kr-han

Memangnya apa yang istimewa dari manusia? Akal dan pikiran, katanya begitu. Meski begitu, anak-anak manusia yang berkumpul sekarang ini masih membicarakan entitas lain yang tidak ada hubungannya dengan mereka, bahkan mereka tidak tahu mengapa mereka mulai membahas hal-hal yang tidak penting belakangan ini. Padahal seharusnya, mereka memiliki hal lain yang lebih penting.

Anak-anak manusia ini, duduk melingkar dengan laptop yang berada di atas paha masing-masing. Mereka memutar musik kencang-kencang, tertawa, memakan kripik kentang yang mereka beli patungan, dan meminum soda seolah-olah itu minuman keras. Mereka berbicara dengan keras, tertawa dengan keras, dan hampir semua yang keluar dari bibir mereka adalah omong kosong belaka. Lagipula mereka bukan siapa-siapa kecuali sekumpulan mahasiswa dengan budget hidup pas-pasan.

“Cuy, lu pada naro laptop di paha nanti punyalu enggak bisa berdri lagi lho.”

“Tapi punya gua masih bisa berdiri.”

“Rin lu ngomong jangan ngaco, Jiji gampang diculik. Lagian ya, bukan gitu anjir.”

“Omongan Ririn emang enggak bisa dipercaya.”

Mereka tertawa lagi, dengan keras. Meninggalkan salah satu di antara mereka dengan wajah yang bingung. Sudah biasa bagi mereka untuk melempar omong kosong satu sama lain. Pembicaraan mereka akan mulai dari topik yang tidak jelas sampai ke topik yang paling tidak jelas—dan mereka terbiasa dengan itu.

“Kalian percaya the seven deadly sins?”

Namanya Arin, seorang gadis yang pintar membuat omong kosong. Dibandingkan yang lainnya, Arin lah yang paling banyak membual. Tidak ada yang mempermasalahkan soal itu. Karena mereka tahu Arin hanya seperti itu di depan mereka dan mereka sangat terbiasa dengan keajaiban Arin.

“Enggak.” Chenle, sepertinya adalah satu-satunya orang yang menggunakan logikanya. “Percaya sama gituan enggak ngaruh apa pun ke kita.” Tidak ada yang tahu kenapa Chenle berada bersama kelompok anak-anak manusia yang penuh omong kosong ini. Setidaknya, Chenle senang menjadi satu-satunya yang paling waras di antara mereka.

Rena yang duduk di sebelah Arin, dia plin-plan. Semua jawabannya tergantung dengan suasana hati. Tapi, lagi-lagi memang tidak ada yang mempermasalahkan itu. Seperti jawabannya, “No, but, I believe in Lucifer supremacy.” Tidak tahu apakah dia percaya atau tidak percaya. “He sure looks hot.”

“Rere, thirsty,” ucap Arin, “go get your drink.”

“Lima puluh-lima puluh, tergantung nanti bisa lihat apa enggak.” Jisung, ah, Jisung. Dia bukan yang termuda, tapi tingkah lakunya yang mengatakan demikian. Pada dasarnya, baik Arin, Chenle, dan Rena tidak ada yang keberatan dengan itu. mereka sudah terbiasa bersama. “Tapi keren enggak sih kalo bisa lihat?”

Sure, karena gua yakin Lucifer itu hot. So does Asmodeus,” kata Rena. Sepertinya dia tidak akan berhenti dngan fantasinya. Tidak ada selagi mereka masih meminum soda seolah-olah itu minuman keras.

Mereka melanjutkan semua omong kosong itu. Pada akhirnya, tidak ada yang mempercayai hal itu seutuhnya. Bahkan Arin yang memulai percakapan mereka. Sepanjang sore mereka habiskan dengan tertawa, fokus ke layar laptop untuk menulis beberapa kalimat, kemudian memulai percakapan sekali lagi, dengan topik yang lain.

“Tapi males banget sih kalo kenal sama Belphegor.” Arin tertawa sambil mengunyah keripik kentang—entah bagaimana dia tidak tersedak dengan kelakuannya yang aneh itu. “Gua tuh ya, udah males gini. Kalo sampe kenal sama Belphegor, makasih banget deh. Makin enggak beres. Bisa-bisa gua mandi jadi seminggu sekali.”

