komoyi

just me and my loving komori hours, heavily post sunakomo

———

Kerajaan Jaya beberapa hari terakhir selayaknya diselimuti oleh sebuah awan kelabu tak kasat mata. Tiada keceriaan yang tersisa sesaat setelah sang pelita kehilangan binarnya—manakala sang rembulan meredup dan perlahan dilahap kegelapan.

Dan sama seperti hari-hari sebelumnya Romi pun selalu ada untuk membantu sang putri, memastikan kondisi baik fisik maupun psikis sang putri baik-baik saja. Akan tetapi luka yang diberikan terlalu dalam menyisakan relung tak berdasar di hati sang gadis.

Sama seperti hari-hari sebelumnya dan setiap harinya kekecewaan, amarah, dan kebencian itu semakin memuncak manakala dirinya berusaha menghilangkan ragu dalam diri—bahwa kekasih hatinya tidak akan pernah mengkhianatinya—dan semakin ia sangkal maka pengkhiatan itu akan semakin memberikan sakit.

“Tuan putri…,”

Gadis itu menoleh saat merasakan sentuhan lembut dipundaknya—Romi memanggilnya.

“Sudah waktunya makan siang, Anda tadi melewatkan sarapan kan? Jangan sampai Anda pun melewatkan makan siang,”

Rena tidak menjawab, pandangannya pun kembali teralih ke arah bunga-bunga di taman kerajaan yang bermekaran dengan indahnya. Memamerkan pesona warna-warni dari beragam jenis kelopak yang berbeda. Musim semi baru saja tiba tetapi bunga di hatinya telah lama layu dan gersang.

“Dokter Romi…”

“Ya?”

Gadis itu menghela nafas pelan. Begitu berat dan serak rasanya, seakan berusaha menelan kenyataan pahit kembali dalam dirinya. Sang putri pun memilih bangkit dan mengikuti sang dokter.

Dalam perjalanan mereka Romi dan Rena dapat melihat keamanan istana yang tiba-tiba dikerahkan, seakan melindungi sesuatu. Dalam pikirnya Romi pun bertanya-tanya apakah ada penyusup? Kenapa sampai seperti ini perlindungan dalam istana?

“Ah! Jadi ini sang putri yang dimaksud! Hm… saya dengar tuan putri memiliki senyum yang meneduhkan. Namun kenapa yang saya lihat hanyalah kesedihan tiada ujungnya?”

Tentu saja, Rena terkejut saat mendapati lelaki jakung berambut merah yang entah darimana itu berdiri di depannya. Para pengawal istana pun seketika memblokade jarak diantara mereka dengan pedang. Bukannya merasa takut ataupun terintimidasi sosok itu justru terkekeh pelan.

“Tunggu, jangan berlebihan! Sembilan! Jadi keributan ini ulahmu?!”

Kali ini Romi yang angkat bicara, dan seakan angka tersebut menjadi sebuah kode para pengawal istana pun menurunkan senjata mereka.

“Siang, dokter…,” sapa lelaki itu sembari menunduk.

Tidak lama kemudian terdengar gemuruh langkah kaki para pengawal dengan baju zirahnya. Rizal dan sang Raja dan Ratu pun tiba di lokasi, untuk mengetahui—penyusup—yang menganggu ketenangan istana hari siang ini.

“Siang Yang Mulia,”

Helaan nafas berat sang Raja pun dapat terdengar, hanya dengan satu isyarat tangan ia perintahkan seluruh pengawalnya untuk pergi. Menyisakan sang Raja denga orang-orang kepercayaannya serta sang biang kerok masalah hari ini.

“Sudah berbulan-bulan lamanya kau hilang tanpa kabar dan kembali dengan berbuat onar. Saya harap ada penjelasan masuk akal akan hilangnya dirimu selama ini,” ujar sang Raja dengan nada penuh perintah menunjukkan otoritasnya yang justru tidak membuat sosok itu takut.

Jujur, baru pertama kali bagi Rena melihat seseorang yang justru tak gentar di saat sang Raja bernada demikian.

“Tidak kah Anda ingin bertanya terlebih dahulu—khususnya untuk Tuan Putri, terkait kabar dari aktor kesayangan kita? Bintang kesayangan Jaya?”

Sebuah pertanyaan yang seketika mengundang amarah. Raut wajah sang Raja pun berubah semakin serius dan berbanding terbalik dengan sang Raja, sosok bernama sembilan itupun tersenyum—menampilkan seringainya.

Kedua manik kosong nan gelap itu pun beradu pandang dengan milik Rena seakan ingin melucuti dirinya.

Dan Rena paham betul arah pembicaraan lelaki yang masih asing dihadapannya itu. Namun Rena juga tidak ingin berharap, ia tidak ingin pemikiran naifnya itu membawanya kembali pada jurang keputusasaan karena pengharapan tiada berdasar.

Untuk apa ia masih memikirkan orang yang sudah membuangnya dan mengkhianati cintanya? Untuk apa ia masih percaya.

“Sekembalinya ke istana saya penasaran, kenapa kerajaan ini tidak melakukan perlawanan? Kenapa hanya diam saja di saat terjadi pengkhianatan yang mencoreng muka kerajaan Jaya? Sebenarnya saya bertanya, apakah kalian sudah puas dengan kebenaran saat ini yang kalian percayai ataukah kalian membutakan diri dalam ketidaktahuan?”

“Jaga mulutmu Sembilan,”

Itu bukanlah permintaan namun sebuah perintah mutlak dari sang Raja, “Maafkan saya Yang Mulia,” ucapnya.

“Tidakkah kau kembali dengan sebuah informasi dan petunjuk. Bukan bualan dan ocehan seperti ini?”

Dan Sembilan pun menyeringai, “Tentu saja Tuanku, saya kembali dengan informasi yang mahal harganya… dan informasi saya tergantung dengan jawaban tuan putri,”

Satu kalimat yang seketika mengundang amarah dari sang Raja. Meskipun demikian Rena tetap diam walau degup jantungnya berpacu tak karuan. “Rizal!”

“Tunggu kak Indra! Aku ingin mendengar pertanyaan Monsieur ini, mungkin dengan demikian semua ragu dalam hati ini bisa hilang. Memberikan jawab tentang ia yang telah mengecewakan,” jelas Rena membuat Indra tidak suka. Namun sang Raja itu mengalah untuk adiknya. Semua keputusan ada di tangan sang putri.

Sembilan pun menunduk penuh hormat kepada Rena.

“Oh Putri! Maaf jikalau saya terdengar kurang ajar. Tetapi saat ini bagaimana perasaan Anda saat ini. Apakah Anda menerima kemalangan yang menerima Anda? Tidakkah Anda membencinya?”

Tatapan gelap nan kosong itu pun berubah menjadi tajam dan menyayat hatinya. Entah mengapa lidah Rena pun terasa kelu untuk menjawab. Deru nafasnya berpacu, ia merasa jawabannya akan menjadi sebuah keputusan besar akan nasib dari pengkhianatan cintanya dan penantiannya.

“Aku tidak menerimanya,” ujarnya mutlak, “Meskipun terdengar naif tetapi dari dalam lubuk hatiku aku percaya bahwa pengkhianatan itu tidak pernah terjadi. Monsieur Faisal tidak bersalah akan apapun,”

Sebuah jawaban mutlak yang tidak terlalu mengejutkan. Baik sang Raja dan Ratu pun tidak pernah mempercayai pengkhianatan tersebut benar terjadi. Tetapi penghakiman yang pantas haruslah diberikan oleh Rena, yang paling dikecewakan atas tindakan Faisal. Dan hari ini, paling tidak, kebenaran bagi kerajaan Jaya telah terungkap di mana mereka mempercayai bahwa tidak pernah ada pengkhianatan yng terjadi di sini.

“Jadi, kalian tidak bergerak karena memang menganggap pengkhianatan tersebut tidak pernah terjadi ya?” Gumam Sembilan.

“Tidak, kamu salah di sini Sembilan, Kerajaan Jaya tidak bergerak karena kami tidak ingin prasangka ini membawa pada ketidakadilan khususnya bagi ia yang tidak bersalah,”

Indra pun kembali bicara. Lelaki itu menghela nafas berat karena ia tau masalah ini lebih rumyan daripd ayang mereka kira dan tidak sesepele pengkhiatanan atau pengorbanan seseorang.

“Sendari awal kami tidak pernah tau akan kebohongan yang disebunyikan, skenario yang terjadi—baik benar atau salah dapat membawa pada prasangka yang kemudian menyebabkan hukuman. Apakah kerajaan ini sudah bersikap adil atau justru berpihak pada ketidakadilan,”

“Tidakkah Anda yang memerintah Monsieur Faisal—“

Sembilan tidak melanjutkan ucapannya, ia justru tertawa terbahak selayaknya menemukan sesuatu yang begitu lucu. Dirinya tertawa hingga terpingkal-pingkal. Diusapnya air mata dipelupuk mata.

“Oh Monsieur, sungguh pentas seni apa yang sengaja engkau hadirkan dan membiarkan semua orang dalam ketidaktahuan? Keegoisanmu justru membuat mereka semakin enggan mempercayai kebenaran yang berusaha kau ciptakan,” ujarnya bermonolog.

“Apa maksud Monsieur dengan perintah Monsieur Faisal?” tanya sang putri mendesak. Ia harus tau kebenaran dibalik semua ini.

“Oh Putri, jika sebelumnya kita hanya menikmati sandiwara Monsieur maka saat ini Monsieur sedang meminta tolong kepada kita. Untuk terlibat dan menyelesaikan penas seni terakhirnya,”

———

Dari balik ruangan senyi senyap itu Faisal nampak terdiam diri, pandangannya beradu pada langit malam yang tanpa cahaya bintang dan bulan yang menerangi. Ini bukanlah waktu untuk merenungi nasibnya—tidak pernah ada yang namanya kemalangan dalam sebuah nasib jika itu pilihannya sendiri. Mungkin saja kemalangannya adalah guratan takdir yang menuliskan kelahirannya, mungkin saja.

“Sal…,”

Sosoknya tidak bergeming saat Budi memanggil namanya.

“Waktu eksekusimu telah diumumkan, dan tujuh hari dari sekarang. Tepat menjelang malam untuk lokasinya akan dirahasiakan hingga hari itu tiba,”

Sungguh bagi Budi itu adalah kabar berat nan menyakitkan yang harus ia sampaikan sendiri kepada sahabatnya itu. Namun, sebagai penasihat kerajaan Sindari ia harus menyampaikan kabar ini agar pihak kerajaan tidak mengundang curiga padanya yang merupakan agen ganda. Identitas Sembilan dan penahanannya sudah disinyalir sebagai tanda penyusup yang masuk terlalu dalam ia tidak bisa gegabah.

“Faisal, apa perlu aku sampaikan kabar ini kepada Yang Mulia?”

“Tidak perlu,” jawab Faisal mantap dan yakin.

Kedua lelaki itu saling bertukar pandang dan bagi Budi di hadapannya bukan lagi Faisal yang ia kenal. Manik kelabu itu seakan telah kehilangan binarnya. Tetapi tatapannya tetap tajam menyalang. Seperti tengah memperhitungkan sesuatu.

Budi sendiri pun tidak tau. Jika memang Faisal bergerak sendiri atas keinginannya bukan karena perintah Raja kenapa? Untuk apa? Apa yang ia rencanakan?

“Kenapa? Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?” tanya Budi, untuk pertama kalinya ia pun menyimpan ragu dengan cara sahabatnya itu.

“Jika para aktor itu masuk sebelum naskah yang ada maka akan menghancurkan dramanya. Aku hanya memastikan bahwa semua ini berjalan lancar,”

Tidak masuk akal Memang, tidak masuk akal

“Kamu… tidak perlu khawatir—“

Faisal pun terkekeh mendengarkan ucapan Budi barusan yang belum sempat ia lanjutkan. Sebuah kekehan yang terdengar mengerikan dan mengejek.

“Budi, kamu harus tau bahwa seorang aktor tidak boleh merasa khawatir akan perannya saat ia memasukki panggung. Jadi aku tidak pernah merasa khawatir sejak awal—ah tapi ini pertama kalinya bagi kalian terlibat dalam sandiwara,”

Kedua tangannya ia bawa untuk mencekik dirinya sendiri. Melihat aksinnekat Faisal dengan segera Budi pun beranjak dari tempatnya yang membuat Faisal langsung melepaskan cekikannya sendiri.

“Hah hah… HA HA HA HAHAHAHA”

Sepertinya Faisal pun kehilangan akal sehatnya

“Kapan aku harus terus-terusan seperti ini?! Mengikuti takdir yang sendari awal tidak adil untuk diriku sendiri?! Persetan dengan semuanya apa kalian pikir aku bisa tidur dengan tenang?!”

“Di saat aku ingin menangis yang kulakukan adalah tertawa, di saat aku merasa marah dengan kalian semua aku hanya bisa menangis, di saat aku harusnya menertawakan nasibku yang adanya hanyalah rasa kesal—“

Dan Faisal pun menggeretakkan giginya. Nafasnya terdengar menderu. Seakan menahan luapan emosi yang sudah terbendung terlalu lama.

“Sedikit lagi, semuanya selesai. Nubuat itu akan dipenuhi—takdir dan sandiwara panjangku akan berakhir, seharusnya aku merasa senang… tapi yang ada hanya ketakutan…,”

Dan Budi dapat merasakannya, kesedihan serta keputusaan dari Faisal.

Namun lelaki itu tidak menangis, ia justru tersenyum

“Tolong hentikan semua ini… tolong aku…,”

Sosok itu tidaklah menangis, tetapi dapat terdengar isak tangis keputusasaan dari permintaan tolongnya tersebut

———

Malam itu Raja dan Ratu dari Kerajaan Jaya memanggil semua agen serta kakk tangan kepercayaan mereka. Sebuah panggilan dengan kode super rahasia yang hanya pihak internal kerajaan dan orang-orang kepercayaan Raja yang mengetahuinya.

Kembalinya Sembilan layaknya petunjuk dalam kebutaan mereka, di mana mereka terpaksa diam pada pengkhianatan yang menjauhkannya pada kebenaran—walau sang Raja dan Ratu teramat membencinya—dan menjadi keputusan final akan tindakan pengkhianatan serta penyerangan yang dilakukan oleh Faisal.

“Indy… lebih baik kamu beristirahat dulu…” ujar Indra sembari memegang kedua bahu adik perempuannya tersebut. Meskipun demikian Rena tidak bergeming dari tempatnya, ekspresi wajahnya mengeras ia tidak suka kakaknya menyuruhnya demikian, membiarkannya dalam kebutaan ketidaktahuan.

Ia paham betul, Indra hanya ingin melindunginya—mengingat kondisi mentalnya yang juga belum sepenuhnya pulih—apakah ia siap menerima kebenaran yang jauh dari harapannya itu. Tetapi siap tidak siap ia harus mendengar kebenarannya daripada ia harus menyesal seumur hidup. Jika ia tidak bisa membuat Faisal bicara langsung kepadanya maka akan ia dengar kebenaran itu dari orang lain.

“Tidak apa-apa kak Indra…, aku harus siap mendengar kebenarannya… ini juga akan menentukan perasaanku kepada Monsieur Faisal kedepannya…,” ujarnya.

Dan Indra tau adiknya itu sama keras kepalanya dengannya. Dirangkulnya bahu kecil sang adik, memastikan bahwa gadis itu tidaklah sendiri, bahwa dirinya—kakaknya—ada di sini dan siap untuk menemaninya dan akan selalu ada di sisinya.

Sembilan pun tersenyum melihat mereka berdua sepertinya semuanya akan jadi lebih menarik dari sekarang. Dirinya tidak sabar menyaksikan akhir dari drama pamungkas ini.

“Jadi, bagaimana dengan hasil penyelidikanmu? Dan kenapa kamu bisa menghilang begitu lama?” tanya Indra kepada Sembilan, memulai rapat ini dengan laporan investigasi khusus. Sementara itu, Sembilan hanya terkekeh kecil.

“Karena selama pegerakan saya, saya sengaja ketahuan. Saya tidak memperoleh apa-apa dari Sindari, mereka benar-benar menutupi semuanya dengan begitu rapi… Namun, saya memperoleh berita bahwa ada satu ruangan khusus yang sudah terbengkalai cukup lama…, ruang tahanan utama kerajaan, untuk penjahat kelas satu Sindari—juga kamar bagi pangeran Sindari,”

Berita yang cukup mengejutkan datang dari Sembilan, tentu saja selama ini baik Raja, Ratu, maupun kalangan bangsawan tahu betul bahwa pewaris tahta Sindari adalah seorang perempuan. Putri Fani, putri tunggal dan satu-satunya penerus tahta kerajaan tersebut.

