Rina

Sonya menatap teduh ke arah papan tulis. Tentu saja bukan penjelasan mata kuliah yang ia dengarkan, melainkan sosok yang tengah menerangkan di depan sana. Namanya Tomy atau Pak Tomy, begitu teman-teman Sonya memanggil pria tampan dengan sejuta pesona itu. Sudah tampan, tutur kata dan cara pria itu bersikap sangatlah sopan.

Sonya tentunya berkebalikan dari pria sempurna sejenis Tomy. Sonya bersifat ceplas-ceplos, kadang sok idealis, dan tukang protes. Walau sikapnya itu berhasil membuat Sonya menduduki jabatan ketua departemen PSDM di himpunan, ia tidak merasa sebanding. Ketidaksebandingan itu lah yang menjadi alasan Sonya tertarik dengan Tomy si dosen muda.

Tomy yang diperhatikan sejak tadi oleh Sonya tentu sadar. Tomy tidak lahir kemarin untuk tidak bisa membedakan antara tatapan serius mendengarkan dan tatapan dengan maksud lain.

“Sonya, coba jelaskan apa yang sebelumnya saya maksud dengan IRR?” tanya Tomy.

Sonya sempat gelagapan, namun ia tidak boleh dikalahkan oleh Tomy. Sonya boleh 'urakan', tapi tidak boleh bodoh. Apalagi di depan Tomy. Pria itu bisa besar kepala kalau Sonya sampai membodohi diri sendiri.

IRR or internal rate of return adalah rate pengembalian investasi, di mana jika forecast rate atau bunga menunjukkan angka yang lebih besar dari modal investasi yang akan dikeluarkan, maka tidak ada halangan untuk melakukan investasi,” balas Sonya.

Tomy harus akui Sonya bukan sembarang mahasiswa. Tampilan 'slengean' dari gadis itu berbanding hampir 180° dengan otak encernya.

Good explanation! Berarti saya anggap kalian sudah mengerti dengan penjelasan saya. Sekian kelas dari saya, selamat pagi,” ucap Tomy menutup kelas.

Sonya menghembuskan napas lega tepat setelah Tomy meninggalkan kelas. “Fiuh! That was close!” gumam Sonya.

Bunga yang duduk di samping Sonya lantas menegur, “Lo sih! Gila banget setiap kelas Pak Tomy bukannya merhatiin penjelasan, malah Pak Tomy mulu dilihatin!”

Sonya memutar netra. “Ya emang kenapa sih? Toh gue bisa jawab pertanyaan dia,” sewot Sonya.

“Susah emang ngomong sama lo! Apa juga yang dilihat dari Pak Tomy sampai lo segila ini? Pak Tomy aja kayaknya risih deh lo lihatin terus setiap dia ngajar,” balas Bunga tak kalah sewot sembari keduanya melangkah keluar kelas.

Sonya melihat turun ke bawah sambil memegang teralis, menemukan sosok Tomy yang tengah mengobrol dengan salah satu orang administrasi jurusannya dengan begitu sopan di area parkir dosen.

“Pak Tomy tuh ganteng, Nga. Terus lo lihat deh, sopan banget. Beneran tipe anak baik-baik. Mana masih muda, ya kali gue enggak kepincut,” terang Sonya.

“Ya, ya, ya. Lo udah jelasin hal yang sama berulangkali, bosen gue dengernya,” balas Bunga.

“Gitu tahu! Masih aja nanya,” cibir Sonya.

“Eh entar lo datang 'kan ke birthday party-nya Jeandra?” tanya Bunga mengubah topik.

Sonya mengucap, “Jeandra si Kadiv SOB himpunan sebelah? Datang lah! Gila aja kagak datang! Drink party cuy!”

“Outfit?”

“Not quite sure, but maybe black leather blazer with maroon lace top, of course the top that could boost up my boobs. Then add black skinny trousers and black heels. Wanna be simple for tonight!” terang Sonya.

“Kalau soal tampil sexy, lo enggak ada tukat-tukatnya ye. Gue paling pake kaos yang panjang gitu, terus baliknya pakein celana pendek,” sahut Bunga.

“Ini gue masih tahan-tahan sih enggak terlalu revealing. Takut macan-macan itu menggila sama kecantikan gue,” sombong Sonya.

“Gelo!”

“Tapi kalau Pak Tomy yang menggila karena kecantikan gue mah enggak masalah,” sambung Sonya.

“Makin stress!” pekik Bunga.


Sonya tidak berbohong soal pilihan pakaian yang ia kenakan malam ini. Ia kenakan sesuai yang ia bicarakan dengan Bunga saat di kampus beberapa jam yang lalu. Bunga yang menjemput Sonya sampai dibuat geleng kepala.

“Wah! Rame juga!” kagum Bunga saat tiba di diskotik yang menjadi lokasi perayaan ulang tahun Jeandra.

“Jeandra mah temannya banyak lagi, Nga. Satu kampus kayaknya dia kenal semua itu,” ucap Sonya menutup pintu dan merangkul Bunga untuk masuk ke dalam.

Netra Sonya lalu tak sengaja menatap sosok dekat pintu masuk yang tengah menyandar sembari menghisap rokok. Sonya tidak begitu suka dengan perokok, namun lelaki yang tengah menghisap nikotin itu menarik atensi Sonya.

'Kayak kenal. Tapi siap-'

Sayang, pikiran Sonya buyar kala Bunga menyeretnya masuk ke dalam. Satu nama sempat terbesit di kepala, tetapi sepertinya bukan. 'Ah! Mirip aja kali!' batin Sonya.

Seperti tebakan kalian, keadaan di dalam begitu ramai. Jeandra selaku pemilik acara hanya sekali menyapa Sonya dan Bunga, setelahnya sibuk di pojokan dengan kekasihnya Mina.