“Jangan bilang lu belom mandi?” Chenle menuding Arin, menunjuknya dengan kaleng kosong dan tatapan yang tajam.

Arin tertawa dan menjawab, “Tiga hari.”

“Rin, jorok.” Jisung menautkan alisnya dengan ekspresi yang aneh. “Tapi enggak heran sih,” tambahnya kemudian. Lagipula, memang tidak aneh lagi.

Rena tampaknya tidak terusik dengan fakta itu. Lagipula semuanya seperti sudah biasa. Mungkin Rena lebih terbiasa lagi. “Gua pernah ke apart Arin, nginep,” katanya, “terus tuh dia enggak sikat gigi sebelum bobo.” Rena mengatakannya tanpa rasa berdosa.

“Tapi ya, serius, gua penasaran.”

And if we get the chance to meet them?”

That must be great.”

You girls are beyond crazy.”

Ten menaruh ponselnya begitu dia melihat tweet dari akun dengan username @kun11xd. Pemilik akun itu adalah Qian Kun, seseorang yang dikenalnya dari petshop tak jauh dari apartemen tempatnya tinggal sekarang. Bedanya adalah, Ten memiliki dua ekor kucing bernama Louis dan Leon sementara Kun memiliki seekor anjing bernama Bella. Meskipun peliharan mereka berbeda, namun karena intensitas pertemuan mereka di petshop yang cukup sering, mereka jadi semakin dekat dan tentu saling mengikuti satu sama lain di twitter.

Dia baru saja membalas tweet milik Kun secara tidak langsung. Ten cukup peka dengan keadaan sekitarnya dan tentu dia sangat peka terhadap apa yang dikicaukan oleh Kun. Atau mungkin Kun tidak berpikir bahwa seluruh tweet-nya dapat dilihat oleh Ten? Ten tidak tahu, dia menahan perasaan geli di perutnya yang lama-lama menggelitik hatinya juga—karena dia pikir itu menggemaskan.

“Tenten ngapain senyum-senyum sendiri?” Donghyuck, anak tengah keluarga kecil Suh yang kali ini diasuhnya bertanya dengan wajah yang entahlah—Ten tidak bisa menjelaskannya. “Tenten kayak Papa waktu liat foto Dadda di hape. Sama persis,” tambahnya lagi.

Ten tahu, sangat tahu kalau anak yang satu ini cerewet, tapi tidak tahu kalau dia harus menghadapi anak in sekarang dimana dia sedang merasa gemas. Ugh, menyebalkan.

Sungchan, si Bungsu Keluarga Suh berusaha mengintip ponsel milik Ten. “Emangnya Tenten liat apa sih?” tanyanya penasaran. Tapi begitu dia melihat layar ponsel Ten, Sungchan tidak menemukan apa pun kecuali wallpaper Ten yang merupakan foto kedua kucingnya. “A, ah, Tenten enggak asyik nih.”

“Mark mana?” tanya Ten, mengabaikan kekecewaan Sungchan yang tidak menemukan apa pun. “Hyuck, Chan, kalo ditanya jawab dong. Mark mana?” Ten bertanya sekali lagi.

Donghyuck menoleh dan menjawab, “Tadi Mark main sama Louis sama Leon. Di ruangan lain kali. Hyuck enggak tahu.” Anak-anak Keluarga Suh tumbuh tanpa memperkenalkan panggilan kakak sama sekali. Ten pikir, itu karena mereka memiliki dadda bernama Johnny Suh yang besar di negara yang tidak mengenal hal itu—meskipun Ten tidak tahu bagaimana cara Johnny membuat kesepakatan dengan Taeyong. Itu juga penyebab kenapa tidak ada seorang pun memanggilnya paman.

Ten pergi ke ruangan lain, memastikan kalau Mark betul-betul bermain dengan kedua kucingnya. Benar, Ten menemukan Mark yang bermain dengan kedua kucing itu dilengkapi dengan senyuman lebar di wajahnya. “Mark,” panggilnya pelan, “nanti kalo enggak sengaja dicakar jangan lupa panggil aku ya.”

