Rina

“Jeff?” panggil Anne kala berdiri tepat di seberang Jeff, terhalang oleh troli buku.

Jeff menggeleng cepat. “Pasti cuma halusinasi! Enggak mungkin Anne nyariin gue, enggak!” rapal Jeff yang membuat Anne tertawa.

“Aduh malah ketawa! Nah 'kan bener gue makin gila,” racau Jeff sekali lagi.

Kalau bukan di perpustakan, tawa Anne mungkin saja menggelegar. Anne dalam hati bertanya apa yang kekasihnya lalui selama tiga minggu hingga menyangka kehadirannya sebagai halusinasi.

Anne tarik menjauh troli, melewati celah sempit antara troli dan rak buku, baru setelahnya memeluk Jeff. “Kamu enggak lagi nge-halu kok. Ini beneran aku. Beneran Anne. Anne-nya Jeffrian,” ucap Anne.

Jeff buka mata perlahan, lalu mendorong pelan bahu Anne. Lamat lelaki itu menatap netra Anne. Netra yang rasanya sudah sangat lama tidak ia selami maknanya.

“Beneran? Kok bisa? Bukannya enggak boleh sama John kita ketemuan? Kamu kabur? Apa gimana?” tanya Jeff bertubi-tubi.

Anne sekali lagi tertawa. “Ya ampun! Satu-satu dong tanyanya. Aku bingung kalau dibombardir gitu,” balas Anne.

Jeff tanpa menunggu menarik Anne dalam pelukan. “Enggak, enggak usah dijawab. Aku kangen, kangen, kangen banget sama kamu. Enggak ngurusin John atau whoever, pokoknya aku kangen,” pekik Jeff tertahan.

Jeff sembunyikan kepala di antara perpotongan leher dan surai Anne, tanda betapa merindunya ia pada sang kekasih.

“I miss you too,” lirih Anne.

Lama mereka berpelukan, hingga Anne memilih menjauh melepas pelukan. “Sudah ya, aku pulang,” pamit Anne.

Tangan Anne ditahan oleh Jeff. “Kok udahan?”

Anne tersenyum. “Aku masih kangen, tapi kondisi kita masih belum stabil. Aku nyari kamu buat memotivasi diri ini, biar semangat menjalani pengobatan. Kamu semangat juga ya! Nanti kalau udah sama-sama sembuh, kita kembali ke keadaan semula,” ucap Anne.

Anne berbalik. Langkahnya kembali berhenti kala Jeff bertanya, “Kalau main ke rumah kamu sesekali boleh 'kan?”

Anne merajut langkah, namun sekali lagi langkahnya terhenti oleh pertanyaan Jeff yang lain. “Kalau chatting-an boleh?”

Anne tersenyum. Ia balikkan tubuh menghadap Jeff sembari menggoyang-goyangkan ponsel ke udara. Maksud Anne, tentu saja boleh.

Tanpa sepatah kata, Anne pergi meninggalkan Jeff yang tersenyum bak bocah SD karena berhasil mencapai satu langkah, kembali mendekati Anne.

Anne lempar ponselnya asal, tidak lagi peduli apakah benda pipih itu hancur, terbelah, atau apapun itu. Bahkan gadis itu menarik jarum infus, tanda bahwa ia kesal dan tidak ingin tinggal lebih lama di kamar.

Pintu kamar terbuka tepat sebelum Anne memutar kenob, menampilkan John yang membawa nampan berisi makanan lengkap dengan susu dan buah-buahan.

“Balik!”

“Enggak mau! Jelasin atau gue yang cari Jeff sendiri,” ancam Anne.

John mendengus pasrah. Membuat Anne menurut memang lah hal sulit. “Ya udah, duduk dulu di tempat tidur,” ucap John.

Anne balas mendengus. Ia berbalik dan duduk cepat di pinggir tempat tidur. John letakkan nampan berisi makanan pada meja beroda yang sering Anne gunakan untuk belajar di tempat tidur, lalu mendorongnya agar Anne tidak kesulitan untuk makan. Anne sudah sadar, sudah sepantasnya juga asupan berubah dari cairan infus menjadi makanan berat.

“Buruan!”

“Makan dulu Anne,” ucap John yang berlari ke sudut yang lain mengambil kotak P3K.

Sementara Anne melahap buah cepat, John matikan aliran infus, kemudian duduk di samping si gadis, baru mengambil tangan kiri Anne untuk diobati. Akibat menarik jarum infus secara paksa, tangan Anne terluka. Darah mulai mengering namun tetap saja harus dibersihkan agar tidak infeksi.

“Udah! Cepetan kasih tahu!” pinta Anne memaksa.

John pasang plester sembari menyahuti, “Kalau gue kasih tahu, lo harus siap dengerinnya. Karena ini menyangkut keselamatan lo.”

“What safety? I'm safe now! You can tell me,” desak Anne.

“Kalau lo safe, enggak bakal di tengah intercourse sama Jeff lo teriak-teriak kesakitan. Lo kena serangan panik, Jeff juga jadi panik. Kalau pas di rumah sakit lo kagak dibius, enggak kebayang gimana,” ucap John.

Runtuh sudah pertahanan untuk menutupi keadaan si gadis sebisa mungkin sembari menanti kedatangan Wendy dan dokter keluarga Setiadji. Menutupinya tidak akan berguna, yang ada Anne akan mencari tahu sendiri dan John tidak akan mengizinkan Anne bertemu dengan Jeff.

John memang marah pada Jeff hingga meminta lelaki itu menjauh, namun lewat sehari John melunak. Melunak di sini bukan memberi akses Jeff untuk menemui Anne, melainkan meminta pertolongan Alice dan William menjaga dan memantau kestabilan mental Jeff. Jessy dan Jenny tidak perlu ditanya, kedua gadis itu memaksa tinggal di apartemen Jeff sampai kerja mereka dimulai agar bisa memantau keadaan sang saudara sepupu. Theo dan Ten tidak diikutsertakan karena sudah harus bekerja. Syukurnya Ten masih bekerja di sekitar Stanford, sesekali masih bisa mengunjungi Jeff.

Sedikit paham, John tahu bahwa Jeff pasti juga terguncang. Semarah-marahnya John, ia tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Jeff. Mungkin justru lelaki itu yang paling rawan karena berhadapan langsung dengan kondisi Anne.

Jika keduanya bertemu dalam kondisi mental tidak stabil, ditakutkan akan semakin memperkeruh hubungan mereka yang merenggang ini.

“Gue bukan pingsan? Terus kenapa gue teriak-teriak?”

Mulai John ceritakan mulai dari cerita Jeff di mana Anne berteriak kencang sembari menutup telinga, lalu bagaimana gadis itu terus meminta tolong sambil memejam mata erat. Cerita lalu berpindah mengenai masa lalu. Bagaimana kekejaman penculik Anne yang tidak hanya menjadikan si gadis sebagai sandera, tetapi juga memukul dan melakukan perkosaan pada Anne usia tujuh tahun. Efek traumatis yang besar membuat pikiran Anne mengunci memori tersebut, namun pada akhirnya kembali di saat paling krusial dalam perjalanan hubungan Anne dan Jeff.

Anne kini sesegukan. Cerita John memaksanya mengingat kepingan masa lalu yang jiwanya tidak mau mengingat. Ternyata ada kejadian sedemikian rupa dalam hidupnya. Kini Anne paham mengapa ia terkadang menghindar dari hal berbau seksual, bukan hanya pikiran tetapi badannya secara otomatis memberi respon dengan menjauh. Karena tubuhnya tahu, trauma bisa datang kapan saja menyerang.

