kr-han

Lucifer, The Fallen Angel, atau nama manusianya adalah Yukhei—Wong Yukhei. Sejak kembali dari menghabiskan waktunya dengan anak-anak manusia, Yukhei sibuk berdiri menatap langit-langit apartemen tempat mereka tinggal. Yukhei bukannya tidak melakukan apa-apa, tapi dia sedang menghubungi Surga.

Sejak awal dia menunggu mereka semua berkumpul. Berdasarkan apa yang sering mereka bicarakan bertujuh, semua yang mereka lalui tetap ada campur tangan dari langit. Suara langit lah yang menuntun mereka untuk melakukan segala hal. Mereka bertujuh masih percaya kepada langit, meskipun mereka menanggung dosa dalam diri mereka. Lagipula mereka memang iblis.

Juga, sudah beberapa hari ini beberapa dari mereka tidak keluar dari apartemen, tidak bekerja seperti tuntutan anak-anak manusia. Anak-anak manusia itu juga lebih sering berada di apartemen mereka. Meskipun hampir tidak melakukan apa-apa. Hanya menunggu Yukhei yang berdiri sambil menghubungi langit—percaya tidak percaya.

“Sampe kapan dia kayak gitu?” tanya Jisung dengan wajah menyerngit yang aneh. Masalahnya, sudah tiga hari mereka melihat Yukhei hanya berdiri dan, ya, berdiri.

Donghyuck mengendikkan bahunya, dia juga tidak tahu. Hanya Yukhei yang bisa melakukan hal itu dan kapan langit akan menjawabnya tidak ada yang pasti. “Tunggu aja,” jawabnya singkat. Tidak ada yang tahu, tidak satu pun dari mereka tahu.

“Tahu enggak?” Arin memecah mereka dengan topik yang baru. “Gua semalem mimpi, tapi cuma suara doang. Itu aneh banget sumpah. Jadi tuh ada suara ngomong sama gua kalo gua—kita—harus ketemu Johnny lagi kalo mau kalian balik. Terus, seinget gua ada nama Mikhael di sebut-sebut cuman gua lupa dia ngapain. Masalahnya, gua enggak mau ketemu Johnny.”

Yukhei menurunkan kepalanya, dia menengok ke arah Arin yang memasang wajah bingung. “ITU JAWABANNYA!” katanya dengan lantang, mengangetkan semua yang ada di ruangan. “Tapi, ternyata ada campur tangan Mikhael ya? Karena manusia itu ingin memanggil Mammon, Mikhael jadi ikut campur.”

“Mikhael lagi, Mikhael lagi.” Donghyuck memutar bola matanya. “Harusnya dia enggak gangguin orang yang lagi manggil iblis. Biarin aja. Lagian, manusia yang bikin perjanjian sama iblis dan kalo itu berhasil, bakal dapet bayarannya sendiri.”

Mereka mendapat jawabannya, tapi mereka harus menghadapi musuh terbesar anak-anak manusia. Iblis-iblis itu tidak masalah, tapi anak-anak manusia memiliki ketakutan di dalam hati mereka. Ketakutan yang dimiliki oleh anak-anak manusia adalah mutlak dan mereka tidak bisa mengabaikannya.

“Hubungin manusia yang namanya Johnny itu. Dia ngincer aku, jadi kasih tau kalo aku mau kerja sama sama dia.” Donghyuck mengatakan hal itu sambil merapatkan kedua tangannya. “Sebenernya juga enggak bisa, aku enggak bisa bikin perjanjian sekarang. Tapi enggak apa-apa kalo kita mau nipu dia.”

Wajah Arin tidak terlihat senang dengan keputusan yang diambil. Dia tidak ingin menghubungi Johnny. Mengingat pertemuan kemarin saja dia tidak mau. Kalau bisa, Arin hanya ingin mengingatnya sebagai mimpi buruk, bukan kejadian yang benar-benar terjadi kepadanya.

“Rin, hapelu siniin.” Chenle menengadahkan tangannya, meminta ponsel milik Arin. “Gua tahu lu enggak mau ngehubungin dia. Biar gua yang ngetik.”

Yukhei akhirnya duduk dekat mereka. Dia memandangi anak-anak manusia itu satu per satu, kemudian saudara-saudaranya yang ada di sana. “Langit mendengar,” katanya, “kita akan kembali. Seven Virtues akan membantu kita. Tapi, akan ada harga yang dibayarkan untuk itu.”

“Kita … enggak bakal mati kan?” Rena bertanya atas pernyataan yang dikeluarkan dari Yukhei. Setiap iblis-iblis itu menyebut harga entah kenapa yang hadir dalam pikirannya adalah … nyawa.

“Tidak akan ada yang mati. Tapi harga yang dibayarkan itu pasti. Sama seperti diriku yang diusir dari Surga.”

“Mark bilang dia mau ketemu kamu.”

Donghyuck yang duduk di samping Lyra menatap Lyra dengan padangan penuh tanya. Dia tidak tahu siapa manusia yang bernama Mark. Donghyuck tidak merasa kalau dia harus mengatakan ketidaktahuannya dan dia memilih diam. Namun Lyra menunjukkannya layar ponsel yang menampilkan foto dua orang anak laki-laki yang tersenyum dengan latar yang berwarna merah.

“Ini bener foto kamu?” Lyra bertanya, memastikan.

Donghyuck mengangguk dan mejawab, “Iya, sama kakakku.”

Sejurus kemudian Lyra menunjukkan foto profil Mark kepada Donghyuck. “Dia Mark, ternyata dia bener kakak kamu. Gimana? Kamu mau ketemu?” Lyra tidak tahu apa yang akan dijawab oleh Donghyuck, tapi apa pun itu Lyra akan menghargai keputusan temannya.