“Enggak kok, Tenten. Louis sama Leon anak baik, hehe.” Mark menyahuti, masih dengan senyuman lebarnya. Dia anak tertua di Keluarga Suh, sedikit lebih bisa diandalkan dibandingkan kedua adiknya.

Ten kembali memikirkan soal Kun. Mungkin, dia pikir, dia akan sedikit bermain dengan itu.

.

Kun tidak tahu harus berkata apa lagi, dia memandangi layar ponselnya dengan putus asa. Bukan itu yang diharapkannya. Sejak tadi dia menulis kiacuan tanpa berpikir bahwa Ten dapat melihatnya. Seharusnya dia mengikuti tren dengan membuat akun khusus untuk kicauan seperti itu—kenapa juga dia tidak melakukannya sejak dulu? Sekarang, mau ditaruh mana wajahnya yang tampan ini?

Jadi, sekarang, apa lagi yang harus dikatakannya kalau semua sudah jelas terlihat? Mungkin dia harus mengubur dirinya atau memblokir Ten? Pilihan yang mudah untuk memblokir tapi dia akan menyesalinya nanti. Selagu dia sudah sampai di sini, maka diputuskannya untuk langsung saja. Habiskan saja semuanya. Kun membuang rasa malu dan mengumpulkan jeberanian yang tersisa dari dirinya.

Belphegor berpikir kalau dia akan bangun di kamarnya yang biasa alih-alih ruangan yang aneh sekarang. dia tidak tahu kenapa dirinya berada di sini sekarang. Semua yang ada di depan matanya berubah menjadi sesuatu yang dia tidak tahu namanya apa tetapi semuanya berwarna terang. Matanya hendak menyapu seluruh ruangan itu untuk memastikan di mana dirinya berada, namun sebuah suara menginterupsinya.

“Lu siapa deh?”

Anehnya adalah, Belphegor memahami bahasa yang didengarnya meski dia tidak yakin pernah mendengar bahasa semacam itu sebelumnya. Mungkin itu keuntungannya sebagai Pangeran Dunia Bawah, pikirnya.

“Jawab gua. Lu siapa deh?”

“Belphegor,” jawabnya singkat. Belphegor menjawab apa adanya, memang itu namanya. “Ralat. Belphegor, Prince of Sloth.” Dia menambahkan. Kemudian baru disadarinya bahwa yang daritadi berbicara kepadanya adalah manusia. “Kau … manusia?”

“Aneh banget.” Manusia itu bergumam. Lalu dia memegang benda yang tidak Bel—mari kita singkat namanya menjadi Bel—mengerti. “Belphegor, Prince of Sloth. Maksudnya, lu salah satu dari The Seven Deadly Sins? Muka lu cakep anjir. Enggak mungkin Belphegor cakep kayak lu. Setahu gua ya, Belphegor tuh jelek.”

Bel tidak mengerti apa yang anak manusia itu bicarakan. Jelek? Siapa yang jelek? Dia? Oh tentu itu tidak mungkin. Sepanjang sejarah, semua makhluk harusnya tahu kalau Ketujuh Pangeran Dunia Bawah semuanya tidak jelek. Belphegor malas mengakui ini sebenarnya, tapi dia dan keenam saudaranya, semuanya tidak ada yang jelek sama sekali. Apa yang dibicarakan manusia di depannya ini omong kosong.

“Belphegor, bukannya kayak gini?”

Manusia itu menunjukkan sesuatu kepada Bel, sebuah gambar yang diyakini manusia itu sebagai Belphegor. Saat itu Bel yakin, bahkan sangat yakin kalau ini adalah mimpi terburuk yang pernah terjadi kepadanya. Manusia itu juga tidak berhenti, dia bahkan memperlihatkan wujud ketujuh Pangeran Dunia Bawah yang diyakini oleh manusia.

“Luci pasti menangis kalau dia melihat hal ini,” gumamnya.

Mewah dan suram. Dua kata itu tepat untuk menggambarkan tempat di mana mereka berada. Istana Dunia Bawah, manusia menyebutnya seperti itu. Istana tempat tinggal para iblis, dan tentunya, ketujuh Pangeran Dunia Bawah. Pangeran-pangeran yang mewakili tujuh dosa—yang manusia percaya adalah sumber dari seluruh dosa-dosa yang berkembang di dunia. Sombong, Serakah, Nafsu, Iri Hati, Rakus, Malas, dan Amarah semuanya berada di sana.

