komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

———

Dara ayu itu duduk termenung sembari memandangi lampu-lampu kota yang binarnya berpijar layaknya gemerlap bintang dalam permadani langit malam. Pijar cahayanya semakin merebup yang entah mengapa membuatnya nampak lebih indah di mata sang puan, tangannya pun terangkat ‘tuk mengelus kaca jendela yang memantulkan sinar lampu kota.

Matanya berbinar penuh kekaguman akan keindahan tersebut, bergitu indah… bagi sang tuan yang duduk di hadapan puan tersebut sembari menatapnya dengan senyum penuh cinta dan kekaguman.

Bagi sang tuan ia ingin momen ini terus abadi, lekang bersama waktu di mana hanya ada dirinya dan kasihnya.

“Indy…,”

Panggilnya lembut, maafkan penglihatan semi hiperrealis sang tuan yang selalu jatuh hati kepada puannya—di matanya semua gerak gemulai gadis dihadapannya seakaran berada dalam kecepatan slow motion namun dengan resolusi yang teramat jernih, selayaknya mengabadikan frame demi frame film yang sangat sayang untuk dilewatkan.

Surai coklat kehijauannya itu bergoyang anggun saat ia tolehkan kepalanya, dengan seutas senyum yang menambah manis wajahnya. Sungguh dirinya teramat sangat jatuh hati.

“Ya?”

Suaranya lembut, lembut sekali, suara yang setiap paginya menjadi alarm hari-harinya.

Sang tuan tidak langsung menjawab membuat puan di hadapannya pun kebingungan—alih-alih menjawab sang gadis tangannya ia bawa untuk menangkup tangan kasihnya, dibawanya untuk memberikan satu kecupan panjang di sana.

“Indy… sudah hampir tujuh tahun kita bersama… ada banyak cerita kita lalui bersama… suka maupun duka,”

Genggaman tangan sang tuan semakin mengerat… sementara itu sepasang netra sebening jelaga itu masih menatapnya lekat dengan binarnya.

“Selama tujuh tahun pula aku pun menyadarinya… bahwa kamu selayaknya kepingan puzzle terakhir yang selama ini aku cari, untuk melengkapiku…,”

Ia bangkit dari duduknya sebelum kemudian duduk bersimpuh di hadapan perempuannya. Dikeluarkannya kotak beludru berwarna biru tua dari saku celananya… menampilkan sebuah cincin dengan intan permata manis di tengahnya.

Tentu saja, sang gadis tidak bisa menutupi raut keterkejutannya tersebut, matanya mebulat sempurna.

“…”

Bahkan untuk mengeja nama sang tuan ia pun terbata-bata. Tanpa aba-aba gadis cantik itu menghamburkan dirinya untuk memeluknya erat, tanpa ia sadari pelupuk matanya pun basah akan air mata haru. Sementara itu sang tuan hanya terkekeh kecil sembari menciumi pucuk kepala kasihnya penuh cinta.

Sementara sepasang netra kelabu yang menyipit layaknya bulan sabit itu pun memandang ke arah pantulan cahaya di luar jendela sana. Cahaya teraman lampu kota menghiasi langit malam di luar sana, pantulannya nampak terlihat seperti bercak-bercak kuning teranam saling tumpuk menumpuk namun tetap terlihat padu.

Tak lupa pantulan bias cahaya lampu kota yang mampak mengabur jika mereka semakin menjauh. Seakan menyiasatkan keindahan semu namun pada nyatanya pesona itu tetap jadir dalam tempatnya.

“Aduh… sayang… pegel loh ini aku kalo harus jongkok terus… berasa squat

Cepat-cepat sang puan pun bangkit dan menghapus air matanya dengan kasar, jemari lembut sang tuan pun dengan segera menghentikan gerak gerik jemari lentik itu, takut tanpa sengaja melukai sepasang mata favoritnya. Dielusnya lembut kedua sisi wajah sang gadis membuat kekasihnya itu pun tersenyum geli. Ia selalu suka jika jemari kekasihnya itu menyentuh lembut kulit pipinya, seakan memberi sensasi tersendiri.

Dipasangkannya cicin itu pada jari manis sang gadis, memeluknyamesra seakan memang sengaja diciptakan untuk melengkapi jemarinya. Tak henti-hentinya ia tatap kilau permata di atasnya.

“Hei!”

Sang tuan nampak usil menjentikkan jemarinya tepat di hadapan tunangannya yang baru beberapa detik lalu.

“Orangnya tuh di depanmu loh, dan cincinnya ga akan kemana-mana tau…,”

“Ih kamu mah…!”

“Habisnya kamu ngeliatinnya gitu banget kayak takut banget hilang,”

“Ya kan jangan sampai hilang!”

“Ngga bakal! Kan cincinnya itu kayak aku! Ngga bakalan ke mana-mana, akan selalu ada buat kamu,”

Sang gadis hanya bisa mengerlingkan matanya membuat kekasihnya itu terkekeh kecil. Usil banget pikirnya.

Meski usil-usil begitu sejatinya hatinya pun akan tetap dan selalu sayang pada sosoknya. Ia pun menghela nafas pelan sebelum kemudian menghadiahkan sebuah ciuman singkat di atas bibir ranum lelaki itu. Membuatnya sedikit terbelalak kaget.

Dipeluknya erat tubuh ramping sang puan dan hendak membalasnya dengan sebuah kecupan panjang dan juga dalam. Akan tetapi, jemari lentiknya terlalu cepat memberi jarak di antara kedua bibir mereka. Membuat sang tuan nampak kecewa karenanya.

“Kalo mau cium di apartemen aja, kamu biasanya suka kebablasan,”

Dan satu tawa renyah pun lepas dari bibir lelaki bersurai abu tersebut. Alih-alih menghadiahkan satu kecupan singkat ia justru mengigigit kecil pucuk hidung kekasihnya membuatnya ia mengadu.

“AW!” elunya saat dara ayu itu mencubit pinggangnya, “Sakit…,” keluhnya dengan wajah memelas.

“Salah sendiri usil!”

Untungnya kekasihnya itu sudah mereservasi ruangan privat hanya untuk mereka berdua. Bisa kepalang malu Indy jika tingkah mereka menjadi tontonan pengunjung lain ataupun pegawai yang berlalu lalang.

“Faisal…,”

“Ya?”

“Makasih ya…, aku sayang banget sama kamu…,”

Dan Faisal pun hanya terkekeh kecil sebelum menghujami pucuk kepala sang gadis dengan kecupan-kecupan kecil.

“Aku yang makasih, makasih ya sayang…,”

Hanya ada satu pinta darinya, ia ingin momen seperti ini abadi. Di mana hanya ada dirinya dan juga Indy, kekasih hatinya, itu sudah cukup baginya. Karena seluruh ruang dan hidupnya berisi gadis dalam pelukannya dan cerita mereka.

Di hadiahkannya satu ciuman panjang, dalam, dan juga mesra untuk sang gadis.

Ya, dirinya hanya ingin momen seperti ini abadi selamanya.

❣️❣️❣️

Ada yang bilang mata adalah jendela jiwa perasaan dan mungkin itu benar adanya

❣️❣️❣️

Memang ya, sepertinya moodmaker para gadis yang tengah kasmaran ini sangat mudah sekali naik dan turunnya—tadi siang masi happy-happy dipenuhi kupu-kupu tiba-tiba menjelang sore seketika gundah gulana.

Begitu pula yang dirasakan oleh gadis bersurai hijau tersebut.

Jika biasanya lagu Gorgeous menemani sore harinya mengagumi ‘orang yang cakepnya bikin dia sebal’ maka sore ini ia pun hanya bisa mendengarkan Exile untuk kisah cintanya yang kandas belum sempat dimulai itu.

Sore ini Rena hanya ingin menghambiskan waktu seorang diri—dengan hati yang memberi pilu katanya—entahlah, mungkin orang-orang yang melihatnya akan bergumam ‘ada-ada saja remaja yang tengah kasmaran’ tapi sungguh Rena merasa sedih dan kesal.

Karena seorang sepertinya memang sudah seharusnya punya pacar—tapi ia pun merasa sedih dan kesal di saat yang bersamaan

Sembari menyesap cokelat hangatnya Ren mainkan pucuk-pucuk rumput yang menggelitiki telapak kakinya.

I think i’ve seen this film before and i didn’t like the ending…

Dan Rena pun menghela nafas berat. Sebenarnya ia belum pernah merasakan jatuh cinta—begitu pun merasa relevan dengan lirik Exile tersebut—tetapi haruskah perasaan jatuh cinta pertama kalinya ini berakhir dengan patah hati yang bahkan belum bermula sama sekali.

“…You didn’t even hear me out…,”

“You never give me warning signs…”

“But I gave you so many signs…,”

Gadis itu sedikit terkejut mana kala mendengar suara berat familiar itu melanjutkan gumaman liriknya—ditolehkan kepalanya dan didapatinya sosok Faisal dengan setelah jas kantornya baru saja kembali.

Sungguh di saat seperti ini Faisal adalah orang terakhir yang ingin ia temui

“Faisal baru pulang?”

Sebuah pertanyaan basa basi yang ia lontarkan kepada lelaki itu—Faisal nampak hirau, ia hanya bergumam sebelum kemudian melepas jasnya dan duduk di sebelah gadis itu.

“Baru balik, terus ngeliat kamu di sini sendirian—niatnya aku samper buat nyapa aja tapi… kayaknya waktunya ga tepat ya?”

Rena pun tertawa getir… bagaimana ia menjawab itu.

“Kenapa deh?”

Dan Faisal hanya mengedikkan bahunya.

“Kayaknya suasana hatimu lagi buruk, siapa yang bakalan nyanyiin lagu exile kalau lagi ga patah hati,”

EMANG EMAAAANG dan penyebab patah hatinya ada di depan mata

Tapi Rena berkilah, tertawa seakan mengejek walau hati ngenes. Berpura-pura bahwa semua baik-baik saja.

“Aku cuma suka lagunya kok…,”

“Oh gitu… aku kira…, soalnya kan lagu mempengaruhi isi hati,”

Tapi kalo kasusnya Rena, isi hati yang mempengaruhi lagu pilihannya—tentu saja ia terlalu gengsi mengakuinya

“…atau—isi hati yang mempengaruhi pilihan lagumu?”

Rena pun tersedak membuat Faisal tertawa karenanya. DIA PASTI SENGAJA!

“Ih ngaca dong yang dengerin Glimpse of Us!” balasnya ketus tapi Faisal tidak tersinggung sama sekali. “Atau jangan-jangan, Faisal ini yang kedua ya? Isi hati mempengaruhi lagu pilihannya!” tebaknya sembari menuding lelaki itu.

Faisal hanya terkekeh dan memangku dagunya dengan sebelah tangan. “Mungkin aku keduanya sih Ren, isi hatiku lagi ga terlalu baik dan yah… makin ga baik-baik aja,”

“Loh… kenapa?? Tau gitu kenapa malah dengerin lagu sedih??”

“Mau tau banget atau perhatian nih?” dan Rena pun mendengus sebal, “Nyebelin amat,”

“Tapi aku kaget loh, Faisal bisa galau—kamu kan tipikal orang yang bisa menaklukan semua perempuan,” cicitnya sembari sedikit menyindir yang tentunya dibalas tatapan bingung oleh lelaki itu, “Masa sih?”

“Pura-pura gatau,” sindirnya, malas.

SATU KANTOR NAKSIR SAMA KAMU SAL

“Tapi kalau kamu sendiri gimana? Liat akunya?”

Pertanyaan yang tidak terduga akan terlontar dari bibi laki-laki di hadapannya—membuat Rena sedikit salah tingkah, ia harus melontarkan jawaban yang biasa saja atau semua akan sia-sia.

Tapi tunggu dulu—bukankah dengan begini dan menjawabnya dengan jujur Faisal jadi tau perasaanya? Mungkin things will work between them?

Untuk sepersekian detik Rena tidak menjawab, tangan lelaki itu terangkat untuk mengusap (lebih tepatnya mengusak) pucuk kepala sang gadis—membuat kepala Rena bergoyang-goyang karenanya.

“Aduh! Nanti berantakan!”

“Maaf, habisnya kamu keliatan serius banget mikirin jawabannya,” jawabnya acuh membuat Rena menggerutu pelan.

“Tapi aku ada pertanyaan deh,”

“Apa?”

“Perempuan seperti apa yang bisa bikin kamu galau?”

Faisal rasanya hampir melompat dari tempat duduknya mendengar pertanyaan Rena tersebut—jujur ia tidak menyangkanya.

Untuk selang beberapa waktu Faisal tidak menjawab. Tetapi tangannya pun kemudian bergerak untuk menutup kedua manik yang tengah menatapnya itu.

“Seseorang yang aku suka? Mungkin? Aku gatau, tapi aku merasa sedikit sedih dan juga kesal karena sekarang dia udah punya orang lain yang bisa diandalkannya,”

Ia pun perlahan menurunkan tangannya dan tersenyum kepada Rena, tentu saja gadis itu menatap Faisal penuh kebingungan. Kenapa lelaki itu melakukan hal tersebut?

Faisal pun kemudian melakukan hal yang sama berulang kali sebelum kemudian terkekeh kecil—semakin membuat gadis di hadapannya pun semakin kebingungan.

“Kamu itu anaknya gampang banget dibaca ya, lucu,”

“Itu ledekan atau pujian? Tapi kalo pun pujian aku tidak merasa senang sama sekali loh,”

“Anggap saja sebuah pernyataan,”

Ah Faisal memang pintar bermain kata-kata

“Karena aku udah jawab pertanyaanmu gantian dong sekarang kamu yang jawab pertanyanku,”

“Apa itu?”

“Jadi, siapa laki-laki yang bisa bikin kamu kepikiran segitunya?”

Seketika jantung Rena berdegup teramat sangat kencang dan keras. Ia bahkan dapat mendengarkan suara degupannya sendiri. Mereka berdua saling beradu pandang—membuat degup jantungnya pun semakin bergema dalam dirinya.

Kedua manik kelabu itu menatapnya lekat—seakan berusaha membacanya—mengulik perasaannya yang paling dalam.

Perlahan-lahan tangannya pun terangkat mengikuti apa yang tadi Faisal lakukan, untuk menghalangi dua pasang netra untuk saling beradu pandang dan dapat Rena lihat dari balik telapak tangannya lelaki itu pun tersenyum kecil.

Rena menarik nafas panjang—berusaha menenangkan detak jantungnya yang sendari tadi tidak karuan.

“Dia… adalah seseorang yang aku hormati…, dan… aku ingin lebih dekat dengannya…,” jawabnya terbata, sedikit gugup.

Gadis itu dapat merasakan suhu tubuhnya berkumpul di kedua sisi wajahnya dan memanas di sana. Ia berani bertaruh bahwa majahnya pasti sudah semerah tomat sekarang.

“Berteman dengannya?” tanya Faisal. “Iya, mungkin bisa dengan menjadi temannya,”

Rena dapat mendengar kekehan lembut dari bibir lelaki itu—perlahan walau dengan rasa malu yang sudah sampai diujung kepala ia turunkan tangannya, dan di dapatinya Faisal yang tengah terkekeh sembari memandanginya. Sial! Dirinya pun semakin tersipu karenanya.

Tangannya kembali terangkat untuk mengusap pucuk kepala sang gadis—namun kali ini lebih lama dan entah mengapa rasanya hangat.

Faisal tidak berkata apa-apa, ia hanya berlalu dan kemudian meninggalkan Rena begitu saja. Dari tempatnya duduk Rena memperhatikan punggung lelaki itu yang semakin menjauh dan menghilang di belokan tangga. Ia hanya berharap bahwa perasaannya sampai kepada lelaki itu.