Ah, jadi sekarang namanya adalah Mark. Donghyuck baru tahu, mungkin berteman dengan manusia tidak ada salahnya—dan memang dia harus berteman dengan manusia. Donghyuck tersenyum kecil dan menggeleng. “Enggak. Aku enggak mau ketemu sama dia. Aku juga enggak mau ngomong sama dia,” jawabnya. Dia tidak ingin bertemu dengan siapa pun selain Lyra untuk saat ini. Saat ini saja, dia janji.

“Aku bilang ke Mark—“

“Kamu enggak mau tanya alesannya?”

Lyra menggeleng. “Aku bukan tipe yang suka gali masa lalu orang,” katanya, “lagian, belom tentu kamu mau cerita sama aku juga. Aku enggak mau nanya soal masa lalu kamu waktu kamu masih jadi manusia, tapi kalo kamu mau cerita karena mau kamu sendiri, ya aku bakal dengerin.” Penjelasan yang diberikan Lyra cukup panjang, tapi Donghyuck dapat mengertinya. Bahkan selama satu minggu mereka kenal, Donghyuck belum tahu banyak soal Lyra.

Mungkin, jika mereka tiba pada saat yang tepat, mereka akan mengetahui tentang satu sama lain. Tidak perlu terburu-buru, Lyra belum akan pergi ke mana-mana dan Donghyuck abadi dengan sosoknya sekarang. Lyra yang menceritakan bagaimana harinya berlangsung dan Donghyuck yang mendengarkan setiap malamnya, untuk saat ini rasanya cukup.

“Hyuck….” Lyra memanggil Donghyuck dengan suara yang pelan. “Gimana ini?” tanyanya dengan wajah yang panik.

“Kenapa? Ada apa? Bilang sini sama aku.” Melihat wajah panic Lyra membuat Donghyuck mau tidak mau ikut panik juga.

Lyra kembali menunjukkan layar ponselnya, kali ini yang ditunjukkannya adalah room chat antara dirinya dengan Mark. “He wants me to be his friend. Is it okay?” Tawaran yang sampai kepadanya memiliki arti yang dalam bagi Lyra. Keinginan sederhana Lyra untuk memiliki teman pelan-pelan terjawab.

Hal yang membuat Lyra begitu panik adalah hal yang sederhana, bahkan sangat sederhana. Tapi Donghyuck mengerti kenapa Lyra merasakannya. Itu sama seperti dirinya dulu. Terlebih, mungkin Mark adalah manusia pertama yang mengajak Lyra berteman. “Kalo kamu mau temenan sama Mark, temenan aja. Dia bukan orang jahat kok.” Donghyuck mengacak-acak rambut Lyra, seperti apa yang sering diterimana dulu.

.

.

.

Tawaran mengenai pertemanan itu masih tersimpan rapat-rapat di kepala Lyra. Masalahnya adalah, Lyra tidak tahu harus bagaimana untuk menjawab hal itu. Meskipun Donghyuck mengatakan tidak apa-apa untuk berteman dengan Mark, tetap saja Lyra memikirkan banyak kemungkinan yang akan terjadi.

“Lyra Lynx!”

Sebuah suara menyadarkan Lyra dari pikirannya yang berkecamuk yang perih. Dia berdiri dua meter di depan Lyra, melambaikan tangannya dengan senyuman yang lebar. Seolah mereka sudah akrab—atau kalau Lyra tidak salah ingat, dia memang tipe yang cepat akrab dengan siapa pun.

Namanya Lucas Wong, berkewarganegaraan Hongkong, setengah Thailand, dan orang-orang mudah tertawa jika mendengar ceritanya. Orang itu yang memberikan kontaknya ke Mark. Secara keseluruhan, Lucas memang bukan orang yang buruk, bahkan sama sekali tidak. Tapi Lyra tidak menganggapnya demikian. Bagaimana pun, membagikan kontaknya kepada orang asing tanpa persetujuan dari dirinya adalah tindakan yang tidak sopan.

“Lyra—“

“Jangan panggil aku pake nama itu di kampus!”

But that’s your name.” Lucas menyamai langkahnya dengan Lyra. Dia tahu Lyra bermaksud berjalan melewatinya begitu saja, tapi hati kecilnya tidak dapat membiarkannya demikian.

Lyra mengembuskan napasnya dengan kasar dan berhenti. Dia menatap Lucas yang kurang lebih tiga puluh sentimeter lebih tinggi darinya. “You knew my real name. Also, ini bukan di twitter.” Lyra melanjukan jalannya lagi dan meninggalkan Lucas yang berdiri dengan wajah bingung.

I … forgot your real name, sorry.”

Mereka tidak pernah bicara selain pada saat kerja kelompok, itu pun sudah beberapa waktu yang lalu. Lucas tidak mengingat namanya lagi. Itu wajar. Jika bukan karena Lucas adalah sosok yang mencolok pun, Lyra akan melupakannya dengan segera.

“Lyra, just like what Mark has said, won’t you be my friend? ‘Cause you know? His friends is also my friends. Sama, maaf, gua lupa nama lu. Tapi enggak apa-apa kan kalo kita kenalannya mulai dari sekarang?”

Aneh. Orang-orang pada umumnya akan mengajak berpacaran. Tapi yang dilakukan Lucas sekarang bukan tentang itu. Rasanya aneh. Lucas tidak dapat menyangkal hal itu. Tapi entah kenapa, mengajak berteman lebih memicu adrenalinnya dibanding mengajak berpacaran.

Dengan berbagi penderitaan yang sama, manusia dapat menjadi dekat dengan satu sama lain. Mark dan Lucas, dekat dengan cara yang sama. Tapi dibanding penderitaan, mereka lebih senang menyebutkan dengan nasib—ya, tidak semua sama, tapi tidak masalah untuk mereka.

Mereka pertama kali bertemu di lobi kedatangan bandara. Mark berpikir keras apakah dia harus menyapa Lucas atau dia berjalan saja dan mencari jalan ke asrama sendirian. Mark memilih opsi pertama.

Excuse me, are you—“

Oh we are the same!”