Namun sejauh mata memandang, tidak seorang pun dari mereka terlihat. Entah di mana ketujuh pangeran itu berada. Namun seisi istana berpencar untuk mencari mereka. Bahkan Belphegor yang biasanya hanya berada di dalam kamar tidak ada. Tidak ada yang tahu ke mana ketujuh pangeran, pilar dari Dunia Bawah itu pergi.

Hari itu, Dunia Bawah gempar sebab ketujuh pangeran mereka hilang entah ke mana. Sebenarnya, ke mana mereka semua menghilang?

Mereka pada akhirnya bertemu, bukan di tempat yang berkelas atau mahal. Mereka berdua sama-sama mahasiswa dengan keuangan yang tidak stabil. Alih-alih memilih tempat yang romantis, mereka memilih kafe yang tidak jauh letaknya dari kampus.

Jaehyun mengusap tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin. Dia tidak tahu kenapa dia bisa merasa segugup ini, dan dia tidak ingat kapan terakhir kali dia merasakan gugup itu. Mungkin karena di depannya duduk seorang Kim Doyoung yang sibuk mengaduk-aduk gelas kopinya dengan sedotan sementara matanya terdistraksi oleh kesibukan kota mereka di luar.

“Jadi, mau ngomongin apa?” Doyoung mengarahkan pandangannya tepat ke arah Jaehyun, menatap langsung mata Jaehyun. Tangannya masih belum lepas dari sedotan, masih asyik untuk mengaduk-aduk kopinya.

“Johnny once said,” kata Jaehyun pelan, “kalo dia mau ngeliat gua punya pacar. Nothing else. Dia enggak peduli pacar gua cewek atau cowok, dia cuma mau gua punya pacar. Awalnya, gua pikir, punya pacar dan harus jaga komitmen itu ribet, gua enggak suka yang ribet gitu. Also, gua nyaman dengan hubungan friends with benefit.”

Doyoung berhenti memainkan sedotannya. Dia memilih untuk bersandar pada kursinya dan melipat tangan. Menunggu ke arah mana Jaehyun akan berbicara. Dia banyak berbicara di saat-saat tertentu dan akan bersikap seperti pangeran tak tersentuh sesudahnya. Manusia yang aneh. “Terus intinya apa?” tanya Doyoung. Pada akhirnya, dia sendiri yang tidak sabaran.

“Gua mau punya komitmen sama lu.”

Tidak. Bukan itu yang diharapkan Doyoung pada awalnya. Dia memalingkan wajahnya, sebisa mungkin menyembunyikan ekspresinya meski sebenarnya Jaehyun masih dapat melihatnya. Doyoung merasa seharusnya dia membuat persiapan karena tahu Jaehyun sering mengatakan hal yang tiba-tiba dan membuat dirinya sulit untuk mengontrol diri.

“Sebentar. Gua bingung,” kata Doyoung, “dan gua ada beberapa pertnayaan yang harus lu jawab dulu.” Semua kejadian yang diingatnya berbaris dengan tidak rapi. Doyoung tidak tahu mana yang datang duluan dan mana yang terjadi di akhir. Dia berusaha sebisa mungkin merapikan pikirannya.

Okay. Lu boleh nanya dulu.”

“Lu inget kapan pertama kali kita deket?”

“Inget. Waktu ngurusin kremasinya Johnny. Terus kita deket lagi waktu Johnny tiba-tiba hidup lagi.”

“Lu paham maksudnya apa?”

“Gua paham, enggak sopan kan? Gua orangnya enggak sopan kan? Gua tahu. Gua tahu harusnya waktu sahabat gua meninggal gua tuh sedih, tapi gua malah suka sama orang. Sekarang, giliran gua yang nanya ya, Doyoung.”

Okay, go ahead.”

“Sahabat itu yang kepengen liat gua punya pacaran. Sekarang, gua harus gimana kalo orang yang gua suka itu lu?”

Doyoung terdiam, Jaehyun juga menjadi diam. Masing-masing dari mereka mengalihkan pandangan, tidak berani menatap satu sama lain. Lebih tepatnya, enggan. Doyoung tidak tahu harus menjawab apa sementara Jaehyun sudah kehabisan kata-katanya.