Bunga memilih bergabung dengan Jihan, sementara Sonya menuju meja bartender dan memesan Martini. Sonya malas kembali ke tempat Bunga duduk. Lebih baik ia duduk di sini ketimbang memaksakan diri menerobos keramaian seperti sebelumnya. Selain malas tergencat, Sonya malas berinteraksi dengan teman-temannya yang sok kenal dan sok akrab.

Kala menegak minumannya, Sonya dengar suara seorang pria memesan sesuatu pada bartender. “Mas, Whisky segelas ya! Pake es,” pinta si pria.

“Sure!” balas si bartender.

Pria itu duduk di samping Sonya, setelah menoleh ke arah si gadis. Pandangan otomatis bertemu dan membuat Sonya terperanjat.

“Pak Tomy?!”

Berbeda dengan sikapnya di kampus, pria memilih acuh tak acuh dan menegak minuman yang baru saja bartender sajikan.

Sonya langsung saja berdiri dan mendekat. “Bapak ngapain di sini?!” tanya Sonya.

Tomy berdecak pelan. “Weird question, Nya. Gue ke sini ya minum, kayak yang lo lihat,” balas Tomy, benar-benar 180° berkebalikan dengan yang Sonya kenal selama ini.

Sonya lantas memicing dari atas kepala hingga ujung kaki Tomy. Rambut sedikit berantakan, tidak serapi saat di kampus. Jaket kulit berwarna hitam yang menutupi kemeja kerja dengan beberapa kancing terlepas, lalu dilengkapi dengan jeans berwarna hitam. Tampak serasi dengan pakaian Sonya. Belum lagi bau nikotin yang kentara. Sosok pria yang Sonya lihat sebelum masuk diskotik nyatanya adalah Tomy, dosen yang Sonya sukai. Tidak menyangka pria seperti Tomy bisa juga bersenang-senang.

“Bapak kok enggak kaya di kampus?! Pake gue-lo banget nih?!” pekik Sonya.

Ck. Gue enggak di kampus, Britany Sonya Aditama. Terserah gue mau ngomong kayak gimana, kagak urusan lo,” sambar Tomy.

Sonya yang awalnya terkejut, kini justru tertantang dengan sifat cuek Tomy. Bagi Sonya, pesona Tomy bertambah hingga 1000%. Oh, tidak lagi terhitung persenan angka, melainkan tidak terhingga.

“Pak, don't you realize you look hot tonight?!”

Tomy menatap Sonya datar. “Did you just hit on me? Di kelas enggak cukup?” tanya Tomy.

“Ah! You know! Not fun!” seru Sonya.

“Orang bego juga tahu lagi. Lo pikir gue enggak tahu tatapan lo setiap gue ngajar. Predictable,” sahut Tomy.

Sonya pegang bahu kiri Tomy, membuat kursi yang pria itu duduki ikut berputar. “Karena Bapak udah tahu, gimana kalau Bapak jadi pacar saya? Males Pak nunggu-nunggu. Toh Bapak belum ada yang punya,” tantang Sonya.

Tomy tersenyum sinis. “How sure are you? Yakin gue enggak ada yang punya?”

“Bapak enggak ada pakai cincin di semua jari, so I guess you are single,” balas Sonya percaya diri.

Tomy teguk habis minumannya dan meletakkan gelas di meja. Pria itu lalu berdiri dan tanpa aba-aba mendekatkan bibirnya di depan bibir Sonya.

“Nanggung amat Pak cuma diam depan bibir saya. Langsung aja sih cium,” tantang Sonya sekali lagi.

Bibir Tomy beralih pada daun telinga Sonya. Pria itu berbisik, “Gue bisa aja nyium lo, tapi gue enggak akan melanggar prinsip gue untuk enggak pacaran sama mahasiswa sendiri. Kalau lo ngebet sama gue, coba lulus semester ini. Siapa tahu bisa jadi pacar gue, itupun kalau gue masih sendiri.”

Tomy menjauh, menemukan tatapan tidak percaya Sonya padanya. “Bapak lagi bercanda?! Saya sidang proposal aja belum!” pekik Sonya.

“Ya dicoba, Sonya. Belum nyoba udah pesimis. Gue enggak suka cewek pesimis, for your information,” balas Tomy.

Tomy sekali lagi mendekat dan berbisik, “Your cleavage look pretty anyway. Wanna kiss you there, but nah! Lulus dulu, cantik!”

Tomy berjalan menjauh sembari tertawa, meninggalkan Sonya yang mencak-mencak karena gagal membuat dosen rupawan itu menjadi kekasihnya.

“Tomy Alfansyah menyebalkan!”

Next >

“Jeff! Jangan lari-lari dong!” teriak Anne.

Jeff tertawa di tengah larinya. “Ayo main ayunan!” ajak Jeff.

“Lo ngajakin gue ke sini cuma buat main ayunan?!” pekik Anne.

“Main semua lah! Perosotan, jungkat-jungkit, semua,” balas Jeff.

“So childish!” cibir Anne.

Namun gadis itu tetap mengikuti Jeff. Menaiki perosotan, memekik riang kala bermain jungkat-jungkit yang membuatnya lebih banyak berada di udara karena berat badan Jeff yang tidak sebanding dengan tubuh kecil Anne. Melupakan sejenak beban hidup, keduanya lepaskan melalui tawa riang.

Permainan terakhir adalah ayunan. Pekikan Anne mengencang setiap Jeff mendorong tubuhnya melayang di udara.

“Jeff, stop!!!”

“No way, Anne!!!”

“Jeff, gue pusing!!!”

Jeff tertawa mendengar reaksi Anne. Anne bilangnya pusing, tapi gadis itu tidak berhenti tertawa sejak mereka bermain bersama. Selama bermain, Jeff bisa merasakan betapa nyamannya Anne dengan dirinya. Tandanya ada peluang Anne memiliki rasa yang sama untuknya bukan?

