———
Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan
Inilah buah dari arogansimu
———
Semalaman ini Fani tidak bisa tidur, pikirannya entah melayang kemana, pandangannya pun tidak bisa fokus. Tentu saja, hari ini adalah hari penghakiman saudara kembarnya—dan dirinya pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dirinya tidak bisa menyelamatkan Faisal ataupun melindunginya.
Entah mengapa Fani merasa gagal, merasa gagal terhadap dirinya—ia gagal membuktikan dan mencurangi takdir kejam yang sendari awal curang kepada mereka.
Tok tok tok
Pintu kamarnya itu diketuk tiga kali, sebuah kode yang hanya dan pengawal kepercayaannya mengerti. Budi datang untuk menemuinya secara personal—dengan segera ia usap air mata yang menetes, walau meninggalkan jejak di kedua pipi putihnya. Ia harus nampak tegar karena kuat dan kerasnya hatinya adalah nilai jual untuknya. Paling tidak di hadapan sang Ratu dan juga para petinggi Sindari.
“Masuk,”
Perintah Fani, lelaki jakung bersurai kepucatan itu pun membuka pintu jati tersebut. Dan tidak jauh berbeda dengan dirinya—Budi pun terlihat sama kacaunya dengan sang putri. Membuat Fani tersenyum getir.
“Bahkan di hari eksekusi saudara kembarku… aku harus nampak bahagia… karena pengkhianat Sindari akhirnya dihukum sepantasnya… ini tidak pernah adil dari awal untuk aku, untuk Faisal, untuk kita,” ujar Fani berputus asa.
Ya ini memang tidak pernah adil untuk mereka berdua
Bagaimana bisa arogansi orang-orang berkuasa, kesombongan dan ketamakannya harus dibayar oleh hanya bagi mereka yang bahkan tidak bisa memilih takdir mereka. Takdir yang bahkan dipermainkan oleh mereka yang lebih lebih dulu berkuasa…
“Tuan putri…,”
Tidak ada kata-kata yang mampu menenangkan hati yang risau saat ini. Bahkan ungkapan sederhana sebatas ‘aku mengerti perasaanmu’ tidaklah berarti bagi mereka yang sendari awal telah dicurangi takdir. Bagaimana Budi bisa mengerti jika dirinya bahkan tidak pernah merasakan betapa pedihnya perasaan harus membohongi diri sendiri karena itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan satu sama lain.
“Saya… turut berduka atas kejadian ini dan meminta maaf karena tidak bisa membantu lebih…,” pada akhirnya Budi hanya bisa meminta maaf atas mereka yang bahkan tidak pernah bersalah. Berduka atas hilangnya nurani demi kekuasaan.
“Tidak Budi, kamu sudah berjuang lebih dari yang kamu kira… aku tau semuanya… bagaimana kamu mempertaruhkan diri dan posisimu sebagai mata-mata dan juga pengawal setiaku. Aku berterima kasih atas hal tersebut,” ucap Fani sembari tersenyum, bahkan di saat seperti ini sang putri tetap berusaha tegar untuk orang lain.
“Putri…, apakah putri sudah menyerah…?” tanya Budi, Fani pun mengalihkan pandangannya dari lelaki tersebut. Di tatapnya pantulan dirinya depan cermin, wajahnya nampak begitu lesu dan juga kacau.
“Tidak, aku tidak akan pernah menyerah karena jika aku menyerah kepada Faisal maka aku juga menyerah kepada nasibku…”
Tanpa ia sadari air mata pun menetes dari pelupuk sang puan. Namun dara ayu tersebut masih berusaha untuk tersenyum.
“Jika aku menyerah maka aku turut menyerah akan nasibku dan duniaku… mereka salah jika mengira sang bintang tidak memerlukan rembulannya. Karena semestaku tiada artinya tanpa kehadiran Faisal… rembulan yang selalu menemani sang bintang…,”
Ada pepatah kuno yang menyatakan bahwa anak kembar itu istimewa. Mereka hidup untuk satu sama lain, dunia mereka adalah kehadiran satu sama lain, dan kebahagiaan mereka adalah mutlak untuk satu sama lain
Dan itulah yang Fani rasakan. Semua gemerlap kehidupan yang ia miliki tiada artinya di saat sendari awal dunia Faisal telah hancur luluh lantak
“Kamu tau Budi…, saat Faisal bilang akhirnya dia menemukan kebahagiaannya di negeri Jaya… saat ia menemukan cintanya… menemukan rumahnya… aku sungguh bahagia… bahagia sekali walau pada akhirnya kita harus hidup berjauhan dan menjadi orang yang benar-benar asing… tak apa, semua demi dia yang bahagia karena kebahagiaanku juga pengorbanan dari derita Faisal selama ini…,”
Fani pun menghela nafas berat. Dirinya pun terkekeh kecil.