Cinta itu tidak sopan. Jaehyun tahu itu. Namun dia tetap tidak dapat menolaknya. Karena dia sendiri tidak dapat menolak datangnya—bahkan dia tidak menduganya. Jaehyun hanya membiarkan perasaan itu tumbuh sendiri dengan tidak sopannya.

Well, Jae….” Doyoung berusaha untuk menatap wajah Jaehyun, meskipun pada akhirnya dia menunduk. “Soal komitmennya, kenapa milih gua dari sekian banyak orang? Lu good looking dan pasti yang naksir banyak—“

Because when it comes to who is the lucky one that I have a crush on, the answer is you, Kim Doyoung.”

Doyoung tertawa kecil, dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Wajah Jaehyun di depannya terlihat sangat serius. Hal yang tidak dia pernah lihat sebelumnya. “Asal lu tau aja. Gua bawel—“

“Udah tahu.”

“Kalo gitu, okay.”

“Kita pacaran?”

Yes.”

Rasanya seperti sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka berada dalam dekapan satu sama lain. Ditemani deburan ombak dan angina yang berembus pelan. Di atas pasir yang basah, mereka berjalan sambil bergandeng tangan, tanpa kata, tanpa suara. Hanya tangan yang bertaut dan hati yang menyimpan sejumlah perasaan tak tersampaikan.

Mereka tidak tahu berapa lama lagi mereka akan tetap bisa seperti ini. Bergandengan tangan, berpelukan, tersenyum bersama, dan menghujani satu sama lain dengan kasih sayang. Andaikata hari ini adalah yang terakhir untuk mereka, mereka ingin menghabiskannya dengan baik sehingga nanti tidak tersisa penyesalan.

Meskipun pada akhirnya, berpisah memang akan menyakitkan.

I love you,” bisiknya pelan. “Yong, I love you. Aku sayang kamu.” Dia terus dan terus mengulangi kalimat yang sama tanpa bosan. Sesekali mencuri sebuah kecupan di bibir dan berlari dengan senyuman lebar di bibirnya.

Taeyong tidak menyesalinya, menghabiskan waktunya sekarang seperti ini sama sekali bukan penyesalan. Terhadap ombak yang berdebur pelan Taeyong berteriak, “Taeyong sayang Johnny!” Tidak ada rasa takut dalam dirinya. Tidak ada yang lain yang dipikirkannya, hanya waktu yang dihabiskan mereka berdua. Hanya saat ini.

Kalau denganmu, tidak apa-apa.

Meskipun pada akhirnya tetap akan berpisah, untuk sekarang, mereka tidak ingin memikirkannya. Johnny tidak memikirkan apa pun saat mengangkat ponselnya dan mengambil banyak foto Taeyong secara spontan. Johnny tidak memikirkan apa pun saat memeluk tubuh Taeyong erat dan mengatakan aku mencintaimu berulang kali. Dia tidak akan lelah untuk membisikkan kalimat itu, bahkan jika mulutnya berbusa sekali pun.

“Aku enggak tahu kenapa aku hidup lagi. Aku juga enggak tahu kenapa aku enggak tahu,” katanya pelan, “tapi aku tahu kalo aku ada di sini buat kamu.” Johnny menangkup kedua pipi Taeyong dan menurutnya, Taeyong terlihat sangat menggemaskan dengan begitu. “Maaf, aku enggak bisa lama-lama sama kamu. Tapi aku enggak nyesel kalo aku harus hidup lagi buat kamu walau cuma sebentar.”

Mereka berdua terdiam tiba-tiba. Perkataan Johnny seperti déjà vu. Seperti pernah mereka dengar sebelumnya tapi mereka tidak ingat di mana. Mereka hanya tahu mereka pernah mendengarnya.

“Kalo hp aku nanti enggak hilang sama aku, dilihat ya isinya.”

“Ada apa?”

“Ada yang perlu kamu tahu.”

Johnny tidak melanjutkannya, pun Taeyong tidak menanyakannya lagi. Taeyong lebih memilih menenggelamkan dirinya ke dalam pelukan Johnny, menguburkan wajahnya ke dada Johnny. Menyembunyikan wajahnya yang hendak menangis. Sekuat apa pun dia menahannya.

