Rina

Sebelumnya aku minta maaf kalau di awal enggak menceritakan secara detail plot dari UP TO YOU ini seperti apa. Padahal sudah sampai part 50. Aku bakal jelasin cukup panjang di sini dan bakal sulit kalau aku jelasin semua pakai English, jadi semua aku jelasin di sini dengan Bahasa Indonesia.

Face Claim & Plot Kasar Jadi awalannya itu aku mau pakai Haechan dan Chaeryeong sebagai visualisasi main characters. Ceritanya itu tentang Judy si gadis konservatif yang enggak setuju dengan seks luar nikah. Lalu ketemu lah dia dengan Peter pas kuliah.

Peter sama Jeff ini sama persis, udah biasa gonta-ganti pasangan tidur. Anyway, tertariklah Peter sama Judy yang sangat saklek dengan pendiriannya kalau seks harus dilakukan setelah nikah.

Karakter Anne tidak jauh berbeda dengan Judy. Yang membedakan, Judy tidak hanya saklek soal seks, tapi anaknya juga tidak suka sentuhan fisik. Apapun itu, bahkan sama sesama jenis pun Judy enggak suka. Lebih tepatnya enggak nyaman. Tapi di sini, karakter Anne enggak sesaklek itu.

Untuk latar tempat aslinya aku pilih di Connecticut (yang tahu Ivy League pasti tahu ada kampus apa di sana, itu latar tempat lebih spesifiknya). Judy dan Peter sendiri adalah Korean-American yang dari lahir udah warga US.

Plot dan Alur Sekarang Setelah mempertimbangkan matang2, aku memutuskan memakai plot di atas untuk jadi AU Jaerosé ini. Mempertimbangkan usia, Jaehyun dan Rose lebih pantas untuk dijadikan face claim.

Untuk karakter-karakter yang ada pun aku ganti menjadi Indonesian-American (kayak Johnny) dan orang Indonesia yang menempuh studi di Amerika. Tapi karakter-karakter dari negara lain juga bakal ada.

Karakter Jeff tidak jauh berbeda dengan karakter Peter. Sedangkan karakter Anne mengalami perubahan pada sifat mudah penasarannya. Anne punya pendirian kuat seperti Judy, tapi ia bukan tipe yang menutupi diri dari perspektif lain. Anne justru tipe orang yang penasaran mengapa orang lain bisa memiliki pemikiran yang berbeda dengannya.

Alurnya sendiri adalah Jeff yang tertarik dengan Anne dan berusaha mendekati gadis itu. Jeff enggak munafik kalau dia deketin Anne karena gadis itu cantik dan terlihat menggugah untuk diajak tidur bareng. Tapi yang penting untuk diingat, karakter Jeff bukan maniak seks dan dia tidak suka memaksa.

Jeff memang brengsek, tapi dia selalu melakukan seks setelah dapat persetujuan (consent) dari partner-nya. Yang bisa Jeff usahakan adalah membuat Anne nyaman dengannya, namun apakah mereka pada akhirnya melakukan seks atau tidak ya kembali pada Anne.

Jawabannya hanya bisa didapat dengan mendukung AU ini sampai selesai 😊 shameless promotion

Hidden Message Sebagai author, aku ingin sampaikan ke kalian kalau semua hal dalam hidup kita itu hanya bisa ditentukan oleh kita. Bakal banyak pilihan, tapi akan ada masa di mana kita diharuskan memilih. Itu semua ada di tangan kalian. Mau soal apapun, tidak hanya seks, kalian yang pantas menentukan jalan hidup kalian hingga masa depan.

Kemudian soal seks, jangan pernah ragu untuk mempelajarinya. Bukan gimana cara kalian ngelakuinnya atau gaya-gayanya. BUKAN ITU! Kalian perlu tahu lebih dari hanya sekadar bab reproduksi di buku Biologi. Seperti yang aku sebutkan beberapa kali, betapa pentingnya seks yang aman dengan menggunakan kondom (salah satu dari sekian banyak cara). Tapi bukan berarti kalian bisa mempraktikkan hal tersebut tanpa pemikiran matang. Karena kalian tahu banyak konsekuensi dari kenikmatan duniawi yang kalian ingin lakukan.

Sekian mungkin penjelasan dari aku, semoga ini membantu kalian untuk memahami apa sih yang ingin aku suguhkan melalui AU ini.