Dulu saat mereka pertama kali terpaksa dipisahkan tanpa mengetahui kebenarannya Fani sering kali berandai. Jikalau mereka lahir dari keluarga biasa-biasa saja. Tanpa bergelimang harta dan juga tahta, mungkin saja nasib mereka akan jauh lebih baik karena tidak ada takdir kejam yang tersurat diantara guratan nasib mereka.
“Tapi… saat Faisal kembali… saat dia bilang bahwa dia mengkhianati Jaya, negerinya, keluarganya, dan cintanya… aku… tidak… Faisal pasti lebih hancur daripada diriku karena harus membuang semua kebahagiaannya… tapi… aku kecewa akan diriku sendiri… aku tidak bisa melindungi Faisal… aku tidak bisa melindungi kebahagiaannya… aku tidak mau menerima kalau pada akhirnya kita harus kalah…,”
Dan Fani pun terduduk dalam posisinya, ia menangis tersedu-sedu. Isaknya begitu pelan namun teramat sangat pilu. Bahkan ia harus berusaha menahan kesedihannya karena kesedihannya sama saja mengkhianati keputusan sang ratu dan negaranya.
Jika saja Faisal dan Fani terlahir dalam keluarga biasa saja maka nasib mereka akan jauh lebih baik. Mereka punya satu sama lain untuk bertahan. Sedangkan saat ini, mereka bahkan tidak bisa mempertahankan satu sama lain.
Budi pun turut membungkukkan badannya, walau tindakannya ini pun dapat dikatakan tidak sopan tetapi entah mengapa hati kecilnya mengatakan bahwa sang putri memerlukan ini.
Tangan kanannya pun bergerak untuk mengusap pucuk kepala sang putri. Walau ia tau tindakannya melanggar etik tetapi hatinya pun tidak tega melihat sang gadis terpuruk dalam kesedihannya.
Ia tidak berbicara apapun, untuk beberapa saat Budi masih tetap diam begitu pula dengan Fani yang menatapnya bingung. Tetapi entah mengapa usapan lembut dipucuk kepalanya begitu menenangkan hatinya yang kacau… ia menyukainya… ia jadi teringat waktu kecil dulu Faisal sering kali mengelus telapak tangannya untuk menenangkannya… rasanya sama seperti usapan lembut milik Faisal…
“Maaf jika saya tidak sopan Putri…, tetapi Faisal pasti juga tidak suka jika Anda menyalahkan diri Anda seperti ini…,”
Dan Fani pun mengangguk setuju. Walau mustahil ia hanya ingin terus percaya… walau mustahil saat ini dirinya hanya bisa percaya kepada Faisal… walau mustahil dan kemungkinannya kecil ia harus percaya pada kembarannya, ia harus kuat untuk Faisal.
“Budi…,”
Dan Budi pun mengangguk paham.
———
Ditatapnya lamat-lamat pantulan dirinya dalam cermin. Sebuah senyum puas terpatri di wajahnya walau binar matanya sudah lama hilang dan meredup.
Dipandanginya dirinya lamat-lamat dalam setelan jas berwarna putih—tidak jauh berbeda saat hari pernikahannya—siapa akan menyangka jika hari kebahagiaannya justru menjadi akhir kebebasannya, dan hari terakhirnya ia justru berpakaian layaknya hari di mana dirinya paling merasa berbahagianya… sungguh ironi.
Ditatapnya lamat-lamat dan entah mengapa ia merasa ada yang hilang, ada yang kurang dalam dirinya—terlepas perasaan suka cita yang telah terganti oleh keputusasaan. Seketika pandangannya pun sibuk mencari-cari.
“Tuan, Anda membutuhkan sesuatu?”
Dan Faisal pun menoleh kearah suara yang memanggilnya, didapatinya sosok Tomy yang berdiri di depan pintu besi itu.
