Mobil mahal itu berhenti di basement sebuah hotel. Orang-orang yang diperintahkan Johnny itu membukakan pintu mobil untuk Arin. Sebetulnya, tindakan mereka sangat sopan terhadap Arin. Tapi dengan wajah yang sangar dan badan yang tinggi besar membuat mereka terlihat tidak ramah dan Arin tidak suka itu. Belum lagi fakta kalau Arin sendirian.
Arin harap, setidaknya ada Jisung di sampingnya. Dia tidak ingin pergi sendiri. Mungkin Jisung tidak secepat tanggap Chenle dalam menghadapi sesuatu, tapi Arin tahu siapa yang tahu dirinya lebih baik selain dirinya sendiri, dan jawabannya adalah Park Jisung.
Mereka menaiki elevator dan berjalan di dalam hotel yang mewah itu. Dipikirkan bagaimana pun, orang bernama Johnny—yang saat ini Arin belum tahu namanya—itu adalah orang yang kaya raya. Kalau tidak, mana mungkin dia berteman dengan Kun. Semakin dipikirkan, semakin Arin tidak mengerti kenapa orang ini ingin sekali Mammon berada di tangannya.
Adegan-adegan yang dilaluinya sekarang adalah mimpi buruk. Arin baru menyadari ada yang salah dengan dirinya, atau lebih tepatnya, pakaiannya. Dia akan bertemu seorang pebisnis yang jauh lebih tua darinya. Arin dapat membayangkan kalau orang itu menggunakan tuxedo yang bagus dengan rambut yang disisir rapi. Sementara dirinya hanya mengenakan jeans yang belum dicuci, kaus, dan jaket.
“Om.” Arin memberanikan dirinya untuk memanggil lelaki-lelaki besar yang mengantarnya. “Ini … aku pake baju kayak gini, salah kostum enggak sih?” tanyanya dengan suara pelan. Orang di depannya memang betul-betul menyeramkan, Arin kehabisan kata-kata.
“Tuan tidak akan mempermasalahkan pakaianmu.”
Arin menghela napasnya lega. Setidaknya pakaian belelnya tidak akan jadi masalah. Tapi sekarang, yang menjadi masalah adalah, dia di bawa ke sebuah kamar. Dia pikir dia akan dibawa ke restoran yang ada di hotel, bukan sebuah kamar. Bukankah itu anaeh? Perasaannya tidak enak untuk sekarang.
Tapi Arin tidak terlalu takut, teman-temannya ada bersamanya. Dia sudah menelepon temannya tadi dan mereka tersambung. Mereka akan mendengarkan apa yang akan dilakukan Johnny pada Arin. Arin percaya pada teman-temannya, dan untuk sekarang dia sangat bergantung pada teman-temannya. Kali ini dia hanya berdoa, semoga Dewi Fortuna meminjamkan otak Chenle padanya karena baisanya Arin sangat payah dalam negosiasi.
Mobil Chenle berhenti di ¬basement yang sama. Tapi mereka tidak keluar. Mereka berada di dalam mobil sambil mendengarkan suara-suara yang tersambung dengan ponsel Arin. Mereka belum mendengar suara Arin lagi semenjak Arin menanyakan tentang pakaiannya, dan menunggu bagaimana suara orang yang memanggil Arin terdengar. Mereka menahan napas, meskipun sudah mematikan microphone, mereka tetap tidak tenang.
“Selamat datang, Lee Arin.”
Bulu kuduk mereka berdiri begitu mendengar suara itu melalui telepon. Suara yang manis namun menyimpan banyak hal di dalamnya. Anak-anak manusia itu merinding, tapi tidak dengan Yukhei yang memasang ekspresi tidak suka. Pada dasarnya mereka semua sama, mereka dapat merasakan dosa apa saja yang ditanggung oleh seorang manusia, dan Yukhei tidak suka orang ini—seperti apa yang dikatakan Asmodeus kepadanya. Persis.
“Perkenalkan, aku—aku aja ya? Supaya kita lebih akrab. Aku Johnny. Panggil Johnny aja. Soal panggilan kakak atau abang, bukan masalah buat aku.” Johnny duduk dengan menyilangkan kakinya yang panjang. “Aku pesan kamar ini supaya kita bisa bicara dengan lebih leluasa. Ada beberapa hal yang tidak bisa kita bicarakan di tempat umum, bukan begitu?”
Arin tidak suka bagaimana suara Johnny terdengar. Padahal wajahnya tampan. Tapi dia duduk di depan Johnny dengan tubuh yang tegang. Tangan dan kakinya perlahan terasa sangat dingin meskipun jaket itu masih melekat pada tubuhnya. Arin masih berharap kalau setidaknya, siapa pun, ada di dekatnya, sekarang. Arin ingin menangis.
“Jadi, Arin, cerita sama aku. Gimana ceritanya seven deadly sins itu turun di tempat kamu dan teman-temanmu?” Johnny berhenti duduk dengan menyilangkan kakinya dan dia mencondongkan tubuhnya ke Arin. Johnny berusaha menyungginggkan sebuah senyuman manis supaya Arin tidak takut—namun rasanya tidak bisa.
Arin menggeleng sebagai jawaban. Dia tidak tahu. Teman-temannya tidak ada yang tahu. Mereka hanya melakukan semuanya dengan spontanitas. Bahkan membuat iblis-iblis itu bekerja untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Karena mereka hanya mahasiswa yang tidak memiliki banyak uang. “Tidak tahu,” jawab Arin dengan pelan.
