What You See is not Always the Truth
Sonya menatap teduh ke arah papan tulis. Tentu saja bukan penjelasan mata kuliah yang ia dengarkan, melainkan sosok yang tengah menerangkan di depan sana. Namanya Tomy atau Pak Tomy, begitu teman-teman Sonya memanggil pria tampan dengan sejuta pesona itu. Sudah tampan, tutur kata dan cara pria itu bersikap sangatlah sopan.
Sonya tentunya berkebalikan dari pria sempurna sejenis Tomy. Sonya bersifat ceplas-ceplos, kadang sok idealis, dan tukang protes. Walau sikapnya itu berhasil membuat Sonya menduduki jabatan ketua departemen PSDM di himpunan, ia tidak merasa sebanding. Ketidaksebandingan itu lah yang menjadi alasan Sonya tertarik dengan Tomy si dosen muda.
Tomy yang diperhatikan sejak tadi oleh Sonya tentu sadar. Tomy tidak lahir kemarin untuk tidak bisa membedakan antara tatapan serius mendengarkan dan tatapan dengan maksud lain.
“Sonya, coba jelaskan apa yang sebelumnya saya maksud dengan IRR?” tanya Tomy.
Sonya sempat gelagapan, namun ia tidak boleh dikalahkan oleh Tomy. Sonya boleh 'urakan', tapi tidak boleh bodoh. Apalagi di depan Tomy. Pria itu bisa besar kepala kalau Sonya sampai membodohi diri sendiri.
“IRR or internal rate of return adalah rate pengembalian investasi, di mana jika forecast rate atau bunga menunjukkan angka yang lebih besar dari modal investasi yang akan dikeluarkan, maka tidak ada halangan untuk melakukan investasi,” balas Sonya.
Tomy harus akui Sonya bukan sembarang mahasiswa. Tampilan 'slengean' dari gadis itu berbanding hampir 180° dengan otak encernya.
“Good explanation! Berarti saya anggap kalian sudah mengerti dengan penjelasan saya. Sekian kelas dari saya, selamat pagi,” ucap Tomy menutup kelas.
Sonya menghembuskan napas lega tepat setelah Tomy meninggalkan kelas. “Fiuh! That was close!” gumam Sonya.
Bunga yang duduk di samping Sonya lantas menegur, “Lo sih! Gila banget setiap kelas Pak Tomy bukannya merhatiin penjelasan, malah Pak Tomy mulu dilihatin!”
Sonya memutar netra. “Ya emang kenapa sih? Toh gue bisa jawab pertanyaan dia,” sewot Sonya.
“Susah emang ngomong sama lo! Apa juga yang dilihat dari Pak Tomy sampai lo segila ini? Pak Tomy aja kayaknya risih deh lo lihatin terus setiap dia ngajar,” balas Bunga tak kalah sewot sembari keduanya melangkah keluar kelas.
Sonya melihat turun ke bawah sambil memegang teralis, menemukan sosok Tomy yang tengah mengobrol dengan salah satu orang administrasi jurusannya dengan begitu sopan di area parkir dosen.
“Pak Tomy tuh ganteng, Nga. Terus lo lihat deh, sopan banget. Beneran tipe anak baik-baik. Mana masih muda, ya kali gue enggak kepincut,” terang Sonya.
“Ya, ya, ya. Lo udah jelasin hal yang sama berulangkali, bosen gue dengernya,” balas Bunga.
“Gitu tahu! Masih aja nanya,” cibir Sonya.
“Eh entar lo datang 'kan ke birthday party-nya Jeandra?” tanya Bunga mengubah topik.
Sonya mengucap, “Jeandra si Kadiv SOB himpunan sebelah? Datang lah! Gila aja kagak datang! Drink party cuy!”
“Outfit?”
“Not quite sure, but maybe black leather blazer with maroon lace top, of course the top that could boost up my boobs. Then add black skinny trousers and black heels. Wanna be simple for tonight!” terang Sonya.
“Kalau soal tampil sexy, lo enggak ada tukat-tukatnya ye. Gue paling pake kaos yang panjang gitu, terus baliknya pakein celana pendek,” sahut Bunga.
“Ini gue masih tahan-tahan sih enggak terlalu revealing. Takut macan-macan itu menggila sama kecantikan gue,” sombong Sonya.
“Gelo!”
“Tapi kalau Pak Tomy yang menggila karena kecantikan gue mah enggak masalah,” sambung Sonya.
“Makin stress!” pekik Bunga.
Sonya tidak berbohong soal pilihan pakaian yang ia kenakan malam ini. Ia kenakan sesuai yang ia bicarakan dengan Bunga saat di kampus beberapa jam yang lalu. Bunga yang menjemput Sonya sampai dibuat geleng kepala.
“Wah! Rame juga!” kagum Bunga saat tiba di diskotik yang menjadi lokasi perayaan ulang tahun Jeandra.
“Jeandra mah temannya banyak lagi, Nga. Satu kampus kayaknya dia kenal semua itu,” ucap Sonya menutup pintu dan merangkul Bunga untuk masuk ke dalam.
Netra Sonya lalu tak sengaja menatap sosok dekat pintu masuk yang tengah menyandar sembari menghisap rokok. Sonya tidak begitu suka dengan perokok, namun lelaki yang tengah menghisap nikotin itu menarik atensi Sonya.