Dialog Mark terputus oleh keantusiasan Lucas yang melihat bahwa mereka menggunakan jaket yang sama—hanya berbeda ukuran. Mark tertawa kecil, tapi seperti itu lah mereka bisa menjadi akrab dengan satu sama lain.

Kejadian itu sudah satu tahun berlalu, mungkin lebih. Tapi Mark dan Lucas masih sering mengenang betapa anehnya percakapan mereka. Aneh, karena Lucas terkadang mencampurnya dengan bahasa Kanton yang tidak dimengerti Mark, dan terkadang Mark berbicara terlalu cepat sehingga Lucas tidak dapat memproses pembicaraan mereka.

Mereka tumbuh menjadi dekat satu sama lain dan mulai bercerita tentang banyak hal. Itulah mengapa Lucas mengetahui soal Lee Donghyuck, begitu pun sebaliknya.

So that Donghyuck literally your brother.” Lucas menaruh kaleng bir di meja, ikut berpikir. “Terus lu mau ngapain abis ini?”

Mark menghela napas, dia menggenggam kaleng cola-nya erat-erat. Sesuai kata Lucas tadi, Mark tidak ikut minum dan sebagai gantinya Lucas memberikan Mark cola dingin. “Gua ngomong ke Lyra kalo gua mau ketemu Hyuck,” katanya, “but, Dude, I'm not sure whether he wants to see me or not. Bayangin aja udah pisah sekian tahun terus tiba-tiba gua minta ketemu. Malah mungkin, Hyuck benci gua.”

Masalah yang berputar pada keluarga, bahkan sekecil apa pun itu rasanya berat sekali. Mereka tidak tahu harus mencari jalan seperti apa, setidaknya untuk saat ini, entah esok hari.

How's your dad?” Lucas bertanya lagi. Kali ini lebih pelan dari sebelumnya.

Mark menggeleng dan menjawab, “Maybe I text him later. I'm not sure he would care tho.”

But I think you better text him.”

I'll text him at night.”

Memiliki sebuah teman adalah keinginan dasar yang wajar untuk anak-anak dan remaja yang masih tumbuh, orang dewasa pada umumnya tidak mengharapkan hadirnya seorang teman—lebih bagaimana mereka bisa melalui hari-hari yang sulit seorang diri. Tapi Lyra, hanya memiliki satu tahun sebelum usianya mengubahnya menjadi orang dewasa dan sampai detik ini dia masih belum memiliki teman.

Tidak apa-apa tidak memiliki teman, Lyra pikir begitu karena telah lama dia menghabiskan waktunya sendirian dan tersisihkan dari lingkungan sosial. Bukan dia yang meminta, mungkin orang-orang memang membencinya. Lyra masih tidak tahu kenapa dan bagaimana memperbaiki kondisinya yang sekarang. Entah siapa yang salah, dia yang menarik diri atau lingkungan sosial yang tidak menerimanya, Lyra tidak tahu.

Menghadapi hari-hari berat, bahkan di kampusnya sendiri, semakin hari membuatnya semakin muak. Rasa iri berkembang di dalam hatinya semakin besar setiap harinya. Melihat orang-orang seusianya berjalan bergerombol, berbicara hal-hal bodoh sesuka mereka, tertawa bersama, membuat Lyra muak. Dia ingin merasakan hal yang sama. Tapi berapa harga yang harus dibayarkannya untuk sebuah pertemanan yang mungkin telat untuk usianya?

Orang-orang bilang, kalau menangis di malam hari, aka nada makhluk yang melihatnya menangis. Itu sedikit menyeramkan. Tapi Lyra tidak peduli. Justru dia berharap kalau dia dapat berteman dengan makhluk lain itu. Tidak memiliki seseorang untuk bergantung sama sekali membuatnya frustasi. Dia juga tidak memiliki keluarga untuk sekarang.

“Kamu … akhir-akhir nangis terus ya?”

Lyra mengangkat kepalanya. Manusia. Tapi tidak mungkin. Lyra tinggal sendiri di apartemen tipe studio yang disewanya. Jadi tidak mungkin ada manusia lain selain dirinya. Apa yang orang-orang bicarakan memang benar. Meskipun Lyra tidak tahu dari mana kekuatan untuk melihat makhluk lain selain manusia. “Kamu hantu ya?” tanya Lyra, pelan.

“Iya.” Sosok itu menjawab tanpa beban. “Kamu enggak takut?”

Lyra tersenyum kecil, bahkan hati kecilnya bertanya apakah dia perlu untuk merasakan takut. “Manusia lebih nyeremin,” jawab Lyra, masih sama pelannya.

“Iya, manusia nyeremin. Aku, dulunya manusia. By the way, aku Lee Donghyuck. Bisa panggil Hyuck. Kamu?”

“Lyra. Lyra aja.”

Seorang teman yang Lyra harapkan hadir, malam itu dia datang. Mengisi kekosongan dalam hidupnya. Tidak apa-apa, tidak harus manusia. Menurut Lyra, Donghyuck tidak harus menjadi seorang manusia untuk berteman dengannya—dan memiliki seseorang yang mau mendengarkan ocehannya, itu adalah sebuah berkah. Tapi Lyra masih tidak tahu apa-apa tentang Donghyuck.

Lagi dan lagi, manusia tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki. Tidak peduli sebanyak apa pun dia melihat manusia berkembang, manusia masih sama. Masih mengemban dosa-dosa di dalam tubuh mereka yang fana. Apa mereka tidak lelah? Apa mereka tidak bisa belajar dari masa lalu? Entah sebanyak apa pun pertanyaan itu terbesit di otaknya, dia tidak bisa menjawabnya.

Atas nama kasih yang diembannya, Mikhael tidak dapat membiarkan hal yang buruk terjadi. Seorang manusia yang dengan kesoktahuannya memanggil Mammon atas nama keserakahan duniawi harus dihentikan. Mikhael sendiri yang akan turun tangan dan menghentikan manusia itu dari memanggil iblis bernama Mammon.