Jeff hentikan laju ayunan Anne, lalu mengambil sebotol air mineral dari tas si gadis di ayunan sebelah.

“Nih!”

Anne raih botol air dan menegaknya cepat sembari Jeff dudukkan tubuh di ayunan dengan memangku tas si gadis.

“Jadi ini alasan lo nitip air di tas gue? Karena mau ngajakin gue main beginian?” tanya Anne terengah.

“Iya. Mau ngajakin lo santai gitu. Capek enggak sih sama rutinitas sebulan terakhir? Tugas lah, mingle lah, segala macamnya,” ucap Jeff.

Anne mengangguk berulangkali tanda paham. “You are right. Been wanting to go somewhere to set my mind free and just now I have the time. Because of you, Jeff. Thank you,” balas Anne.

“There is also something I wanna talk to you,” ungkap Jeff.

“Iya, apa?”

“Gue tahu gue enggak sempurna. Mungkin lo udah dengar soal gue yang tidur sama banyak cewek, mungkin lo udah dengar juga alasan gue begitu. Mama menyakiti Papa, jadi gue tunjukkan gimana sakitnya kalau gue yang seenaknya sama perempuan. Tapi Mama tidak pernah memikirkan itu. Dia terus baik sama gue walau sejahat itu dia sama keluarga kecil gue. Dia selalu ingin dianggap Ibu ketika ia sendiri yang memilih menjalin hubungan dengan lelaki lain. I despise her so much for that!

“Ketika menginjak umur 18 tahun, gue menjadi semakin gila. Gue tidur sama banyak cewek hampir setiap hari biar Mama sadar, namun wanita tua itu tidak berkutik. Hatinya mati! Bodoh kan gue, balas dendam ke orang yang tidak peduli apapun selain dirinya sendiri. Hidup gue menyedihkan!”

Jeff keluarkan semua yang ia rasa selama ini dan Anne dengan setia mendengarkan. Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut si gadis menyela cerita Jeff.

Jeff menatap Anne dari duduknya. “Lo enggak jijik sama gue?” tanya Jeff.

Anne terdiam sesaat. Ia balas menatap Jeff. Anne sering mempertanyakan keputusan orang-orang melakukan hubungan intim di luar nikah dengan alasan cinta hingga alasan sekadar bersenang-senang, namun Anne tidak pernah memandang Jeff rendah atau bagaimana. Anne tidak menampik ia sedikit takut saat berada dekat Jeff, namun setelah mengenal si lelaki dalam waktu singkat, Anne tidak sepenuhnya menyalahkan Jeff.

Lelaki itu sesungguhnya kesepian, apalagi ada trauma akan pernikahan setelah melihat orang tuanya tercerai-berai. Jeff tidak punya panutan karena sejak kecil sudah berpisah dengan orang-orang yang seharusnya menjadi sandaran dalam berbagai keadaan. Jeff kehilangan keluarganya di usia belia. Seperti apapun interaksi mereka sekarang, keadaan tidak akan kembali seperti semula.

Bagai vas yang pecah, bisa disatukan dengan lem super kuat namun tidak akan bisa kembali mulus seperti sedia kala.

“Enggak. Gue enggak jijik sama lo, lo hanya enggak tahu harus bagaimana melampiaskan emosi lo. Lo mungkin salah, tapi bukan berarti gue enggak suka temenan sama lo, Jeff. You are precious to me, to all of us. Don't belittle yourself,” balas Anne.

Jeff terkekeh pelan. Dalam hati ia berseru, “Tuhan! Kenapa baru sekarang Engkau kirim manusia sebaik ini?” Jeff tidak menyangka bisa mengenal Anne sebagai satu dari banyaknya orang berharga dalam hidupnya.

“Anne, you know what? You are also precious to me, more than anyone in this world,” ucap Jeff.

“Jeff, jangan berlebihan gitu! Gue cuma teman lo,” kilah Anne.

“Tapi Anne, sekarang gue enggak mau jadi teman lo. Gue suka sama lo, lebih dari teman. Gue suka sama lo karena itu lo. Ucapan gue kemarin di kamar bukan bualan, I really want you to be my girlfriend. Gue bahkan udah berhenti tidur sama perempuan lain sejak kenal sama lo. Gue enggak pernah segila ini soal perempuan. You are the only one!

Jeff katakan isi hatinya pada Anne dan jawaban kini ada di tangannya. Keputusan apa yang akan Anne ambil?

“Need help?”

Anne tersenyum mendengar pertanyaan Jenny. “Help me open the door, then,” pinta Anne.

“Sure!”

Setelah Jenny membukakan pintu, Anne masuk ke dalam dan meletakkan nampan berisi semangkuk bubur ayam dan segelas air mineral di nakas.

Anne menghela napas kala menemukan Jeff yang tidak juga istirahat, melainkan bermain game di ponsel. Anne tanpa pikir panjang mengambil ponsel dari tangan Jeff.

“Anne!” rengek Jeff.

“No! I told you to take a rest, but you ignore it. So, no phone until tomorrow!” ultimatum Anne.

“Anne, how cruel you are! Give it back!” marah Jeff.

“Why should I?!”

First, I can't get away from my phone because I need to know some infos from colleagues regarding classes. Gue udah enggak masuk dua hari, jadi gue harus tahu dong gue ketinggalan apa aja,” ulas Jeff.

“Yeah! Which you obviously use for playing game,” sindir Anne.

“Gue bosen! Mau tidur enggak bisa, ya udah main game. And secondly, you're not my mom who can order me around like you want me to,” lanjut Jeff.

Anne mengambil mangkuk bubur sembari menyahuti, “Then now I'm your mom.”

“The fuck?! I don't want you to be my mom, I want you to be my girlfriend,” ceplos Jeff.

