kr-han

draft Character: 1. John Jun Suh 2. Ten Chittaphon Leechaiyapornkul 3. Nao Yoshida 4. Jaehyun Jeong 5. Mark Lee 6. Bening Embun

“Ini jalannya bener enggak sih?” tanya Embun dengan pelan, dia tidak yakin dengan jalan yang dipilih mereka.

Tapi tidak ada dari mereka yang tahu benar-tidaknya. Mereka hanya berjalan tanpa tahu arah, mengikuti perasaan meski melibatkan sedikit perdebatan.

Wajah Ten terlihat tidak menyenangkan sama sekali. “Guys, ini jalannya turun,” katanya.

“Bukannya kata Leetuk kita jangan sampe turun ya?” tanya Mark dengan wajah anehnya.

“John,” panggil Jaehyun dengan pelan, “lu enggak mau ngomong apa gitu? Lu kan leader-nya.”

John—atau Johnny—tidak terlihat senang dengan posisi pemimpin yang disandangnya. Apalagi untuk kegiatan seperti ini. “Diem. Gua lagi mikir,” katanya. “Lagian kenapa sih orang tua kita daftarin kita di kegiatan kayak gini. Mereka pengen kita mati apa gimana?”

“Lah mana gua tau,” sahut Jaehyun. “Tapi gila, ini serem banget.”

Johnny memalingkan wajahnya untuk melihat satu lagi anggota mereka dan bertanya, “Nao, lu tau sesuatu enggak?”

Yabai.” Nao tidak menjawab pertanyaan Johnny. Dia justru mengumpat dalam bahasa Jepang yang mereka tidak mengerti.

“Nao!!” Embun menyentak tubuh Nao, mengembalikan Nao pada kenyataan. “Ada apa? Kasih tahu kita. Please.”

What’s happen?” tanya Mark.

“Serius,” kata Ten, “ada apa?”

“Kita salah jalan. Ini turun. Daritadi kita turun. Sekarang…” Nao menjeda omongannya, dia melihat wajah kelima teman-temannya yang penasaran. “Kita ada di Yomi, tempat Izanami—bukan—tapi, Yomutsugami.”

Wait. Nao tell us,” kata Johnny sambil memegang kedua bahu Nao dan menatapnya langsung di mata. “Yomi itu apa? Siapa Izanami? Yomutsugami?”

“Singkatnya, ini tempat orang-orang mati,” jawab Nao. Dia hampir menangis menyadari di mana kaki mereka menapak. “Kita, harus keluar dari sini, secepatnya.”

“Oh, fxxk.”

Sebenarnya apa arti dari rumah? Hanya tempat bernaung atau lebih dari itu? Asa harap, dia tahu jawabnya. Tapi tidak. Asa tidak pernah tahu. Teman-temannya bercerita, tentang bagaimana bahagianya mereka berdiam di rumah, Asa tidak begitu. Rumahnya berisik, orang tuanya saling berteriak, dan tidak ada seorang pun yang mendengar suaranya. Asa muak. Itu bukan rumahnya.

Orang dewasa berteriak, mencaci, memukul, bahkan melempar barang yang mereka beli dengan susah payah. Asa tidak mengerti kenapa harus seperti itu. Sedikit pun tidak. Orang dewasa adalah eksistensi yang membingungkan, jalan pikiran mereka tidak sederhana, dan mereka tidak pernah percaya dengan siapa pun. Asa tidak mengerti rasanya menjadi dewasa, mungkin dia tidak akan pernah ingin menjadi dewasa.

Asa pikir, saat orang tuanya berpisah semuanya berakhir. Tapi ternyata tidak. Baik berpisah atau tidak, keduanya sama-sama merepotkan. Jika mereka tidak berpisah, Asa harus mendengar sumpah serapah setiap hari. Tapi dengan mereka berpisah, Asa harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk pergi ke sana-sini. Setiap hari Kamis, Asa akan pergi ke rumah ayahnya, dan kembali ke rumah ibunya di hari Senin.

Orang tuanya menyayanginya, itu yang Asa dapatkan setelah mereka berpisah. Tapi, Asa tidak merasa begitu. Asa tidak merasa disayang oleh siapa pun. Tidak ayahnya, tidak juga ibunya. Dia juga tidak punya pilihan lain selain pasrah dan mengikuti apa yang orang dewasa mau. Mungkin nanti ketika dia sudah bisa mandiri, dia akan pergi dan merajut hidup yang baru.

Rumah adalah konsep yang abu-abu, sulit untuk dipahami. Tapi Raga hadir menggandeng tangan Asa, membawanya memasuki dunia baru dengan senyuman ceria di wajahnya. “Ayo senyum,” kata Raga di tengah-tengah ceritanya. Asa tidak akan pernah bisa mendeskripsikan cerita yang dibawakan Raga dengan baik, tapi mungkin, seperti pelangi.

Raga adalah warna dan untuk apa Asa menolaknya mewarnai kehidupan?