Jika Gabriel tahu tentang apa yang dilakukannya, mungkin dia akan dimarahi. Tapi atas dasar kasihnya, Mikhael tidak akan membiarkan seorang manusia kembali terjerumus dan jiwanya terjebak di penjara Istana Dunia Bawah. Karena setelah itu, baik dia atau pun malaikat lain tidak dapat bertindak apa pun.

Mengasihi manusia-manusia yang tinggal di Bumi adalah hal yang wajar. Beberapa malaikat menandai manusia-manusia baik yang hampir tidak pernah melakukan kesalahan. Beberapa lainnya justru menandai yang sebaliknya sambil berdoa pada langit semoga manusia-manusia tersebut dapat kembali menjadi sosok yang suci. Atas nama kasih yang diembannya, Mikhael tidak ingin melihat seorang manusia rusak hanya karena memanggil iblis atas dasar keserakahan—namun rupanya, langkah yang diambilnya bukan langkah yang baik.

Manusia harus mengemban dosanya sendiri dan bertanggung jawab terhadapnya. Malaikat atau iblis tidak ada sangkut pautnya. Menganggu jalannya ritual pemanggilan adalah kesalahan—dan Mikhael mengetahuinya begitu langit bergemuruh, terlihat seperti marah terhadap tindakannya. Sihirnya mengganggu pemanggilan yang ada di Bumi, langit menghendaki apa yang tidak seharusnya.

“Mikhael.” Sebuah suara datang bersamaan dengan gemuruh langit, membuat tubuh Mikahel menegang begitu mendengarnya. “Malaikat seharusnya tetap berdiri di belakang garisnya, sama seperti para iblis yang masih berada di belakang garisnya. Hari ini, Mikhael, kau melakukan sebuah kesalahan.”

Hari itu, seorang malaikat melakukan kesalahan, dan ketujuh iblis dosa besar harus menanggung akibat dari ulahnya.

“Kepada kalian anak-anak baik, Aku titipkan para iblis, dan mereka akan mencari jalan pulang dengan sendirinya.”

.

.

.

.

.

Mikhael siapa? Mikhael adalah satu dari malaikat tujuh kebajikan atau dalam bahasa Inggris disebut Seven Virtues yang merupakan 'lawan' atau kebalikan dari Seven Deadly Sins. Mikhael ini mewakili Kasih, yang kalo dirinci jadi kehendak, perbuatan baik, kedermawanan, dan pengorbanan yang merupakan kebalikan dari ketamakan/keserakahan Mammon.

Anw, aku kasih tokoh Mikhael visualisasi lho! Kalian pasti tahu lah kenapa aku pilih dia jadi Mikhael yang kebalikan dari Mammon.

Terkadang, yang menemanimu di gelapnya malam bukanlah cahaya bulan, bintang, atau hewan kecil bernama kunang-kunang. Apa yang kamu kira kunang-kunang itu, boleh jadi adalah pixie. Manusia biasa, terkadang, tidak bisa membedakan kunang-kunang dan pixie.

Manusia mempercayai beberapa makhluk sebagai makhluk fantasi yang tidak ada di dunia ini dan tidak berpengaruh apa pun dalam kehidupan mereka. Tapi, mereka ada dan hidup berdampingan dengan manusia. Hanya saja, manusia tidak peka dengan kehadiran mereka. Padahal mereka berdampingan.

“Wah, akar rambut kamu warnanya silver.” Sekali waktu, Ten terkejut begitu menemukan fakta baru dari kekasihnya. Bukankah hampir tidak ada manusia yang memiliki akar rambut berwarna silver? Atau mungkin memang tidak ada.

Ten pikir, dia mungkin berhalusinasi—atau mungkin, yang dilihatnya tadi hanyalah tipuan. Akar rambut berwarna silver yang dilihatnya, tidak sama seperti yang dimiliki manusia pada umumnya. Akar rambut milik kekasihnya berpendar temaram. Orang-orang bilang, yang memiliki rambut seperti itu biasanya adalah seorang elf. Ten tidak mau percaya.

Namun di lain waktu kekasihnya itu bertanya padanya, “Ten, kamu percaya elf?”

Ten masih tidak mau percaya.

Mobil mahal itu berhenti di basement sebuah hotel. Orang-orang yang diperintahkan Johnny itu membukakan pintu mobil untuk Arin. Sebetulnya, tindakan mereka sangat sopan terhadap Arin. Tapi dengan wajah yang sangar dan badan yang tinggi besar membuat mereka terlihat tidak ramah dan Arin tidak suka itu. Belum lagi fakta kalau Arin sendirian.

Arin harap, setidaknya ada Jisung di sampingnya. Dia tidak ingin pergi sendiri. Mungkin Jisung tidak secepat tanggap Chenle dalam menghadapi sesuatu, tapi Arin tahu siapa yang tahu dirinya lebih baik selain dirinya sendiri, dan jawabannya adalah Park Jisung.

Mereka menaiki elevator dan berjalan di dalam hotel yang mewah itu. Dipikirkan bagaimana pun, orang bernama Johnny—yang saat ini Arin belum tahu namanya—itu adalah orang yang kaya raya. Kalau tidak, mana mungkin dia berteman dengan Kun. Semakin dipikirkan, semakin Arin tidak mengerti kenapa orang ini ingin sekali Mammon berada di tangannya.

Adegan-adegan yang dilaluinya sekarang adalah mimpi buruk. Arin baru menyadari ada yang salah dengan dirinya, atau lebih tepatnya, pakaiannya. Dia akan bertemu seorang pebisnis yang jauh lebih tua darinya. Arin dapat membayangkan kalau orang itu menggunakan tuxedo yang bagus dengan rambut yang disisir rapi. Sementara dirinya hanya mengenakan jeans yang belum dicuci, kaus, dan jaket.

“Om.” Arin memberanikan dirinya untuk memanggil lelaki-lelaki besar yang mengantarnya. “Ini … aku pake baju kayak gini, salah kostum enggak sih?” tanyanya dengan suara pelan. Orang di depannya memang betul-betul menyeramkan, Arin kehabisan kata-kata.