John tarik Anne dalam pelukan, membiarkan kepala sang adik pada ceruk leher. Setidaknya ini yang bisa John lakukan sebelum Wendy datang mengambil alih. John hanya mengambil cuti sampai besok dan harus segera kembali ke New York.

“Terus kapan boleh ketemu Jeff? Gue mau ketemu Jeff, mau peluk dia, mau bilang kalau Anne baik-baik aja sekarang,” lirih Anne di tengah isakan.

John elus surai Anne. Sakit rasanya melihat gadis kecil yang sudah Anne anggap sebagai adik kecilnya ini menangis. John anak tunggal dan keberadaan Anne ada keberuntungan dalam hidupnya. Tapi John tidak bisa memberikan keinginan Anne kali ini.

“You mouth might say that you're fine, but your psychic won't lie. They hurt and need to be healed first,” ucap John.

John melanjutkan, “Gue tahu lo kangen. Jeff pasti juga kangen. Tapi sebelum kalian ketemu, lo harus sembuh dulu ya. At least, get a treatment until you could accept the past and won't be haunted by it. Let Jeff get a treatment too, for his prejudice upon himself that he hurted you, hmm?

Anne mendorong pelan tubuh John dan mendongak. “Kalau gue udah sembuh, boleh gue ketemu Jeff?” tanya Anne.

John mengangguk dengan senyum simpul. “Sure! No one would forbid you when you are healthy and brave enough to meet him again,” balas John.

Prioritas kali ini hanya satu, Anne dan Jeff sama-sama sembuh dari kerusakan mental yang mereka alami.

Semua berdiri di depan UGD, menunggu kehadiran dokter yang menangani Anne. John berjalan mondar-mandir, terlibat perdebatan entah dengan siapa. Antara dengan Wendy, orang tuanya, atau justru orang tua Anne.

Alice menangis dalam pelukan Jessy dan Jenny, sementara Theo, Ten, dan William hanya bisa duduk menanti. Hanya Jeff yang menjauhkan diri. Lelaki itu duduk termenung, menyandar pada vending machine. Tak ada satupun kata keluar dari bibirnya semenjak ambulan datang menjemput Anne dan membawanya kemari.

“This is emergency. I already called Wendy, Om, and Tante, but you know they cannot arrive faster than ever, Mom. Jakarta is thousand miles from WI,” ucap John terdengar galak.

“Not that I don't wanna come there, but from my perspective it would be better for you to wait Anne's result. If the doctor said it's okay for Anne to have a flight to California, fly here and get her hospitalized here. Let your other friends coming back using the bus. That's the best decision for now,” balas Mama-nya John.

“Fine?”

Bertepatan dengan John yang mematikan sambungan, dokter keluar dari balik pintu. Semua kecuali Jeff langsung mendekat.

“Who's Ms. Setiadji's family?”

John maju dan berkata, “I'm her cousin!”

Dokter mengangguk cepat. “I've talk to her doctor in Indonesia and so shocking she forgot her past tragedy for years. It's coming back when she was in the middle of the intercourse, so I presume Ms. Setiadji have to stop doing that until her mental stabilized. We already put her to sleep since she was coming in panic state, might be woken up for another six hours or more, based on her mental state. Other than that, she is okay to go. But after out of here, you must take her to the psychiatrist for further examination and how her problem should be healed. In her case, I guess it takes months to heal.”

Dokter selesai menjelaskan dan Jessy mengambil alih urusan administrasi, John gelap mata berjalan mendekati Jeff, menarik kerah lelaki itu, memulai keributan akibat rasa kesal yang mendominasi.

“Puas lo bikin Anne kayak gini?! Ini yang lo bilang mau jagain dia?! Mana?! Hah?!” teriak John.

Lelaki itu bisa saja menghajar Jeff bertubi-tubi jika tidak ditahan oleh Jenny dan William, sementara Theo dan Ten berusaha menjauhkan Jeff dari amukan John. Jeff benar-benar dalam posisi pasrah. Untuk minta maaf saja ia tak sanggup. Hidupnya seakan hancur melihat reaksi kesakitan Anne beberapa jam yang lalu.

Napas John tersengal. Cukup lama ia berusahan menahan amarah, hingga ucapan itu tercetus.

“From this second onwards, never coming close to my sister! You got that?!”

John melepas pegangan Jenny dan William pada tubuhnya, lalu pergi meninggalkan Jeff yang tidak tahu harus bersikap bagaimana. Lelaki itu menangis, tidak juga terlihat marah.

Satu hal yang Jeff sadari, ia telah menyakiti Anne dan tidak ada lagi kesempatan untuk membenahi hubungan mereka yang berusia hampir tiga tahun.

Anne keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju meja rias di tengah kegelapan. Ia duduk cukup lama di depan cermin, memperhatikan dirinya yang terlihat begitu cantik. Bukan mengatai dirinya tidak cantik, tapi hari ini ia punya misi. Mengenakan pakaian tidur dengan model sedikit berbeda dari yang biasa ia pakai saat tidur bersama Jeff, model gaun dengan tali spaghetti yang dibalut dengan jubah tipis dari bahan dupion, akankah lelaki itu sadar?

Anne menimang-nimang, hari ini kah?

Lama bergulat dengan pikiran sendiri, Anne ambil liptint warna merah di atas meja dan poleskan pada bibir. Anne tak lupa juga menyemprotkan parfum, guna membangunkan Jeff yang sepertinya sudah tertidur pulas.

Beres mempersiapkan diri, gadis itu lepas jubah dan bergabung ke tempat tidur. Anne menyelip ke dalam selimut dan secara reflek Jeff rangkul tubuh sang kekasih. Sesuai harapan Anne, kekasihnya seketika membuka mata setelah menyadari pakaian seperti apa yang dirinya kenakan.

“Anne, kamu kenapa pakai yang kayak gini?” tanya Jeff.

Hmm itu...”

“Kalau kamu mikir aneh-aneh, enggak aku iyain,” sela Jeff.

Jeff bangkit ke posisi duduk dan bisa saja pergi jika tangannya tidak ditahan oleh Anne. “Mau ke mana?”

“Mau pergi sampai pikiran kamu jernih,” balas Jeff tidak menoleh ke arah Anne sama sekali.

Jeff tidak habis pikir dengan Anne. Jeff mungkin kecewa, tapi bukan ini yang ingin ia lihat dari sang kekasih.

“Aku beneran mau coba sama kamu. Bukan karena alasan apapun, aku beneran mau ya karena aku mau,” lirih Anne.

Jeff melembut. Ia membalik tubuh dan memeluk Anne erat, menenggelam kepala gadisnya pada ceruk leher. Jeff elus surai Anne sembari bertanya, “Beneran ini kemauan kamu? Enggak ada paksaan?”

Anne menggeleng. “Enggak ada, aku benar-benar mau,” balas Anne. Ia pikir, Jeff tidak perlu tahu kekhawatirannya akhir-akhir ini juga mempengaruhi keputusannya malam ini. Yang Jeff perlu tahu adalah Anne hanya milik lelaki itu, bukan orang lain.

“Won't you regret this?”

“No. Just remember to wear condom,” balas Anne.

Okay then, tapi kamu harus bilang kalau semisal enggak nyaman.”

Anne dorong tubuh Jeff dan mendongak. “Kamu bakal berhenti kalau aku bilang enggak nyaman?”

“Iya. Karena kenyamanan kamu itu prioritas aku, bukan nafsu aku,” ucap Jeff.

Pandangan saling menyelam, mencari konfirmasi dari satu sama lain.

Bus berangkat saat senja beralih menuju malam. Empat jam berlalu, bus berhenti di rest area perbatasan Nevada dan Utah. Selain memberi supir waktu untuk istirahat sejenak, ketujuh anak manusia dalam perjalanan ini ingin menikmati perjalan darat tanpa dikejar-kejar.

