kr-han

Penyelesaiannya mudah banget ya? Tapi apakah pada kehidupan nyata semudah itu? Jawabannya adalah TIDAK. Emang pada dasarnya, teori lebih gampang dari praktek.

Aku pernah menghadapi anak yang tantrum? Pernah. Memang enggak mudah. Perlu pembiasaan, apalagi anak yang udah terlanjur sering tantrum. Kalo kata Ummi-ku (yang udah pengalaman punya anak), supaya anak enggak sampe mengembangkan tantrum manipulatif-nya ini, yaitu ya jangan nurutin kemauan anak waktu lagi nangis—waktu lagi tantrum.

Kalo yang keseringan tantrum dan mulai di-terapi untuk tidak tantrum tuh ya butuh waktu lama karena durasi tantrum pasti akan berkurang sedikit demi sedikit. Kuncinya sabar.

Di kasusnya Kun, aku melibatkan Ibu Guru lagi. Selain karena Ibu Guru emang tokoh utama cerita kita, guru memang memiliki peran penting di kehidupan anak. Beberapa anak, cenderung untuk lebih menuruti gurunya dibandingkan dengan orang tuanya sendiri.

Ada ya yang seperti itu? Ada.

Waktu aku kerja di daycare dulu, ada orang tua yang curhat ke aku kalo anaknya di rumah susah diatur, apalagi pas lagi sakit minum obatnya susah. Sampe nanya tips trik dari aku biar anaknya nurut gimana. Padahal aku enggak punya tips trik apa pun. Waktu di daycare itu aku tuh enggak punya landasan teori sama sekali. Jadi selama kerja aku selalu nanya sama Ummi-ku yang menurutku style parenting Ummi ini gak otoriter, lebih ke arah demokratis dan Ummi memosisikan dirinya sebagai teman anaknya. Aku cuma ngelakuin itu sih. Aku sering ngobrol sama anak aja biar paham karakteristik masing-masing anak sama sering-sering baca artikel soal parenting.

Oh, balik ke tantrum lagi. Meskipun anak udah terlanjur sering tantrum, perlahan tapi pasti kebiasaan itu bisa hilang kok. Pelan-pelan. Semua itu kuncinya dari style parenting orang tua. Itu yang paling berpengaruh sama perkembangan karakter anak.

Seperti yang dijanjikan, Kun memang mengajak Yangyang di akhir pekan. Hal seperti ini selalu mereka lakukan saat Kun mendapatkan jatah libur. Menurutnya, menghabiskan waktu dengan anaknya adalah sesuatu yang berharga dan dia tidak ingin mengacaukannya dengan sebuah tangisan. Namun kali ini, Kun meneguhkan hatinya untuk tidak termakan tangisan.

Kun sudah meneguhkan hatinya….

Tapi dia tetap tidak tahan begitu mendengar tangisan dari Yangyang. Lagi. Kali ini karena dia melihat mainan pistol air yang sepertinya adalah model terbaru. Kun menarik napasnya dalam-dalam, berusaha untuk menahan dirinya sendiri sementara Yangyang sudah mulai menangis sambil beteriak.


Yangyang? Halo? Yangyang? Bisa denger suara Ibu?

“Kenapa … ada … suara … Bu Guru?” Yangyang bertanya dengan air mata yang masih menggenang di pelupuk matanya, pipi sampai telinganya memerah karena tangis, dan tentu saja dia cemberut.

Kun menghela napasnya dan berkata, “Soalnya Yangyang enggak mau dengerin Papa. Jadi, Papa telepon Ibu Guru.”

“Yangyang bisa denger Ibu?”

“Bisa….”

Yangyang nangis ya? Waduh, kalo sambil nangis Ibu susah nih dengernya. Yangyang, bisa denger suara Ibu?

Yangyang menghela napasnya dan akhirnya berkata, “Bisa Ibu.”

Nah, gitu dong. Kan jadinya Ibu bisa denger. Yangyang kenapa nangis?

“Yangyang mau mainan baru….”

Yangyang, Nak, Yangyang enggak usah nangis ya. Yangyang bisa bilang ke Papa kalo Yangyang mau mainan baru. Tapi, enggak semua yang Yangyang mau harus diturutin sekarang juga. Ibu mau tanya, mainan Yangyang ada banyak apa sedikit?

“Ada banyak Ibu….”