“Tuan tidak akan mempermasalahkan pakaianmu.”

Arin menghela napasnya lega. Setidaknya pakaian belelnya tidak akan jadi masalah. Tapi sekarang, yang menjadi masalah adalah, dia di bawa ke sebuah kamar. Dia pikir dia akan dibawa ke restoran yang ada di hotel, bukan sebuah kamar. Bukankah itu anaeh? Perasaannya tidak enak untuk sekarang.

Tapi Arin tidak terlalu takut, teman-temannya ada bersamanya. Dia sudah menelepon temannya tadi dan mereka tersambung. Mereka akan mendengarkan apa yang akan dilakukan Johnny pada Arin. Arin percaya pada teman-temannya, dan untuk sekarang dia sangat bergantung pada teman-temannya. Kali ini dia hanya berdoa, semoga Dewi Fortuna meminjamkan otak Chenle padanya karena baisanya Arin sangat payah dalam negosiasi.

Mobil Chenle berhenti di ¬basement yang sama. Tapi mereka tidak keluar. Mereka berada di dalam mobil sambil mendengarkan suara-suara yang tersambung dengan ponsel Arin. Mereka belum mendengar suara Arin lagi semenjak Arin menanyakan tentang pakaiannya, dan menunggu bagaimana suara orang yang memanggil Arin terdengar. Mereka menahan napas, meskipun sudah mematikan microphone, mereka tetap tidak tenang.

“Selamat datang, Lee Arin.”

Bulu kuduk mereka berdiri begitu mendengar suara itu melalui telepon. Suara yang manis namun menyimpan banyak hal di dalamnya. Anak-anak manusia itu merinding, tapi tidak dengan Yukhei yang memasang ekspresi tidak suka. Pada dasarnya mereka semua sama, mereka dapat merasakan dosa apa saja yang ditanggung oleh seorang manusia, dan Yukhei tidak suka orang ini—seperti apa yang dikatakan Asmodeus kepadanya. Persis.

“Perkenalkan, aku—aku aja ya? Supaya kita lebih akrab. Aku Johnny. Panggil Johnny aja. Soal panggilan kakak atau abang, bukan masalah buat aku.” Johnny duduk dengan menyilangkan kakinya yang panjang. “Aku pesan kamar ini supaya kita bisa bicara dengan lebih leluasa. Ada beberapa hal yang tidak bisa kita bicarakan di tempat umum, bukan begitu?”

Arin tidak suka bagaimana suara Johnny terdengar. Padahal wajahnya tampan. Tapi dia duduk di depan Johnny dengan tubuh yang tegang. Tangan dan kakinya perlahan terasa sangat dingin meskipun jaket itu masih melekat pada tubuhnya. Arin masih berharap kalau setidaknya, siapa pun, ada di dekatnya, sekarang. Arin ingin menangis.

“Jadi, Arin, cerita sama aku. Gimana ceritanya seven deadly sins itu turun di tempat kamu dan teman-temanmu?” Johnny berhenti duduk dengan menyilangkan kakinya dan dia mencondongkan tubuhnya ke Arin. Johnny berusaha menyungginggkan sebuah senyuman manis supaya Arin tidak takut—namun rasanya tidak bisa.

Arin menggeleng sebagai jawaban. Dia tidak tahu. Teman-temannya tidak ada yang tahu. Mereka hanya melakukan semuanya dengan spontanitas. Bahkan membuat iblis-iblis itu bekerja untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Karena mereka hanya mahasiswa yang tidak memiliki banyak uang. “Tidak tahu,” jawab Arin dengan pelan.

Dari kepala yang tertunduk karena takut, Arin dapat melihat tubuh Johnny perlahan menjauh, bersandar pada sofa yang diduduki. “Ada banyak yang anak kecil tidak tahu tentang dunia ini. Aku butuh Mammon untuk mengembangkan bisnisku. Dia adalah petaruh yang baik dan aku percaya pada kekuatannya.”

Tidak, itu memang bukan pembicaraan yang dimengerti oleh anak kecil sepertinya. Arin bahkan tidak merasa mereka butuh iblis-iblis itu untuk menyambung hidup. Alih-alih menyambung hidup, pengeluaran mereka berempat jika ditotal melebihi yang biasanya. Padahal iblis-iblis itu tidak makan seperti manusia (kecuali Jungwoo), tapi pengeluaran mereka melambung. Arin tidak mengerti kenapa mereka yang terpilih, kenapa mereka berakhir seperti ini, dan harus menghadapi orang dewasa yang menyeramkan.

Sama seperti Arin, mereka yang di dalam mobil juga merasakan hal yang sama. Mereka tidak tahu kalau mereka harus sampai sejauh ini. Bahkan mereka tidak tahu apa salah mereka. “Kalian tidak punya salah,” kata Yukhei dengan pelan. Yukhei tahu apa yang dipikirkan oleh anak-anak manusia itu. “Kalian berbeda dengan orang dewasa, selain dosa malas kalian yang mendekati Belphegor. Aku tidak membenci kalian.”

Chenle sibuk meremas tangannya sendiri dan berbisik, “Semoga Arin tahu gimana caranya bikin negosiasi yang bagus. Kita perlu kalian para iblis balik ke dunia kalian dan kehidupan mahasiswa kita yang normal balik.”

Mereka tidak menemukan titik temu dari pembicaraan mereka. Baik Johnny mau pun Arin tidak tahu kenapa mereka berakhir seperti itu. “Aku punya penawaran buat kamu,” kata Johnny, “aku akan kembalikan keenam dosa. Tapi aku akan menggunakan Mammon sampai aku selesai.”

“Tapi mereka harus balik semua ke dunia—“

“Itu enggak ada hubungannya sama aku?”

