kr-han

.

Lucifer: Lucas Mammon: Donghyuck Asmodeus: Ten Leviathan: Jaemin Beelzebub: Jungwoo Belphegor: Taeyong Amon: Taeil

.

Adalah sebuah keajaiban mereka bertujuh akhirnya bisa berkumpul kembali. Meskipun mereka tidak tahu itu artinya baik atau buruk. Karena mereka mulai membicarakan mengenai bagaimana mereka bisa sampai terdampar di dunia manusia dan keseimbangan dunia. Karena mereka sudah bersama, seharusnya melakukan sesuatu tidak sesulit sebelumnya.

Dunia ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian di mana para malaikat dan peri tinggal untuk melaksanakan tugasnya, dunia tempat manusia tinggal, dan dunia tempat iblis-iblis seperti mereka tinggal. Dengan perginya mereka bertujuh, pilar para iblis lainnya, pasti menimbulkan kehebohan di sana. Adanya makhluk lain selain penghuni dunia itu juga akan mengganggu keseimbangan dunia.

Mereka sudah tahu. Karena mereka merasakan energi magis mereka semakin hari semakin berkurang. Tidak ada yang bisa mereka hindari. Itulah efek yang mereka dapatkan karena berbaur dengan manusia terlalu lama, dan semakin lama mereka di dunia manusia, itu akan buruk untuk mereka.

“Jangan bilang kalo kita bisa berubah jadi manusia?” Belphegor bertanya, dia bahkan sampai menyingkirkan ponsel dari depan wajahnya demi menanyakan hal itu keras-keras.

Lucifer mengangguk dengan berat hati. “Tidak,” jawab Lucifer. “Tapi, kalau tidak salah aku pernah dengar dari Uriel*. Kita akan tetap abadi, sebagai iblis, tapi tanpa kekuatan kalau kita tidak bisa kembali ke dunia kita yang sesungguhnya.” Itu terdengar tidak baik, tidak bagii siapa pun yang ada di sana.

Mereka semua terdiam. Jelas, mereka sedang berpikir bagaimana jika nantinya mereka betul-betul hanya abadi, dan itu saja, tidak ada yang lain. Sama sekali bukan hal yang baik. tidak ada yang menginginkan itu terjadi. Bagaimana pun, mereka harus kembali ke dunia mereka berasal. Mereka. Harus. Kembali.

“Kalo gitu kita harus kembali,” kata Leviathan, “aku enggak suka ngeliat malaikat tujuh kebajikan hidup dengan bahagia sementara kita ada di sini.”

Tapi tidak seorang pun tahu harus melakukan apa. Tidak satu pun dari mereka. Sekeras apa pun mereka berpikir, mereka tidak mendapat jawabannya. Ruangan menjadi begitu sepi, hanya deru napas yang terdengar semakin lama semakin berat. Tidak. Itu bukan dari semuanya, tapi dari … Amon.

“Ada yang tahu bagaimana kita bisa berada di sini?” tanya Mammon. “Mungkin, kalau kita tahu bagaimana kita bisa berada di sini, kita bisa tahu bagaimana kita bisa kembali.”

“Kita dipanggil.” Semua kepala menoleh pada satu sumber, Asmodeus. Asmodeus menatap saudara-saudaranya dengan tatapan yang hampir kosong. Dia berpikir bagaimana dia harus menyampaikan fakta itu kepada mereka. “Kita dipanggil … oleh manusia….”

Amon menatap Asmodeus dengan tatapan tidak tertawa dan bertanya, “Manusia? Untuk apa manusia memanggil kita semua?”

Mereka bukannya tidak tahu. Tapi praktik pemanggilan iblis memang kerap kali terjadi. Hanya saja, bukan mereka. Manusia yang memanggil mereka pasti bukan hanya mempersembahkan darahnya saja. Pasti terjadi kesalahan dalam pemanggilan sehingga mereka semua bisa terpanggil sekaligus, muncul pada hari yang berbeda di tempat yang juga berbeda-beda, dan mereka tidak tahu apa yang dipersembahkan sehingga mereka bisa terpanggil.

“Pasti ada yang salah,” ujar Beelzebub. “Biasanya, paling, cuma satu doang enggak sih?”

Lagi, semua mata tertuju pada Asmodeus. Seolah Asmodeus tahu semuanya. Tapi kalau perasaan mereka satu sama lain masih memiliki ikatan yang kuat, maka benar Asmodeus tahu sesuatu tentang pemanggilan mereka. “Aku … tidak tahu apa-apa,” katanya, “tapi aku tahu siapa yang memanggil kita.” Asmodeus menghela napasnya pelan-pelan dan mulai menjelaskan apa yang diketahuinya—meski itu tidak membantu banyak.

“Sudah kuduga.” Lucifer duduk menyilangkan kedua tangannya. “Kalau anak-anak itu yang memanggil kita, mereka tidak akan menempatkan kita pada situasi seperti ini. Bekerja? Konyol.”

Mammon tampak berpikir dengan keras dan kemudian dia berkata, “Tapi aku rasa mereka punya sesuatu yang bisa membantu kita kembali ke dunia kita. Mau taruhan?”

“Kalo hadiahnya makanan, aku ikut,” sahut Beelzebub dengan cepat.