Oke, ada banyak ya. Berarti belom waktunya Yangyang beli mainan baru. Tapi nanti, kalo Yangyang butuh, Papa pasti beliin Yangyang mainan baru kok. Yangyang anak pinter kan? Anak pinter paham kan?

“Iya Ibu…. Yangyang anak pinter….”

“_Anak pinter kalo mau apa-apa bilangnya yang baik-baik sama Papa. Coba sekarang Yangyang coba ngomong baik-baik sama Papa.”

Kun yang daritadi hanya mendengarkan menunggu kalimat yang akan dikeluarkan oleh Yangyang. Dia tidak tahu akan seperti apa. Jantungnya berdebar dengan kencang demi menunggu kalimat yang akan datang dari Yangyang.

“Papa, Yangyang mau mainan pistol yang itu. Boleh enggak?”

Seulas senyuman bangga muncul di wajah Kun. Rasanya dia ingin menangis saat itu juga. “Nanti Papa beliin ya. Tapi enggak sekarang, enggak apa-apa kan?” tanya Kun. Dia sendiri tidak yakin kalau jawabannya akan diterima baik oleh Yangyang.

“Tapi—“

Yangyang, dibelinya nanti ya. Papa Yangyang enggak bakal bohong. Pasti nanti dibeliin. Pasti. Nanti tapi. Bukan sekarang.

“Iya deh….”

Kun membisikkan terima kasih sebelum menutup telepon. Hari ini, lagi-lagi dia dibantu oleh Ibu Guru dan rasanya kata terima kasih saja tidak cukup untuk mengungkapkan perasaannya. Kun mengusak kepala Yangyang dengan lembut. “Laper enggak?” tanyanya, yang kemudian dijawab dengan anggukan kecil—mungkin Yangyang masih marah. “Yangyang kecewa ya sama Papa? Biasanya langsung Papa turutin, sekarang enggak. Kalo Yangyang kecewa sama Papa, enggak apa-apa. Tapi sekarang, makan dulu ya?”

Yangyang mengangguk kecil dan berkata pelan, “Iya….”

Yangyang memang membawa mainan ke kelasnya, seperti apa yang dikatakan Kun tadi pagi. Sebenarnya, bukan hanya Yangyang saja yang membawa mainan ke kelas. Sudah banyak anak-anak yang seperti itu. Tapi, peraturan tetaplah peraturan. Tidak ada yang bermain dengan mainannya sendiri di kelas.

“Yangyang.” Ibu Guru datang untuk berbicara dengan Yangyang, tentunya dengan berjongkok demi menyejajarkan wajah mereka sehingga bisa melihat mata satu sama lain. “Hari ini, Yangyang bawa mainan ke sekolah ya?” tanya Ibu Guru.

“Iya.” Yangyang kemudian sibuk membuka tasnya. Kemudian menunjukkan mainannya dengan bangga kepada Ibu Guru. “Keren kan? Papa yang beliin,” katanya kemudian. Dia jelas terlihat sangat bangga dan terlihat bahagia dengan mainan yang terlihat baru itu.

Yangyang beruntung karena memiliki orang tua yang mau memenuhi semua keinginannya, begitu pikir Ibu Guru. Tapi itu juga tidak sepenuhnya baik. “Yangyang, mainannya boleh Ibu simpen dulu enggak?” tanya Ibu Guru pelan. “Yangyang boleh bawa mainan, Ibu enggak ngelarang. Tapi waktunya belajar mainannya harus disimpen.”

Tidaka da jawaban dari Yangyang, melainkan wajah cemberut yang tidak senang dengan fakta yang ada. Bukannya Yangyang tidak tahu. Yangyang tahu. Dia sudah melihat beberapa kali mainan teman-temannya disimpan oleh Ibu Guru dan tidak boleh dimainkan selama kegiatan. “Tapi, Bu….” Yangyang berusaha menyangkal, tapi dia tidak menemukan alasan yang tepat.

“Yangyang bawa mainan?” Pertanyaan itu muncul dari Donghyuck, anak yang dekat dengan Yangyang. Tidak, Donghyuck dekat dengan siapa saja dan adalah anak yang periang. “Wah, nanti disimpen Bu Guru dong? Iya ya Bu?”

“Yangyang … enggak … mau….”

Perasaan Ibu Guru tidak enak. Sepertinya, Yangyang akan mulai untuk ngambek. Yangyang sudah menolak kontak mata dengan Ibu Guru. “Yangyang marah ya sama Ibu? Soalnya Ibu mau nyimpen mainan Yangyang ya? Iya, Ibu paham. Yangyang boleh marah.”