“Putri Sindari adalah anak tunggal, dalam setiap penjamuan pun ia selalu dikenalkan sebagai putri tunggal…,” sanggah Siska dan Sembilan masih tetap tersenyum, seutas senyum misterius.

“Karena bagi kerajaan Sindari… pangeran Sindari adalah aib dan aib harus selalu disembunyikan bukan? Paling tidak itulah yang mereka percayai…,”

“Tunggu dulu, kejahatan apa yang dilakukan oleh pangeran Sindari hingga ia harus dinyatakan bersalah dan diasingkan?”

“Kelahirannya, kelahiran dan eksistensinya adalah sebuah kesalahan yang harus dihapuskan,”

Ruangan itu hening seketika, tidak ada yang berbicara—mereka semu terlalu syok untuk mengolah informasi dari berita yang diperoleh tersebut. Apa? Apa maksudnya? Eksistensi seseorang adalah sebuah dosa bukankah pemikiran tersebut sebuah tanda arogansi yang menentang kuasa para dewa?

“Tu..tunggu… bukankah kerajaan Sindari begitu taat dengan Najma? Jika mereka menghakimi eksistensi seseorang maka mereka sama saja menghakimi prinsip kedewataan milik Najma?” kali ini Diki yang angkat bicara. Terdengar nada penuh parau dari kalimatnya entah mengapa ia merasa khawatir.

“Monsieur Diki tau betul karena dulu pernah terlibat dengan kerajaan Sindari dan surat kabar Bintang Emas, bahwa di tanah tersebut, barang siapa yang mengkhianati prinsip kedewataan maka akan dihukum seberat-beratnya. Sayangnya, ketaatan tersebut menjadi fanatisme membuat mereka sama agungnya dengan sang dewa… membuat mereka akhirnya menghakimi dengan semena-mena. Meyakini hanya mereka yang layak bersanding dengan Najma di tahta kedewataan.”

Sembilan menghela nafas berat, pandangannya menjadi serius, gelap matanya seakan bisa menenggelamkan siapa saja yang tersesat.

“Karena kesombongannya Najma pun mengutuk mereka, akan selalu buta dalam ketidaktahuan, tersesat akibat ketamakannya, yang menuntunnya dalam petaka. Petaka dan ramalan tersebut hanya ada di arsip berita lama yang tidak jadi di rilis oleh surat kabar Bintang Emas dan itu semua atas perintah kerajaan Sindari,”

“Karena kesombongannya,” Indra pun bergumam pelan yang dibalas anggukan setuju oleh Sembilan.

Rena masih tidak mengerti—benar-benar tidak mengerti, kenapa permasalahannya serumyam ini. Bukankah jika demikian mereka sudah terlibat dalam intrik yang terlalu jauh dengan kerajaan Sindari? Atau memang sendiri awal mereka sudah terlibat?!

“…tunggu dulu?! Jangan bilang?!” kali ini Siska bertanya dengan sedikit panik, gebrakan mejanya mengagetkan seluruh orang dalam ruangan. Bulur keringat membasahi pelipisnya… wanita itu menelan ludahnya dengan kasar.

“Ya, Monsieur Faisal adalah pangeran Sindari yang eksistensinya berusaha dihapuskan itu…, selama mencari di surat kabar Bintang Emas ataupun arsip kerajaan Sindari tidak pernah ada satupun catatan akan dirinya bahkan catatan kelahirannya pun sengaja dimusnahkan. Yang Mulia Ratu pasti sudah mendengar langsung dari monsieur bagaimana selama ini ia tidur di ruangan beton minim ventilasi, sejak dipindahkan ke dalam tahanan maka penyiksaan kerajaan Sindari pada monsieur tidak berhenti dilakukan…,”

Sembilan pun nampak mencari-cari sesuatu dari dalam saku jasnya. Dikeluarkannya sebuah foto yang sudah cukup usang dan kecokelatan. Foto dua anak kembar yang tengah tertidur di padang rumput sembari menggenggam tangan satu sama lain.

“Ini foto yang saya dapat di kamar tersebut, sepertinya foto ini diambil sebelum sang pangeran ditahan. Tetapi ketika bertanya kepada sang putri, putri Fani pun berkata dia hanyalah anak tunggal. Hal tersebut sepertinya ia lakukan dengan sengaja untuk melindungi pangeran,”

“Tunggu dulu, fakta ini tidak menjawab tuduhan pengkhianatan yang dilakukan oleh Faisal—kita masih belum tau motif dari tindakannya,” jelas Rizal tiba-tiba dimana semua orang pun kembali terdiam.

Akhirnya mereka semua tau masa lalu dari sosok yang sudah begitu lama tumbuh dan besar bersama keluarga Jaya. Tetapi jika memang Faisal adalah pangeran dari kerajaan Sindari ia sudah masuk terlalu dalam ke kerajaan Jaya. Hal tersebut dapat menjadi alasan valid pengkhianatannya tetapi semua cerita tersebut juga menjelaskan alasan Faisal seharusnya tidak berkhianat karena mendapat perlindungan dari kerajaan Jaya.

“Sewaktu pengkhianatan itu terjadi ada satu sosok misterius yang terlibat, yaitu penyihir agung dari kerajaan Sindari yang juga paman dari monsieur Faisal,”

Sembilan pun kemudian mengambil tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar koran dengan judul berbeda dan tanggal serta tahun rilis yang berbeda-beda dengan insiden yang melibatkan berbagai kerajaan antar bangsa.

Berita pertama adalah kecelakaan yang menewaskan Raja dan Ratu Jaya sebelumnya, yaitu Raja Eka dan Ratu Naila, dalam koran yang sama ada sebuah berita kecil yang menyatakan pelantikan Madamedemoiselle Fani sebagai Putri Sindari.

“Kita semua tau surat kabar Bintang Emas berasal dari tanah Sindari, tentu saja keterlibatan kerajaan Sindari pun dipertanyakan akan aktialitas dan kenetralan pemberitaannya. Dan kita semua tau rakyat seluruh dunia saat ini memiliki sentimen untuk satu-satunya surat kabar yang memonopoli beruta dari tanah Najma. Seluruh dunia berfokus pada surat kabar ini, begitu pula saat berita kecelakaan Raja dan Ratu kerajaan Jaya yang saat itu mengundang perhatian publik karena judul berita yang menghebohkan,”

Kesedihan Sang Dewata, Perginya Kedua Raja Ratu Kepada Sisi Tahta Ilahi

“Kita semua tau berita seperti ini tidak akan pernah bisa dan tidak boleh lolos, tetapi dibiarkab lolos begitu saja. Di saat bersamaan berita pelantikan putri Fani hanya sebatas,”

Kenaikkan Putri yang Dirindukan Para Bintang, Fani Sindari pun Naik Tahta

“Untuk kedua judul yang sama kuatnya tetapi porsi yang diberikan teramat sangat jauh berbeda muncul lah asumsi publik bahwa kerajaan Sindari dengan sengaja menyembunyikan pelantikan sang putri,”

“Apakah kamu bermaksud bilang bahwa kecelakaan ayahanda dan ibunda sengaja digunakan kerajaan Sindari untuk menutupinya?” tanya Indra geram, jika demikian sungguh busuk cara bermain Sindari hanya mengandalkan momentum.

“Lebih dari itu, mereka sengaja menciptakan momentum dan peluang bagi mereka,”

Sembilan pun kembali mengeluarkan lembaran-lembaran koran yang telah disobek-sobek, beberapa judul, foto, ataupun isi beritanya telah dicoret.

“Ini adalah hasil pemberitaan jurnalisme investigasi dari surat kabar Bintang Emas yang tidak dipublikasikan. Dinyatakan bahwa kecelakaan tersebut dapat terjadi karena adanya sabotase yang dilakukan oleh pihak internal kerajaan Jaya,”

Pernyataan yang kembali mengejutkan semua orang, “Omong kosong macam apa ini?!” ucap Indra tidak terima.

“Yang Mulia, tenang dulu, kebenaran berita ini dapat saya pastikan. Walau berada dalam naungan surat kabar Bintang Emas, tetapi jurnalis yang menulisnya adalah agen yang sengaja terhubung dengan kakek Anda. Tidak rilisnya berita ini juga menandakan campur tangan dari kerajaan Sindari,”

“Bukankah berita sabotase tersebut harusnya menguntungkan Sindari? Kenapa mereka sembunyikan?!” tanya Siska. Sama seperti sang Raja dan Ratu yang nampak tidak terima dan kebingungan semua orang di sana pun sama kebingungannya. Mereka tidak mengerti kenapa sampai seperti ini, permainan ini telah terjadi jauh sebelum semua terjadi saat ini.

“Karena pihak yang menyabotase adalah agen rahasia yang sudah begitu dekat dengan Jaya. Monsieur Bambang, teknisi kepercayaan kerajaan Jaya dan juga ayahanda dari Jati, yang sekarang bekerja menjadi kepercayaan pangeran Dwi. Ia adalah mata-mata untuk Jaya yang diutus oleh Sindari. Dendam itu pun berlanjut, sayangnya karena kakek Anda tidak mengetahui kebenarannya dan menghukum monsieur tersebut, membuat Jati kemudian membelot dan menjadi mata-mata untuk Jaya dan Adamar. Dari sanalah kemudian Sindari memanfaatkan celah yang ada,”

Sembilan pun mengeluarkan koran keduanya, dicetak pada tahun yang berbeda dengan judul yang berbeda pula.

Karena Noda Setitik Rusak Susu Sebengala, Hancurnya Hubungan Adamar dan Jaya

“Karena keputusan dari kakek Anda yang tidak adil tersebut maka terjadilah pembelotan ini. Konfisi pangeran Dwi juga terlalu lemah sehingga gampang dimanipulasi, dayangnya Jati sendiri pun tidak tahu jika permainan ini bukanlah antara Jaya dan Adamar tetapi antara Sindari dengan kedua kerajaan tersebut. Hanya karena Sindari memilih menikmati dari balik layar dan mengadu domba,”

Sungguh, baik Indra ataupun Siska sudah tidak bisa bereaksi apa-apa lagi. Indra membenci kondisi ini, kondisi yng membuatnya seolah ia telah kalah karena telah kecolongan dari awal. Semuanya sudah diatur oleh mereka yang lebih lama berkuasa.ayaknya pentas seni di mana dia tinggal mengikuti jalan cerita yang ada dan masuk sesuai waktunya. Indra membencinya.

Melihat raut wajah sang kakak yang seketika menegang itu Rena pun mengusap lembut tangan besarnya. Walau ia tau hal tersebut tidak berarti apa-apa dari kenyataan yang ada ia hanya ingin menenangkan kakaknya dan melihat usaha Rena tersebut Indra pun tersenyum sembari menggenggam lembut tangan kecil sang adik.

“Tetapi ada dua hal yang tidak bisa diprediksi oleh Sindari. Pertama, adalah pernikahan Anda Yang Mulia. Siapa sangka hubungan yang dikira telah memburuk pun perlahan membaik hanya karena pernikahan diplomatis. Kedua, karena Sindari membiarkan satu penyakit kecil dalam kerajaan mereka. Kesalahan mereka adalah membiarkan Monsieur Faisal hidup hingga saat ini dan mendengarkan penyihir agung, Tomy Sindari,”

“Apa maksudmu?” tanya Indra yang sedikit lebih tenang. Sembilan pun kembali mengeluarkan pemberitaan lainnya, berita dari surat kabar Bintang Emas yang tidak terpublikasikan. “Kita semua tau bahwa Monsieur Faisal adalah bintang ternama di Jaya, tetapi namanya tidak pernah terdengar di penjuru negeri lainnya walau opera Jaya selalu diliput oleh Bintang Emas. Itu karena pemberitaan terkait monsieur sengaha dibungkam oleh mereka,”

Sembilan pun kembali menjelaskan dalam penyelidikannya ia berkesempatan untuk bertemu dengan sang penyihir agung yang memudahkan pekerjaannya, di mana dari sosok tersebut Sembilan pun mengetahui fakta yang membebaskan Faisal dan memberi kesempatan Faisal untuk bebas adalah sosok tersebut dan putri Fani.

“Sendari dulu, terjadi intrik antara penyihir agung—tidak—pangeran Sindari sebelumnya dengan sang Ratu Lestari. Monsieur Tomy Sindari membenci arogansi dan ketamakan sang Ratu oleh karena itu, jika ia tidak bisa mengalahkan sang Ratu jika menjadi pangeran maka ia akan mencuranginya dengan mencuri pandangan para dewata dengan menjadi seorang penyihir agung,”

“Bukankah itu sama aja dengan bunuh diri, jika para dewa mengetahui niat Tomy Sindari maka hukuman ilahi yang akan segera menghampirinya,” tanya Siska dan kali ini Sembilan pun menggeleng sebagai jawaban.

“Tidak Ratuku, telah terjadi perjanjian antara Tomy dan para dewa. Setelah perjanjian antara Tomy dan Najma terjalin maka ia menjalin sumpah seumur hidup untuk mewujudkan nubuat yang diramalkan kepada kerajaan Sindari dan sang Ratu untuk menjadi kenyataan. Walau itu berarti ia harus membiarkan Sindari dalam kebutaan dan memainkan keponakannya sendiri,”

Sembilan menghela nafas berat, sungguh sebenarnya sendari tadi ia memikirkan banyak hal. Khususnya ucapannya dengan Faisal untuk terakhir kalinya sebelum berpisah dengan lelaki itu. Apakah memang langkah yang tepat jika harus melibatkan kerajaan Jaya lebih jauh dari ini?

“Ada apa Sembilan? Kau terlihat risau,”

“Maaf Tuanku…, saya hanya memikirkan monsieur Faisal…, saya tidak yakin Anda semua akan senang mendengat hal ini,”

Sembilan pun menghela nafas berat.

“Penculikan yang ternyata pada madamedemoiselle Indy, dilakukan oleh Monsieur Tomy. Karena beliau menyadari bahwa takdir akan berubah jika monsieur Faisal terlalu terikat dengan kerajaan Jaya. Lebih lanjut, adanya sebuah ultimatum kepada monsieur Faisal dari Tomy Sindari dimana akan menghancurkan kerajaan Jaya dan spesifik menargetkan demoiselle. Tomy Sindari secara sadar mempermainkan mentalitas monsieur Faisal. Di mana nubuat itu membuatnya pefcaya dimanapun keberadaannya akan membawa pada kehancuran karena ialah kutukan itu maka ia memilih dengan sadar untuk menghancurkan kerajaan Jaya dengan tangannya sendiri. Itu juga akan memudahkannya untuk memenuhi ramalan tersebut,”

Gebrakan meja pun kembali terdengar untuk kedua kalinya. Namun kali ini sang Raja yang melakukannya. Siska hanya diam termangu di posisinya sedangkan Rena—kebenaran yang selama ini ia cari-cari—kebenaran yang selama ini ia ingin dengar pun terungkap. Dirinya pun tidak bisa bereaksi apa-apa selain matanya yang mulai memburam dengan air mata yang perlahan mengalir di sudut matanya.

“Bagi madamedemoiselle, pernikahan dengan monsieur Faisal adalah awal dari segalanya tetapi bagi monsieur itu adalah akhir bagi segalanya. Baik akhir dari kebahagiaannya, akhir dari keamanannya, bahkan akhir dari kerajaan Jaya. Itulah sebabnya ia memilih untuk berkhianat. Ia memilih akhir untuk hidupnya sendiri dan kembali pada takdirnya. Itulah permainan Tomy Sindari kepada monsieur Faisal,”

“Dari awal Tomy Sindari dengan sengaja membebaskan Faisal agar mendapatkan kebahagiaan dan kebebasannya. Di saat perasaan berbahagia itu membuncah maka akan ia rengut sehingga yang tersisa hanyalah kebencian dan keputusasaan. Agar Faisal dengan tangannya sendiri menghancurkan Sindari,”

Siska hanya bisa terdiam dan berdecak kesal. Takdir anak asuhnya itu sudah terlampau kejam dan sekarang ia harus berhadapan dengan pengorbanannya. Melepaskan semua kebahagiaan dan kebebasannya, kembali berhadapan dengan nasib bodoh takdirnya yaitu kematian.

Sedangkan itu Indra pun sama kesalny. Tatapannya menyalah begitu tajam layaknya siap membunuh semua musuh dihadapannya. Rasanya darahnya begitu mendidih, entah mengapa ia merasa kehidupan seseorang dan kebahagiaan hanyalah permainan mereka yang berkuasa, mereka yang memiliki kekuatan.