“Aku mau sama kamu,” ujar Taeyong pelan. “Tapi aku tahu, bukan tempatku sama kamu.”

Benar. Memang seperti itu. Bahkan tidak seharusnya dia di sini. Dunia itu memang sedikit kejam. Terutama untuk Taeyong dan hatinya yang lembut. “Yong,” panggil Johnny dengan lembut, “may I kiss your lips?” Pertanyaan itu dijawab dengan anggukan kecil.

Lagi, mereka tenggelam dalam satu sama lain dengan perasaan yang mereka bawa. Bercampur semuanya menjadi satu. Sampai mereka tidak tahu lagi apa yang sedang mereka utarakan satu sama lain. Semua, semua yang bisa mereka sampaikan dengan sentuhan singkat itu yang berakhir dengan bisikan pelan dengan suara serak, “I love you. I always do.”

Tidak ada yang terjadi, bahkan ketika mereka sampai di apartemen Johnny, duduk mengistirahatkan tubuh yang lelah. Johnny memegang ponselnya, mengetik entah apa pun itu. Sementara Taeyong hanya menyamankan dirinya yang bersandar pada Johnny—sebelum dia tidak bisa melakukannya lagi.

“John,” panggil Taeyong.

“Iya, Sayang?”

“Ini date terbaik yang pernah kita lakuin dari awal pacaran,” katanya, “makasih. Kamu emang yang terbaik. Aku enggak pernah nyesel jadi pacar kamu.”

Johnny tersenyum. Dia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Hany sedikit yang terlintas di kepalanya. “Maaf, waktu itu aku pergi enggak pamitan sama kamu. Harusnya, aku pamit—“

“Ah.”

Mereka berdua berhenti berbicara, kemudian senyuman yang sama pamitnya muncul di wajah mereka. Itu. Itu dia. Itu yang mereka lupakan. Mammon, Iblis itu yang memberitahu mereka, yang membuat mereka melupakan, yang membuat mereka harus berjuang bahkan untuk berpisah.

“Aku pamit, ya?”

Taeyong mengangguk. Tapi dia tidak bisa menyembunyikan ekspresinya. Air mata yang sedari tadi di tahannya perlahan turun. Untuk kedua kalinya, mereka berpisah. Kali ini, perpisahan mereka sungguhan.

“Jangan nangis gitu, sini, peluk aku dulu.”

“Gimana … aku enggak nangis?”

“Iya…. Thank you for everything, Yong. I love you.”

I love you.”

“Lu suka sama cowok enggak?”

Pertanyaan itu jelas tidak sopan. Jaehyun tahu itu. Tapi dia tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakannya. Bukankah jika dia ingin perasaannya berbalas dia harus memastikan hal itu? Karena itu dia menanyakannya. Meskipun sekarang ketika diingat lagi dia merasa sangat malu.

Sampai hari ini, Jaehyun tidak tahu jawabannya karena Doyoung menolak untuk menjawab—sesuai dugaannya. Namun reaksi Doyoung yang kaget dengan wajah yang memerah waktu itu setidaknya cukup memberi jawaban kepadanya. Meskipun itu tidak pasti.

Sekarang, selain memikirkan pertanyaannya yang tidak sopan, Jaehyun juga memikirkan tentang permintaan Johnny. Haruskah itu dikabulkan? Seharusnya itu dikabulkan. Bagaimana pun, itu terdengar seperti permintaan terakhir alih-alih wasiat.

Memikirkannya saja membuat kepalanya sakit.

“Kalo gua diterima sama Doyoung, urusannya bakal jadi cepet.”

Tapi mungkin Doyoung memikirkan hal lain yang dia sendiri tidak tahu. Bagaimana pun itu, situasi mereka tidak tepat. Saat-saat seperti ini dan waktu yang akan datang nanti, dia akan kembali melihat Taeyong menangis. Rasanya salah sekali jika tiba-tiba dia dan Doyoung justru berpacaran.

“Nyusahin banget Johnny.”