Jeff, Ten, dan William memutuskan bersantai di balkon atas bus sambil merokok dan menyeruput kopi atau teh, sementara tim perempuan sibuk di dapur bawah menyediakan makan malam yang bisa dikatakan cukup terlambat.

“Jeff, tell me your secret,” celetuk William.

“What secret?!”

Ten menimpali, “Rahasia lo kok bisa tahan enggak nananina selama tiga tahun lamanya. Sejak lo kenal Anne sampai sekarang pacaran dua tahun lewat, kok bisa lo tahan?”

“Nah itu maksud gue! Jangankan nyari cewek lain, sama Anne aja lo berdua enggak pernah lebih dari main di leher. Kok bisa tahan?” tanya William lebih jelas.

Jeff tertawa mendengar pertanyaan Ten dan William. Terkadang, Jeff juga mempertanyakan dirinya yang bisa begitu tenang ketika menghadapi hormon yang menggebu. Seakan Anne punya kendali penuh akan kebiasaan seksualnya yang buruk di masa lalu. Jawaban yang sering muncul di kepala Jeff hanya satu, rasa cintanya yang tulus pada sang kekasih.

Jeff mengangkat bahu sembari menyahuti, “I seriously don't know what happened with myself. Anne belum siap sampai sana, walau kita termasuk sering tidur di kasur yang sama pas doi nginep. Gue menghargai itu dan lucunya gue malah enggak ada niatan melampiaskan ke perempuan lain. Mikir gitu aja, gue langsung merasa bersalah. Maybe I love her too deep to not deceiving her.

“Lah terus kalau enggak terkontrol gimana? Misal udah keasikan make-out, gimana caranya enggak bablas sementara hormon bisa aja setinggi langit? Kayak, kok bisa akal lo masih jalan. Gue sih pasti lewat,” balas Ten.

“Kalau semisal Alice bilang capek, lo bakal paksa?”

Ten dengan cepat membalas, “Ya kagak lah! Ya kali! Cewek gue capek, ya kali gue paksa. Masuk perkosaan dong!”

Jeff terkikik. “Ya udah kek gitu, Ten. Gue pribadi sih, kalau emang perlu ya udah nyabun di kamar mandi. Mau gimana lagi coba,” terangnya.

“Ewh, gross!”

“Lo ngaca gih, Will! Kayak sendirinya enggak pernah aja. Perlu diingetin ga, berapa kali lo mandi sambil sebut-sebut nama panggilan Ms. Xu,” cibir Jeff.

“Sembarangan! Sekarang udah enggak gitu ya! Gue 'kan udah jadian sama Yiyang, tinggal minta jatah langsung dikasih,” elak William.

“Aduh! Kesayangan jiejie emang beda ya,” goda Ten.

“Berisik!”

Sembari tim cowok mengobrol, mari kita intip interaksi tim cewek. Untuk makan malam kali ini mereka tidak ambil pusing, hanya menghangatkan kembali nasi instan dan Rendang yang disediakan oleh Mama-nya John, tante-nya Anne. Agar tidak hanya makanan mengandung karbohidrat dan protein saja, Jessy masakkan tumis kangkung sebagai tambahan serat.

“Anne, gue boleh tanya sesuatu enggak?” tanya Jessy setelah mematikan kompor.

“Sure, go ahead!” balas Anne yang sibuk menggigit es krim batangan rasa melon yang Alice bawakan untuk diperjalanan.

“Lo sama Jeff, udah sampai fourth base belum?” tanyanya Jessy tanpa basa-basi.

Lama Anne terdiam. Gadis itu ragu untuk bercerita. Entah mengapa, Anne terkadang minder dengan pilihannya yang sedikit berbeda dengan wanita lain disekitarnya. Ketika wanita lain tanpa beban bersetubuh dengan pasangan mereka, Anne lebih memilih menunggu hingga dirasa dirinya siap untuk melakukan hal tersebut. Tentu Anne tidak lagi memaksakan harus sudah menikah terlebih dahulu seperti saat ia belum menjadi kekasih Jeff, tetapi tetap saja rasanya aneh.

Jenny menyeletuk, “Kalau lo enggak nyaman, enggak usah dijawab enggak apa-apa, Ne. We just concern about it since you know how much we treasure you. Gue, Jessy, Alice, dan yang lain enggak mau lo terluka.”

“Enggak usah diceritain,” sambar Alice.

Anne menggeleng. “Belum. Gue masih first base dari awal pacaran sampai sekarang. Well, sometimes on second base, but it will stop right after he gave hickeys on my neck. No more than that,” cerita Anne.

“Ah! Glad to know. We have our concern since we knew how crazy Jeff used to be when it comes to sex. Seeing him not doing it for almost three years, not only to you but also not to other girls makes us sometimes worry. Khawatir kalau one day dia enggak bisa kontrol dan lo yang tersakiti dalam prosesnya,” ucap Jessy.

“He might be our cousin, but you are also important to us. You are our best friend, we won't let anyone hurt you,” timpal Jenny.

Alice menambahkan, “Gue pun yakin Jeff enggak bakal nyakitin lo. At least until today, he never hurt you when you both having argument. Never let you hanging or force you to do intimate thing with him. He loves you much to dare hurting you even an inch of you. Tapi kita enggak tahu kedepannya gimana.”

Anne peluk Alice yang kebetulan duduk di samping. Ia juga tersenyum ke arah Jessy dan Jenny. Sangat bersyukur selama tiga tahun tinggal di negeri orang, ia memiliki banyak orang yang mencintainya. Walau orang-orang itu mulai berpindah karena yang namanya hidup terus berjalan, Anne masih bisa merasakan seberapa tulus rasa sayang mereka pada dirinya.

“Thank you so much for being there, guys! Can't thank you enough over this caringness,” ucap Anne tulus.

Merubah topik dan berbincang selama sepuluh menit, baru mereka panggil tim cowok untuk makan. Setelah mengambil makan, semuanya kembali berpencar. Jessy, Jenny, dan William yang tidak membawa kekasih memilih makan sembari mengobrol santai di balkon atas. Ten dan Alice memilih duduk di tangga bus, sementara Jeff dan Anne duduk saling menghadap di meja kecil yang berada di area dapur.

Lima belas menit makan diselingi obrolan tipis, kini Jeff dan Anne duduk dipojokan tempat tidur. Jeff bersandar pada dinding bus dan merangkul bahu kiri Anne, sementara gadisnya bersandar manja di bahu.

“Jeff?”

“Yes, darl?”

“Kamu bosen enggak sama aku?”

Jeff jauhkan tubuh Anne agar mudah menatap wajah gadisnya. “Kamu nanya apaan sih?! Enggak mungkin lah! Yang ada aku makin cinta,” balas Jeff.

Anne pukul dada Jeff pelan. “Jangan gombal deh!” sungut Anne.

“Siapa yang gombal sih?! Serius aku, darl. Kenapa deh mendadak nanya begitu?” balas Jeff dengan pertanyaan.

Anne bermain dengan jari tangannya, tanda ia ragu. “Hmm, ya, siapa tahu kamu bosen karena aku enggak pernah ngasih apa yang kamu mau,” cicit Anne.

“Aku emang mau apa deh? Perasaan ada kamu di hidup aku aja, itu udah lebih dari cukup,” ucap Jeff.

Anne mendecak. “Jeff! You know what I mean,” lirihnya.

Jeff kecup ubun-ubun Anne. “I know. Dan keputusanku masih sama, aku enggak bakal paksa kamu cuma karena aku ingin. Semua ada di tangan kamu. Kamu yang minta, dalam keadaan sadar, baru aku iyakan,” terang Jeff.