Mereka terus berdiskusi mengenai apa yang harus mereka lakukan dengan informasi yang minim. Tanpa mereka sadari, anak-anak sudah ada di dekat mereka. Chenle dan Jisung masing-masing menenteng plastik yang berisi makanan dan minuman ringan untuk mereka semua. Tapi keempat anak-anak itu justru diam mendengar apa yang iblis-iblis itu bicarakan, mereka saling tatap muka.

“Lu semua … ngomongin apa?” tanya Chenle.

Jisung dengan alis yang bertaut juga ikut bertanya, “Gak mungkin dunia bisa ancur kan?”

.

.

.

Uriel itu nama salah satu Malaikat Tujuh Kebajikan, enggak ada tokohnya kok. Aku cuma nyebut Uriel karena Uriel itu mewakili (salah satunya) kejujuran, biar masuk ke teori universe mereka juga, hehe.

.

Bagian 4 dari #JaedoPacarSMA

.

.

.

Jaehyun pikir, Doyoung masih marah dan tidak ingin bicara padanya. Namun, dia salah. Karena kalau Doyoung masih marah, tidak mungkin Doyoung berdiri di depan gerbang sekolahnya sambil menggerakkan kaki tidak sabar dan bolak-balik menengok arloji di pergelangan tangannya yang ramping. Doyoung tidak marah, dia justru ada di sana untuk menjemputnya.

Langkah kakinya begitu ringan begitu melihat sosok Doyoung. Jadi Jaehyun berlari meninggalkan gerombolan temannya yang masih asyik membicarakan episode terbaru Attack on Titan dan menemui kekasihnya itu. “Kak Doie!” panggilnya dengan ceria. Senyuman mengembang di wajahnya dengan sangat lebar. Jaehyun tidak pernah tahu bahwa sesosok manusia bisa membuat seorang manusia juga bahagia sampai dia bertemu dengan Kim Doyoung.

“Lama banget,” keluh Doyoung begitu melihat Jaehyun datang menghampirinya. “Udah selesai semuanya?” tanyanya kemudian.

Jaehyun mengangguk dan menjawab, “Udah dong.” Hari ini hatinya berbunga-bunga—itu yang dikatakan orang-orang dalam drama yang ditonton ibunya. “Kakak … marah sama Jeje enggak sih?” tanya Jaehyun dengan pelan, sangat pelan. Hal yang paling ditakutkannya sekarang adalah jika Doyoung betul-betul marah padanya.

“Kalo marah ngapain gua jauh-jauh ke sekolah coba.”

Rasanya begitu lega mendengar Doyoung mengatakan kalimat tersebut. Jaehyun meraih tangan Doyoung, menggenggamnya erat-erat dan tersenyum dengan sangat bahagia meski telinganya merah karena malu. Doyoung juga tidak menolak genggaman tangan itu, justru mempereratnya. “Kita enggak jalan Kak?” tanya Jaehyun.

Doyoung menoleh sedikit dan menjawab, “Gua pesen taksi. Naik taksi aja biar gak ribet. Lu enggak malu kalo gandengan di depan sekolah gini?” Doyoung bertanya pada Jaehyun. Ketakutannya masih sama. Takut jika Jaehyun nanti akan jadi bahan ejekan karena memiliki kekasih yang bukan sesama murid SMA, begitu pula dengan fakta bahwa mereka keduanya laki-laki.

“Malu sih,” jawab Jaehyun pelan, “tapi Jeje mau kasih tau orang-orang kalo Jeje bangga punya Kak Doie.”

Doyoung memalingkan wajahnya. Dia tidak ingin Jaehyun melihat wajahnya yang tersipu, meskipun mungkin Jaehyun akan tahu juga. Doyoung juga tahu kalau kedua telinga Jaehyun memerah. Dia ingin sekali memberikan Jaehyun sebuah kecupan ringan. Tapi tidak di sini.

Sesuai dengan perjanjian awal. Jaehyun datang karena Doyoung akan menyajikannya sebuah makanan dan itu adalah croffle. Beberapa hari lalu, Jaehyun bercerita tentang croffle yang sedang ramai jadi perbincangan murid-murid sekolahnya. Jaehyun ingin mencicipinya. Tapi tidak mungkin dia datang sendiri dan mengantre untuk sebuah croffle bersama dengan gadis-gadis. Itu lebih memalukan daripada menggandeng tangan Doyoung di depan umum. Tapi Jaehyun sangat ingin mencicipinya bagaimana pun caranya.

Doyoung mewujudkannya. Impiannya yang sederhana diwujudkan oleh kekasihnya sendiri. Karena itu Jaehyun sendiri tidak sabar untuk mencicipi croffle yang dibuatkan oleh kekasihnya itu. Tapi sebelum itu, Jaehyun mengeluarkan kotak yang diikat dengan pita dari dalam tasnya dan memberikannya pada Doyoung.

“Ini apaan?” tanya Doyoung sambil menerima kotak itu. “Lu enggak ngeluarin duit buat hal-hal yang enggak penting kan?” tanyanya lagi. Jaehyun menggeleng. “Itu kukis. Mama yang buatin,” jawabnya. “Kemaren, Jeje cerita sama Mama kalo Kakak kayaknya stres banget gitu. Terus pas Jeje mau berangkat sekolah Mama kasih ini, katanya buat Kakak biar enggak stres-stres banget.” Jaehyun menjelaskan semuanya meskipun setelahnya dia cemberut. “Anaknya Mama tuh siapa sih? Kalo Jeje yang minta aja enggak diturutin tapi kalo buat Kak Doie semuanya di kasih,” keluhnya—yang justru terdengar menggemaskan.

