Mereka ingin menyebut ini kali pertama mereka bertemu dengan Johnny, tapi tidak juga. Terutama untuk Arin dan Asmodeus yang masih menyimpan sedikit trauma akan hadirnya sosok Johnny. Tapi rasanya ketakutan itu sedikit demi sedikit mulai terkikis karena hadirnya sosok Yukhei yang hampir sama besarnya dengan Johnny. Yukhei juga sebelumnya menenangkan mereka semua dengan mengatakan bahwa langit ada di pihak mereka.
Jisung dengan sendirinya menggenggam tangan Arin, tindakannya berkata bahwa dia ada di sisi Arin dan tidak akan pergi. Tidak akan membiarkan Arin untuk sendiri lagi menghadapi Johnny. Sama halnya dengan Rena yang bersembunyi di balik punggung Chenle dengan sendirinya, padahal dia sibuk menyombongkan dirinya bahwa dia tidak takut meskipun itu Johnny.
“Jadi, kenapa malah jadi rame gini?” Johnny tidak mengerti situasi yang dihadapinya. Dia tidak mengerti kenapa apartemennya harus penuh dengan ketujuh iblis dan keempat anak manusia sekaligus. Dia ingat dia berjanji hanya untuk Arin dan Mammon, namun sekarang semuanya justru hadir.
Tidak ada yang berniat menjawab pertanyaan Johnny, awalnya begitu. “Soalnya enggak mungkin Arin ke sini sendiri lagi.” Namun Jisung menjawabnya. Lebih tepatnya, Jisung memberanikan diri untuk menjawab.
Atmosfer yang mengukung mereka terasa tidak nyaman. Anak-anak tidak menyukainya. Donghyuck mengambil satu langkah ke depan untuk menghadapi sosok Johnny. Benar kata Asmodeus bahwa dalam sosok manusia yang fana tersimpan lebih dari satu dosa dan ambisi yang berkobar seperti api di neraka. “Aku Mammon,” katanya, “tapi sekarang kita tidak bisa menjalin pakta. Tujuan kami semua ke sini hanyalah satu hal: pemanggil yang harus mengembalikan kami.”
“Alasannya adalah kami tidak memiliki sihir kami karena terlalu lama di dunia manusia.” Yukhei menyambung dialog Donghyuck yang tadi. Membuat Johnny berdiri dengan wajah yang tidak percaya. “Langit memerintahkanmu secara langsung untuk mengembalikan kami dengan lingkaran sihir yang sama, tanpa tumbal. Seven Virtues akan turun untuk membantu mengembalikan kami ke dunia kami. Karena kalau mereka tidak turun, kekuatanmu tidak akan cukup untuk mengembalikan kami, Manusia.”
Johnny tidak mengerti apa yang terjadi. Usahanya mencari Mammon selama ini hanya sia-sia saja? Apa dia melukai dirinya sendiri hanya untuk melukai dirinya lagi? Tumbal yang dicarinya dengan susah payah harus terbuang begitu saja dan semua yang dilakukannya selama ini tidak ada artinya?
“Suara hatimu berisik.” Jaemin tiba-tiba membuka suaranya. Kalau hanya sekedar jeritan iri hati, dia sering mendengarnya, dan jeritan hati Johnny kali ini terdengar begitu lantang. “Kami tidak bisa melakukan apa-apa tanpa sihir kami, percuma juga untukmu. Jadi lebih baik cepat buat lingkaran sihir itu, kembalikan kami. Kau masih bisa memanggil kami sekali lagi nanti, tentunya dengan konsekuensi yang setimpal.”
Tidak ada pilihan lain lagi. Johnny menghela napasnya dengan berat. Dia mengajak semua yang ada di sana untuk kembali ke ruangan yang sama. Kosong. Tidak ada apa pun di dalam ruangan itu. Johnny mengambil pisau saku yang selalu di simpannya, membelah kulitnya dan membiarkan darah mengalir ke lantai yang kemudian digunakannya untuk membuat lingkaran yang sama.
“Jangan diliat,” bisik Chenle pelan sambil merapatkan tubuhnya ke Jisung. Membuat diri mereka sebagai tameng bagi Arin dan Rena supaya tidak melihat hal itu. “Kalian enggak usah liat,” ulangnya. Chenle tahu gadis-gadis yang dilindunginya adalah gadis yang kuat, tapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak melindungi gadis-gadis itu.

Lingkaran itu selesai digambar. Sama seperti sebelumnya. Bau anyir darah menyebar ke seluruh ruangan. Johnny segera membalut lengannya dengan perban meskipun itu tidak serta merta menghentikan pendarahannya. Dia berdiri dengan berkacak pinggang lalu berkata, “Sekarang, apa lagi?”