Terima kasih!

ㅡpeisinoehina

Anne berjalan sejauh mungkin dari Jeff yang mendorong troli di belakang. Sejak diperingati John dan juga Jenny, rasa tidak nyaman itu semakin terasa. Anne tidak nyaman dengan presensi Jeff.

“Lo kenapa jalan jauh-jauh gitu sih?! Ngobrol kek sama gue! Gue bukan babu lo ya dorong-dorong troli gini,” pekik Jeff dari belakang.

Anne memutar badan dan berjalan mendekati Jeff. Ia dorong Jeff sembari bersua, “Ya udah sana! Gue bisa dorong sendiri!”

Jeff tentu tidak melepas kesempatan. Kala Anne memegang troli, Jeff pun ikut di samping kanan-kiri tangan si gadis. Jeff terlihat tengah memeluk Anne dari belakang.

“Lo ngapain sih?!” pekik Anne.

“Kenapa harus dorong sendiri kalau bisa berdua?” ucap Jeff jahil.

“Gue enggak suka dekat-dekat sama lo,” balas Anne serius.

Jeff lantas menjauh dan mengangkat tangan ke udara. “Okay! Gue enggak bakal dekat-dekat!” ucap Jeff menyerah.

“Good!”

“But I can't promise I'll stop pursuing you,” tambah Jeff.

Langkah Anne sekali lagi terhenti. Ia tolehkan kepala dengan tatapan tidak percaya. “You want to be my friend or you actually have other intention inside of your mind?” tanya Anne menyelidik.

“Oh! You aren't that naive! So you know I indeed have a reason why I getting near you these days,” balas Jeff mendekat. Lelaki itu berdiri tepat di samping Anne yang menatapnya tajam.

“But don't worry. I won't touch you if you don't want. Well, of course you could touch me anytime you want. I give you the consent,” ucap Jeff mengedipkan mata.

“Weirdo!”

Anne tinggalkan Jeff yang sibuk tertawa melihat reaksi si gadis. Marah begitu, terlihat jelas Anne malu yang ditunjukkan oleh semburat merah pada pipi dan juga telinga.

Jeff semakin yakin untuk mendekati Anne.

“Jeff, help yourself for the drink, okay? You can have a glass of milk or juice from the fridge or you can make a hot tea or coffee from the cabinet. Just think of this place as your house, like usual,” ucap Tante sembari meletakkan sepiring English Breakfast

“Thanks, bude!”

Anne yang duduk di seberang memerhatikan interaksi Jeff dengan orang-orang di rumah. Sedikit banyak Anne penasaran seperti apa sikap lelaki itu sehari-hari.

“Jadi kamu di Ekonomi, Jeff?” tanya Om.

“Yes, Om. Ayah wants me to continuing the family business, so no other choices other than Business or Economics,” terang Jeff.

“Well, good luck on that!”

Jeff mengangguk lalu mengalihkan fokus. Anne yang sibuk memperhatikan tak sempat menghindari tatapan. Pandangan keduanya bertemu dan Jeff tidak segan menampilkan senyumnya pada si gadis.

Kalau bukan karena pukulan John di kepala Jeff, mungkin pipi Anne bakal memerah akibat malu ditatap sedemikian rupa.

“Jangan genit lo sama Anne!” sungut John.

“Lah apaan?! Gue cuma senyum doang!” protes Jeff tidak terima dituduh macam-macam.

Tante bergabung di meja, duduk di samping Anne. “Emang kenapa kalau Jeff deketin Anne? Enggak salah toh? Orang Anne single, Jeff juga. Nothing's wrong with it,” sela Tante.

Tidak mau menjadi pusat omongan Anne bangkit dan izin pura-pura ke toilet. Tak lagi ia hiraukan obrolan orang-orang.

“Kak Wendy, how are you?!” pekik Anne setelah mengangkat telepon kakaknya.

“So glad hearing your voice, Baby Anne! So how's Cali?”

Never been bad, Kak! Buat liburan aja udah asik and knowing I'll stay here for four years excite me so much!” pekik Anne.

Good you like it! Tapi inget ya, jangan sampai terjerumus ke hal-hal yang menurut kamu enggak baik. Protect youself! Don't depend much to John, you know very well he won't always be there for you,” nasihat Wendy.

“Noted!”

Anne lalu bertanya, “How about Quebec, Kak?”