Sementara Rena—gadis itu tidak menunjukkan reaksi apapaun—bahkan tidak syok, yang justru membuat Romi sangat khawatir akan kondisinya. Semua berita ini terlalu mengejutkan dan tidak pernah mereka sangka sebelumnya. Bukan semata-mata sebuah pengkhianatan.

Dan Sembilan, yang menyatakan kebenaran yang menyakitkan tersebut hanya menghela nafas pelan. Ditolehkannnya pandangannya kepada sosok Rena yang nampak tenang itu.

“Tetapi sebenarnya sendari awal monsieur Faisal tidak menyerah akan takdirnya. Selama ini kita tau bahwa Sindari sudah bermain dari balik layar dan ikut campur terlalu dalam. Maka monsieur berusaha menampilkan dirinya untuk memancing Sindari, agar pergerakan Sindari tercium kepermukaan dan hal tersebut terbukti dari penculikan demoiselle, itulah sebabnya saya disini dengan pilihan dan pertanyaan kepada demoiselle dan Yang Mulia. Sebuah pilihan yang diberikan serta permohonan maaf dari monsieur Faisal,”

Kali ini tiada lagi kesombongan atau terdengar nada ‘mengejek’ milik Sembilan yang sengaja ia lakukan. Kali ini Sembilan terdengar meminta dengan permohonan tulus, layaknya menyampaikan sebuah pesan penting dari seseorang yang mungkin tidak akan pernah bisa kembali lagi.

“Tujuh hari lagi, monsieur Faisal akan dihukum mati jika memang kerajaan Jaya tidak mempercayai pengkhianatan yang dilakukan olehnya maka inilah waktunya bagi mereka untuk melakukan perlawanan dengan kebenaran yang ada.”

Sembilan berhenti sejenak

“Namun, jika memang kerajaan Jaya mempercayai akan pengkhianatan tersebut maka sudah sepatutnya hidup ia berakhir dengan penghinaan tanpa maaf. Tetapi jangan biarkan mereka buta akan ketidaktahuan. Jangan pernah beritahukan kebenaran akan tindakannya, biarkan mereka membencinya dan bergerak karena dasar kebencian kepada Sindari sebagaimana ia membenci takdirnya,”

Dan pernyataan Sembilan tersebut tidak membuat kondisi semakin membaik. Siska nampak frustasi karena sendari awal Faisal sudah siap untuk mati. Sementara Indra merasa hal tersebut layaknya sebuah penghinaan terhadap dirinya.

Memang, sebuah pengorbanan diperlukan untuk menunpas ketidakadilan tetapi apa yang telah terjadi sekarang… memiliki harga yang teramat mahal. Harga sebuah kepercayaan, harga nyawa ia yang tidak pernah bersalah, harga sebuah cinta dan perasaan…

“Semuanya… ayo… monsieur Faisal pasti tidak ingin melihat kita seperti ini…,”

Rena pun bersuara, cicitnya terdengar begitu parau dan bergetar seakan menahan tangis dan pilu yang teramat sangat. Dirinya lah yang paling pantas merasa terpukul, ia lah yang paling pantas merasakan benci.

Tetapi semua rasa benci, amarah, dan kekecewaan itu entah mengala sirna begitu saja mendengar kebenaran yang ada. Digantikan sebuah perasaan yang jauh teramat dalam dan murni kepada cintanya yang begitu tulus.

“Kita sudah tau kebenarannya maka sudah saatnya kita berjuang untuk keadilan itu. Apapun hasilnya, yang jelas kita tidak boleh terpuruk sebelum berperang karena pasti saat ini kondisi monsieur jauh lebih buruk daripada kita. Kita harus percaya kepadanya dan membantunya!”

Seutas senyum pun muncul dari sosok bersurai merah tersebut. Ia pun berandai, jika monsieur Faisal mendengarnya apa reaksi yang akan ia berikan. Sosok yang diharapkan membencinya dan merutukinya hingga dasar tanah itu justru menjadi sosok pertama yang memaafkannya dan percaya padanya. Akan semakin berat bagi monsieur Faisal jika ia mengetahui hal ini.

“Kalau begitu, nyatakan monsieur Faisal sebagai penjahat utama kerajaan Jaya buat seolah-olah Jaya juga menginginkan kerajaan tersebut sehingga mata dunia pun tertuju pada badai besar yang akan menerjang Sindari,”

Perintah Indra mutlak. Jika memang sendari awal Sindari berencana untuk melibatkan Jaya dalam sandiwaranya maka akan diterimanya undangan tersebut dengan senang hati. Dan membuktikan kepada kecongkakan mereka bahwa permainan ini bukanlah mereka yang mengaturnya.

Sementara itu dari dalam lubuk hatinya Rena hanya bisa berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaan Faisal.

———

Monsieur…, aku harap kamu tidak merasa sendiri dan cinta itu terus ada dalam dirimu, untuk melindungimu

———

🌻🌻🌻

Sucrose tersenyum simpul melihat interaksi yang terjalin antara Collei dan Tighnari. Sahabatnya itu nampak terlihat malu-malu dan salah tingkah terlepas kedua insan Tuhan tersebut telah merahut rasa dua tahun lamanya.

Meski demikian, Tighnari masih tetap sama seperti saat sebelum mereka berdua berpacaran (jangan ditanya bagaiman Sucrose dapat tahu karena dia adalah saksi perjalanan cinta kedua sejoli tersebut).

Bagaimana Collei yang terkadang masih tidak percaya diri dan Tighnari yang meyakinkannya untuk lebih percaya diri. Melihat kebahagiaan sahabatnya tentu saja membuat Sucrose turut berbahagia walau di satu sisi hatinya pun ikut merasa mencelos.

Karena kisah cintanya yang tak seindah cerita-cerita romansa yang ada. Walau tidak seharusnya Sucrose menyesalinya tapi terkadang diribta pun memikirkan skenario ketika dirinya tidak mengutarakan perasaannya kepada Albedo. Mungkin dirinya tidak perlu kabur atau lari-larian seperti ini. Mungkin juga ia bisa menghadiri momen membahagiakan lelaki itu. Sucrose pun tersenyum miris.

Di tengah lamunannya, gadis itu menolehkan kepalanya saat seseorang menepuk lembut punggungnya. Mendapati sosok Albedo yang tersengal dengan peluh memenuhi sisi wajahnya. Nampaknya lelaki itu baru saja berlari di tengah lautan manusia dan panasnya siang.

“Kak Al?!”

“Hah… hah… syukurlah… Tighnari yang mengabariku kamu datang… aku takut kalau aku tidak cepat maka aku akan terlambat…,” jelasnya.

Sucrose tidak terlalu mengerti, untuk apa lelaki itu repot-repot mengejarnya sampai seperti ini? Namun daripada ia kegeeran dan dihancurkan sendiri oleh ekspetasiny, Sucrose memilih untuk mengeluarkan minum miliknya dan menyerahkannya kepada Albedo.

“Minum dulu kak…,”

Lelaki itu pun menerima pemberian sang puan. Sementara Sucrose masih nampak sibuk mencari-cari sesuatu dari tas kecilnya. Mengeluarkan sebuah sapu tangan kecil dengan rajutan bordir bergambar bunga sweet flowers dan cecilia di atasnya.

“Aduh kak Al… jadi keringetan semua… padahal kan lagi wisuda gini jadi berantakan karena lari-larian di tengah orang-orang sama panas-panasan,” ujarnya sembari sibuk mengusap pelipis lelaki itu.

Tentu saja Albedo terkejut dengan sikap Sucrose. Bukankah gadis itu harusnya marah dan menghindarinya? Tetapi kenapa masih peduli kepadanya?

Digenggamnya tangan gadis itu, menghentikan pergerakan jemari lentiknya. Dibawanya turun tangan Sucrose oleh Albedo dan digenggamnya erat-erat.

“Kenapa? Bukannya harusnya kamu marah? Kamu kecewa? Kamu membenciku?”

Dan Sucrose pun menatapnya penuh tanya.

“Aku… waktu itu… tidak memberimu jawaban… dan kemarin… aku sudah mengabaikan perasaanmu, melukaimu karena keegoisanku… tapi kenapa…?”

“Lalu kenapa kak Albedo repot-repot berlarian hanya untuk mengejarku jika merasa bersalah? Bukannya seharusnya kak Albedo juga tidak mau bertemu diriku?”

Albedo termangu seketika mendengarkan penjelasan gadis itu. Benar juga, kenapa ya? Kenapa harus ia repot-repot mengejar Sucrose kalau kehadirannya hanya menyakiti hati Sucrose atau ia merasa bersalah padanya.

“Aku…,”

Lelaki itu menghela nafas berat, yang mulanya tidak berani menatap Sucrose, kedua manik berwarna teal tersebut kemudian beradu pandang dengan sepasang netra amber dibalik kacamata Sucrose.

“Maaf… aku tidak memberimu jawaban saat itu…, aku hanya tidak ingin pandanganmu kepadaku berubah atau kamu menyesal hanya karena mengetahui bahwa kak Al-mu yang menginspirasi juga punya kekurangannya sendiri…,”

Ia menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya pelan-pelan.

“Apakah kamu masih akan tetap menyukai Kak Al-mu yang menginspirasi saat kamu tau ia juga banyak kekurangannya? Apa kamu masih menyukainya…,”

Sucrose terdiam sejenak, sebelum kemudian seutas tawa kecil keluar dari bibir ranumnya. Membuat kedua pipi Albedo seketika bersemu…karena malu.

“Kok ketawa…,” lirihnya.

“Maaf kak… tapi bukankah aku yang harusnya bertanya jika kak Al menyukaiku kenapa menyukai orang sepertiku? Sama seperti yang dirasakan kak Al, aku juga memiliki rasa takut itu, apakah kak Al juga punya parasaan yang sama atau tidak denganku…”

Gadis itu tersenyum kecil walau nampak getir.

“Tapi aku ingin, sebelum kita tidak bisa bertemu lagi, paling tidak kak Al mengetahui yang sebenarnya dan walau kak Al tidak sesempurna apa yang ada dalam pikiranku tetapi aku akan selalu melihat kak Al sebagai sosok yang menginspirasi. Sosok yang aku suka,”

Kedua bibir Albedo terbuka sedikit mendengar penjelasan dari Sucrose. Sebelum kemudian terkekeh kecil.

Tentu saja, Albedo memang bukanlah orang yang sempurna. Ia memang pintar tetapi ia juga bodoh jika hal tersebut menyangkut perasaan dan gadis di hadapannya ini.

“Kenapa kamu berpikir kita tidak akan bertemu lagi setelah ini?”

“Kenapa kak Al bilang seperti itu?”

“Menurutmu kenapa pula aku berlari dan mengejarmu? Tentu saja, agar kemungkinan kita tidak dapat bertemu lagi itu gugur. Aku juga ingin terus bertemu denganmu, dan bersama-sama dengan orang yang aku suka,”

🌻🌻🌻

“Sucrose?”

Yang pertama dicari lelaki berambut pirang itu adalah sosok gadis berkacama. Seutas senyum terkembang saat mendapati sang puan tengah sibuk mengamati cairan yang ada dalam tabung reaksi serta labu ukur yang sengaja dibiarkan di sana. Kepulan asap putih mengudara dari dalam menandakan terjadinya proses reaksi kimia di dalamnya.

“Lagi liatin apa?”

Gadis itu sedikit terlonjak kaget namun dengan segera mengontrol reaksi dirinya. Ia tidang ingin merusak atau memecahkan apapun di sini, ada banyak sekali zat kimia yang bisa saja menyebabkan gatal—basa—atau mudah terbakar jika terkena kulit.

“Kak Al! Gimana tadi ketemu sama Prof. Gold?”

“Udah kok, aku udah ngasih laporan data yang diminta beliau,”

Sucrose pun mengangguk dan kembali fokus pada tabung-tabung dihadapannya. “Ini semua kerjaannya kak Al?”

Albedo mengambil langkah untuk berdiri lebih dekat di sebelang sang gadis. Tangannya ia lipat di depan dada dan ia pun menggeleng sebagai jawaban, walau sucrose tidak dapat melihatnya.

“Bukan, yang kamu lihat ini kerjaannya Timeus,”

Mendengar jawaban seniornya tersebut seketika membuat Sucrose memberengut tidak suka. “Yah… padahal aku juga mau lihat kerjaannya kak Al,”

Melihat reaksi menggemaskan dari Sucrose barusan tidak bisa tidak membuat Albedo tersenyum simpul. Mungkin lain kali ia ajak Sucrose dalam penelitiannya tidaklah masalah.

“Lain kali ya, aku ajak buat penelitian,”

“Eh? Wah… makasih ya tawarannya kak tapi gausah gapapa!”

“Yaudah yuk, bantuin aku sebentar abis itu kita makan siang,”

Sucrose pun mengangguk dan mengikuti Albedo yang berjalan ke arah meja praktikumnya yang nampak rapih dibandingkan meja-meja lain yang dipeuhi alat lab. Meski demikian meja lelaki itu nampak dipenuhi dengan kertas-kertas yang berserekan dengan coretan rumus dan angka-angka di atasnya.

“Kak Al punya map ngga?” tanya Sucrose, “Buat apa?”

“Aku gatau ini kertas-kertasnya masih dipakai apa engga, tapi ngeliat rumusnya kayaknya penting jadi mau aku simpan di map biar ngga kena air atau apa,”

Albedo pun mengambil kertas yang ada di tangan Sucrose tersebut, membacanya sekilas sebelum kemudian mengembalikannya kepada gadis itu. “Semalem sudah aku salin, itu bisa kamu buang,”

Gadis itu mengangguk paham dan kemudian membuntal kertas tersebut dengan sampah lainnya sebelum membuangnya di luar.

“Oiya Sucrose, mau makan siang apa kamu hari ini?”

“Hm? Aku mau makan Pizza deh kak, di Good Hunter aja gimana?”

“Boleh,”

🌻🌻🌻

Dua sejoli itu di areal outdoor cafe & eatry Good Hunter. Tempat makan langganan para mahasiswa mahasiswi dan muda mudi Institur Teyvat. Tidak perlu menunggu lama pesanan mereka pun datang.

Satu buah pizza berukuran besar dengan toping keju dan papperoni yang melimpah ruah, satu buah pasta oglio olio pesanan Albedo, dan juga kue tiramisu yang dipesan oleh Sucrose. Untuk meminumannya kedua orang itu sepakat memesan air putih dingin untuk masing-masing.

“Jadi tugas akhir kak Albedo waktu itu tentang apa?”

“Haha, kamu itu di saat santai gini dan kita bisa bahas topik lain milih ya tetep yang berhubungan sama riset ya,”

Bukannya menjawab lelaki itu justru terkekeh pelan. Dirinya tidak marah ataupun tersinggung dengan topik pembicaraan seperti itu—layaknya mahasiswa yang justru memandang tugas akhir selayaknya momok—bagi Albedo pertanyaan tersebut seakan menjadi basa basi untuk memulai obrolan, dan ia sudah menduganya bahwa Sucrose akan menangakan hal tersebut (gadis itu kelewat tekun).

Sucrose nampak gelagapan takut bilamana pertanyaannya sedikit menyinggung Albedo karena hati mahasiswa akhir itu sangatlah sensitif layaknya pantat bayi.

“Eh maaf kak, aku ga bermaksud…,”

“Gapapa kok, dan aku justru ga kaget kamu nanya itu…, oh, menurutmu, kira-kira aku ambil penelitian tentang apa?”

Gadis itu nampak terlihat berpikir, diletakkannya tangan kanannya di bawah dagunya, alisnya mengkerut dengan mata yang terpejam. Albedo tersenyum kecil.

“Kimia organik…?” jawabnya ragu.

Ding dong

“Benar, lebih tepatnya aku meneliti terkait kristalisasi monosakarida dan disakarida,” papar Albedo yang tentu membuat Sucrose seketika takjub mendengarnya.

“Wah! Keren!”

“Oh iya Sucrose, ada hal yang sendari dulu ingin aku tanyakan,”

Sekarang gantian, Albedo yang bertanya balik yang tentu saja diperbolehkan oleh sang gadis. “Apa itu kak?”

“Namamu… Sucrose, dari Sukrosa?”

Kedua pipi gadis itu pun seketika merona merah, ia nampak malu-malu ketika Albedo menanyakan hal tersebut, sembari menunduk Sucrose pun memganggukkan kepalanya.

“Iya… orang tuaku, keduanya dosen, satu dosen kimia, satu biologi…, alhasil aku dinamakan Sucrose… hehe tapi nama Sucrose terlihat pantas didengar dibanding Glucose atau Fructose…,” jawabnya sembari sedikit bercanda.