Yangyang kembali melakukan kontak mata dengan Ibu Guru dan berkata, “Yangyang boleh marah, Bu?”

“Iya, boleh.” Ibu Guru tersenyum kecil dengan jawaban itu. “Tapi, kalo Yangyang maunya main mainan sendiri, nanti enggak bisa main sama temen-temen lho. Yangyang mau main sendirian atau main sama temen-temen?”

“Sama temen-temen….”

“Kalo gitu, mainannya Ibu simpen ya? Boleh?”

“Ya … udah….”

“Yangyang, mukanya jelek.” Donghyuck tiba-tiba berkata tanpa melihat kondisi. “Enggak apa-apa, kana da Hyuck. Main sama Hyuck aja. Yuk.” Tapi, rasanya perkataan Donghyuck yang membuat Yangyang tidak merasa terlalu sedih.

“Ayo.”

Apa itu tantrum? Tantrum adalah kondisi dimana anak meluapkan emosinya secara berlebihan. Luapan emosi pada anak ini bisa berbentuk amarah atau tingkah laku yang agresif. Namun, perlu dipahami tantrum apa yang dialami anak. Ada beberapa jenis-jenis tantrum, di antaranya adalah:

  1. Tantrum Manipulatif, tantrum ini terjadi ketika anak menginginkan sesuatu dan akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
  2. Tantrum Frustasi, tantrum ini terjadi karena anak tidak paham ledakan emosi di dalam dirinya sehingga anak tidak tahu bagaimana cara menyalurkan emosinya yang benar seperti apa.
  3. Tantrum Penolakan, tantrum ini terjadi ketika anak menolak melakukan sesautu.

Saat tantrum, anak dapat melakukan apa saja. Dalam konteks ini, anak dapat marah, berteriak, menabrakkan dirinya ke orang lain atau benda, menjambak rambutnya sendiri, dan lain-lain.

Tantrum sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Semua anak pasti mengalami tantrum, namun tanggapan orang tua terhadap tantrum anak akan berpengaruh pada tantrum anak di masa depan. Apakah lebih baik, atau lebih buruk.

Apa itu tantrum? Tantrum adalah kondisi dimana anak meluapkan emosinya secara berlebihan. Luapan emosi pada anak ini bisa berbentuk amarah atau tingkah laku yang agresif. Namun, perlu dipahami tantrum apa yang dialami anak. Ada beberapa jenis-jenis tantrum, di antaranya adalah:

  1. Tantrum Manipulatif, tantrum ini terjadi ketika anak menginginkan sesuatu dan akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
  2. Tantrum Frustasi, tantrum ini terjadi karena anak tidak paham ledakan emosi di dalam dirinya sehingga anak tidak tahu bagaimana cara menyalurkan emosinya yang benar seperti apa.
  3. Tantrum Penolakan, tantrum ini terjadi ketika anak menolak melakukan sesautu.

Saat tantrum, anak dapat melakukan apa saja. Dalam konteks ini, anak dapat marah, berteriak, menabrakkan dirinya ke orang lain atau benda, menjambak rambutnya sendiri, dan lain-lain.

Tantrum sangat dipengaruhi oleh pola asuh orang tua. Semua anak pasti mengalami tantrum, namun tanggapan orang tua terhadap tantrum anak akan berpengaruh pada tantrum anak di masa depan. Apakah lebih baik, atau lebih buruk.

Ini bukan tentang siapa-siapa, hanya seorang guru biasa yang kebetulan bertemu dengan anak-anak dan orang tua mereka yang istimewa. Bukan artinya anak lain tidak istimewa, bukan seperti itu. Hanya saja, anak-anak dan orang tua mereka ini benar-benar istimewa.

Ibu Guru tidak menyangka kalau di kelasnya tahun ini, dia harus bertemu dengan empat orang anak yang keempatnya berbeda kewarganegaraan dan mereka semua anak dari orang tua tunggal. Mereka berempat, sama-sama hanya memiliki ayah mereka di sisi. Tidak ada ibu.

Empat anak istimewa yang mau tidak mau Ibu Guru menaruh perhatian lebih kepada mereka. Karena, kondisi lingkungan tempat tinggal anak akan berpengaruh terhadap tugas perkembangan mereka. Setiap anak juga perlu stimulasi yang berbeda untuk tumbuh, tidak bisa dipukul rata. Pun, perkembangan setiap anak jalannya berbeda-beda. Memang pada dasarnya, Ibu Guru harus memikirkan bagaimana mendidik satu per satu anak dengan baik.