“Paman…, bagaimana menurut paman penampilanku hari ini?” tanya Faisal dengan nada penuh keceriaan. Tetapi intonasinya begitu datar, sedatar air sungai yang menyimpan riaknya—air sungai yang begitu dalam hingga tiada seorang pun yang tau betapa dalamnya.
“Anda… terlihat memesona…,” jawab Tomy, ia tidak berbohong. Bagi seseorang yang hendak diberikan hukuman mati Faisal nampak begitu memesona layaknya bintang. Sementara lelaki itu pun terkekeh kecil.
“Terima kasih… karena ini penampilan terakhirku aku ingin terlihat sempurna… kira-kira bakalan seperti apa ya wajahku nanti…,”
Nada bicaranya pun terdengar mengambang—seakan membawa dirinya melayang jauh… saat ini Faisal sudah tidak fokus akan hari esok ataupun keselamatannya, ia seperti sudah siap menghadapi kematiannnya. Meski demikian masih ada kegusaran dan kegetiran dalam nada bicaranya.
“Walau pada akhirnya aku tidak bisa kabur dari takdirku… tetapi berhadapan dengan kematian entah mengapa membuatku sedikit… takut…,” jelasnya.
Tangannya bergerak untuk memegang dada kirinya, Faisal dapat merasakan degup jantungnya yang teramat keras—seolah-olah dapat ia dengar sendiri… dihirupnya nafas dalam-dalam sebelum dihembuskannya perlahan.
“Aku dapat mendengarnya… degup jantungku… aku dapat merasakannya… setiap helaan nafasku… pada akhirnya di hari terakhirku… entah mengapa aku merasa benar-benar hidup…,” jelasnya.
Ini terlalu berat bagi Tomy…, walau ia telah terikat sumpah, walau ia juga pada akhirnya terlibat pada permainan takdir kejam Faisal… tetapi nuraninya pun mengatakan bahwa tidak seharusnya seperti ini. Sendari awal tidak seharusnya seperti ini. Apakah sendari awal mereka semua sudah salah, culas, dan congkak sehingga mengkhianati prinsip Tuhan?
Jika pada akhirnya mereka menggadaikan nyawa sebagai alat tukar untuk kekuasaan dan keadilan bukankah justru Faisal yang lebih mendekati tahta ilahi karena keluasan hatinya dan bagaimana ia menghargai hidup hingga akhir…
“Paman… paman tidak perlu memikirkan baik buruk pilihan atas tindakan paman, karena semua sudah terjadi. Kita hanya perlu menuntaskan drama ini dan memberikan akhir terbaik sebingga para penonton tidak kecewa kan?”
Dan sebagai seorang aktor akan kupastikan akhir drama ini akan begitu memuaskan
“Paman, bolehkah aku meminta satu hal?”
“Katakan Faisal,”
“Tolong, ambilkan bunga lili putih untukku, untuk pentas terakhirku… aku ingin mempersembahkannya kepada pujaan hatiku… bahwa hingga akhir aku tidak pernah mengkhianatinya…,”
———
“Indra…,”
Tuan sang pemilik nama itu pun menolehkan kepalanya, mendapati dua wanita paling berharga di hidupnya menatapnya khawatir. Dipeluknya sang Ratu dan diberikannya satu buah kecupan panjang pada pucuk kepalanya. Sementara itu, dipeluknya lama sang adik yang juga nampak sama khawatirnya.
Hari ini, pasukan khusus milik kerajaan Jaya berencana untuk melakukan penyergapan kepada kerajaan Sindari dan jika benar apa yang dikatakan Sembilan maka hari ini adalah hari eksekusi Faisal. Jika benar demikian maka operasi penyergapan ini bertujuan untuk mengalihkan fokus dari kerajaan Sindari karena jika perhitungan mereka benar seluruh keamaan dan pengawasan Sindari akan berfokus pada prosesi eksekusi Faisal.
Sementara itu, Sembilan dan Diki telah ditugaskan untuk menyabotase surat kanar Bintang Emas, mereka harus bisa meloloskan berita tentang penetapan Faisal sebagai tersangka utama negeri Jaya, dan penyergapan tersebut diliput sehingga menjadi pusat perhatian dunia. Jika berita tentang eksekusi Faisal lolos maka akan sulit bagi mereka menimbunnya dengan berita-berita lainnya.