❣️❣️❣️

Ada yang bilang bahwa mata adalah jendela jiwa, dan mereka pun berusaha untuk membaca diri satu sama lain

Berusaha saling mengerti

❣️❣️❣️

❣️❣️❣️

Namanya Faisal dan dia adalah seorang yang karismatik

Siang iu kafetarian JY Group nampak ramai—terlihat beberapa pegawai wanita diam-diam saling mencuri pandang, ada pula yang saling berbisik satu sama lain serta menahan diri untuk tidak memekik. Hanya ada satu kesamaan di antara mereka semua yaitu wajah bersemu karena tersipu malu-malu.

“Katanya para managerial lagi pada makan siang di kafetarian kantor,”

“Oh ya?!”

“Iya… terus… tadi katanya pak Faisal juga ikutan…,”

Mendengar nama yang familiar tersebut disebutkan Rena pun seketika menolehkan pandangannya ke arah pegawai kantor yang tengah bergosip tersebut—entah mengapa percakapan tersebut sukses mengalihkan fokusnya.

“Seriusan? Demi apa sih? Bohong dosa loh..,”

“Ih beneran! Yuk kantin deh kalo ga percaya!”

Kedua pegawai wanita itu pun segera berlari-lari pelan menuju kafetaria kantor yang tidak jauh dari areal working space tempatnya bekerja saat ini. Dalam lubuk hatinya sebenarnya Rena pun sedikit penasaran—tetapi dirinya tidak bisa serta merta meninggalkan pekerjaannya bukan?

❣️❣️❣️

“Heeeh mau kemana?!”

Riri—OG senior JY Group itu berdecak pinggang saat melihat rekan-rekan sejawatnya terlihat diam-diam mencuri-curi kesempatan untuk bisa mengunjungi kafetarian—pasti karena gosip terbaru yang beredar senter karena para managerial JY Group berkesempatan untuk makan di kafetarian kantor!

“Eh Riri… ga kemana-mana kok! Kita cuma mau bersih-bersih lantai tiga!”

Dan Riri pun mendengus kesal! Ia sudah tahu modusnya!

“Gak, gak ada! Kalian pasti mau modus sama genit ke pak Faisal kan?!?!”

“HEH MULUTNYA!”

Seketika mereka pun membungkam mulut Riri—takut jika ucapajnya tersebut dilaporkan dan justru berakhir membuat mereka semua mendapatkan SP karenanya.

“Aduh Riri… mohon kerja samanya dong… kan jarang-jarang bisa liat pak Faisal di kafetarian kantor…,”

“Tau ih Riri kamu kan pasti juga pengen liat pak Faisal kan?!”

MEMANG! EMAAAANG

Namun Riri hanya bisa menghela nafas pelan—sebagai salah satu OG senior yang secara tidak langsung membuat ‘status sosial’-nya berada di atas OG-OG lainnya, Riri harus menunjukkan wibawanya dan terlihat ‘adil’ untuk masalah ini.

Agar pekerjaan ini tidak dipandang sebelah mata tentunya!

“Ngga! Sekali engga ya engga!”

Terdengar helaan protes dari semua orang—sementara itu Rena hanya terkekeh kecil melihat reaksi kekecewaan yang ada.

Memang ya Faisal itu begitu diidolakan satu kantor—yah tapi jika Rena boleh mengakuinya Faisal memang memiliki pesona tersendiri. Dirinya jadi teringat saat ia pertama kali melihat senyum tulus yang terpatri di wajah lelaki itu. Entah mengapa pandangannya pun akan sulit teralihkan.

“Rena!”

“Iya kak?!”

“Kamu yang piket di kafetarian ya abis ini!”

Loh?

“Eh? Kenapa aku kak?” tanyanya penasaran.

“Ya daripada mereka yang nantinya genit ke manajer kita—kamu juga bukan tipikal anak yang aneh-aneh jadi aku percayakan citra divisi kita ke kamu!”

Rena pun sedikit speechless dibuatnya—akan tetapi tanpa banyak bantahan ataupun keberatan ia pun hormat kepada Riri untuk melakukan tugas tersebut dengan seutas senyum lebar.

“Siap laksanakan!”

❣️❣️❣️

“Mas Faisal belum pernah makan di kafetarian kantor sama sekali?”

“Belum Lid, dia mah anaknya gitu—tiap hari bawa bekal makanya kaget banget tadi dia nawarin makan siang di sini,”

“Haha sesekali pengen nyoba mas, katanya enak-enak di sini rekomendasinya dong apa kira-kira,”

Perhatian satu kafetarian kantor pun seketika teralih pada satu sosok yang baru saja memasuki area tersebut—nampak hirau dengan perhatian yang tidak sengaja ia buat karena kehadirannya dan melenggang santai di sana.

“Kalo saya sih sukanya Chicken Gordon Bleu sih! Enak banget seriusan,”

“Oh ya? Kalau Lidia apa? Aku ngga nerima jawaban terserah loh,”

Pegawai wanita itu pun tertawa kecil mendengar pernyataan Faisal barusan.

“Mas Faisal bisa aja bercandaanya. Jadi siapa perempuan yang sering jawab terserah itu kalau ditanyain masalah makanan itu mas?”

Dan mereka pun terkekeh.

“Faisal mah mana punya cewe—pacarnya aja pasti kerjaan,”

“Wah mas Aditya ngejek nih ceritanya?”

“Eh ngomong-ngomong duduk di mana nih kita?” tanya Lidia membuat baik Faisal maupun Aditya saling celingukan satu sama lain. Pegawai paling senior di antara mereka itu pun menghela nafas kesal—ia tidak menyangka kafetaria akan seramai ini walau sehari-hari sudah ramai akan pegawai.

“Emang biasanya seramai ini ya mas?” tanya Faisal seakan mengerti isi pikirannya. Oh ayolah dirinya tidak mau berburuk sangka tetapi ia sepertinya tau alasan penyebab kafetarian menjadi semakin sesak akan manusia hari ini.

“Kayaknya buat besok-besok mending kamu ga usah ngide makan di kantin kantor deh Sal,” ketusnya yang tentu membuat Faisal kebingungan, “Eh? Kenapa?”

Mendengar pertanyaan tersebut terlontar dari bibir Faisal membuat sosok Aditya semakin kesal—sementara itu Lidia pun berusaha menahan tawanya karena kebingungan sang GM muda tersebut.

“Pfft… he he he…, mas Aditya udah jangan gangguin mas Faisal, kasihan orangnya kebingungan tuh,”

“Kenapa sih? Apa sih?”

“Udaaah gapapa mas! Eh itu kayaknya ada meja kosong! Yuk buruan ke sana sebelum ditempati orang!”

Ajak Lidia kepada Faisal dan Aditya sembari menunjuk salah satu meja berkursikan empat orang yang baru saja ditinggalkan oleh pegawai sebelumnya—masih nampak kotor dengan bungkus paper box dan gelas plastik yang dibiarkan begitu saja. Entah mengapa membuat Faisal sebal.

“Bentar ya aku panggilin OB atau OG,” jelas Lidia sembari celingukan.

Sementara itu Faisal terlihat menyingsingkan lengan kemejanya dan menata sampah-sampah yang berserakan sembari mengelapnya dengan tisu untuk sementara—dan tentu saja gerak geriknya pun jadi perhatian banyak orang.

“Permisi? Boleh minta tolong bersihkan meja sebelah sini?”

Rena yang saat itu tengah mengambil paper box kosong yang hendak dibuang oleh salah satu pengunjung kantin pun segera menyelesaikan pekerjaannya dan berjalan menuju meja tempat Faisal, Lidia, dan Aditya hendak makan.

“Biar saya saja pak GM…”

Faisal tidak menjawab, dirinya masih sibuk merapikan sampah dan membersihkan meja seadanya sebelum membuangnya ke troli barang kotor yang Rena bawa.

Dari tempatnya berdiri Rena dapat melihat jelas bagian samping wajah Faisal—dirinya pun baru menyadarinya betapa tegasnya jawline lelaki di hadapannya terlepas sudah tinggal bersama cukup lama dengan lelaki itu.

Seketika Rena pun mengedipkan matanya berulang kali. Ia harus fokus bekerja!

“Makasih ya, bisa tolong kamu bersihkan mejanya aja?” ucap Faisal kepada Rena—memintanya. Karena mereka tengah berada di kantor tentunya professionalisme yang harus dijunjung tinggi. Dengan segera Rena pun mengangguk dan membersihkan meja tersebut.

Faisal pun menghela nafas pelan, “Apasih susahnya buang sampah?” gumamnya kesal.

“Yaudah kalian duduk aja dulu aku mau cuci tangan. Makasih ya mbak udah mau bersihin,”

“Siap pak…,” jawabnya kikuk, dalam kegiatannya Rena pun berusaha mencuri-curi pandang ke arah Faisal serta mendengar-dengar bisik-bisik orang di sekitarnya.

Namanya Faisal, ia adalah seorang pemuda yang karismatik dan mencuri perhatian khalayak…

❣️❣️❣️

Setelah selesai dengan pekerjaannya Rena pun sedikit melipir ke areal wastafel untuk mencuci tangannya sembari sedikit bersitirahat—dari sudut tempatnya berdiri ia dapat memperhatikan Faisal dalam diam.

Melihat bagaimana lelaki itu bergaul dengan rekan-rekan kantornya—tertawa dan bercanda, sepertinya Rena sudah kecanduan, dari pertama kali melihat senyum lelaki itu membuatnya ingin terus dan terus melihatnya.

Dan sedikit egois menginginkan senyuman itu untuknya

Bagaimana Faisal dapat tertawa dan bercerita lepas dengan orang lain—yang memang mungkin saja lebih dekat daripada dirinya. Entah mengapa ia sedikit kecewa, pada akhirnya mungkin memang kedekatannya dulu dengan Faisal tak jauh beda dari selayaknya atasan dan bawahan.

Begitu pula dengan saat ini

Rena menghela nafas pelan, mungkin lebih baik ia kembali pada pekerjaannya, tidak ada baiknya larut dalam sebuah lamunan. Dan tepat sesaat dirinya hendak pergi—sosok Faisal pun berjalan ke arah areal wastafel tempatnya tidak jauh berdiri.

Harus pura-pura ga kenal

Rena pun berpura-pura sibuk dengan pekerjaannya, sementara itu Faisal pun melaluinya begitu saja. Telinganya dapat mendengar suara aliran air dari kran air ynag dibuka sebelum kemudian berganti dengan pengering tangan.

Rena pun kembali mendorong trolinya dan tepat sesaat di mana dirinya hendak berlalu sosok itu pun keluar dari areal wastafel dan melewatinya begitu saja—tetapi ia dapat mendengar sepatah kata yang dibisikkan samar untuknya.

“Semangat ya,” ujarnya sembari berlalu yang sukses merekahkan seutas senyum di wajah sang gadis.

Namanya Faisal, dan dia tidak pernah tau bahwa pehatian kecilnya dapat membuat seseorang pun semakin mengharapkannya

❣️❣️❣️

“Wah! Kak Siska cantik banget! Mau kemana?” tanya Rena, mata berwarna sebening jelaga itu nampak berbinar penuh kekaguman saat melihat Siska yang nampak rapi—tidak seperti Siska biasanya—dengan balutan long dress berwarna maroon yang dipadukan dengan heels boots hitamnya. Nampak feminim namun juga terlihat chic khas Siska.

“Siska mau kencan tuh Ren! Hehe aku juga kaget waktu dia minta aku pilihin outfit buat fine dining,” ujar Fani yang entah dari mana muncul dari balik punggung Siska. Sementara Siska pun hanya membalas celetukan Fani itu dengan satu kerlingan mata.

“Jangan ngegoreng isu deh kataku” protesnya.

“Ih! Tapi bener kan?! Ngomong-ngomong kamu kencan sama siapa deh? Gak mungkin kan sama Doni?” tanya Fani sedikit skeptis, “Dih? Ga bakal,”

Jawaban Siska tersebut justru mengundang seutas satu senyum jahil di wajah cantik Fani, membuat Rena yang melihatnya pun sedikit bertanya-tanya, “Euuummm jangan bilang… sama Indra ya?! Ciee Siska sekarang benci jadi cinta,”

Mendengar ucapan Fani tersebut sontak membuat Rena terkejut dan tak bercaya, refleks, ia pun menutup mulutnya dengat kedua tangannya, “Ih… beneran kak samapak Presdir?”

“Ga bakal lah Ren, ya kali. Fani ini emang ngaco ya—jahilnya sebelas dua belas ih sama Doni,” keluhnya kesal, sementara Fani nampak hirau dan justru tertawa kecil. “Ya terus sama siapa dong?”

“Haaah jangan bilang?!”

“Engga engga, bukan Faisal, jangan panik gitu…,”

Seakan mengerti arah pikiran Fani, Siska pun cepat-cepat mengklarifikasi pemikiran gadis bersurai pendek yang ia tahu jalan pikirannya ke mana itu. Sementara itu Rena hanya diam mendengarkan perseteruan kedua kakak perempuannya itu.

“Yah… terus sama siapa dong?”

“Romi,”

Tentu jawaban tidak terduga yang pernah Fani ataupun Rena duga akan dengar dari Siska—tunggu dulu, mengingat cerita Romi semalam apakah jangan-jangan?! Dan Rena pun kembali terkejut namun ia dengan cepat-cepat menutup mulutnya.

“Kenapa Ren? Kamu kayak kaget banget gitu,” dengan cepat-cepat Rena pun menggelengkan kepalanya, “Semoga sukses ya kak kencannya sama pak Romi,”

“Astagaaa aku tuh cuma makan bareng sama diaaa ga ada kencan-kencanan!”

❣️❣️❣️

“Sal! Pinjem atasan jasmu dong!”

Lelaki bersurai pirang itu mendobrak pintu kamar Faisal yang nampak sibuk di depan Ipad-nya itu. Padahal baru pulang kantor tetapi lelaki itu masih saja disibukkan dengan urusan pekerjaan.

“Ambil aja di lemari,” jawabnya tanpa mengalihkan fokusnya dari depan layar gawainya itu.

Romi pun membuka pintu geser lemari milik Faisal, memilah-milah atasan jas yang sebagian besar cenderung berwarna gelap (hitam) dan biru dongker tersebut. Akan tetapi ada satu atasan jas berwarna krem yang menarik perhatiannya, cukup kontras di antara warna-warna gelap yang ada.

“Aku baru tau kamu punya jas warna cerah begini,”

Faisal pun menolehkan kepalanya sejenak sebelum kembali fokus, “Ah, iya. Cuma buat dresscode kantor tapi habis itu ga pernah aku pakai lagi,”

Romi pun mencoba menempelkan jas tersebut di badannya. Menarik, tetapi entah mengapa dirinya pun merasa kurang. Sementara itu Faisal terdengar menghela nafas berat sembari memijat pangkal hidungnya.

Faisal pun memutar badannya untuk berbalik ke arah Romi. Matanya nampak lelah karena menatap layar terlalu lama.

“Kamu, ada couple-an outfit sama Siska ngga?”

“Engga sih Sal, kenapa emangnya?”

Faisal tidak menjawab lebih selain ‘hanya bertanya’. Ia pun beranjak dari kursinya, membantu Romi untuk memilihkan atasan yang cocok untuknya walau sense of fashion miliknya tidak sebagus Fani.

Lelaki itu bampak mengenakan kaos berwarna merah yang dipadukan dengan jeans berwarna denim. Mungkin untuk amannya atasan berwarna hitam akan nampak bagus tetapi entah mengapa ia merasa kurang. Tetapi Faisal terlalu takut untuk memadukannya dengan warna krem—walau tetap nampak serasi dirinya tidak terbiasa bermain tabrak warna.

Ia pun mengambil ponselnya, menghubungi satu-satunya orang yang ia tahu dapat membantunya saat ini.

❣️❣️❣️

“Aku pribadi lebih suka kamu pakai atasan krem sih Rom, terus sepatunya sneaker warna putih. Kamu sama Siska udah cukup serasi kok walau Siska cuma pakai dua warna—nanti dia aku kasih tas dompet kecil yang warnanya mirip sama jasmu biar serasi,” jelas Fani yang sendari tadi sibuk membandingkan atasan hitam atau krem untuk Romi.