Doyoung tersenyum kecil. Jaehyun dan ibunya selalu perhatian padanya, dan itu hal yang patut untuk dia syukuri. Doyoung mendekati Jaehyun, memberikan Jaehyun sebuah kecupan ringan di pipinya kemudian pergi sambil berkata, “Gua mau bikin croffle-nya. Ganti baju sana.”

Tangan Jaehyun menyentuh pipinya yang perlahan memerah. Itu hadiah yang luar biasa. Lalu dia tersenyum dan mengganti pakaiannya, masih dengan senyuman. Dia tidak menyangka akan mendapatkan sebuah kecupan dari Doyoung yang tidak bisa ditebak.

Apa lagi yang lebih membahagiakan selain menghabiskan waktu berdua dengan seseorang yang dicintainya? Jaehyun tidak tahu lagi. Meskipun Doyoung kadang membuatnya takut dan merasa bersalah, tapi di samping itu, Doyoung juga memberikannya perhatian yang tidak diduga-duga.

“Kak Doie kalo pipinya Jeje cium nanti marah apa seneng ya? Penasaran….”

.

Asmodeus: Ten Belphegor: Taeyong Di sini pake nama iblis karena Asmo belum dapet nama manusia dan dia juga enggak tau nama manusia Bel.

.

Kota menggeliat pelan seiring dengan naiknya mentari ke atas singgasananya yang agung. Kendaraan mulai merayap di atas aspal yang masih dingin. Lampu-lampu di gedung-gedung mulai dinyalakan. Beberapa toko buka lebih awal dengan senyum cerah pemiliknya, menyambut hari yang baru. Orang-orang dengan pakaian rapi berjalan cepat dan mengantre di halte untuk menunggu bus. Sebetulnya, kota tidak tidur sama sekali, namun kehidupan di pagi hari terasa lebih bersemangat.

Namun apa pun itu, sama sekali tidak berpengaruh untuk Asmodeus yang menyeret kakinya dengan raut wajah yang enggan. Kalau saja orang itu tidak mengancamnya, dia akan kembali ke dunianya dengan mudah. Tapi tidak semudah itu, dia tahu, dia merasakannya. Bahwa kekuatan yang dimiliki tidak sebanyak biasanya. Hal itu juga pasti terjadi pada saudara-saudaranya di luar sana. Karena itu mereka belum kembali dan masih berpura-pura menjadi manusia.

Asmodeus muak dengan semuanya. Manusia dan kebusukan yang mereka simpan di dalamnya. Dia tidak tahu mengapa manusia bisa menyimpan semua kebusukan itu dalam satu tubuh yang fana. Sementara dirinya sendiri dengan tubuh yang abadi itu hanya menyimpan satu dosa saja.

Setidaknya, dari keseluruhan kekuatannya yang menghilang, dia masih memiliki satu. Asmodeus yakin bahwa saudara-saudaranya juga masih sama. Mereka masih bisa mengenali hawa keberadaan masing-masing—dan dia tahu bahwa salah satu saudaranya tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.

Dia bisa merasakannya, tidak jauh dari sini.

Tangannya mendorong pintu kaca yang dingin, dan benar dugaannya. Di balik meja dan mesin-mesin yang tak dikenalnya, duduk seseorang yang dikenalnya. “Belphegor….” Suaranya keluar dengan sangat pelan. Ada sedikit perasaan lega begitu melihat saudaranya yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

“ASMO!” Belphegor berdiri, hampir saja dia membuang ponselnya ke lantai saking terkejutnya. Itu Asmodeus yang tidak ditemuinya selama beberapa hari di saat mereka berenam berkumpul menjadi satu. “Asmo kamu selama ini ada di mana?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tidak ada hal lain yang dipikirkan Belphegor selain itu.

“Kamu ngapain di sini?”

“Kerja….”

“Seperti manusia?”

Belphegor mengangguk sebagai jawaban, namun Asmodeus tidak terlihat senang dengan jawaban itu. mereka hanya diam untuk beberapa saat. Namun Belphegor kemudian mengangkat ponselnya lagi. “Sebentar deh, mau bilang ke Arin.”

Asmodeus menautkan alisnya dengan bingung dan bertanya, “Arin? Siapa?”

“Manusia.”

“Jangan hubungi manusia!”

Belphegor tidak tahu apa yang membuat Asmodeus terlihat begitu waspada terhadap manusia. Tapi dia mencium sesuatu yang tidak beres. Meski tidak yakin itu apa. “Arin bukan orang jahat kok, dia baik. Oh, dikit lagi aku ganti shift, nanti ikut aku pulang ketemu sama yang lain di rumah ya?” Belphegor tidak tahu kalau dia akan mengeluarkan kalimat yang panjang—mungkin janji Arin berpengaruh banyak padanya.

“Di sana ada manusia?”

“Enggak ada. Tapi kadang-kadang Arin mampir sama Rena, Chenle, Jisung. Mereka baik kok. Dijamin.”

“Serius kamu Bel?”

“Serius.”