Albedo berdeham panjang, sembari menopang dagunya dengan tangan kanannya, “Hmm… begitu ya, pantas namanya cocok dan pas buat kamu,”

“Eh…, kenapa itu kak?”

“Sucrose, ternasuk ke dalam disakarida dari glukosa dan fruktosa. Lebih manis dari glukosa namun tidak semanis fruktosa. Manisnya pas…,”

Sucrose menarap Albedo dengan penuh tanya. Manisnya pas? Apakah dessert-nya yang dimaksud? Atau apa? Apanya yang manisnya pas? Sungguh Sucrose tidak mengerti, pikirannya masih dipenuhi dengan kebingungan.

🌻🌻🌻

❣️❣️❣️

“Loh? Ini kan coklat yang hits sama mahal itu ga sih? Sering muncul di explore IG-ku,” celetuk Fani yang baru saja nimbrung. Dapur nampak ramai dengan orang-orang yang berkumpul dan mengerumuni Faisal yang nampak sibuk mengeluarkan boks-boks coklat dari dalam papperbag berwarna merah san hitam tersebut.

“Iya? Tadi mas Aditya juga bilang gitu sih. Katanya harganya juga mahal banget, satu boksnya tiga ratus ribuan,” jelasnya yang tentu membuat mereka semua kaget, pasalnya ada tiga boks di sana.

“Ada rasa coklat, strawberry, sama matcha. Eh ini Fan, kamu kan suka matcha,”

“Banyak banget…,”

“Ih kok pada diem aja, makan aja kalo mau,” keluh Faisal melihat teman-temannya itu masih diam di tempat memandangi boks-boks coklat yang ia bawa. “Ya kan yang punya coklat makan dulu,” imbuh Romi.

“Makan aja udah sih, kenapa harus nunggu aku?” tanya Faisal, lelaki itu nampak terlihat sibuk merapikan barang-barangnya dan melipat paperbag yang dia pegang.

Di sisi lain, tanpa babibu, Siska mengambil garpu kecil itu terlebih dahulu, menuncapkannya ke cokelat tersebut sebelum mendulangnya ke arah Faisal. “Ayo mangap gak, biar yang lain juga bisa makan,”

Faisal menghela nafas pelan dan menurut. Seketika semua orang memperhatikan Faisal dengan seksama, menunggu reaksi lelaki itu. “Gimana rasanya?” tanya Fani penasaran.

“Oke, yang digigit aku expect-nya bakalan chewy ternyata lembut banget. Awalnya tuh pahit, dark chocolate-nya kerasa which is nice tapi lama-lama manis. Kalau dikunyah lembut tapi kalau diemut itu lumer, melting gitu,” paparnya. Loh kok jadi komentar Master Chef gini?

Penasaran dengan rasanya, Siska pun langsung melahap satu dan kemudian mendulang Fani untuk yang rasa matcha. Membuat gadis bersurai pendek itu memegangi pipinya dan menggoyang-goyangkan kepalanya. Enak!

Melihat reaksi spontan Fani (yang kalau makan makanan enak akan goyang-goyang) satu persatu, baik Budi, Diki, Doni, dan juga Romi bergantian menyomot coklat-coklat dalam boks tersebut. Sementara Faisal terlihat sedikit menghindar dari keramaian. Tangannya mengambil secarik surat yang sendari tadi tidak luput dari perhatiannya saat mengeluarkan coklat-coklat tersebut.

“Eh Rena baru turun!” sapa Fani saat melihat sosok gadis bersurai jelaga tersebut bergabung. Gadis itu pun menyapa balik Fani.

Rena sedikit celingukan dan mendapat sosok Faisal yang nampak sibuk dengan dirinya sendiri. Dihampirinya lelaki tersebut, dari balik punggungnya Rena dapat melihat secarik surat yang tengah dibaca Faisal, cepat-cepat ia mengalihkan pandangannya, tidak sopan.

Sementara itu Faisal hanya membacanya sekilas sebelum kembali melipatnya dan menyimpannya dalam paperbag. Tidak perlu dibaca pun sebenarnya ia sudah tau isinya. Ia pun menghela nafas pelan.

Saat berbalik Faisal sedikit terkejut mendapati Rena di belakangnya. Untungnya lelaki itu dapat mengontrol reaksinya walau sedikit canggung. “Eh, halo Rena,” sapanya.

Hening sejenak, ia menoleh ke arah kerumanan orang-orang tersebut. “Kamu sudah coba coklat yang aku bawa?” tanyanya, basa basi dan Rena pun menggeleng sebagai jawaban.

“Eh ternyata enak loh kalo rasanya di mix gini, jadi dimakan sekaligus dua rasa campur,” celetuk Siska yang membuat Fani melirik ke arahnya sinis, “Apa ga giung itu…,” tanyanya.

“Engga! Serius rasanya balance! Apalagi yang dark chocolate sama matcha rasanya pahit manis gituu,” jelas Siska antusias, jujur saja awalnya Fani merasa sangsi tetapi saat Siska mendulangnya dan ia mencicipinya sendiri kepalanya pun kembali bergoyang-goyang. “Enak!” Kan!

Rena hanya diam memperhatikan, entah mengapa dirinya sedikit merasa sedih dan juga tidak percaya diri. Dirinya belum memberikan coklatnya untuk Faisal tetapi melihat reaksi kak Fani dan kak Siska, cokelat yang didapat Faisal saat ini sepertinya nampak enak—apalagi coklat hits dan pasti mahal—tidak ada apa-apanya dengan buatannya.

Melihat Rena yang nampak muram seperti itu Doni pun menghampirinya, “Napa tuh muka ditekuk gitu, kebelet boker?”

Dan Rena hanya bisa tertawa terpaksa mendengar upaya Doni menghiburnya, “Ha ha, ga gitu kak…,” ia pun menghela nafas pelan.

“Gamau coba coklatnya Faisal?” tanya Doni dan Rena pun menggeleng, “Kenapa deh, keliatan lesu gitu. Coba makan satu,”

“Aku udah sikat gigi kak,” kelaknya dan Doni pun tidak memaksanya lagi. Mengerti sepertinya gadis itu sedang tidak mood seperti gadis-gadis yang lain.

Coklat Faisal masi tersimpan rapi di chiller kamarnya. Mungkin jika sepi akan dia simpan dalam toples dapur umum dan masukkan ke dalam kulkas pada akhirnya.

“YAH ROMI!” omel Fani saat Romi tidak sengaja menjatuhnya satu bongkahan coklat rasa matcha yang diberikannya. “AMBIL ROM AMBIL TIGA RATUS RIBU ITU,” tambah Siska mengomelinya.

Walau mereka semua kaya dan mampu membelinya tapi coklat tersebut tetaplah coklat mahal.

“DIH GAMAU, KOTOR, JOROK,” kilar Romi, Diki pun menunduk untuk mengambil coklat tersebut. Doni yang melihat kehebohan itu bersiual jail, “Belum lima menit Rom, makan Rom,”

“Gak mauuu!” pria itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menolaknya. Doni pun bergabung dengan Diki. Menahan sang dokter dan memaksanya untuk memakan coklat tersebut.

“Ayolah guys… jangan kaya orang susah… coklatnya masih banyak…,” ujar Budi, memperingatkan. Rena yang melihat kehebohan anggota kosan yang lain pun tertawa kecil, sementara Faisal hanya menghela nafas pelan.

❣️❣️❣️

Seluruh anggota kosan saat ini tengah disibukkan dengan aktivitas bersantai masing-masing. Hanya tersisa Fani yang tengah membantu Budi beres-beres di dapur. Membersihkan sisa makan malam mereka.

“Hari ini asik ya, semua anak kosan pada berkumpul dan sepertinya mood semua orang tengah baik,” celetuk Fani yang sibuk menata piring gelas kering dan memasukkannya ke dalam lemari.

“Iya, mood anak-anak kosan hari ini lagi bagus,”

Sendari tadi Fani cengengesan, senyam senyum sendiri. Sebenarnya ia ingin bertanya tentang pendapat Budi mengenai coklat yang diberikannya tadi pagi. Dirinya sedikit berbohong, bilang kalau dia membelinya—agar bisa beralan kepada Budi kalau coklatnya tidak enak maka tidak akan membelinya. Tetapi ia terlalu malu dan bingung untuk bertanya.

“Ada apa Fani?” tanya Budi yang sadar akan sikap gadis itu, “Eh, oh! Engga! Ngomong-ngomong coklatnya Faisal enak ya!” tanya Fani atau justru lebih ke pernyataan.

Budi nampak diam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Ia setuju akan hal itu.

Kalau coklatku gimana?

“Oh iya Fan,”

“Iya?”

Hening sejenak, Fani masih sabar menunggu. Budi pun menolehkan kepalanya untuk menatap ke arah Fani, “Coklat yang kamu kasih, makasih ya…,” ujarnya yang membuat Fani sedikit salah tingkah.

“Ih ngapain makasi segala Budi, kayak sama siapa, santai aja hahaha,”

Iya jadi gimana rasanya?

“Rasanya enak kok, manisnya pas… cuma ada dikit yang pinggirannya gosong… sama keras, kayaknya waktu kamu oven suhunya kepanasan dan kelamaan,”

“Oh ya? Yaudah kalau gitu aku ga pesen di sana la—KOK KAMU TAU AKU YANG BIKIN?!”

Melihat reaksi Fani yang sedikit lemot tersebut membuat Budi tersenyum kecil. Tentu saja dia tau.

“Waktu aku mau pakai ovennya ngga sengaja kecium bau coklat,”

Fani menghela nafas berat, dirinya sedikit kecewa apalagi dirinya tidak sengaja memberi coklat yang sedikit gosong kepada Budi sebagai hadiah.

“Maaf ya Budi, aku justru ngasih coklat yang agak gosong ke kamu… harusnya aku ga terlalu percaya diri bikin coklat pertama langsung dikasih ke orang” gerutu gadis itu. Bibirnya mengerucut manyun. Seutas senyum di wajah Budi pun tidak bisa lepas melihat reaksi sang gadis.

“Gapapa, sudah bagus kok buat pertama… trials and errors itu perlu,”

“Kapan-kapan mau aku ajarin buat coklat?” tawar Budi yang tentu saja dibalas dengan anggukan antusias dari Fani. “Iya! Boleh! Terima kasih banyak Budi!”

❣️❣️❣️

Rena menghela nafas pelan, ia tidak bisa tidur daritadi—atau lebih tepatnya sengaja menunggu larut malam untuk bisa tidur. Disingkapnya selimut kuningnya tersebut dan dibawanya dirinya bangkit dari tempat tidurnya.

Ia berjalan menuju chiller yang tidak jauh dari nakas kasurnya. Diambilnya sekotak hadiah kecil berwarna hitam dan biru tersebut. Tinggal kado untuk Faisal.

Rena mengeluh kecil, dirinya tidak percaya diri! Jika dibandingkan dengan coklat pemberian rekan kantor Faisal (yang kemungkinan besar Lidia) pasti coklatnya tidak ada apa-apanya. Jadi daripada dirinya harus mempermalukan dirinya lebih baik ia masukkan coklat-coklat itu ke dalam toples.

Saat hendak beranjak, pandangannya teralih pda satu kartu ucapan yang terselip di pita kadonya. Lebih baik ia buang saja juga. Dan langkah kecilnya ia bawa untuk berjalan ke arah dapur.

“Loh? Rena?”

Ugh…

Ia justru bertemu orang yang paling ia hindari…

“…Faisal…? Lagi apa?” tanya yang kemudian ia rutuki sendiri, bodoh.

“Oh… aku… lagi bikin kopi,”

“Tengah malam begini?”

Faisal mengangguk pelan, dipandanginya cairan pekat pada cangkir yang ia pegang. “Oh iya, kamu kenapa belum tidur? Lalu itu apa?”

Sial

Rena lupa kalau ia masih memengang kotak kado kecil itu di tangannya. Dengan segera ia sembunyikan walau sia-sia. Faisal pasti sudah curiga.

“Oh, biar aku tebak, kamu dapat kado valentine ya?”

Bukan begitu…

Rena memilih mengalihkan pandangannya, bagaimana ia bisa kabur dari situasi kikuk macam ini. Melihat reaksi Rena yang seperti itu membuat Faisal terkekeh pelan. “Ya sudah, aku balik ke kamar kalau gitu, coklat buat kamu masih ada kok di kulkas. Tadi kamu belum coba kan?”

Bukan, bukan seperti ini

“Aku… apa Faisal mau menemaniku sebentar?”

❣️❣️❣️

Mereka duduk dalam diam, Faisal dengan khidmat menyesap kopinya, sementara itu Rena masih memegang kado kecil tersebut.

“Kamu…,”

“Ya,”

Faisal menghela nafas pelan, “Marah sama aku?”

“Kok Faisal mikir gitu?”

Lelaki itu kembali menyesap kopinya, “Gatau, ngerasa aja, tadi sore pas orang-orang pada makan coklat kamu kayak lesu gitu,”

Ah…, jadi memang keliatan ya?

Rena menghela nafas pelan, “Sebenarnya ini coklat buat kamu… mau aku kasih tadi… cuma… aku udah minder duluan…,”

Dan Faisal pun keselek kopinya.

“Kok… reaksimu gitu…,” ujar Rena sedikit kesal. Dengan segera lelaki itu menyeka bibirnya, meminta waktu sebentar kepada Rena, “Maaf, maaf aku tidak bermaksud buruk… tapi kenapa kamu minder?”

Rena tidak menjawab tetapi Faisal sudah tau jawabannya. Terima kasih atas tugas menjaga gadis itu selama beberapa bulan sehingga Faisal dapat dengan mudah membaca karakter Rena. “Kamu… minder karena aku sudah dapat coklat lain…,”

Dan Rena pun mengangguk, “Bukan itu saja! Aku juga takut kalau rasa coklat buatanku tidak terlalu enak, kamu tau kan… dibandingkan itu rasanya sakit dan tidak menyenangkan,”

Ouch

Faisal pun mengulurukan tangannya dengan seutas senyum di wajah, dan Rena tau lelaki itu meminta kado Valentinenya. Sedikit ragu ia berikan kotak kecil tersebut kepada Faisal yang kemudian dibuka perlahan dan hati-hati.

“Besar kecil kadonya, aku tidak pernah mempermasalahkannya, aku sudah pernah bilang itu kan ke kamu?”

Ya, dan Rena tidak lupa akan hal itu.

“Dan satu hal lagi, hal yang berharga dari sebuah kado adalah perasaan dan usaha yang dilakukan oleh sang pemberi, yang membuat sang penerika bisa mengingat sosok sang pemberi. Bukankah itu adalah esensi dari sebuah kado?”

“Aku sudah dapat dari Fani dan aku sudah tau kalau kamu, Fani, dan Siska yang membuatnya sendiri. Jadi, terima kasih ya, atas usahamu untuk membuat coklat ini, aku senang menerimanya,”

Rena tidak bisa berkata-kata ataupun mengelak. Entah mengapa ucapan Faisal barusan membuatnya senang dan menghilangkan semua keraguan ataupun ketidakpercayaan diri dalam dirinya.

Benar juga, mengapa ia harus takut? Bukankah tadi orang-orang yang menerima kadonya juga memberikannya komentar-komentar yang baik? Lebih daripada itu, bukankah yang paling utama adalah coklat.

Faisal memakan satu buah coklat dari kado Rena, sebelum kemudian menyesapnya dengan setengguk kopi.

“Rasanya terlalu manis untukku, tapi aku menyukainya, dia cocok di makan sama kopiku,” puji Faisal.

“Kamu mau coba?” ucap Faisal menawarkan kepada Rena, “Kado Valentine akan lebih berharga jika bisa dinikmati bersama seseorang yang berharga… katanya sih…,”

Kedua manik sejernih jelaga dapat melihat sedikit rona merah muda di kedua sisi wajah Faisal, yang entah kenapa membuatnya pun tersipu tanpa sadar. Malu-malu diambilnya coklat buatannya dan dicobanya.

Dan.. iya… sedikit kemanisan…

Faisal yang melihat raut wajah Rena tersebut tertawa kecil, menawarkan kopinya untuk Rena. Gadis itu pun mencobanya seperti yang dikatakan Faisal tadi, rasanya jauh lebih baik.

“Mungkin kedepannya kalau sudah pakai susu tidak aku kasih gula lagi deh…,” jelasnya.

“Kalau full cream emang baiknya gitu sih tapi kalo plain milk ga ada salahnya ditambah gula tapi dikit aja,”

“Oh ya? Mau nyoba coklat yang aku bawa tadi?”