Kata-kata Raga membekas dan bukannya Asa tidak percaya pada Raga. Tapi, bagaimana caranya dia dapat menemukan rumahnya? Di mana rumahnya berada? Apakah dia harus menunggu lagi? Atau dia dapat langsung menemukannya?

Mereka bilang dia adalah harapan, tapi dia tidak merasa begitu. Sangat besar keinginan untuk melepas nama yang tersemat pada dirinya. Nama itu tidak cocok untuknya, terlebih untuk sekarang. Dia bukan lagi harapan, untuk apa menyandang nama Asa? Tidak ada gunanya. Mungkin suatu hari dia akan pergi ke kantor sipil untuk mengubah namanya menjadi Yang Tidak Diharapkan.

Namanya adalah Asa dan sekarang dia lelah untuk berjalan. Asa memilih untuk berhenti, berjongkok di bawah pohon sawo yang sedang tidak berbuah. Ransel yang disandangnya terasa berat, namun tak seberat perasaan yang ada di dalam relungnya. Asa tahu dia tidak seharusnya berhenti di sini, tapi dia hanya ingin istirahat sebentar saja, kalau dia bisa.

“Kenapa jongkok di sini?” Seseorang datang padanya, bertanya dengan mata yang penuh penasaran. Asa tidak mengenal sosok di depannya, tapi sosok itu tersenyum. “Rumah kamu di mana? Aku baru liat kamu di sini.” Begitu katanya. Tapi ini juga pertama kali Asa melihatnya. “Oh lupa,” katanya, “aku Raga. Enggak sopan kan kalo ngajak ngomong tapi enggak ngenalin diri? Nama kamu siapa? Eh, tapi enggak dijawab enggak apa-apa kok. Maaf ya aku sok akrab.”

Asa berdiri, menepuk-nepuk celananya, dia tersenyum kecil. Sudah lama baginya untuk mendengar suara ramah dari seseorang, dan Raga baru saja memperdengarkan suara yang nyaman untuk didengarkan. “Asa,” jawabnya singkat. “Tapi aku enggak punya rumah….”

Pernyataan yang baru keluar itu dipikirkan bagaimanapun tetaplah tidak mungkin, bukannya salah. Tapi Raga tidak ingin mempertanyakannya, karena mungkin Asa tidak akan suka. Lagipula, mereka baru pertama kali bertemu. Raga tersenyum dan berkata, “Asa suka denger cerita enggak?”

“Suka….” Jawaban dari Asa terdengar sangat kaku. Asa tidak tahu rasanya ada seseorang yang bercerita padanya dan dia juga tidak tahu bagaimana caranya bercerita pada seseorang. Raga mungkin adalah yang pertama kali mengajaknya bercerita tentang sesuatu, mungkin dia akan menyukainya.

Raga tidak berpikir itu jawaban dari hati yang terdalam. Tapi tidak apa-apa, dia hanya perlu mencoba. “Aku punya cerita, soal rumah. Asa mau dengerin?” tanyanya dengan lembut dan disambut oleh sebuah anggukan kecil. Raga tidak tahu apa yang terjadi pada Asa, dia tidak akan mencari tahu. Lagipula, Raga juga tidak tahu apakah dia akan memiliki kesempatan kedua untuk bertemu Asa lagi, atau ini adalah pertemuan pertama dan terakhirnya.

Di bawah pohon sawo itu, Raga dan Asa duduk beralaskan rumput tipis dan debu. Raga bercerita sambil tersenyum, tangannya sibuk bergerak memeragakan setiap detail dalam ceritanya. Dia menciptakan sebuah rumah yang di dalamnya penuh gelak tawa dan derai air mata. Asa tidak pernah memimpikan sebuah rumah, tapi Raga mewujudkan sebuah rumah untuknya, meskipun itu hanya cerita.

Mungkin, hari Kamis tidaklah buruk atau tidak akan buruk lagi. Tapi Asa tidak bisa menjamin kalau Kamis selanjutnya dia akan bertemu Raga lagi. Mungkin ini kesempatan terakhirnya. “Raga,” panggilnya pelan, “minggu depan, aku boleh ketemu kamu lagi?”

Raga tersenyum dan mengangguk singkat. “Boleh,” katanya.

“Aku ke sini setiap hari Kamis. Hari Kamis minggu depan, aku mau dengerin cerita kamu lagi.”

Mereka menyetujui itu, pertemuan setiap hari Kamis, di bawah pohon sawo. Raga dan Asa tidak tahu apa yang mengikat mereka secepat itu. Bagi Raga, mungkin hanya karena dia tertarik dengan Asa. Bagi Asa, mungkin karena Raga membawanya pada dunia yang baru yang tidak pernah berani dia impikan sendiri. Pohon sawo tempat mereka bersandar sekarang menjadi saksi bisu bahwa mereka akan bertemu lagi di sana, di hari yang sama setiap minggunya.