“Sesayang itu aku sama kamu, hurting you is the least thing I'll do,” lanjut Jeff.

Jeff berkata dirinya beruntung bisa memiliki Anne, tetapi Jeff harus tahu kalau Anne pun bersyukur memiliki Jeff yang selalu ada untuknya.

Tentang bases in relationship bisa kalian baca di sini.

cw // kiss , alcohol beverage

Jeff meneguk sisa wine dari gelas setelah menghabiskan masakan Anne. “Enak banget, darl!” pekik Jeff.

Anne meletakkan sendok dan garpu sambi tersenyum. “Makasih, Jeff,” balas Anne, ikut meneguk sisa wine.

Tangan Anne langsung meraih botol wine dan menuangkannya ke gelas. Bahkan gadis itu tidak ragu meneguknya sampai tandas.

Jeff jelas berseru, “Eh buset! Anne! Don't drink too fast!” Jeff tidak masalah Anne minum, tapi tidak juga secepat bagaimana gadisnya minum sekarang. Bisa mabuk cepat kalau begitu cara Anne minum.

Anne letakkan gelas di meja dan mengelap bibir dengan punggung tangan. “Sengaja!”

“Sengaja?!”

“Iya.”

Anne bangkit dan berjalan menuju sofa ruang tengah. Seperti tebakan Jeff, tubuh Anne sempoyongan. Jeff langsung bangkit dan menuntun Anne duduk di sofa. Jeff rangkul tubuh Anne, memberi gadisnya tempat untuk bersandar.

“Kamu jangan bercanda gini, Anne,” tegur Jeff.

Anne mendongak lalu tersenyum. “Dibilangin aku sengaja kok! Ada yang aku mau omongin, tapi aku enggak yakin bisa ngomong kalau enggak minum dulu,” balas Anne.

“Emang kamu mau ngomong apa?” tanya Jeff heran. Tidak biasanya Anne bersikap aneh seperti ini.

“If I asked you to kiss me pasionately, will you do me?”

Netra Jeff melebar. Lelaki itu menggeleng cepat. “No! I won't do that when you are drunk,” balas Jeff.

“I told you, I'm not drunk! I drank the wine to ease my mind before talking about this to you,” kukuh Anne.

“Still no! I want to do that when you are sober and you really want it,” tolak Jeff.

Anne menggerutu, “Aku enggak mau cuma kecupan biasa. I want more than just a peck.

“But not in this state of yours,” ucap Jeff sembari mengelus surai Anne. Gadisnya itu sepertinya mabuk, maka dari itu Jeff berusaha menenangkan.

“Kamu enggak sayang lagi ya sama aku?! Makanya enggak mau ngelakuin sama aku! Dulu sama cewek lain kamu bisa, sama aku kenapa enggak?!” rengek Anne.

Anne benar-benar aneh malam ini.

“Anne, don't guilt-tripping me like this!” amuk Jeff. Kini ia jauhkan tubuh dari Anne.

Entah efek mabuk atau memang sadar, Anne raih rahang Jeff, menarik wajah lelaki itu bersatu dengan bibirnya. Jeff hendak menolak, namun Anne dengan berani mulai melumat bibir atas Jeff.

Jeff bukan perjaka yang tidak tahu bagaimana cara merespon godaan seperti ini. Jeff sudah memperingati Anne, namun gadis itu tidak juga paham.

Entah apa sesungguhnya terjadi dalam diri Anne, Jeff balas lumatan gadisnya. Anne melumat bibir atas, sementara Jeff melumat bibir bawah. Lumatan bersifat simultan, menimbulkan percikan endorfin dalam diri keduanya. Bibir keduanya yang lembut membuat gerakan mereka lebih fleksibel untuk mencumbu satu sama lain.

Anne mungkin amatir, namun gadis itu tidak ragu membuka bibirnya. Memberi Jeff kesempatan untuk memperdalam ciuman mereka. Tangan Anne mengalung pada leher Jeff ketika organ tanpa lunak dari mulut sang lelaki mulai menjelajah dalam rongga Anne. Lelaki itu tidak ragu mengajak bergulat di dalam sana, yang secara mengejutkan dapat dibalas dengan baik oleh Anne. 'Ada gunanya menonton film,' batin Anne.

Dari duduk menyamping, kini Anne duduk di pangkuan Jeff. Bibir keduanya masih saja sibuk memijit satu sama lain. Bahkan Jeff tidak lagi peduli apakah Anne mabuk atau tidak saat meminta untuk dicium. Jeff sendiri dimabuk lembut dan manisnya bibir Anne, yang selama ini tidak pernah ia rasakan dari sekadar kecupan.

Anne sendiri suka kala tangan kokoh Jeff memegang kedua sisi pinggang kala bercumbu. Awalnya hanya timbul dari rasa kepo karena melihat teman-temannya bercumbu dengan kekasih mereka, kini Anne tahu rasanya.

“Holy shit!”

Oh! William pulang!

< Prev

Inspired from Xinxin

“Haduh! Makan mana ya udah malam gini?” gumam Sonya mencengkram kemudi erat sembari memajukan kepala melirik restauran yang ada di kiri dan kanan jalanan.

Sonya menyesal mengikuti agenda himpunan sampai malam. Sedikit menggerutu kenapa juga dia masih harus mengurus himpunan. Salah kampus yang mengubah aturan masa kepengurusan himpunan dari Juli-Juni menjadi Januari-Desember. Angkatan Sonya terpaksa menambah satu semester lagi untuk menjabat.

Sebelum ada tanggungan lulus cepatㅡkuburan yang Sonya gali sendiri, mungkin masih hal mudah bagi gadis berusia 23 tahun ini. Namun sekarang, semua hal harus Sonya selesaikan dan hal ini sangat menguras tenaga, jiwa serta waktu. Sonya bahkan lupa kapan terakhir ia menghibur diri selama tiga bulan terakhir. Yang ia lakukan selalu pulang ke rumah, mandi, makan sisa lauk yang ada, dan langsung tidur. Sonya bangun di pagi hari untuk melanjutkan aktivitas, begitu terus berulang-kali.

Jam di dashboard menunjukkan pukul 8 malam. Sonya pulang dari kampus pun sendirian. Definisi jomblo sesungguhnya!

Sonya menggumam, “Coba si Alfansyah kagak ngasih syarat susah begini buat jadi pacar doi, enggak bakal gue gila begini. Kalau gue kagak sayang, udah gue jedor itu kepala pake timah panasnya Papi.” Papi Sonya adalah seorang polisi, fyi.

Ah! Restauran pasta itu aja deh. Dah lama enggak ke situ!” pekik Sonya dengan tatapan berbinar. Gadis itu pasang sign ke kanan, lalu menyebrang cepat memasuki parkiran.

Setelah memberi kunci pada petugas vallet, Sonya melangkah ke dalam dan langsung dilayani waitress yang sudah gadis itu kenal. Lokasi restauran dekat dari komplek perumahan Sonya, wajar ia sering bertandang.

“Kak Sonya! Lama enggak ke sini. Sendiri aja?”

“Iya nih, baru pulang dari kampus. Tempat biasa kosong 'kan?”

“Kosong, Kak. Mari saya antar.”

Sonya ikuti waitress dari belakang sembari menoleh ke segala arah. Ia sempat melewati bagian restauran yang semi-privat, tetapi ia melangkah mundur kala menyadari sosok yang duduk dengan seorang wanita asing.

'Pak Tomy?! Itu cewek siapa lagi?!' gerutu Sonya dalam batin.

“Kak?”