“Boleh,”

❣️❣️❣️

Perasaan itu ada banyak sekali bentuknya

Kadang terasa pahit namun tidak sedikit pula ada yang manis

Tapi semua akan jauh lebih indah jika ada seseorang yang tepat untuk berbagi rasa yang sama dalam diri

Selamat hari kasih sayang, semoga kita bisa berbagi perasaan-perasaan yang baik

Selayaknya coklat yang manis

❣️❣️❣️

❣️❣️❣️

Siska meletakkan cetakan cokelat yang telah ia ambil, sementara itu Fani dan Rena sibuk menyiapkan bahan-bahan. Diam-diam Siska pun menggunakan kesempatan itu (saat Fani dan Rena tengah lengah) untuk menyemili coklat yang ada.

“Hih! Jangan digado!” omel Fani sembari menyentil tangan Siska pelan membuat gadis itu mengaduh, “Habisnya keliatan enak! Jadi gemes pengen nyemil!”

“Haha kak Siska kebiasaan ya! Kebetulan aku beli coklat batangan buat dicemil!” ujar gadis yang paling muda sembari mengeluarkan tiga bungkus coklat dan jajanan manis seperti permen dari kresek lainnya.

“Asiiik! Rena benar-benar penyelamat! Sayang deh! Mumumu”

“Udah-udah kalo gini jadinya kita yang nyemil dong! Dan hei! Siska jangan kebanyakan gula nanti giung loh!”

Namun Siska tidak peduli, gadis itu sibuk menyemili gummies yang dibawa Rena dan menikmati sensasi manis di mulutnya. Membuat Fani menggelengkan kepalanya heran.

“Rena, tolong bantu aku iris dark chocolate compound-nya ya. Nanti aku panasin di melting pot

“Iya kak!”

Rena dan Fani pun sibuk mengiris coklat, sementara Siska hanya diam memakan gummies—memperhatikan. Setelah selesai, Rena pun memasukkan irisan pipih dark chocolate tersebut ke dalam melting pot untuk dilelehkan Fani. Siska pun berinisiatif untuk mengambilkan cetakan cokelat yang telah mereka beli. Ada berbagai macam bentuk, mulai hati, lingkaran, kotak, dan segitiga.

“Kak Siska bantuin aku iris white sama strawberrry chocolate-nya tuk buat isiannya,”

Mereka bertiga pun sibuk dengan kegiatan masing-masing. Butuh waktu cukup lama untuk Fani melelehkan dan meratakan coklat yang ada sebelum dipindahkan ke wadah lain dan mulai melelehkan coklat lainnya.

Sembari masih hangat, Rena pun mencampurkan adonan coklat yang ada dengan susu, gula, dan krim sebelum kemudian memasukkannya ke dalam cetakan yang ada.

“Wah… agak belepotan ya..,” ujar Siska melihat cokelat cokelat tersebut yang telah ‘rapi’ di dalam cetakan. Sementara itu Rena hanya bisa tertawa miris, ia sudah berusaha semaksimal mungkin.

“Udah gapapa, nanti setelah di panggang di oven kan jadi keras semoga waktu dikeluarin dari cetakan jadi lebih rapi,” ujar Fani, berusaha menyemangati. Gadis itu pun memasukkan cokelat cokelat tersebut ke dalam oven untuk di panggang.

Sembari menunggu, mereka berbincang santai seraya merapikan dapus dan mencuci alat yang sudah tidak digunakan.

“Kamu bakalan ngasih ke siapa aja Siska?” tanya Fani, sementara itu, Siska nampak berpikir sembari menyemili sisa sisa coklat batangan yang ada. “Doni sih yang jelas…, sama mungkin Romi juga. Kasihan dia hopeless romantic” jawabnya sembari meledek Romi yang tentu ditimpali tawa oleh Fani.

“Kalau kamu ngasih ke siapa? Budi dan Faisal?”

Gadis berambut pendek itu mengangguk pelan kedua pipinya nampak bersemu malu-malu walau perasaannya kepada Budi sudahlah menjadi rahasia umum di antara mereka.

“Apa kak Fani juga berniat mengutarakan perasaan kepada kak Budi?” celetuk Rena tiba-tiba yang baru saja selesai mencuci piring, sontak membuat Fani tersedak ludahnya sendiri.

“Wow, sungguh pertanyaan yang out of the box ya saudara-saudara,” imbuh Siska.

“Gimana ya… aku… aduh kayaknya engga confess juga… aaaa Rena aku jadi malu kan,” jawab Fani salah tingkah yang membuat Rena terkekeh kecil, “Tapi bukankah ini momen yang tepat?”

Fani menghela nafas ragu, meskipun demikian hatinya masih merasa ragu… dan juga takut. Ia juga tidak ingin hubungan dan persahabatannya dengan Budi merenggang hanya karena perihal asmara. Untuk hal seperti ini, sepertinya begini saja cukup baginya.

“Kalau Rena sendiri mau ngasih buat siapa? Kayaknya bikin banyak banget ya!” tanya Fani, dan Rena pun mengangguk antusias, “Aku mau ngasih ke semua cowok kosan kak hehe! Mereka semua baik banget ke aku!”

Fani dan Siska sama sekali tidak terkejut dengan jawaban Rena, tapi jika dibiarkan Rena ini bisa melahirkan bibit-bibit PHP dan kesalahpahaman karena terlalu baik.

“Apakah ga ada yang spesial gitu? Untuk satu orang? Yaa siapa tau kan,” goda Fani sembari mengedipkan matanya.

Tidak mungkin kan Rena menjawab Indra ataupun Rudy karena identitasnya sebagai Jaya masih disembunyikan tapi kalau ia jawab tentu akan mengundang tanya dan kecurigaan. Rena pun memutuskan berbohong. Itu adalah jawaban yang paling aman.

Ting

Suara oven berbunyi tanda coklat mereka telah matang, “Aku ambil coklatnya dulu ya, kayaknya sudah matang,”

❣️❣️❣️

Setelah selesai membuat coklat, ketiga gadis itu pun membungkusnya dengan rapih sebelum kemudian membawanya ke kamar masing-masing. Untung saja di setiap kamar disediakam chiller jika ditaruh di kulkas umum kosan maka akan menimbulkan kecurigaan khususnya dari Budi.

Sesampainya di kamar, Rena pun sibuk memasukkan coklat-cokat tersebut ke dalam kotak kado berwarna-warni. Menghiasinya dengan pita dan menambahkan surat spesial yang ia tulis sendiri.

Satu persatu-persatu untuk penghuni laki-laki kosan. Mengucapkan terima kasih kepada mereka yang belum sempat terucap. Sampai akhirnya ia tertidur dengan pena yang masih terpegang saat tengah menulis surat terakhir.

❣️❣️❣️

❣️❣️❣️

“Sosis, nugget, beras, sayur, detergen, terus apalagi?”

Rena dan Fani memeriksa dengan seksama list belanjaan bulanan yang dipesankan Budi kepada Fani. Sementara Siska memastikan semua barang sudah mereka peroleh dan tidak ada yang terlewat.

“Terus bahan-bahan buat bikin coklat juga udah kan ya?” tanya Fani memastikan yang segera dikonfrimasi oleh Siska.

“Oke! Karena belanjaan semua udah gimana kalo sekarang kita—“

“Pulang?” // “Jajan!”

Fani dan Siska seketika memandang Rena tidak suka, sedikit menghakimi yang paling muda di antara mereka seakan Rena baru saja melakukan suatu kesalahan. Sementara gadis itu nampak kebingungan saat ditatap tajam oleh kedua kakak perempuannya itu.

“Eh? Ke-kenapa kak?!”

“Ih Rena! Kok langsung pulang sih?! Kan mumpung ada waktu ayo kita jalan-jalan bentar! Shopping sama jajan gitu! Kebetulan make up sama skin care-ku habis jadi sekalian aja!” omel Fani.

“Aku juga mau beli es krim”, tambah Siska.

Rena jadi teringat saat tadi dirinya bertemu dengan Budi, bukankah mereka sudah berjanji langsung pulang setelah belanja kepada Budi?!

Oiya Ren, usahain langsung pulang yah—ah! Tapi kamu sama Fani ya, jangan kaget ya, dia ngga jauh beda sama Faisal kalau disuruh belanja. Mereka berdua adalah kembar yang boros dan payah

Astaga, kenapa Rena bisa lupa pesan Budi barusan…

❣️❣️❣️

“Rena, Rena, sini deh!”

Gadis bersurai hijau itu menoleh, mendapati Fani yang tengah menggerak-gerakkan tangannya untuk memganggilnya. Rena pun mendekat ke arah Fani yang terlihat sibuk di etalase lip product

“Menurut kamu, aku bagusan shades yang mana? Agak orange peach gini atau pinky rose atau justru bold red wine gitu?” tanya Fani sembari menyodorkan kulit tangannya yang sudah dioleskan berbagai shades lipstick beragam warna.

Rena memperhatikan dengan seksama, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, jujur saja… dirinya tidak terlalu mengerti perbedaannya…

“Uh… menurutku semuanya cocok di kak Fani… kak Fani dasarnya udah cantik jadi apa-apa cocok buat kak Fani…,” mendengar jawaban dari Rena tersebut membuat Fani memberengut tidak senang, “Oh ayolah Rena, aku tidak mau menerima jawaban normatif seperti itu,” ujarnya.

“Menurutku buat kulitmu cocokan yang tone range-nya antara orange peach atau ngga bold red wine. Kalau yang pinky justru bikin keliatan pucet,” celetuk Siska

“Teracotta gitu gimana?”

“Ih jangan, bibirmu jadi gelap,”

Siska pun terlihat sibuk memilah-milah lipstick dengan shades color kemerahan. Gadis itu lebih berfokus pada warna merah yang lebih gelap namun tetap terlihat norak untuk Fani.

“Menurutku kalo kamu pakai warna yang merah gonjreng jadinya danhdut norak gitu. Jadi mending warna-warna velvet gitu. Ngga terlalu kontras juga sama kulitmu,”

“Gitu ya? Tapi aku juga pengen beli yanh peach sama teracotta bagus soalnya hehe…,”

Dan sekarang gantian Siska yang memandang Fani tidak suka. “Terserah deh,”

“Oh iya! Rena gamau beli apa gitu? Sabun muka pelembab bibir? Masker? Atau make up gitu?” tawar Fani dan Rena pun menggeleng halus sebagai penolakkan.

“Ah… engga kak, aku juga ga paham gituan—“

“KALU GITU SINI AKU AJARIN BIAR PAHAM! BASIC SKINCARE SAMA MAKE UP YAAA!”

❣️❣️❣️

“Oohh… jadi kamu kalo pake foundie sama primer sering nge-crack ya? Bukan di salah make up-nya sih. Tapi skincare kamu. Saran aku kamu rajin-rajin exfo deh! Kalo aku lebih prefer pakai scrub daripada gel karena enak sekalian mijetin wajah!”

Fani pun sibuk memilihkan produk exfoliating untuk Rena. Menanyakan apakah gadis itu ada alergi, memiliki tipe kulit sensitif dan memiliki tipe kulit cenderung kering atau lembab. Sementara itu Siska pun hanya memperhatikan.

“Siska gamau beli juga?” tanya Fani kepada Siska, gadis itu menggeleng mengatakan bahwa produk perawatan wajahnya masih ada jadi tidak perlu beli lagi.

“Aku beli yang scrub aja deh kal, buat maskernya aku nyoba gel mask dulu aja,” celetuk Rena yang di-oke-kan oleh Fani. Gadis itu yang sendari tadi nampak heboh—tapi juga begitu senang—akhirnya salah satu cita-cita dia terkabut, yaitu menjadi kakak perempuan!

“Oh iya Rena, aku liat-liat bibirmu sering kering, aku beliin lip balm, serum, sama scrub juga ya!”

Walau menolak pun Fani tidak akan mendengarkan jadinya ia pasrah saja. Betul kata Budi, Fani ini sama seperti Faisal, sama-sama boros dan payah jika urusan belanja tapi Rena tidak menyangka akan SEPAYAH ini.

“Oke! Sebelum bayar aku mau beli satu lip balm lagi buat Faisal, oh iya sebelum pulang mampir bentar ke the Body Shop ya? Mau beli sampo buat Faisal juga,”

“Eh? Faisal?”

Fani mengangguk, jemari lentiknya mengambil satu produk lip balm lagi dari etalase. “Faisal itu kurang suka kalau bibirnya kering jadi dia selalu nyetok lip balm

“Itu bukan kamu yang nyuruh dan maksa Faisal kan?” tanya Siska tiba-tiba sembari sedikit mengejek, yang tentu membuat. Fani memberengut tidak suka. “Engga dong! Kok ngejek gitu?!”

“Ya kan siapa tau~”

Gadis bersurai pendek itu nampak kesal yang membuat Siska dan Rena pun terkekeh kecil. Rasanya Rena senang sekali dapat menghabiskan waktu dan membicarakan hobi-hobi kecil seperti ini dengan Fani dan Siska, dua orang yang sudah ia anggap sebagai kakak perempuannya sendiri.

❣️❣️❣️

Tiin Tiin

Siska, Fani, dan Rena yang baru saja turun dari mobil dan tengah berusaha menurunkan belanjaan dari bagasi itu menoleh manakala mendengar suara klakson. Mobil sedan biru milik Faisal itu nampak memasuki pekarangan dan diparkirkan dengan rapi tepat di sebelah mobil kosan.

“Loh kalian kok baru pulang?” sapa Romi yang baru saja turun dari pintu tengah. Sementara itu, Budi nampak cekatan membantu Fani menurunkan belanjaan para gadis tersebut.

“…katanya belanja bulanan… tapi kok ini banyak banget belanjaan yang bukan aku titipin…,” tanya Budi yang membuat Fani memberengut, “Ya kan cewe keperluannya banyak Budiii jadi wajar belanjanya banyak!”

Faisal turun dari mobil, menetup pintu kemudi kemudian menguncinya. Lelaki itu berjalan ke arah bagasi untuk turut membantu Budi, sementara itu Rena masih mengobrol dengan Romi.

“Ah iya, tadi nemenin kak Fani belanja juga,”

Mendengar jawaban Rena tersebut hanya bisa membuat Budi menghela nafas pelan. Sudah ia duga, membiarkan Fani berbelanja sama saja dengan membiarkan Faisal belanja. Pilihan yang buruk.

“Sini, aku bantu kalau kamu ga keberatan,” tawar Faisal kepada Siska yang tentu saja disambut dengan senang hati olehnya, “Wah, makasih Sal!”

“Oh iya, Rena Romi, ayo masuk, udah malam, kita ngobrolnya di dalam aja sambil jalan,” ajak Faisal kepada Rena dan Romi yang masih asik mengobrol, Romi pun menawarkan bantuannya kepada Rena namun ditolak lembut oleh gadis itu.

“Tadi kalian belanja apa emangnya?” tanya Romi, berbasa-basi kepada Rena. “Ah, cuma yang disuruh kak Budi kok! Sama beli beberapa make up dan skincare sih,”

“Sal! Aku udah beliin kamu lip balm sama sampo titipanmu!”

“Makasih Fani,”

“Kan aku udah bilang buat beli yang dititipin aja kenapa jadi beli yang lainnya?” tanya Budi kepada Fani yang tengah berjalan di sebelahnya, membuat Fani sedikit sebal, “Kan mumpung keluar! Jadi ya sekalian beli yang lainnya!” keukeuhnya.

“Lain kali aku temenin kamu belanja biar ga boros, kamu sama kayak Faisal kalo belanja sendiri belanja yang lainnya,” omel Budi yang entah mengapa membuat Fani tersenyum jahil dan juga senang.

“Uwu Budi makasii… kamu cemburu ya???!” dan Budi pun hanya bisa menghela nafas pelan (lagi) tidak ada gunanya ia menyangkal gadis itu akan mendesaknya terus.

“Oh iya Sal, tadi aku beli es krim loh!” celetuk Siska sembari menoleh ke arah Faisal yang tengah membawa barang belanjaannya tersebut. “Oh ya? Rasa apa?”

Mint Choco!”

Mint Choco?!” tanya Faisal sekali lagi, gadis itu mengangguk sembari mengangkat jempolnya sebagai konfrimasi, “Iya! Mint Choco!”

“Wah mau dong nanti,”

“Minta aja!”

“Oh iya, Pak Romi, kak Budi, sama Faisal tadi makan di mana?” tanya Rena tiba-tiba kepada ketiga lelaki itu. “Cafe langgananku Ren! Tadi ada live musicnya makanya agak lama caw-nya haha,” jelas Romi

“Eh kapan-kapan ajak ke sana dong Rom katanya makanannya enak sama murah,” imbuh Siska gadis itu ingat Romi sering sekali menceritakan cafe langganannya tersebut. “Iya! Kapan-kapan ya!”

