakukan oleh lelaki tersebut.

Kiyoomi pun mengambil duduk tepat di depan laptop serta kertas-kertas berkas yang berserakan tersebut. Dengan cekatan dan telaten dibongkarnya printer milik Tsukasa, sementara itu sang tuan hanya diam memperhatikan Kiyoomi yang lincah dengan pekerjaan yang tidak Tsukasa tahu menahu.

“Ah… kalo ini aku sebenarnya bisa kak cuma karena ini kayak ada semacam seratnya aku ga rekomen kalo isi sendiri… mending ke merchant official store-nya…,”

Kiyoomi menolehkan kepala, membuat pucuk hidungnya tak sengaja bersentuhan dengan pipi kanan milik Tsukasa—yang tentunya membuat lelaki itu terlonjak kaget.

“SORI! GA MAKSUD!” ujar Tsukasa panik yang segera membuat lelaki itu menarik diri, memberi jarak di antar mereka. Kedua pipinya nampak bersemu malu-malu.

“Gimana gimana tadi? Harus ke official store ya?” tanyanya lagi, berusaha mengalihkan perhatian dan memecahkan kecanggungan. Jeda sejenak sebelum Kiyoomi mengiyakannya.

“Yaaah, yaudah deh kalo gitu gue nge-print di luar aja deh mumpung masih jam delapan juga,” celetuknya, sedikit kecewa. Dirinya tentu tidak bisa ke official store Conan saat ini untuk mengurus printer-nya. Selain karena sudah malam ia juga perlu cepat. Tidak ada yang bisa menjamin kan printer-nya tidak harus dirawat inap.

“Aku ada printer sama scanner di kamar kak, mau pinjem?”

💛💛💛

Deru mesin printer kini beradu dengan deru mesin pendingin ruangan kamar milik Kiyoomi. Tsukasa nampak sibuk di meja belajar lelaki bersurai hitam tersebut, mengutak-atik laptop dan sesekali mengecek kertas-kertas yang keluar dari mesin tersebut.

Sementari itu sang pemilik kamar hanya diam sembari sesekali mencuri pandang, entah kepada kertas-kertas yang silih berganti keluar dari mesin printer miliknya atau pada presensi yang kini tengah fokus di meja belajarnya.

Tanpa sadar—seakan ada kontrol autopilot pada benak diri Kiyoomi, tangannya pun bergerak terangkat untuk mengusap pucuk kepala tersebut yang tentu membuat Tsukasa tersentak kaget.

“Ah! Eh… sori kak tadi ada kotoran,”

Tsukasa menatap Kiyoomi tak percaya dan seakan menuding karena dirinya hafal betul lelaki tersebut takkan membiarkan sejengkal debu pun singgah di kamarnya. Meski demikian Tsukasa tak mengatakan protes ataupun praduganya, ia memilih diam dan kembali pada pada pekerjaannya.

Karena sejujurnya ia sedikit merindikan sentuhan yang mampu memberikannya ketenangan itu

“Ngomong-ngomong ini berkas buat apa ya kak?” tanya Kiyoomi tiba-tiba, berbasa-basi terlebih dahulu.

“Hmm? Buat daftar sidang! Aku harus ngelengkapin semua berkasnya minggu ini buat sidang periode sekarang,” jelasnya.

Ah ternyata alasan kenapa Tsukasa sering berlarut diri di perpustakaan kampus adalah ini

“Kapan sidangnya kak kalo boleh tau?”

Pertanyaan Kiyoomi yang tidak segera dijawab oleh Tsukasa, seakan dengan sengaja menggantungnya dengan ketidakpastian. Tsukasa hanya bisa tersenyum getir sebelum menjawabnya dengan sekenanya.

“Kurang tau yaa, jadwalnya baru keluar setelah selesai ngumpulin berkas,” ujarnya.

Dan untuk apa sebetulnya Kiyoomi tau, pada akhirnya ia tidak akan pernah datang, berhentilah berharap ataupun mengandai.

Keheningan seketika kembali menyeruak, menyisakkan kecanggungan diantara mereka yang hanya diisi dengan bising deru mesin yang saling sahut menyahut.

💛💛💛

“Aku boleh datang ngga kak?”

Tsukasa kembali diam untuk beberapa detik.

“Ah…, jangan… nanti aku gugup, sama kan aku belum tentu lulus sidang haha…,” ujarnya sembari tersenyum ke arah Kiyoomi, senyum yang dipaksakan.

Dari lubuk hati Kiyoomi yang terdalam entah mengapa ia dapat merasakannya, merasakan sebuah penolakan dari lelaki di hadapannya yang tidak menginginkan kehadirannya itu dan semua kalimat yang terucap dari bibirnya hanya sebuah alasan.

Seakan Tsukasa memang sengaja, mendorongnya jauh-jauh

💛💛💛

Please listen to this song as you read this narration: https://open.spotify.com/track/2p9Ac0KQAUfOIXXWAxlzmM?si=qaW-FQfPSXiyhCms5sjB5w

💛💛💛

Kiyoomi keluar dengan tergupuh-gupuh dari mobilnya dan dengan segera menghampiri Tsukasa yang tengah duduk meringkuk sembari memeluk tas punggung miliknya. Ditepuknya pelan bahu lelaki tersebut, “Kak…,”

Lelaki itu segera mendongak—diperhatikannya raut wajah milik Tsukasa, nampak begitu lelah dan kurang istirahat dengan guratan kantung hitam di bawah matanya—Tsukasa pun tersenyum, walau sedikit dipaksakan ke arah Kiyoomi.

“Oh, hai…,” sapanya lirih, suaranya terdengar begitu serak. Ada jeda waktu selang beberapa detik sebelum Kiyoomi membalas sapaannya, “Nunggu daritadi?”

Tsukasa menggeleng pelan, “Ngga kok, cuma capek aja,” jelasnya.

Kiyoomi pun menghela nafas berat sebelum kemudian mengulurkan tangannya, “Ayo pulang,”

Kedua manik Tsukasa menatap Kiyoomi dan uluran tangannya secara bergantian, sedikit tidak percaya. Ragu pun seketika menyelimuti hatinya untuk selang beberapa saat, menyisakan uluran tangan yang bergantung di udara, menunggu sambutan dari sang tuan di hadapannya.

Meski begitu, Tsukasa memilih bangkit dari duduknya, memakai kembali tasnya sebelum kemudian membersihkan debu-debu yang menempel di celana jeans miliknya.

Kiyoomi termangu sejenak—bukan itu respon yang ia harapkan—namun ia pun menjaga reaksinya sebelum kemudian membukakan pintu penumpang untuk Tsukasa.

💛💛💛

Kiyoomi melajukan mobilnya, tak seperti saat ia berangkat tadi yang melajukannya selayaknya orang kesetanan—malam ini ia melajukan mobil sedan tersebut dengan begitu khusyuk—serasi dengan alunan lagu akustik yang ia setel malam ini.

Sementara itu Tsukasa hanya bisa duduk termangu sembari memandangi jendela kaca di sebelahnya—memandangi remang lampu kota akibat gelap kaca film yang ada—dieratkannya pelukan terhadap tas punggung miliknya.

Kiyoomi yang melirik sekilas, dari sudut matanya ia dapat melihat air wajah kelelahan dari sosok yang lebih tua—yang nampak tak menghiraukan presensi kehadirannya sama sekali—dieratkannya genggaman pada kemudi yang ada.

Tak ada yang berniat memulai obrolan untuk satu sama lain, Tsukasa sudah terlalu lelah, baik fisik maupun psikisnya. Sementara itu, Kiyoomi, di sisi lain, lidahnya terasa begitu kelu walau hanya mengucapkan sepatah kata.

Menyedihkan, padahal dulu sekali mereka sangat mudah saling bertukar kata—memulai percakapan yang bahkan takkan pernah mereka ingin akhiri satu sama lain. Dan sekarang, di situasi yang sama, bahkan untuk bernafas pun terasa begitu sesak.

Lately you’ve been in and out love

“Ah…,”

Kiyoomi menoleh sekilas ke arah Tsukasa, entah mengapa hatinya terasa sedikit lebih ringan melihat reaksi sesaat dari lelaki di sebelahnya itu. Sementara itu, Tsukasa hanya diam mematung untuk selang beberapa detik, “Lagu ini…,”

“Ah…, iya… ini lagu yang dulu pernah direkomendasiin kak Tsukasa dulu,”

“…oh…,”

Lately you’ve been in and out of love

And I’ve been feeling in and out of touch,

Tanpa sadar Tsukasa ikut bersenandung mengikuti irama yang ada, suaranya terdengar pelan dan juga parau—tanda betapa iya begitu kelelahan. Meskipun demikian, bagi Kiyoomi, sudah lama sekali ia tidak mendengarkan senandung merdu milik Tsukasa—seutas senyum kecil pun terpatri di wajahnya, nampak samar dan sederhana.

“…hhh…,”

Kiyoomi menghentikan laju mobilnya saat lampu lalu lintas berganti menjadi merah. Bersamaan dengan alunan lagu yang mulai menginjak penghujung bagian, senandung merdu yang mengikutinya pun mulai mereda, digantikan deru nafas panjang yang terdengar beraturan.

“Kak…?”

Ditepuknya bahu sang tuan dengan perlahan, seakan enggan menganggu istirahat miliknya. Sementara itu Tsukasa tak berkutik sama sekali, membuat Kiyoomi sedikit panik dan dengan buru-buru memegang kening miliknya.

Ia pun tersenyum kecil saat punggung tangannya bersentuhan dengan kening Tsukasa, tidak menemukan keanehan suhu di sana, tidak panas hanya terlelap.

Diturunkannya posisi jok mobil tempat Tsukasa beristirahat, berusaha memberikan rasa nyaman agar lelaki itu tak merasa pegal saat bangun dari istirahatnua nanti. Bersamaan dengan bergantinya warna lampu menjadi hijau, Kiyoomi pun kembali melajukan mobilnya—dengan seutas senyum yang masih terukir di paras tampannya.