Part Time yang digeluti oleh 7 Deadly Sins (kecuali Asmodeus)

  1. Lucifer (Yukhei) belum mau kerja karena pride-nya yang tinggi, enggak mau sama kayak manusia.
  2. Mammon (Donghyuck) ikut judi dan main lotere sana-sini yang anehnya dia menang terus.
  3. Leviathan (Jaemin) jadi barista di salah satu kafe. Karena ganteng, kafenya jadi rame banget gitu.
  4. Beelzebub (Jungwoo) jadi waiter di salah satu restoran tapi sebel soalnya enggak bisa banyak makan padahal dia di tempat makanan.
  5. Belphegor (Taeyong) masih enggak mau kerja soalnya masih mau main gim. Kalau disuruh kerja dia pura-pura tidur.
  6. Amon (Taeil) jadi pegawai restoran fastfood tapi dia enggak suka sama manajer tempat kerjanya, katanya jelek (jangan dicontoh ya).

PERLU DICERMATI bahwa ini adalah fiksi dan tidak ada kaitannya dengan anggota NCT dan WayV di kenyataan. Jangan bawa apa yang ada di AU ini ke tempat lain. Terima kasih.

Evocation is the act of calling upon or summoning a spirit, demon, deity or other supernatural agents, in the Western mystery tradition.

.

tw // selfharm , blood

.

.

.

.

.

Bukankah tamak itu sesuatu yang wajar? Laki-laki itu berpikir demikian. Bisnisnya berjalan dengan lancar, koleganya mempercayainya, investasi yang ditanamkannya tidak pernah berakhir buruk, hidupnya lancar seolah dia hidup dalam kebahagian hakiki. Tapi manusia memang begitu, hidup dengan penuh ketamakan adalah wajar.

Tidak salah baginya untuk mengosongkan sebuah ruangan, menyayat tangannya sendiri, dan mengambar lingkaran dengan darahnya. Dia tahu dia akan kehilangan sejumlah darah, tapi tidak masalah karena hadiah yang akan didapatkannya setimpal. Dia tersenyum lebar melihat lingkaran dengan beberapa simbol-simbol aneh yang berhasil di gambarnya meski aroma anyir tersebar di seluruh ruangan.

Darah masih mengalir dengan pelan di lengannya yang saling mendekat dengan telapak yang tertangkup satu sama lain. Matanya terpejam erat dan dari mulutnya terdengar jampi-jampian yang pelan namun jelas. Dia memanjatkan kalimat-kalimat panjang seolah tidak perlu bernapas dengan sudut bibir yang tersungging seolah-olah dia memenangkan sebuah permainan.

Petir menyambar bersahut-sahutan begitu laki-laki itu berhenti memanjatkan mantranya. Padahal tidak ada hujan sama sekali di luar sana. Ruangan yang lampunya tidak dinyalakan itu bersinar terang dari tengah lingkaran darah yang digambarnya. Laki-laki itu tersenyum lebar meskipun suara petir di luar terdengar menyeramkan.

Senyum laki-laki itu semakin lebar seiring dengan cahaya yang bersinar semakin terang dan dia menutup matanya. “John Jun Suh, you did well,” ujarnya dengan bangga—setidaknya sebelum dia membuka matanya dan melihat apa yang kemudian sesungguhnya terjadi.

Chenle tidak yakin apakah yang mereka pakai sekarang aman digunakan untuk masuk ke kantor milik Kun. Barangkali tidak. Tapi mau bagaimana lagi, saat ini dia tidak punya pilihan selain memasuki pintu kaca yang terbuka otomatis ketika di dekati. Berjalan menuju meja resepsionis meskipun dipandang aneh oleh karyawan yang sedang berlalu-lalang.

Ya, memangnya perlu apa mahasiswa seperti mereka ke sini? Karyawan-karyawan itu tidak tahu.

“Adik-adik ke sini ingin bertemu siapa?”

Chenle tersenyum kecil ketika mendapat pertanyaan itu. “Qian Kun. Sudah ada janji,” jawabnya dengan cepat. Kun tidak bilang apa pun soal hubungan kekerabatan mereka, jadi rasanya dia tidak perlu membawa-bawa hal itu. Lagipula, diperlakukan istimewa tidak selamanya enak.

Mereka berempat dipandu oleh seorang satpam tanpa banyak bicara. Bahkan Arin sepertinya menaham napasnya sambil memegangi ujung sweater yang dikenakan Jisung. Mereka sampai di depan ruangan Kun dan mereka tadi sudah mendengar bahwa Kun sedang ada pertemuan dengan seorang kolega bisnis walaupun bukan pertemuan yang penting.

Rena mengangkat kamera ponselnya, dia tidak bisa menahan diri. Semua hal yang dilihatnya sesuai ekspektasinya dan dia ingin sekali mengabadikannya dalam foto. Namun Pak Satpam melarangnya, “Nona, maaf, mengambil foto dilarang di sini.” Mau tidak mau, dia menurut.

Di luar ekspektasi, mereka masuk ke dalam dan dengan cepat Kun menyerahkan sebuah amplop berwarna cokelat yang cukup berat—itu semua data yang mereka minta. “Ini ada kartu kredit, kalian boleh pake, tapi harus dengan bijak, ya. Nanti tagihannya semua Koko yang bayar. Kalo enggak ada urusan lain kalian cepet pulang, mandi, belajar, bikin tugas.”