Mereka berenam pun berbincang santai yang dipisahkan menjadi dua pasangan. Namun saling melibatkan satu sama lain. Fani dan Romi paling banyak bercerita, kadang Siska pun menimpalinya. Sementara itu Faisal sering kali bertanya balik dan Budi mengingatkan beberapa hal. Rena lebih banyak diam dan mendengarkan,

“Gimana Rena tadi belanjanya? Seru?” tanya Faisal tiba-tiba, lelaki itu tampak menolehkan kepalanya untuk melihat ke arahnya. Seutas senyum terpatri di wajahnya, membuat Rena terdiam sejenak, sepertinya Faisal malam ini berada dalam mood yang bagus. “Ah! Iya…, seru kok! Tadi diajak beli make up sama skincare”, jelasnya.

“Oh ya? Kalau Fani mulai boros seret pulang aja, soalnya dia kalo udah ke tenant make up sama skincare gitu sering lupa daratan,” ledek Faisal yang tentu membuat Fani tersinggung. “Heh! Aku engga ya!”

Faisal tidak menghiraukan, lelaki itu justru menjulurkan lidahnya sedikit mengejek. Dia ngga percaya.

❣️❣️❣️

“Butuh bantuan?” tawar Faisal kepada Fani, Siska, dan Rena yang terlihat sibuk memasukkan barang belanjaan ke kulkas dan menatany di walk in pantry.

“Gausah Sal! Kalo gini mah kita cewe-cewe juga bisa! Kalian istirahat aja!” jelas Fani namun Faisal dan Budi masih nampak eagu, dua sahabat itu saling bertukar pandang satu sama lain.

“Ih! Kok ga percaya sih? Romi! Tolong dong ini Budi Faisal dibawa! Kita bisa sendiri kok!”, pinta Fani, Romi melakukan gesture layaknya orang tengah melakukan hormat. Dengan sigap, lelaki bersurai pirang itu merangkul dua sohibnya. “Dahlah yuk kalo cewe udah minta gittu jangan dipaksa duh kalian ini ngga ngertiin banget,” ledek Romi.

“Eh bentar aku mau ambil barang dulu ke Fani,”

Fani pun menyerahkan lip balm dan sampo yang ia belikan untuk Faisal, “Thanks ya,”

“Kalau ada apa-apa atau perlu bantuan bilang aja ya,” ujar Budi mengingatkan yang di-oke-kan oleh Fani.

“Malam Rena, Fani, Siska,” pamit Faisal, Romi pun melambaikan tangannya ke arah ketiga gadis itu sebelum membawa Budi dan Faisal pergi.

Dan baik Fani, Siska, dan Rena pun menghela nafas pelan. Kalau sampai mereka tau maka rencana surprise Valentine mereka akan gagal. Paling tidak untuk sekarang ketiga gadis itu merasa lega.

———

Sang gadis itu berlari tersengal-sengal dengan gaun panjangnya. Para penjaga dan pelayan istana pun berusaha menghentikannya namun tidak ia hiraukan, ia terus berlari, seakan mengejar sesuatu yang jika terlambat barang sedetikpun akan hilang dari jangkauannya.

MY LADY!

Lelaki itu menarik tangan sang putri, menguat larinya seketika terhenti. Pandangan gadis itu nampak tidak fokus dan begitu kalut.

My Lady! Berhenti! Ada apa? Katakan padaku apa yang membuat Anda gelisah?” tanyanya sembari berusaha menenangkan kepanikan uang putri, dilepaskannya genggaman tangannya dair pergelangan tangan mungilnya.

“Budi! Faisal Budi! Tidak ada yang bilang padaku jika Faisal kembali! Kita harus membantunya! Kau tidak… kalau tidak…,”

“Tuan putri, tenangkan dirimu… ya…?”

Gadis itu menatap kedua netra lelaki dihadapannya, nampak begitu sayu namun juga meneduhkan. Layaknya sebuah jelaga di tengah hutan belantara yang membuatnya hilang arah. Dengan perlahan ia kembali tenang, dengan perlahan ia mengatur nafasnya yang tadi tersengal.

“Ikutlah denganku tuan putri, jika tidak sang Ratu akan curiga,” ajaknya dan tanpa ragu, diterimanya uluran tangan tersebut.

———

Sepasang insan itu berjalan dalam gelap lorong menuruni tangga. Hanya dengan pencahayaan remang dari lilin yang di bawa oleh Budi. Sang gadis ingat sekali tempat ini, tempat yang kemudian menjadi ‘kamar’ dan ‘rumah’ untuk saudara kembarnya.

Dan mereka berdua pun tiba di depan pintu besi tanpa ventilasi tersebut, Budi mengeluarkan sebuah kunci dari jubahnya membuka pintu tersebut yang menampilkan siluet lelaki yang tengah memandang cahaya rembulan dari balik satu-satunya jendela di sana. Bias sinar rembulan yang masuk dengan malu-malu dari sana menghiasi sosok tersebut. Membuatnya nampak terlihat berkilau dengan jas putihnya—mengabaikan fakta kondisinya yang cukup kacau.

“…Fa…Faisal…,”

“Fani…,”

———

Faisal dan Fani

Mereka lah anak kembar yang ditakdirkan Sang Bintang dan Rembulan Anugerah sekaligus kutukan di saat bersamaan

———

Waktu itu usia mereka masih teramat dini, namun kondisi engga menunggu mereka dewasa. Kesalahan pendahulu mereka yang harus mereka tanggung membuat mereka harus dewasa sebelum waktunya, dan menyadari kondisi mereka yang terlampau berbeda

Mereka terlahir bersamaan di dunia ini, namun kehidupan mereka begitu bertolak belakang. Garis takdir kejam yang berbagi jalur diantara mereka, membuat mereka harus saling membenci namun juga menyayangi satu sama lain

Faisal mau dibawa ke mana Oma?

Pertanyaan lugu yang terlontar dari bibir mungil Fani. Sendari kecil ia selalu merasa hidupnya adalah sebuah berkah, terlahir sebagai seorang putri yang cantik jelita dan diperlakukan istimewa layaknya negeri dongeng

Fani kecil pun percaya bahwa Faisal memiliki cerita yang sama indahnya dengan dirinya, seorang pangeran tampan yang dicintai semua orang.

Lagipula mereka kembar kan? Apa yang dimiliki Fani juga pasti dimiliki oleh Faisal

Namun, Fani masih tidak mengerti takdir kejam yang kemudian memisahkan mereka akibat arogansi leluruhnya. Bagaimana hidupnya dan Faisal layaknya warna hitam dan putih, baik dan buruk, serta anugerah dan kutukan bagi kerajaan mereka

Hal tersebut yang dipercaya oleh para tetua Sindari

Anak itu akan dibawa ke tempatnya, kamu juga Fani, anggap saja bahwa Faisal tidak pernah ada. Karena sang bintang tidak perlu cahaya bulan intuk bersinar

Fani tidak mengerti, bukanlah rembulan dan bintang harus bersama-sama untuk menerangi gelapnya malam? Bukankah sang bintang akan merasakan kerinduan jika bulannya tak ada? Kenapa ia dan Faisal harus dipisahkan? Tidak bisakah mereka hidup bersama?

Seiring berjalannya waktu mereka pun semakin jauh—atau bisa dibilang sengaja dibuat menjauh. Namun, bukan berarti dirinya buta ataupun tuli akan kondisi sekitar. Orang-orang dewasa sering kali melupakan kepekaan dan anak-anak dalam mengolah informasi disekitarnya, membiarkan mereka buta akan ketidak tahuan padahal mata mereka sepenuhnya terbuka

Bagi seluruh anggota kerajaan Sindari, kebenaran hanyalah sebuah ilusi yang takkan pernah mereka percaya dan mau dengar. Menyelimuti diri dengan tabir kebohongan buah kesombongan diri yang nyata

Namun anak kecil yang dibutakan itu tidaklah bodoh, walau dirinya tak dapat melihat tetapi ia dapat mendengar semuanya. Suatu kebenaran dari takdir mereka yang menyakitkan. Dan menjadi malam di mana dirinya terakhir kali melihat sang rembulan

Apa maksudmu kamu sudah tau semuanya?!

Malam itu Fani membentak, berteriak histeris kepada Faisal yang juga berbohong kepada dirinya. Selayaknya menertawakan dirinya yang masih buta dalam ketidaktahuan

Pada akhirnya kita tidak bisa mengubah takdir sang dewata. Aku, kamu, kita… walau lahir bersamaan tetapi takdir kita berbada…

Fani tidak mau mendengarnya begitu pula mempercayainya. Takdir omong kosong!

Jikalau memang Fani adalah anugrrah maka seharusnya dia bisa memberikan kebahagiaan bagi kehidupan Faisal bukan?

Dan jikalau Faisal adalah sebuah kutukan maka derita itu harus ditanggung bersama bukan?

Bukankah mereka lahir ke dunia bersama untuk saling membantu? Bukankah tidak ada yang namanya derita seutuhnya? Dan jikalau Fani dapat berbahagia bukankah Faisal juga?

Fani ingin… memperjuangkan kebahagiaan saudaranya itu. Fani ingin menjadi anugerah bagi saudaranya itu… jika itu berarti ia harus kehilangan saudara kembarnya

Gadis mungil itu mencengkram erat bahu kembarannya. Tatapannya tajam menyalang

Larilah, kaburlah, aku akan membantumu

Tentu saja Faisal meronta, berontak tidak terima. Bisa-bisa Fani kena masalah oleh kerajaan karena membebaskannya

Aku tidak peduli, asalkan kamu bisa merasakan kebahagiaan yang semestinya aku tidak peduli

Perdebatan mereka dipisahkan saat sosok Tomy yang tiba-tiba hadir dan merai mereka. Tentu saja Fani tidak menyadari sosok pamannya itu, gadis itu nampak panik takut apanila pamannya melaporkan yang tidak-tidak kepada sang Ratu

Tuan Putri ingin menyelamatkan Pangeran bukan? Kalau begitu biar saya bantu, saya yang akan menjaga Pangeran dan memastikan keselamatan Anda

Tentu saja Fani tidak mempercayainya, keluarganya sudah terlalu banyak berbohong padanya. Dan fakta bahwa Tomy adalah penyihir agung kehormatan Sindari temtu saja membuat Fani tidak bisa serta merta percaya. Tentu saja pamannya berpihak kepada sang Ratu

Memahami kecurigaan Fani, Tomy pun menjelaskan keraguan Tomy kepada Sindari, tentang nubuat yang diramalkan dan kebenaran yang disembunyikan. Bagaimana Tomy pun kehilangan keyakinannya akan Sindari bahkan sang dewata

Namun, saya percaya bahwa untuk membuktikannya kita teetap harus mengikutinya sesuai takdir yang dirahasiakan. Maka hingga waktunya tiba berlindunglah, carilah kebahagiaan dan keluarga yang menerimamu. Pada saatnya tiba kamu harus memilih mengikuti takdir sang dewa atau melawannya dan membahayakan orang yang kamu sayangi

Jadi Tuanku, apakah Anda siap menghadapi takdir Anda?

———

Saat itu Faisal yakin, karena dirinya tidak pernah mengira jikalau akan ada seseorang yang akan menerima, mencintainya, dan memberinya begitu banyak kebahagiaan

———

“FAISAL!”

“…Fani?!”

Sang putri berlari kearah sang tahanan, seketika langkahnya semakin cepat dan ditabrakkannya tubuhnya ke arah Faisal, memeluk lelaki itu erat-erat. Faisal pun demikian, tangannya tanpa sadar selalu siap terbuka untuk menerima pelukan sang putri.

“Kamu… kamu kok ada disini? Ayo aku bantu kamu untuk melarikan diri dari sini—“

“Fani,”

“Kalau tidak cepat penjaga istana akan segera menangkapmu, ayo aku bantu kamu keluar dari sini,”

“Fani!”

Faisal sedikit berteriak, raut wajah Fani nampak tak karuan. Begitu panik dan juga kalut. Faisal paham betul ketakutan saudarinya itu.

“Tidak apa-apa, kamu tidak usah khawatir, semua akan baik-baik saja,”

Fani menggelengkan kepalanya tidak setuju, tidak, tidak ada yang baik-baik saja jika Faisal masih di sini. Pria itu harus kabur, ia harus selamat.

Seakan mengerti kegelisahan Fani, Faisal mengelus lembut tangan gadis itu, sesuatu yang selalu ia lakukan untuk menenangkan orang terkasihnya, Faisal pun tersenyum miris.

“Tidak apa-apa, tenang jangan khawatir, aku kabur pun Sindari pasti akan terus mengejarku… aku tidak punya pilihan lain, tetapi aku belum kalah,” hiburnya dan Fani masih menggelengkan kepalanya, dirinya menyangkal untuk percaya.

“Kamu harus kabur, kamu harus pergi, kembali kepada orang-orang yang menyayangimu. Tempatmu bukan di sini,”

Bukan pula di kerajaan Jaya. Pada akhirnya Faisal sudah memilih, dan ia membuang semua pilihan rumah tempatnya kembali

“Tetapi takdirku ada di sini, dan aku harus menghadapinya,”

Fani tidak mau, jika memang Faisal harus menderita maka ia pun harus demikian. Kenapa hanya dia yang dapat hidup tenang jika sang kembarannya selalu dihantui rasa takut akan hukuman atas nasibnya.

“Faisal…,”

Lelaki itu menoleh, masih dengan seutas senyum kecil, mendapati sosok rekan sejawatnya—mata-mata handal yang ditugaskan sang Raja untuk menyusup masuk ke dalam Sindari, hingga terlalu dalam.

“Budi, senang melihatmu dalam keadaan baik,” sapanya dan Budi hanya terdiam.

“Sembilan…, di mana dia?” tanya Budi, lelaki yang lebih tinggi itu mengalihkan pandangannya untuk melihat ke arah sekeliling, hany ada Faisal dalam ruangan itu.

Fani yang mengerti akan kondisinya pun membelalakan matanya terkejut, mencengkram erat-erat bahu Faisal.

“Kamu… membiarkannya kabur…?” dan Faisal pun mengangguk.

“Faisal! Dia mendapat tuduhan merupakan mata-mata yang menyusup ke dalam Sindari! Kalau Oma sampai tau… kalau Oma sampai tau! Hukumanmu akan semakin berat!” jelasnya panik.

“Apa itu permintaan sang Tuan?” tanya Budi yang sukses membuat Fani memalingkan wajah tidak suka. Faisal hanya mengangguk.

“Aku habis bertemu dengan Paman, kalian tau kan ramalan itu sudah dekat dan membuat sang Ratu resah makanya aku kembali ditangkap,”

“Aku—! Aku akan berusaha untuk meringankan hukumanmu!” ungkap Budi, yakin yang hustru membuat Faisal menatapnya tidak suka.

“Apakah kamu juga setuju bahwa aku pantas mendapat hukuman ini dari awal Budi?” tanyanya, Budi pun terdiam dan tidka menjawab. Karena sejatinya Budi juga hanyalah mata-mata. Ramalan tentang kemunduran Sindari hanyalah sebuah dongeng tanpa kebenaran, membuat Budi pun mempertanyakan dosa apa yang perlu ditanggung Faisal sehingga sejak kelahirannya ia harus menjadi tahanan seumur hidup.

“Budi, kamu adalah pengawal pribadi Fani, peranmu dari awal adalah seperti itu. Dengan demikian aku percaya kamu bisa melihat dan mendengar lebih banyak. Aku tidak pernah meragukanmu, aku percaya kamu adalah orang yang adil,”

“Tapi… penahananmu dan ramalan itu tidak adil bagiku!”

“Oleh sebab itu, kita harus menyelesaikannya… agar peran seumur hidupku pun dapat berakhir… jadi bantu aku untuk menyelesaikannya…,”

———

Karena untuk sandiwara sebesar itu, diperlukan sebuah pengorbanan yang sama besarnya

———

———

“Sayang? Bagaimana kondisi Indy?”

Tanya Siska saat sang suami baru saja keluar dari kamar sang adik, Indra tidak berkata apapun tapi raut sendu dan satu gelengan kepala dari lelaki itu telah menjawab semuanya. Membuat sang ratu pun turut khawatir.

“Aku ingin membicarakan kondisi Indy bersamamu sayang, mari kita bicara di ruang makan,”

———

Ruang makan kerajaan Jaya itu nampak lenggang, walau tidak pernah terdengar hingar bingar atau hiruk pikuk yang berlebihan. Namun, selalu ramain dengan orang-orang yang berbincang santai bersama, kadangkala Indra dan Siska yang ditemani oleh Rizal dan Doni, kadang pula Rizal, Doni, Indra, dan Faisal, atau hanya Indra, Rizal, dan Faisal.