💛💛💛

Please listen to this song as you read this one: https://open.spotify.com/track/6uwnN4iazWmbO6Hz0dIXL5?si=IVcvUhcVT3KlZRJO8MYDIw

💛💛💛

Tsukasa duduk diam termangu di ujung ranjang miliknya, pandangannya terlalu sibuk terpaku pada lantai kayu kamarnya walau tak ada satu pun hal menarik di sana. Ingin rasanya ia langsung beristirahat namun sepertinya pikirnya tak dapat diajak bersahabat yang berakhir menyisakan nyeri parah di bagian kepalanya.

Sungguh ia rasanya pusing sekali

Entah dari mana rasa pusing itu berasal—apakah dari kurangnya waktu tidur dan beristirahat untuk tubuhnya—atau pikirannya yang tidak bisa diajak berkompromi, Tsukasa tidak mengerti.

Yang jelas saat ini bukannya seharusnya dirinya terlelap dan beristirahat ke dalam alam mimpi, Tsukasa justru bertanya-tanya bagaimana bisa Kiyoomi—Sakusa Kiyoomi—tiba-tiba menjadi teman berbagi satu apartemen dengannya.

Bukannya ia tidak suka atau membenci Kiyoomi, tetapi fakta bahwa mereka akhirnya berbagi satu apartmen tidak pernah ada dalam list hidup Tsukasa.

Bohong, jika boleh jujur sebanarnya hal tersebut pernah ada dalam list hidup Tsukasa—lebih tepatnya tiga tahun lalu

Tsukasa menghela nafas pelan, sedikit menggerutu, merasa kesal karena merasa seakan semesta tak berpihak kepadanya, menjadikan rencananya luluh lantak berantakan karena rencana semesta yang berjalan seperti bajingan.

Kenapa, di saat dirinya ingin menata hati sang pencuri hati datang dengan tidak tau diri

Bukan tanpa alasan kenapa Tsukasa merasa sangat kesal—kesal dengan dirinya sendiri karena tak dapat menahan perasaan yang berkecamuk hany karena kehadiran presensi seseorang.

Bukan tanpa alasan dirinya diam terpaku saat pertama kali melihat eksistensi lelaki bersurai kelam tersebut yang tengah berdiri di hadapannya sembari membawa sekotak kardus barang pindahan miliknya.

Ia yang dulu selalu mendamba kehadirannya sekarang tak menyangka presensi itu hadir dihadapannya, bahkan tinggal satu atap dengan dirinya.

Bukan tanpa alasan hati Tsukasa menjadi kacau dengan pertahanan yang runtuh, karena baginya Kiyoomi tidak akan pernah asing—bahkan untuk dirinya—hanya ada satu kekecewaan besar dalam diri Tsukasa di mana ia pun membenci dirinya dan situasinya, tetapi tidak akan pernah bisa membenci Kiyoomi.

💛💛💛

Empat tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk jalinan hubungan asmara, begitu pula bukan waktu yang sebentar pula untuk menciptakan beragam memori ataupun kenangan bersama. Meski demikian dalam jalinan kasihnya empat tahun terasa teramat sangat sebentar dalam mencecap kasih.

Begitu pula dengan hubungan Tsukasa dan Kiyoomi, berawal dari cinta monyet semasa SMA yang naif—hingga pedihnya lika-liku percintaan semasa kuliah yang dipenuhi dengan intrik maupun juga cekcok—Tsukasa selalu beranggapan bahwa hal tersebut merupakan buah dari kenaifannya.

Tsukasa tidak akan pernah merasa bosan atau pun hilang rasa dari sang kasih yang lebih muda satu tahun darinya itu—hari-harinya dulu begitu membahagiakan, membuatny berandai di mana hanya ada dirinya, sang kasih, dan momen yang abadi selamanya.

Akan tetapi, waktu terus berlalu, masa-masa yang baik tak sepenuhnya abadi, kadang kala ada pula hari-hari sulit bagi mereka maupun Tsukasa…, Tsukasa yang masi naif hanya ingin Kiyoomi ada, sebagai tempatnya bersender di kala hari-hari sulit itu tiba. Dirinya kira ia tidak keminta lebih—pada nyatanya itu adalah sesuatu berlebih yang ia minta.

Sekali, dua kali, mungkin Tsukasa dapat memaklumi, tapi ia sudah lupa hitungan angka terakhir di mana presensi Kiyoomi hadir mengisi hari-harinya. Menyisakan satu kekosangan dan juga kekecewaan, membuatnya terbiasa akan hilangnya eksistensi yang selalu ada.

Hubungan yang mulai merenggang hingga akhirnya Tsukasa memilih mengakhirinya, ini semua salahnya, seharusnya ia bisa mempertahankannya, harusnya perasaannya lebih besar daripada kekecewaannya.

Dari sana Tsukasa mulai seringkali berandai—apa memang dirinya tidak sepenting itu? Seharusnya dirinya tak berbagi duka atau masa sulit dengan Kiyoomi, dirinya dan Kiyoomi harus selalu bahagia bersama—dan saat itu Tsukasa tidak dapat melakukannya. Dirinya dilanda kesedihan dan kekecewaan yang mendalam, bahwa bukan ‘Tsukasa’ saat itu yang mampu mendampingi hari-hari Kiyoomi.

Padahal dulu, saat hari-hari membahagiakan itu masih terngiang jelas dalam benak, Tsukasa sering kali berandai. Bagaimana ya jika suatu hari kelak mereka kuliah bersama—berbagi satu tempat tinggal yang sama. Namun sayang angan pun berubah menjadi sebuah ratap, realitas semu membawa Tsukasa sadar bahwa hubungan mereka sudah tak bisa diselamatkan.

Tidak ada lagi Tsukasa dan Kiyoomi yang akan lari pagi bersama, ataupun Tsukasa yang memasakkan sarapan untuk mereka berdua. Tak ada lagi keranjang-keranjang belanjaan yang berisi sabun mandi berdua—di mana mereka berbagi aroma tubuh yang sama.

Dan kala dirinya sedang menata diri maupun hatinya—takdir pun seakan mempermainkannya—menemukannya kembali dengan Kiyoomi, di masa-masa tersulut dalam hidupnya, di saat setiap hari pikirannya berkecamuk untuk menyerah.

Tsukasa sudah terbiasa dengan rasa kecewa dan kesendirian, dan sekarang ia dihadapkan lagi pada rutinitas hari-hari menyenangkannya dulu… yang nyatanya mereka takkan bisa jadi satu.

💛💛💛

Malam itu dirinya tak jadi terlelap—untuk ketiga kalinya, pada akhirnya menambah satu hari penuh—dinyalakannya laptop yang mungkin beberapa bulan terakhir tak pernah mati daya. Malam itu Tsukasa terus mengetik hingga pagi menyongsong, berharap kekalutan dalam dirinya bisa perlahan menghilang.

Membiasakan diri… membiasakan diri… dirinya sudah familiar dengan distraksi seperti ini.

🌸🌸🌸

Terlepas dari lagu-lagu up beat nan ceria yang didengarkan gadis bersurai salem tersebut teman-teman the girlies-nya tentu menyadari perubahan mood sahabat baiknya yang hobi makan itu.

Bagaimana tidak, sang ketua backburner—jabatan bersifat self proclaim—yang sehari-hari on repeat lagu-lagu galau milik NIKI seketika merubah haluan seleranya menjadi lagu-lagu penuh suka cita, walau jika ditelaah lebih dalam lagi lirik yang dinyanyikan jauh lebih menyayat hati dibandingkan yang biasa ia dengarkan.

Tidak sampai di sana, usut punya usut berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan Yachi (satu-satunya yang akrab dengan Komori selain Yukie) ternyata lagu-lagu yang didengarkan Yukie berasal dari penyanyi-penyanyi yang berada dalam list following teratas akun Spotify Komori. Tentunya hal tersebut menimbulkan praduga khususnya di benak Kaori karena dia lah saksi bisu pernyataan Yukie yang tidak mau coba-coba dengan brondong.

Tapi mau dikatakan apalagi, nasi telah menjadi bubur, begitu pula dengan perasaan yang terlanjur tumbuh. Paling tidak di mata Kaori, Komori jauh berbeda dibandingkan brondong yang menyakiti Yukie beberapa waktu lalu. Meskipun demikian hal tersebut tak menutup kemungkinan Kaori untuk berbuat macam-macam kepada Komori jika lelaki itu kurang ajar. Siap-siap say goodbye saja kepada sepasang alis yang dikatakan pelet Komori tersebut.

Di lain sisi Alisa, mengatakan ia senang melihat Komori yang hadir seakan waktu yang tepat, right person right time katanya. Karena kehadiran Komori laksana embun sejuk dipagi hari yang siap menyingsing hari esok. Entah emang niat modus atau memang kelewat baik, tapi afirmasi-afirmasi positif dan kata-kata Komori seakan menjadi penyemangat dan obat penghilang lelah.

Kiyoko juga menambahkan, “Liat wajah Komori, aku yakin dia juga ga bakalan berani bunuh nyamuk,” untuk mengonfrimasi bahwa Komori bukanlah brondong-brondong brengsek seperti yang lalu-lalu.

Kembali kepada permasalahn milik Yukie, tidak hanya selera musiknya yang berubah seratus delapan puluh derajat keanehan lainnya juga terlihat bagaimana Yukie terlihat kehilangan nafsu makan di mana hal tersebut SANGAT TIDAK MUNGKIN TERJADI, mengingat bagaimana maniaknya dia terhadap makanan.

Love itself has a power to change people kata kebanyakan orang dan mungkin itu yang terjadi pada Yukie.

Kalau kata Hana, saat ini Yukie tengah mengalami kondisi yang disebut dengan 4 Sengsara, 5 Sempurna. Di mana dia mengalami kondisi 4L yaitu lemah letih lesu lunglai. Kalau menambah satu lagi maka menjadi love you.