Seo Donghyuck, kehidupannya sedikit berbeda dengan anak pada umumnya. Namun tidak mengurangi dirinya sebagai anak-anak. Donghyuck masih seorang anak biasa yang senang bermain. Beruntung sosok dirinya tidak pernah disorot kamera, karena itu dia masih bisa menikmati masa kecilnya dengan bermain tanpa diawasi kamera.

Namun selayaknya anak-anak, Donghyuck ingin diperhatikan oleh orang tuanya. Donghyuck ingin menghabiskan waktu dengan orang tuanya. Sayang sekali, satu-satunya orang tua yang dimiliki Donghyuck begitu sibuk sehingga tidak memiliki waktu untuknya. Keinginan Donghyuck sederhana, dia ingin bermain dengan orang tuanya. Setidaknya sekali saja.

Namun Seo Youngho terlalu sibuk. Seo Youngho, atau dalam dunia entertaiment dikenal dengan nama Johnny Suh. Akhir-akhir ini dia lebih sering muncul di televisi yang jelas menyita waktunya dengan anaknya. Namun dia tidak ingin begitu. Terkadang dia harus pergi sebelum matahari terbit dan pulang setelah matahari terbenam—dan malam ini, dia pulang larut lagi.

Johnny membuka pintu kamar Donghyuck pelan-pelan, mengintip apakah anaknya sudah tertidur atau belum. Johnny tersenyum begitu menemukan Donghyuck yang sudah tertidur. Namun senyumannya itu tidak bertahan lama, semuanya berubah menjadi tidak menyenangkan. “Maaf ya, hari ini Papa kerjanya kelamaan. Kamu jadi enggak ketemu Papa. Good night kesayangan Papa, have a nice dream.”

Sudah makanan sehari-hari bagi Donghyuck untuk diantar pamannya, sementara siang nanti sepulang sekolah dia akan bersama seorang pengasuh. Namun yang tidak biasa pagi ini adalah Donghyuck melihat papanya ada di rumah, sedang duduk sambil meminum kopi panasnya dengan elegan. Sudah cukup lama Donghyuck tidak melihat papanya.

“Papa….”

“Morning, Hyuck.”

Johnny tiba-tiba terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus dikatakan kepada Donghyuck. Lidahnya kelu sementara Donghyuck masih menatapnya dengan tatapan yang aneh. Seharusnya tidak aneh untuk melihat ayah sendiri di rumah, namun mungkin kasus Donghyuck berbeda. Dia hampir tidak pernah melihat Johnny di rumah.

Pada akhirnya Donghyuck sama sekali tidak bicara dengan Johnny dan Johnny menjadi terlalu canggung dengan Donghyuck. Johnny merasa bahwa itu adalah hal yang salah. Tidak seharusnya ayah dan anak merasa canggung satu sama lain. Tapi mungkin, semua itu adalah salanya sendiri yang tidak memiliki banyak waktu untuk Donghyuck.

“Ah, Hyuck, Papa beli mainan—“

“Hyuck enggak mau mainan.”

Okay. Kalo gitu Hyuck mau—“

“Enggak.”

Okay.”

Sekarang, Johnny tidak tahu harus bagaimana.

Love language atau kalau kita terjemahkan secara harfiah artinya bahasa cinta, apa sih? Love language itu adalah bagaimana kita mengekspresikan cinta kita dan bagaimana preferensi kita terhadap ekspresi cinta yang akan kita terima. Menurut bukunya Chapman, love language itu ada 5, yaitu:

  1. Words of affirmation
  2. Quality time
  3. Acts of service
  4. Receiving gifts
  5. Physical touches

Love language setiap orang itu berbeda-beda ya, makanya kita harus belajar bagaimana orang-orang, terutama orang di sekitar kita, mengekspresikan cinta mereka. Orang di sekitar kita tuh siapa aja sih? Orang tua kita, saudara kita, anak kita, pasangan kita, dll. Kalo jomblo gimana? Enggak apa-apa, sabar dulu ya. Jomblo juga bisa mempelajari love language kok.

Ini pertama kalinya mereka berbicara. Tapi Jaehyun tidak tahu kenapa mereka harus berkumpul di tempatnya—salahkan Doyoung. Doyoung yang memaksa mereka untuk berkumpul memecahkan semuanya. Meskipun tidak seorang di antara mereka paham mengenai situasi. Terutama Taeyong.