Sonya menoleh dan meminta, “Siapin aja Ham Carbonara Fettuccine satu, Beef Lasagna satu, sama White Wine dua gelas. Yang Sauvignon Blanc 2016. Pokoknya nanti aku ke meja, udah harus siap ya!”

Si waitress mengangguk dan pergi dari hadapan. Sonya berjalan cepat mencari kursi kosong yang tidak jauh dari kursi Tomy, namun sebisa mungkin tidak ketahuan oleh pria itu. Dengan seksama ia menguping pembicaraan Tomy dengan si wanita asing.

“Kamu tahu 'kan, aku masih cinta sama kamu,” ucap si wanita.

Tomy membalas, “Tapi gue udah enggak tuh!” Walau terdengar santai, Sonya bisa merasakan adanya makna lain dari ucapan si pria.

“Kamu sebenci itu sama aku? Aku benar-benar minta maaf kalau dulu memilih Sena daripada kamu, tapi sekarang aku sadar kalau kamu yang aku cintai. Bukan Sena,” lanjut si wanita.

“Lo tahu gue paling benci tukang selingkuh,” balas Tomy datar.

“Tapi aku kembali buat kamu. Aku janji aku enggak bakal khianatin kamu lagi,” pinta si wanita memelas.

Tomy membuang muka ke arah lain. Pria itu terlihat kesal, bahkan Sonya tak sengaja memerhatikan kepalan tangannya di bawah meja. Terlihat sekali betapa gusarnya Tomy saat ini.

Kepala Sonya perlahan memformulasikan apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan Tomy dari situasi menyebalkan ini. Bagi Sonya jelas menyebalkan! Sonya terbakar api cemburu melihat interaksi langsung Tomy dengan wanita yang pernah menjadi tambatan hati si pria.

Hingga keluarlah ide gila itu. Ide yang Sonya harapkan tidak diketahui oleh siapapun, apalagi orang-orang di kampus-nya.

Sonya mendekat dan tanpa aba-aba memeluk Tomy dari belakang. Tangan kanan ia gunakan untuk merangkul tubuh atas, sementara tangan kiri ia gunakan untuk menggenggam kepalan tangan Tomy. Memberi usapan pelan sebagai penenang.

Sonya lalu bersua, “Kak! Masih lama ngomong sama mantan Kakak ini? Aku udah nungguin di belakang dari tadi, tapi Kakak enggak datang-datang.” Sonya sedikit merengek, membuatnya aktingnya tampak nyata di depan si wanita yang menatap kehadiran Sonya horror.

Syukurnya Tomy tidak bodoh dan memanfaatkan kesempatan. “Lo tahu 'kan alasannya sekarang, kenapa gue enggak bisa balikan sama lo. Gue udah punya cewek yang lebih baik dari lo. So, keep dreaming off! I'm not gonna back to you,” ucap Tomy.

Tomy lalu berbalik menatap Sonya. “Udah pesan makanan-nya?” tanya Tomy. Tangan pria itu bertumpu di atas tangan Sonya.

“Udah lah! Kayaknya udah nyampe deh,” balas Sonya cepat. Terlihat santai, tetapi sesungguhnya Sonya tengah gugup. Tangan Tomy menggenggam pergelangan tangannya, bahkan tanpa ragu menyelipkan jari antara jari tangan Sonya setelah bangkit dari posisi duduk.

Sonya benar-benar dibuat mati kutu saat ini. Sonya mengumpati dirinya yang sok ide membantu Tomy, sekarang dia yang deg-degan. Siapapun pasti akan merasakan hal yang sama saat diperlakukan manis oleh orang yang kita suka.

“Yang mana meja lo?” tanya Tomy setelah dirasa cukup jauh posisi mereka dari meja yang ia duduki dengan sang mantan kekasih.

Sonya gelagapan. Ia langsung saja memekik, “Yang itu, Pak!”

Tomy lepas genggaman pada tangan Sonya dan menutup telinganya spontan. Pekikan Sonya benar-benar mengejutkan jantung dan pendengaran.

“Sonya, udah berapa kali gue bilang jangan teriak-teriak dekat telinga gue. Lo mau gue budeg apa gimana?” gerutu Tomy.

Sonya yang tidak segugup sebelumnya menggombal, “Kalau Bapak budeg, nanti saya yang jadi pendengaran Bapak.” Keduanya duduk di meja yang menjadi tempat favorit si gadis.

“Enggak usah sok gaya kayak aktor Cina di drama romansa. Lo enggak level sama mereka buat ngegombal,” cibir Tomy.

Sonya mendecak. “Bapak tuh ya! Harusnya berterima kasih sama saya karena udah nyelamatin Bapak tadi,” protes Sonya.

“Gue 'kan enggak ada minta. Lagian ngapain juga lo di sini? Kayak enggak ada tempat makan lain,” sahut Tomy.

“Rumah saya di komplek belakang ini loh, Pak! Ya wajar dong makan sini. Lagian ya Pak, anggap aja kita emang jodoh, makanya ketemu terus,” balas Sonya enteng.

“Mimpi sana kamu!” cibir Tomy. Lelaki itu tanpa pikir panjang mengambil piring berisi Carbonara, melilitnya dengan garpu, dan memasukkan ke dalam mulut.

“Bapak! Itu favorit saya! Kok diambil sih?!” pekik Sonya pura-pura menangis.

“Ya lo enggak bilang. Gue belum makan daritadi dan yang menarik mata yang ini. Makan aja udah itu Lasagna. Atau kalau mau pesen lagi. Gue yang bayar,” balas Tomy enteng.

Sonya merengut, namun tetap ia ambil piring berisi Lasagna dan mengudapnya perlahan. Keduanya makan dalam diam, tidak ada satupun yang bersuara. Sonya sesekali menatap sang dosen yang makab dengan tenang. Jiwa penasaran Sonya melambung tinggi. Ingin sekali gadis itu bertanya soal mantan kekasih Tomy, tapi keraguan berulangkali datang setiap Sonya akan buka suara.

“Lo mau nanya apaan? Daritadi ngelirik mulu,” sudut Tomy.

Sonya terkikik gugup. “Bapak ganteng, wajar dong saya ngelirik,” canda Sonya dengan nada dipaksakan.

“Ya, makasih! Gue tahu gue ganteng, tapi lo enggak bisa bohongin gue. Buru tanya!” balas Tomy.

“Beneran nih?!” tanya Sonya memastikan.

“Jangan sampai gue berubah piki-”

“Bapak berapa lama pacaran sama cewek tadi sampai akhirnya putus?” potong Sonya dengan pertanyaan yang paling ia ingin tahu.

“6 tahun? 7 tahun? Udah lupa!” balas Tomy.

“Bapak udah move on beneran 'kan tapi?”

Tomy turunkan sendok dan garpu tepat setelah menghabiskan isi piring. Pria itu menatap Sonya dan menjawab, “Urusan gue udah move on atau belum. Urusan lo cuma lulus sebelum gue nemu orang baru dihidup gue.”

Setelahnya meneguk wine pilihan Sonya. “Blanc 2016 ya? Pintar juga pilihan lo!” puji Tomy.

Sonya tidak peduli akan pujian Tomy soal pilihan wine. Gadis itu lebih memilih memikirkan jawaban Tomy yang terdengar sebagai kode.

“Bapak nih kode biar saya buruan lulus ya? Bapak jangan-jangan ngebet juga kan jadi pacar saya,” kerling Sonya.

Tomy teguk habis isi gelas, meletakkannya di meja dan berkata, “Mimpi tuh jangan tinggi-tinggi, Nya. Kalau jatuh sakit. Gue mah cuma ngingetin aja apa tujuan utama lo sekarang.”