Pada akhirnya mereka hanya bisa tertawa kecil sembari menghela nafas pelan melihat Yukie yang saat ini tengah sibuk dan suntuk dengan komputernya, pura-pura bekerja tapi pikirannya kemana-mana, tidak ada projek berjalan di lembar polos Notion miliknya.

Sudah lebih dari satu minggu lamanya Komori masih izin magang, membuat Yukie menduga-duga apakah emang sidang skripsiny selama itu? Bagaimana lelaki itu melaluinya? Dan gimana dia selama ini?

Kalau pun dia curhat kepada teman-temannya hanya satu solusi sederhana untuk menjawab semua kerisauan dan permasalahn hidupnya saat ini.

Makanya chat aja duluan Kie

Tapi dirinya sudah kepalang GENGSI. Sebenarnya dia juga ingin menanyakan diri terlebih dahulu tapi mau dikatakan apa lagi dengan sahabat-sahabat wanitanya?!

Tanpa Yukie sadari sebenarnya mereka tidak terlalu mempermasalahkannya karena sejak dekat dengan Komori, mood gadis bersurai pendek itu jauh lebih baik dari sebelumnya. Hanya saja ternyata ada untungny mengiarkan Yukie terlarut dalam dilema serta harga dirinya yang cukup tinggi perihal memulai percakapan lebih dulu dengan Komori dan menahan rindu yang terdalam.

Sesekali, jarang-jarang mereka melihat pemandangan gadis itu cukup sengsara dan tertekan seperti ini. Sementara itu di sisi lain, Yukie dapat merasakan matanya kelelahan karena ia paksakan menatap layar monitor untuk waktu yang lama—

“AAARRGHH”

Keenam sahabatnya itu hanya bisa saling bertukar pandang sebelum terkekeh kecil… sepertinya Yukie benar-benar sudah stress…

Menyadari suaranya yang… terdengar… cukup tidak anggun bagi seorang wanita dewasa, Yukie berdeham pelan, seakan membersihkan riak di tenggoroknya yang tak pernah ada. Ada sedikit rona merah jambu di kedua sisi wajahnya. Dirinya menahan malu.

Tepat sebelum dirinya hendak kembali berusaha fokus dengan pekerjaannya dari posisinya ia duduk Yukie dapat mendengar suara tawa renyah dari presensi yang (sangat) ia rindukan beberapa hari terakhir.

Astaga! Entah mengapa detak jantungnya terasa berpacu dua kali lipat lebih cepat dari biasanya! Bahkan ia dapat mendengar suara gemuruhnya sendiri! Yukie berulang kali menepuk kedua pipinya. Jika ia menoleh maka ia kalah dengan hatinya, ia harus menjaga diri dan menjaga hati.

Di meja seberang—di mana Kaori, Alisa, Hana, Mika, Kitoko, dan Yachi hanya tertawa kecil melihat Yukie yang salah tingkah. Ah sepertinya mereka harus kembali ke meja masing-masing, sudah saatnya ‘panggung’ ini dipertunjukkan bagi Komori dan Yukie selalu bintang utamanya.

🌸🌸🌸

Senyum lebar nan cerah menghiasi wajah Komori yang siang ini baru saja kembali ke kantor. Ucapan selamat pun berdatangan ke arahnya membuatnya sedikit salah tingkah namun juga merasakan perasaan suka cita yang bergejolak dalam diri.

“Selamat ya Mori! Keren udah sarjana nih yaaa?” goda Iizuna, salah satu seniornya di kantor yang juga alumni kakak tingkatnya di kampus.

“Aamiin kak! Belum nih jan belum yudisium!”

“Tapi kan kalo kata angkatanku ‘unofficial’ sarjana. Nanti caption-nya tiga perempat sarjana,” tambah Kuroo sembari bercanda yang diaambut dengan tawa renyah dari mereka bertiga.

“Eh, apa itu??” tanya Iizuna tiba-tiba. Penasaran akan apa yang ditanyakan oleh lelaki tersebut Kuroo pun ikut melongok untuk melihat tangan Komori yang penuh akan berbagai macam jenis totebag makanan.

“Ah! Iya karena kak Iizuna bilang! Ini kaak ada banyak hadiah setelah lulus sidang hari ini! Karena ada banyak banget makanan aku bawa aja buat temen-temen kantor!”

Kedua pasang mata tersebut kemudian berbinar penuh antusiasme. Dengan kompak Iizuna dan Kuroo pun menepuk kasar punggung Komori, membuat lelaki yang paling muda itu mengaduh karena kaget. “Gitu doong jadi Junior! Makasih ya Mori!”

“Kalo gitu workload kerjaanku bisa dikurangi ga kak?” candanya dan mereka pun kembali tertawa sembari membagikan bingkisan makanan ataupun minuman tersebut kepada seluruh penghubi kantor.

🌸🌸🌸

“DOR!”

“AYAM AYAM!”

Yukie memberengut tidak suka, ia bawa badannya menutar bersamaan dengan kursi tempatnya duduk untuk melihat Komori yang sudah berdiri di belakangnya dan tertawa lebar. Gak lucu, tapi yang ketawa lucu

“Halo kak! Fokus banget sampai ga tau aku dateng,” sapanya sebelum kemudian mengambil duduk di meja kantornya—tepat di sebelah wanita itu.

“Maaf ya, aku ga ada waktu untuk memperhatikan sekitar,” jawabnya sebelum kemudian kembali bekerja. Tanpa Komori sadari ada seutas senyum simpul di wajah manis miliknya, paling tidak sekarang Yukie sudah dapat fokus pada pekerjaannya tanpa pikiran yang melalang buana entah kemana.

“Jahat banget, aku kira bakalan antusias kan ga ketemu aku seminggu,” rengek Komori membuat Yukie tertawa kecil, “Maaf ya, pikiran aku isinya bukan kamu,” ujarnya sembari berbohong pdahal sendari tadi ia tidak dapat fokus bekerja.

“Iya iya, maaf juga karena aku ga sespesial itu, ga kayak mastabak spesial,”

Mendengar balasan Komori tersebut membuat Yukie hampir tersedak ludahnya sendiri. Demi apapun rasanya sudah lama sekali ia tidak mendengarkan celotehan-celotehan random dan balasan yang selalu ada untuk dirinya. Mungkin prinsip hidup Komori adalah sandang, pangan, dan punchline.

“Oh iya, gimana sidangmu?” tany Yukie yang tiba-tiba menghentikan pekerjaannya untuk menatap Komori.

Lelaki yang lebih muda itu hanya bergumam dengan raut wajah kecewa, “Ayolah kak seminggu gak ketemu justru langsung nanyain sidangnya,” keluhnya membuat Yukie tertawa kecil.

“Paling ngga aku penasaran nih, jarang-jarang loh,” jelasnya sembari tersenyum membuat Komori sedikit membulatkan mulutnya terkejut.

Wanita bersurai salem tersebut dapat melihat Komori yang terlihat salah tingkah untuk sepersekian detik, dengan rona merah di kedua pipinya dan suara yang sedikit parau. Lucu sekali.

Namun itu hanya berselang beberapa detik saja sebelum Komori mampu mengontrol dirinya kembali dan menceritakan dengan antusias bagaimana seminggu terakhirnya.

Alasan mengapa dirinya yang harus izin karena harus mengurus berkas-berkas pendaftaran sidang di kampus, bagaimana ia harus tetap revisi hingga sakit selama menunggu sidang dan banyak macamnya.

Yukie hanya diam mendengarkan, karena ia percaya dan yakin Komori adalah sosok yang tangguh, terlepas semu hambatan dan cobaannya lelaki itu pasti akan berusaha sangat kuat menyelesaikan masalahnya dan melaluinya. Satu sisi yang membuat Yukie kagum kepada lelaki itu adalah kebulatan tekad dan keteguhan hatinya.

“Ah iya! Aku jadi inget!”

“Apa?”

Dari tempatnya ia duduk, Yukie sedikit mengintip dari belik punggung lebar milik Komori yang nampak tengah mencari-cari sesuatu di balik tas miliknya. Tidak menemukannya, Komori pun mencari-cari dari salah satu totebag yang masih ia bawa sebelum kemudian mengeluarkan sesuatu dari sana sebelum kemudian mengeluarkan sebuah bingkisan berwarna cokelat berukuran sedang untuk Yukie.

“Apa ini?” tanya Yukie.

“Hehe…, hadiah kecil dari aku kak! Aku udah janji ke diri sendiri kalo lulus sidang bakalan ngasih hadiah ke kak Yukie!”

“Ke aku? Kenapa?”

Pertanyaan sederhana yang dilontarkan Yukie tersebut kembali membuat Komori salah tingkah. Sementara lelaki di hadapannya itu hanya bisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bingung bagaimana ia menjelaskannya agar intensinya tidak berakhir dengan salah paham.

Sementara itu di tempatnya ia duduk, Yukie diam sembari menunggu. Dipeluknya erat-erat bingkisan tersebut seakan berusaha menahan degup jantungnya yang berpicu cepat. Pikirnya mengatakan pada dirinya untuk tidak salah paham, di sisi lain hatinya seakan terus berharap kepada hal lain.

“Itu… ucapan makasih kak… karena kak Yukie udah ngebimbing aku selama magang… sama… uhm… hadiah perpisahan aja… karena minggu ini minggu terakhirku juga di kantor kak,” jelas Komori

Ada jeda singkat untuk beberapa detik, seketika kesunyian dan kecanggungan menyergap di antara mereka. Yukie bingung menjawab apa tapi ia dapat merasakan bagaimana seakan semua harapnya berubah menjadi ratap dan kekecewaan.

Satu kata sederhana yang ia lontarkan untuk dirinya, Oh… meski demikian ia tetap tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada Komori.

Memang sendari awal untuk apa dirinya berharap

🌸🌸🌸

💫💫💫

Sudah hampir satu jam berlalu lamanya—kurang lebih satu setengah jam berlalu dari liga pertandingan Sendai Frogs yang baru selesai ia tonton—Hitoka menunggu seorang diri di depan gor voli kota Sendai. Jam menunjukkan pukul sembilan malam dan seseornag yang ia tunggu belum muncul juga. Tetapi apakah dari awal dapat dikatakan menunggu jika sendari awal tidak ada janji di antara mereka.