Jika benar dia adalah Bel yang selama ini namanya selalu ada di benak Arin, maka mungkin itu bisa menjelaskan hal-hal yang mereka lupakan. Meskipun mereka tidak menyakini itu seratus persen. Bagaimana pun, menemui seseorang yang mengaku sebagai Belphegor untuk sekali lagi layak untuk dicoba. Arin berdoa dalam hatinya agar kali ini dia tidak menyesalinya.

Mereka berempat masih memikirkannya, tentang déjà vu yang sering mampir, tentang ingatan-ingatan yang buram, dan percakapan-percakapan yang terus berulang. Mereka tahu mereka bodoh dan suka membual, tapi mereka tidak mungkin membicarakan topik yang sama berulang kali dan merasa aneh setelahnya karen amereka melupakan sesuatu—dan sesuatu itu entah kenapa sepertinya penting sekali.

“Tanganlu dingin,” kata Jisung pelan, dia menggenggam tangan Arin. Dia sendiri tidak tahu mengapa akhir-akhir ini dirinya memiliki kecenderungan untuk menyembunyikan Arin. Jisung tidak tahu apa yang mendorongnya untuk demikian.

Pertemanan mereka selalu seperti itu, tidak ada hubungan yang romantis sebetulnya, semuanya platonik. Tapi mungkin, semakin hari bertambah semuanya berubah. Arin tidak tahu mengapa dia tidak menolak genggaman tangan Jisung, atau mungkin karena itu Jisung maka dia tidak menolaknya. Pada akhirnya Arin menarik tangannya dari genggaman Jisung dan berkata, “Nervous.”

Arin harap dia dapat menemukan Belphegor di mana mereka bertemu kemarin. Ketika turun dari mobil, Arin pergi berjalan sendiri dan ketiga yang lainnya mengikuti di belakang sambil menjaga jarak. Mereka tahu mereka pernah melakukannya. Sama persis.

“Kita pernah kayak gini kan?” tanya Rena dengan wajah yakinnya. “Serius kita pernah ngikutin Ririn kayak gini. Tapi lebih serem daripada yang sekarang.

Chenle dan Jisung melempar pandangan tidak percaya pada Rena. Tidak, mereka tidak sepenuhnya tidak percaya. Karena mereka juga merasakan demikian. Déjà vu lagi. Entah berapa kali lagi mereka bisa keluar dari pusaran emosi yang tidak pasti. Mereka butuh penjelasan.

Mereka menemukannya. Sosok yang mengaku dirinya adalah salah satu dari tujuh dosa besar, Belphegor si Pemalas. Belphegor tidak terlihat menyeramkan seperti gambar yang beredar di internet. Dia terlihat seperti seorang laki-laki berkepela dua yang terlihat menggemaskan—Jisung tidak ingin mengakuinya. Pada akhirnya, mereka bertiga melihat dari kejauhan bagaimana Arin dan Belphegor bertemu sekali lagi.

Anak-anak manusia itu dililit oleh perasaan yang tidak pasti, mencekik tenggorokan mereka. Kenapa manusia diciptakan untuk tidak mengetahui apa-apa tentang dunia ini?

“Arin!”

Senyuman sumringah yang ditunjukan kepadanya itu terasa tidak asing. Arin tidak tahu di mana dia pertama kali melihatnya. Tapi sosok Belphegor yang berada di depan matanya memang tidak asing. Dia pernah melihatnya, entah di mana, sama seperti ini. Arin tersenyum kecil, tidak tahu harus berkata apa.

“Kamu ke sini lagi? Kenapa? Penasaran ya?” Belphegor menghujaninya dengan pertanyaan. Tapi dia sendiri yang tidak membiarkan Arin menjawab. “Enggak usah dijawab,” katanya, “kalo aku tahu kenapa, mungkin nanti aku sedih. Padahal aku udah susah-susah minta izin Lucifer supaya bisa bolak-balik Bumi. Di deket sini gerbangnya di buka. Kamu mau ikut ke bawah?”

Tidak. Itu penawaran yang gila. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi apabila dia pergi ke Dunia Bawah. Mungkinkah dia menjadi manusia lagi? Meskipun pilihan menjadi manusia sebenarnya tidak lebih baik, tapi dia tidak tertarik menjadi iblis. Barangkali, kalau ditawari jadi pohon tauge, dia akan menjawab iya.

“Gerbangnya dibuka waktu matahari terbenam, dan akan dibuka lagi waktu matahari terbit. Kalau aku enggak tepat waktu, mungkin aku bisa di sini selamanya. Tapi enggak boleh, nanti aku bakalan dihukum Langit.”

Arin tidak tahu dengan siapa dia bicara. Dia mengingatnya samar-samar. Tapi Arin tidak yakin bahwa begitu lah cara Belphegor biasa bicara padanya. “Lu kenapa enggak nyebut namalu sendiri? Bukannya biasanya gitu?” Arin bertanya, tapi tidak yakin dengan pertanyaannya sendiri. Dia hanya tiba-tiba saja mengingatnya.