Tatapan yang dilemparkan Johnny pada Arin sama sekali tidak menyenangkan. Arin ingin mempertahankan keinginannya—keinginan mereka—untuk mengembalikan semuanya ke alam mereka. Tapi Johnny sangat menyeramkan. Dia bahkan tidak berani membalas tatapan Johnny sama sekali.

“Kalo gitu, aku mau tanya sama Mammon sendiri.” Arin menelan ludahnya. Dia memberanikan diri dengan jantung yang hampir lepas dari rongga dadanya. “Mammon yang milih nanti.”

Mereka semua di dalam mobil mendengar ucapan Arin. Rena menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Dia ingin menangis. Angin baik sedang berpihak kepada mereka. Semoga saja, orang bernama Johnny itu mau bekerja sama dengan mereka.

Okay.” Johnny mengiakan dengan cepat. “Hubungi aku kalau Mammon setuju. Aku akan mengembalikan mereka semua.” Setelah mengatakan hal itu, Johnny tersenyum. Lagi-lagi, senyuman itu menyembunyikan banyak arti yang Arin tidak bisa menerjemahkannya. “Aku tahu teman-teman kamu ada di basement, mereka nungguin kamu kan? Sekarang, silakan kembali ke teman-teman kamu itu.”

Bola mata Arin hampir keluar dari rongganya begitu mendengar penuturan Johnny. Sama dengan teman-temannya yang berada di dalam mobil. Arin melangkahkan kakinya panjang-panjang demi pergi dari tempat itu dengan cepat. Padahal tidak ada yang mengejarnya. Tapi rasa takut yang dirasakannya begitu dekat.

Arin ingin segera sampai.

Arin ingin bertemu teman-temannya.

Arin ingin bertemu Jisung.

Rena….

Chenle….

Bahkan Yukhei yang tidak begitu dikenalnya.

Mereka, teman-teman Arin menunggunya. Begitu melihat teman-temannya yang bediri di depan elevator yang baru terbuka, Arin berlari dan memeluk mereka semua sekaligus. Meskipun memalukan di tempat umum, mereka tidak peduli. Saat ini, yang mereka butuhkan adalah satu sama lain. Tidak ada yang lain.

“Gila! Gua takut banget sumpah!” Arin mengatakannya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tidak tahu kalau dia sanggup menahan tangisnya sejauh tadi. “Serem banget! Sumpah! Serem banget.”

Mereka melepas pelukan mereka dan bergandengan seperti murid taman kanak-kanak, Arin masih menangis dan Rena juga terlihat seperti akan menangis. “Rin, gua seneng banget lu balik utuh kayak gini. Gua takut tadi lu bakal dijadiin tumbal.” Rena menyuarakan kekhawatirannya yang ditahan dari tadi.

Chenle melepas genggamannya dan berkata, “Okay. Kita diskusiin ini sama yang lainnya. Next time, Arin enggak bakal pergi sendirian ketemu orang itu.”

Sementara Jisung masih menggenggam tangan Arin dengan erat. “Enggak usah nangis lagi,” bisiknya. “Ririn udah enggak sendirian lagi.”

Manusia mungkin memang pendosa yang ulung. Tapi apa yang Yukhei amati hari itu lain. Anak-anak itu berbeda dengan manusia lainnya. Mereka masih pendosa, tapi mereka tidak seburuk manusia yang lain. Mereka tidak seburuk apa yang Yukhei bayangkan sebelumnya. Yukhei tidak membenci mereka, seperti apa yang dikatakannya sebelumnya.

Johnny tidak tahu apa yang salah. Dia menghabiskan waktunya untuk duduk di balkonnya, menikmati secangkir kopi panas yang diseduhnya sendiri, dan berpikir kenapa dia bisa salah dalam pemanggilan. Kenapa itu terjadi padanya sementara yang lain bisa berhasil melakukan perjanjian.

Langkah-langkah yang diambilnya sudah sesuai. Dia sudah mempersembahkan darahnya sendiri untuk jembatan perjanjiannya, tumbal yang diberikannya juga sudah sesuai. Berpikir sebanyak apa pun, Johnny tidak menemukan jawabannya. Dia sudah bolak-balik bertanya pada Asmodeus tentang kesalahan itu, namun Asmodeus sendiri tidak bisa menjawabnya.

Mungkin ilmunya kurang untuk memanggil makhluk setingkat itu. Jadi dia gagal. Tapi dari apa yang dipelajarinya, dia bisa saja kehilangan nyawanya ketika perjanjian gagal dibuat. Bukan justru mendatangkan iblis yang lain. Dipikir berkali-kali pun, apa yang terjadi padanya tidak masuk akal.

“Manusia, kenapa kau ingin menjalin pakta* dengan Mammon?” Asmodeus berdiri di belakang Johnny, bagaimanapun dia juga ingin tahu kenapa manusia menjalin perjanjian dengan iblis. Karena taruhannya tidak kecil. Tidak sedikit manusia yang jiwanya menjadi tahanan di istana bawah mereka karena berani menjalin perjanjian dan gagal. Tapi manusia di depannya, Johnny, tidak terlihat seperti pecundang-pecundang di penjara mereka.

Johnny menyesap kopinya pelan. “Aku ingin melebarkan sayapku, dan aku butuh Mammon untuk memenangkan semua taruhan.” Ketamakan dalam dirinya tampak di mata Asmodeus dan kesombongannya yang seolah tak memiliki batas. Sesuatu yang aneh dari sosok Johnny dari pandangan Asmodeus adalah, mungkin, Johnny lebih buruk dari dirinya yang bergelar iblis.

Iblis sepertinya tidak pernah mengerti kenapa manusia dengan tubuh yang fana itu mampu menanggung dosa yang lebih besar dan lebih banyak darinya. Asmodeus merasakannya dan melihatnya betapa busuk manusia di depannya ini.

Johnny pikir hidupnya akan lebih berat setelah dia melakukan kesalahan dalam pemanggilan iblis dan perjanjian yang gagal. Sebetulnya Johnny tidak tahu harus bersyukur atau bagaimana. Di satu sisi, dia gagal mendapatkan apa yang dia mau, tapi di sisi lain dia tidak perlu melepaskan nyawanya begitu saja. Menurut Asmodeus, saudara-saudaranya juga turun ke Bumi. Johnny mengamati saat Asmodeus menghitung jumlah saudaranya yang hadir.