“Apa aku telpon Kei aja ya?” gumamnya pada diri sendiri dengan ragu. Kedua yangannya masih senantiasa menggenggam ponsel pintar miliknya yang menampilkan profil kontak Kei.

Berkelut dalam lamun dan bimbang Hitoka tersentak kaget manakala sebuah tangan menepuk halus punggungnya, membuat dirinya berjengit dan hampir berteriak. Namun semua tertahan saat mendapati sosok lelaki berambut pirang—tuan yang selama ini ia tunggu tengah berdiri tidak jauh dari tempatnya saat ini.

“Kei—! Kaget!” gerutunya, sementara itu Kei tidak banyak bicara ataupun membalas, mata hazelnya sibuk memerhatikan sekitar sebelum menghela nafas pelan.

“Kamu sendirian?” tanyanya yang dibalas anggukan pelan dari Hitoka—apakah Kei akan memarahinya?

Namun respon tak terduga datang dari sosok itu—alih-alih mengomelinya karena kecerobohannya Kei justru menghela nafas pelan, “Kamu sudah makan malam belum?”

Eh…?

“Be-belum…,”

“Ya sudah aku juga belum makan malam, sekalian, aku juga mau ngobrolin sesuatu sama kamu,”

“Ah! Iya!”

Meski masih dilanda kebingungan Hitoka tak bisa lagi menahan seringai bahagia dan perasaan senang yang seketika membuncah dalam dirinya—paling tidak Kei sudah tidak semarah kemarin dan tidak menghiraukannya—langkah kecilnya ia bawa untuk mengimbangi jalan lelaki jakung itu.

💫💫💫

Benak Hitoka masih menduga-duga, sekarang sudah pukul mendekati tengah malam tetapi lelaki jangkung di hadapannya itu masih belum saja berbicara sepatah kata pun kepadanya. Membuat Hitoka seakan menerka-nerka—meraba-raba—dibalik setiap perilaku dan perhatiannya terlepas jika memang benar lelaki itu masih marah kepadanya.

Bagaimana bisa Hitoka abai jika Kei masih memedulikan kesehatan dirinya—memakaikan mantel tebal miliknya di saat Hitoka hanya memakai kaos dengan outer tipis di tengah malam saat ini, tentang Kei yang memesankan semangkuk sup hangat untuk hidangan pembuka Hitoka serta secangkir cokelat panas. Bagaimana bisa Hitoka abai dan menutup mata akan semua perhatian dan kasih yang diberikan. Namun di saat bersamaan membuatnya ragu akankah afeksi ini semu dan hanya kebaikan semata dari Kei.

Tanpa ia sadari mereka sudah tiba di salah satu lapangan voli di salah satu sudut kota Sendai. Lapangan voli yang cukup luas dan Hitoka yakini di siang hari ada banyak warga kota bermain dan bersenang-senang di sini. Pikirnya semakin meraba-raba penuh praduga. Apa alasan Kei membawanya ke mari?

“Aku sering banget ke sini sama Kogane atau kak Kyoutani cuma buat latihan, ah kadang juga sendiri ke sini kalo udah larut malem karena suasanya nenangin sih,” jelasnya.

Hitoka hanya diam mendengarkan, dirinya sepertinya sudah tau ke mana arah pembicaraan ini akan bergulir itulah sebabnya ia tak memiliki niat untuk mengintrupsi. Hitoka menarik nafas dalam-dalam, mempersiapkan diri dan hatinya.

“Aku suka di sini, karena kalau aku lagi kalut atau kepikiran banyak hal pemandangan lapangan voli yang sepi dari hiruk pikuk orang-orang seakan memberiku rasa rileks…,”

“…kayak ah… aku sendiri di sini bermain voli…, ternyata aku sesuka itu ya sama bola voli,”

Kei menghela nafas pelan sementara itu Hitoka masih saja diam mendengarkan dengan seksama. Ini adalah pertama kalinya bagi Hitoka melihat sisi rapuh dari Tsukishima Kei—bagaimana lelaki itu menolak untuk beradu pandang dengannya dan memilih untuk menatap hamparan permadani langit berbintang malam ini.

“Tapi beberapa hari terakhir aku kepikiran… pada akhirnya rasa sukaku pada bola voli ngga akan membuatku berkembang, aku akan selalu kalah… oleh mereka yang jenius… oleh mereka yang haus diri…,”

Dan sepertinya Hitoka mengerti ke mana arah bicara lelaki itu.

“Dari sebatas bermain voli aku sadar memang sendiri awal aku akan selalu kalah… karena akan selalu ada orang yang lebih dari aku di luar sana,”

“Kei…,”

Sepasang manik caramel milik Hitoka menatap lamat-lamat figur Kei yang menatapnya lekat sembari membelakangi pemandangan lampu-lampu kota Sendai di balik punggung bidangnya. Jika boleh jujur, tidak ada yang lebih romantis dibandingkan sosok Kei saat ini—akan tetapi raut wajah dan riak di setiap kata yang diucapkannya menandakan kepedihan serta kekecewaan mendapam yang Hitoka tak tau untuk apa dan dari mana.

“Hitoka…, kalau boleh jujur… bagiku rasa sukaku kepadamu itu sama seperti rasa sukaku ke pada voli—tidak terdengar romantis memang… tapi aku menyukaimu sampai akhirnya aku sadar aku telah kalah untuk mendapatkanmu…,”

Sosok Kei berjalan mendekat ke arah Hitoka yang masih diam terpaku di posisinya. Tangan kanannya bergerak dengan lembut dan perlahan merapikan anak-anak rambut Hitoka yang berantakan akibat hembusan angin malam.

Sementara itu, Hitoka menatap sosok Kei dengan tatapan tidak percaya, entah mengapa air mata tiba-tiba mengalir dari sudut matanya membuat Kei yang melihatnya pun menjadi panik.

“Ah… maaf… aku tidak bermaksud menangis…,” ujarnya sembari menahan tangan Kei yang berusaha mengusap air mata miliknya.

“Kamu… sedih…?” tanya Kei pelan. Hitoka pun segera menggelengkan kepalanya kuat-kuat, dirinya tidak ingin kesalahpahaman ini terus berlanjut.

“Aku senang, terlampau semang sampai air mataku keluar,” jelasnya terbata-bata, dirinya dapat merasakan hidungnya yang seketika mampet begitu saja—oh sungguh tidak keren!

“Kei… kalau begitu aku tanya… kenapa kamu merasa tidak pantas menyukaiku?” tanyanya yang membuat Kei bergeming.

Dapat Hitoka lihat rona kemerahan yang menghiasi sudut pipi lelaki di hadapannya, menggemaskan, tanpa sadar pemandangan tersebut sukses menorehkan seutas senyum kecil di wajah Hitoka.

“Aku ngerasa kamu lebih layak buat dapat orang yang lebih memperjuangkanmu… dan lebih baik aja…,”

“Lalu apa yang kamu berpikir kamu bukan orangnya?”

Rona merah muda di kedua pipi Kei semakin kentara dan melebar hingga ke ujung telinganya. Ugh… rasanya malu sekali… dirinya tidak ingin mengakuinya…

Bahkan di saat seperti ini harga diri Kei masih terlalu tinggi untuk terluka dan tidak mau kalah. Melihat lelaki jakung itu salah tingkah membuat satu tawa kecil terlepas dari bibir mungil Hitoka.

“Tanpa kamu sadari sisi yang gamau kalah dengan harga diri setinggi gunung ini yang bikin aku suka sama kamu…,”

Sepasang tangan kecil Hitoka pun bergerak untuk menangkup wajah Kei, membuat lelaki itu untuk memandang ke arah wajahnya. Lucu sekali jika melihat posisi mereka dengan tinggi yang selisih kurang lebih tiga puluh senti di antar mereka. Seakan Hitoka tengah menenangkan bayi besar yang tengah merajuk.

“Dari dulu aku sadar kalau Tsukishima Kei adalah orang yang tidak pernah mau kalah…, walau dia terlihat tidak peduli tetapi dia akan terus berjuang sampai akhir… dan sekarang kamu bilang kayak gitu… bukannya itu berarti kamu juga memperjuangkanku alih-alih meninggalkanku begitu saja tanpa kejelasan? Kamu justru memilih datang ke padaku dan menjelaskan semuanya padahal kamu bisa banget menghiraukanku,”

Kali ini Kei yang terdiam membisu menjelaskan perkaraan Hitoka barusan. Pikirnya dilanda seribu tanya menatap sepasang mata caramel yang beradu pandang dengan manik hazel miliknya. Kenapa Hitoka tidak marah?

“Kenapa kamu nggak marah…? Aku kan udah nyuekkin kamu…,”

Dan kali ini Hitoka terkekeh pelan, “Gimana aku bisa marah kalau kamu selalu memberikan penjelasan? Kei… aku ngga seegois itu..,”

“Gimana aku bisa marah? Kecewa? Kalau kamu selalu berusaha buat aku? Justru kadang aku mikir aku yang kurang buat kamu…,”

Hitoka mencubit pelan kedua pipi milik Kei—gantian karena biasanya lelaki itu yang sering melakukannya hingga menyisakkan bekas merah di kedua sisi wajahnya.

“Jadi… aku ada salah apa sampai-sampai kamu nyuekkin aku dan mikir gitu Kei? Aku mau minta maaf ke kamu tapi aku gatau salahnya apa,”

Dan wajah Kei pun kembali bersemu merah—ah tidak harga dirinya sangat tinggi dan ia tidak ingin harga dirinya terluka hanya karena ia menyatakan dirinya cemburu karena Hinata.

“Shoyou?”

Sial! Apa tadi dia menggumamnya terlalu keras?!

Dan Kei pun mengangguk pelan.