Sementara itu Faisal hanya diam menyinak—kalau untuk urusan berpakaian maka ia tau Fani tidak akan pernah mungkin gagal atau mengecewakan. Faisal pun kemudian membuka nakas kecil miliknya dan melemparkan sebotol parfum kecil miliknya.

“Rom,”

Hup!

Thanks Sal!”

Fani pun mendudukan dirinya pada kasur milik Faisal, sementara itu sang kembaran nampak sesekali merapikan rambut serta atasan jas yang dikenakan oleh Romi tersebut. Pandangannya nampak sedikit menghakimi sebelum kemudian menepuk-nepuk bahu lelaki itu.

“Cie, yang mau kencan,” ledeknya sembari tersenyum tengil membuat Romi mendengus kesal “Rese,”

“Aku kaget loh kamu justru dinner-nya sama Siska, soalnya kan kamu mepetnya Rena terus,” celetuk Fani sembari berbangku tangan, Romi pun mengerlingkan matanya malas, “Nyerah aku saingannya banyak dan berat,”

“Payah ah,” ledek Faisal yang membuat Romi pub kemudian gemas mengacak-acak surai kelabu laki-laki itu.

“Iya iya aku bukan kamu yang bisa dengan mudahnya dekat sama Rena, sampai pegangan tangan pelukan—,”

Faisal pun kemudian meletakkan jemari telunjuknya depan bibir Romi, “Pertama kamu salah paham, dan kedua aku sama Rena ngga seperti yang kalian kira,”

“Wah aku kalo jadi Rena denger itu bakalan sakit hati sih Sal,”

“Kita cuma teman… mungkin saja… jadi berhenti melebarkan konteks—dan lagi bukannya kamu habis ini telat,”

“Ah iya! Oke makasih ya Faisal Fani! Aku duluan!”

Lelaki itu pun tergupuh-gupuh keluar dari kamar Faisal, meninggalkan dua bersaudara itu yang saling tatap satu sama lain sejak kepergian Romi. Faisal pun kembali pda pekerjaannya fokus pada Ipadnya sementara Fani pun memilih untuk tiduran—tengkurap—di kamar Faisal itu.

Empuknya~

“Jadi Sal, kapan kamu nyusul Romi. Minimal ajak kencan Rena,”

“Minimal jadian dulu sama Budi—ADUH!”

Lelaki itu nampak mengaduh sembari memegangi belakang kepalanya yang baru saja dilempar bantal kecil oleh Fani. Gadis itu menyengir, “Maaf, sengaja,”

“Heh!”

Fani pun melet sembari mengejek Faisal yang tengah mengejarnya—berusaha mengelitiknya. Ah satu ide jahil kemudian terpintas di pikirannya, hanya ada satu cara agar Fani mau ‘menurut’.

“Aku aduin Budi!”

Dengan langkah lebar-lebar Faisal segera berlari keluar kamarnya, meninggalkan Fani yang berteriak tidak terima.

“NYEBELIN! SENJATANYA BUDI!”

Dan sekarang gantian—Faisal yang menjulurkan lidahnya untuk mengejek Fani.

❣️❣️❣️

Malm itu seperti biasa—setelah pulang caw bersama anak Tudung Merah lainnya (Jaw dan Kevin), Doni selalu menyempatkan diri untuk mampir ke salah satu warung untuk membeli satu batang rokok untuk ngudud.

Jangan salah paham terlebih dahulu, ia hanya membeli satu batang bukan karena bokek tentu tidak—ia hanya benci aroma rokok yang menguar dari mulutnya ataupun pakaiannya jika terlalu banyak merokok—hanya saja kadang benda itu mampu menjadi pelepas stress untuknya jadi ia akan merokok sesekali.

Sebenarnya ia juga tidak ingin membuat seseorang tidak nyaman dengan aroma menyengat dari rokok sih

Ia sibuk menyebuk asap rokok sembari bersandar di badan motornya—memperhatikan orang-orang yang lalu lalang—padahal sudah malam tetapi jalanan kota seakan tidak ada matinya.

Di buangnya putung rokok yang telah pendek itu sebelum kembali melajukan motornya.

❣️❣️❣️

Dalam perjalanannya, mata Doni tidak sengaja menangkap salah satu toko bunga dengan lampu nama yang nampak redup dan kelap-kelip itu hampir tutup—entah impuls otak bagian mana yang menyuruhnya—ia memakirkan motornya di pelataran ruko tidak jauh dari toko bunga tersebut dan mampir untuk melihat-lihat.

“Cari bunga apa kak?”

Doni sedikit tersentak kaget manakala sang penjaga toko yang sendari tadi sibuk menutup ruko itu datang memghampirinya yang nampak kebingungan.

“Mau beli bunga untuk siapa kak? Mungkin bisa saya bantu,”

“Anu…, saya mau beli… bunga yang warna merah muda itu,” tunjuknya kepada sekumpulan bunga Camellia.

Sang pelayan toko mengangguk paham dan menyiapkan bunga untuk Doni. “Buat pacarnya ya kak?” tanyanya tiba-tiba yang tentu membuat Doni terkejut.

“Bukan, saya ga punya pacar,”

“Oh kirain…,”

“…cuma tadi sekali ngeliat kayak langsung ngingetin aja gitu..,”

Sang penjaga toko hany tersenyum menyiapkan bunga milik Doni.

Mungkin masih PDKT

“Totalnya dua belas ribu ya kak,”

Diserahkannya lembaran uang sepuluh ribu dan dua ribuan tersebut sebelum diterimanya bunga camelia yang terlah terbungkus rapi oleh kertas buram berwarna kecokelatan.

“Semoga kakaknya suka sama bunganya ya, dan semoga perasaannya tersampaikan! Semangat!”

❣️❣️❣️

“Rena! Kamu liat Faisal kemana gak?!”

Fani lari tergupuh-gupuh dari lantai dua. Rena yang hendak menjawab dihentikan oleh Budi yang tiba-tiba keluar dari pantry dapur dan menghampiri sang gadis.

“Ada apa?” tanya lelaki itu, melihat Budi yang menghampiri dan berdiri di depannya langsung entah mengapa membuat pikiran Fani terbuyarkan—ia menjadi sedikit salah tingkah, “Kalian bertengkar lagi?”

“Kamu tuh kenapa selalu ngira kita ngga akur sih…,” keluh Fani sedikit cemberut yang entah mengapa sukses menghadirkan senyum samar di wajah datar Budi—yang bahkan tidak disadari ileh sang gadis.

“Kalian terlalu sering ribut sih—ah ya Rena, bisa tolong tinggalkan aku dan Fani?”

Gadis muda itu pun mengangguk paham—meninggalkan Budi Siska di dapur walau benaknya pun bertanya-tanya apa yang hendak dibicarakan oleh kedua orang itu.

Sementara itu Fani hanya bisa melihat sosok Rena yang pergi menjauh meninggalkan pantry dapur—ia sama dengan Rena sama herannya—apa yang ingin dibicarakan oleh Budi? Ia pun sibuk menerka-nerka—atau jangan-jangan?!

Wajahnya pun seketika semerah tomat.

“A-ada apaya Budi?” tanyanya gugup ia dapat merasakan tenggorokannya pun seketika mengering, membuat suaranya tercekat.

Fani merutuki dirinya sendiri, sial sial sial stop salting kalau tiap ada Budi!

“Duduk dulu yuk,” ajak lelaki itu yang layaknya mantra membuat Fani pun mengekori sosoknya.

Gadis itu mengambil duduk di meja bar—memperhatikan Budi yang nampak sibuk di kitchen. Lelaki itu membuka kulkas dan mengambil sebuah strawberry parfrait yang sepertinya telah ia siapkan.

“Aku tahu kamu suka kue stroberi—aku pikir tidak ada salahnya mencoba resep baru dan yah aku membuat ini sambil memikirkanmu… semoga kamu suka…,” jawab Budi sembari menggaruk belakang tengkuknya yang tentu saja menyisakan Fani dalam beribu tanya.

Ini untuknya? Dan terlebih lagi… Budi membuatnya sembari memikirkan dirinya?? Apa ia tidak salah dengar…

“A..uh… ini beneran untukku…?” tanyanya—sebuah pertanyaan retoris dan Budi mengangguk sebagai jawaban.

“Terima kasih…, aku senang sekali… aduh aku jadi mau nangis kan—Budiiii hueee,”

Namun lelaki itu tidak berusaha menenangkan ‘gadisnya’ tersebut karena ia tau tangisan Fani adalah tangisan haru dan ia suka melihat wajah gadis itu yang diliputi oleh kebahagiaan.

“Aku senang sekali… tapi aku lebih senang jika kita bisa memasak bersama…,”

“Kapan-kapan ya?”

Dan Fani pun menantikannya

❣️❣️❣️

“Woi,”

Rena pun menolehkan kepalanya saat ia mendengar suara familiar menyapanya—yang ia yakini tentu saja, karena saat ini hanya ada dia di pekarangan depan kosan.

“Kak Doni baru pulang? Habis dari mana?” tanya gadis itu riang dengan seutas senyum ramah.

Doni tidak menjawab, matanya seakan menolak untuk menatap kedua binar sejernih jelaga di hadapannya. Diulurkannya sebuket bunga Camelia yang baru saja ia beli—tentu saja membuat Rena terkejut.

“Eh..? Apa…?”

“Tadi liat di jalan terus ya gitu,”

Tinggal bilang keinget kamu apa susahnya sih?

Meskipun demikian—tanpa banyak kata, Rena pun menerima sebuket bunga pemberian Doni itu dengan semuah senyuman yang teramat manis—entah mengapa membuat Doni salah tingkah sendiri.

“Ehehe makasih banyak ya kak Doni! Akan aku rawat bunganya!”

Lelaki itu tidak menjawab, dan berlalu begitu saja.

Itu adalah pertama kalinya Rena mendapat bunga

❣️❣️❣️

“Cieee,”

Rena memegangi jantungnya—sembari memeluk erat buket bunga yang hampir jatuh tersebut saat Siska berbisik tepat di telinganya—sembari meledeknya.

“Kak Siska! Kaget!”

Siska pun hanya terkekeh kecil melihat reaksi Rena yang kaget tersebut, sementara itu di balik punggungnya Rena dapat mendapati sosok Romi yang turut menyusulnya.

Ia pun refleks menutup mulutnya, melihat Siska yang mengenakan jas milik Romi (atau sebut saja yang dipinjamkaj Faisal), sepertinya kencan mereka berjalan berhasil.

“Cie Rena dapet bunga dari siapa tuh,” ledek Romi, Rena pun hanya terkekeh kecil mendengarnya. “Hehe iya pak, tadi dikasih kak Doni,”

Baik Siska dan Romi pun saling bertukar pandang—entah mengapa seutas senyum jahil pun terpatri di wajahnya. Siska pun berdeham.

“Ada yang kalah saing nih abis ini,”

Hot news hot news

“Apaan sih kak… pak…,”

Kedua sejoli itu pun kembali berfokus pada Rena yang nampak tersenyum canggung dan tidak nyaman, apakah mereka berlebihan?

“Ini… pertama kalinya aku dapat bunga dari lawan jenis… aku… bingung bereaksi seperti apa,” jelasnya—ngeles.

Siska dan Romi pun saling betukar pandang—sepertinya mereka tahu dibalik raut wajah sendu milik Rena.

Sementara itu tidak jauh dari mereka bertiga, ada seseorang yang sendari tadi memperhatikan—bahkan jauh sebelum itu, saat Doni menyerahkan bunga Camelia kepada Rena.

Ia menghela nafas pelan, disimpannya sebuah kalung yang telah sengaja ia siapkan untuk sang gadis. Mungkin pada akhirnya dirinya memang kalah saing.

❣️❣️❣️

❣️❣️❣️

“Saal…. Indra Sal…,”

Faisal yang baru saja tiba di ruang tengah lingkar dalam alias kediaman pribadi milih Presdir JY Group tersebut hanya bisa menghela nafas berat melihat Romi yang merahuk sembari menunjuk Indra—sementara itu lelaki bersurai kehijauan tersebut hanya menatap sahabatnya datar yang sukses membuat Romi jengkel sebelum kemudian melemparnya dengan bantal sofa.

“Ehem! Nak Romi!”

Faisal hanya melirik sedikit ke arah pak Agus sebelum kembali ke arah Romi yang masih merajuk dan memberengut sembari memeluk bantal sofa yang ada.

“SEMUA SEMUA AJA BELAIN INDRA CURHATANKU GA PERNAH PENTING,”

Ah… jadi itu alasan Romi memanggilnya… dan jadi itu pula penyebab dirinya harus segera turun dari lantai dua lingkar luar untuk menuju ke sini

“Aku ngga bakalan terima alasan harus pause nonton film terus kesini cuma buat ngeliat kalian bertengkar atau ngeliat kamu merajuk ya,” keluhnya sembari melipat tangan di depan dada.

“Kamu juga memanggil Faisal?” tanya Indra yang sepertinya nampak kebingungan atas kehadiran anak didiknya tersebut. Wajahnya seketika jadi sedikit masam mengingat Romi bilang bahwa anak didikny itu akan lebih populer dibanding perempuan. Namun sedetik kemudian digantikan dengan sebuah senyum mengejek—yang tentu saja membuat Faisal merasa terejek.

“Aku salah apa?” tanyanya.

“Gapapa, Romi bilang kalau kamu lebih populer untuk masalah cewe tapi Indy bilang gantengan aku daripada kamu,”

Tentu saja Faisal seketika bingung—dengan ekspresi wajah tidak percaya dan mulut menganga.

“Ya kalau Rena bilang gantengan aku yang ada aku kamu smackdown” ledeknya sembari mengambil duduk di sebelah Romi.

“Tos dulu Sal,”

“Apa maksudnya?”

Baik Faisal dan Romi pun tos satu sama lain sembari menatap Indra menghakimi, “Ngga, gapapa” jawab mereka kompak.

“Jadi kenapa aku dipanggil?” todongnya langsung. Diambilnya sebuah bantal yang tadi dilempar Romi ke arah Indra untuknya berpangku tangan.

“Gimana dong Sal?!?!?”

“Apanya?”

“YA GIMANA—Oof!”

Dan sekarang gantian Romi yang mendapat sebuah ciuman mesra dari bantal yang dilemparkan oleh Faisal. “Konteksnya apaan malah gimana-gimana. Aku balik nih!”

Dan Romi pun menghela nafas pelan, “Maksud aku sama dia—ga usah aku jelasin siapa kamu pasti ngerti—kita tuh ya ngobrol dan chat sering tapi kok kayak ga ada gregetnya maksud aku kayak ya disitu-situ aja. Gimana dong ah,” tany Romi frustasi.

Sejujurnya jika tidak mengerti konteksnya orang yang mendengarkan curhatan Romi tentunya akan bingung tetapi Faisal sepertinya bisa meraba-raba dikit maksud dari dokter cinta yang saat ini tengah gundah gulana tersebut.

“Kamu pernah nanya ngga waktu ngobrol sama dia, kayak gimana kesannya atau apa?” tanya Faisal, “Katanya tuh seru ngobrol sama aku—lucu gitu,”

“Emang yang lucu gitu biasanya cocoknya jadi temen sih Rom,”

“Kamu tuh ngga diajak,” gerutu Romi kepada Indra sembari menunjuknya sebal—pendapat Indra adalah yang paling jujur dan tidak ingin ia dengar di situasi saat ini. Faisal pun hanya bisa tertawa menyindir, “Haha…,”

Ya sebenarnya ga salah sih

“Ya gimana ya Rom… itungannya juga sebenarnya kan kamu baru kenal sama dia… ngga mungkin dong tiba-tiba jadi gitu?”

Romi tidak langsung menjawab, lelaki bersurai pirang tersebut nampak menggaruk lehernya yang tak gatal dengan kikuk, “Iya sih…,”

“Tapi… AAARRGHHH PENGEN NYAKAR INDRA,”

“Nak Romi!”

Kekesalan lelaki bersurai pirang itu pun berganti dengan sebuah usapan yang cenderung mengacak-acak rambut hijau sang sahabat. Sementara itu Faisal hanya menggeleng melihatnya.