Paling tidak, kerajaan Jaya harus bisa membuat perhatian dunia tertuju pada umpannya, sehingga tabir kebusukkan Sindari pun dapat terungkap.
Sementara itu keamanan kerajaan Jaya telah Indra serahkan sepenuhnya kepada monsieur Agus sebagai orang kepercayaannya serta tetua kerajaan Jaya, Doni sebagai tangan kanan Siska, dan Romi. Semua otoritas negeri Jaya pun ia percayakan kepada sang Ratu.
“Saya telah melakukan kontak rahasia kepada nomor tiga. Jika terjadi hal-hal tidak diinginkan maka priotitas utama nomor tiga adalah mengevakuasi putri Sindari. Lalu, kerajaan Jaya yang statusnya saat ini sangat lemah pun menjadi sasaran empuk, jika operasi ini gagal maka segeralah kembali ke Adamar,” pinta Indra kepada Siska.
Sejujurnya Siska ingin meminta lebih, meminta agar Indra berjanji padanya untuk kembali dengan selamat, tetapi saat ini mereka pun tengah berperang. Siska paham betul jika meminta Indra kembali dengan selamat maka peluangnya sama besarnya dengan pertaruhan judi. Lima puluh banding lima puluh. Tetapi ia akan terus berdoa demi keselamatan sang Raja, kerajaan ini, dan negeri ini.
Indra pun beralih ke arah Rena. Rena yang sendari tadi nampak panik dan juga khawatir. Namun gadis itu berusaha sekuat tenaga menyembunyikan raut wajah ketidakrelaannya tersebut. Karena pada akhirnya semua ini karena pilihannya.
“Indy… kakak tidak bisa berjanji apakah kakak bisa membawa kembali Faisal pulang… tetapi yang jelas kakak akan berusaha demi keadilan kita semua,”
Entah mengapa, nafasnya terasa seperti terkecat. Rena tau itu, nasib Faisal pun saat ini layaknya mempertaruhkan dua mata koin dengan peluang yang sama besarnya. Apakah Faisal berhasil selamat atau tidak, dan apakah mereka berhasil kabur atau tidak. Tetapi Rena harus tegar, keraguan setitik di hatinya akan memberatkan langkah mereka semua.
“Aku dan kak Siska akan selalu mendoakan keselamatan negeri ini,” ujarnya yang membuat Indra tersenyum kecil.
Dengan satu ucapan perintah kuda-kuda ksatria itu pun melaju keluar dari gerbang istana. Dari tempatnya berdiri Rena dan Siska hanya bisa saling bergandengan tangan untuk saling menguatkan.
Kami akan selalu berdoa untuk keselamatan kalian dan negeri ini
———
“Kamu lama sekali Fani…,”
“Maafkan saya Oma…, tadi ada sedikit kendala dan Budi harus mengurusnya sebentar…,”
Sang ratu Sindari pun mengangguk paham, pandangannya pun kembali teralih pada ruang prosesi eksekusi yang terlewat mewah bagi eksekusi hukuman mati.
Ekspresi sang ratu nampak begitu bahagia dan juga puas—karena akhirnya dirinya berhasil mempertahankan otoritasnya yang mutlak—sementara itu raut wajah Fani masih sama buruknya dengan sebelumnya, dirinya nampak lesu dan lelah. Tetapi ia harus turut berbahagia sebagai wajah Sindari.
“Demoiselle…,”
“Aku tidak apa-apa Budi, tidak perlu khawatir…,” ujarnya sembari berusaha tersenyum.
Sementara itu Faisal telah menunggu kapan gilirannya untuk dipanggil memasukki panggung sandiwaranya, memasuki pertunjukkan pentas terakhirnya.
Dan tepat sesaat sang hakim membacakan putusannya, Faisal pun diperbolehkan masuk dengan pengawalan dua orang sipir istana.
Untuk pertama kalinya ia merasakan degup jantungnya yang teramat sangat keras saat memasuki panggung pentas. Sebelum-sebelumnya dirinya tidak pernah merasa segugup ini. Pada akhirnya berperan untuk manusia dengan berperan di hadapan sang dewa ternyata sangat berbeda sekali rasanya.