Hitoka bukanlah gadis yang bodoh, otaknya pun seketika bekerja mengelola informasi yang didapatkan sebelum akhirnya bibirnya menganga sempurna. Mengeluarkan satu gumam ‘oh’ pelan seakan baru saja mendapatkan pencerahan.

“Kamu… kesal karena aku datang ke latih tanding Shoyo! Keiiii maaafff aku ga maksud gitu,” jelasnya gelagapan.

“A-aku… mau mau aja ke latih tandingmu… tapi tapi… nanti aku ditanya… aku siapamu… aku malu… dan bingung menjelaskannya…,”

“Memangnya waktu ke Hinata kamu ga ditanyain?”

“Tapi kan aku bisa jawab Hinata cuma teman…”

Ucapnya pun tertahan, sekarang gantian raut wajah Hitoka yang berantakan dengan rona merah di seluruh wajah.

“…ka-kalau kamu kan beda…,” cicitnya pelan.

Melihat Hitoka yang salah tingkah, menurutkan tangkupan tangannya di kedua sisi wajah Kei, dan menolak menatapnya entah kenapa meninggalkan seringai jahil di wajah sang tuan.

“Memang bedanya apa?” tanya Kei

“Ih kok kamu nanya gitu?!”

Hitoka ingin protes. Namun tepat di saat ia mengangkat wajahnya untuk kembali menatap Kei ia sudah mendapati sepasang manik hazel yang menatapnya lekat dan serius—membuatnya semakin salah tingkah karenanya. Malam hari ini cukup dingin baginya tetapi kenapa wajahnya terasa panas?

Hitoka salah tingkah, salah kaprah, dirinya pun tak bisa melanjutkan kalimatnya kembali.

Meski demikian Kei tetap diam bergeming, seakan menunggu jawaban dari Hitoka yang masih saja tak menjawab. Gadis mungil itu pun berusaha mati-matian menahan degup jantung yang berpacu cepat dan kencang. Membuatnya khawatir apabila Kei dapat mendengarnya.

“Ka…karena aku suka kamu…—“

Tepat sebelum Hitoka berhasil melanjutkan kalimatnya dirinya dapat merasakan bibir milik Kei yang mengecup miliknya. Pelan… dan juga lama. Tidak ada nafsu di sana, hanya sebuah kecupan namun entah mengapa memberikan jawab serta kepastian bagi dirinya yang beberapa hari terakhir dilanda keraguan.

Ya, tidak ada yang Hitoka butuhkan lagi selain Kei… dan hanya sosok Hitoka yang layak diperjuangkan bagi Kei

💫💫💫

Malam itu bulan dan bintang pun menjadi saksi bisu ikrar akan perasaan dua insan serta cerita di antara Hitoka dan juga Kei

💫💫💫

⭐️⭐️⭐️

“Yacchan!”

“Kak Tanaka! Kak Kiyoko!”

Gadis mungil bersurai pirang itu pun menghampiri kedua seniornya tersebut. Langkah kakinya kecil-kecil walau ia tengah berlari, begitu menggemaskan nan serasi dengan tubuh mungilnya.

Wanita berambut pendek itu pun dengan segera memeluk akrab Hitoka—penuh kerinduan yang takkan terkira seberapa besar dan dalamnya—sementara itu, Hitoka hanya terkekeh membalas pelukkan Kiyoko—kakak kelas kesayangannya selama di klub voli dulu.

“Hitoka-chan! Akhirnya kamu balik Miyagi! Kangeeeen,”

“Heheh iyaa kak! Aku juga kangeeen!”

Kerinduan yang saling bersambut dati sebuah tukar sapa salam yang sederhana. Hitoka beralih ke arah Tanaka—Ryuunosuke karena dua orang di hadapannya saat ini adalah ‘Tanaka’—menyalami dan memberi sebuah tos penuh semangat, rasanya sudah lama sekali ia tidak melakukannya. Dirinya jadi teringat bagaimana dulu ia begitu takut menerima tos dari seniornya di klub voli tersebut.

“Hitoka sama siapa? Tsukishima mana?” tanya Kiyoko sedikit kebingungan, pasalnya cukup aneh melihat adik kelas jesayangannya itu ‘berkeliaran’ seorang diri. Mengingat sejak kelulusan Kiyoko ia sudah sering melihat bagaimana duo pirang Karasuno ini selalu bersama.

Sementara itu yang ditanya hanya tertawa canggung sembari memggaruk belakang kepalany yang tidak gatal, “Ahaha… Kei nyusul kak…, katanya dia masih ada jaga museum…,”

“Oh gi—“ || “KEI?!”

Ucapan Kiyoko tertahan karena lelaki di sebelahnya itu sudah buru-buru berteriak—membuat mereka pun seketika menjadi pusat perhatian orang-orang di studio—Kiyoko pun cepat-cepat menyikut perut Ryuunosuke, membuat lelaki yang lebih mudah itu mengaduh dalam sakit.

“Ryuu, ih jangan malu-maluin!”

“Habisnya… kaget manggil si Tsukishima pakai nama belakang…,”

Ryuunosuke pun menolehkan pandangannya ke arah Hitoka, “Sejak kapan kalian dekat?” membuat gadis itu sedikit membelalakan matanya tidak percaya dan Kiyoko hanya bisa menutup sebagian wajahnya—kembali menahan malu.

“Ih aku kan dulu pernah cerita!”

Melihat interaksi kedua seniornya tersebut entah mengapa sedikit meninggalkan rasa iri dalam diri Hitoka—membuatnya kembali bertanya-tanya, apakah dirinya dan Kei dapat seperti mereka? Sampai kapan mereka seperti ini terus? Dan… sebenarnya, hubungan mereka sendiri itu apa…?

Sementara itu Kiyoko yang menyadari kemurungan hati juniornya itu pun segera memeluknya—tanpa banyak bicara ataupun kata diantara mereka—berharap pelukan tersebut dapat sedikit menenangkannya.

“Eh? Uh? Kak Kiyoko?”

“Semoga dengan ini kamu sedikit membaik ya Hitoka, duh masa adik kelas kesayanganku murung gini,”

Mendengar ucapan tersebut entah mengapa memberi setitik rasa hangat di hatinya, binar mata yang semula meredup pun kembali memancarkan pijarnya—begitu hangat nan bersemangat. Hitoka tersenyum lebar menampilkan gigi berserinya.

Hatinya sedikit merasa tenang

“Makasih kak Kiyoko!”

“Ehehe! Kalo gitu ayo kita foto duluu aku mau pamer ke yang lainnya nih!”

⭐️⭐️⭐️

Tepat waktu

Lelaki berbadan jakung itu pun dengan segera mengamankan kursi penonton di areal tribun untuk diriny dan kedua teman lainnya. Jemarinya dengan lincah mengirimkan beberapa patah pesan singkat disertai dengan foto di mana dirinya berada. Setelah selesai, fokusnya pun teralih pada majalah profil pemain kedua tim yang hari ini tengah berlaga.

Dengan tangan kanan yang menopang dagu dan tangan kiri membolak-balikkan halaman demi halaman. Seutas senyum tipis terukir saat ia membaca beberapa nama familiar—terkhusus pada salah seorang pemain dengan rambut jabrik dual warna, Bokuto Koutaro—senior yang mengajarinya tentang arti bermain bola voli dan mengenalkannya pada kesenangan 120% bermain bola voli. Terima kasih kepada Bokuto (walau Kei enggan mengingat betapa koplaknya lelaki itu) ia bersyukur dapat mengenal sosok itu.

Tangan kirinya kembali membalik lembar majalah tersebut—seutas senyum di wajahnya sedikit memudar, seakan ada perasaan berkecamuk dalam dirinya—betapa ia merasa iri dan juga cemburu walau ia tahu itulah pilihannya dan dirinya tidak bisa menjadi sosok tersebut.

Pada akhirnya dirinya yang memilih untuk tidak berjuang, lucu sekali memang Tsukishima Kei

Ia menghela nafas pelan, ditutupnya kembali majalah tersebut—paling tidak ia berhasil menata hati dan dirinya—setelah ini ia akan meminta maaf kepada Hitoka, dan mungkin memberi kejelasan—membuat gadis itu kemudian bisa memilih pilihannya sendiri—dan dirinya sangat sadar apabila memang bukan dirinya karena bukan ia yang terbaik.

Dari awal dirinya memang sudah kalah

Matanya sedikit melirik saat suara familiar menyapa telinganya, mendapati sosok Yamaguchi dan Hitoka yang baru saja tiba. Dirinya tidak mengucap sepatah kata dan masih bergeming dalam posisinya.

“Sudah lama menunggu Tsukki?”

“Tidak juga,”

Yamaguchi dan Hitoka pun mengambil duduk mereka—mengerti akan suasana cukup canggung dan ‘dingin’ di antara kedua rekannya Yamaguchi hanya bisa diam sembari bertanya-tanya dalam hati.

Sementara itu Hitoka—sejujurnya ia paling tidak suka ketika Kei tengah diam seperti ini—ia selalu mengetahui jika lelaki yang sudah cukup lama menemaninya ini adalah sosok yang serius dan jika boleh jujur ia lebih suka Kei mengomelinya dengan ucapan pedas dibanding diam seribu bahasa karena tandanya sang tuan pasti tengah teramat sangat kesal padanya.

Ia harus dapat bicara dengan Kei setelah ini sebelum kembali ke Tokyo

Karena jujur saja ia tidak kuat jika Kei harus mendiaminya seperti ini…

“Nanti kalian mau ngga ketemu Hinata sama Kageyama?” tany Kei kepada dirinya dan Yamaguchi, pandangannya masih berfokus pada lapangan yang saat ini masih kosong—masih dengan posisi berpanhku tangannya.

“Eh? Emang bisa?” tanya Yamaguchi.

“Bisa, sebagai salah satu pemain laga divisi 2 tentu saja aku memiliki akses dan juga—,”

Kalimatnya tertahan sebelum kemudian jemari lincahnya seakan mengetikkan sesuatu di ponselnya, “Kak Kuroo yang menawarkannya,”

Tentu saja tawaran itu disambut dengan binar antusiasme dari Hitoka dan juga Yamaguchi. Mereka berdua menganggukkan kepala mereka penuh semangat dan Kei sudah menduga respon tersebut.