Anne terdiam mendengar ucapan Jeff. Benar ia kaget, tapi rasa terkejut itu tergantikan cepat dengan gerakan mata memutar sebal.

Anne cubit lengan Jeff, membuat si empu mengaduh kesakitan. “Ouch! It hurts!” pekik Jeff.

“Stop talking nonsense!” omel Anne.

“Who's talking nonsense? I said the tru-”

Anne membungkam Jeff dengan memasukkan sesendok bubur yang sudah ia tiup sebelumnya ke dalam mulut.

“Cerewet! Makan dulu, minum, terus tidur kalau besok masih mau lihat dunia,” tegas Anne.

The fuck, Anne! Jangan nyeremin gitu dong ngomongnya. Gue masih mau hidup,” ucap Jeff sedikit ngeri.

“Ya udah, makanya dengerin gue ngomong. Demi kebaikan lo juga.”

Anne kembali menyuapi Jeff sampai sendok terakhir. Setidaknya Jeff tidak protes apapun saat makan, membuat Anne lebih mudah mengurus lelaki yang seumuran dengannya ini.

Setelah beres makan dan minum, Jeff merebahkan tubuhnya selagi Anne sibuk merapikan peralatan makan kembali ke nampan. Anne angkat nampan, lalu berkata, “Tidur sana. Hp lo udah gue taruh di atas nakas, kalau perlu banget baru pakai. Kalau enggak, mending istirahat aja.”

Anne berjalan keluar, namun langkah tersendat kala tangan Jeff menahan geraknya. Anne menatap ke bawah ke arah Jeff.

“Lo enggak bakal ninggalin gue sendiri kan?” tanya Jeff.

Tanya lelaki itu terdengar menyedihkan, tidak seperti Jeff yang Anne kenal selama ini. Efek sakit sepertinya, batin Anne.

Anne membalas, “Gue di luar kalau lo butuh apa-apa. Kak John sama Jenny juga ada, panggil aja entar.”

Jeff melepas cekalan pada tangan Anne dan mulai memejamkan mata. Anne keluar setelah mematikan dan menutup pintu kamar.

“Cepat baikan, Jeffrian.”

Jeff perlahan bangun dari tempat tidur. Ia berdiri tegak, membawa tiang infus seraya mendekati Anne yang duduk membelakangi.

“Anne?” panggil Jeff.

Anne mengusap wajah berlinang air mata, namun tidak juga menoleh menatap Jeff. Jeff bahkan sampai berjongkok di lutut, Anne tak juga menoleh. Gadis itu masih dilanda perasaan bersalah.

Tangan Jeff bergerak naik mengusap pipi Anne. Hanya sesaat karena gadis itu memalingkan wajah menghindar. Ada ketakutan dalam diri Anne, ia akan melemah jika menatap netra Jeff.

“Anne, please! Look at me,” pinta Jeff.

“I can't.”

Jeff raih kedua tangan Anne, menumpukannya di atas paha si gadis. “Why you can't? Feels guilty about my allergy?”

Anne menunduk lalu mengangguk beberapa kali. Jeff tertawa pelan mendengarnya. Ia usap surai Anne beberapa kali. “Udah dibilangin bukan salah lo. Lagian kenapa juga lo mikir itu salah lo? Kan gue yang makan kacangnya,” ucap Jeff sedikit heran, walau dalam hati ia bersorak gembira dikhawatirkan oleh Anne. Seakan lupa kemarin berjanji untuk membuat Anne bahagia.

'Enggak apa lah untuk sekarang. Kapan lagi ditangisin Anne begini,' batin Jeff.

Anne menjawab, “Tapi kalau enggak ada kacang kesukaan gue, lo enggak bakal makan. Enggak bakal kena alergi sampai masuk rumah sakit gini.”

'Sudah cukup! Gue enggak tega. Nih anak nangis udah kayak ditinggal mati suami. Padahal gue sehat wal'afiat gini,' batin Jeff sekali lagi.

Batin pun bisa plin-plan kalau sudah berkaitan dengan perasaan.

“Ne, gue itu suka banget sama kacang-kacangan. Walau alergi, gue tetap makan karena gue suka. Salah gue, kemarin sampai apart lupa minum obat. Sakit, masuk rumah sakit deh!” terang Jeff.

Anne lantas mendongak dan membalas tatapan teduh Jeff. Jeff ingin sekali tertawa melihat mata merah serta kelopak sedikit bengkak si gadis. Entah berapa lama gadis itu menangis, Jeff tidak tahu

Lelaki itu melanjutkan, “Jadi bukan salah lo, emang gue-nya aja bandel. Don't blame yourself over something which isn't your fault! Gue enggak suka lihatnya.”

Anne mengangguk sekali lagi. Jeff tersenyum sembari bangkit dari posisi jongkok. Jeff reflek menyentuh sisi kanan rahang Anne, mengecup pelan dan lama kening gadis itu.

Di luar dugaan, Anne tidak terlalu terganggu dengan afeksi yang Jeff berikan. Anne pejamkan mata kala bibir Jeff menempel pada kening, menyesap rasa asing yang justru menenangkan si gadis setelah seharian berlarut dalam permainan roller coaster emosi akan kondisi si lelaki.

Jeff menjauh, membuat netranya dan Anne bertemu. Tanpa sadar, Jeff kembali memajukan wajahnya perlahan. Anne tidak juga menghindar. Jeff tidak memenuhi janjinya bertanya lebih dahulu sebelum beraksi, namun Anne tidak terlihat menolak kala bibir Jeff semakin dekat dengan bibirnya. Perlahan, Anne pejamkan mata.

Bibir keduanya bisa saja bertemu, jika tidak ada gangguan.

Perawat keluar dari ruang periksa dan menghampiri Anne serta Jessy yang menunggu dengan wajah panik.

“Excuse me, are both of you Mr. Jeffrian's family?”