Seketika Indra memicingkan matanya tidak suka. Dirinya masih tidak percaya serta menyayangkan penyerangan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang yang benar-benar ia percaya. Untuk apa? Apa motifnya?

Begitu pula dengan Suska, baginya Faisal sudah seperti saydara yang tumbuh bersamanya dan ia tau kesetiaan lelaki itu kepada kerajaan Jaya jadi untuk apa ia melakukannya.

“Sayang, menurutmu… bagaimana tentang tindakan Faisal?”

Keheningan ruang makan itu terpecah, tidak hanya berisikan denting logam alat makan yang beradu dengan piring kaca. Sang ratu menatap sang Raja, meminta pernyataan tegas.

“Jika dilihat dari hukum kerajaan tentu saja Faisal telah menjadi buronan negara atas dasar kudeta. Dia dengan berani menyerang anggota kerajaan dan menodongkan senjata ke arah sang Raja. Hal tersebut dapat dianggap sebagai pernyataan perang,”

Siska mengetuk-ketukkan jemarinya di atas meja jati tersebut, dirinya nampak gusar, dan Indra paham betul. Dirinya menolak percaya.

“Sebenarnya… bukan maksudku hendak membela Faisal yang sudah seperti anak asuhku sendiri… tetapi, aku merasa… tindakan Faisal bukanlah keinginannya sendiri…,” belanya, sejujurnya ia tidak nyaman mengatakan hal tersebut serasa ada dilema berat yang memenuhi hatinya.

“Ya… aku tau…, aku pun tidak oercaya, Faisal sendiri adalah salah satu dari orang kepercayaanku…,” jelas Indra. Tetapi mereka tidak bisa secara buta mengabaikan kejahatan Faisal… itu adalah perilaku yang tidak adil baginya, kerajaan Jaya, dan juga rakyat Jaya.

“Sayang… bagaimana jika tindakan Faisal berhubungan dengan kasus penculikan Rena… dan dalang dibalik semua peristiwa yang terjadi… kematian Raja Eka dan Ratu Naila…,”

“…serta adu domba antara Jaya dan Adamar?”

Siska mengangguk setuju, Indra nampak berpikir sejenak. Kemungkinan itu ada, tetapi tanpa bukti yang cukup maka akan menyebabkan tuduhan tak bersalah dan memicu perang antar negara.

Tetapi jika ia balik pola pikirnya jika memang benar bukankah kerajaan Sindari telah mengintervensi kerajaan Jaya dan Adamar, menciptakan kemunduran bagi kedua negara adidaya tersebut. Bukankah sama saja mereka telah menabuh genderang perang dan mencoreng kehormatan di depan wajah mereka.

“Kemungkinan itu ada, tetapi kita tidak punya bukti kuat untuk bergerak ataupun tiba-tiba menyerang Sindari, Ratuku,” jelas Indra yang mengundang ketidakpuasan dari Siska.

“Sembilan dan nomor tiga harus segera kembali dan memberi laporan. Mereka yang paling dekat dengan Sindari dan permaisuri Sindari…, nomor tujuh pun demikian… sebenarnya aku cukup mengkhawatirkan permaisuri Sindari yang secara personal meminta konsolidasi dengan Jaya…,”

“Ratuku, jika memang asumsimu benar… maka kita sudah terlibat terlalu dalam pada intrik yang ada. Atau mungkin permasalahan ini lebih besar dari yang kita duga,”

Indra menggeretakkan giginya tidak suka. Suatu gesture yang cukup jarang dilakukan oleh sang Raja, ketenangannya telah hilang, digantikan oleh rasa gusar tiada henti.

Sembilan dan nomor tiga harus segera kembali, karena keadaan saat ini telah cukup darurat…

———

“Sudah kuduga ternyata kamu ada di sini… Sembilan…,”

Ruangan itu cukup remang dengan pencahayaan seadanya dari sebatang lilin dan juga cahaya rembulan yang menembus masuk, menyinari dua sosok lelaki yang saat ini tengah berhadapan satu sama lain.

Sembilan, yang diajak berbiacara hanya tersenyum kecil, menampilkan kedua lesung pipi manisnya yang begitu kontras dengan pandangan matanya yang cukup kosong.

“Saya tidak menyangkan bahwa Anda harus sampai turun tangan untuk menjemput saya… Monsieur Faisal…,”

Pintu besi itu tertutup tepat sesaat setelah Faisal menolehkan kepalanya ke arah dua orang lelaki yang mengantarnya. Sedangkan lelaki bernama Sembilan itu masih tetap tersenyum menatap Faisal.

“Sepertinya kamu kesini tidak hanya untuk menjemput kan? Apakah ada sesuatu yang terjadi di Jaya selama saya tidak ada?”

“Hmm… Jaya sedang tidak baik-baik saja, sebentar lagi akan ada badai besar yang dapat menenggelamkan mereka… para pendosa yang arogan,”

Kekeh renyah lepas begitu saja dari bibir sembilan, seakan jawaban Faisal terdengar begitu lucu baginya, dirinya selalu suka akan cerita-cerita ironi dan tragedi kerajaan. Baginya itu cukup menghibur.

“Jadi Monsieur, apakah dirimu di sini atas perintah sang Raja atau akhirnya kamu menemukan pembebasanmu?” tanyanya yang mengundang tawa penuh keremehan dan Faisal.

“Tidak, aku sudah tidak memihak kepada Jaya ataupun siapapun,”

“Lalu kepada siapa kau berpihak?”

“Tidak ada, anggap saja aku hanylah seorang aktor yang hanya mengikuti skrip hingga akhir cerita…,”

Sembilan bertepuk tangan, terdengar cecehan berulang kali dari lelaki berambut merah tersebut.

“Tidak kah monsieur tau kalau drama yang bagus adalah drama yang memiliki impromtu dari para pemainnya? Dibandingkan aktor bolehkah saya bilang bahwa saat ini kau selayaknya sang marionette wahai monsieur Faisal,”

Itu bukanlah sebuah hinaan bagi Faisal. Marionettes ya, boneka kayu dengan tali-tali dari takdir para dewata. Tidak buruk juga.

“Kalau begitu biarkan aku menjadi sang Marionette tuan, dan kalian—aktor dari takdir kisah marionettes yang kejam ini yang melakukan impromtu? Bagaimana?” tawar Faisal kepada Sembilan. Pembicaraan penuh kiasan yang entah mengapa Sembilan tau dengan mudah arah pembicaraannya.

“Tidak kusangka dirimu berani berkhianat kepada sang Raja hanya demi pentas seni ini. Jadi, apa yang hendak kamu lakukan dan inginkan?”

“Kamu mau menuruti perintah di luar perintah sang Raja?”

“Aku selalu mengikuti keadilan dan kebenaran. Aku tau bahwa kamu berpihak kepada kedua hal tersebut monsieur. Jadi katakan, apa yang kau perlukan?”

———

Pergilah mengikuti kemana arah angin membawa berita kebenaran yang tak pernah didengar itu. Ungkaplah kebenaran yang terjadi, yang melibatkan Jaya, Adamar, dan juga Sindari

———

Sang Bintang tentu saja menyimpan rahasia-rahasia tersebut selayaknya emas yang berharga dalam bunker kan?

———

———

Oh my gooood!!! Looks who’s the finest lady over there?! Rena kamu cantik banget! So lovely!”

Kedua sisi wajah gadis bersurai hijau itu bersemu mendengar pujian dari sang Ratu, sembari memperhatikan pantulan dirinya dalam balutan gaun pengantin di hadapan cermin. Jujur saja, dirinya pun terpukau pada dirinya sendiri.

“Indraaa! Sayang! Kamu harus liat!” Siska memanggil suaminya tersebut, sedikit histeris. Walau Rena sudah berulang kali berusaha menenangkan kakak iparnya tetapi kehebohan tersebut rasanya tidak akan hilang begitu saja—apalagi mengingat pribadi Siska yang cukup keras kepala untuk mendengarnya.

Sementara itu, Indra, hanya diam termangu dalam posisinya. Memandang Rena dengan tatapan tidak percaya, entah mengapa ia merasa pandangannya mulai pudar, pelupuk matanya pun mulai sedikit perih.

“Eh… kak Indra jangan nangis…,”

“Tidak… aku… uh…,” ujarnya terbata. Namun Siska tahu betul bahwa suaminya itu tentu saja begitu terharu melihat adiknya hari ini dalam balutan gaun pengantin.

Walau mereka sudah terpisah cukup lama, fakta bahwa dalam ingatan Indra sosok Rena adalah Indy, adik kecilnya tidak akan pernah berubah, dan hari ini, adik kecilnya yang manis itu telah bertranformasi menjadi seorang pengantin yang begitu menawan. Layaknya seekor ulat yang berubah menjadi lupu-kupu nan cantik jelita.

Rena membawa sosok tegap sang kakak dalam pelukannya, mengelus lembut punggung lebar tersebut. Punggung yang menanggung seluruh nasib kehidupan rakyat Jaya. Sementara Indra hanya bisa menghela nafas berat—sang Raja harus berusaha terlihat tegar di hari membahagiakan sang adik—punggung yang biasa tegap tersebut sekarang nampak rapuh dan bergetar tak karuan menahan haru.

“Kak Indra jangan gini dong… aku jadi ikutan sedih dan ngga rela ninggalin kakak…,”

“Engga… kamu jangan begitu… ini memang sudah saatnya untukmu untuk hidup dengan orang yang kamu cintai, dan mencari kebahagiaanmu…,”

Siska yang melihat pemandangan mengharukan antara kakak adik tersebut itu hanya tersenyum simpul.

“Tapi aku sama Faisal bahagianya ada di sini, jadi kakak ga perlu khawatir ya! Aku dan Faisal ga akan kemana-mana kok! Jangan nangis ya?”

Jemari lentik itu begerak untuk mengusap bulir air di sudut mata sang kakak. Senyumnya begitu telus dan menyejukkan, yang seketika turut membuat Indra merasa senang dan lega, asalkan adiknya itu berbahagia maka itu lebih dari cukup untuknya.

———

Faisal memandangi pantulan dirinya dalam cermin. Sorot matanya telah memudar dan menghilang, harusnya ini menjadi hari paling membahagiakan bagi dirinya tapi entah mengapa bahagia itu tidak hadir dalam dirinya.

Faisal menghela nafas pelan. Hatinya terasa berat, tetapi ia telah berjanji pada dirinya sendiri. Bahwa mulai sejak malam itu dirinya tidak akan menangis lagi ataupun mundur.

Dirapikannya kancing pergelangan tangannya serta kerah bajunya. Pandangannya kemudian teralih pada jendela besar yang menampilkan pemandangan langit biru di luar sana. Entah mengapa Faisal ingin malam segera tiba.

Pintu jati itu berdecit, mengeluarkan suara yang cukup tidak nyaman bagi telinga Faisal.

“Tuanku…,”

Faisal terkekeh kecil, merasa miris.

“Berhentilah memanggilku tuanmu. Aku hanyalah seorang terdakwa dan tahanan,” sindirnya.

“Walaupun demikian, Anda tetaplah pangeran Sindari dan putra yang diramalkan,”

“Untuk dipasung? Dijadikan tumbal? Hal tersebut sama sekali tidak membuatku merasa senang, apakah Anda tau akan hal tersebut wahai penyihir agung?”

Faisal membalikkan dirinya untuk menatap sosok lelaki tinggi dengan jas hitam di hadapannya. Pamannya, sekaligus penyihir agung utusan dari kerajaan Sindari yang beberapa hari lalu menemuinya. Bisa dibilang hanya sosok lelaki itu yang mengerti cukup dalam akan nubuat yang diramalkan.

Sosok di hadapannya masih terlalu muda jika harus disebut seorang yang agung. Garis-garis dan irisan wajahnya memancarkan ketegasan dan kerasnya hidup yang telah ia lalu selama ini. Ia sama rupaqannya dengan Faisal namun dengan guratan wajah yang lebih maskulin dan dewasa.

Mata Faisal menajam, waspada, telinganya secara samar menangkap suara derap kaki. Sepertinya pengawal istana akan segera datang, pemberkatan habis ini akan segera di mulai.

Diambilnya belati tersebut dan segera ia simpan dibalik jas putihnya.

“Pergilah, pengawal istana akan segera kemari,” perintahnya, sang penyihir agung itu mengangguk paham sebelum akhirnya menghilang begitu saja. Memang ya orang sakti itu berbeda dengan dirinya yang biasa saja.

Dan tepat setelah sosok itu menghilang terdengar suara pintu diketuk.

“Monsieur Faisal? Apakah Anda sudah siap? Sudah saatnya Anda keluar untuk pemberkatan,”

Faisal menghela nafas pelan, “Baiklah, saya akan segera keluar,”

———

Alunan merdu saxofon mengirinya dua pasang sejoli yang tengah berjalan menuju altar untuk pemberkatan. Semua orang bersorak sorai penuh keharian manakala sepasang pengantin yang nampak begitu rupawan berjalan perlahan menuju altar untuk mengucap janji, sumpah sehidup semati.

Perasaan sang gadis itu membuncah dengan wajah yang berseri, sesekali ia mencuri pandang ke arah calon suaminya itu, yang tidak pernah tidak rupawan. Wajahnya nampak begitu teduh. Sungguh hari ini bagaikan mimpi, ia ingin setiap harinya menggandeng lengan kekar itu, tidak ingin ia lepas sampai kapanpun.

Sementara itu, Faisal, mengenakan topeng terbaik miliknya. Sebuah senyuman yang begitu meneduhkan walau mengetahui inilah akhir dari haru dan kebahagiaannya. Paling tidak ia harus berbahagia untuk Rena, untuk wanitanya. Dilihatnya sang kekasih yang nampak berseri itu, membuat perasaan berat dalam dirinya seketika meringan, paling tidak ia bisa melihat wajah bahagia cintanya

“Rena, kamu tau ngga kamu cantik banget hari ini, apalagi kalau tersenyum bahagia seperti sekarang,” Faisal, kedua pipi itu merona malu dan mendengus sebal, bisa-bisanya Faisal merayunya seperti itu sekarang.

“Aku lagi gamau ngeladenin loh,”

Faisal terkekeh kecil, “Aku jangan manyun gitu, aku cuma berharap di hari membahagiakan ini hal yang aku ingat adalah senyumanmu,”

Rena tidak terlalu mengerti maksud dari perkataan Faisal—dirinya menolak untuk mengerti—ia tidak mau berpikiran buruk di hari yang membahagiakan ini.

“Jangan bicara seperti itu dong…,”

Faisal tidak menjawab, dirinya tetap tersenyum. Mereka pun akhirnya tiba di altar, sudah ada pendeta di sana yang siap membacakan sumpah kepada kedua mempelai tersebut.

“Dengan ini, mempelai pria diperbolehkan mencium mempelai wanita,”

Dengan perlahan, dibukanya veil tersebut, mata Rena terbelalak kaget saat ia merasakan sebuah benda tajam yang secara tiba-tiba menusuk perutnya. Bau anyir darah seketika memenuhi indra penciumannya. Suara pekikan seketika saling bersautan—menggantikan momen haru dan sakral tersebut.

“…eh…?”

Maafkan aku, my love

Dilepaskannya belati tersebut, entah mengapa pandangan Rena menjadi berat dan mengabur, selang beberapa detik tubuh ramping tersebut kemudian ambruk dengan Faisal yang menatap tubuh tak berdaya tersebut dengan dingin.

Dengan sigap Rizal mengambil posisi untuk melindungi Raja sementara Doni dengan sigap memasang badan untuk melindungi sang Ratu.

“Dimana pengawal yang lainnya?!” teriak Rizal

Diki berlari tergopoh-gopoh raut wajahnya panik, tadi dirinya mendapat kontak darurat bahwa pengawalan istana mengendur—dirinya kemudian hilang kontak dengan mereka.

“Terjadi penyerangan—Faisal?! Apa maksudnya ini!”

Faisal tidak menjawab, tatapannya tajam menyisir orang-orang yang tersisa. Namun, saat Rizal dan Doni hendak menyerangnya sosok sang penyihir agung itu tiba di hadapan mereka, melindungi Faisal. Membuat mereka semua terkejut.

“Kau…!!”

“Apa ini maksudnya Faisal?!” tanya Diki tidak percaya—menolak untuk percaya. Gelagat Faisal saat ini, yang tidak segan mengangkat senjata dihadapan Raja dan Ratu Jaya, tidak pula upaya mencelakai putri mahkota. Tidak, Faisal tidak mungkin berkhianat kan..?