Tomy bangkit sembari berkata, “Habisin makanan lo. Gue balik duluan. Ini semua gue yang bayar.”

“Loh, Pak?! Saya ditinggalin? Pak?!”

“Alfansyah nyebelin!” pekik Sonya yang tidak digubris. Gadis itu tak ayal menggoyangkan tubuh di kursi, efek kesal menghadapi dosen tak tertebak modelan Tomy.

Sementara Tomy hanya tersenyum simpul, berjalan menuju kasir.

Next >

cw // kiss

“Cheers!”

Teriakan menggema seiring dengan berdentingnya banyak gelas di malam penuh kebahagiaan.

“Thank you, Jeff, Anne!” teriak yang lain setelahnya.

Anne tertawa sembari bersandar pada Jeff. Sudah berbagi pelukan saat di rumah tadi, Anne tidak lagi canggung melakukan skinship dengan Jeff di depan umum. Toh apa yang berbahaya dari berpelukan di depan teman-teman mereka yang bisa jadi lebih berbahaya.

Seperti Ten dan Alice yang sibuk mencumbu atau Theo yang sibuk mengecup tengkuk Jessy. Tentunya tidak berlangsung lama karena Jenny langsung saja menyambar, “Anjing! Yang punya acara aja kagak ada mesra-mesraan alay! Ini hormon dua cowok kagak bisa apa ditahan sekali!”

“Count it three! Alice is also bad when it comes to controlling her lust,” tambah William.

“Let's just say that both of you are envy them because no one do it with you,” celetuk John.

Jenny dan Willian menoleh ke arah John dan berseru, “Lo kali yang iri soalnya enggak bisa bawa Sarah!”

Anne dan Jeff tertawa mendengar dan melihat perdebatan di depan mereka. Walau yang diperdebatkan tidak begitu penting, Anne suka saja suasana berkumpul dengan banyak teman seperti ini.

“You sound so happy tonight,” bisik Jeff.

Anne mendongak menatap Jeff. Tersenyum lebar, Anne menyahuti, “Yeah! Never been more happy than this. Thanks.”

“Kok bilang makasih-nya ke aku? Kan kamu yang pingin ngerayain jadian kita,” ucap Jeff.

If you don't agree with it, enggak bakal bisa aku ngerasain ini semua,” balas Anne.

“So, you are happy with me, huh?”

“Yeah, of course. So happy to be around you,” ucap Anne.

Mata saling memandang, saling mencari jawaban apakah benar keputusan untuk bersama di tengah keraguan akan perasaan dan keyakinan bahwa sosok di hadapan menjadi yang terakhir dalam hidup mereka.

Jeff mendekat, terus mendekat hingga bibirnya menempel pada bibir Anne. Anne tidak terlihat menolak, lebih tepatnya gadis itu tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat ini. Anne dapat rasakan hembusan napas sang kekasih di pipinya. Tangan gadis itu menggenggam ujung sweater Jeff, sementara tangan yang lain menggenggam gelas berisi champagne erat. Takut menjatuh benda beling itu ke lantai.

Tidak ada pergerakan di sana, hanya kecupan tulus yang ingin Jeff tunjukkan pada gadisnya. Anne tidak menjauh, seakan bisa menangkap ketulusan lelakinya. Semuanya terasa baru dan asing, namun Anne merasa nyaman dengan sentuhan Jeff malam ini.

Jeff menjauh setelah beberapa detik. Walau beberapa detik, rasanya seperti berjam-jam lamanya mereka berbagi kasih.

“You don't push me this time,” ucap Jeff pelan.

Anne tersenyum simpul. “Enggak tahu. Kenapa ya? Maybe because I'm comfortable enough with you?” tanya Anne yang terdengar bak rayuan.

“Kamu lagi ngerayu aku?” tanya Jeff dengan senyum lebar.

Anne tertawa. “Enggak loh. Aku ini seriusan nanya. Atau jangan-jangan kamu masang pelet ya ke aku,” duga Anne.

Kini giliran Jeff tertawa. “Ngapain pakai pelet? Enggak perlu begitu juga kamu pacar aku sekarang,” ucap Jeff.

Jeff bisa saja kembali mencumbu bibir Anne, jika tidak mendengar teriakan Ten.

“You see? They just kissed each other. So if the king and the queen of this dinner can have PDA, then we also can!”

Jeff dan Anne sekali lagi tertawa. Selain tentang mereka, menghabiskan waktu bersama teman-teman jugalah menyenangkan.

“Hai, aku Haechan!”

“Hai, aku Chaeryeong!

“Selamat datang, Haechan-ssi dan Chaeryeong-ssi. Susah juga ya buat menghadirkan kalian ke Get to Know Us,” ucap pembaca acara.

Chaeryeong tertawa pelan, sementara Haechan mengambil kesempatan bersua, “Maklum lah! Kita sibuk banget, ya 'kan sayang?”

“Kamu aja mah sok sibuk!” cibir Chaeryeong.

Pembaca acara menyela, “Mereka pasangan yang cukup unik ya! Pantas banyak yang mendukung saat keduanya went public.”

“Kita langsung saja ya? Tadi sebelum acara dimulai, kalian sudah mengisi form dari Get To Know Us dan sekarang kita akan bahas satu-persatu,” lanjut pembawa acara.

“Tinggi badan?”

“1.74 meter.”

“1.70 meter aja enggak?” ejek Chaeryeong.

“Enggak lah! Itu Renjun kali!”

Oh okay. Kalau aku 1.66 meter, jadi jaraknya 8 cm aja,” balas Chaeryeong.

“Kamu kenapa tinggi banget deh?! Minder tahu!”

Chaeryeong tertawa mendengar gerutuan Haechan. “Tapi kalau tinggi gitu, senderan di bahu kamu enggak perlu jinjit,” ucap Chaeryeong membuat Haechan tersipu malu.

“Kalau lihat dari ucapan Chaeryeong-ssi sama reaksi Haechan-ssi, kalian tipe yang suka ngelakuin skinship ya?”

“Lumayan, karena kita jarang ketemu juga 'kan. Jadi pas ada waktu bareng, skinship jadi suatu kebutuhan,” balas Chaeryeong.

“Kalau boleh tahu apa aja jenis skinship di antara kalian?”

“Macam-macam sih. Paling basic ya pegangan tangan, pelukan. Moderate maybe a kiss? Kalau hard-nya ya gitu, you know,” ucap Haechan dengan ekspresi menyebalkan.

“Jangan gitu dong wajahnya! Pantes nih level 18+nya penuh,” omel Chaeryeong.

Level kamu juga tinggi ini! Orang kamu diajak ya iya iya aja,” balas Haechan.

Pembawa acara ikut tertawa mendengar perdebatan keduanya. Lalu perlahan mengubah topik pembicaraan.

“Usia?”

“22 tahun, Chaeryeong 21 tahun.”

“Pas setahun,” timpal Chaeryeong.

“Enggak lah! Bedanya tuh 364 hari, yang,” protes Haechan.

“Aelah! Cuma beda satu hari aja udah pas setahun,” ucap Chaeryeong enteng.

“Ya enggak bisa! Kamu lahir 5 Juni 2001, aku 6 Juni 2000. Tuh kan bedanya 364 hari, belum setahun,” lanjut Haechan memaksakan pendapatnya.

“Kalau diperhatikan, Haechan-ssi valuing tanggal banget ya? Boleh dikasih tahu enggak tanggal berapa kalian jadian?” tanya pembawa acara penasaran.

“1 Januari 2021!” ucap keduanya serempak.

“Tumben inget?” tanya Haechan.

“Ya orang pas tahun baru kita jadian. Kali aku enggak inget,” sungut Chaeryeong.