“I'm his cousin. We study together at Stfd,” sahut Jessy.

Perawat mengangguk pelan. Wanita itu lalu menjelaskan, “So the doctor diagnosed an allergy from his symptoms. Does patient cannot eat certain type of food?”

“He can't eat beans, especially canned beans,” ucap Jessy.

Ucapan Jessy mengingatkan Anne akan menu sarapan mereka kemarin. Ada kacang merah tersedia di piring dan Anne ingat betul piring Jeff bersih tak bersisa. Anne ingat karena lelaki itu duduk disebelahnya saat sarapan.

“Jess?”

Jessy menoleh, “Iya? Kenapa, Ne?”

“Kemarin waktu sarapan di rumah, Tante nyiapin English breakfast dan itu ada kacangnya. So, I guess that's the reason he...

“Okay! You don't have to explain further about it. So we knew patient has allergic to beans, so from now on please check up on his diet so this situation won't happen again. Thanks God, his condition is stable for now. You could visit him after we settle his room. He has to stay for a night, so we can do further check-up on him,” potong perawat.

“For the payment, please go to the cashier. If you are a Stfd student, you get a 35% discount. Just tell the patient name, it will immediately cut,” tambah si perawat.

Seperginya perawat, Anne berjongkok di lantai dan menyembunyikan wajahnya pada kedua telapak tangan. Anne menangis, membuat Jessy terkejut.

Jessy sejajarkan tubuhnya guna merangkul Anne dan bertanya, “Why are you crying? Is it about Jeff? He will be okay, don't be so sad, huh?!”

Anne terisak, “Beans...are my favorite. Tante siapin itu di semua piring karena aku enggak mungkin ngabisin sendirian. I really don't know that Jeff is allergic to it. He didn't say a thing yesterday! He just ate without protest. It's...my fault he is fallen into this sickness.”

Jessy angkat kepala Anne dan menghapus jejak air mata di pipi. “Hey! Don't blame yourself like that! Jeff won't like it if you act like this. Please! Udah ya. Mending sekarang lo ke ruang inap Jeff duluan, biar gue yang urus administrasinya,” ucap Jessy.

“Sure.”

Setelah makan malam, John dan Jeff berpindah ke ruang tengah guna bermain game. Sebelumnya John sempat menawari Jeff menginap setelah melihat jarum jam menunjukkan pukul sembilan malam lewat tiga puluh menit. Mengingat pandangan Jeff yang tidak begitu bagus saat malam, lelaki itu menerima tawaran John.

“Kenapa lo mendadak baik sama gue?” tanya Jeff setelah dua set permainan berlalu.

John menoleh sekilas, lalu menjawab, “Anne was right. My prejudice on you was wrong. Just because you did something bad, it doesn't mean you don't have something good on you to be brag, right? So, I'm sorry for that. And thank you, for saving Anne on the other day. At the swimming pool.”

“Thank you for believing in me, so no ill-feeling within us anymore, deal?”

John menentang, “Oh! Not that fast! Have something else to discuss.”

“What to discuss?!” seru Anne yang tiba-tiba muncul dengan snack di tangan. Berganti pakaian dengan hanya mengenakan kaus oblong berwarna merah muda pudarㅡefek digunakan dan dicuci berulang kaliㅡdan celana pendek berwarna hitam, Anne jatuhkan tubuhnya ke sofa.

“May I join?” tanya Anne.

“Nothing! Just game related, you don't wanna know,” kilah John.

“Ah! Put my hands up! Game is not my venture,” ucap Anne.

“Eh terus lo ngapain ke bawah?” tanya John.

“Mau nonton Netflix! Udah selesai 'kan main game-nya? Ayo nonton The Con-Heartist,” ajak Anne.

“Boleh!” sahut Jeff.

John memilih bangkit. “Gue skip! Dah ngantuk! Jeff, lo temenin Anne. Awas lo macam-macam!” peringat John.

“Kagak elah!”

Hampir dua jam waktu keduanya gunakan untuk menonton film romansa dari Thailand itu. Sempat dihentikan sementara karena Anne menyeduh cokelat panas, tidak banyak percakapan di luar jalan cerita film.

Ketika bagian kredit berakhir, Anne rentangkan tangannya ke udara. Menoleh ke samping, Anne dibuat terkejut oleh Jeff yang tertidur dengan posisi duduk. Tubuh lelaki itu tidak oleng sama sekali.

Anne iseng mendekat, memerhatikan fitur wajah Jeff dan bermain dengan bulu mata lentik yang membuatnya iri bukan main. Sedikit bertanya mengapa fitur wajah yang sangat kaum perempuan inginkan justru dimiliki oleh laki-laki.

Saat itulah kelopak mata Jeff terbuka, membuat pandangan kedunya bertemu. Tangan Anne mendadak kaku, ia tidak bisa bergerak menjauh. Ia terbius oleh tatapan teduh Jeff padanya.

“Eh?”

“Ngapain dekat-dekat? Lo mau bilang kalau gue boleh nyium lo, gitu?” jahil Jeff.

Jeff tidak benar-benar tidur tadi. Ia hanya memejamkan mata karena kelelahan menatap layar berjam-jam. Tidak menyangka Anne akan mendekatinya seperti ini. Isengi saja, batin Jeff.

Menyadari pertanyaan Jeff, Anne langsung menjauh dan berlari menaiki anak tangga sembari berteriak, “NO WAY!”

Jeff tertawa pelan melihat Anne yang salah tingkah.

“Are you good?” tanya Jeff saat Anne membuka pintu mobil dan duduk di kursi samping.

Way more better than good! I'm great, super excited! Udah lama banget enggak ke mall di sini, so yeah! You know!” balas Anne yang sibuk memasak sabuk pengaman.

Anne melanjutkan, “So, how about you?”

“Fine, as usual!”