“Arin inget?”

“Sekilas doang.”

“Yang di sana itu namanya Jisung, Chenle, sama Rena kan? Kalo Arin suka manggil mereka pake sebutan Jiji, Lele, sama Rere. Bener kan?”

“Dari mana lu tahu?”

Belphegor tersenyum pahit. Langit benar-benar menghukum mereka. Mungkin, anak-anak manusia juga kesulitan dengan hilangnya beberapa memori mereka. “Karena sebelumnya aku pernah ke sini. Kalo Arin inget, nama manusiaku, Lee Taeyong. Kamu inget aku?”

Arin menggeleng dan menjawab, “Maaf….”

“Hitung sampe sepuluh. Nanti aku dateng buat kamu.”

Aku hitung sampai sepuluh dan kamu datang dengan senyumanmu. Sumringah seperti biasanya, dan aku menyukainya. Kadang aku bertanya, bagaimana kalau aku hidup tanpa senyumanmu? Bukankah dunia ini akan menjadi hampa. Kamu setuju?

“Hitung sampe sepuluh. Nanti aku dateng buat kamu.”

Terkadang tidak sesuai. Tapi kamu tetap datang dengan senyumanmu. Sumringah seperti biasanya, dan aku tidak pernah tidak menyukainya. Menghitung sampai sepuluh seperti menjadi kebiasaanku, aku tidak membencinya, mungkin suatu hari nanti aku hanya bisa menghitung hanya sampai sepuluh, dan itu salahmu. Mungkin juga tidak.

Aku rela untuk menghitung terus sampai sepuluh dan aku tidak akan bosan, karena aku tahu kamu akan datang.

“Hitung sampe sepuluh. Nanti aku dateng buat kamu.”

Tapi kamu bohong. Aku menghitung sampai sepuluh dan kamu tidak datang. Kupikir pergi ke mana kamu, ternyata ke surga. Aku dengar, surga adalah tempat yang indah dan nyaman, tapi aku tidak tahu. Mungkin kamu bisa bercerita lewat mimpi? Akan kunantikan.

Kamu tidak menyuruhku menghitung sampai sepuluh lagi, tapi aku melakukannya sendiri. Aku tidak bosan. Sepuluh langkah lagi, aku berjalan sambil berhitung, menaruh bunga di atas makammu. Berdoa semoga kamu tidak bosan menungguku di sana karena aku tidak tahu kapan akan menyusulmu. Aku juga berdoa semoga aku dan kamu tetap menjadi kita di kehidupan selanjutnya.

“Luci. Lucifer. Luciel. Luci. Lucifer. Prince of Pride. Luci?” Berkali-kali Belphegor memanggil namanya, tapi tidak diindahkan. Bahkan Belphegor menyebut nama malaikat yang sudah mulai dilupakannya. Tapi tetap tidak digubris. “Wong Yukhei.” Belphegor memainkan kartu terakhirnya. Nama manusia.

Lucifer menatapnya dengan tajam, seolah dia adalah pendosa paling nista yang tinggal di kastil itu. “Jangan panggil nama manusiaku,” katanya dengan nada yang tajam. Lucifer tidak menyukai nama manusianya. Bukan sama sekali tidak menyukai, hanya saja, nama itu membawanya kepada memori yang mereka sendiri tidak dapat melupakannya.

Tidak satu pun dari mereka paham kenapa mereka harus menanggung memori itu selamanya sementara manusia-manusia di daratan hidup dengan tenang tanpa tahu mengenai itu. Lucifer paham mereka adalah makhluk yang berlumuran dosa, tidak satu mili pun diri mereka yang tidak diliputi dosa. Tapi apa yang terjadi pada mereka bukanlah kesalahan mereka dan seharusnya mereka tidak berhak untuk dihukum seperti itu.

“Luci,” panggil Belphegor dengan pelan. Dia tidak ingin Lucifer melihatnya lagi dengan wajah yang tidak mengenakkan. Mungkin salahnya juga karena menyebut nama manusia. Tapi, untuknya sendiri, dia menyukai nama manusianya. “Aku punya keinginan,” sambungnya.

Apa pun keinginan yang akan dipanjatkan oleh Belphegor, Lucifer tahu bukan kapasitasnya untuk mengabulkan keinginan itu. Semua keinginan yang berputar di dunia ini semuanya akan berhilir kepada Langit. Lucifer bukanlah kepanjangan tangan dari Langit, bahkan untuk Dunia Bawah sekali pun, dia tidak punya wewenang sehebat itu. Sekalipun itu Raphiel, dia juga tidak bisa melakukan apa-apa.

“Aku tidak punya urusan dengan keinginanmu.” Lucifer memutar badannya, berjalan ke sisi lain kastil.