“Kok jadi aku?” tanya Indra, “Tau, ah aku kalo secakep kamu pasti udah pede aja deketin cewe,” kesalnya.

“Wow, coming from someone yang sangat flamboyan kayak kamu? Aku ngga nyangka loh,” ucap Indra, jujur saja karena sendari kuliah Romi yang Indra tau adalah seseorang yang sangat percaya diri akan tampang dan otaknya sehingga mudah modus sana-sini. Jadi wanita seperti apa yang didekati oleh sang dokter cinta tersebut hingga membuatnya tidak percaya diti seperti itu?

“Kalau menurut aku ya… kamu emang harus berusaha impress her tapi tetap jadi diri sendiri aja… but well in the other hand mungkin kamu harus dengar pendapat dari perempuan dan aku rasa ada satu perempuan yang bisa bantu kamu,”

Romi dan Indra pun menoleh ke arah pandang Faisal, mereka mendapati sosok Rena yang baru saja mengunjungi lingkar dalam kediaman Indra tersebut—sengaja untuk menyambangi sang kakak tentunya.

“Loh? Aku baru tau kalo pak Romi sama Faisal di sini,” ucap sang gadis yang nampak sedikit terkejut—apalagi Faisal tidak pernah terlihat sedikit pun di lingkar dalam.

“Hai Rena! Iya nih lagi ngumpul-ngumpul aja,” sapa Romi sambil cengengesan membuat Indra dan Faisal menatapnya sinis. Tadi aja insecure sekarang udah caper…

“Yak, kamu bisa nanya ke Rena sih buat tau sudut pandang lain. Saranku cuma itu sih, kalau gitu aku balik dulu ya,” pamit Faisal yang tentu membuat Rena kebingungan.

“Loh kok udah mau balik?”

“Eits kenapa sih buru-buru amat! Sini aja lah ngobrol-ngobrol kan jarang bisa kumpul gini!”

“Benar kata Romi, Sal. Kamu nonton apa? Sama siapa? Di sini aja ramaian pasti lebih seru,”

Faisal hanya bisa menghela nafas berat (lagi) saat Romi menahan dirinya sembari merangkul pundaknya. Tidak ada alasan untuknya mengapa diriny cepat-cepat pergi. Ia hanya merasa sudah cukup memberi saran dan tidak ingin menganggu waktu Rena dan Indra—lagi pula ada film yang sedang ia tonton, IA PENASARAN SETENGAH MATI!

“Indy, kamu keberatan ngga kalau semisal nonton bareng Romi dan Faisal sama kakak di sini?” tanya Indra tiba-tiba menyeret adiknya tentu saja Rena keberatan, di sisi lain Faisal yang justru keberatan akan hal tersebut.

“Hah engga usah lagian film yang aku tonton agak bikin ngga nyaman, ga usah lah,”

“Emang film apa yang kamu tonton?”

Faisal hanya mengalihkan pandangannya dari ketiga orang yang nampak menghakiminya—ia menolak untuk menjawab.

“Heh! Kalo ditanya tuh jawab!”

“Gwamwawu!” gumam Faisal tidak jelas saat Romi berusaha menolehkan pandangan Faisal untuk menatapnya—wajah lelaki itu nampak lucu dengan bibir manyun akibat tangan Romi yang menekan kedua sisi wajahnya, membuat Rena terkekeh kecil karenanya.

Faisal pun membalas Romi dengan mencubit pinggang milik Romi, membuat lelaki itu mengaduh kecil, “Udah sana coba kamu tanya Rena buat masalahmu tadi,”

“Mau nanya apa emangnya pak Romi,” tanya Rena yang mengambil duduk di sebelah Indra. Gadis muda itu nampak penasaran wajahnya berseri dengan seutas senyum yang mengembang. “Kenapa sih?”

Faisal tidak menjawab, lelaki itu melihat ke arah Romi yang masih diam saja, ia pun menghela nafas pelan. “Aku balik ya?”

“Faisal mau balik?” seolah pertanyaan retoris Rena pun mengulangi ucapan Faisal barusan, “Kamu ngga mau nonton di sini saja Faisal? Mumpung lagi pada ngumpul, bukannya lebih asik kalau nontonnya barengan?” tambah Indra—membuat Faisal sedikit berat hati, ah dasar dua kakak adik pemaksa! Faisal pun kembali mengambil duduknya.

“Jadi ada apa sih? Tumben kumpul-kumpul gini?” tanya Rena dari balik punggung lebar Indra, penasaran. “Tau nih Romi,”

Romi pun menyenderkan punggungnya pada sofa—loyo—Romi sedang loyo dan gundah—hanya perkara perempuan, yes, your number one playboy di kosan 95 sedang LOYO hanya karena mbak-mbak ketua geng itu.

“Ren… menurut kamu gimana sih buat bikin cewe tertarik sama kita? Sama cowo maksudnya… kayak ya kita deket sih tapi obrolannya kayak cuma basa basi doang—mau lebih dari itu… kek gimana cara biar deket gitu…,” keluh Romi.

“Pak Romi lagi deketin seseorang?”

“Yaaaaaaa…. Gitu….,” kilahnya, menolak menatap ke arah Rena karena takutnya gadis itu akan menanyainya lebih lanjut. Dilirik ya Faisal yang tengah duduk di sebelahnya sembari memperhatikan, “Ngapain ngeliatin aku? Itu loh Rena,”

Sementara gadis itu sepertinya paham akan yang dirasakan oleh Romi. Memang terkadang kalau untuk urusan perasaan seseorang seringkali merasa ciut akan dirinya sendiri—sifat alamiah dan natural manusia mereka ingin memberi impresi kepada orang lain yang justru membuat mereka tidak jadi dirinya sendiri—memaksakan sesuatu yang seharusnya dibiarkan berjalan semestinya.

“Setiap perempuan beda-beda ya pak…, tapi menurutku pribadi lebih baik jadi diri sendiri saja. Aku ngga terlalu peduli akan kesan yang diberikan asalkan kita berdua bisa saling nyaman berkomunikasi dan menghargai sudah cukup sih dalam memulai suatu hubungan,” jelasnya yang kemudian membuat Romi menghela nafas pelan.

“Tapi aku terlanjur dicap playboy sama mesum, jadi kalau normal-normal aja dianggap ada maunya…,”

“Tapi kan konteksnya bercanda pak? Kalau pak Romi tiba-tiba berubah kayak kak Indra juga pasti bakalan aneh—ah! Inget gak waktu kak Rudy tiba-tiba berubah kayak Faisal? Aneh banget kan? Aku justru lebih suka kak Rudy yang biasanya,”

Baik Romi, Faisal, ataupun Indra pun mendengarkan Rena dengan seksama—ucapan Rena ada benarnya, dan tentunya memberi kesan tersendiri khususnya bagi salah satu di antara mereka—membuatnya menyisakan satu senyuman getir.

Ini kayak awal-awal kita kenal ya, kamu pasti tertekan banget harus menhadapi seseorang sepertiku

“Indra kamu harus mulai khawatir kayaknya ada pria yang berhasil mencuri hati adikmu ini sampai dia bisa bicara gini,” celetuk Romi yang sontak membuat Rena semerah tomat dan salah tingkah, “A-aku engga!”

“Apa benar begitu Indy?”

“Engga kak! Kan tadi pak Romi nanya!”

“Cie wajahnya merah tuh cie… kalau ga ada kenapa malu gitu,” godanya semakin menjadi membuat Rena sedikit memberengut tidak percaya, astaga jahilnya… sementara itu Faisal lebih banyak diam sembari tersenyum melihat tingkah Romi dan Rena. Entah mengapa mood-nya sedikit tidak baik jadi ia memilih diam.

“Kamu sendiri suka cowo yang kayak gimana Ren?”

“Kok… jadi nanyain aku… kan tadi pak Romi…,”

“Ya gapapa, gantian aja sama mau tau aja. Siapa tau ada yang mau memaksakan diri,”

“Maksudnya gimana?”

Romi tidak menjawab pertanyaan Indra barusan tetapi ia justru menyikut Faisal yang sendari tadi banyak diam itu.

“Tapi, kakak juga ingin tahu, kalau memang Indy ada orang yang disuka… kira-kira orang yang seperti apa dia,”

Sang kakak pun mengalihkan pandangannya kepada adik perempuannya tersebut, Rena hanya melihat bergantian ke arah Romi, Indra, dan Faisal yang menunggu jawabannya itu. Entah mengapa ia merasa kedua pipinya seketika memanas dan bersemu dengan sendirinya. Ia pun mengalihkan pandangannya jika tidak akan membuatnya semakin malu.

“Aku… aku pribadi sih suka seseorang yang bisa membuatku merasa nyaman dan aman…,” jawabnya malu-malu sembari memainkan anak-anak rambutnya.

Boo ga asik ah jawabannya normatif banget, kalau Faisal sendiri kamu suka perempuan yang gimana?”

“Kok jadi aku?”

“Ya gapapa biar semuanya kebagian,”

Faisal pun meregangkan tangannya dan menjatuhkan punggungnya pada sandaran sofa. Tangan kanannya digunakannya untuk memangku dagunya—sedikit menutupi mulutnya, seutas senyum kecil yang sangat jarang sekali terlihat.

“Hmm… kalo aku pribadi… aku suka seseorang dengan kepribadian baik… dan perempuan yang tangguh serta teguh akan pendiriannya,” jawabnya sembari melirik ke arah berlawanan, seakan berusaha mengingat-ngingat sosok yang diucapkannya tersebut.

Boo ga asik ah jawabannya pada normatif semua,”

“Ah, kalau boleh menambahkan. Aku suka perempuan yang punya senyum manis,”

Satu jawaban yang seketika sukses membuat Romi meremas bahunya memaksa Faisal untuk menghadap wajahnya. “SIAPA WANITA YANG BERHASIL MENCURI HATIMU WAHAI FAISAL?!?!” tanya Romi heboh yang justru dibalas kekehan geli dari Faisal.

“Siapa ya~? Rahasia~,” candanya, “Aduh tolong lepas sakit…,”

Faisal pun merenggangkan bahunya sebelum kemudian berdiri dari posisinya. “Yaudah ya, aku sudah mendengar curhatmu. Terus ini jadi ngga nontonnya? Kalo ga jadi aku balik kamar,”

“Ya jadi dong!”

Romi pun mengambil remote TV yang tersedia dan kemudian menekan tombol saluran untuk aplikasi Netflix pada TV pintar tersebut. “Mau nonton apa nih?” tanyanya.

“Faisal, kamu tadi nonton apa?”

Tanya Indra membuat Faisal menatap ketiga manusia lainnya dengan pandangan ‘Kok jadinya aku?’

“Kan tadi kamu yang pengen nonton gimana sih,”

“Lah kalian kan yang nahan aku biar bisa nonton di sini,”

“Iiiih udah dooong kok malah jadi gini,” ujar Rena melerai Romi dan Faisal. Tangan gadis itu seakan berusaha menggapai-gapai kedua lelaki itu dari bali tubuh besar Indra, “Ini juga kak Indra diam aja ih gimana sih,”

Nah loh jadi pada salah-salahan

Faisal pun menghela nafas pelan, “Aku tadinya nonton film psychological horror tapi karena ada Rena di sini aku ada film lain yang ingin aku tonton,”

“Emangnya kenapa kalau ada aku?”

Dan Faisal pun memandang Rena seolah mengulangi pertanyaannya. “Kamu kan anaknya gampang mimpi buruk,” jawabnya singkat.

“Jadinya kita nonton apa?” tany Romi kepada Faisal yang masih sibuk mengetikkan judul film di kolom pencarian dengan menggunakan remote TV.

“The Quite Girl,”

“Ah aku pernah dengar film ini. Dari Iran kan ya? Katanya memang ceritanya bagus,” celetuk Indra tiba-tiba.

“Emang ceritany tentang apa?”

“Seorang anak gadis pendiam yang kemudian diasuh oleh paman dan tantenya,” jelas Faisal singkat

Setelah menemukan judul film yang ingin ia cari pun Faisal menekan film dengan thumbnail seorang gadis kecil tengah berlari. Indra pun turut menyuruh Rizal untuk ikut menonton. Selama menunggu bumper tulisan Netflix diputarkan Faisal pun mengambil tisu dan minuman untuk mereka semua.

🌻🌻🌻

“Ayato!”

Lelaki jangkung bersurai kebiruan tersebut menoleh manakala namanya dipanggil oleh suara yang cukup familiar bagi telinganya. Raut wajahnya yang semula nampak bingung itu pun seketika berseri mendapati sosok Chiori yang tengah duduk di areal indoor cafa langganan mereka (dulu) yang tak jauh dari jendela besar untuk menikmati pemandangan view kota pada malam hari.

“Sori telat, kamu udah lama nunggu?” tanyanya yang dijawab anggukan pelan dari Chiori, “Baru aja sampai sama pesen kok, kamu pesen aja dulu sana,”

Ayato pun meletakkan pondelnya di atas meja kaca di hadapan Chiori, seakan gesture yang tanpa sadar selalu ia lakukan, menandakan bahwa sudah ada orang yang bersama gadis tersebut.

“Eh tunggu,”

Ayato pun kembali berbalik saat Chiori memanggilnya. Gadis itu pun nampak seakan mencari-cari sesuatu dalam tas kecilnya sebelum kemudian menyerahkan satu buah kartu debit kepada sang lelaki.

“Apa?”

Just in case you wont forget your payment sih,” jelasnya meledek membuat Ayato mendengus sebel, “Ngeledek ya kamu,” dan Chiori pun hanya terkekeh kecil

“Kan in case lagian uangmu juga ada di sini kan lima ratus ribu,”

Ayato pun mengalah, diambilnya kartu debit sang gadis, “Pinnya masih sama?”

“Heem,”

🌻🌻🌻

Tak berlangsung lama, Ayato pun kembali dengan secangkir kopi dan juga dua sliced cake, satu tiramisu matcha—favorit Chiori—dan satu opera cakehis forever favorite.

“Loh kamu mesenin aku cake? Gausah,”

“Udah gapapa, my treat,”

Diletakkannya dua kue tersebut di hadapan mereka masing-masing. Saat ini, alih-aloh layaknya dua orang sejoli mereka justru menyerupai dua orang asing yang hendak membahas masalah bisnis bersama.

Dimainkannya ujung sendok kopi miliknya, kecanggungan menyeruak diantara mereka, baik Chiori maupun Ayato tidak ada yang hendak memulai pembicaraan terlebih dahulu sampai akhirnya Chiori menghela nafas pelan.

“Tadi jalanan ke sini macet?” tanya Chiori berbasa-basi (yang tentu terdengarnya sangat basi).

“Engga kok, cuma tadi nyari kunci mobil hehe,” Chiori pun memandang Ayato sangsi, ia sudah hafal betul kebiasaan lelaki di hadapannya ini. “Ketemu ngga akhirnya?”

“Hehe… engga… aku kesini pakai mobil Ayaka jadinya…,”

Dan Chiori pun mendecih, disappointed but not surprised enough karena ya itu memang Ayato. “Kebiasaan,”

“Ayaka apa kabar? Salam ya buat Ayaka sama Kazuha sekalian, aku terakhir ketemu minggu lalu,”

“Oke nanti pas balik bakalan aku sampaikan. Ayaka baik sih walau dia agak sibuk bolak balik rumah sakit karena kemarin Kazuha masuk RS… harus rawat inap karena pingsan di kantor,”

“Kok bisa?”

“Asam lambungnya kumat, terus abis cek lab semuanya ternyata tipes… kayaknya dia kecapekan ngurus perusahaan keluarganya yang hampir defisit itu…,”

Chiori hanya mengangguk paham, ia mendengar berita akan collaps-nya perusahaan Kaedehara—keluarga Kamisato (khususnya Ayaka dan Ayato) lah yang membantu keluarga Kaedehara sehingga dapat bertahan.