“Menurut putusan hakim agung maka pangeran Faisal Sindari dinyatakan bersalah atas tuduhan pengkhianatan dan kudeta terhadap kerajaan Sindari untuk merebut tahta dari sang Ratu yang agung…,”
Mendengar hukuman Faisal dibacakan Fani hanya bisa memejamkan matanya. Hatinya berteriak dan menolak semua kejahatan itu. Karena sendari awal Faisal tidak pernah melakukannya. Kesalahan Faisal hanyalah karena ia terlahir sesuai dengan nubuat yang diramalkan!
Faisal tidak pernah bersalah!
“Oleh sebab itu maka terdakwa Faisal Sindari dinyatakan bersalah dan memperoleh hukuman—“
DUAR
Satu bunyi ledakan seketika mengalihkan fokus semua orang, satu bunyi ledakan yang diiringi ledakan lain. Alarm keamanan Sindari pun berbunyi sebuah tanda yang menyatakan penyergapan dan penyerangan musuh. Sebuah ancaman dari luar istana.
Petinggi pengawal keamanan istana pun terbirit-birit lari, menyampaikan sebuah berita yang paling tidak ingin didengar oleh sang ratu.
“RATUKU! SISTEM KEAMANAN SINDARI MENDETEKSI SERANGAN DARI LUAR—MUSUH YANG BERHASIL DIIDENTIFIKASIKAN PUN BERASAL DARI UNIT SATUAN KERJAAN JAYA!”
Faisal yang semulanya tenang pun seketika sama paniknya dengan seluruh penghuni ruangan. Pikirannnya pun bertanya-tanya untuk apa kerajaan Jaya dengan nekat menyerang kerajaan Sindari.
Dan mendengar penjelasan tersebut Fani pun seketika menolehkan pandangannya kepada Budi yang dibalas sebuah anggukan mantap. Entah mengapa Fani pun merasa lega dengan berita tersebut. Tetapi ia harus menahan raut wajah kebahagiaannya agar tidak menimbulkan curiga.
DUAR
Ruangan itu pun seketika berguncang, dengan atap-atap yang mulai runtuh dan pilar bangunan yang seakan-akan kehilangan keseimbangannya sebentar lagi jika ada ledakan susulan.
“Ratuku! Kita harus segera melakukan evakuasi jika terlambat akan makin sulit nantinya dan korban yang berjatuhan pun makin banyak!”
Kenapa di saat seperti ini ada saja halangannya?! Padahal sedikit lagi, dirinya dapat mempertahankan tahtanya!
“Oma! Kita harus segera menyelamatkan diri!” desak Fani, ini adalah saatnya, ia harus bisa membawa sang Ratu keluar sehingga memberikan peluang bagi Faisal untuk kabur.
Tidak! Jika ia kabur maka siapa yang akan menjamin bahwa tahanan utama Sindari tersebut tidak akan kabur?! Bahkan pembacaan hukumannya belum dilakukan!
DUAR
Ruangan itu pun semakin berguncang, seluruh penghuni ruangan tersebut nampak dikelilingi oleh rasa panik dan ketakutan.
“OMA AYO!”
Sang Ratu pun mendecih tidak suka. Ia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri eksekusi dari sosok yang diramalkan tersebut tetapi mengapa ada saja gangguannya?!
Jika ia keras kepala untuk disini maka bisa-bisa dirinya pun tidak akan selamat, tahtanya pun tidak akan aman. Tetapi jika ia pergi—
“OMA KITA AKAN TERLAMBAT!”
Di genggamnya uluran tangan Fani yang tentu saja membuat sang putri begitu senang. Ia bisa mengulur waktu dan memberikan celah!
“Budi! Ayo!”
“Baik Putri!”
“Kalian tetap harus bertahan di sini dan PASTIKAN BAHWA TAHANAN ITU TIDAK BISA KABUR!” titahnya.
Dengan satu perintah tersebut seketika seluruh unit keamanan Sindari pun mengepung Faisal. Fani yang melihatnya dengan segera ingin turun dan melindungi kembarannya yang langsung ditahan oleh Budi.
“Tuan Putri dan Ratuku mari saya tunjukkan jalannya!” ujarnya berusaha mengecoh sang Ratu yang nampak curiga dengan gelagat Fani.
Dan Fani pun hanya bisa mengigit bibir bawahnya sembari mengenggam erat tangan Budi yang membawa untuk terus berlari.
Faisal, kamu harus selamat!