Bukan itu yang ingin didengar oleh Belphegor. “Aku tahu kamu tidak bisa mengabulkan keinginanku, tapi setidaknya dengar dulu.” Padahal dia sudah mengeluarkan tenaga hanya untuk sengaja bicara dengan Lucifer. Belphegor mengutuk betapa tertinggalnya Dunia Bawah karena tidak memiliki teknologi bernama ponsel seperti Bumi yang manusia tempati. Kalau saja ada, dia tidak perlu repot-repot keluar dari kamarnya.

“Jadi, apa keinginanmu?”

Belphegor tersenyum karena Lucifer akhirnya ingin mendengarnya. “Izinkan aku,” katanya, “untuk pergi ke dunia manusia sekali lagi.” Keinginannya yang sederhana terucapkan. Belphegor selalu memendamnya sejak mereka kembali. Tapi dia bukan pembohong, meskipun dia pemalas. Hati kecilnya tidak bisa berbohong kalau dia rindu tempat yang terang itu. “Aku ingin bertemu Arin untuk setidaknya sekali lagi.” Suara yang keluar dari kedua bibirnya terdengar tipis di udara, Lucifer hampir tidak mendengarnya. “Tolong. Izinkan aku untuk sekali lagi menjadi Lee Taeyong.”

Dalam hidupnya, ini adalah kali pertama Mark mengunjungi tempat tinggal seorang perempuan. Sebelumnya, dia hanya memasuki kamar teman laki-lakinya. Ini juga menjadi kali pertama Mark mempunyai teman perempuan. Untuk beberapa alasan, jantung Mark berdegub lebih heboh dari biasanya. Karena dia akan bertemu Hyuck? Atau karena dia akan masuk ke kamar Lyra? Mark tidak tahu.

Bus yang menganggut mereka sekolah berjalan lambat. Lyra tidak bicara apa pun, dan Mark tidak tahu bagaimana harus membuka sebuah percakapan. Meskipun mereka sudah menyatakan bahwa mereka berteman dan berada dalam satu universitas, pada kenyataannya mereka berdua tidak saling bertemu. Entah mengapa, semuanya terasa canggung.

Tapi perjalanan canggung itu berakhir dengan cepat. Mereka sampai di depan pintu apartemen milik Lyra. Mark berulang kali menghela napasnya. Dia tidak membayangkan ini akan menjadi pertemuan yang mengharukan. Karena dia menyadarinya bahwa dia tidak akan bisa melihat sosok Donghyuck adiknya. Dia tidak akan tahu bagaimana adiknya yang sedikit lebih dewasa itu terlihat.

“Lyra.” Mark memanggil tepat setelah Lyra memutar knop pintunya. “Did you really have the 6th sense?” tanyanya.

No.” Lyra menggeleng pelan. Faktanya, dia tidak memiliki indera keenam. Dia hanya memiliki lima indera, itu saja. “Aku juga enggak tahu kenapa aku bisa liat Hyuck.” Lyra membuka pintunya, masuk ke dalam apartemen itu diikuti oleh Mark.

Mereka duduk berhadap-hadapan di atas karpet bulu. Lyra menyeduhkan teh hijau untuk Mark dan dirinya. Mereka tidak bicara, hanya diam untuk beberapa saat. Lyra tidak tahu bagaimana caranya memulai pembicaraan dengan seorang teman, sementara Mark tidak tahu topik apa yang disukai oleh perempuan.

Tapi sebelum kecanggungan mereka berlarut-larut, Donghyuck hadir di tengah-tengah mereka. Berdiri mengamati wajah Mark dengan saksama. Tidak salah lagi. Itu kakaknya yang tak pernah dilihatnya selama bertahun-tahun dan sekarang ada di depannya. Masih sama persis seperti dulu. Tidak banyak yang berubah dari kakaknya.

“Kak, ini Hyuck.”

Mark mengangkat kepalanya, dia menatap wajah Lyra dengan tidak percaya. Itu masih Lyra yang sama dengan suara Lyra yang dikenalnya. Tapi apa yang diucapkan Lyra seperti bukan berasal dari Lyra. Mark masih tidak bisa menebak apa yang akan dikatakan Lyra berikutnya. Mungkin sesuatu yang Mark tahu. Mungkin juga tidak.

“Hyuck bilang, aku harus bilang ini ke kamu,” kata Lyra dengan pelan. Dia menatap Mark tepat di matanya. “Kak, kenapa rumah kita berisik?”

Mark tersenyum getir begitu mendengarnya. Dia mengingat pertanyaan itu. Pertanyaan yang selalu terlintas di dinginnya malam yang mereka lalui berdua. Lalu sebuah janji yang tidak pernah dia tepati. Itu adiknya. Benar adiknya. Itu Donghyuck yang selama ini dicari-carinya.

“Hyuck, maaf.”