“Koko, Rena mau tanya.”

“Iya, apa?”

“Rena boleh foto di kantor Koko enggak? Bagus, sayang banget kalo enggak difoto. Please?”

“Di sini bukan tempat wisata. Jelas ya?”

Okay.”

Qian Kun tidak berpikir bahwa adik sepupunya berkata jujur dan dia justru dihadapi dengan kenyataan bahwa kepercayaannya sangat tipis terhadap adiknya itu. Mereka mungkin hanya saudara sepupu, namun lebih kurangnya mereka terlihat seperti saudara kandung. Lalu di sini lah Kun berada, di apartemen adik sepupunya yang terasa lebih sempit dari biasanya. Dia masuk bersama dengan seseorang bernama Arin dan laki-laki yang dipanggilnya dengan nama Bel.

Entah mengapa sejak Kun memasuki apartemen itu, Chenle sibuk menarik-narik orang? Kun tidak yakin mereka orang atau manusia meski terlihat mirip manusia. Entah mengapa Chenle bisa mengatur mereka semua dibantu satu lagi yang setelah Kun berpikir keras dia baru ingat kalau namanya adalah Rena.

“Sebutin nama kalian,” kata Chenle dengan berkacak pinggang. Sungguh kekuatan yang luar biasa—dan Kun masih merasa takjub dengan itu.

Kemudian entitas yang dibariskan dengan rapi itu mulai membuka mulutnya satu-satu, menyebutkan nama yang tidak asing namun terdengar aneh. Jelas menyatakan bahwa mereka bukan manusia seperti dia yang berdiri di depan mereka dengan pandangan takjub. Tidak akan ada yang menyadari bahwa mereka adalah entitas lain dari dunia ini jika tidak memperhatikan detail kecil seperti nada suara mereka yang sedikit—bahkan sangat sedikit—berbeda.

“Lucifer, The Prince of Pride.”

“Mammon, Greed.”

“Leviathan, Envy. Cuma Luci doang tuh yang lengkap bawa-bawa Prince, haha.”

“Beelzebub, Gluttony. Le, snack-nya habis ya?”

“Belphegor.”

“Amon, Wrath.”

Chenle menatap Kun, kali ini tangannya berlipat di depan dada. “Chenle enggak bohong ya,” katanya. “Oh ya, biar lebih kayak manusia sekarang mereka semua dikasih nama manusia. Lucifer, Wong Yukhei. Mammon, Lee Donghyuck. Leviathan, Na Jaemin. Beelzebub, Kim Jungwoo. Belphegor, Lee Taeyong. Amon, Moon Taeil. Yang jadi masalah sekarang, Asmodeus enggak ada di sini dan enggak ada satu pun dari mereka tahu di mana Asmodeus. Terus, soal perjanjian kemaren, gimana apartemennya?”

“Oke. Koko pesenin dulu. Koko suruh orang buat nyari apartemen … buat bertujuh doang kan?”

“Iya, nanti Chenle sama temen-temen rutin jengukin juga. Kalo bisa enggak jauh-jauh dari sini. Sama Chenle mau minta uang dong Ko. Uang bulan ini habis beneran habis gara-gara Jungwoo makan terus.”

“Iya,” jawab Kun dengan singkat. Namun tangannya sibuk dengan ponselnya. “Sebentar Koko lagi ngechat rekan kerja Koko dulu.” Apartemen itu hening dalam waktu yang lama. Bahkan keenam iblis itu hanya diam dan memandang satu sama lain. “Tapi gimana kalian ngebalikin uang koko? Jawab.”

Part time,” jawab Rena dengan cepat. “Bukan cuma mereka. Lele, Jiji, Ririn, sama aku juga nanti bakal ikut kerja part time. Masalahnya Ko, aku sama yang lain punya dokumen yang jelas buat hidup dan kerja. Mereka enggak punya. Koko bisa ngurus gituan enggak?”

“Dokumen palsu?”

“Kalo enggak gitu mereka enggak bisa ambil part time dan enggak bisa balikin uangnya Ko Kun.” Kali ini Arin yang menjawab dengan senyuman tipis di bibirnya.

Kun menatap anak-anak itu dengan pandangan tidak percaya. Dia tidak tahu pada akhirnya berapa nominal yang harus dikeluarkannya. Mungkin dia akan mengambil sedikit dari tabungan pernikahannya—yang memang belum punya calon juga, jadi tidak masalah. “Okay, apartemen dan dokumen sipil. Terus, apa lagi? Koko yakin kalian enggak berhenti sampe sini doang.”

“Hape, Ko.” Jisung menjawab yang kemudian diakhiri dengan menggigit bibir bawahnya karena gugup. “Kalo bisa satu tipe dan warna semuanya, Jaemin agak rese soalnya. Kalo mereka enggak punya hape kita enggak bisa komunikasi kan. Apalagi mau pisah tempat tinggal.”

“Kalian, anak-anak yang pinter juga ya. Koko sampe bingung mau ngomong apa. Asal kalian tepatin janji kalo uang Koko balik, Koko terima. Semuanya Koko urus dulu nanti Koko kabarin lagi lewat Chenle ya.”