Tidak ada yang menjawabnya. Namun Yukhei dan lainnya berjalan ke tengah lingkaran. Mereka berdiri melingkar, berdekatan. Yukhei mengangkat kepalanya menatap langit-langit ruangan yang kosong. Dia menarik napasnya dalam-dalam. “Sebelum aku memanggil Langit dan Seven Virtues, tidakkah kalian mau mengucapkan sesuatu?”
“Arin.” Suara yang lembut terdengar setelah Yukhei memberikan penawaran. “Arin, makasih. Bel jadi tau kalo di dunia manusia itu ternyata gak buruk-buruk banget. Main gim itu seru. Kenal sama Arin itu seru…. Arin—“
“Bel. Maaf. Gua enggak sering main sama lu.”
“Enggak apa-apa kok Arin. Nanti, kalo Langit ngasih izin, Bel boleh main lagi ya?” Taeyong menggigit bibir bawahnya. “Di Dunia Bawah nanti, Bel bakalan kangen banget sama Arin. Dadah, Arin….”
Orang bilang, setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Awalnya, tidak ada dari mereka yang senang untuk bertemu dengan iblis-iblis itu. Tapi pada akhirnya, perpisahan itu memang menyakitkan. Walaupun itu dengan iblis.
“Maaf, soal sweater-nya….”
Rena tersenyum kecil mendengar suara Taeil. Taeil jarang sekali bicara, dia biasanya hanya akan duduk diam dan mendengus kalau terlalu berisik, atau mengeluhkan berisiknya grup chat mereka. Mendengarnya membuat Rena sedikit lega. “Sweater-nya masih lu pake tau.”
“Enggak apa-apa,” kata Taeil dengan pelan, “karena enggak ada yang bisa kita bawa dari dunia manusia. Nanti lepas sendiri.”
“Yang lainnya?” Yukhei bertanya, tapi mereka kompak menggeleng. Yukhei mendapatkan banyak, banyak sekali ujaran hati yang hanya bisa mereka dengar. Tapi tidak ada yang ingin menyampaikan ke anak-anak manusia itu. “Anak-anak manusia, Chenle, Arin, Jisung, dan Rena. Kalian anak-anak baik. Kami tahu kami merepotkan kalian, tapi kalian tidak mengeluh tentang keberadaan kami. Kami, tidak membenci kalian. Hiduplah dengan baik.”
“Kita juga, enggak benci sama kalian.” Chenle menyahuti dengan seulas senyuman di wajahnya.
Yukhei selesai bicara. Dia kemudian mendongak menatap langit-langit ruangan yang bisu. “Kepada Langit, Lucifer memanggil. Kepada Tujuh Kebajikan, kami Tujuh Dosa memohon bantuan. Kembalikan kami ke Dunia Bawah seperti semula—“
“Kembalikan kami ke Dunia Bawah seperti semula.” Ketujuh iblis itu mengucapkan kalimat yang sama berulang kali. “Kembalikan kami ke Dunia Bawah seperti semua. Kembalikan kami ke Dunia Bawah seperti semula. Kembalikan….”
Cahaya memenuhi ruangan itu. Malaikat tercipta dari cahaya, itu yang mereka pelajari. Barangkali, ketujuh malaikat itu memang turun. Mereka mendengar suara, tapi tidak tahu siapa yang berbicara. Cahaya menyelimuti ruangan dan indera penglihatan mereka. Tidak ada yang bisa dilihat dan diingat dengan jelas. Tapi saat itu mereka tahu, bahwa semuanya kembali seperti sedia kala.
“Tujuh Dosa akan kembali ke Dunia Bawah. Beberapa benda akan hilang, seperti tidak pernah terjadi. Apartemen, ponsel, kartu kredit, semuanya akan kembali ke asalnya. Anak-anak manusia, kalian akan pulang, tidur, dan mengingat hari kalian seperti tidak pernah bertemu dengan mereka semua. Tidak ada hukuman untuk pemanggilan yang digagalkan, tetapi jika terulang maka pembalasan akan datang. Kembalilah ke kehidupan kalian yang sebelumnya.”
“Tapi kenapa? Kenapa harus hilang semua? Tolong jangan dihilangin!”
Anak-anak manusia itu bersahutan. Tidak ingin kehilangan memori mereka akan hari yang mereka habiskan bersama. Tidak ingin menghapuskan usaha mereka melalui hal yang tidak biasa. Meskipun mereka tidak terlalu menyukainya di awal, mereka tidak menyesal untuk melalui hari-hari seperti itu. Tapi Langit berkehendak dan mereka, manusia tidak bisa melakukan apa pun. Tidak sama sekali.
Karena pada dasarnya, manusia akan menjalani apa yang Langit kehendaki.