Jeff mundurkan tuas transmisi menuju D, lalu perlahan memutar setir dan kembali menyusuri jalanan keluar dari komplek perumahan John.

“Anyway, wanna say sorry for the other day. I didn't mean it that way nor I won't let you in to my room through the window, but it's just that I'm really fine. At least, I try,” ucap Anne.

Jeff tersenyum simpul. Mengetahui bahwa Anne baik-baik saja, sudah lebih dari cukup. “I assume you are fine now, huh?” tanya Jeff.

“Of course! Will you accept my apology?”

“No way! Why would you say sorry over that? I just simply worry about you, but if you said you are good, then it's all that matters,” balas Jeff.

Anne menghela napas panjang. “Glad you don't held grudge over my ignorance on you,” ucap Anne.

Jeff sedikit usil membalas, “Jadi lo lebih suka kalau gue ada rasa dendam ke lo, gitu?”

Anne tertawa mendengar tanya Jeff, seakan dapat menebak yang diucapkan lelaki itu hanyalah candaan. Jeff would always be that Jeff who love to be cheeky constantly and Anne would not even mind about it.

“Absolutely no! Hahaha!”

Jeff hanya sesekali menoleh menatap Anne. Entah apa yang menyihir pikirannya, Jeff suka mendengar tawa Anne. Terdengar bagai alunan lagu merdu di pendengaran. Melirik sekilas, Jeff suka melihat tawa Anne yang tidak dibuat-buat. Mata gadis itu menyipit, tangannya setengah menutup mulut, dan rambut cokelatnya menambah nilai plus pada visual Anne.

Kecantikan yang jarang Jeff temukan pada perempuan lain. Lebih tepatnya, baru Anne yang berhasil membuat Jeff memerhatikan tanpa ada pikiran ke arah hubungan intim. Berbeda dengan pemikiran awal Jeff saat hendak mendekati Anne.

Tapi ada satu hal yang tetap ingin Jeff lakukan dengan Anne. Itupun jika si gadis mengizinkan.

Mobil Jeff berhenti sedikit ke depan dari pintu lobi apartemen si kembar. Tawa Anne ikut berhenti, tergantikan dengan rasa takjub melihat komplek apartemen Jessy dan Jenny yang lebih tepat disebut condominium. Tidak seperti apartemen pencakar langit milik keluarganya di Jakarta, tempat tinggal kedua gadis itu tidak terlalu tinggi. Terdiri dari lima lantai dan menyuguhkan pemandangan alam yang tidak seberapa dengan banyaknya tanaman hijau di lingkungan. Setidaknya itu yang Anne tangkap.

Sementara Jeff sibuk memandang Anne. Dalam hati seakan tidak habis pikir dengan diri sendiri bagaimana bisa dirinya tersihir dengan seorang Roseanne Setiadji. Gadis yang bahkan sepertinya masih perawan dalam berbagai hal.

Jeff perlahan menyadari apa alasan dirinya tidak menyentuh perempuan pun dalam satu bulan terakhir dan sama sekali tidak ada keinginan untuk melakukannya.

Anne tidak menyadari, ada magnet yang membuat Jeff perlahan mendekatkan hati untuknya.

Anne menoleh dan sedikit terkejut melihat Jeff yang memandangnya dengan senyuk tipis. “Jeff, are you okay? Why you looking at me like that?” tanya Anne.

“Had I say this to you before? You are beautiful,” ucap Jeff.

Anne dibuat heran oleh pujian Jeff. “Why so out of the bl-”

“I love seeing your smile and listening to your laugh like before. I like it,” potong Jeff.

“Well, thanks for the compliment! But why-”

Jeff sekali lagi memotong pembicaraan dan kali ini sukses membungkam Anne.

“And I have this urge to taste that part of your body that released the most heavenly laugh in this world. I wanna kiss your lips,” ucap Jeff.

Anne tidak tahu harus merespon Jeff seperti apa. Pertama kalinya ada lelaki yang terang-terangan menyatakan keinginan seperti itu pada Anne. Anne mungkin pernah jatuh cinta, walau selalu berakhir sebagai cinta bertepuk sebelah tangan. Anne mungkin biasa menonton drama atau film romansa. Namun baru kali ini ia merasa seperti heroine dalam kisah cinta picisan.

Anne hendak membalas, tapi tidak ada satupun yang keluar dari mulut. Bahkan hingga Jessy dan Jenny masuk ke dalam mobil, Jeff melajukan mobil menuju apartemen Alice, hingga menuju pusat perbelanjaan, Anne hanya diam. Sesekali ikut serta dalam obrolan, namun ia tidak bisa fokus sama sekali.

Ucapan Jeff sukses membuat Anne berada pada kebingungan berkepanjangan.

Jeff mengajak Anne makan malam di restauran steak murah meriah di pusat kota, dekat dengan supermarket yang kapan hari keduanya kunjungi bersama. Kalau dipikir-pikir, ini kali kedua Anne menebeng mobil Jeff, namun Jeff dengan baik masih memberitahu jenis mobil apa yang Jeff gunakan.

Karena murah meriah dan terletak di pusat, bukan hal aneh melihat keramaian pembeli di restauran itu. Anne dibuat terkejut dengan keramaian yang tidak biasa.

“Is it always this packed?!” tanya Anne sedikit memekik, agar Jeff yang berjalan di depannya dapat mendengar.

“Yeah! Always busy like this!” balas Jeff.

“Will we get a place?!”

“Just follow me! I always pick this place everytime I come,” ajak Jeff.

Anne mengikuti Jeff menaiki anak tangga sebanyak dua kali. Tiba lah mereka di lantai tiga restauran yang merupakan rooftop. Secara mengejutkan, bagian rooftop lebih sepi dibandingkan dengan lantai satu dan dua.

“Kok malah sepi di sini?”