Anak laki-laki itu kini berusia 12 tahun, sedang sibuk menutupi telinga adiknya dengan telapak tangannya. Meski tidak mampu menutupi seluruh suara yang terbang dan memaksa masuk mengetuk gendang telinga mereka. Sebagai seorang kakak, anak laki-laki itu tidak menginginkan adiknya untuk mendengar hal-hal yang buruk, seperti keributan di rumah mereka.

Senyuman simpul masih menghiasi wajahnya. “Enggak apa-apa, ada Kakak di sini,” bisiknya dengan pelan. Dia masih berusaha menutup kedua telinga adiknya. Dia tidak masalah jika dia mendengar semuanya, tapi akan menjadi masalah jika adiknya yang mendengar.

Bunyi barang pecah belah yang dilempar datang bersahut-sahutan dari luar. Meski pintu kamar mereka tertutup rapat, mereka tetap dapat mendengarnya. Ah, betapa enaknya punya kamar kedap suara. Tapi tidak. Di rumah itu mereka masih dapat mendengar semuanya. Sang Kakak ingin semuanya berakhir, dia ingin hidup dengan bahagia—tapi terkadang orang tua tidak mengerti pemikiran anak-anak, pun anak-anak tidak mengerti apa yang dipikirkan orang tua mereka.

“Kak, kenapa rumah kita berisik?” adiknya bertanya dengan pelan. Matanya tampak jernih, tidak ternoda. Tidak ada bedanya dengan kertas yang masih baru.

Tapi dia sendiri tidak tahu banyak tentang dirinya, orang tuanya, apa yang terjadi di rumah mereka, dan dunia ini. Dia masih terlalu kecil untuk mencari tahu kenapa. Sang Kakak berharap alangkah bahagianya jika ada seorang peri yang datang membawakan sesuatu bernama kebahagiaan di bawah atap mereka. Tapi bahkan hati kecilnya berkata kalau peri itu tidak ada di dunia. Bagaimana caranya menjawab pertanyaan itu?

Adiknya melihat ekspresi bingung kakaknya. Benar, mereka sama-sama tidak tahu. Tapi dia juga tahu kalau tidak mungkin menanyakan hal itu kepada orang tuanya. Sang Adik memegang telapak tangan kakaknya yang berada di telinganya. “Aku … enggak apa-apa kok. Kan ada Kakak.” Senyuman lebar terukir di wajahnya yang polos.

Senyuman ternyata bisa menyakitkan ya?

“Jangan jauh-jauh dari Kakak ya?”

“Iya Kak….”

“Itu … yang Mark bilang.”

Lyra tidak tahu yang dilakukannya benar atau tidak. Donghyuck sudah memberitahukannya bahwa dia tidak ingin bertemu Mark, tidak untuk saat ini. Setelah mengetahui sedikit tentang apa yang terjadi antara Mark dan Donghyuck, Lyra mengerti bahwa tidak mudah untuk Donghyuck bertemu kembali dengan orang yang mungkin tidak lagi ingin dilihatnya.

Masalah yang terjadi antara keluarga bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilalui. Lyra tahu itu dengan pasti. Dia tidak akan memaksa Donghyuck yang tampak berpikir keras. Tapi Lyra sudah berjanji dengan Mark kalau dia akan membicarakannya. Mungkin mereka bisa bicara dengan pelan-pelan. Lyra berjanji pada dirinya untuk tidak memaksa Donghyuck bercerita.

“Bener.” Donghyuck berkata dengan pelan. Posenya yang duduk di atas udara itu tidak berubah, tapi matanya menatap Lyra dalam-dalam. “Mereka cerai. Kakak sama aku pisah, itu bener. Tapi aku enggak tahu kalo dia ternyata sebenci itu sama Mama … sama aku….” Donghyuck berhenti berbicara, dia kembali diam.

Terkadang pembicaraan mereka memang begini, berhenti di satu titik dan selebihnya hanya ada diam dan hening yang menguasai. Tidak ada satu pun dari mereka yang akan memaksa untuk melanjutkan cerita. Mereka hanya menikmati keheningan itu. Lyra mengambil satu buku di raknya, dia akan membaca sambil menunggu Donghyuck melanjutkan ceritanya.

Rasanya sama seperti hari-hari yang sudah berlalu. Tapi Lyra bersyukur dengan hadirnya Donghyuck yang selalu bersedia mendengar bagaimana harinya berjalan. Sekarang, tidak ada salahnya bagi Lyra untuk mendengar apa yang terjadi pada Donghyuck.

“Lyra,” panggil Donghyuck. “Aku enggak tahu,” katanya, “kenapa aku mati.”

Baru kali ini Lyra mendengar hal itu. Apakah mungkin orang yang sudah meninggal tidak mengingat apa pun tentang kehidupan sebelumnya? Tapi mungkin itulah kenapa Donghyuck masih ada di Bumi. Mungkin itulah kenapa Donghyuck ada untuk mendengar semua cerita Lyra. Karena Donghyuck tidak tahu mengapa dia meninggal.