Sebenarnya semua akan lebih mudah jika Kazuha memutuskan bergabung dengan perusahaan Kamisato, tetapi Kazuha begitu kekeuh dan keras kepala mempertahankan usaha keluarganya tersebut—harga diri seorang laki-laki yang teramat tinggi. Namun bagi seorang pebisnis seperti halnya juga Chiori dapat mempertahankan perusahaan yang hampir kolaps merupakan suatu achievement tersendiri.

“Oh iya, besok aku mau nengok Kazuha, mau ikut gak?” ajak Ayato tiba-tiba… Chiori tidak langsung menjawab, keheningan meyeruak di antara mereka…

“Eh…? Uh… boleh… kabari aja besok mau berangkat jam berapa… langsung ke rumah sakit atau aku ke rumahmu dulu?”

“Rumah aja dulu, berangkat bareng-bareng aja,”

Dan Chiori hanya mengangguk—kembali hening—kenapa rasanya percakapan-percakapan mereka tidak terdengar sebagai dua sejoli yang baru saja putus cinta, tetapi di saat bersamaan terasa begitu asing dan jauh.

Chiori menghela nafas pelan, ia harus berani membicarakan permasalahan ini dengan Ayato.

“Kamu…, ga masalah kalau aku ikut?” tanyanya berharap Ayato mengerti. “Aku kan yang nawarin, kenapa emangnya?” dan Chiori pun hanya bisa mengerlingkan matanya sebal.

“Bukan itu, tapi dengan sesuatu di antara kita—kamu tau, hubungan kita sudah lama berakhir… setidaknya yang itu aku yakini…,”

Ah, sepertinya Ayato mengerti akan kemana arah pembicaraan mereka

“Ah… jadi kamu mau bahas ini ya…,” gumam Ayato, lelaki itu menyeruput kopinya sebelum melanjutkan, “Apa kamu kecewa denganku… karena ngga bisa mempertahankan hubungan kita…?”

Dan Chiori pun kembali menghela nafas berat, “Itu bukan salahmu, salahku juga… kita waktu itu terlalu sibuk dan egois sama diri masing-masing,”

“Aku… aku minta maaf… karena mungkin ini jadi menyulitkan kita berdua, tapi aku senang kamu mau membahas hal ini lagi…, haha jujur kalau berharap sih aku berharap kita bisa balik lagi… tapi itu semua terserah kamu,”

Ucapan Ayato tersebut sontak membuat Chiori terkekeh kecil—sementara itu sang lelaki nampak tersipu malu—dirinya tidak suka ditertawakan seperti ini, “Kok ketawa sih…,”

“Lucu aja, ngeliat Kamisato Ayato ngga percaya diri buat ngajak ‘mantan’-nya balikan. Aku kira kamu bakalan ngotot…,”

“Semua balik ke kamu, lagipula perasaan ngga bisa dipaksa kan,” balasnya, membuat Chiori seketika mendecih, “Kalau gini keluar tengilnya,”

Chiori pun memangku dagunya dengan tangan kanannya. Dirinya sedikit terkekeh mengingat salah satu cuitan asal bunyinya itu.

“Kamu mungkin gatau, tapi dulu aku pernah iseng nge-tweet kalau umur 27 tahun aku masih jomblo dan ketemu sama kamu lagi apa aku ajak nikah kamu ya. Eh sekarang kita lagi ketemu dan bahas hubungan kita, tepat di umurku 27 tahun, lucu aja gitu,”

“Aku sakit hati loh kalo kamu mau balikan sama aku karena ‘kepepet’ bukan karena masih ada rasa,” gerutu Ayato yang kemudian dilempar oleh Chiori dengan buntelan tisu, “Alay,”

“Tapi beneran, kalo kayak gitu mah mending gausa balikan aja daripada kepaksa… hopeless romantic aja kedengerannya,”

“Duh ya Ayato, cewe tuh suka kalo dipaksa cowoknya, kamu kayak gini mah yang ada cewek-cewek males,”

“Tapi kamu males ngga,”

Chiori tidak menjawab, ia memilih untuk memakan cake-nya dan membuat Ayato pun seketika ‘merajuk’ untuk mendengar jawabannya.

Tidak ada jawaban akhir atau final terkait hubungan mereka ini. Mungkin, ya mungkin mereka ingin melewatinya terlebih dahulu—paling tidak mereka sudah membicarakan… dan yah untuk menikah dengan Ayato… mungkin kalau kesempatan kedua ini tidak berhasil maka itulah akhir bagi mereka…

🌻🌻🌻

Author note: saat ini sepertinya Ayato dan Chiori tengah mencari vendor nikahan mereka

🌻🌻🌻

🌻🌻🌻

Ponsel pintarnya itu seketika berdering tepat saat dirinya baru saja mengirimkan pesan singkat kepada sahabatnya—Navia—mengatakan bahwa dirinya ingin curhat kepada sang sahabat.

Navia kalau urusan beginian mah gercep

Dan benar saja, sesaat ia lihat siapa nama pwmanggil dari pnggilan tersebut batinnya pun hanya bisa menggumam, ‘kan’.

Daripada dirinya menunggu lebih lama lagi, ia pun segera menerima pnggilan tersebut—atau jika tidak Navia akan meng-spam dan mengomelinya karena lama mengangkat teleponnya.

MAU CURHAT APA SHAAAAY

Dan suara cempreng Navia menjadi pembuka yang pertama kali ia dengar—Chiori pun menghela nafas pelan.

“Aku di chat lagi sama Ayato,”

Dan ia pun dapan mendengar suara histeris disebrang sana—entah mengapa Chiori dapat membayangkan ekspresi mengejek milik Navia saat mendengar ucapannya tersebut.

Terus gimana?

“Ayato cuma mau gantiin uangku sih… tapi ya gitu harganya ga sampai lima pulih ribu di transfernya sampai lima ratus ribu,”

Dan Chiori pun dapat mendengar suara tertawa milik Navia di sebrang sana—gadis itu terdengar begitu puas menenertawakannya, khususnya percintaannya.

Ada-ada aja ya modusnya orang kaya, duh jadi mau dideketin ornag kaya

“Aku aduin ke Neuvilette ah,”

JANGAAAAN AKU GAMAU PUTUS DARI NEUVILETTE

Dan sekarang gantian Chiori yang terkekeh kecil, “Lagian aneh-aneh sih,”

Eh tapi kamu kok bisa putus sih sama Ayato? Seingetku kamu ga pernah cerita kenapa, cuma bilang udah putus aja

“Eh, masa?”

🌻🌻🌻

Sebenarnya jika membahas kapan dirinya putus kontak dengan Ayato ataupun berhubungan dengan Ayato… Chiori sendiri pun lupa tepatnya kapan…

Bagi mereka berdua semua terlalu tiba-tiba dan begitu saja terjadi—seakan sudah tiada lagi sparks dalam hubungan mereka yang kemudian membuat mereka terbiasa sendiri dalam melanjutkan hidupnya.

Tetapi mungkin, semua bermula ketika ia melanjutkan studinya di negeri nan jauh di sana. Jauh dari rumah dan juga cintanya.

🌻🌻🌻

Saat itu usia Chiori dua puluh empat tahun dan Ayato dua puluh lima tahun—memang setahun lebih tua di atasnya—ia masih ingat betul, saat itu adalah masa-masanya untuk mereka berdua menempa diri, tidak ingin dikekang oleh suatu komitmen ataupun hubungan, mereka ingin terus berkembang (memuaskan ego dan memenuhi validasi) maka hubungan mereka pun diarahkan asalkan tidak menganggu proses menempa diri tersebut.

Semula semua berjalan lancar—karena mereka berdua pun tak pernah masalah jika harus berhubungan jarak jauh asalkan komunikasi terjaga—tetapi seiring berjalanny waktu, seiring dengan kesibukkan dan tanggung jawab yang bertambah entah mengapa Chiori merasa hubungan mereka semakin jauh dan jemuh… seolah mereka hanya saling bertukar kabar, berbasa-basi, tanpa adanya intimacy di dalam percakapan mereka… membawa pada rasa bosan dan perasaan yang membuat mereka dapat melalui hidup seorang diri.

Baik Ayato maupun Chiori pun terbiasa sendiri (pada akhirnya) hingga suatu ketika intensitas saling bertukar pesan dan kabar itu semakin berkurang dan jarang—membawa mereka pun pada rasa asing pada hubungan mereka.

Lah kalo gitu kamu sama Ayato belum putus dong?

“Ngga tau, tapi ya kalo udah ga berhubungan sama saling tau kabar masing-masing sih aku nganggepnya aku saka Ayato udah lama selesai. Bahkan dia aja gatau kan kalo aku udah selesai study dari Fontaine,”

Terus, kamu ngga ada niatan ngobrol gitu sama Ayato? Soal perasaanmu dan hubungan kalian, bir ada kejelasan closure-nya gitu

Pertanyan Navia tersebut sejatinya sudah sering Chiori tanyakan untuk dirinya sendiri. Sejatinya hatinya berasa dalam zona abu-abu dan hubungannya dengan Ayato pun berasa suatu yang nyata namun juga semu di saat bersamaan.

Sebenarnya hubungan mereka ini apa? Pada akhirnya kelanjutannya seperti apa? Dan bagaimana akhirnya?

Dan di saat diriny dan Ayato telah kembali dipertemukan dan didekatkan entah mengapa ia merasa sedikit ragu.

Apakah karena sejatinya ia berharap bahwa sendari dulu hubungannya dengan Ayato baik-baik saja? Apakah sebenarnya semua penyangkalan ini karena adanya harapan bahwa seharusnya mereka tidak berakhir seperti ini? Perasaannya pada Ayato yang sebenarnya pun dengan sengaja ia sembunyikan dengan rasa kecewa karena tidak bisa mempertahankan hubungannya dari rasa jemuh akan jauhnya fisik dan hati mereka.

“Aku… gatau…,” jawabnya lirih dan terdengar helaan nafas panjang di sebrang sana.

Yah… aku cuma bisa berdoa dan berharap kamu sama Ayato bisa ada kejelasan pada akhirnya… menurutku apa yang membuat kamu seakan ‘digantung’ oleh rasa denial-mu itu karena tidak adanya closure diantara kalian. Memulai baru ngga bisa tapi bertahan pun salah

Ya, dan Chiori pun berharap demikian.

🌻🌻🌻

🌻🌻🌻

“Wah… ga bisa pakai debit BCT ya kak?”

“Iya kak maaf, gak bisa,”

Lelaki jangking bersurai kebiruan tersebut sedikit tersenyum masam—dibalut senyum korporat andalannya—sebagai seorang cashless person ketika suatu toko tidak bisa menggunakan transaksi bank miliknya itu layaknya buah simalakama untuknya.

Padahal adiknya Ayaka selalu berulang kali mengingatkannya untuk jaga-jaga membawa uang tunia barang seratus ribu mora saja. Tetapi dirinya terlalu meremehkan dan menggampangkan perihal tersebut—uang tunai yang ia sediakan hanya sebatas recehan untuk keperluan kecil-kecilan seperti parkir contohnya.

Ia pun merutuki dirinya karena membiarkan ponselnya habis daya karena dibuat bermain Candy Crush…

Ini belum seminggu tetapi entah kenapa kesialan Ayato berasa telah dirapel dalam satu hari

Tenang, ingat, dia adalah Kamisato Ayato, semua pasti ada jalannya—

“Tolong tambahkan satu Cappucino dan Croissant pada pesanan tuan ini ya, billing-nya jadikan satu aja,”

Ayato yang semula nampak lesu dan gundah itu pun seketika menolehkan dirinya ke arah seseorang yang tiba-tiba menghampirinya—berdiri di sampingnya—dan ‘menyelamatkannya’ dalam tanda kutip untuk situasi yang cukup memalukan baginya ini.

Mata biru safirnya itu itu pun beradu pandang dengan kedua manik berwarna ruby yang begitu familiar untuknya. Siapa sangka ia dapat bertemu kembali dengan… wanita itu… raut wajahnya masih sama dan tidak pernah berubah, nampak galak dengan pandangan mata yang tajam.

“…loh Chiori,”

Sang barista pun meninggalkan mereka setelah transaksi selesai, membuat pesanan mereka. Seakan basic common sense mereka berdua pun bergeser ke area pantry untuk mengambil pesanan mereka—sembari menunggu pesanan mereka selesai dibuatkan.

“Kebiasaan kamu ngga berubah ya, selalu lupa bawa uang tunai,”

Entah mengapa ada sesuatu yang menusuk namun juga membuatnya turut senang

“Hahaha dan kamu juga ga berubah terlalu banyak, masih pedas ya omongannya,”

Dan Chiori pun mengerlingkan matanya, “Jadi begitu caramu berterima kasih pada orang yang membantumu?”

Sekarang adalah giliran Ayato untuk tertawa. Chiori masih tetap sama, masih dengan gengsinya yang tinggi namun tetaplah sosok yang baik hati.

“Makasih ya, telah membantukan dari situasi yang sebenarnya cukup memalukan bagiku,” ucapnya.

“Btw apa kabar? Bukannya kamu lagi study di Fontaine ya?” tanya Ayato berbasa-basi.

Bohong, sebenarnya dia ingin mengobrol lebih lama dengan Chiori

“Sudah selesai dari tahun lalu, makanya balik buat coba buka bisnis di Inazuma,” jawab sang gadis.

Sungguh pembicaraan mereka terdengar teramat sangat basi—basa basi yang basi ini namanya—dan juga kaku. Ada kecanggungan di sana.

“Ah… iya, kemarin Ayaka cerita abis ketemu kamu di tokomu yang di plaza,”

Dan Chiori pun mengangguk sebagai jawabannya, mengonfrimasi cerita Ayato tersebut.

“Hum, aku ketemu sama Ayaka dan Kazuha waktu lagi visit ke salah satu butik”

Hening sejenak, “Ayaka masih sama Kazuha ya? Sudah berapa tahun mereka bareng?” tanya Chiori tiba-tiba, memulai topik pembicaraan baru.

“Kalau aku nggak salah ingat, sekarang sudah tujuh tahun,”

“Wah, langgeng juga ya mereka,”

Iya, ga kayak kita

Atas nama kak Ayato

“Ini ya kak pesanannya, satu bubble tea, satu Cappucino, satu air mineral, dan satu Croissant,”

Barista itu pun menyerahkan pesanan mereka, melihat minuman yang dipesan oleh Ayato tersebut entah mengapa—tanpa sadar membuat Chiori terkekeh kecil.

Mengerti karena dirinya tengah ditertawakan membuat Ayato sedikit salah tingkah, “Kenapa ketawa…?” gerutunya.

“Kamu ini… khawatir akan gula makanya beli air mineral tapi tetep beli bubble tea,” ledek sang gadis dengan senyum miring di wajahnya.

“Namanya juga minuman favorit,”

Gadis itu pun terkekeh sembari menggelengkan kepalanya, diambilnya kedua pesanan take away-nya tersebut.

“Ya sudah ya, aku duluan. Lain kali jangan lupa bawa uang cash ya! Biar ngga ngerepotin orang lain khususnya Ayaka,”

Sang gadis itu pun berlalu dengan sebungkus paper bag di tangannya. Namun, sebelum sosok mungilnya hilang dari balik pintu, Ayato pun memanggil namanya.

“Chiori!”

“Ya?”

Nice to see you again…

Genggaman tangan sang gadis pada ganggang pintu itu pun mengantung. Pandangan matanya seakan tak percaya mendengar ucapan dari Ayato tersebut—membuat kedua bibir ranum kecilnya itu sedikit menganga sebelum digantikan seutas senyum kecil.

“Ya, nice to see you again Ayato,”

“Kapan-kapan aku boleh mampir butikmu kan?”