———
Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan
Di saat penghuni ruangan itu mulai di evakuasi Faisal pun terjebak—terkepung oleh satuan keaman Sindari—memastikannya tidak kabur. Ia mendecih pelan, pada akhirnya memang ia memang diperlakukan layaknya seorang tahanan.
Pertanyaannya adalah apakah ia akan mati tertimbun puing-puing bangunan atau—
Dengan cekatan Faisal pun berhasil menghindari peluru yang ditembakkan secara tiba-tiba tersebut. Dirinya mendecih tidak suka. Secara jumlah dan senjata ia sudah kalah kenapa harus ada penyerangan di saat dirinya tidak berniat melawan.
“Hei… aku tidak berniat untuk melakukan kekerasan sama sekali,” ujarnya namun tidak dihiraukan sama sekali.
“Siapa yang akan menduga, karena sekali penjahat akan tetap menjadi penjahat—dan bisa saja semua ini rencanamu kan?!”
Satu tembakan peluru pun kembali di lepaskan yang sukses dihindari oleh Faisal, jika begini maka mengalah dan menyerah bukanlah pilihannya.
Maka biarkanlah aku terus menari dan bermain peran hingga bara api melahapku
Faisal pun menyeringai—ia mengingat betul isi nubuat tersebut. Mungkin pada akhirnya ia harus terus menari dan menghabisi Sindari dengan tangannya sendiri sebelum akhirnya mati dilahap oleh bara api kebencian yang memuncak.
“Tuan-tuan sekalian, apakah Anda berminat menjadi teman berdansa saya? Untuk pertunjukkan terakhir saya?”
Tawarnya sembari mengulurkan tangan dengan seutas seringai di wajahnya.
———
Budi, Fani, dan sang Ratu masih terus berlari. Sesekali mereka perlu menunduk untuk menghindari puing-puing bangunan yang perlahan berjatuhan—Budi pun dengan cekatan menangkis perabotan atau puing-puing yang menghalangi jalan mereka dengan pedang di tangannya.
Pandangannya fokus ke arah depan yang seketika dikejutkan dengan pillar besar yang nampak begitu miring dan siap meniban siapapun di bawahnya.
“AWAS!” serunya sebagai aba-aba. Dengan segera ditariknya tangan Fani—membuat sang putri sedikit terkejut saat sosok itu memeluknya erat dan melindungi kepalanya dari puing-puing bangunan yang runtuh.
“Anda tidak apa-apa?!” tanya Budi yang dibalas anggukan pelan dari Fani—ia masih nampak syok dengan hal tersebut.
Meskipun demikian tindakan Budi tersebut membuat genggaman tangan Fani dengan sang Ratu terlepas. Membuat rombongan mereka pun seketika terpisah karena puing bangunan yang runtuh tersebut.
“Oma?! Oma?! Apa Oma bisa mendengarku?! Apa Oma baik-baik saja?!” tanya Fani
Tidak ada jawaban—entah mengapa membuat jantung Fani jadi berpacu cepat—tidak mungkin kan…
Tangan Budi masih menggenggam erat tangan mungil dan lemah milik Fani. Budi tau bahwa sang Putri sudah tidak sanggup berlari lebih jauh lagi tetapi gedung ini sebentar lagi akan hancur mereka harus segera keluar!
“Tuan Putri ayo!” ajaknya, “Tapi… tapi!”
Budi mengerti, hati sang putri bukannya rela untuk meninggalkan sang Ratu, yang ia beratkan adalah meninggalkan Faisal sendiri.
Dan dari respon sang Ratu yang tidak segera menjawab sepertinya sang Ratu terluka cukup parah, Budi pun mendecih pelan. Ia tidak boleh sembarnagan berbicara.
Di genggamnya erat kedua bahu Fani, ditatapnya lekat-lekat kedua manis kelabu tersebut.
“Putri… gedung ini tidak bisa bertahan lebih lama lagi… kita harus cepat… dan jika memang Jaya adalah dalang dibalik semua ini maka kita harus segera bertemu dengan mereka… dan menyelamatkan Faisal…,”
Yang dikatakan oleh Budi ada benarnya dan Fani pun mengangguk paham. Diusapnya wajahnya untuk menghilangkan peluh dan debu. Genggaman tangannya pun semakin mengerat.
“Apakah Anda masih sanggup berlari?”