Pembawa acara melanjutkan, “Suka kencan di rumah atau di luar?”

“Aku suka kencan di rumah sih! Cuma Haechan-oppa suka kencan di luar. Jadi ya giliran gitu sih, misal hari ini di rumah, kencan berikutnya kita keluar,” balas Chaeryeong.

“Kalau keluar ke mana?”

“Ya ke mana-mana. Ke bioskop, ke kedai tteokbokki pinggir jalan, kadang ke Myeongdong atau Gwanghwamun. Pernah juga sampai ke Nami-do, waktu itu weekend dan pas sama-sama libur. Ya udah deh nyetir giliran sampai ke Gangwon,” cerita Haechan.

“Berarti pada bisa nyetir ya ini?”

“Bisa. Tapi Chaeryeong lebih ahli karena dia sering nyetir. Kalau aku jarang, jadi kadang suka kagok,” jelas Haechan.

“Oke. Pertanyaan berikutnya, kalian ada panggilan khusus enggak untuk satu sama lain?”

“Jujur aja ya! Aku enggak gitu nyaman kalau dipanggil pakai nama khusus. Kalau dipanggil sayang masih oke,” balas Chaeryeong.

“Tapi aku suka banget. Jadi dia manggil aku oppa aja, kalau aku kadang manggil dia aegi yeou,” imbuh Haechan.

“Aegi yeou?”

“Iya. Karena Chaeryeong itu dilambangkan sebagai serigala, tapi dia tuh bayi banget. Jadi deh aegi yeou!” terang Haechan.

“Contohnya kayak gimana?”

Haechan mendekati Chaeryeong dan mengacak surai gadisnya acak. “Uri aegi yeou, jinjja gwiyeowo!” ucap Haechan dengan nada diimut-imutkan.

Ehhh! Geli ah!” pekik Chaeryeong dengan pipi memerah.

“Kita lanjut ya! Ekstrovert atau introvert?”

“Ekstrovert!” balas keduanya.

“Tapi level of awkwardness-nya?”

“Itu waktu pertama kali ketemu, aduh kalau diinget-inget malu banget! Oppa yang ngelakuin, aku yang malu,” pekik Chaeryeong.

“Aduh kayaknya ini mah semua orang udah tahu ceritanya deh! Enggak usah dibahas. “Skip!”” tambah Haechan.

“Kasih hint deh!”

“Di music show tahun 2019, udah itu aja!” balas Haechan.

“Yang berikutnya, takut enggak sama kecoa?”

“Aduh takut banget! Aku benci sama serangga,” sambar Haechan.

“Aku enggak yang berani banget sampai ngambil itu kecoa pake tangan terus bawa keluar. Paling kalau ada kecoa aku cari sandal atau sapu. Kalau enggak cari semprotan serangga, terus semprot sampai mabuk,” ucap Chaeryeong.

“Sadis banget kamu, yang!”

“Ya 'kan seram kalau dia terbang!”

Pembawa acara dan staff yang lain dibuat tertawa oleh kehebohan pasangan muda ini.

“Kalian kalau masak, makanannya masuk kelas enak atau gimana?”

“Bisa masak semua sih kita, tapi kalau ditanya masakan siapa lebih enak ya pasti Haechan-oppa,” balas Chaeryeong.

Haha, enggak juga. Ketimbang lebih enak mana, ini tuh lebih ke skill aja sih. Jadi kalau untuk Western food, Chaeryeong pasti berhasil membuat itu enak. Kalau aku lebih ke Korean food. Jadi tergantung apa yang dimasak,” koreksi Haechan.

“Pertanyaan terakhir nih! Sebelum kalian bersama, ada yang udah punya pacar sebelumnya?”

“Aku sih mantan satu aja. Ini nih Chaeryeong, mantannya ada tiga,” ucap Haechan.

“Ya terus kenapa? Cuma mantan juga! Enggak bakal balik,” seru Chaeryeong.

“Ih ya aku tetap enggak suka! Mana mantan-mantanmu itu satu agensi semua sama kamu. Aku malah beda. Wajar dong enggak suka!”

Pembawa acara menyela, “Mungkin ini alasan level cemburunya Haechan-ssi begitu tinggi.”

Hu'um! Dia juga overprotective. Contoh ketika aku datang ke gathering-nya agensi. Takut aku balikan sama mantan, dia sampai ikutan datang. PD-nim sampai bingung,” timpal Chaeryeong.

“Ya 'kan itu demi kepentingan kita bersama,” elak Haechan.

“Ih aku loh biasa aja sama mantan kamu! Kamu ngobrol sama dia aja, aku biasa,” balas Chaeryeong.

“Ya itu beda! Dia 'kan sahabat kamu dan kamu juga santai aja,” ucap Haechan.

“Nah kamu ngakuin dong kalau kamu tuh cemburuan!”

“Ih ya enggak!”

Acara Get to Know Us kali ini ditutup dengan rengekan Haechan yang tidak terima dicap sebagai pencemburu ulung.

< Prev

“Arghhh!”

Sonya memekik keras di pelataran kampus dekat kantin. Gadis itu telungkupkan kepala di antara tumpukan tangan depan laptop. Menangisi hasil penghitungan aplikasi SPSS yang tidak juga mengeluarkan hasil sesuai dengan prediksinya, setelah iterasi berulangkali. Bunga, Jihan, dan beberapa teman yang lain dibuat terkejut dengan teriakan melengking yang sepertinya terdengar sampai ruang dosen.

“Lo kenapa sih, Nya?! Hampir dua bulan ini kayak orang dikejar setan aja,” ucap Bunga menenangkan.

Jihan menyahuti, “Tau! Kayak awal bulan ini, semua orang kaget lo tiba-tiba udah sidang proposal. Kayak enggak ketebak anjir!”

Ian yang duduk tidak jauh dari ketiganya bergabung dan ikut menyahuti, “Nimbrung! Gue sama anak-anak yang lain juga kaget banget lo mendadak sidang proposal. Padahal sebelumnya lo udah nangis-nangis karena dosbing lo modelan Pak Bagas yang banyak mau. Lo pasang pelet apaan ke itu dosen?!”

Sonya angkat kepala dan meniup poninya cepat. “Gue enggak ada melet Pak Bagas. Yang ada gue mohon-mohon sama beliau buat nempa gue dalam sebulan bisa sidang proposal. Toh gue udah selesai sampai bab tiga aslian, cuma sebelumnya mager aja benerin latar belakang selama kerangka berpikir sesuai kemauan Pak Bagas,” terang Sonya.

“Apa yang tiba-tiba bikin lo rajin begini?! Mau lulus semester ini lo?!” tanya Bunga.

“Kalau bisa,” sahut Sonya.

“Lo ngejar apaan deh?” cibir Jihan.

“Mau dinikahin lo sama bo-nyok, makanya ngejar lulus?” Pertanyaan Ian membuat tangan Sonya reflek memukul punggungnya.

“Anjing, Nya! Ya kagak lo pukul juga! Gue 'kan nanya!” teriak Ian.

Sonya mendengus sebal. Ia tidak mungkin memberitahu teman-temannya alasan ia 'ngebut' lulus. Bunga mungkin tidak akan terkejut, tetapi Jihan, Ian, dan teman-teman yang lain pasti akan melongo dan berlanjut menertawai kebodohan Sonya menjadikan Tomy kekasihnya sebagai alasan ia mempercepat kelulusan.

“Ya udah, ya udah. Sonya udah stress sama analisis dia, jangan lagi digituin,” potong Bunga.

Ingatkan Sonya untuk berterima kasih pada Bunga setelah ini. Gadis itu menyelamatkan Sonya dari ke-kepo-an Jihan dan Ian.