Seutas senyum tanpa sadar terukir di wajahnya—walau di sisi lain diri dan hatinya masih sangat lesu—paling tidak ia tidak ingin melihat wajah bersalah dan takut Hitoka yang menyadari perubahan suasana hatinya beberapa hari terakhir. Mungkin dengan mempertemukan mereka berlima dan membuat sedikit reuni kecil bisa meningkatkan suasana hati sang puan.

Sementara itu mata jeli Hitoka menangkap seutas senyum tipis penuh beban dari Kei yang sangat samar tersebut—empat tahun lebih mengenal lelaki tersebut Hitoka sudah hafal betul gerak geriknya. Kei adalah pembohong yang payah di mata Hitoka.

Sore itu baik dalam diri Kei maupun Hitoka tertinggal residual emosi yang berkecamuk dan rasa ingin melepaskan atapun menggandeng lengan masing-masing. Di mana Hitoka tidak ingin Kei terus-terusan lari darinya namun di satu sisi Kei merasa sudah tidak perlu lagi menahan Hitoka jika memang gadis itu yang memilihnya untuk pergi.

⭐️⭐️⭐️

🌙🌙🌙

“Tsukki! Ayo bantu latihan blocking!”

Malam itu Sendai Frogs baru saja selesai melangsungkan latih tanding bersama salah satu tim dari Okinawa dan mereka berhasil memenangkan tiga set pertandingan dengan hasil yang cantik, menang dua kali berturut-turut pada dua set terakhir. Terlepas dengan selisih poin yang tidak cukup jauh—paling dengan latih tandingbsaat ini mereka bisa menyusun banyak strategi—mencoba banyak komposisi tim—dan bahkan bertemu spiker dengan gaya yang berbeda, Kei belajar banyak dari latih tanding saat ini.

Diusapnya peluh yang menetes dari ujung pelipisnya. Sembari beristirahat sejenak sebelum memasuki sesi latihan bebasnya, Kei sibuk mencari-cari gawai miliknya untuk sekadar membuka pesan singkat ataupun aplikasi media sosial miliknya. Selama sesi latihan ponselnya akan selalu berada di mode DND (do not distrub) sehingga terkadang ada cukup banyak pesan singkat yang tak bisa ia balas atau terlewat begitu saja.

“Eh Tsukki, Shoyou pacaran kah sama manager Karasuno?”

“Hah?”

Kedua alis lelaki bersurai pirang itu bertaut dengan pandang sejuta tanya kepada rekan timnya dengan jambul selayaknya animasi burung pemarah tersebut. Dirinya kebingungan begitu pula yang bertanya kepadanya.

“Siapa? Kalo kak Kiyoko setauku sudah nikah sama kak Tanaka,” jawabnya singkat.

Sebenarnya ia tau—jawabnya adalah Hitoka—tapi entah mengapa hati kecilnya ingin menolak, lucu sekali memang, pacar saja bukan tapi entah mengapa ada perasaan berkecamuk tak menentu dalam hatinya.

“Bukan, bukan, tapi yang cewe mungil pirang itu,”

Dan sebenarnya jawabannya cukup sederhana tapi entah mengapa lidahnya terasa kelu untuk mengatakannya.

“Emangnya kenapa?” alih-alih menjawab dirinya justru bertanya balik.

Lelaki dengan jabrik ayam itu duduk berjongkok di hadapan Kei, jemarinya lincah bermain-main di atas layar pipih ponselnya sebelum kemudian menyodorkan salah satu postingan yang baru saja terunggah—tidak terlalu lama, sekitar dua jam lalu. Postingan yang menampilkan akun Hitoka di mana ia nampak baru saja selesai mendampingi Hinata latih tanding—ditambah dengan postingan ‘iseng’ Hinata seolah sedikit me-reveal kepulangannya ke Jepang.

Alih-alih memberikan jawaban ataupun penjelasan, lelaki jangkung itu pun bangkit dari duduknya—menepuk pundak rekan setimnya, “Yuk latihan,” suatu cara klise yang selalu ia lakukan untuk menghindari percakapan yang tidak ia suka.

Tetapi yang jelas terdapat rasa berkecamuk dalam diri Kei—sangat membucah dan ia tidak menyukainya, entah mengapa membuat dirinya merasa begitu sesak dan juga kesal.

🌙🌙🌙

Tanpa perlu ia ketahui, bahwa perasaan berkecamuk itu adalah cemburu

⭐️⭐️⭐️

“Atas nama Yachi Hitoka,”

“Eh—?”

Seketika pandangan Hitoka seketika menggelap, meski demikian tidak ada rasa ragu—justru perasaan familiar menghinggapi hatinya manakala ia menghirup aroma parfum yang ia rindukan—dan dapat ia rasakan tumpuan badan yang dua kali lipat lebih berat dari dirinya.

“Keiii! Berat!”

Suara tawa renyah yang hanya bisa ia dengar di seberang ganggang telepon itu pun seketika menggema dan terngiang dalam hatinya. Akan selalu Hitoka abadikan agar tak lekang oleh waktu.

“Kamu baru sampai?”

Diturunkannya tangan berat sang tuan, membuat sosok lelaki itu seakan tengah merangkul sang puan dari belakang. Baik Hitoka maupun Kei tidak ada yang mempermasalahkan gestur tersebut. Layaknya mereka sudah familiar akan satu sama lain.

“Iya, baru aja. Kebetulan liat kamu yaudah aku jailin aja,” dan dicubitnya pinggang berotot sang tuan. Membuat lelaki itu mengaduh—tetapi bukan dalam sakit ataupun rintih—melainkan dalam geli.

Sepasang sejoli itu pun melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam restoran. Malam itu nampak begitu syahdu dengan redup sinar rembulan dan bintang yang menghiasi cakrawala.

⭐️⭐️⭐️

“Kamu mau macaroons buat di bawa pulang ngga?” tanya Kei kepada Hitoka sembari membayar bill pada kasir, gadis itu mengangguk dengan seutas senyum lebar yang membuncah, “Boleh!”

Satu jawaban singkat itu membuat Kei terkekeh kecil, menambahkan satu bundle macaroons ke dalam tagihan mereka, “Kamu udah abis dua cake nambah macaroons, sebelum tidur jangan lupa sikat gigi ya,”

“Ih iya iya emangnya aku anak kecil?!”

Lelaki jangkung itu tak menghiraukannya, diambilnya tas bahu milik sang puan, mengabaikan barang-barang miliknya yang juga cukup banyak seakan beban-beban tersebut sudah bukan apa-apa lagi baginya. Walau Hitoka nersusah payah untuk melarangnya namun lelaki itu jauh lebih keras kepala dibanding dirinya (dan tentu saja Hitoka sudah sangat mengenal tabiatnya). Dirinya pun memilih untuk mengalah.

“Habis ini mau ke mana?” tanya Kei sembari menggandeng tangan sang puan, mengaitkan jemari mungil gadis itu pada miliknya untuk saling berbagi kehangatan. “Mau ke supermarket dulu ngga? Banyak bahan-bahan yang habis soalnya,”

“Boleh”

Di bawah sinar rembulan dan gemerlap para bintang, mereka bergandengan tangan sembari berbincang mesra. Kei tidak banyak bercerita karena baginya tidak ada yang lebih menarik dibanding dengan mendengarkan cerita milik Hitoka. Binar matanya seakan nampak lebih berkilau dibanding semua bintang malam ini.

⭐️⭐️⭐️

💫💫💫

Gadis mungil bersurai pirang itu nampak sibuk mencari-cari kabel earphone miliknya. Seakan diburu dengan waktu yang tidak mau ia lewatkan begitu saja, dan benar saja, tepat beberapa detik setelah ia menghubungkan earphone miliknya dengan ponsel pintarnya sebuah panggilan masuk dari salah satu kontak yang notifikasi pesan singkatnya selalu ia tunggu setiap harinya—nama kontak yang sejak empat tahun terakhir muncul dan disematkan paling atas olehnya—muncul. Tanpa ragu, jemari mungilnya menggeser icon telepon berwarna hijau untuk menerima panggilan tersebut.

Walau bertukar pesan via suara ini sudah sering mereka lakukan, entah mengapa defup jantung miliknya seakan berpacu lebih cepat selayaknya pertama kali mereka melakukannya—suaranya pun sesekali terdengar ada sedikit getar kegugupan di sana.

“Ha…halo…,”

Dan terdengar satu kekehan renyah yang cukup panjang dari seberang sana.

“Kamu itu lucu ya…, udah sering telpon masih aja gugup,”

Ucapan sang tuan sangat tidak membantu meredakan degup jantungnya yang berpacu cepat, justru menambah kecepatannya menjadi dua kali lipat tak karuan dari sebelumnya.

💫💫💫

Jika kalian bertanya awal mula dari semua kisah (dan mungkin kasih juga) yang terjalin di antara mereka, semua berawal dari di suatu siang Hitoka tengah mengunjungi salah satu pameran yang tengah dilangsungkan di pusat kota Sendai—seorang diri—pada tahun ketiganya SMA. Ia ingin menikmati waktunya seorang diri, membebaskkan diri dari kesibukkan belajar dan klub yang kadang kala menjemukkan.

Hitoka kala itu tengah sibuk memerhatikan sekitar hingga sepasnag netranya menangkap sosok figur familiar yang mengisi hari-harinya sepanjang pulang sekolah selama tiga tahun terakhir. Tanpa ragu langkah kecilnya ia bawa untuk menghampiri sosok tersebut.

“Tsukki!”

Sang tuan pemilik nama itu pun menoleh manakala mendengar suara familiar memanggil namanya.

“Hitoka-san?”

Raut wajahnya nampak sedikit bingung—tidak menyangka akan bertemu seorang yang ia kenal di pameran seperti ini. Tetapi ia adalah Yachi Hitoka, masih masuk akal ia melihat sosok managernya tersebut alih-alih duo pasangan idiot.