“Aku selalu sanggup untuk berlari,”
———
Nafasnya tersengal-sengal, begitu berat dan putus-putus. Mengalahkan belasan orang seorang diri dengan tangan kosong memang bukanlah pilihan yang baik. Dengan sekuat tenaga Faisal berusaha untuk tetap berdiri tegap diatas kedua kakinya. Indra penciumannya dapat menciun bau anyir darah dari lubang hidungnya dan pelipisnya.
Sementara itu tangan kanannya pun sibuk menahan darah akibat luka lebar pada bagian perutnya. Dirinya pun terduduk, memuntahkan begitu banyak darah dari bibirnya—pandangannya pun seketika mengabur—sepertinya ia sudah kehilangan banyak darah hari ini.
Perlu ia akui satuan keamanan Sindari tidaklah main-main, mereka begitu lihai dan cekatan, hal tersebut dapat terlihat dari banyaknya luka yang tidak dapat ia tangkis. Jika dipikirkan lagi sepertinya ia mendapat satu luka sayatan besar diperutnya, satu tembakan yang meleset namun sukses mengenai pelipisnya, dan beberapa luka tebasan lainnya.
Meskipun demikian Faisal tidak boleh selesai di sini. Dirinya harus menyelesaikannya, ia harus dapat berhadapan dengan sang Ratu yang diktaktor dan membawanya bersama untuk menjemput kematiannya.
“…aku… pinjam… ya…,”
Diambilnya sebuah pistol yang tergeletak bersimbah darah dari pegangan salah seorang penjaga Sindari. Hanya tersisa satu buah peluru di sana, ini kemudian menjadi sebuah pertaruhan bagi Faisal—hidup dan mati—diterkam atau menerkam—jika ia gagal maka semuanya akan gagal, tetapi paling tidak istana ini pun kemudian akan luluh lantak dan hancur menimbunnya. Dirinya akan berusaha mengulur waktu untuk itu.
Paling tidak jika ia mati maka dirinya harus ikut membawa sang Ratu mati bersamanya
Dengan langkah tertatih dan nafas yang menderu Faisal berhalan sembari memegangi lukanya. Walau pandangannya mengabur tekatnya sudah bulat. Akan ia bawa kehancuran kerajaan busuk ini bersamaan dengan kematiaanya.
Dengan langkah tertatih ia pun bersenandung, sepertinya bersamaan dengan darahnya yang menetes Faisal pun perhalan kehilangan akal pikirannya. Dimainkannya pistol yang ada dalam genggamannya.
“Hmm hmm hmm~~”
Maka biarkanlah dirinya terus bernyanyi dan bermain peran hingga bara api melahap dirinya
Tetapi tekad Faisal telah bulat, maka biarkan bara api ini pun menjalar dan melahap selayaknya kebenciannya dan membinasakan mereka yang dengan semena-mena menghukumnya
Inilah buah yang harus mereka bayar
———
Sang Ratu, Lestari Alya Sindari terlihat bersusah payah untuk menyingkirkan puing-puing bangunan yang menimpanya. Ia mengeluh saat menyadari kaki kanannya patah karena tertimbun puing-puing bangunan. Sang Ratu pun mendecih sebal, jika seperti ini ia tidak bisa lari—sungguh, akankah takdirnya akan berakhir seperti ini?
Tidak ini belum berakhir, dirinya harus bisa bertahan dan mempertahankan tahtanya lebih lama lagi—otoritas dan kekuasaannya adalah hal yang mutlak, ia tidak boleh mati seperti ini. Ini bukanlah akhir yang diharapkannya
“Hmm hmm hmm~~”
Sang Ratu dapat merasakan bulu kuduknya meremangnsaat mendengar senandung seseorang yang semakin mendekat, dengan susah payah ia berusaha bangkit, dengan kaki yang patah dan tertatih. Entah mengapa instingnya mengatakan bahwa dirinya harus segera lari—ada sesuatu yang mengerikan yang tengah memburunya.
Takdirnya yang tragis
Dan suara senandung itu semakin dekat, dari remang cahaya rembulan yang perlahan memasuki reruntuhan istana dan melewati puing-puing bangunan yang ada dirinya dapat melilah sosok Faisal dalam balutan jas putihnya dan bersimbah darah—dengan sebuah pistol yang ia mainkan di tangan kanannya. Lelaki itu masih terus bersenandung.