Lyra tidak punya pilihan selain bertanya, “Aku harus gimana?” Lyra berpikir keras, bahkan setelah dia mengajukan pertanyaannya. “Kalau di novel, biasanya, orang yang meninggal belum bisa bereinkarnasi karena masih ada yang belom selesai. Mungkin itu….”

“Bisa bilang ke Mark kalo aku mau ketemu?”

“Kamu yakin? Tiba-tiba?”

“Mungkin Mark tahu sesuatu, Lyra.”

Mereka ingin menyebut ini kali pertama mereka bertemu dengan Johnny, tapi tidak juga. Terutama untuk Arin dan Asmodeus yang masih menyimpan sedikit trauma akan hadirnya sosok Johnny. Tapi rasanya ketakutan itu sedikit demi sedikit mulai terkikis karena hadirnya sosok Yukhei yang hampir sama besarnya dengan Johnny. Yukhei juga sebelumnya menenangkan mereka semua dengan mengatakan bahwa langit ada di pihak mereka.

Jisung dengan sendirinya menggenggam tangan Arin, tindakannya berkata bahwa dia ada di sisi Arin dan tidak akan pergi. Tidak akan membiarkan Arin untuk sendiri lagi menghadapi Johnny. Sama halnya dengan Rena yang bersembunyi di balik punggung Chenle dengan sendirinya, padahal dia sibuk menyombongkan dirinya bahwa dia tidak takut meskipun itu Johnny.

“Jadi, kenapa malah jadi rame gini?” Johnny tidak mengerti situasi yang dihadapinya. Dia tidak mengerti kenapa apartemennya harus penuh dengan ketujuh iblis dan keempat anak manusia sekaligus. Dia ingat dia berjanji hanya untuk Arin dan Mammon, namun sekarang semuanya justru hadir.

Tidak ada yang berniat menjawab pertanyaan Johnny, awalnya begitu. “Soalnya enggak mungkin Arin ke sini sendiri lagi.” Namun Jisung menjawabnya. Lebih tepatnya, Jisung memberanikan diri untuk menjawab.

Atmosfer yang mengukung mereka terasa tidak nyaman. Anak-anak tidak menyukainya. Donghyuck mengambil satu langkah ke depan untuk menghadapi sosok Johnny. Benar kata Asmodeus bahwa dalam sosok manusia yang fana tersimpan lebih dari satu dosa dan ambisi yang berkobar seperti api di neraka. “Aku Mammon,” katanya, “tapi sekarang kita tidak bisa menjalin pakta. Tujuan kami semua ke sini hanyalah satu hal: pemanggil yang harus mengembalikan kami.”

“Alasannya adalah kami tidak memiliki sihir kami karena terlalu lama di dunia manusia.” Yukhei menyambung dialog Donghyuck yang tadi. Membuat Johnny berdiri dengan wajah yang tidak percaya. “Langit memerintahkanmu secara langsung untuk mengembalikan kami dengan lingkaran sihir yang sama, tanpa tumbal. Seven Virtues akan turun untuk membantu mengembalikan kami ke dunia kami. Karena kalau mereka tidak turun, kekuatanmu tidak akan cukup untuk mengembalikan kami, Manusia.”

Johnny tidak mengerti apa yang terjadi. Usahanya mencari Mammon selama ini hanya sia-sia saja? Apa dia melukai dirinya sendiri hanya untuk melukai dirinya lagi? Tumbal yang dicarinya dengan susah payah harus terbuang begitu saja dan semua yang dilakukannya selama ini tidak ada artinya?

“Suara hatimu berisik.” Jaemin tiba-tiba membuka suaranya. Kalau hanya sekedar jeritan iri hati, dia sering mendengarnya, dan jeritan hati Johnny kali ini terdengar begitu lantang. “Kami tidak bisa melakukan apa-apa tanpa sihir kami, percuma juga untukmu. Jadi lebih baik cepat buat lingkaran sihir itu, kembalikan kami. Kau masih bisa memanggil kami sekali lagi nanti, tentunya dengan konsekuensi yang setimpal.”

Tidak ada pilihan lain lagi. Johnny menghela napasnya dengan berat. Dia mengajak semua yang ada di sana untuk kembali ke ruangan yang sama. Kosong. Tidak ada apa pun di dalam ruangan itu. Johnny mengambil pisau saku yang selalu di simpannya, membelah kulitnya dan membiarkan darah mengalir ke lantai yang kemudian digunakannya untuk membuat lingkaran yang sama.

“Jangan diliat,” bisik Chenle pelan sambil merapatkan tubuhnya ke Jisung. Membuat diri mereka sebagai tameng bagi Arin dan Rena supaya tidak melihat hal itu. “Kalian enggak usah liat,” ulangnya. Chenle tahu gadis-gadis yang dilindunginya adalah gadis yang kuat, tapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melindungi gadis-gadis itu.