Di mana dia bisa menemukan iblis-iblis itu? Selain itu, kenapa mereka semua turun ke Bumi? Bukannya tidak perlu

Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memikirkan hal itu. Tidak. Dia ada janji untuk makan malam dengan rekan kerjanya. Dia harus menutup mulutnya sekarang, atau orang-orang akan tahu kalau dia melkukan hal-hal yang aneh selama hidupnya. Johnny ingin menikmati waktunya menjalin hubungan.

Rekan kerjanya bukan orang asing yang baru dikenalnya. Johnny sudah mengernalnya cukup lama karena kebetulan rekannya adalah adik tingkatnya sendiri. Ketika terlihat sosoknya, Johnny tersenyum lebar dan menyambutnya, “Kun! Tumben sedikit telat, ada apa?”

“Tadi udah sampe sebenernya, cuman kebetulan ada chat dari adek sepupu. Aduh, anak-anak zaman sekarang kalo mau minta apa-apa pinter banget cari alesannya. Pake segala bawa-bawa seven deadly sins atau apalah itu.”

Bukankah itu sebuah kebetulan yang bagus? Johnny tidak pernah menyangka kalau dia akan menemukan jawabannya secepat ini. Mammon-nya dekat sekali dengannya. Sekuat tenaga dia menahan seringaian di wajahnya. “Seven deadly sins?” tanyanya, pura-pura tidak tahu.

“Iya.” Kun menanggapi dengan wajah yang sedikit dongkol. “Lagian dia udah kuliah kok bisa-bisanya kepikiran dongeng kayak gitu. Eh, udah, jangan bahas ini. Enggak penting.”

Tidak! Itu penting!!

Tapi Kun tidak akan mengerti. Hanya saja, Johnny sudah tahu bagaimana dia akan menyusun rencana untuk mendapatkan apa miliknya.

.

.

.

.

.

*) Pakta itu perjanjian ya, bahasa Inggris-nya itu pact. Aku tiba-tiba keingetan istilah ini aja makanya aku pake. Btw, enggak penting sih tapi ini fun fact kalo aku nemu istilah pact waktu main gim Obey Me! ada yang main juga?

Itu pertama kalinya mereka melihat sosok Asmodeus. Selama ini, mereka tidak pernah tahu dan iblis lain tidak pernah jelas dalam menggambarkan sosok Asmodeus. Namun air wajah yang ditampakkan oleh para iblis itu tidak baik, mereka sedang membicarakan hal yang serius, yang juga membuat mereka semua berpikir keras begitu mendengarnya.

“Lu semua … ngomongin apa?” tanya Chenle.

Jisung dengan alis yang bertaut juga ikut bertanya, “Gak mungkin dunia bisa ancur kan?”

Pembicaraan mereka terdengar begitu berat. Semua iblis yang berada di sana melihat ke keempat anak yang baru saja masuk dan tidak tahu apa-apa—bingung dengan apa yang terjadi. Terlalu banyak yang terjadi dalam interval waktu yang singkat, mereka tidak dapat mencernanya dengan baik.

“Arin, dengerin.” Taeyong dengan matanya yang besar menatap Arin. “Kita harus pulang,” katanya, “ke dunia kita.” Tidak banyak yang dikatakan oleh Taeyong. Tapi Taeyong dapat melihat wajah tak percaya milik Arin. Entah itu ketidakpercayaan atau ketakukan yang bertumpuk menjadi satu.

Tidak ada tanggapan dari Arin, tidak juga dari anak manusia yang lain. Mereka menaruk plastik-plastik berisi makanan dan minuman ringan di atas meja dalam diam. Iblis-iblis itu pun tidak ada yang bersuara. Padahal mereka semua butuh penjelasan untuk satu sama lain. Tapi Chenle tidak senang dengan keheningan yang mengukung mereka. “Jadi, daritadi kalian ngomongin apa?” tanya Chenle.

“Asmo, kamu bisa jelasin kan?” Yukhei menunjuk Asmodeus yang belum memiliki nama manusia. “Jelasin sekali lagi, buat anak-anak manusia itu, tolong.”

Asmodeus melemparkan pandangan tidak percaya pada Yukhei. Tapi saat itu juga dia tahu tidak seorang pun saudara-saudaranya yang memihak kepadanya. Mereka semua menginginkan dirinya yang menjelaskan semuanya. Dengan jelas. Asmodeus menghela napas dengan berat. Dia tidak suka manusia. Tapi Yukhei, dengan harga dirinya yang tinggi sudah mengucapkan kata tolong. Asmodeus tidak memiliki alasan untuk menghindar.

“Dengar, Manusia,” katanya, “kami datang ke dunia ini karena dipanggil oleh manusia. Aku tidak suka dia. Ada kesalahan dalam pemanggilan, seharusnya, hanya Mammon yang terpanggil ke dunia ini. Karena dia hanya membutuhkan Mammon. Tapi, aku sendiri tidak yakin di mana letak kesalahannya sehingga kami terpanggil ke dunia kalian. Dengan terpanggilnya kami ke dunia manusia, dunia bawah tidak ada yang mengatur, dan itu akan membawa kehancuran. Bukan hanya untuk dunia bawah, tapi juga dunia kalian.”

“Jujur….” Jungwoo membuka suaranya. Dia bukan tipe yang banyak bicara ketika mereka sedang mendiskusikan sesuatu, hampir mirip dengan Taeyong. “Aku enggak mau kalu dunia kami hancur. Kami hidup di sini juga enggak ada gunanya sama sekali. Kalau kami tidak kembali, kami hanya akan menjadi makhluk pendosa yang abadi. Itu saja.”