Seo Donghyuck, ayahnya adalah seorang aktor terkenal, Seo Youngho. Kebetulan, Ibu Guru adalah salah satu penggemar drama yang diperankan oleh Seo Youngho, jadi Ibu Guru kaget begitu tahu kalau Seo Youngho-lah yang menjadi wali murid dari muridnya. Kalau soal Seo Youngho punya anak, rasanya seluruh warga negara sudah tahu itu.

Jung Jaemin, ayahnya adalah seorang arsitek yang bekerja di rumah. Namanya Jung Jaehyun. Kehidupan Jaemin tidak terlihat kurang. Jaemin juga adalah anak yang baik, yang memiliki simpati dan empati yang tinggi terhadap apa yang ada di sekitarnya. Hal-hal kecil seperti ini pasti tumbuh dari kebiasaan-kebiasaan kecil di rumahnya yang entah apa itu.

Nakamoto Shotaro, ayahnya adalah seorang hairdresser terkenal yang juga bertanggung jawab atas tatanan rambut beberapa entertainer. Nakamoto Yuta namanya, yang terkadang tidak memiliki waktu untuk anaknya, terkadang juga ada—bahkan sangat luang. Namun Shotaro terlampau pendiam dan pemalu, bahkan untuk berbicara dengan ayahnya.

Qian Yangyang, ayahnya bekerja di Bandara, sebagai apanya, Ibu Guru tidak terlalu mengerti. Nama ayahnya adalah Qian Kun, ayah yang siap memberikan apa saja untuk anaknya. Tidak, sejauh ini tidak ada yang aneh dari keluarga kecil mereka. Sama sekali tidak.

Donghyuck, Jaemin, Shotaro, dan Yangyang adalah anak-anak yang sering dijemput paling belakangan, jadi Ibu Guru sering memiliki waktu lebih untuk berbicara dengan anak-anak. Meskipun sekedar bertanya bagaimana mereka di rumah.

Alih-alih menegangkan, menggemaskan, cerita ini justru akan sangat membosankan. Karena Ibu Guru akan membawa kita menyelami kehidupan keempat anak itu dan menyelesaikan masalah yang timbul satu per satu. Tentunya, dengan peran ayah-ayah mereka juga.

written by Khairunnisa Han gen; self-insert/Na Jaemin

song recommendation: Kenshi Yonezu – Lemon

Namanya Na Jaemin dan sepertinya tidak ada yang istimewa dari nama itu. Tidak, mungkin bagi orang lain. Namun bagimu, Na Jaemin tidak pernah tidak spesial. Tidak akan ada yang menyangkal kalau Na Jaemin disebut-sebut sebagai orang yang baik. Namun, jika disebut sebagai orang yang heboh, beberapa orang akan mengatakan sebaliknya—Na Jaemin itu pendiam. Dia tidak aneh, hanya saja Na Jaemin adalah Na Jaemin yang hidup dengan cara yang disukainya, dan seorang pun tak dapat mengubah fakta itu.

Jaemin tidak mendominasi, tidak di mana pun. Namun bagimu masih sama. Tidak, mungkin tidak seperti itu lagi. Kamu hanya tidak tahu, bagaimana harus menyikapinya. Kenyataannya, kamu dapat melihat Jaemin jauh di sana, tertawa bersama kelompoknya. Sementara dirimu hanya menunduk, merenungi seluruh kesalahanmu.

“Yang kayak gini enggak bisa diulang.” Masih segar dalam ingatanmu apa yang Jaemin pernah dikatakan. Kamu tidak mengerti maksud dari perkataan Jaemin, dan Jaemin mampu membaca ekspresi wajahmu dengan tepat. “Hari ini kita bahagia kan? Kebahagiaan hari ini, apa yang kita laluin hari ini, semuanya selesai hari ini. Kita enggak bisa ulang. Semuanya cuma bakal jadi kenangan. Kita bisa ngulang kegiatan yang sama, tapi itu bakal jadi memori yang berbeda. Makanya, setiap hari itu istimewa dan kita bisa bahagia dengan cara yang berbeda setiap harinya. Gimana sekarang? Paham?”