Tidak sedikit pun dia ingat apa yang terjadi. Taeyong hanya mengingat kalau dia ada di tempat Johnny, dan tiba-tiba Johnny terlihat seperti bukan Johnny. Taeyong tidak tahu bagaimana menjelaskannya dengan baik, hanya saja, dia tahu itu bukan Johnny.

“Enggak. Serius. Waktu ketemu pertama kali tuh gua masih inget banget kalo dia beneran Johnny. Utuh. Sehat. Bener-bener gua pikir kayak, gila pacar gua hidup lagi.” Taeyong tiba-tiba berhenti, otaknya masih tidak bisa mencerna apa yang terjadi sepenuhnya. “Terus waktu gua tiba-tiba lihat dia lagi, gua enggak paham, Johnny keliatan lain. Maksud gua, gua tahu itu Johnny. Cuman ada yang beda. Ada sesuatu di dalem Johnny dan gua enggak tahu itu apaan. Gua pengen … Johnny balik lagi. Bisa?”

Doyoung menghela napasnya, tidak habis pikir. Sementara Jaehyun datang dari dapurnya membawa es krim untuk mereka semua. Ten, yang juga ada di sana tampak membuang pandangannya.

“Well….” Ten menghela napasnya, panjang. Dia memang tidak mengenal Doyoung dan Jaehyun pada awalnya dan tak ingin memasukkan kedua orang itu dalam daftar temannya. Tapi bagaimana pun, Taeyong adalah temannya. “Gua juga enggak tahu siapa yang ada di dalem Johnny. Tapi gua tahu satu hal. Dia, salah satu dari pangeran neraka. Entah itu Lucifer, Mammon, Leviathan, Amon, Asmodeus, Beelzebub, atau Belphegor. Intinya, salah satu dari mereka bukan sesuatu yang bisa kita lawan dengan gampang. Tapi….”

“Tapi apa?” Doyoung memotong dengan cepat.

Jaehyun menepuk pundak Doyoung dan berbisik pelan, “Sabar. Denger dulu.”

“Mereka kan 7 dosa besar, kita bisa lawan dengan 7 kebaikan. Yang jadi masalah tuh, kita manusia.” Ten, lagi-lagi, menghela napasnya. “Sedikit atau banyak, kita punya dosa. Itu yang jadi masalah. Kalo ada manusia yang bener-bener murni, mungkin dia bisa ngebalikin Johnny.”

“Wait. Maksudlu ngebalikin Johnny gimana?” Taeyong berhenti memakan es krimnya. Dia menatap Ten dengan matanya yang besar itu.

“Balik ke alam baka.” Jaehyun langsung menjawab. Bukannya dia tidak peduli dengan perasaan Taeyong, hanya saja dia tidak bisa menutupi kenyataan. Pada akhirnya memang harus begitu dan Taeyong harus bisa menerimanya.

Taeyong terdiam untuk beberapa saat. Tidak mampu untuk mengeluarkan kalimat apa pun. Doyoung mengelus-elus punggungnya dengan pelan sambil berkata, “Yong, pada dasarnya Johnny udah meninggal dan kita harus terima itu. Gimana pun tempat Johnny bukan di sini. Dia harus balik. Harus.”

“Tapi—“

“Enggak bisa.” Ten menyela kalimat Taeyong. “Lu boleh mau dia ada di sini. Tapi gua yakin, Pangeran Neraka sama Johnny pasti bikin perjanjian dan itu ada batas waktunya. Itu ada taruhannya. Gua enggak paham mereka taruhan apa, tapi, mau kita murniin atau nunggu waktu berlalu, Johnny tetep bakal balik kea lam baka.”

Taeyong menaruh es krimnya. Dia menekuk dan memeluk kakinya, lalu membenamkan kepalanya di lututnya. “Gua enggak bisa egois minta Johnny selalu di sini ya?”

“Kalo lu tahan takut,” kata Ten, “lu bisa nge-date sama dia sebelum dia balik ke alamnya. Pangeran Neraka serem sih. Tapi ngeliat lu dibalikin gini, gua rasa Pangeran Neraka enggak ada agenda buat nyakitin lu.”

“Gua bisa gitu, Ten?”

“Bisa, kalo lu mau.”