Mereka berempat tidak dapat menahan diri dan kemudian bersorak seperti beban di atas bahu mereka terangkat sedikit. Rasanya hebat. Mereka bisa memikirkan sejauh ini meski mengandalkan kemampuan otak mereka yang rata-rata. Tapi mereka tidak berpikir kenapa keenam iblis itu hanya diam dan tidak berbicara satu sama lain.

“Jadi, kenapa kita ngumpul di kantin FISIP?”

Pertanyaan itu muncul dari Arin. Harusnya mereka semua sudah paham, setidaknya begitu yang dipikirkan Jisung pertama kali. Tentu saja karena harga makanan di kantin FISIP jauh lebih murah dengan pilihan yang banyak dibandingkan dengan kantin jurusan lain. Tapi sepertinya Arin tidak bisa membaca situasi tersebut, atau otaknya saja yang sudah penuh dengan Belphegor di apartemennya.

“Ya menurut lu aja?” Rena membalas kemudian menarik tangan Arin hanya agar Arin cepat duduk dan mereka bisa pulang. Rena sudah bisa merasakan amarah Amon di ujung-ujung rambutnya.

Chenle menghela napasnya sebelum berbicara. Sejauh ini, selama mereka terus berurusan dengan iblis-iblis, Chenle selalu menghela napasnya dengan berat seolah menanggung beban sebuah negara. Karena boleh jadi, dengan keberadaan iblis-iblis itu di dunia manusia, keseimbangan dunia—Chenle enggan memikirkannya. “So, kita tahu kan kalo yang udah muncul itu Belphegor, Amon, Lucifer, dan Beelzebub. Sisanya masih ada Mammon, Leviathan, sama Asmodeus. Kita enggak tahu di mana mereka bakal muncul. Tapi, karena kayaknya ini cerita klise banget dan kita udah terlanjut terkutuk, mereka bakal muncul di apart Jiji.”

Tidak seorang pun dari mereka bicara. Bahkan harusnya mereka membeli beberapa makanan karena mereka berada di kantin, namun tidak seorang pun merasa ingin makan. Mungkin memang pada dasarnya mereka tidak lapar dan memang kehidupan seperti sekarang ini aneh sekali. Mereka hanya empat mahasiswa biasa yang tiba-tiba didatangi iblis, tapi tanpa kutukan yang menyertai. Apa tidak aneh?

In conclusion, kita ke apart Jisung sekarang lihat ada apa di sana.” Rena berbicara. “Tapi sebelum itu, gua pengen waffle.”

Mobil melaju tanpa suara. Deru mesin terdengar halus namun manusia di dalamnya sama sekali tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Mereka tenggelam dalam degub jantung sendiri. Melihat iblis sekarang sudah menjadi makanan sehari-hari, namun mereka tidak bertemu mereka dengan sengaja. Rasanya seperti mobil yang dikemudikan oleh Chenle bergerak merayap dengan sangat lambat.

Bergerak dengan lambat, itu yang mereka pikirkan. Namun tidak saat Chenle memarkirkan mobilnya, tiba-tiba saja sudah selesai. Dengan berat mereka membuka pintu mobil dan keluar. Masing-masing dari mereka menghela napas dengan berat.

“Re, pegangan tangan dong.”

“Dih apa sih Rin, takut ya lu?”

“Lu mau pegangan tangan sama gua enggak sih Re?”

“Gua mendingan pegangan tangan sama lu Rin dibanding sama cowok-cowok.”

Arin dan Rena berjalan bergandengan tangan sementara Chenle dan Jisung berjalan di depan keduanya. Tentunya, tidak bergandengan tangan. Bersamaan dengan bunyi berdenting yang keras dari elevator, mereka keluar dan menuju apartemen tempat Jisung tinggal.

“Buka Ji,” kata Chenle pelan.

Biasanya mereka ada di apartemen Jisung untuk menghabiskan waktu dengan sia-sia. Tapi kali ini, mereka seperti akan melakukan investigasi besar. Jisung memutar knop pintunya dengan hati-hati, masuk ke dalam apartemen dengan pelan sambil berbisik, “Kalian yang cewek tunggu di luar dulu ya.”

Meski menunggu di luar, pintu apartemen dibiarkan terbuka oleh Jisung dan Chenle. Arin dan Rena ingin mengintip, tapi rasanya tidak ingin juga. Mereka masih bergandengan tangan menunggu reaksi yang akan terdengar nantinya. Mereka ingin reaksi yang bagus dan tidak menyeramkan.

“WOAH BENERAN ADA DONG!!”

Suara Jisung terdengar sampai luar, membuat Arin dan Rena mempererat genggaman tangan mereka. Tapi tak lama setelahnya, Chenle keluar dengan wajah yang tidak enak dilihat. “Girls, kalian harus pulang. Gua anter. Yang di sini biar gua sama Jiji yang urus. Enggak ada tapi-tapian. Buruan.”

Malam belum terlalu larut, namun mereka memutuskan untuk berhenti. Tidak seru rasanya ketika salah satu dari mereka tidak ada. Sebab tidak ada bualan yang mereka bicarakan dan hanya berakhir dengan obrolan-obrolan singkat. Mereka mengakhirinya dengan cepat dan memutuskan untuk kembali ke apartemen masing-masing.