“Enggak banyak yang begitu suka di sini karena anginnya terlalu kencang. Tapi gue sama anak-anak malah suka, soalnya ngelepas penat banget makan-minum sambil ngobrol ditemani semilir angin,” terang Jeff.

Keduanya memilih duduk di bagian lesehan dengan banyak tumbuhan di sekitar. Langit California begitu gelap, bintang tidak terlihat karena kalah dengan cahaya lampu dari gedung-gedung kota.

Tak lama pelayan datang dan tanpa persetujuan Anne, Jeff langsung memesan satu porsi iga dan satu porsi tenderloin. Untuk minum, Jeff pesankan dua gelas es teh lemon.

You must try the ribs at least once if you come here. Enak banget! Gue enggak bohong,” ujar Jeff setelah pelayan pergi.

“Lo enggak marah 'kan gue main asal pesan? Gue excited aja ngajak orang baru ke sini,” lanjut Jeff.

Anne mendadak penasaran akan sesuatu. Ia bertanya, “Lo berapa lama tinggal di US?”

Jeff menatap langit sekilas, lalu menatap Anne sembari menjawab, “Gue ke US waktu kelas enam SD. Dikirim sama bokap-nyokap ke sini biar gue lebih fokus belajar. Padahal ya itu alasan mereka aja biar gue enggak tahu kalau mereka lagi ngurusin surat cerai.”

Jeff tidak sadar membuat Anne merasa bersalah. “Oh! I'm so sorry to heaf that! Harusnya gue enggak tanya itu. Maaf, Jeff,” ucap Anne tulus.

Kini justru Jeff yang terkejut. Jarang sekali ia mendengar kata maaf selain dari teman-temannya. Baru Anne, orang baru yang bisa mengucapkan maaf tanpa ragu walaupun bagi Jeff si gadis tidak memiliki kesalahan apapun.

“Santai aja. Toh udah lama mereka pisah dan gue enggak ditelantarkan sama mereka. Lebih tepatnya, gue dibungkam biar enggak balik ke Indonesia. Entah kenapa!” balas Jeff.

“Ih! Kalau nyakitin jangan dilanjut, Jeff! Gue beneran enggak enak nih!” ucap Anne.

“Enggak usah merasa gitu, Ne. Lo 'kan udah gue teman. Teman-teman lo juga teman-teman gue dari sebelum lo datang, jadi enggak masalah lo dengar cerita gue. Gue lanjutin ya!”

Sembari makan, Jeff melanjutkan ceritanya pelan-pelan. Jeff pertama kali bersekolah di Nevada. Ia bertemu Willian dan Alice saat di bangku sekolah menengah. Saat sekolah menengah atas, Jeff dan kedua temannya memutuskan pindah ke California dengan motivasi besar bisa diterima di Stfd setelah lulus. Di California, bertemulah ketiganya dengan John, Theo, Ten, Jessy, dan Jenny yang merupakan kakak kelas mereka di SMA.

Good thing sampai sekarang masih bisa bareng dan jumlah kita bertambah. Ada lo sekarang,” tutup Jeff tepat saat makanan mereka habis.

Anne mendadak merasa bersalah karena selama ini bersikap skeptis pada Jeff. Tidak seharusnya ia bersikap seperti itu, apalagi Anne tidak benar-benar berusaha mengenal Jeff dengan baik.

“Jeffrian, gue minta maaf,” ucap Anne.

Jeff menoleh dengan tatapan heran. “Kenapa minta maaf sih daritadi? Emang lo salah apa?” tanya Jeff.

“Maaf karena sempat mikir yang enggak-enggak sama lo. Sebenarnya gue sempat dikasih tahu Kak John buat enggak dekat-dekat sama womanizer seperti lo. Dia bilang lo udah tidur sama banyak cewek. Makanya pikiran gue kalut, takutnya lo dekatin gue terus mau ngajak gue tidur bareng,” cicit Anne.

Jeff tertawa terbahak mendengar cicitan Anne. Kenapa gadis di hadapannya harus minta maaf pada sesuatu seperti itu? Jeff dalam hati justru memahami nasihat John pada Anne. Jeff tidak munafik, ia juga akan memperingati hal yang sama jika ia berada di posisi John.

“Well, his warning is not wrong at all! You should be cautious around me. Who knows, I put something on your tea, then when you passed out I bring you to the hotel, and th-”

“Stop!”

Jeff sekali lagi tertawa melihat reaksi Anne. Mengerjai Anne menjadi hiburan baru bagi Jeff.

“Gue bercanda kali, Ne. Gue bukan tipe cowok yang maksain cewek yang gue temuin untuk langsung ke inti. Everything need consent. Gue juga merasa belum di posisi itu untuk tiba-tiba bilang ke lo, 'I wanna have sex with you.' No way I would do that! Gue murni mau jadi teman lo. Urusan gue atau lo saling suka, iya itu urusan nanti,” ujar Jeff.

Anne sedikit demi sedikit memahami cara Jeff berpikir. Sedikit bersyukur apa yang Alice katakan tentang Jeff, diperjelas sendiri oleh empunya. Anne bisa menurunkan sedikit kekhawatirannya Jeff akan bertindak macam-macam dengannya.

Anyway, gue kasih tahu nih! Gue pertama kali nge-sex umur 18, dua tahun lalu. Lo mau tahu sama siapa? Sama Jenny,” lanjut Jeff.

“Hah?! Jenny yang gue kenal?!” pekik Anne lantas menutup mulut saat menyadari suaranya yang sangat keras.

Haha, iya Jenny kembaran Jessy. Itu gue sama Jenny penasaran aja. Ya udah beli kondom, terus ngelakuin di apart dia. Tapi ya udah sekali itu aja. Abis itu lebih pilih sama cewek lain, karena aneh banget kayak gitu sama teman sendiri.”