“Tsukki juga ke sini rupanya! Sama siapa?” tanya sang gadis berbasa-basi, “Aku sendiri, Hitoka-san sendiri bagaimana,”

Gadis itu tersenyum simpul, “Aku juga sendiri hehe,”

Keheningan seketika menyeruai di antara mereka—entah mengapa seakan kehabisan topik mengobrol—tolong jangan salahkan Hitoka. Walau dirinya sudah mengenal sosok lelaki jangkung di hadapannya kurang lebih tiga tahun namun dirinya acapkali mendapati kekikukkan setiap mengobrol dengannya.

Mengerti akan kekikukkan di antara mereka, Kei pun menawarkan Hitoka untuk keliling pameran bersama—yang tidak akan pernah Hitoka duga tiba dari bibir lelaki itu—tapi tawaran tersebut tentu saja ia sambut dengan senang hati.

“Boleh!”

💫💫💫

Bermula dari sebuah pertemuan tanpa disengaja yang kemudian membawa kisah mereka saat ini dengan penuh sengaja—mereka yang menginginkannya, untaian kisah yang terjalin karena pilihan penuh atas kesadaean mereka membawa kasih melalui cerita yang dibagikan.

Di mana dulu mereka beberapa kali menghambiskan waktu bersama—hanya berdua—untuk belajar di perpus atau bahkan menemani Hitoka berbelanja. Hingga beberapa tahun terakhir dihabiskan dengan obrolan malam hari via telepon hingga salah satu di antara mereka tertidur atau Kei yang sesekali bertolak ke Tokyo untuk menghampiri Hitoka.

“Gimana? Kamu kemarin mau cerita apa? Maaf ya kemarin ga bisa telpon soalnya latihan seharian”

“Ah iyaaa gapapa! Kamu gimana latihan hari ini?”

Kei tidak bercerita banyak—ia hanya menceritakan beberapa hal secukupnya—tapi Hitoka tetaplah Hitoka, yang selalu antusias mendengar cerita dari rekan bicaranya, haus akan tanda tanya yang berhasil membuat Kei menceritakan banyak hal, satu hal yang cukup jarang terjadi tapi bagi Hitoka sisi Kei yang seperti cukup menggemaskan.

“Heee… berarti sekarang kamu satu tim sama Kogane dan kak Kyoutani ya?”

“Iya,”

Dan Hitoka dapat mendengar satu decihan tak senang dari seberang sana, membuatnya terkekeh sedikit.

“Kamu kenapa sebel gitu?”

“Hah engga aku gak sebel, cuma agak capek aja membayangkan harus setim bersama mereka dalam jangka waktu cukup lama,”

“Kalo disuruh milih nih—mending sama Kogane dan kak Kyoutani, atau sama Hinata-Kageyama?”

Dan Hitoka pun bisa membayangkan wajah Kei memberengut tidak suka.

“Pilihan pertama, aku tidak mau satu tim dengan maniak bola voli yang bodoh itu,”

Jawaban Kei tersebut sontak mengundang gelak tawa dari Hitoka. Astaga jika Kageyama ataupun Hinata mendengarnya mereka pasti akan merasa sakit hati karena sahabat terbaik mereka mengkhianatinya.

Tapi seperti itulah Kei—ia adalah tipe orang yang tidak bisa mengungkapkan kasih sayangnya melalui seutas kata.

“Kamu gimana? Katanya minggu kemarin habis ketemu sama kak Akaashi, dalam rangka apa? Seingatku kalian tidak sekantor”

Dan kali ini adalah giliran Hitoka bercerita—dari seberang sana Kei dapat membayangkan binar mata penuh antusiasme dari Hitoka layaknya pijar bintang yang menghiasi langit malam—tanpa sadar dan tanpa terlihat sang puan, seutas senyum tipis tertarik di wajah dingin sang tuan yang senantiasa menampilkan wajah tanpa ekspresi dan kakunya tersebut.

“Ternyata tuh klien kantorku dari tempatnya kak Akaashi! Jadi kita meeting gituu buat bahas terms and conditions-nya gimana. Teruuus yaaa aku diajak makan sama kak Akaashi kamu tau gak ke mana?”

“Hmm… tempat sushi favoritmu?”

“Tet tooott!! Salah! Ini lebih surprising lagi!”

“Eh? Di mana emangnya?”

“Ke tempat makannya kak Osamu! Terus ketemu sama kak Kuroo dan kak Bokuto!”

Dari seberang panggilan sana wajah Kei nampak memberengut tidak suka—ia nampak sangsi—membayangkan keanehan apalagi yang akan terjadi hanya dengan mendengar nama Bokuto dan Kuroo.

“Mereka ga aneh-aneh ke kamu kan?” sontak pertanyaan tersebut membuat Hitoka tertawa lepas, “Astagaaa Kei!!!”

“Habisnya…, kalo soal kak Bokuto sama kak Kuroo gak bisa gak suudzon,”

“Engga engga! Kamu gausah khawatir!! Oh iyaa ngomongin mereka aku jadi keinget mereka sempet nanyain kamu loh! Nanya apa masih sering ketemu kamu sama yang lainnya atau engga,”

“Oh ya? Terus kamu jawab apa?”

Pertanyaan Kei entah mengapa membuat Hitoka penasaran, jarang sekali mendengar Kei nampak ingin tau akan jawabannya seperti ini. Atau mungkin karena yang bertanya di sini adalah orang yang ia kenal juga—rasa penasaran dan ingin tau itupun muncul dari dalam dirinya yang seringkali nampao acuh.

“Heuum… ya aku jawab kalau sekarang sudah jarang ketemu sih karena Hinata di Brazil, Kageyama latihan di pelatihan nasional. Tapi aku juga cerita sih kamu sama Yamaguchi masih sering ketemu karena satu kota—oh iya terus aku cerita kalo kamu kadang suka mampir ke Tokyo! Mereka bilang buat sesekali datengin mereka buat main voli bareng!”

Kei pun mendengus malas, “Gamau ah…, aku ke Tokyo buat liburan sama ketemu kamu—refreshing dari main voli, eh diajak main voli lagi,”

“Hahaha, tapi sesekali ga ada salahnya sih dicoba? Ya ga siih? Aku pengen liat kamu main voli lagi deh,”

Tiba-tiba ada jeda keheningan cukup lama yang menyeruak di antara mereka tepat setelah Hitoka melontarkan kalimat tersebut. Sadar akan perbuatannya ia pun dengan cepat-cepat meralatnya—agar tidak terjadi kesalahpahaman yang tidak diinginkan—tetapi Kei lebih cepat momotongnya.

“Oh ya? Kenapa kamu ga coba datang aja ke tryouts-nya Sendai Frogs sesekali?”

💫💫💫

🦋🦋🦋

Bagi para penumpang keberangkatan bandara udara Tokyo…

…dengan tujuan…

…diharapkan untuk segera memasuki ruang boarding…

Sepasang manik biru safir itu hanya bisa memandang dari balik jendela. Beradu dengan sang cakrawala, di antara mereka siapakah yang paling luas dan sulit tergapai jangkaunya… permadani biru yang membentang di atas sana dan misteri di balik atmosfernya atau perasaan yang tersembunyi di balik netra sekelam lautan itu.

Dara ayu itu hanya diam termenung, pandangnya mengabur jauh, angannya entah berkelana ke mana. Dari tempatnya ia berdiri ia masih dengan sabar menunggu, menunggu sang tuan untuk kembali.

Karena mereka telah berjanji untuk bersama

“Riko-chan? Ini kopernya aku bawa ke boarding ya?”

Gadis yang bernama Riko itu pun menolehkan kepalanya saat suara serak nan lembut itu memanggil namanya. Gerak samar dengan wajah sendu yang mengisyaratkan penantian panjang. Lelaki bersurai gondrong itu sangat paham betul perasaan gadis muda tersebut.

Tanpa banyak kata, hanya dengan sebuah anggukan kecil ia menjawab, mengiyakan bantuan lelaki itu.

“Geto-san…,”

“Ya?”

Ada jeda hening di antara mereka untuk sepersekian detik. Puan itu sudah memiliki susunan kata dan kalimat yang hendak ia lontarkan. Namun, entah mengapa lidahnya terasa begitu kelu, membuat tenggorokannya terasa kering seketika. Ia pun hanya bisa menelan ludah dengan kasar.

Gelagatnya nampak begitu gelisah. Bahkan orang-orang pun dapat merasakan kekhawatiran dan kecemasan sang gadis

Riko hanya bisa mengecap bibirnya yang seketika terasa kering. Untuk pertama kalinya, penantian panjangnya membuat dirinya merasa begitu cemas dan khawatir. Padahal selama ini tak pernah ada ragu sedikit pun yang terbesit di hatinya. Ia selalu yakin kepada sang tuan.

Tapi entah mengapa, hari ini, detik ini, ia merasa ragu, cemas, dan khawatir. Bagaimana jika sang tuan tidak bisa menepati janjinya? Apakah ia masih bisa bertemu dengan kasihnya? Apakah cintanya dapat menemukan jalannya untuk kembali pulang tanpa tersesat?

“Riko-chan…”

“Ya…?”

“Ayo… tarik nafas… ga usah khawatir, kamu tau sendiri kan dia bisa mengatasinya sendiri?”

Justru karena itu!

Karena ia terbiasa sendirian, itu akan semakin menbuatnya mengkhawatirkannya

“Geto-san… kenapa kamu bisa sangat percaya kepadanya…?” tanya Riko penuh ragu.

Lelaki itu tidak langsung menjawab, ada jeda cukup lama di antara mereka dan entah mengapa membuat dirinya merasa begitu sesak karena terlalu lama menunggu.

“Karena aku sahabatnya,” jawabnya penuh pasti dengan seutas senyum yang mengembang. Sepasang manik sebiru safir itupun beradu dengan manik sekelam langit malam yang nampak memancarkan binarnya.