Kamu tidak pernah tahu apa kalimat yang tepat untuk membalas ceramah panjang lebar Jaemin. Kamu juga tidak pernah bisa mengerti bagaimana Jaemin berpikir, semuanya berbeda dengan dirimu. Bagimu, Jaemin begitu istimewa dengan caranya sendiri.

“Susah ya? Butuh bantuan?”

“Berat ya? Iya ya, hidup itu berat ya.” Jaemin selalu ada di sana, di saat-saat terberat dalam hidupmu, memberi usakan lembut di kepalamu sambil berkata kalau dirimu sudah bekerja begitu keras. Dia juga akan meminjamkan bahunya untukmu bersandar. “Kadang-kadang, mungkin, bukan hidup yang enggak adil. Tapi karena kita punya sudut pandang yang beda aja. Tapi kalo sekarang kamu mau nangis, sini. Sini, aku temenin sampe kamu selesai.”

Jaemin selalu baik. Jaemin tidak pernah mengecewakan. Sekali pun tidak. Tapi kamu tidak ingat apa pun. Tidak sedikit pun tentang mengapa kalian bertengkar begitu hebat. Berteriak ke wajah satu sama lain. Tidakkah kalian saat itu terlalu lelah? Tidak tahu—kamu dan Jaemin tidak tahu jawabannya. Kalian hanya tahu hari itu kalian bertengkar dan kalimat terakhir yang kamu ucapkan pada Jaemin saat itu adalah, “Aku pikir, kita udahan aja….”

“Kalo kamu maunya begitu, kita udahan.” Jaemin membalas dengan suara yang serak. Kamu tidak yakin apakah suara Jaemin serak karena berteriak, atau karena dia menahan tangisannya. “Kita … udahan….” Jaemin pergi setelah berkata demikian. Meninggalkan luka yang sama.

Kalian tidak tahu kenapa kalian melakukannya jika kalian sama-sama tersakiti setelahnya.

Kamu tidak ingat kapan terakhir kali kamu berbicara dengan Jaemin, atau bahkan menampakkan dirimu di depan Jaemin. Kamu begitu menghindari hal0hal ang memungkinkan dirimu merasakan sakit dan mungkin membuat Jaemin sama atau lebih sakit dari dirimu.

Meski kalian tidak mengerti mengapa kalian berpisah, namun kenyataannya memang seperti itu. kalian sudah tidak lagi bersama dan tidak ada alasan untuk terus bersama lagi. Seberapa pun ingin kalian ingin bersama. Luka yang sudah terlanjur ada, tidak mungkin hilang begitu saja. Hubungan yang sudah putus, meskipun dijalin kembali, tetap saja aka nada yang berbeda. Tidak akan semanis yang pertama. Itulah mengapa hubungan antara dua insan sangat sulit untuk dijalin.

Kamu tidak pernah tahu apakah Jaemin merasakan apa yang kamu rasakan. Seandainya pun begitu, kamu berharap bahwa Jaemin melupakan hadirmu di dunia ini. Jika kamu hanya akan menjadi beban bagi Jaemin, bukankah lebih baik jika Jaemin melupakanmu?

Tapi kamu pun tidak dapat memungkiri perasaanmu, bahwa rasa sukamu terhadap Jaemin tidak pernah berubah. Sedikit pun tidak. Na Jaemin bagimu sekarang, masih sama seperti Na Jaemin bagimu dulu. Masih bersinar paling indah.

.

.

.

Fin

“Ibu Guru, Ibu Guru, kenapa ya Papa kerja terus? Hyuck tuh, mau main sama Papa.” Donghyuck tiba-tiba bertanya, tepat saat semua teman-temannya sudah pulang, dan dia masih menunggu jemputannya.

Ibu Guru tersenyum kecil, berpikir bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikan pada Donghyuck.

Tetapi tepat sebelum Ibu Guru mengeluarkan jawabannya, Donghyuck bertanya lagi, “Papa sayang sama Hyuck enggak ya Bu?”

“Papa Hyuck pasti sayang banget sama Hyuck….”

“Kalo Papa sayang sama Hyuck, kenapa Papa enggak pernah jemput Hyuck kayak papanya temen-temen?”

written by Khairunnisa Han gen; self-insert/Mark Lee

song recommendation: keshi – us

Sibuk, alasan klasik yang membuat Mark tidak menghubungimu dan kamu yang juga tidak berani membuka pembicaraan. Perasaan itu berat, karena menurutmu Mark butuh istirahat. Namun kamu sendiri tidak ingin terus-menerus penasaran dengan kabar Mark.

