Anak-anak Manusia
Memangnya apa yang istimewa dari manusia? Akal dan pikiran, katanya begitu. Meski begitu, anak-anak manusia yang berkumpul sekarang ini masih membicarakan entitas lain yang tidak ada hubungannya dengan mereka, bahkan mereka tidak tahu mengapa mereka mulai membahas hal-hal yang tidak penting belakangan ini. Padahal seharusnya, mereka memiliki hal lain yang lebih penting.
Anak-anak manusia ini, duduk melingkar dengan laptop yang berada di atas paha masing-masing. Mereka memutar musik kencang-kencang, tertawa, memakan kripik kentang yang mereka beli patungan, dan meminum soda seolah-olah itu minuman keras. Mereka berbicara dengan keras, tertawa dengan keras, dan hampir semua yang keluar dari bibir mereka adalah omong kosong belaka. Lagipula mereka bukan siapa-siapa kecuali sekumpulan mahasiswa dengan budget hidup pas-pasan.
“Cuy, lu pada naro laptop di paha nanti punyalu enggak bisa berdri lagi lho.”
“Tapi punya gua masih bisa berdiri.”
“Rin lu ngomong jangan ngaco, Jiji gampang diculik. Lagian ya, bukan gitu anjir.”
“Omongan Ririn emang enggak bisa dipercaya.”
Mereka tertawa lagi, dengan keras. Meninggalkan salah satu di antara mereka dengan wajah yang bingung. Sudah biasa bagi mereka untuk melempar omong kosong satu sama lain. Pembicaraan mereka akan mulai dari topik yang tidak jelas sampai ke topik yang paling tidak jelas—dan mereka terbiasa dengan itu.
“Kalian percaya the seven deadly sins?”
Namanya Arin, seorang gadis yang pintar membuat omong kosong. Dibandingkan yang lainnya, Arin lah yang paling banyak membual. Tidak ada yang mempermasalahkan soal itu. Karena mereka tahu Arin hanya seperti itu di depan mereka dan mereka sangat terbiasa dengan keajaiban Arin.
“Enggak.” Chenle, sepertinya adalah satu-satunya orang yang menggunakan logikanya. “Percaya sama gituan enggak ngaruh apa pun ke kita.” Tidak ada yang tahu kenapa Chenle berada bersama kelompok anak-anak manusia yang penuh omong kosong ini. Setidaknya, Chenle senang menjadi satu-satunya yang paling waras di antara mereka.
Rena yang duduk di sebelah Arin, dia plin-plan. Semua jawabannya tergantung dengan suasana hati. Tapi, lagi-lagi memang tidak ada yang mempermasalahkan itu. Seperti jawabannya, “No, but, I believe in Lucifer supremacy.” Tidak tahu apakah dia percaya atau tidak percaya. “He sure looks hot.”
“Rere, thirsty,” ucap Arin, “go get your drink.”
“Lima puluh-lima puluh, tergantung nanti bisa lihat apa enggak.” Jisung, ah, Jisung. Dia bukan yang termuda, tapi tingkah lakunya yang mengatakan demikian. Pada dasarnya, baik Arin, Chenle, dan Rena tidak ada yang keberatan dengan itu. mereka sudah terbiasa bersama. “Tapi keren enggak sih kalo bisa lihat?”
“Sure, karena gua yakin Lucifer itu hot. So does Asmodeus,” kata Rena. Sepertinya dia tidak akan berhenti dngan fantasinya. Tidak ada selagi mereka masih meminum soda seolah-olah itu minuman keras.
Mereka melanjutkan semua omong kosong itu. Pada akhirnya, tidak ada yang mempercayai hal itu seutuhnya. Bahkan Arin yang memulai percakapan mereka. Sepanjang sore mereka habiskan dengan tertawa, fokus ke layar laptop untuk menulis beberapa kalimat, kemudian memulai percakapan sekali lagi, dengan topik yang lain.
“Tapi males banget sih kalo kenal sama Belphegor.” Arin tertawa sambil mengunyah keripik kentang—entah bagaimana dia tidak tersedak dengan kelakuannya yang aneh itu. “Gua tuh ya, udah males gini. Kalo sampe kenal sama Belphegor, makasih banget deh. Makin enggak beres. Bisa-bisa gua mandi jadi seminggu sekali.”
“Jangan bilang lu belom mandi?” Chenle menuding Arin, menunjuknya dengan kaleng kosong dan tatapan yang tajam.
Arin tertawa dan menjawab, “Tiga hari.”
“Rin, jorok.” Jisung menautkan alisnya dengan ekspresi yang aneh. “Tapi enggak heran sih,” tambahnya kemudian. Lagipula, memang tidak aneh lagi.
Rena tampaknya tidak terusik dengan fakta itu. Lagipula semuanya seperti sudah biasa. Mungkin Rena lebih terbiasa lagi. “Gua pernah ke apart Arin, nginep,” katanya, “terus tuh dia enggak sikat gigi sebelum bobo.” Rena mengatakannya tanpa rasa berdosa.
“Tapi ya, serius, gua penasaran.”
“And if we get the chance to meet them?”
“That must be great.”
“You girls are beyond crazy.”