“Faisal, jika kamu memang masih sertia dengan sumpahmu kepada kerajaan Jaya maka turunkan senjatamu, atau pelanggaran hari ini akan menetapkanku sebagai buronan utama kerajaan ini,” titah Indra yang justru membuat Faisal tersenyum menyindir.

Lelaki itu justru menodongkan belatinya ke arah sang Raja, Rizal dan Doni pun semakin siaga atas gesture tersebut.

Dalam hitungan detik Faisal sudah bergerak mengambil celah diantara Rizal dan Doni. Namun saat hentak menghentikannya kedua pengawal istana itu sudah ditahan oleh sang penyihir agung.

Dengan refleks yang sigap Indra menangkis serangan Faisal yang menyasar perutnya itu. Namun sayang, belatinya lebih dulu mengenai bahu dan juga tangan kanannya. Memberikan luka yang cukup dalam bagi Indra.

“Kau…!!”

Melihat Faisal yang menyerang Indra dengan agresif, Siska dengan segera menyerang lelaki itu namun seketika berhasil dihindari Faisal. Lelaki itu mencabut belatinya begitu saja menyisakan Indra yang berteriak cukup kesakitan.

“Sayang?! Kamu gapapa?!”

Siska pun mengambil kuda-kuda. Wanita itu mendecih sebal, kali ini ia tengah mengenakan gaunnya, membuatnya tidak bisa bergerak cekatan dan leluasa. Ia tidak membawa senjatanya juga.

Ia masih belum terlalu mengerti dan paham motif dibalik serangan tiba-tiba itu. Kondisi mereka juga tidaklah diuntungkan, apakah dari awal pernikahan ini sudah disabotase? Tapi jika memang demikian maka untuk apa Faisal melakukan hal tersebut.

“Rizal, Doni, cepat kepung mereka!”

Namun, perintah Siska tersebut tidak dapat berjalan sesuai yang diinginkan, kedua pengawal dan ajudan pribadi Raja dan Ratu itu seketika pingsan tidak sadarkan diri, begitu pula dengan Diki dan Indra. Kuda-kudanya semakin waspada.

Melihat dari luka mereka seharusnya hanyalah luka kecil, apa mereka diracun? Apakah Faisal memang ingin berkhianat? Tapi untuk apa?

“…eh…?”

Belum sempat Siska bereaksi atau bertahan wanita itu dapat merasakan sebuah pedang yang menghujam perutnya. Sejak kapan?! Tunggu kenapa sosok disebelah Faisal tampak mengabur. Dan bersamaan dengan mata pedang yang dicabut kesadaran Siska pun menghilang, menjadikannya orang terakhir yang sadarkan diri dan ambruk seketika.

———

“Apakah Tuan baik-baik saja?” tanya sang penyihir agung. Saat ini mereka sudah pergi meninggalkan kota Jaya dan sedang dalam perjalanan menuju negeri Sindari.

Faisal harus berterima kasih pada sihir yang dikenakan penyihir agung sehingga mereka dapat dengan mudah kabur dari hiruk piruk masyarakat.

“Sudah kubilang kan? Berhentilah memanggilku demikian, lagi pula aku ini hanyalah keponakanmu bukankah begitu paman Tomy?”

Lelaki yang bernama Tomy itu pun menghela nafas pelan, tidak perlu lagi berpura-pura menjadi penyihir agung yang meramalkan takdir. Sekarang hanyalah ada seorang paman dan keponakannya.

“Apakah kamu baik-baik saja jika harus seperti ini?” tanyanya sekali lagi.

Faisal mengadah, menatap lembayung senja diatas sana yang tertutupi oleh lebatnya pepohonan.

“Anda sendiri yang bilang bukan, pada akhirnya tidak ada yang bisa lari dari nubuat yang diramalkan oleh para dewa,”

Jalan Faisal terhenti membuat Tomy pun turut menghentikan langkahnya. Tomy pun menolehkan dirinya untuk menghadap Faisal saat lelaki itu memanggilnya.

“Paman, apakah paman sepenuhnya percaya akan nubuat itu?”

Tidak, Tomy tidak sepenuhnya percaya, karena berdasarkan investigasi yang ia lakukan terhadap catatan historis kerajaan Sindari. Semua ini bermula karana ketamakan dan arogansi sang Ratu, yang berusaha melanggengkan oligarkinya. Dengan menjadikan keturunan perempuan sebagai penerus tahta dan mengambil hati sang dewa, sebelum akhirnya mencoreng harga diri sang dewa tanpa tau malu.

Tetapi Tomy tidak punya kekuatan, posisinya sebagai penyihir agung membuat ruang geraknya terbatas.

“Kalau begitu, maukah paman menjalankan sandiwara bersamaku, mari kita wujudkan arogansi sang ratu akan nubuat yang ia percayai selama ini,”

Tomy membelalakan matanya tidak bercaya, di hadapannya ia melihat Faisal yang membentangkan tangannya, berputar-putar dan menari-nari.

“Kau… sudah kehilangan akal sehatmu ya??”

“Tidak, aku sepenuhnya sadar.”

———

Mari kita tipu dan bohongi prinsip kedewataan… setidaknya yang dipercayai dan ingin dipercaya oleh sang ratu yang arogan

Arogansi yang membutakan membuatnya tersasar dalam gersangnya ketidaktahuan, mencari-cari oasis yang nyatanya tidak pernah ada

Layaknya riak dalam air yang tenang, maka marilah bersandiwara karena sang ratu yang arogan tidak akan menyadari akan adanya pengkhianatan setelah ini

———

———

Note: slight suggestive , underage please behave.

Listen to this background music for better experience: https://youtu.be/LwnSQGcT560?si=RK3NUa0jQNOZDAR5

———

Faisal bangun sedikit kesiangan hari itu, tangan kanannya ia gunakan sebagai tumpuan untuk memegangi kepalanya yang nyeri. Sinar mentari pagi pun tidak membantunya sama sekali, justru membuat kepalanya semakin sakit.

Kapan terakhir kali ia dapat tertidur nyenyak? Lelap? Ia tidak tau. Yang jelas pikirannya kali ini tidak bisa diajak berkomproni untuk sekadar beristirahat.

Ia menghela nafas berat. Langkahnya terangkat—begitu ringan—menuju ke arah kamar mandi. Walau tubuhnya lelah dirinya tetap harus menjalani aktivitas seperti biasa bukan?

———

“Oh? Itu Faisal, kapan dia kembali? Pagi tadi tidak kelihatan sama sekali,”

Mendengar ucapan Siska tersebut Rena pun seketika menoleh ke arah camp latihan. Hatinya sedikit lega karena mendapati Faisal yang baik-baik saja. Jujur, dari semalam hingga tadi pagi ia merasa sangat cemas. Tunangannya tersebut sama sekali tidak memberikan kabar akan kondisinya bahkan hingga pagi tadi batang hidungnya pun tidak kelihatan.

Ada sedikit rasa lega melihat Faisal kembali beraktifitas seperti sedia kala namun kelegaan yersebut tidak bertahan lama sampai ketika pedang tajam milik Rizal mengenai bahu kii Faisal yang tidak dilindungi oleh zirah besi. Rena panik, dan Faisal pun mendecih kesal.

“Kau tidak perlu memaksakan diri seperti itu jika masih belum terlalu fit,” jelas Rizal tetapi Faisal terlalu keras kepala.

“Faisal!”

Kedua lelaki itu menoleh, mendapati sosok wanita nomor satu negeri Jaya yang tengah berlari kecil dengan gaun besarnya. Sang Ratu nampak khawatir, dan di belakangnya ada sosok Rena yang jauh lebih khawatir lagi.

“Kamu tidak apa-apa? Kamu harus segera menemui Romi sebelum infeksi!” perintahnya.

Belum sempat Rena berbicara kedua pasang netranya telah beradu pandang dengan mata kelabu milik Faisal, membuatnya menjadi sedikit segan. Untuk pertama kalinya ia melihat tatapan yang begitu kelam dari kekasihnya itu.

Namun, Faisal tidak berkata apa-apa, tangannya yang satunya sibuk menahan darah yang masih saja mengalir tersebut, menodai kemeja putihnya dengan bercak merah.

“…ah sepertinya emang saya masih kelelahan sehingga tidak fokus…,” gumam Faisal—bukan itu yang ingin Rena dengar dari mulutnya.

“Apa kau perlu bantuan untuk ke dokter Romi?” tawar Rizal dan Faisal pun menggeleng sebagai jawaban.

“Terima kasih, saya bisa sendiri… kalau begitu saya izin terlebih dahulu,”

Dengan sedikit tertatih Faisal kemudian berlalu meninggalkan mereka yang entah mengapa membuat Rena sebal. Ia membencinya, ia membenci Faisal yang mendorongnya menjauh, dan semakin keras upaya Faisal mendorongnya maka akan semakin keras kepala pula Rena untuk menarik lelaki tersebut sehingga dapat berbicara kepadanya.

Ia harus membuat Faisal memgaku dari mulutnya.

———

Diketuknya pintu jati tersebut sebagai permintaan izin. Namun tanpa nunggu persetujuan dari sang Tuan, Rena masuk ke dalam, mendapati Faisal yang tengah mengganti perbannya. Lelaki itu nampak kaget walau ia lebih fokus dengan luka di bahunya.

Tanpa banyak bicara gadis itu berjalan mendekat dan duduk di hadapan Faisal yang tengah kesulitan. Dibantunya lelaki itu melepaskan perban miliknya. Sesekali sedikit menringis perih karena gesekan antara luka basahnya dengan permukaan kasa.

“Kamu kalau emang kesulitan bisa minta tolong aku loh…,” omel Rena dan Faisal pun sepertinya tidak ada keinginan untuk membalas ucapan sang gadis.

Dengan telaten Rena membersihkan luka lelaki itu dan mengoleskan salep di atasnya secara perlahan. Jemari lentik dan kulit halusnya bersentuhan dengan kulit putih Faisal yang entah mengapa membuat Rena tersipu tanpa alasan.

Ternyata lekuk tulang selangka milik Faisal membentang dengan tegas dan jika diperhatikan dengan seksama bahunlelaki itu begitu lebar dengan dadanya yang bidang.

“Udah lama ya… kita ga berduaan gini…,” celetuk Faisal mengalihkan fokus Rena. Gadis itu menghela nafas pelan, “Salahkan siapa yang serpertinya sibuk menghindari aku akhir-akhir ini,” omelanya dan Faisal hanya bisa terkekeh kecil.

“Kamu marah?”

Hening sejenak.

Rena tidak marah, ia hanya kecewa.

“Aku nggak marah sama kamu, aku berusaha mengerti… mungkin ada beberapa hal yang belum bisa kamu ceritakan… hanya saja…, aku merasa kecewa, sebagai pasanganmu… aku merasa tidak dilibatkan dan tidak tau apa-apa tentangmu… itu membuatku sedih,”

Faisal paham betul. Tangannya bergerak untuk mengusap pipi kekasihnya, menghiburnya dengan seutas senyum kecil.

“Maafkan aku,”

Dan pada akhirnya Faisal hanya bisa dan hanya selalu meminta maaf

Yang dibutuhkan Rena sendari awal bukanlah maaf, tetapi penjelasan

“Kamu masih belum bisa cerita ya,”

Dan Faisal tidak menjawab, entah mengapa rasa kecewa di hati gadis itu semakin besar. Ia pun tersenyum getir.

Faisal belum bisa cerita, dan tidak akan pernah bisa cerita

Digenggamnya kedua tangan sang kekasih sebelum dibawa untuk memberikan sebuah kecupan panjang di atas punggung tangannya. Pada akhirnya, sekeras apapun Faisal berusaha, hatinya akan selalu melembut di hadapan Rena dan ini akan menjadi semakin berat untuknya.

“Sejujurnya aku sedih… kamu terlalu menanggung bebanmu sendiri, hingga mencelakakan diri, padahal ada aku… aku hanya gamau kamu kenapa-napa,” keluh Rena dan Faisal mengerti betul apa yang dibicarakan wanita itu.

Bagaimana ia dengan rela hati meninggalkan Rena jika sang gadis teramat sangat mengkhawatirkannya

Tolong, jangan mengkhawatirkanku berlebih dan buat ini menjadi lebih mudah

Walau beribu maaf ia haturkan kepada Rena hal tersebut tidak akan mengubah apa-apa. Karena bukan itu yang gadis itu butuhkan.

Tangannya bergeran untuk menyibak helai panjang rambut sang gadis dan meletakkannya di belakang telinganya. Dibelainya lembut pipi tersebut sebelum diusap berulang kali.

Didekapnya tubuh wanita tersebut. Rasanya begitu pas dalam dekapannya, sementara Rena meletakkan kepalanya di atas bahu Faisal, pipinya dapat merasakan hangat tubuh pria itu, dihirupnya wangi sabun Faisal yang entah mengapa selalu sukses menenangkannya.

Ditangkupnya wajah gadis itu sebelum membawanya pada satu ciuman panjang, sirat akan kerinduan namun juga menuntut. Ciuman itu berakhir karena nafas gadis itu yang mulai habis, Rena tersengal dengan wajah memerah. Lucu.

Meskipun demikian, Rena ingin lebih, ia meminta lebih, ia ingin lebih dekat dengan Faisal, menjadi lebih intim dengannya.

Jemarinya bergerak jail, menggambar pola-pola abstrak di atas dada bidang lelaki tersebut. Faisal tau Rena sedang menggodanya, tetapi dirinya tidak ingin lebih dari ini. Dihentikannya pergerakan tangan sang gadis dan di tatapnya lekat-lekat kedua manik hijau tersebut.

“…kamu tau kan, kalau misalnya lebih dari ini… aku tidak bisa menjamin kita tidak akan melewati batas garis yang seharusnya,” jelas Faisal mengingatkan, sementara Rena hanya tersenyum simpul, “Aku tau,”

Diusapnya pipi kanan Faisal sebelum tangannya bergerak dan memeluk lelaki itu, mengusap surai kelabu tersebut dengan lembut.

“Aku tau, dan aku yang menginginkannya, jadi kamu sudah tidak perlu ragu lagi,”

Faisal tersenyum mendengar ucapan Rena barusan. Dibawanya gadis itu kembali dalam dekapannya dan perlahan mencumbunya, oa dekatkan dirinya untuk menciumi leher jenjangnya, menyisakan beberapa ruam kemerahan di sana, membuat Rena meleguh panjang.

Malam itu adalah malam yang panjang bagi mereka berdua.

———

Faisal terbangun dari tidurnya, sekarang sudah mulai fajar, dan mendapati Rena yang terlelap dalam dekapannya. Nafasnya kecil beraturan yang entah mengapa membuat Faisal tersenyum simpul, seakan memberikan ketenangan dalam hatinya yang gusar.

Setelah sekian lama pada akhirnya ia dapat terlelap dalam nyenyak.

Diperhatikannya wajah damai sang putri, seakan juga tengah mencari kehangatan dalam dekapannya. Tangannya bergerak untuk mengelus surai panjangnya.

———

Terima kasih karena telah mau mengkhawatirkan orang sepertiku

Terima kasih karena talah memberikan cinta yang teramat besar bagi orang sepertiku

Terima kasih karena telah menghadirkan warna dan kebahagiaan dalam kisah hidupku

Faisal menghela nafas berat, tanpa sadar tetes air mata mulai mengalir dari sudut matanya, dirinya terisak dalam diam.

“Maaf…, aku minta maaf kalau pada akhirnya kamu harus mencintai orang sepertiku…,”

“Maaf… pada akhirnya aku tetap tidak bisa bercerita…,”

“Tolong…, jangan khawatirkan aku lebih dari dirimu sendiri…, karena akan sulit juga buatku…,”

“Berbahagialah… my lady,”

“Aku teramat menyayangimu, melebihi diriku sendiri, jadi… teruslah berbahagia…,”

Hanya itulah permintaan satu-satunya Faisal terhadap Rena

Dirinya hanya ingin cintanya untuk terus berbahagia

———

Rena sedikit terbangun dari tidurnya saat mendengar suara isak tangis kecil seseorang, matanya yang semula menahan kantuk itupun terbelalak saat mendapati Faisal yang tengah menangis sembari tersenyum ke arahnya.

“Sayang? Kamu kenapa?! Mimpi buruk?” tanyanya panik namun Faisal tidak menjawab, justru ia membawa Rena kembali ke dalam pelukannya.

“Tidak… aku justru mendapat mimpi yang sangat indah…,” bisiknya dalam pelukan yang semakin menghadirkan tanya bagi Rena, dielusnya punggung kekar tersebut yang nampak gemetar menahan tangis.

Je vous aime

———

Aku mohon, berbahagialah cintaku

———