'Kayak kenal. Tapi siap-'
Sayang, pikiran Sonya buyar kala Bunga menyeretnya masuk ke dalam. Satu nama sempat terbesit di kepala, tetapi sepertinya bukan. 'Ah! Mirip aja kali!' batin Sonya.
Seperti tebakan kalian, keadaan di dalam begitu ramai. Jeandra selaku pemilik acara hanya sekali menyapa Sonya dan Bunga, setelahnya sibuk di pojokan dengan kekasihnya Mina.
Bunga memilih bergabung dengan Jihan, sementara Sonya menuju meja bartender dan memesan Martini. Sonya malas kembali ke tempat Bunga duduk. Lebih baik ia duduk di sini ketimbang memaksakan diri menerobos keramaian seperti sebelumnya. Selain malas tergencat, Sonya malas berinteraksi dengan teman-temannya yang sok kenal dan sok akrab.
Kala menegak minumannya, Sonya dengar suara seorang pria memesan sesuatu pada bartender. “Mas, Whisky segelas ya! Pake es,” pinta si pria.
“Sure!” balas si bartender.
Pria itu duduk di samping Sonya, setelah menoleh ke arah si gadis. Pandangan otomatis bertemu dan membuat Sonya terperanjat.
“Pak Tomy?!”
Berbeda dengan sikapnya di kampus, pria memilih acuh tak acuh dan menegak minuman yang baru saja bartender sajikan.
Sonya langsung saja berdiri dan mendekat. “Bapak ngapain di sini?!” tanya Sonya.
Tomy berdecak pelan. “Weird question, Nya. Gue ke sini ya minum, kayak yang lo lihat,” balas Tomy, benar-benar 180° berkebalikan dengan yang Sonya kenal selama ini.
Sonya lantas memicing dari atas kepala hingga ujung kaki Tomy. Rambut sedikit berantakan, tidak serapi saat di kampus. Jaket kulit berwarna hitam yang menutupi kemeja kerja dengan beberapa kancing terlepas, lalu dilengkapi dengan jeans berwarna hitam. Tampak serasi dengan pakaian Sonya. Belum lagi bau nikotin yang kentara. Sosok pria yang Sonya lihat sebelum masuk diskotik nyatanya adalah Tomy, dosen yang Sonya sukai. Tidak menyangka pria seperti Tomy bisa juga bersenang-senang.
“Bapak kok enggak kaya di kampus?! Pake gue-lo banget nih?!” pekik Sonya.
“Ck. Gue enggak di kampus, Britany Sonya Aditama. Terserah gue mau ngomong kayak gimana, kagak urusan lo,” sambar Tomy.
Sonya yang awalnya terkejut, kini justru tertantang dengan sifat cuek Tomy. Bagi Sonya, pesona Tomy bertambah hingga 1000%. Oh, tidak lagi terhitung persenan angka, melainkan tidak terhingga.
“Pak, don't you realize you look hot tonight?!”
Tomy menatap Sonya datar. “Did you just hit on me? Di kelas enggak cukup?” tanya Tomy.
“Ah! You know! Not fun!” seru Sonya.
“Orang bego juga tahu lagi. Lo pikir gue enggak tahu tatapan lo setiap gue ngajar. Predictable,” sahut Tomy.
Sonya pegang bahu kiri Tomy, membuat kursi yang pria itu duduki ikut berputar. “Karena Bapak udah tahu, gimana kalau Bapak jadi pacar saya? Males Pak nunggu-nunggu. Toh Bapak belum ada yang punya,” tantang Sonya.
Tomy tersenyum sinis. “How sure are you? Yakin gue enggak ada yang punya?”
“Bapak enggak ada pakai cincin di semua jari, so I guess you are single,” balas Sonya percaya diri.
Tomy teguk habis minumannya dan meletakkan gelas di meja. Pria itu lalu berdiri dan tanpa aba-aba mendekatkan bibirnya di depan bibir Sonya.
“Nanggung amat Pak cuma diam depan bibir saya. Langsung aja sih cium,” tantang Sonya sekali lagi.
Bibir Tomy beralih pada daun telinga Sonya. Pria itu berbisik, “Gue bisa aja nyium lo, tapi gue enggak akan melanggar prinsip gue untuk enggak pacaran sama mahasiswa sendiri. Kalau lo ngebet sama gue, coba lulus semester ini. Siapa tahu bisa jadi pacar gue, itupun kalau gue masih sendiri.”
Tomy menjauh, menemukan tatapan tidak percaya Sonya padanya. “Bapak lagi bercanda?! Saya sidang proposal aja belum!” pekik Sonya.
“Ya dicoba, Sonya. Belum nyoba udah pesimis. Gue enggak suka cewek pesimis, for your information,” balas Tomy.
Tomy sekali lagi mendekat dan berbisik, “Your cleavage look pretty anyway. Wanna kiss you there, but nah! Lulus dulu, cantik!”
Tomy berjalan menjauh sembari tertawa, meninggalkan Sonya yang mencak-mencak karena gagal membuat dosen rupawan itu menjadi kekasihnya.
“Tomy Alfansyah menyebalkan!”