Bad example, but that's how I mend my broken soul. Never did I tell anyone about what I truly feel inside other than William and Alice, jadi wajar kalau John ngira gue tuh enggak benar. Theo dan Ten sometimes juga nge-cap gue begitu. Ya emang sih, karena gue melarikan diri ke hal yang sebenarnya gue enggak bisa pertanggungjawabkan hanya dengan sekadar pemakaian kondom,” lanjut Jeff.

Malam itu, Anne jadi tahu banyak hal tentang Jeff. Yang membuat lelaki itu menjadi Jeff yang sekarang.

“Don't you realized that you are kinda weird these days?!” tanya William pada Jeff. Keduanya berjalan menyusuri area festival budaya yang setiap tahun diadakan oleh Stfd.

“Gue aneh apaan deh?! Biasa aja mah!” balas Jeff.

“Terakhir lo having sex kapan?”

“Lo ngapa nanya aneh-aneh dah?!”

“Just answer my question, Lord Jeffrian!” tegas William.

Jeff mendengus pelan. “Last week at the twins' birthday,” jawab Jeff.

So you haven't slept with other girl after that? Tumben!”

Jeff memicing tajam ke arah William. “Emang lo pikir gue maniak gitu?!”

No! I'm not thinking that way. Cuma aneh aja, udah seminggu lebih lo enggak having sex. Biasanya setiap tiga-empat hari, lo pasti cerita soal bed experiences with a new girl,” ujar William.

“Lagi enggak pingin aja!”

“Lagi enggak pingin atau ada satu cewek yang susah lo taklukin?” cibir William tepat sasaran.

Jeff tidak membalas cibiran William. Lelaki itu justru berjalan mendekati sosok yang akhir-akhir ini mengalihkan fokusnya. Sosok Anne yang tersenyum ceria sembari bergerak bebas menggunakan pakaian tradisional Korea.

“Anne! Gaya lain dong!”

Bisa Jeff dengar teriakan Alice yang semakin keras seiring dengan langkahnya menuju Anne. Jeff bahkan tidak peduli dengan panggilan William di belakang.

Jancuk! Jeff!” umpat William dengan bahasa kota asalnya. William kepalang kesal sikap cuek teman satu unitnya. Namun Jeff tidak menghiraukan.

“Gini?!” tanya Anne pada Alice.

Yes! You look pretty! Coba yang lain!”

Anne mengangguk tanpa menyadari kakinya menginjak kain hanbok yang terlalu panjang. Jeff yang menyaksikan langsung berlari dan menahan tubuh Anne agar tidak jatuh ke tanah.

Di tengah ramainya festival, saat itu pula pandangan Anne dan Jeff bertemu. Kerumunan orang tidak lagi menjadi fokus. Tatapan terkejut Anne dan tatapan kekhawatiran Jeff membuat dunia mereka seketika berhenti berputar.

Layaknya gravitasi, ada sesuatu dalam tatapan masing-masing yang membuat mereka jatuh ke dalam dan sulit untuk menjauh.

Jeff parkirkan mobil agak jauh dari rumah John. Dengan cepat ia berlari menuju pohon besar dekat kamar Anne. Bersyukur sekali Jeff karena rumah-rumah di US jarang yang berpagar dan rumah John berada di sudut blok, sehingga mudah baginya memanjat pohon dan tiba di balkon kamar Anne.

Tanpa pikir panjang, Jeff ketuk jendela kamar Anne. Besar harapan Anne akan meladeninya kali ini.

Gorden tersampir, menampilkan Anne yang terkejut melihat sosok Jeff. “What the fuck are you doing in here?” Tanya Anne jelas tidak terdengar karena terhalang jendela.

Jeff memberi kode pada Anne untuk membuka jendela. Anne menggeleng cepat. Jeff sampai harus menggunakan bahasa isyarat dengan menunjuk mulut Anne dan telinganya bergiliran, tanda si lelaki kesulitan mendengar ucapan Anne.

Dengan terpaksa Anne buka jendela. “What the f-” Sebelum Anne berteriak, Jeff langsung saja bungkam mulut Anne dengan tangannya dan tanpa mendorong si gadis masuk ke kamar.

“Jangan teriak. Lo emang mau kedengeran sama John, Bude, atau Om? Enggak kan!” seru Jeff sembari menutup jendela.

Setelah Jeff lepas Anne. Ia dekati pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Anne mendelik melihat tingkah Jeff.

“Jeff, are you crazy?! Why did you lock door?! And why are you here invading my space?!” omel Anne berbisik.

Jeff rebahkan tubuh di atas kasur Anne sembari menyahuti, “I did say I wanna get closer to you eventhough you rejected my touch. Let's be friend!”

“No way! Now move your ass from my bed and go out before I push you down from the balcony!” ancam Anne.

Tidak terpengaruh oleh ancaman, netra Jeff justru terpaku pada benda pipih dekat tangannya. “Wah ada hp nih! Cek ah lo nge-save nomor gue pake n- Kok lo belum nge-save nomor gue sih?!” pekik Jeff saat tahu nomornya belum disimpan oleh Anne.

“Gue enggak butuh nomor l- Jeff! Jangan buka hp gue sembarangan!” geram Anne.

“Siapa suruh hp lo gampang ditebak gini pass-nya. Nih! Udah gue simpen nomornya!”

Jeff lempar ponsel yang syukurnya ditangkap tepat waktu oleh Anne.

“Kalau enggak ada urusan lagi, mending lo pulang,” usir Anne.

Jeff mengangguk. Ia bangkit dari posisi tengkurap dan mendekati Anne. “Nomor gue jangan dihapus kalau lo enggak mau gue gangguin begini!” ucap Jeff balik mengancam.

“Ya, kagak! Now shoo!” usir Anne.

“Bye, Anne!”

Jeff keluar kamar dan langsung menuruni pohon, meninggalkan Anne yang dibuat pusing tujuh keliling oleh kelakuan si lelaki.