“Boleh-boleh aja tapi aku belum masukkin koleksi untuk man’s wear jadi kamu bisa ajak cewekmu buat liat-liat,”

🌻🌻🌻

———

please listen to this bgm for better experience

https://youtu.be/dOlzBzNtAWc?si=w_k_464QOlw7bKWe

———

“Putri Anda harus makan…, sudah beberapa hari Anda hanya makan sekali dan itupun Anda muntahkan… kondisi Anda pun kian memburuk,”

Budi duduk berjongkok di hadapan sang Putri. Sejak insiden tersebut ia bawa penerus tahta Sindari tersebut untuk berlindung di perlindungan kerajaan Jaya—untuk saat ini hanya itulah tempat teraman bagi mereka untuk berpulang.

Meskipun demikian sejak hari itu kondisi Fani begitu memburuk dan melemah—binar hidupnya seakan melemah—seakan pusat semestanya telah direnggut seumur hidup dari dirinya. Dunianya telah dirampas dan ia hanya melanjutkan hidupnya yang telah hancur.

Walau Budi senantiasa mendampingi tatapan mata sang gadis tidak pernah tertuju pada dirinya—tatapannya seakan menerawang jauh—seperti mengejar sesuatu yang tidak pernah dapat ia gapai.

“Monsieur Budi…,”

Tuan pemilik nama itu pun menoleh, mendapati putri kerajaan Jaya yang berjalan dengan anggun ke arahnya. Gadis bersurai jelaga tersebut pun duduk bersimpun di hadapan Fani, menganggam tangannya lembut sembari tersenyum ke arahnya.

“Kak Fani… makan yuk… aku dulang ya…? Kalau kondisi kak Fani kayak gini Monsieur Faisal pun tidak akan senang melihatnya…,” bujuknya, diusapnya lembut tangan putih pucat pasi yang semakin mengurus tersebut.

Kelembutan dan ketulusan hati sang gadis sepertinya mampu menyentuh reling hati terdalam sang putri, yang masih menyimpan nuraninya. Tangannya terulur untuk mengelus pipi tersebut, Fani pun tersenyum lembut.

“Berbahagialah… berbahagialah kalian…,” ujarnya dan Rena hanya tersenyum mendengarnya, “Maka berbahagialah juga kak Fani…, di dunia yang diperjuangkan oleh Faisal,”

Momen intim mereka tersebut pun terganggu saat alarm kerajaan Jaya berbunyi nyaring, seketika mengalihkan fokus semua orang. Budi pun segera bangkit dari posisinya saat melihat Romi—dokter kerajaan Jaya terlihat kalang kabut.

“Romi?! Ada apa?!” tanya Budi dan hanya dengan melihat raut wajah sang dokter mereka semua tau sesuatu yang buruk baru saja terjadi.

———

Dengan tertatih dan susah payah dirinya berpegangan pada pagar besi kerajaan. Sensasi dingin seolah memberikan rangsangan listrik bagi kulitnya.

Dipandangi lamat-lamat pemandangan kota yang nampak damai—seolah kembali menjalankan aktifitasnya seperti sedia kala—dan ia ingat betul kilasan balik dan memori mengerikan di mana puing-puing bangunan dan api menjalar ke mana-mana.

Dipegangnya dada sebelah kirinya—dapat ia rasakan degup jantung yang begitu keras—selayaknya hari di mana ia siap memasuki ruang eksekusi untuk bertatap muka dengan sang ajal. Dan dirasakannya setiap hembusan dan helaan nafas berat yang memenuhi relung paru-parunya.

Setiap harinya ia merasakan kehidupan, kehidupan yang seharusnya tidak pernah ada

Seketika impuls otaknya pun bekerja sangat cepat memberikan lonjakan informasi dan reaksi akan kepanikan dan trauma tiada henti. Ia dapat menyiumnya, bau anyir darah. Dirinya dapat merasakannya, sayatan luka pada bagian perutnya yang dalam.

Kepalanya pun seketika terasa pusing, seluruh tenaganya pun seakan hilang, membuatnya membungkuk lemah.

Tidak, tidak seharusnya dia tidak di sini—

“TUANKU!”

Sosok berjubah panjang itu pun menghampirinya, membopong tubuh yang sudah teramat lemah tersebut. Tetapi lelaki itu begitu keras kepala, dengan sisa tenaganya ia berusaha memberontak—bulir air mata lun tanpa sadar jatuh membasahi kedua pipinya.

“Kenapa… kenapa?! Kenapa aku masih di sini?! Aku—aku…! Semua gagal… aku gagal… semuanya sia-sia!” ujarnya tidak menentu.

Pikirannya saat ini sangat kalut, bagaimana dengan Sindari? Bagaimana dengan Fani? Bagaimana dengan keselamatan kerajaan Jaya?! Bagaimana dengan—

Tangannya pun bergerak untuk membuka perban yang melilit tubuhnya, sengaja memukul-mukul luka perutnya yang belum kering tersebut tetapi dengan segera di tahan oleh Tomy.

“Saya mohon Anda berhenti,” perintahnya. Namun lelaki itu seakan tidak mendengarnya.

“Tidak seharusnya aku di sini…aku—aku harus lenyap—ikut terlahap…,”

Tentu saja semua yang terjadi—dan nubuat itu, menyisakan luka trauma yang tidak akan pernah bisa sembuh.

Tetapi bagi mereka yang masih diberi kesempatan sudah seharusnya melanjutkan hidupnya

Berbahagialah

Jika ia masih hidup bisakah orang lain merasakan bahagia dan aman?

Pikirannya kacau—dirinya sudah tidak ada lagi keinginan atau harapan untuk hidup, bahkan berbahagia sekali pun. Dirinya telah siap untuk mati, dirinya telah membuang semuanya lantas untuk apa dia kembali jika tidak ada yang meninginkannya.

“Tuan tenanglah, Anda akan semakin memperburuk kondisi Anda,” pinta Tomy yang tidak dihiraukan.

Derap langkah kaki pun seketika terdengar—langkah kaki yang tidak dapat didengarkannya sekalipun. Tomy menolehkan pandangannya, mendapati raut wajah penuh kekhawatiran dari orang-orang.

Meski demikian dari semua raut khawatir, cemas dan gusar yang ada—terdapat satu ekspresi penuh kelegaan dari sosok sang putri—dari seorang yang dunianya pun turut terhenti saat dirinya tidak sadarkan diri. Poros kehidupan mereka pun perlahan bergerak lagi.

“FAISAL!”

Satu buah panggilan yang seketika sukses mengembalikan kesadaran dan akal pikiran ia yang dipanggil. Kedua manik kelabu itu saling bertukar pandang. Sorot mata penuh kelegaan dan kekhawatiran itu pun saling beradu.

Genggaman Tomy kepada lelaki bernama Faisal itu pun mengendur. Ia melangkah minggir, memberikan ruang bagi mereka yang selama ini saling terpaut jauh.

Sang gadis pun berlari, menghambur ke dalam pelukan sang tuan yang masih nampak kebingungan itu. Ia menangis tersedu-sedu dalam punggung lebar yang tidak pernah ia percayai dapat renguh kembali setelah insiden itu.

Tangisnya pecah sementara sang lelaki hanya bisa dian termangu—haruskah ia merutuki hidupnya atau dirinya sendiri—kenapa dirinya ingin menyerah di saat orang-orang pun berusaha untuk memperjuangkannya…

Kenapa… kenapa…?

“Kenapa… kalian…?”

Satu buah pertanyaan yang Fani tau betul arahnya.

“Karena hidupmu pantas untuk diperjuangkan… karena kamu pun pantas berbahagia…,”

Tangis lelaki itu pun tumpah dalam pelukan erat saudari kembarnya. Dunianya, semestanya.

Karena tidak pernah ada yang namanya derita mutlak dalam kehidupan ini

———

Senyum sumringah tidak bisa lepas dari wajah sang puan, kebahagiaannya telah kembali padanya, poros dunianya kembali berputas. Dielusnya lembut surai gelap milik Faisal yang saat ini tengah terlelap karena pingsan akibat emosi yang membuncah.

Sementara itu, Rena, gadis lain pun hanya diam memperhatikan—ada setitik rasa iri dan bersalah dalam hatinya. Dirinya juga ingin bersama dunianya, tetapi dunia Faisal dan Fani jauh dirampas sebelum miliknya.

Mengerti jika perbuatannya tak elok maka ia perlahan meninggalkan persenyembunyiannya yang tentunya di sadari oleh dara lainnya.

“Indy…,” panggilnya lembut. Fani pun berdiri dari posisinya, langkahnya anggun mendatangi Rena, “Berbahagialah, berbahagialah dengan kasihmu…, berbahagialah karena kamulah dunianya,”

———

Jemari lentiknya tergerak untuk mengelus dan menyusuri paras rupawan milik tuan yang tengah tertidur. Dilayangkannya sebuah kecupan panjang pada bibir pucat yang sebelumnya nampak ranun dan menjadi favoritnya. Air matanya pun menetes tanpa sadar—penuh syukur nan haru.

Di tatapnya lamat-lamat sosok yang tengah terlelap tidur tersebut—Rena terkekeh geli, ini mengingatkannya saat Faisal juga dirawat setelah melindunginya—dan kali inipun Faisal pun melindunginya, kebahagiaannya, dunianya.

Rena merutuki dirinya sendiri.

“Kenapa kamu selalu mengkhawatirkan orang lain jauh melebihi kamu mengkhawatirkan dirimu sendiri…?” tanyanya yang tentu tidak akan mendapat jawaban apapun.

Nafas lelaki itu nampak beraturan dalam tidurnya, dimainkannya tangan kekar yang selalu sukses memberikannya balutan kehangatan manakala tangan tersebut selalu menangkupnya.

Pandangannya pun teralih pada sebuah cincin yang melingkar di jari manisnya—cincin yang sama yang selalu ia kenakan—sebagai bukti kepercayaannya yang tidak akan pernah terkhianati sekalipun.

Hingga akhir pun Faisal tidak pernah mengkhianatinya

“Terima kasih… terima kasih karena telah kembali,” bisiknya sembari menghadiahi sebuah kecupan panjang sebelum kemudian ikut terlelap sembari merangkul tangan tersebut.

———

Dibukanya perlahan kedua kelopak matanya—pandangannya masih sedikit mengabur, bias teranam cahaya lampu kamar itu pun perlahan membantu dirinya untuk mengembalikan fokus pandangannya.

Ia menghela nafas pelan, ugh—dapat ia rasakan tangan kanannya sedikit kebas—dan saat ia alihkan pandangannya, di dapatinya dara ayu yang tengah terlelap di sana, membuatnya pun tak rela mengusik tidurnya.

Pandangan matanya melembut, tetapi tidak ada sebuah senyum di sana—hanya sebuah rasa kecewa dan penyesalan. Tangannya perlahan mengelus lembut pipi sang dara.

“Bahkan setelah semuanya kamu masih mengkhawatirkan orang sepertiku…,” bisiknya.

Dirinya telah membuang semuany, rumahnya, hidupnya, kebahagiaannya, dan cintanya. Tetapi mengapa sang terkasih masih memiliki hati untuk menerimany—mengkhawatirkannya—menunggunya kembali.

Seharusnya gadis itu mendapatkan seseorang yang lebih baik, mencintainya dengan layak dan membahagiakannya.

“Aku minta maaf karena membuatmu menderita…, aku minta maaf karena pada akhirnya hanya bisa melukaimu…,”

Usapan lembutnya sepertinya sedikit mengusik mimpi sang puan. Gadis bersurai hijau itu sedikit bergerak tidak nyaman, membuat Faisal pun menghentikan gerakannya.

Gadis itu pun perlahan terbangun, genggaman tangannya masih teramat kuat pada miliknya—seakan memastikan diriny tidak akan pernah pergi kemana-mana lagi.

Selang beberapa waktu kedua pasang manik tersebut beradu pandang—tiada senyuman yang ia hadiahkan untuk sang puan—rasa bersalah dan penyelasannya teramat sangat besar hingga membuat hatinya begitu getir bahkan untuk memberikan seutas senyuman.

Namun, berbeda dengannya dara ayu tersebut justru tersenyum lembut ke arahnya. Kedua matanya menyipit indah layaknya bulan sabit.

“Syukurlah kamu sudah sadar…,” ucapnya dan Faisal tidak dapat berkata apa-apa lagi.

Ditariknya tangannya, ditundukkannya pandangannya, ia rendahkan dirinya serendah-rendahnya di hadapan sang puan—cintanya.

“Kamu… kenapa? Ada yang sakit?” tanya Rena yang dibalas sebuah gelengan kepala.

“Aku…,”

Lelaki itu pun bersuara, pelan sekali, meski demikian tangannya pun perlahan menggenggam lembut tangan sang gadis. Dengan mata yang berkaca-kaca ditatapnya kedua manik sejernih jelaga tersebut.

“Aku… minta maaf…, maaf karena selama ini sudah mengecewakanmu… maaf karena sudah mengkhinati kepercayaanmu…, dan maaf karena sudah melukaimu…,”

Dulunya, Faisal tidak akan sempat mengira bahwa dirinya akan bisa meminta maaf secara langsung kepada sang puan. Ia kira pada akhirnya ia akan meninggalkan cintanya—tidak peduli seberapa besar kebencian yang nanti akan dia dapatkan atas kekecewaan sang gadis. Tapi nyatanya saat ini ia memohon kepada kasihnya. Sebuah permintaan maaf.

Tetapi ia tidak memohon untuk dapat kembali…, karena ia tau ia tidak akan pernah bisa kembali

Dibalasnya genggaman tangan tersebut.

“Kenapa kamu meminta maaf jika sendari awal kamu tidak pernah berbuat salah padaku?”

Apakah gadisnya tidak pernah marah kapadanya?

Faisal tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya dan kembali diam seribu bahasa. Perasaannya terlalu campur aduk sekarang.

“Kamu… tidak marah… ataupun membenciku…?”

Dan Rena pun menggeleng.

“Aku tidak akan pernah marah padamu yang selalu melindungiku hingga akhir, yang tidak akan pernah mengkhianatiku,”

Ah… satu buah pengakuan yang membuat hatinya begitu merasa lega…

“Indy…,”

Panggilnya untuk pertama kali.

“Berbahagialah… berbahagialah walau tidak denganku… kamu layak mendapat kebahagiaanmu… tapi bukan dari orang yang telah membuang hidupnya,”

Keheningan menyeruak sejenak, Rena menghela nafas pelan, geganggaman tangannya pun menguat.

“Bagaimana aku bisa berbahagia kalau bahagiaku itu kamu?”

———

*It’s the world, Where it filled with love and happiness The world he always dreamt

It is her

———

———

Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan

Inilah buah dari arogansimu

———

Semalaman ini Fani tidak bisa tidur, pikirannya entah melayang kemana, pandangannya pun tidak bisa fokus. Tentu saja, hari ini adalah hari penghakiman saudara kembarnya—dan dirinya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dirinya tidak bisa menyelamatkan Faisal ataupun melindunginya.

Entah mengapa Fani merasa gagal, merasa gagal terhadap dirinya—ia gagal membuktikan dan mencurangi takdir kejam yang sendari awal curang kepada mereka.

Tok tok tok

Pintu kamarnya itu diketuk tiga kali, sebuah kode yang hanya dan pengawal kepercayaannya mengerti. Budi datang untuk menemuinya secara personal—dengan segera ia usap air mata yang menetes, walau meninggalkan jejak di kedua pipi putihnya. Ia harus nampak tegar karena kuat dan kerasnya hatinya adalah nilai jual untuknya. Paling tidak di hadapan sang Ratu dan juga para petinggi Sindari.

“Masuk,”

Perintah Fani, lelaki jakung bersurai kepucatan itu pun membuka pintu jati tersebut. Dan tidak jauh berbeda dengan dirinya—Budi pun terlihat sama kacaunya dengan sang putri. Membuat Fani tersenyum getir.

“Bahkan di hari eksekusi saudara kembarku… aku harus nampak bahagia… karena pengkhianat Sindari akhirnya dihukum sepantasnya… ini tidak pernah adil dari awal untuk aku, untuk Faisal, untuk kita,” ujar Fani berputus asa.