Sekali dua, Mark akan meneleponmu untuk bertanya kabar dengan suaranya yang manis. Mark tidak membuat-buat suara manis itu. Kamu tahu, karena Mark memang berbicara seperti itu secara natural—dan itu salah satu yang kamu sukai dari Mark. Suaranya yang manis, tutur katanya yang lembut, dan tingkah lakunya yang menggemaskan. Tidak ada kekasih seperti Mark di dunia ini.

Hanya Mark seorang dan kamu merasa beruntung dengan itu.

Sekarang tidak. Dinding bernama sibuk begitu tebal menghalangi dan kamu ingin menembusnya. Tapi bagaimana? Kamu tidak yakin kamu memiliki hak untuk itu. Kamu ingin bertemu dengan Mark dan mengatakan semua yang mengganjal di dalam hatimu. Kamu juga ingin tahu perasaan Mark terhadapmu, masihkah sama atau sudah tidak lagi?

Pada dasarnya, memang memiliki hubungan itu berat.

Can I go to your place? I miss you.”

Kamu tidak dapat menolaknya. Jadi kamu membiarkan Mark bertandang ke tempatmu. Masuk, menyapu ruangan dengan matanya, dan memberikanmu sebuah senyuman yang teramat manis.

Its been a long time, huh?” tanyamu padanya, canggung. Kamu tidak tahu kenapa kamu merasa canggung, mungkin karena Mark yang memulainya duluan—Mark terlihat canggung di dekatmu.

Kalian terdiam untuk beberapa saat. Hanya menyesap cokelat panas yang kamu buat beberapa saat lalu. Tidak banyak bicara. Televisi menyala, menayangkan sebuah drama, namun itu hanya sebagai pengisi di antara kesunyian yang kalian buat sendiri.

I bet, you are too busy lately. Seems like everything just fine.”

Yeah, I guess.” Mark menjawab singkat, kemudian tersenyum lagi. “Sorry, for not keeping in touch with you.”

Its okay. Guess Im not the one….” Kamu tidak menyelesaikan kalimatmu. Tidak tahu harus mengatakan apa, apalagi di depan Mark langsung. “Im done with you. Lets break up.”

.

.

.

Fin

written by Khairunnisa Han m/m; Lee Taeyong, Johnny Suh ; Kim Doyoung hurt/comfort

.

.

.

Taeyong adalah orang yang sederhana, bahkan prinsip kebahagiaannya juga begitu sederhana. Dia mudah untuk bahagia. Hanya melihat temannya bahagia, dia akan ikut bersorak bahagia untuk temannya. Taeyong selalu berdoa supaya orang-orang di sekitarnya, termasuk anjing peliharaannya selalu diliputi kebahagiaan supaya dirinya pun juga akan mendapat sebagian dari kebahagiaan itu. Taeyong adalah orang yang baik.

Saat Doyoung kembali diumumkan sebagai mahasiswa berprestasi untuk kesekian kalinya, Taeyong turut senang. Saat Yuta dan temannya berhasil merealisasikan proyek robot mereka dan menang di kompetensi, Taeyong ikut merayakan juga dengan senyuman lebar. Saat Taeil diwisuda beberapa saat lalu, Taeyong datang dengan membawa karangan bunga. Taeyong selalu ada di saat terbahagia teman-temannya.

“Lu jadi?” Doyoung bertanya padanya saat jam makan siang di kampus. Taeyong tidak langsung menjawab sehingga Doyoung harus menghabiskan waktunya menunggu dengan menggigiti sedotan di gelas kopinya. “Takut?” tanyanya sekali lagi.

Taeyong menggeleng, dia tidak takut terhadap apa yang akan dilakukannya. Tapi dia hanya tidak yakin bahwa semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginannya. Lagi pula, sebetulnya itu wajar kalau tidak sesuai dengan keinginannya. Hanya saja, dia tidak ingin mendapat perasaan sedih hanya karena tidak sesuai dengan ekspektasinya.

“Gua cuma enggak yakin kalo perasaan gua berbalas,” jawab Taeyong, “tapi kalo disimpen kelamaan juga enggak enak.” Taeyong menghela napasnya panjang. “Kalo enggak berbalas, gua harus gimana ya?” Taeyong tersenyum pahit, kemudian menyesap minumannya lagi.