Penuh keyakinan akan setiap ucap katanya dan mungkin hanya itu yang dapat mereka lakukan, ia hanya bisa yakin kepada sang tuan. Paling tidak itu yang akan membuatnya kasihnya tidak merasa sendiri.

“Kamu juga harus percaya padanya. Jika melihatmu menyedihkan seperti ini dia justru akan meledekmu sambil cengengesan,”

Yang dikatakan itu ada benarnya juga. Entah mengapa seketika dirinya dapat mendengar suara tawa renyah namun juga mengejek khas lelaki itu sebelum mengakhirinya dengan kalimat, ‘kamu tidak perlu khawatir karena akulah yang terkuat’

Sosok yang begitu percaya diri dan ekstrensik. Namun ucapannya tersebut pun seakan memberikan rasa aman dan nyaman, membuatnya percaya bahwa ia dapat mengandalkannya.

Gadis itu pun kembali menolehkan pandangannya, kembali menatap cakrawala biru di luar sana—mencari ketenangan untuk hatinya yang sendari tadi risau—ia pun hanya bisa berdoa dan percaya kepada kasihnya.

Karena dengan ia percaya maka sang tuan tidak akan merasa sendiri

🦋🦋🦋

Jika boleh jujur, sejujurnya Gojo Satoru tidak seyakin itu bahwa ia dapat memenangkan pertempuran kali ini. Semua perkataan dan kepercayaan dirinya hanyalah omong kosong semata. Agar murid-muridnya tidak lagi khawatir. Agar tidak ada lagi nyawa dan masa muda melayang sia-sia hanya karena kelalaian sistem jujutsu.

Pada akhirnya ialah hanya yang terkuat namun tak bisa melindungi apa-apa. Beban yang harus ia tanggung seorang diri. Paling tidak kedepannya, sistem jujutsu tidak akan mengandalkan kekuatan dirinya seseorang.

Jika yang terkuat telah mati maka generasi selanjutnya pun akan saling bahu membahu. Sehingga tidak perlu menanggung beban seorang diri. Jika yang terkuat telah mati maka mereka harus menjadi yang terkuat bersama-sama.

Tidak ada seringai ataupun kekehan kecil penuh ledek dari bibirnya. Hanya ada satu tawa sumbang penuh penyesalan serta kesengsaraan. Pada akhirnya semua harus berakhir, seperti ini.

Sebenarnya ia sudah menduganya sejak dulu, dan sudah mengantisipasinya. Tapi fakta bahwa ia mati seorang diri tentunya masih tetap menyakitkan untuk ia terima.

Pada akhirnya ia akan tetap sendiri

Sungguh akhir yang malang bagi dia yang dijuluki sebagai terkuat

Dan ia pun kembali terkekeh. Di akhir hayatnya, tepat sebelum belati sebesar semesta milik sang raja kutukan itu memotong ruang dan waktu Gojo Satoru berandai-andai.

Apakah dirinya menjadi yang terkuat karena dia Gojo Satoru? Ataukah ia Gojo Satoru karena dirinyalah yang terkuat?

Sebenarnya untuk apa ia menjadi yang terkuat jikalau dirinya tidak bisa melindungi sesutu yang berharga untuknya?

Pada akhirnya ialah yang terkuat namun akan terus merasakan kesendirian hingga akhir hayatnya…

Pada akhirnya ialah yang terkuat yang takkan bisa menyelamatkan sahabatnya dari relung jurang keputusasaan.

Ialah yang terkuat yang hanya bisa memeluk jasad dingin kasihnya.

Dan ialah yang terkuat… yang pada akhirnya hanya seorang diri…

Satoru pun bertanya-tanya, untuk apa dirinya jadi yang terkuat jikalau ia selaku gagal melindungi mereka yang berharga untuknya… menyisakan dirinya seorang diri?

Dan ia pun kembali terkekeh.

Di akhir hayatnya, dalam pandangnya yang kabur antara mana yang nyata dan juga semu… satu hal yang ia ingat adalah pemandangan seekor kupu-kupu dengan kepaknya yang berwarna kehijauan.

🦋🦋🦋

Tuan bersurai putih pucat itu mengeluh linglung mana kala satu tepukan hangat mendarat berulang kali di bahu lebarnya. Bias cahaya atrifisial terasa menyilaukan bagi sepasang netra sebiru langit itu, membuat dirinya merasakan pening untuk beberapa saat.

“Satoru…, ah! Untunglah kamu sudah bangun!”

Kepalanya masih terasa pusing, dengan susah payah ia kerjapkan beberapa kali matanya untuk memofuskan pandangannya.

“Aku… di mana?”

“Sekarang kita ada di bandara, ayo penerbangan kita habis ini berangkat!”

Seketika ia terkejap kaget mana kala stimulus otaknya sudah dapat mengurai informasi dari gelombang suara yang terdengar teramat sangat familiar namun juga asing di pendengarannya.

Sepasang netra dengan penglihatan yang tak pernah salah itu pun terbelalak kaget mendapati sosok yang berdiri di hadapannya—seorang yang baru saja membangunkannya—dengan lidah yang kelu ia pun bertanya,

“…Suguru…?”

“Ya?”

Layaknya tersetrum oleh lonjakan listrik Satoru pun terlonjak kaget, membuat Suguru sama terkejutnya dengan gerakan tiba-tiba lelaki itu.

Di mana dia? Kenapa dia ada di sini? Bukannya seharusnya tadi dia…

Tunggu…, apakah sekarang semuanya sudah selesai…?

“Ya Satoru, semuanya sudah selesai… untukmu,”

Manik biru tersebut masih membulat sempurna tak percaya. Untuk sepersekian detik, sebelum akhirnya Satoru mengedipkan matanya berulang kali dan menghela nafas pela. Ia pun merasa sedikit lega.

Paling tidak semuanya sudah selesai untuknya… untuk saat ini…

“Apakah hanya ada kita berdua di sini?” tanyanya kepada Suguru.

Sahabat terbaiknya itu tersenyum simpul, “Ngga, yang lain udah pada ngumpul. Nungguin kamu,”

Menunggunya ya?

Sebuah kalimat sederhana yang sukses meringankan hati Satoru yang selama ini dirudung oleh rasa sepi yang membiru pilu karena terlalu lama sendiri.

Apakah akhir hidupnya menjadi akhir dari kesendiriannya?

Seutas senyum yang tanpa sadar mengembang di wajah rupawannya, di mana ia tidak lagi sendirian, dan ada orang-orang yang senantiasa menunggu kehadirannya.

“…ada… siapa saja…?” tanyanya memastikan…

…dan penuh harap.

Suguru pun mengerti siapa yang di maksud oleh Satoru.

“Ada baiknya kamu segera menghampirinya karena sendari awal dirinya yang paling gelisah akan kondisimu,”

🦋🦋🦋

Dengan nafas terengah ia berlari sekuat tenaga menghampiri figur sang puan yang sendari tadi tengah memandang langit biru dari balik jendela dengan khidmat.

Derap langkah kaki yang terburu-buru itu pun juga nampaknya menganggu aktivitas dara ayu tersebut. Dengan gerakan gemulai ia menolehkan pandangnya. Dua pasang manik biru—dengan sepasang berwarna biru kelabu dan sepasang lagi berwarna biru cerah—itu pun saling beradu pandang dengan tatap penuh keterkejutan.

Kedua bibir ranum itu sedikit terbuka—terkejut—sebelum kemudian mengatup rapat. Sang tuan yang sendari tadi tergupuh-gupuh berlari ke arahnya seketika diam mematung saat berhadapan dengan sorot mata penantian penuh harap dari sang gadis.

Mereka saling terdiam satu sama lain

“…Amanai…,” panggilnya lirih… sementara itu sang puan pun nampak terlihat ragu untuk berlari dan berhambur ke dalam pelukannya… ia pun hanya bisa membalasnya, “…Satoru…,”

Kecanggungan menguar di antara mereka untuk sepersekian sekon, sebelum akhirnya Satoru menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Maaf ya…,”

dan hanya itu yang dapat terlontar dari ucapnya.

Maaf karena aku gagal melindungi

“Seharusnya aku yang minta maaf,”

Suara lembut sang puan adalah yang paling ia rindukan tetapi… bukan permintaan maaf yang ia ingin pertama kali dengar dari kasihnya itu.

Dapat ia temukan kesenduan di sepasang netra sekelam safir itu.

“Maaf Satoru, karenaku kamu harus sendirian, menanggung semuanya sendiri…”

“Maaf aku ngga bisa menemanimu…,”

Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf…

Karena sejatinya mereka berdua adalah korban dari takdir kejam yang dengan semena-mena menorehkan tintanya dalam lembar hidup mereka.

Meski demikian Satoru pun tidak menyangkal karena pertemuan penuh haru ini tidak ingin ia sambut dengan perdebatan menjemukan.

“Aku ngga pernah merasa sendiri kok Amanai,”

“Karena aku tau, kamu, Suguru, dan semuanya selalu ada—kalian selalu hidup dan bersamaku hingga akhir,”

Gadis itu terkekeh kecil mendengarnya—cukup jarang untuk mendapati kasihnya itu berkata-kata manis seperti itu.

“Aku sedikit kecewa karena bukan hanya aku di hatimu,” keluhnya.

“Walau begitu kamu pun tau kalau kamu punya tempat spesial,”

Mereka berdua pun kembali beradu pandang dengan seutas senyum tulus di wajah masing-masing. Sang pun berjalan peelahan ke arah Satoru sebelum kemudian mendekapnya erat.

“Terima kasih Satoru…, kamu tidak perlu khawatir, karena kamu sudah tidak sendirian lagi,”

🦋🦋🦋

Terima kasih karena selalu percaya padaku wahai cintaku

Terima kasih karena tidak pernah membiarkanku merasa sendirian

Terima kasih karena senantiasa menungguku

Dan aku kembali ke dalam pelukan di mana tempatku seharusnya berpulang sendari awal

🦋🦋🦋

Mulai detik ini…, kita berdua bersama-sama

🦋🦋🦋