Ya ini memang tidak pernah adil untuk mereka berdua

Bagaimana bisa arogansi orang-orang berkuasa, kesombongan dan ketamakannya harus dibayar oleh hanya bagi mereka yang bahkan tidak bisa memilih takdir mereka. Takdir yang bahkan dipermainkan oleh mereka yang lebih lebih dulu berkuasa…

“Tuan putri…,”

Tidak ada kata-kata yang mampu menenangkan hati yang risau saat ini. Bahkan ungkapan sederhana sebatas ‘aku mengerti perasaanmu’ tidaklah berarti bagi mereka yang sendari awal telah dicurangi takdir. Bagaimana Budi bisa mengerti jika dirinya bahkan tidak pernah merasakan betapa pedihnya perasaan harus membohongi diri sendiri karena itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan satu sama lain.

“Saya… turut berduka atas kejadian ini dan meminta maaf karena tidak bisa membantu lebih…,” pada akhirnya Budi hanya bisa meminta maaf atas mereka yang bahkan tidak pernah bersalah. Berduka atas hilangnya nurani demi kekuasaan.

“Tidak Budi, kamu sudah berjuang lebih dari yang kamu kira… aku tau semuanya… bagaimana kamu mempertaruhkan diri dan posisimu sebagai mata-mata dan juga pengawal setiaku. Aku berterima kasih atas hal tersebut,” ucap Fani sembari tersenyum, bahkan di saat seperti ini sang putri tetap berusaha tegar untuk orang lain.

“Putri…, apakah putri sudah menyerah…?” tanya Budi, Fani pun mengalihkan pandangannya dari lelaki tersebut. Di tatapnya pantulan dirinya depan cermin, wajahnya nampak begitu lesu dan juga kacau.

“Tidak, aku tidak akan pernah menyerah karena jika aku menyerah kepada Faisal maka aku juga menyerah kepada nasibku…”

Tanpa ia sadari air mata pun menetes dari pelupuk sang puan. Namun dara ayu tersebut masih berusaha untuk tersenyum.

“Jika aku menyerah maka aku turut menyerah akan nasibku dan duniaku… mereka salah jika mengira sang bintang tidak memerlukan rembulannya. Karena semestaku tiada artinya tanpa kehadiran Faisal… rembulan yang selalu menemani sang bintang…,”

Ada pepatah kuno yang menyatakan bahwa anak kembar itu istimewa. Mereka hidup untuk satu sama lain, dunia mereka adalah kehadiran satu sama lain, dan kebahagiaan mereka adalah mutlak untuk satu sama lain

Dan itulah yang Fani rasakan. Semua gemerlap kehidupan yang ia miliki tiada artinya di saat sendari awal dunia Faisal telah hancur luluh lantak

“Kamu tau Budi…, saat Faisal bilang akhirnya dia menemukan kebahagiaannya di negeri Jaya… saat ia menemukan cintanya… menemukan rumahnya… aku sungguh bahagia… bahagia sekali walau pada akhirnya kita harus hidup berjauhan dan menjadi orang yang benar-benar asing… tak apa, semua demi dia yang bahagia karena kebahagiaanku juga pengorbanan dari derita Faisal selama ini…,”

Fani pun menghela nafas berat. Dirinya pun terkekeh kecil.

Dulu saat mereka pertama kali terpaksa dipisahkan tanpa mengetahui kebenarannya Fani sering kali berandai. Jikalau mereka lahir dari keluarga biasa-biasa saja. Tanpa bergelimang harta dan juga tahta, mungkin saja nasib mereka akan jauh lebih baik karena tidak ada takdir kejam yang tersurat diantara guratan nasib mereka.

“Tapi… saat Faisal kembali… saat dia bilang bahwa dia mengkhianati Jaya, negerinya, keluarganya, dan cintanya… aku… tidak… Faisal pasti lebih hancur daripada diriku karena harus membuang semua kebahagiaannya… tapi… aku kecewa akan diriku sendiri… aku tidak bisa melindungi Faisal… aku tidak bisa melindungi kebahagiaannya… aku tidak mau menerima kalau pada akhirnya kita harus kalah…,”

Dan Fani pun terduduk dalam posisinya, ia menangis tersedu-sedu. Isaknya begitu pelan namun teramat sangat pilu. Bahkan ia harus berusaha menahan kesedihannya karena kesedihannya sama saja mengkhianati keputusan sang ratu dan negaranya.

Jika saja Faisal dan Fani terlahir dalam keluarga biasa saja maka nasib mereka akan jauh lebih baik. Mereka punya satu sama lain untuk bertahan. Sedangkan saat ini, mereka bahkan tidak bisa mempertahankan satu sama lain.

Budi pun turut membungkukkan badannya, walau tindakannya ini pun dapat dikatakan tidak sopan tetapi entah mengapa hati kecilnya mengatakan bahwa sang putri memerlukan ini.

Tangan kanannya pun bergerak untuk mengusap pucuk kepala sang putri. Walau ia tau tindakannya melanggar etik tetapi hatinya pun tidak tega melihat sang gadis terpuruk dalam kesedihannya.

Ia tidak berbicara apapun, untuk beberapa saat Budi masih tetap diam begitu pula dengan Fani yang menatapnya bingung. Tetapi entah mengapa usapan lembut dipucuk kepalanya begitu menenangkan hatinya yang kacau… ia menyukainya… ia jadi teringat waktu kecil dulu Faisal sering kali mengelus telapak tangannya untuk menenangkannya… rasanya sama seperti usapan lembut milik Faisal…

“Maaf jika saya tidak sopan Putri…, tetapi Faisal pasti juga tidak suka jika Anda menyalahkan diri Anda seperti ini…,”

Dan Fani pun mengangguk setuju. Walau mustahil ia hanya ingin terus percaya… walau mustahil saat ini dirinya hanya bisa percaya kepada Faisal… walau mustahil dan kemungkinannya kecil ia harus percaya pada kembarannya, ia harus kuat untuk Faisal.

“Budi…,”

Dan Budi pun mengangguk paham.

———

Ditatapnya lamat-lamat pantulan dirinya dalam cermin. Sebuah senyum puas terpatri di wajahnya walau binar matanya sudah lama hilang dan meredup.

Dipandanginya dirinya lamat-lamat dalam setelan jas berwarna putih—tidak jauh berbeda saat hari pernikahannya—siapa akan menyangka jika hari kebahagiaannya justru menjadi akhir kebebasannya, dan hari terakhirnya ia justru berpakaian layaknya hari di mana dirinya paling merasa berbahagianya… sungguh ironi.

Ditatapnya lamat-lamat dan entah mengapa ia merasa ada yang hilang, ada yang kurang dalam dirinya—terlepas perasaan suka cita yang telah terganti oleh keputusasaan. Seketika pandangannya pun sibuk mencari-cari.

“Tuan, Anda membutuhkan sesuatu?”

Dan Faisal pun menoleh kearah suara yang memanggilnya, didapatinya sosok Tomy yang berdiri di depan pintu besi itu.

“Paman…, bagaimana menurut paman penampilanku hari ini?” tanya Faisal dengan nada penuh keceriaan. Tetapi intonasinya begitu datar, sedatar air sungai yang menyimpan riaknya—air sungai yang begitu dalam hingga tiada seorang pun yang tau betapa dalamnya.

“Anda… terlihat memesona…,” jawab Tomy, ia tidak berbohong. Bagi seseorang yang hendak diberikan hukuman mati Faisal nampak begitu memesona layaknya bintang. Sementara lelaki itu pun terkekeh kecil.

“Terima kasih… karena ini penampilan terakhirku aku ingin terlihat sempurna… kira-kira bakalan seperti apa ya wajahku nanti…,”

Nada bicaranya pun terdengar mengambang—seakan membawa dirinya melayang jauh… saat ini Faisal sudah tidak fokus akan hari esok ataupun keselamatannya, ia seperti sudah siap menghadapi kematiannnya. Meski demikian masih ada kegusaran dan kegetiran dalam nada bicaranya.

“Walau pada akhirnya aku tidak bisa kabur dari takdirku… tetapi berhadapan dengan kematian entah mengapa membuatku sedikit… takut…,” jelasnya.

Tangannya bergerak untuk memegang dada kirinya, Faisal dapat merasakan degup jantungnya yang teramat keras—seolah-olah dapat ia dengar sendiri… dihirupnya nafas dalam-dalam sebelum dihembuskannya perlahan.

“Aku dapat mendengarnya… degup jantungku… aku dapat merasakannya… setiap helaan nafasku… pada akhirnya di hari terakhirku… entah mengapa aku merasa benar-benar hidup…,” jelasnya.

Ini terlalu berat bagi Tomy…, walau ia telah terikat sumpah, walau ia juga pada akhirnya terlibat pada permainan takdir kejam Faisal… tetapi nuraninya pun mengatakan bahwa tidak seharusnya seperti ini. Sendari awal tidak seharusnya seperti ini. Apakah sendari awal mereka semua sudah salah, culas, dan congkak sehingga mengkhianati prinsip Tuhan?

Jika pada akhirnya mereka menggadaikan nyawa sebagai alat tukar untuk kekuasaan dan keadilan bukankah justru Faisal yang lebih mendekati tahta ilahi karena keluasan hatinya dan bagaimana ia menghargai hidup hingga akhir…

“Paman… paman tidak perlu memikirkan baik buruk pilihan atas tindakan paman, karena semua sudah terjadi. Kita hanya perlu menuntaskan drama ini dan memberikan akhir terbaik sebingga para penonton tidak kecewa kan?”

Dan sebagai seorang aktor akan kupastikan akhir drama ini akan begitu memuaskan

“Paman, bolehkah aku meminta satu hal?”

“Katakan Faisal,”

“Tolong, ambilkan bunga lili putih untukku, untuk pentas terakhirku… aku ingin mempersembahkannya kepada pujaan hatiku… bahwa hingga akhir aku tidak pernah mengkhianatinya…,”

———

“Indra…,”

Tuan sang pemilik nama itu pun menolehkan kepalanya, mendapati dua wanita paling berharga di hidupnya menatapnya khawatir. Dipeluknya sang Ratu dan diberikannya satu buah kecupan panjang pada pucuk kepalanya. Sementara itu, dipeluknya lama sang adik yang juga nampak sama khawatirnya.

Hari ini, pasukan khusus milik kerajaan Jaya berencana untuk melakukan penyergapan kepada kerajaan Sindari dan jika benar apa yang dikatakan Sembilan maka hari ini adalah hari eksekusi Faisal. Jika benar demikian maka operasi penyergapan ini bertujuan untuk mengalihkan fokus dari kerajaan Sindari karena jika perhitungan mereka benar seluruh keamaan dan pengawasan Sindari akan berfokus pada prosesi eksekusi Faisal.

Sementara itu, Sembilan dan Diki telah ditugaskan untuk menyabotase surat kanar Bintang Emas, mereka harus bisa meloloskan berita tentang penetapan Faisal sebagai tersangka utama negeri Jaya, dan penyergapan tersebut diliput sehingga menjadi pusat perhatian dunia. Jika berita tentang eksekusi Faisal lolos maka akan sulit bagi mereka menimbunnya dengan berita-berita lainnya.

Paling tidak, kerajaan Jaya harus bisa membuat perhatian dunia tertuju pada umpannya, sehingga tabir kebusukkan Sindari pun dapat terungkap.

Sementara itu keamanan kerajaan Jaya telah Indra serahkan sepenuhnya kepada monsieur Agus sebagai orang kepercayaannya serta tetua kerajaan Jaya, Doni sebagai tangan kanan Siska, dan Romi. Semua otoritas negeri Jaya pun ia percayakan kepada sang Ratu.

“Saya telah melakukan kontak rahasia kepada nomor tiga. Jika terjadi hal-hal tidak diinginkan maka priotitas utama nomor tiga adalah mengevakuasi putri Sindari. Lalu, kerajaan Jaya yang statusnya saat ini sangat lemah pun menjadi sasaran empuk, jika operasi ini gagal maka segeralah kembali ke Adamar,” pinta Indra kepada Siska.

Sejujurnya Siska ingin meminta lebih, meminta agar Indra berjanji padanya untuk kembali dengan selamat, tetapi saat ini mereka pun tengah berperang. Siska paham betul jika meminta Indra kembali dengan selamat maka peluangnya sama besarnya dengan pertaruhan judi. Lima puluh banding lima puluh. Tetapi ia akan terus berdoa demi keselamatan sang Raja, kerajaan ini, dan negeri ini.

Indra pun beralih ke arah Rena. Rena yang sendari tadi nampak panik dan juga khawatir. Namun gadis itu berusaha sekuat tenaga menyembunyikan raut wajah ketidakrelaannya tersebut. Karena pada akhirnya semua ini karena pilihannya.

“Indy… kakak tidak bisa berjanji apakah kakak bisa membawa kembali Faisal pulang… tetapi yang jelas kakak akan berusaha demi keadilan kita semua,”

Entah mengapa, nafasnya terasa seperti terkecat. Rena tau itu, nasib Faisal pun saat ini layaknya mempertaruhkan dua mata koin dengan peluang yang sama besarnya. Apakah Faisal berhasil selamat atau tidak, dan apakah mereka berhasil kabur atau tidak. Tetapi Rena harus tegar, keraguan setitik di hatinya akan memberatkan langkah mereka semua.

“Aku dan kak Siska akan selalu mendoakan keselamatan negeri ini,” ujarnya yang membuat Indra tersenyum kecil.

Dengan satu ucapan perintah kuda-kuda ksatria itu pun melaju keluar dari gerbang istana. Dari tempatnya berdiri Rena dan Siska hanya bisa saling bergandengan tangan untuk saling menguatkan.

Kami akan selalu berdoa untuk keselamatan kalian dan negeri ini

———

“Kamu lama sekali Fani…,”

“Maafkan saya Oma…, tadi ada sedikit kendala dan Budi harus mengurusnya sebentar…,”

Sang ratu Sindari pun mengangguk paham, pandangannya pun kembali teralih pada ruang prosesi eksekusi yang terlewat mewah bagi eksekusi hukuman mati.

Ekspresi sang ratu nampak begitu bahagia dan juga puas—karena akhirnya dirinya berhasil mempertahankan otoritasnya yang mutlak—sementara itu raut wajah Fani masih sama buruknya dengan sebelumnya, dirinya nampak lesu dan lelah. Tetapi ia harus turut berbahagia sebagai wajah Sindari.

“Demoiselle…,”

“Aku tidak apa-apa Budi, tidak perlu khawatir…,” ujarnya sembari berusaha tersenyum.

Sementara itu Faisal telah menunggu kapan gilirannya untuk dipanggil memasukki panggung sandiwaranya, memasuki pertunjukkan pentas terakhirnya.

Dan tepat sesaat sang hakim membacakan putusannya, Faisal pun diperbolehkan masuk dengan pengawalan dua orang sipir istana.

Untuk pertama kalinya ia merasakan degup jantungnya yang teramat sangat keras saat memasuki panggung pentas. Sebelum-sebelumnya dirinya tidak pernah merasa segugup ini. Pada akhirnya berperan untuk manusia dengan berperan di hadapan sang dewa ternyata sangat berbeda sekali rasanya.

“Menurut putusan hakim agung maka pangeran Faisal Sindari dinyatakan bersalah atas tuduhan pengkhianatan dan kudeta terhadap kerajaan Sindari untuk merebut tahta dari sang Ratu yang agung…,”

Mendengar hukuman Faisal dibacakan Fani hanya bisa memejamkan matanya. Hatinya berteriak dan menolak semua kejahatan itu. Karena sendari awal Faisal tidak pernah melakukannya. Kesalahan Faisal hanyalah karena ia terlahir sesuai dengan nubuat yang diramalkan!

Faisal tidak pernah bersalah!

“Oleh sebab itu maka terdakwa Faisal Sindari dinyatakan bersalah dan memperoleh hukuman—“

DUAR

Satu bunyi ledakan seketika mengalihkan fokus semua orang, satu bunyi ledakan yang diiringi ledakan lain. Alarm keamanan Sindari pun berbunyi sebuah tanda yang menyatakan penyergapan dan penyerangan musuh. Sebuah ancaman dari luar istana.