Well, abis itu liburan yuk? Sewa vila di deket pantai. Ajak temen-temen yang lain juga biar rame. Gimana?”

Thanks, Doyoung.”

Taeyong tidak tahu lagi apa yang ditakutinya. Sejak tadi dia menghela napasnya berkali-kali. Padahal sedikit lagi orang yang ditunggunya pasti datang. Telapak tangannya basah oleh keringat dan kakinya tidak berhenti untuk bergerak.

“Taeyong.”

Tubuhnya hampir lompat begitu namanya dipanggil. Taeyong tersenyum, canggung. Padahal sebelumnya tidak pernah seperti ini. “Hai, Johnny.” Tangannya melambai kecil.

Mereka berdua memutuskan untuk duduk beralaskan rumput dan dipayungi pohon. Johnny baru saja keluar dari kelasnya dan Taeyong sudah menunggunya selama sepuluh menit. Tidak ada percakapan di antara mereka. Hanya duduk dan memandangi awan yang berarak dengan damai sambil menikmati angin yang berembus ringan. Mereka hanya diam.

“Yong.”

“John.”

Suara mereka keluar bersamaan. Lalu mereka tertawa dengan canggung. Taeyong kemudian tersenyum dan berkata, “Duluan aja.” Meskipun dia tidak yakin dengan apa yang akan Johnny katakana nantinya. Tapi Taeyong memutuskan untuk mengalah, membiarkan Johnny membicarakan apa yang ingin dia bicarakan.

“Gua nembak orang,” kata Johnny, “fortunately, diterima. Kaget sih. Unexpected soalnya. I thought we don’t have such a mutual feelings.” Johnny tersenyum sambil memandang langit. Wajahnya tampak sangat bahagia—jelas, dia baru saja menemukan kebahagiaannya. “Malem ini, gua ngajak dia dinner gitu.”

“Enggak apa-apa kalo malah ketemu sama gua?” tanya Taeyong ragu-ragu. “Kalian baru jadian, harusnya kalian jalan-jalan berdua ke mana gitu.”

“Janji harus ditepatin. Lu duluan yang minta ketemu hari ini. Jadi, ya, no problem. Gua juga udah janji mau dinner bareng nanti malem.” Johnny mengatakannya dengan ringan, benar-benar bukan masalah besar baginya. Taeyong dapat melihat betapa kedua mata hazel Johnny bersinar dan kebahagiaan benar-benar terpancar dari tubuhnya.

Taeyong tidak dapat berkata apa-apa lagi. Semua kalimat yang dirancangnya dari semalam menghilang. Hatinya terasa berat dan matanya panas. Taeyong ingat prinsip kebahagiaannya. Seharusnya dia bahagia. Melihat orang lain bahagia akan membuat dia bahagia. Seharusnya seperti itu. Tapi dia tidak mengerti mengapa dia tidak bisa merasa bahagia melihat wajah Johnny yang bahagia. Hatinya terlampau sakit bahkan untuk tersenyum.

“Yong, tadi mau ngomong apa?”

“Hm? Oh. Itu … mau ngajakin jalan. Gua sama Doyoung ada rencana mau sewa vila deket pantai. Mau ngajak temen-temen yang lain juga. Makanya, gua pikir gua bisa ngajak lu … gitu.” Taeyong tersenyum. Namun dia tahu senyumannya terasa pahit dan tidak tulus. Mungkin Johnny tahu kalau dia tidak jujur dengan perasaannya, meskipun apa yang dikatakannya tidak sepenuhnya bohong.

“Kapan?”

Weekend ini, kayaknya.”

“Gua skip dulu ya?”

Taeyong mengangguk kecil. Jelas. Mungkin Johnny akan menghabiskan wakunya dengan kekasih barunya dan itu adalah hal yang wajar untuk dilakukan. Dia mengerti. Dia mengerti. “No prob,” jawab Taeyong singkat. “Anyway, gua ikut seneng lu dapet pacar. Baik-baik ya sama pacarlu. Langgeng juga.”

Bohong.

“Iya.” Johnny menjawab dengan senyuman yang tanggung. “Next time,” katanya pelan, “kalo udah siap, ngomong sama gua apa yang mau lu omongin ya. Jangan pura-pura. Keliatan tau, dari muka lu.”

“Keliatan … ya?”

“Iya.”

“Nanti ya, kalo gua udah siap.”

“Gua tunggu.”

“Iya.”

.

.

.

Fin