Lingkaran itu selesai digambar. Sama seperti sebelumnya. Bau anyir darah menyebar ke seluruh ruangan. Johnny segera membalut lengannya dengan perban meskipun itu tidak serta merta menghentikan pendarahannya. Dia berdiri dengan berkacak pinggang lalu berkata, “Sekarang, apa lagi?”

Tidak ada yang menjawabnya. Namun Yukhei dan lainnya berjalan ke tengah lingkaran. Mereka berdiri melingkar, berdekatan. Yukhei mengangkat kepalanya menatap langit-langit ruangan yang kosong. Dia menarik napasnya dalam-dalam. “Sebelum aku memanggil Langit dan Seven Virtues, tidakkah kalian mau mengucapkan sesuatu?”

“Arin.” Suara yang lembut terdengar setelah Yukhei memberikan penawaran. “Arin, makasih. Bel jadi tau kalo di dunia manusia itu ternyata gak buruk-buruk banget. Main gim itu seru. Kenal sama Arin itu seru…. Arin—“

“Bel. Maaf. Gua enggak sering main sama lu.”

“Enggak apa-apa kok Arin. Nanti, kalo Langit ngasih izin, Bel boleh main lagi ya?” Taeyong menggigit bibir bawahnya. “Di Dunia Bawah nanti, Bel bakalan kangen banget sama Arin. Dadah, Arin….”

Orang bilang, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Awalnya, tidak ada dari mereka yang senang untuk bertemu dengan iblis-iblis itu. Tapi pada akhirnya, perpisahan itu memang menyakitkan. Walaupun itu dengan iblis.

“Maaf, soal sweater-nya….”

Rena tersenyum kecil mendengar suara Taeil. Taeil jarang sekali bicara, dia biasanya hanya akan duduk diam dan mendengus kalau terlalu berisik, atau mengeluhkan berisiknya grup chat mereka. Mendengarnya membuat Rena sedikit lega. “Sweater-nya masih lu pake tau.”

“Enggak apa-apa,” kata Taeil dengan pelan, “karena enggak ada yang bisa kita bawa dari dunia manusia. Nanti lepas sendiri.”

“Yang lainnya?” Yukhei bertanya, tapi mereka kompak menggeleng. Yukhei mendapatkan banyak, banyak sekali ujaran hati yang hanya bisa mereka dengar. Tapi tidak ada yang ingin menyampaikan ke anak-anak manusia itu. “Anak-anak manusia, Chenle, Arin, Jisung, dan Rena. Kalian anak-anak baik. Kami tahu kami merepotkan kalian, tapi kalian tidak mengeluh tentang keberadaan kami. Kami, tidak membenci kalian. Hiduplah dengan baik.”

“Kita juga, enggak benci sama kalian.” Chenle menyahuti dengan seulas senyuman di wajahnya.

Yukhei selesai bicara. Dia kemudian mendongak menatap langit-langit ruangan yang bisu. “Kepada Langit, Lucifer memanggil. Kepada Tujuh Kebajikan, kami Tujuh Dosa memohon bantuan. Kembalikan kami ke Dunia Bawah seperti semula—“

“Kembalikan kami ke Dunia Bawah seperti semula.” Ketujuh iblis itu mengucapkan kalimat yang sama berulang kali. “Kembalikan kami ke Dunia Bawah seperti semua. Kembalikan kami ke Dunia Bawah seperti semula. Kembalikan….”

Cahaya memenuhi ruangan itu. Malaikat tercipta dari cahaya, itu yang mereka pelajari. Barangkali, ketujuh malaikat itu memang turun. Mereka mendengar suara, tapi tidak tahu siapa yang berbicara. Cahaya menyelimuti ruangan dan indera penglihatan mereka. Tidak ada yang bisa dilihat dan diingat dengan jelas. Tapi saat itu mereka tahu, bahwa semuanya kembali seperti sedia kala.

“Tujuh Dosa akan kembali ke Dunia Bawah. Beberapa benda akan hilang, seperti tidak pernah terjadi. Apartemen, ponsel, kartu kredit, semuanya akan kembali ke asalnya. Anak-anak manusia, kalian akan pulang, tidur, dan mengingat hari kalian seperti tidak pernah bertemu dengan mereka semua. Tidak ada hukuman untuk pemanggilan yang digagalkan, tetapi jika terulang maka pembalasan akan datang. Kembalilah ke kehidupan kalian yang sebelumnya.”

“Tapi kenapa? Kenapa harus hilang semua? Tolong jangan dihilangin!”

Anak-anak manusia itu bersahutan. Tidak ingin kehilangan memori mereka akan hari yang mereka habiskan bersama. Tidak ingin menghapuskan usaha mereka melalui hal yang tidak biasa. Meskipun mereka tidak terlalu menyukainya di awal, mereka tidak menyesal untuk melalui hari-hari seperti itu. Tapi Langit berkehendak dan mereka, manusia tidak bisa melakukan apa pun. Tidak sama sekali.

Karena pada dasarnya, manusia akan menjalani apa yang Langit kehendaki.