Rena menatap keluar jendela, bahkan tidak mengajak bicara Chenle yang sedang menyetir. Dia tidak tahu kenapa, hanya kehilangan semangatnya untuk sekarang. Chenle juga tidak ambil pusing dengan diamnya Rena—setidaknya, begitu awalnya.

“Lu kenapa diem aja?”

“Mikirin di mana seven deadly sins yang lain. Kalo tiba-tiba muncul di apart gua gimana?”

Chenle tidak langsung menanggapi. Lebih tepatnya, tidak ingin. Karena dia merasa itu adalah hal yang mustahil. Kalau dipikir-pikir, Belphegor datang secara tiba-tiba di apartemen Arin dari sekian banyak pilihan lainnya. Kemungkinan untuk salah satu iblis muncul di apartemen Rena memang ada, tapi sangat tipis.

“Kalo nanti muncul di apartemen lu, aneh enggak sih?”

Pada akhirnya Rena memutar badannya, menghadap Chenle yang matanya masih fokus ke jalan. “Iya kan? Bakal aneh enggak sih? Kayak kita tuh terkutuk banget sampe dititipin iblis coba.” Rena menggerutu kemudian dengan kata-kata yang tidak sampai ke telinga Chenle. Dia kembali melihat jalanan di depannya, tidak lagi melihat Chenle.

“Yang terkutuk itu kalian yang cewek-cewek.” Chenle tertawa setelah menyelesaikan kalimatnya. Dia melirik sedikit, namuh dia tidak menemukan wajah ceria Rena seperti biasa. “Re, kalo kayak gitu, lu jelek banget.”

“Udah tau.”

Chenle tidak punya kata-kata lagi. Dia menyelesaikan mengantar Rena sebelum pergi ke apartemennya sendiri. Meninggalkan Rena di drop out point gedung apartemen Rena. Sebelum pergi Chenle berkata, “Kabarin di grup kalo ada apa-apa.”

“Iya.”

Rena memasuki gedung apartemennya dengan langkah yang berat. Dia tidak lagi memikirkan para iblis. Namun hari ini yang tidak menyenangkan. Benar, lain kali mereka harus pindah basecamp ke apartemen Arin selama Belphegor tidak bisa diandalkan. Padahal mereka sudah nyaman dengan apartemen Jisung.

Apartemennya masih yang biasa, sandi pintunya tidak ada masalah, dan Rena membukanya tanpa masalah. Namun dia mendapati lampu apartemennya menyala. “Gua tadi lupa matiin lampu kali,” gumamnya. Namun lebih dari itu, lebih dari lampu yang menyala, Rena menemukan yang lebih mengejutkan lagi. “Who the fuck are you dan kenapa lu ada di sini? Gimana caranya masuk?”

Seseorang yang duduk di atas sofa sambil menekuk lututnya itu perlahan menurunkan kakinya, menatap Rena langsung ke matanya. “Oh, ada manusia,” katanya pelan. “Aku Amon,” sambungnya.

“Amon The Prince of Wrath?”

“Kamu tahu saya?”

Rahang bawah Rena rasanya seperti terlepas dari kerangkanya. Dia baru saja membicarakan hal itu dengan Chenle beberapa saat lalu dan sekarang yang ada di hadapannya adalah Amon, salah satu dari tujuh iblis. “Terus, ngapain lu pake hoodie kesayangan gua?”

“Ada yang bilang saya harus pakai ini soalnya tadi saya datang ke sini telanjang. Saya bingung, padahal sebelumnya saya pakai baju lengkap.”

“Cara ngomonglu kaku banget, sumpah.”

“Kamu ada masalah dengan cara bicara saya?”

“Enggak sih, cuman, aneh aja.”

“Aneh?”

“Iya, aneh.”

Sejurus kemudian, Amon memalingkan wajahnya dengan ekspresi yang tidak menyenangkan. Rena tidak mengerti sebenarnya itu kenapa. Tapi mungkin, karena dia mengatakan bahwa cara bicara Amon aneh. Kemungkinan seperti itu. “Lu enggak suka dibilang aneh?” tanya Rena pelan, namun Amon tidak menjawab sama sekali. “Okay, gua dikacangin.”

Kondisi apartemen Arin masih bisa diterima, setidaknya, itu belum cukup untuk membuat mereka tidak nyaman. Tempat yang berantakan itu mungkin saja, sering terjadi. Mereka juga tidak dapat mengelak jika dituding apartemen mereka sendiri berantakan atau tidak. Karena jawabannya adalah iya. Terutama di hari-hari sibuk, berada di kampus sejak pagi hingga matahari terbenam, pulang dengan tubuh lelah, dan hanya ingin tidur—bahkan tidak memikirkan makan.

Namun yang aneh adalah seseorang yang duduk di atas kasur Arin. Mereka belum pernah melihatnya. Tapi Arin tidak tampak panik sama sekali. Dia tampak biasa saja. Sementara seseorang itu duduk dengan wajah bingungnya.

“Jadi, dia siapa?” tanya Chenle.

Arin menghela napasnya dan menjawab, “Udah gua bilang, Bel. Belphegor.”

That’s doesn’t make sense.” Rena mengernyitkan dahinya, wajahnya tampak aneh. “Liat dong dia goodlooking. Sementara yang kita tahu, the seven deadly sins with good looking face itu cuma ada di fiksi. FIKSI. Ini kenyataan, iya enggak sih?” Rena berhenti membuat ekspresi yang aneh. Meskipun dia yang paling sering memikirkan seperti apa rupa iblis-iblis itu, tapi begitu melihatnya secara langsung, Rena tidak ingin mempercayainya.