“Terus gue harus gimana? Bantuin soal SPSS?! Not my league, okay?!” balas Ian.

Jihan bersua, “Kenapa enggak minta tolong sama Pak Tomy aja? He is literally the boss on that field. Semua penelitian yang pake SPSS di departemen kita dipegang Pak Tomy 'kan.”

“Nah iya! Tanya Pak Tomy aja, Nya. Bukannya beliau juga yang minta analisis lo pakai SPSS? Pak Tomy penguji lo 'kan pas sidang kemarin,” imbuh Ian.

Bunga dan Sonya saling bertatapan. Netra mereka seakan berbicara dengan satu sama lain. Bunga ragu-ragu, namun Sonya tersenyum lebar. Kenapa tidak terpikirkan oleh Sonya bertanya pada Tomy. Bagaimana pula Sonya bisa lupa kalau pria itu adalah salah satu dosen penguji saat sidang proposal kemarin.

Mungkin ini yang dinamakan sambil menyelam minum air. Sonya bisa menyelesaikan analisis untuk skripsinya, sekaligus mencari alasan menemui Tomy agar mau menjadi pacarnya dalam waktu singkat. Sonya kukuh untuk menaklukkan dosen termuda di Departemen Tata Kota itu dan menunggu bukan sesuatu yang Sonya suka lakukan.

“Jihan, thanks a lot! Gue mau cari Pak Tomy dulu!” pekik Sonya. Ia kalungkan tas ransel pada bahu, lalu membawa laptop lari ke lantai dua di mana ruang dosen berada.

“Emang ada tuh orang?!” teriak Bunga. Sonya menoleh singkat ke arah parkiran mobil dosen. Mobil Rush warna putih milik Tomy terparkir rapi ditempatnya.

“Mobilnya ada!” teriak Sonya, setelahnya tidak lagi peduli dengan panggilan Bunga, Jihan, maupun Ian.

Akankah Sonya berhasil kali ini?


Sonya ketuk pintu ruangan Tomy. Besar harapan Sonya, pria itu tidak dipanggil kepala departemen atau rapat di lab di lantai 3.

“Masuk!”

Sonya tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia masuk dan langsung mengunci pintu setelah yakin tidak ada siapapun di ruangan Tomy.

Tomy tersenyum sinis melihat kehadiran Sonya. 'Berani juga,' batinnya.

“Kamu pede banget ngunci pintu gitu. Enggak takut saya khilaf?” goda Tomy.

Sonya mengambil posisi duduk di depan Tomy dan bersua, “Ya bagus lah, Pak! Berarti saya berhasil mematahkan prinsip Bapak yang aneh itu.”

“Serah kamu aja, Nya. Jadi ngapain nyariin saya?” tanya Tomy. Segila-gilanya Sonya, Tomy yakin betul ada alasan yang lebih penting hingga gadis itu mencarinya.

Sonya memutar layar laptop menghadap Tomy, tak lupa memberi tatapan nyalang. Tak peduli dipanggil durhaka atau tidak, Sonya tidak akan merasa begitu jika Tomy belum menjadi pasangan hidupnya. Kata orang,

“Nih! Pas sidang proposal kemarin bapak minta saya buat pakai SPSS ketimbang MiniTab. Ya udah, saya iterasi data-data yang sudah saya dapat dari penyebaran kuisioner. Tapi hasilnya enggak sesuai terus, Pak. Harus saya gimanain dong?!” tanya Sonya yang lebih terdengar seperti rengekan manja pada kekasih hati.

“Kamu ini nanya, butuh diajarin 'kan? Ngerengek-nya kayak minta saya tanggung jawab karena nge-hamilin kamu,” canda Tomy.

Sonya langsung menyambar, “Amit-amit, Pak! Mending Bapak jadi pacar saya dulu, terus kita nikah, boleh deh hamilin saya seenak hati.”

Tomy mendorong dahi Sonya dengan telunjuk. “Kalau ngomong itu dipikir matang-matang, Sonya. Kamu enggak takut apa ngomong kayak gitu sama lawan jenis?” tegur Tomy.

Tomy mungkin bukan pria baik-baik seperti bagaimana orang-orang melihatnya selama ini, namun bagi Tomy tidak sepantasnya Sonya berbicara demikian. Sonya harusnya menyayangi dirinya sendiri lebih dari pada seseorang yang ia sukai.

“Kan ngomongnya sama Bapak aja,” balas Sonya acuh tak acuh.

“Terserah kamu aja. Ini dengerin penjelasan saya aja kalau gitu. Yang variabel ini kamu kategoriin dulu. Enggak bisa kamu main masukin ke kolom,” ucap Tomy kembali pada permasalahan utama Sonya.

Setengah jam mereka habiskan mengutak-atik SPSS, hingga hasil yang Sonya harapkan sesuai dengan hipotesis tercapai. Sonya bersorak gembira. Gadis itu spontan berdiri dan berlari memeluk Tomy yang duduk tenang di kursinya.

Hua! Makasih banyak, Pak Tomy! Akhirnya ini selesai! Bisa sidang satu saya bulan depan!” pekik Sonya. Gadis itu bahkan tidak ragu untuk memegang kedua sisi pundak Tomy dan menggoyangkan tubuh si pria heboh, setelah sebelumnya lancang memeluk.

Tomy memutar bola mata jengah. Sonya memanglah definisi manusia bertingkah semaunya sendiri. Di mana lagi kalian temukan mahasiswa yang seenaknya memeluk dosen hanya karena kegirangan. Sonya doang!

“Ya, ya, ya. Sekarang jauh-jauh sana! Telinga saya sakit dengar kamu teriak-teriak. Belum lagi pegang-pegang. Kok kamu yang khilaf?!” omel Tomy.

Sonya menjauhkan tangan dan mengangkat kedua sisi ke udara. “Ooops! Bapak mah! Saya ini lagi usaha buat jadiin Bapak pacar saya, segala cara bakal saya tempuh lah!” sungut Sonya.

Tomy mendecak remeh. “Dari saya syaratnya 'kan cuma satu Sonya, lulus dulu. Belum lulus, mau kamu usaha kayak apapun juga enggak bakal saya peduli,” balas Tomy.

Sonya mencibir, “Halah alasan! Ini kalau saya meluk dari samping lagi juga Bapak khilaf!”

Tomy memutar kursinya, lalu menantang, “Ya udah nih coba dari depan. Kalau berani coba cium saya duluan, saya 100% jamin kamu yang nyesel.”

“Bapak nantangin saya atau nyari kesempatan?!” pekik Sonya.

“Loh? Tadi 'kan kamu yang cari-cari kesempatan. Lagian sekarang, kalau kita ciuman yang kamu harapkan apa? Saya balas ciuman kamu 'kan? Makanya coba kalau kamu bisa. Kalau saya balas, berarti kamu yang menang. Tapi kalau saya enggak balas, enggak ada intrik aneh-aneh selain kamu lulus dulu baru balik ke saya. Ya kalau saya masih sendiri, seperti yang saya bilang pas kita ketemu di diskotik,” ucap Tomy remeh.

Sonya mencak-mencak sekali lagi. Tomy bagaikan cenayang yang dengan mudah menebak isi kepala Sonya karena gadis itu jelas tidak akan mencium dirinya. Kesadaran Sonya kalau mereka masih berada di lingkungan kampus nyatanya masih tersisa.

Sonya langsung mengambil tas dan laptop, membuka kunci pintu, dan keluar ruangan dengan langkah berat dibuat-buat. Tomy puas tertawa karena berhasil membuat Sonya jengah.

Menaklukkan Tomy rasanya sama seperti meloloskan diri hingga ke PIMNAS. Sama susahnya!

Next >