Dari kepala yang tertunduk karena takut, Arin dapat melihat tubuh Johnny perlahan menjauh, bersandar pada sofa yang diduduki. “Ada banyak yang anak kecil tidak tahu tentang dunia ini. Aku butuh Mammon untuk mengembangkan bisnisku. Dia adalah petaruh yang baik dan aku percaya pada kekuatannya.”
Tidak, itu memang bukan pembicaraan yang dimengerti oleh anak kecil sepertinya. Arin bahkan tidak merasa mereka butuh iblis-iblis itu untuk menyambung hidup. Alih-alih menyambung hidup, pengeluaran mereka berempat jika ditotal melebihi yang biasanya. Padahal iblis-iblis itu tidak makan seperti manusia (kecuali Jungwoo), tapi pengeluaran mereka melambung. Arin tidak mengerti kenapa mereka yang terpilih, kenapa mereka berakhir seperti ini, dan harus menghadapi orang dewasa yang menyeramkan.
Sama seperti Arin, mereka yang di dalam mobil juga merasakan hal yang sama. Mereka tidak tahu kalau mereka harus sampai sejauh ini. Bahkan mereka tidak tahu apa salah mereka. “Kalian tidak punya salah,” kata Yukhei dengan pelan. Yukhei tahu apa yang dipikirkan oleh anak-anak manusia itu. “Kalian berbeda dengan orang dewasa, selain dosa malas kalian yang mendekati Belphegor. Aku tidak membenci kalian.”
Chenle sibuk meremas tangannya sendiri dan berbisik, “Semoga Arin tahu gimana caranya bikin negosiasi yang bagus. Kita perlu kalian para iblis balik ke dunia kalian dan kehidupan mahasiswa kita yang normal balik.”
Mereka tidak menemukan titik temu dari pembicaraan mereka. Baik Johnny mau pun Arin tidak tahu kenapa mereka berakhir seperti itu. “Aku punya penawaran buat kamu,” kata Johnny, “aku akan kembalikan keenam dosa. Tapi aku akan menggunakan Mammon sampai aku selesai.”
“Tapi mereka harus balik semua ke dunia—“
“Itu enggak ada hubungannya sama aku?”
Tatapan yang dilemparkan Johnny pada Arin sama sekali tidak menyenangkan. Arin ingin mempertahankan keinginannya—keinginan mereka—untuk mengembalikan semuanya ke alam mereka. Tapi Johnny sangat menyeramkan. Dia bahkan tidak berani membalas tatapan Johnny sama sekali.
“Kalo gitu, aku mau tanya sama Mammon sendiri.” Arin menelan ludahnya. Dia memberanikan diri dengan jantung yang hampir lepas dari rongga dadanya. “Mammon yang milih nanti.”
Mereka semua di dalam mobil mendengar ucapan Arin. Rena menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Dia ingin menangis. Angin baik sedang berpihak kepada mereka. Semoga saja, orang bernama Johnny itu mau bekerja sama dengan mereka.
“Okay.” Johnny mengiakan dengan cepat. “Hubungi aku kalau Mammon setuju. Aku akan mengembalikan mereka semua.” Setelah mengatakan hal itu, Johnny tersenyum. Lagi-lagi, senyuman itu menyembunyikan banyak arti yang Arin tidak bisa menerjemahkannya. “Aku tahu teman-teman kamu ada di basement, mereka nungguin kamu kan? Sekarang, silakan kembali ke teman-teman kamu itu.”
Bola mata Arin hampir keluar dari rongganya begitu mendengar penuturan Johnny. Sama dengan teman-temannya yang berada di dalam mobil. Arin melangkahkan kakinya panjang-panjang demi pergi dari tempat itu dengan cepat. Padahal tidak ada yang mengejarnya. Tapi rasa takut yang dirasakannya begitu dekat.
Arin ingin segera sampai.
Arin ingin bertemu teman-temannya.
Arin ingin bertemu Jisung.
Rena….
Chenle….
Bahkan Yukhei yang tidak begitu dikenalnya.
Mereka, teman-teman Arin menunggunya. Begitu melihat teman-temannya yang bediri di depan elevator yang baru terbuka, Arin berlari dan memeluk mereka semua sekaligus. Meskipun memalukan di tempat umum, mereka tidak peduli. Saat ini, yang mereka butuhkan adalah satu sama lain. Tidak ada yang lain.
“Gila! Gua takut banget sumpah!” Arin mengatakannya dengan mata yang berkaca-kaca. Dia tidak tahu kalau dia sanggup menahan tangisnya sejauh tadi. “Serem banget! Sumpah! Serem banget.”
Mereka melepas pelukan mereka dan bergandengan seperti murid taman kanak-kanak, Arin masih menangis dan Rena juga terlihat seperti akan menangis. “Rin, gua seneng banget lu balik utuh kayak gini. Gua takut tadi lu bakal dijadiin tumbal.” Rena menyuarakan kekhawatirannya yang ditahan dari tadi.
Chenle melepas genggamannya dan berkata, “Okay. Kita diskusiin ini sama yang lainnya. Next time, Arin enggak bakal pergi sendirian ketemu orang itu.”
Sementara Jisung masih menggenggam tangan Arin dengan erat. “Enggak usah nangis lagi,” bisiknya. “Ririn udah enggak sendirian lagi.”
Manusia mungkin memang pendosa yang ulung. Tapi apa yang Yukhei amati hari itu lain. Anak-anak itu berbeda dengan manusia lainnya. Mereka masih pendosa, tapi mereka tidak seburuk manusia yang lain. Mereka tidak seburuk apa yang Yukhei bayangkan sebelumnya. Yukhei tidak membenci mereka, seperti apa yang dikatakannya sebelumnya.