Petinggi pengawal keamanan istana pun terbirit-birit lari, menyampaikan sebuah berita yang paling tidak ingin didengar oleh sang ratu.

“RATUKU! SISTEM KEAMANAN SINDARI MENDETEKSI SERANGAN DARI LUAR—MUSUH YANG BERHASIL DIIDENTIFIKASIKAN PUN BERASAL DARI UNIT SATUAN KERJAAN JAYA!”

Faisal yang semulanya tenang pun seketika sama paniknya dengan seluruh penghuni ruangan. Pikirannnya pun bertanya-tanya untuk apa kerajaan Jaya dengan nekat menyerang kerajaan Sindari.

Dan mendengar penjelasan tersebut Fani pun seketika menolehkan pandangannya kepada Budi yang dibalas sebuah anggukan mantap. Entah mengapa Fani pun merasa lega dengan berita tersebut. Tetapi ia harus menahan raut wajah kebahagiaannya agar tidak menimbulkan curiga.

DUAR

Ruangan itu pun seketika berguncang, dengan atap-atap yang mulai runtuh dan pilar bangunan yang seakan-akan kehilangan keseimbangannya sebentar lagi jika ada ledakan susulan.

“Ratuku! Kita harus segera melakukan evakuasi jika terlambat akan makin sulit nantinya dan korban yang berjatuhan pun makin banyak!”

Kenapa di saat seperti ini ada saja halangannya?! Padahal sedikit lagi, dirinya dapat mempertahankan tahtanya!

“Oma! Kita harus segera menyelamatkan diri!” desak Fani, ini adalah saatnya, ia harus bisa membawa sang Ratu keluar sehingga memberikan peluang bagi Faisal untuk kabur.

Tidak! Jika ia kabur maka siapa yang akan menjamin bahwa tahanan utama Sindari tersebut tidak akan kabur?! Bahkan pembacaan hukumannya belum dilakukan!

DUAR

Ruangan itu pun semakin berguncang, seluruh penghuni ruangan tersebut nampak dikelilingi oleh rasa panik dan ketakutan.

“OMA AYO!”

Sang Ratu pun mendecih tidak suka. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri eksekusi dari sosok yang diramalkan tersebut tetapi mengapa ada saja gangguannya?!

Jika ia keras kepala untuk disini maka bisa-bisa dirinya pun tidak akan selamat, tahtanya pun tidak akan aman. Tetapi jika ia pergi—

“OMA KITA AKAN TERLAMBAT!”

Di genggamnya uluran tangan Fani yang tentu saja membuat sang putri begitu senang. Ia bisa mengulur waktu dan memberikan celah!

“Budi! Ayo!”

“Baik Putri!”

“Kalian tetap harus bertahan di sini dan PASTIKAN BAHWA TAHANAN ITU TIDAK BISA KABUR!” titahnya.

Dengan satu perintah tersebut seketika seluruh unit keamanan Sindari pun mengepung Faisal. Fani yang melihatnya dengan segera ingin turun dan melindungi kembarannya yang langsung ditahan oleh Budi.

“Tuan Putri dan Ratuku mari saya tunjukkan jalannya!” ujarnya berusaha mengecoh sang Ratu yang nampak curiga dengan gelagat Fani.

Dan Fani pun hanya bisa mengigit bibir bawahnya sembari mengenggam erat tangan Budi yang membawa untuk terus berlari.

Faisal, kamu harus selamat!

———

Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan

Di saat penghuni ruangan itu mulai di evakuasi Faisal pun terjebak—terkepung oleh satuan keaman Sindari—memastikannya tidak kabur. Ia mendecih pelan, pada akhirnya memang ia memang diperlakukan layaknya seorang tahanan.

Pertanyaannya adalah apakah ia akan mati tertimbun puing-puing bangunan atau—

Dengan cekatan Faisal pun berhasil menghindari peluru yang ditembakkan secara tiba-tiba tersebut. Dirinya mendecih tidak suka. Secara jumlah dan senjata ia sudah kalah kenapa harus ada penyerangan di saat dirinya tidak berniat melawan.

“Hei… aku tidak berniat untuk melakukan kekerasan sama sekali,” ujarnya namun tidak dihiraukan sama sekali.

“Siapa yang akan menduga, karena sekali penjahat akan tetap menjadi penjahat—dan bisa saja semua ini rencanamu kan?!”

Satu tembakan peluru pun kembali di lepaskan yang sukses dihindari oleh Faisal, jika begini maka mengalah dan menyerah bukanlah pilihannya.

Maka biarkanlah aku terus menari dan bermain peran hingga bara api melahapku

Faisal pun menyeringai—ia mengingat betul isi nubuat tersebut. Mungkin pada akhirnya ia harus terus menari dan menghabisi Sindari dengan tangannya sendiri sebelum akhirnya mati dilahap oleh bara api kebencian yang memuncak.

“Tuan-tuan sekalian, apakah Anda berminat menjadi teman berdansa saya? Untuk pertunjukkan terakhir saya?”

Tawarnya sembari mengulurkan tangan dengan seutas seringai di wajahnya.

———

Budi, Fani, dan sang Ratu masih terus berlari. Sesekali mereka perlu menunduk untuk menghindari puing-puing bangunan yang perlahan berjatuhan—Budi pun dengan cekatan menangkis perabotan atau puing-puing yang menghalangi jalan mereka dengan pedang di tangannya.

Pandangannya fokus ke arah depan yang seketika dikejutkan dengan pillar besar yang nampak begitu miring dan siap meniban siapapun di bawahnya.

“AWAS!” serunya sebagai aba-aba. Dengan segera ditariknya tangan Fani—membuat sang putri sedikit terkejut saat sosok itu memeluknya erat dan melindungi kepalanya dari puing-puing bangunan yang runtuh.

“Anda tidak apa-apa?!” tanya Budi yang dibalas anggukan pelan dari Fani—ia masih nampak syok dengan hal tersebut.

Meskipun demikian tindakan Budi tersebut membuat genggaman tangan Fani dengan sang Ratu terlepas. Membuat rombongan mereka pun seketika terpisah karena puing bangunan yang runtuh tersebut.

“Oma?! Oma?! Apa Oma bisa mendengarku?! Apa Oma baik-baik saja?!” tanya Fani

Tidak ada jawaban—entah mengapa membuat jantung Fani jadi berpacu cepat—tidak mungkin kan…

Tangan Budi masih menggenggam erat tangan mungil dan lemah milik Fani. Budi tau bahwa sang Putri sudah tidak sanggup berlari lebih jauh lagi tetapi gedung ini sebentar lagi akan hancur mereka harus segera keluar!

“Tuan Putri ayo!” ajaknya, “Tapi… tapi!”

Budi mengerti, hati sang putri bukannya rela untuk meninggalkan sang Ratu, yang ia beratkan adalah meninggalkan Faisal sendiri.

Dan dari respon sang Ratu yang tidak segera menjawab sepertinya sang Ratu terluka cukup parah, Budi pun mendecih pelan. Ia tidak boleh sembarnagan berbicara.

Di genggamnya erat kedua bahu Fani, ditatapnya lekat-lekat kedua manis kelabu tersebut.

“Putri… gedung ini tidak bisa bertahan lebih lama lagi… kita harus cepat… dan jika memang Jaya adalah dalang dibalik semua ini maka kita harus segera bertemu dengan mereka… dan menyelamatkan Faisal…,”

Yang dikatakan oleh Budi ada benarnya dan Fani pun mengangguk paham. Diusapnya wajahnya untuk menghilangkan peluh dan debu. Genggaman tangannya pun semakin mengerat.

“Apakah Anda masih sanggup berlari?”

“Aku selalu sanggup untuk berlari,”

———

Nafasnya tersengal-sengal, begitu berat dan putus-putus. Mengalahkan belasan orang seorang diri dengan tangan kosong memang bukanlah pilihan yang baik. Dengan sekuat tenaga Faisal berusaha untuk tetap berdiri tegap diatas kedua kakinya. Indra penciumannya dapat menciun bau anyir darah dari lubang hidungnya dan pelipisnya.

Sementara itu tangan kanannya pun sibuk menahan darah akibat luka lebar pada bagian perutnya. Dirinya pun terduduk, memuntahkan begitu banyak darah dari bibirnya—pandangannya pun seketika mengabur—sepertinya ia sudah kehilangan banyak darah hari ini.

Perlu ia akui satuan keamanan Sindari tidaklah main-main, mereka begitu lihai dan cekatan, hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya luka yang tidak dapat ia tangkis. Jika dipikirkan lagi sepertinya ia mendapat satu luka sayatan besar diperutnya, satu tembakan yang meleset namun sukses mengenai pelipisnya, dan beberapa luka tebasan lainnya.

Meskipun demikian Faisal tidak boleh selesai di sini. Dirinya harus menyelesaikannya, ia harus dapat berhadapan dengan sang Ratu yang diktaktor dan membawanya bersama untuk menjemput kematiannya.

“…aku… pinjam… ya…,”

Diambilnya sebuah pistol yang tergeletak bersimbah darah dari pegangan salah seorang penjaga Sindari. Hanya tersisa satu buah peluru di sana, ini kemudian menjadi sebuah pertaruhan bagi Faisal—hidup dan mati—diterkam atau menerkam—jika ia gagal maka semuanya akan gagal, tetapi paling tidak istana ini pun kemudian akan luluh lantak dan hancur menimbunnya. Dirinya akan berusaha mengulur waktu untuk itu.

Paling tidak jika ia mati maka dirinya harus ikut membawa sang Ratu mati bersamanya

Dengan langkah tertatih dan nafas yang menderu Faisal berhalan sembari memegangi lukanya. Walau pandangannya mengabur tekatnya sudah bulat. Akan ia bawa kehancuran kerajaan busuk ini bersamaan dengan kematiaanya.

Dengan langkah tertatih ia pun bersenandung, sepertinya bersamaan dengan darahnya yang menetes Faisal pun perhalan kehilangan akal pikirannya. Dimainkannya pistol yang ada dalam genggamannya.

“Hmm hmm hmm~~”

Maka biarkanlah dirinya terus bernyanyi dan bermain peran hingga bara api melahap dirinya

Tetapi tekad Faisal telah bulat, maka biarkan bara api ini pun menjalar dan melahap selayaknya kebenciannya dan membinasakan mereka yang dengan semena-mena menghukumnya

Inilah buah yang harus mereka bayar

———

Sang Ratu, Lestari Alya Sindari terlihat bersusah payah untuk menyingkirkan puing-puing bangunan yang menimpanya. Ia mengeluh saat menyadari kaki kanannya patah karena tertimbun puing-puing bangunan. Sang Ratu pun mendecih sebal, jika seperti ini ia tidak bisa lari—sungguh, akankah takdirnya akan berakhir seperti ini?

Tidak ini belum berakhir, dirinya harus bisa bertahan dan mempertahankan tahtanya lebih lama lagi—otoritas dan kekuasaannya adalah hal yang mutlak, ia tidak boleh mati seperti ini. Ini bukanlah akhir yang diharapkannya

“Hmm hmm hmm~~”

Sang Ratu dapat merasakan bulu kuduknya meremangnsaat mendengar senandung seseorang yang semakin mendekat, dengan susah payah ia berusaha bangkit, dengan kaki yang patah dan tertatih. Entah mengapa instingnya mengatakan bahwa dirinya harus segera lari—ada sesuatu yang mengerikan yang tengah memburunya.

Takdirnya yang tragis

Dan suara senandung itu semakin dekat, dari remang cahaya rembulan yang perlahan memasuki reruntuhan istana dan melewati puing-puing bangunan yang ada dirinya dapat melilah sosok Faisal dalam balutan jas putihnya dan bersimbah darah—dengan sebuah pistol yang ia mainkan di tangan kanannya. Lelaki itu masih terus bersenandung.

Sang Ratu terus berjalan mundur saat sosok Faisal terus berjalan mendekat ke arahnya—seharusnya bukan dia yang diburu, bukan dia yang dieksekusi, tetapi entah mengapa dirinya yang merasa takut?!

Pada akhirnya sang pendosa itupun akan tiba di ujung jurang keputusasaan saat penghakimannya pun tiba

Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan

Inilah buah dari arogansimu

Isi dari nubuat yang diramalkan itupun seketika seakan menggema di seluruh puing dan reruntuhan bangunan sementara itu Faisal masih terus bersenandung seakan menikmati pentas seni terakhirnya—seakan dirinya pun telah ikut terlahap dalam bara api penuh derita.

“Hmm hmm hmm~~”

Sosok itu pun menodongkan pistolnya tepat ke arah kepala sang Ratu, yang sukses membuat sosok wanita paruh baya tersebut duduk mengampuh—memohon ampun.

Inilah buah dari arogansimu, Lestari Alya Sindari

“Oh wahai putra Najma yang agung… mohon… mohon ampuni saya…”

Permohonan ampun penuh keputusasaan, membuat sosok Faisal yang sepertinya sudah sepenuhnya hilang kesadaran itu pun tertekekeh kecil—menertawakan keputusaan sang Ratu begitu puas. Tawanya begitu nyaring dan nyalang dan seketika menggema—seakan mengejek akhir dari sang pendosa.

“Ya… itulah sebuah keputusasaan, teruslah memohon ampun pada takdirmu yang mana kamu biarkan lalai—di mana kamu memilih buta ditengah semua kebenaran yang ada, memilih untuk tidak mengetahui di saat kamu bisa mencari tahu—tidakkah ini akhir yang adil?”

“Mohon ampun wahai sang Tuan… mohon ampun wahai putra Dewa yang agung…,”

Manusia pada akhirnya berputus asa saat takdirnya sudah menghampiranya, dan itulah ciri para pendosa—mereka hanya bisa memohon ampun

Seakan berputus asa akan nasih buruk yang menimpanya—niscaya mereka pun akan celaka akibat buah dari arogansinya sendiri, para pendosa yang tamak dan bodoh

Para pendosa yang memohon ampun di atas orang-orang tidak bersalah yang sendari awal sudah menyerah akan kebahagiaannya—di saat mereka pun tidak bisa berputus asa atas takdir yang dicuranginya, kebahagiaannya yang direnggut, dan semestanya yang dirusak

Besi dingin itu diletakkan tepat di atas kening sang Ratu yang telah penuh akan bulir-bulir keringat. Kedua manik kelabu tersebut nampak membesar dan bergetar tak karuan di saat jemarinitu hendak menarik pelatuknya.

Tepat di sini, muasal dari semua ketidakadilan ini, muara dari semua petaka yang seharusnya ditujukkan kepada sang pendosa—dan di sini pula akhirnya

DOR

Pelatuk itu dilepaskan, membuahkan sebuah tembakkan yang seketika menewaskan wanita tersebut. Dengan tawa terbahaknya dibuangnya pistol tersebut.

Di bawah remang cahaya rembulan yang masuk melalui puing-puing bangunan sosok itu menari, selayaknya berdansa dengan sang terkasih yang telah lama ia tak jumpa.

Seakan mengabaikan setiap tetes darah yang mengucur—mengabaikan setiap luka yang ada, sosok itu pun berjalan selayaknya meninggalkan panggung pentas seni—perannya telah selesai.

———

Di bawah sinar rembulan dirinya terus menari, mengabaikan tetes demi tetes darang yang terus mengucur dari tubuhnya. Ia terus menari dan berdansa.

Terima kasih karena terus bertahan hingga akhir—terima kasih karena terus menyelesaikan sandiwara tipu muslihat ini putraku

Seakan terdengar suara menggema dari atas langit-langit, dan bersamaan dengan gema suara tersebut tubuh itu pun perlahan melemah—kehilangan tenaganya.

Terima kasih karena telah menyaksikan pertunjukkan ini hingga akhir

Tubuh itu pun terkulai lemas—bersimbah darah—meskipun demikian tangan kanannya pun masih dengan setia memegang setangkai bunga lili putih yang ternoda akan darahnya sendiri.

Beristirahatlah dalam damai dan berbahagialah

———