Sang Ratu terus berjalan mundur saat sosok Faisal terus berjalan mendekat ke arahnya—seharusnya bukan dia yang diburu, bukan dia yang dieksekusi, tetapi entah mengapa dirinya yang merasa takut?!
Pada akhirnya sang pendosa itupun akan tiba di ujung jurang keputusasaan saat penghakimannya pun tiba
Maka, untuk yang ditakdirkan, teruslah menari dan bermain peran hingga bara api melahapmu seorang diri dalam ketidaktahuan
Inilah buah dari arogansimu
Isi dari nubuat yang diramalkan itupun seketika seakan menggema di seluruh puing dan reruntuhan bangunan sementara itu Faisal masih terus bersenandung seakan menikmati pentas seni terakhirnya—seakan dirinya pun telah ikut terlahap dalam bara api penuh derita.
“Hmm hmm hmm~~”
Sosok itu pun menodongkan pistolnya tepat ke arah kepala sang Ratu, yang sukses membuat sosok wanita paruh baya tersebut duduk mengampuh—memohon ampun.
“Inilah buah dari arogansimu, Lestari Alya Sindari”
“Oh wahai putra Najma yang agung… mohon… mohon ampuni saya…”
Permohonan ampun penuh keputusasaan, membuat sosok Faisal yang sepertinya sudah sepenuhnya hilang kesadaran itu pun tertekekeh kecil—menertawakan keputusaan sang Ratu begitu puas. Tawanya begitu nyaring dan nyalang dan seketika menggema—seakan mengejek akhir dari sang pendosa.
“Ya… itulah sebuah keputusasaan, teruslah memohon ampun pada takdirmu yang mana kamu biarkan lalai—di mana kamu memilih buta ditengah semua kebenaran yang ada, memilih untuk tidak mengetahui di saat kamu bisa mencari tahu—tidakkah ini akhir yang adil?”
“Mohon ampun wahai sang Tuan… mohon ampun wahai putra Dewa yang agung…,”
Manusia pada akhirnya berputus asa saat takdirnya sudah menghampiranya, dan itulah ciri para pendosa—mereka hanya bisa memohon ampun
Seakan berputus asa akan nasih buruk yang menimpanya—niscaya mereka pun akan celaka akibat buah dari arogansinya sendiri, para pendosa yang tamak dan bodoh
Para pendosa yang memohon ampun di atas orang-orang tidak bersalah yang sendari awal sudah menyerah akan kebahagiaannya—di saat mereka pun tidak bisa berputus asa atas takdir yang dicuranginya, kebahagiaannya yang direnggut, dan semestanya yang dirusak
Besi dingin itu diletakkan tepat di atas kening sang Ratu yang telah penuh akan bulir-bulir keringat. Kedua manik kelabu tersebut nampak membesar dan bergetar tak karuan di saat jemarinitu hendak menarik pelatuknya.
Tepat di sini, muasal dari semua ketidakadilan ini, muara dari semua petaka yang seharusnya ditujukkan kepada sang pendosa—dan di sini pula akhirnya
DOR
Pelatuk itu dilepaskan, membuahkan sebuah tembakkan yang seketika menewaskan wanita tersebut. Dengan tawa terbahaknya dibuangnya pistol tersebut.
Di bawah remang cahaya rembulan yang masuk melalui puing-puing bangunan sosok itu menari, selayaknya berdansa dengan sang terkasih yang telah lama ia tak jumpa.
Seakan mengabaikan setiap tetes darah yang mengucur—mengabaikan setiap luka yang ada, sosok itu pun berjalan selayaknya meninggalkan panggung pentas seni—perannya telah selesai.
———
Di bawah sinar rembulan dirinya terus menari, mengabaikan tetes demi tetes darang yang terus mengucur dari tubuhnya. Ia terus menari dan berdansa.
Terima kasih karena terus bertahan hingga akhir—terima kasih karena terus menyelesaikan sandiwara tipu muslihat ini putraku
Seakan terdengar suara menggema dari atas langit-langit, dan bersamaan dengan gema suara tersebut tubuh itu pun perlahan melemah—kehilangan tenaganya.
Terima kasih karena telah menyaksikan pertunjukkan ini hingga akhir
Tubuh itu pun terkulai lemas—bersimbah darah—meskipun demikian tangan kanannya pun masih dengan setia memegang setangkai bunga lili putih yang ternoda akan darahnya sendiri.
Beristirahatlah dalam damai dan berbahagialah
———