Rena memegang kepalanya. Alisnya bertaut dan dahinya berkerut setelah mendengar penjelasan tadi. “Kalian tuh bahas apa? Demi apa pun, gua tuh materi di kelas masih suka enggak ngerti terus lu pada ngomongin dunia? Keseimbangan dunia? Apaan? Bakal jadi apa kalo kalian enggak balik? Kiamat? Gila lu. Gua belom nikah, punya pacar aja belom.” Apa pun itu, Rena tampak tidak menyukainya.

“Dari awal emang udah firasat kalo urusan sama iblis-iblis itu susah.” Jisung mengacak-acak rambutnya. Dia terlihat seperti tidak bernyawa. Entah ke mana perginya jiwanya. “Terus, kita harus gimana?”

“Kalo orang yang manggil itu minta kalian kerja sama, iyain aja.” Mammon melipat tangannya di dada. “Aku enggak bisa jamin yang ini. Tapi, aku rasa dia tahu gimana cara balikin kita.”

Keheningan kembali mengukung mereka. Tidak satu pun bicara. Menerima kerjasama orang asing yang mereka tidak kenal, memiliki risiko yang tinggi. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Lebih daripada itu, yang paling menakutkan untuk mereka yaitu lawan mereka tidak sebanding. Melawan orang dewasa adalah hal yang sulit.

Yukhei menatap anak-anak manusia itu satu per satu. “Chenle, Jisung, Arin, Rena.” Untuk pertama kalinya Yukhei mau menyebutkan nama mereka. “Kami tidak punya pilihan lain, kalian lah yang manusia yang bisa mengembalikan kami. Keseimbangan dunia ini, kalian yang bisa mengembalikan.”

“Tenang.” Mammon kembali mengeluarkan suaranya, dia tersenyum dengan lebar. “Kalo ada apa-apa, aku yang tanggung jawab. Kalian enggak perlu takut. Inget.”

.

Asmodeus: Ten dengan tokoh kita yang sudah terungkap, Johnny.

.

Laki-laki itu, John Jun Suh atau dikenal dengan nama Johnny Suh, berdiri, dia mengambil perban yang sudah disediakannya di pojok ruangan dan membalutnya ke tangannya yang luka. Begitu saja, dia tidak membersihkan lukanya untuk menghemat waktu. Karena nanti, dia masih harus membersihkan kekacauan di ruangan itu. Tidak mungkin dia menyuruh maid-nya untuk membersihkan kekacauan yang seperti ini.

Dia tidak menyadari apa yang aneh dari ritual pemanggilannya. Dia hanya mengetahui bahwa sesuatu muncul di tengah-tengah lingkarannya. “Siapa namamu?” tanyanya sepelan mungkin. Tangannya masih sibuk membetulkan balutan perban.

“Asmo—“

“Hah? But why???”

Johnny bergerak mengelilingi ruangan, menyapu seluruh ruangan dengan pandangannya yang dingin. Dia menemukan hal-hal yang aneh lagi. Johnny berdecih dengan kencang. Tumbalnya tidak diambil, masih ada di ruangan itu sebagaimana dia menaruhnya tadi. Itu artinya ada kesalahan dalam pemanggilannya.

What’s wrong???”

Ada kesalahan. Pasti ada kesalahan yang terjadi. Namun Johnny sendiri tidak dapat memastikan apa kesalahannya. Terlebih, dia memanggil iblis yang salah. Apa lagi? Dia tidak tahu, pasti ada yang tidak beres dan dia akan segera melihat akibat dari kesalahannya.

“Ini dunia manusia?” Asmodeus menatap wajah Johnny lamat-lamat. “Kenapaa aku bisa ada di dunia manusia.” “Mana aku tahu! Aku memanggil Mammon tadinya. Ada yang salah. Ada yang salah. Apa yang salah!?”

Johnny melemparkan pakaian pada Asmodeus dan berkata, “Pakai itu.” Lalu dia pergi ke luar ruangan. Dia tidak tahu apa yang salah dan bagaimana bisa salah dalam pemanggilan. Dia sudah memperhitungkan semuanya dengan teliti sebelum pemanggilan. Sekarang yang dirasakannya adalah, luka di tangannya sia-sia dan dia memikirkan harus diapakan tumbal yang sudah susah payah dicarinya. Dibuang. Mau bagaimana lagi? Tumbal itu tidak akan berguna jika busuk.

Dia kembali lagi ke ruangan tadi, melihat keadaan Asmodeus yang tidak tampak kesusahan memakai pakaian. “Kamu tahu tentang Mammon?” tanyanya kemudian.

Asmodeus tampak tidak senang dengan tatapan yang diberikan Johnny. Tangannya meraba-raba udara di sekitarnya. “Saudara-saudaraku ada di sini semua,” jawabnya, “tapi aku tidak tahu mereka di sebelah mana.” Asmodeus membolak-balikkan telapak tangannya. Ada yang tidak beres. “Sihir kami … hilang.”

Apa yang dikatakan oleh Asmodeus barusan, Johnny tidak sepenuhnya mengerti. Tapi dia bisa saja mengembalikan pemanggilannya yang salah. Pada umumnya, menjalin perjanjian dengan iblis akan sangat merepotkan, bukan konyol seperti sekarang ini.

“Kau tahu?” Asmodus kembali bersuara. “Mereka semua belum sampai. Ada yang sudah, ada yang masih ditahan. Kami … tidak mengerti.”

“Aku juga tidak,” sahut Johnny dengan kasar.

Dunia ini aneh, sungguh. Banyak yang tidak dimengertinya dan dia tidak tahu kenapa itu terjadi kepadanya.

.

.

.

.

.

Catatan Bagian Evocation adalah bagian flashback dimana kalian bisa tahu bagaimana para iblis dipanggil. Masih banyak misteri dan teori yang belum terungkap. Maka akan dikupas satu per satu sambil mencari cara bagaimana para iblis bisa pulang. Bagian tumbal sengaja tidak dijelaskan secara rinci supaya bisa membuat seri ini tetap family friendly