“Coba ambil sisi positifnya,” kata Arin, “fantasilu soal Lucifer dan Asmodeus mungkin aja bener or even look better than your expectation.”

Sementara ketiga teman-temannya berbicara, Jisung justru memfokuskan pandangannya pada seseorang yang disebut Belphegor itu. Dia tidak tahu harus berpihak pada siapa untuk saat ini. Tapi dilihat-lihat, yang namanya Belphegor ini hanya seperti manusia biasa. Tidak terlihat istimewa sama sekali.

“Ririn, lu yakin dia bukan orang aneh?”

“Ji, gini ya, gua kasih tau. Kalian juga harus denger, Re, Le. Ini tuh aneh banget.” Arin memotong kalimatnya untuk menarik napas. “Kalo missal dia orang jahat ya harusnya dia masuk apartemen gua terus nyuri apa kek—ya walaupun gua bokek—tapi kan ada laptop, hape juga. Atau kalo dia orang aneh yang sangean, harusnya gua diperkosa dong? Tapi ini tuh enggak. Dia juga cuma tidur. Gua enggak diapa-apain. Gua sampe bingung. Pas gua tanya, dia bilang dia Belphegor—mana minta dipanggil Bel lagi—jadi ya udah gua percaya aja gitu.”

“Aneh.”

“Iya, Le, gua tau aneh banget dan gua udah bilang ini tuh emang aneh banget.” Arin kembali menghela napasnya dengan berat, dia menoleh ke arah Belphegor. Tapi Belphegor hanya menatapnya kembali sambil memiringkan kepalanya—terlihat seperti orang yang tidak memiliki dosa.

Rena yang biasanya cerewet diam. Dia sedang mencerna kata-kata Arin. Meskipun tidak satu pun masuk di logikanya. Semuanya cacat logika, atau mungkin Rena saja yang bodoh karena tidak mengerti. “Oh.” Rena membuka suaranya. “Cuma satu? Yang lain? Bukannya ada tujuh?”

“Nah itu dia, Re. Gua enggak tahu yang enam lagi ke mana, pusing.” Arin menyandarkan tubuhnya pada tubuh Jisung, dan Jisung juga tidak keberatan dengan itu. “Ji gua pusing,” katanya lagi. Kali ini lebih pelan. Meski mereka semua masih bisa mendengarnya.

“Ya terus gua harus apa?” tanya Jisung.

“Elus-elus pala gua dong.”

“Oke.”

Tidak. Tidak ada di antara mereka yang berpacaran. Mereka hanya sebatas teman. Meski begitu, mereka memahami kepribadian dan kebiasaan satu sama lain. Kalau orang di luar kelompok mereka melihat kebiasaan mereka, mungkin orang-orang itu akan berpikir kalau mereka berpacaran. Namun nyatanya tidak.

Hening menyelimuti apartemen itu untuk sementara. Mereka semua tengah berpikir. Itu hal yang tidak biasa dilakukan. Di tengah ributnya otak mereka yang diperas habis untuk berpikir meski mereka tidak dapat menemukan apa pun, Belphegor melakukan pergerakannya. Bukan apa-apa, hanya menaruh kakinya di lantai sementara dia masih duduk di atas ranjang. Menatap anak-anak manusia itu dengan wajah penuh rasa ingin tahu.

“Manusia,” panggilnya.

Arin memutar bola matanya dan menjawab, “Dibilang gua punya nama. Arin. Bukan Manusia. Lagian kalo manggil manusia kita semua di sini manusia. Cuma lu doang yang iblis.”

Belphegor mengerjapkan matanya beberapa kali begitu mendengar protes dari Arin. “Arin, mereka siapa? Kenapa mereka ada di sini?”

“Jawab dulu.” Chenle memotong Arin yang hendak menjawab. “Kalo lu beneran Belphegor. Ke mana yang lainnya?”

“Yang itu, aku juga tidak tahu,” jawab Belphegor. “Tapi mereka pasti ada di suatu tempat. Kalian mungkin akan bertemu dengan mereka.”

Chenle mendecakkan lidahnya begitu mendengar jawaban dari Belphegor. Bukan itu jawaban yang dia inginkan. Tapi dia tahu dia tidak akan mendapat jawaban yang dia inginkan jadi Chenle memutuskan untuk bertanya sekali lagi. “Lu tahu kenapa lu di sini?”

“Tidak.” Belphegor menggeleng. “Kalau aku tahu, aku mungkin akan langsung pergi dari sini. Tidak juga. Mungkin aku akan menunggu Amon.”

This guy’s weird,” bisik Rena. “Tapi apa pun itu, terserah sih. Yang jadi masalah sekarang, nanti kalo yang lainnya muncul kita harus gimana?”

“Re, ngomongnya jangan kenceng-kenceng. Ririn bobo.” Jisung mengatakan itu tanpa berdosa. “Tapi dia bobo mukanya kayak lagi mikir,” tambahnya.

Chenle menghela napasnya. “Ji, serius dong.” Tapi entahlah apa yang diharapkannya.

“Persetan,” kata Rena, “bawa Lucifer sama Asmodeus ke sini.”