“Good! Doing voluntary work never felt this great before.”

“Terus Kakak enggak balik ke Stfd?”

“Balik lah! Cuma gue udah ambil cuti setahun, jadi gue bakal balik buat thesis aja next year. Pokoknya lo hati-hati ya! Gue belum bisa nemenin lo sekarang, tapi telepon aja gue kalau butuh teman ngobrol. You know this big sissy will always be there for you, other than mom and dad,” balas Wendy.

“Okay, Kak!”

“So, good night, Baby Anne! Gotta talk to you again soon!”

Bye, Kak Wendy!”

Dunia sepertinya tengah menguji Anne.

Anne pikir pertemuannya dengan Jeffrian di pesta Selvi menjadi yang terakhir. Namun nyatanya tidak semudah itu. Anne sekali lagi harus bertemu dengan Jeffrian. Lebih buruknya, Anne dan Jeffrian satu bidang, satu kelas pula. Tuhan seakan tidak puas membiarkan Anne menderita karena godaan Jeffrian selama 3 tahun di SMA.

Tapi tahu apa yang lebih mencengangkan?

Anne sendiri tidak ingat bagaimana akhirnya ia terhimpit antara dinding dan Jeffrian, dengan bibir tak berkutik karena dicumbu sang adam. Anne membenci Jeffrian, namun tubuhnya seakan tak memiliki tenaga untuk mendorong lelaki itu menjauh kala tangannya ditarik saat baru keluar kelas dan dibawa ke area sepi dekat kelas.

Jeffrian lepas cumbuan, membuat engahan Anne mengeras akibat kurangnya pasokan oksigen. Anne lantas menatap nyalang, “What the hell you just did?!”

Jeffrian menyeka bibirnya sembari tersenyum sinis. “Kissed you. On the lips,” balas Jeffrian.

“I didn't give you a permission!” gertak Anne.

“Then be my girlfriend and give the permission to touch you wherever I want,” balas Jeffrian tanpa ragu.

“Lelaki menyebalkan!”

Anne melangkah menjauh dari Jeffrian sebelum lelaki itu semakin menggila. Sementara Jeffrian hanya tertawa sembari mengejar Anne yang kini berlari.

“Anne, tungguin! Do you want to be my girlfriend?!”

“No! Go away from me Jeffrian!”

“No way! Gotta chase you all around campus until you accept me!”

“Fuck off, Jeffrian!”

Anne duduk di pojokan ruang tengah rumah Selvi. Ia jauhkan diri dari keramaian teman-teman Selvi yang gila-gilaan berpesta. Anne pikir, pesta yang Selvi maksud hanyalah sekadar bakar-bakaran di halaman belakang seperti bagaimana ia adakan bersama saudara-saudara yang lain. Namun pesta yang sekarang terjadi lebih layak digambarkan seperti keadaan di diskotik. Musik berdengung kencang dan semua orang terlihat agresif meneguk cairan alkohol melewati kerongkongan.

Di tengah lamunannya, seseorang mendekat dan duduk di samping Anne. Sosok itu tak lupa menyapa, membuat si gadis mendongak dan tatapannya berubah horror kala menyadari siapa yang baru saja menyapanya.

“Jeffrian?! What are you doing in here?! Gimana cara kamu kenal Kak Selvi?!” hardik Anne dengan tubuh reflek menjauh.

Jeffrian tertawa pelan, lalu meneguk pelan isi gelas di tangan. Tatapan Anne makin ngeri. “You drink alcohol?! You're only 18!”

“Already legal!” jawab Jeffrian asal.

“But still, you can only drink that once you turn 21!”

Jeffrian meneguk habis isi gelas, meletakkannya di meja, baru setelahnya bergerak mendekati Anne. Jeffrian mendekat, Anne menjauh. Begitu yang terjadi hingga tubuh Anne menabrak tembok. Jeffrian tanpa cela langsung menumpukan tangan ke tembok, tidak memberi Anne kesempatan sama sekali untuk kabur.

“Anne, kamu masih polos aja ya,” bisik Jeffrian tepat di telinga.

“Minggir enggak?! Aku bisa teriak nih!”

“Teriak aja! Siapa yang bakal merhatiin kita mau ngapain, dalam keadaan seramai ini,” goda Jeffrian.

“Jeffrian, please go away when I still this kind to you,” ancam Anne.

Jeffrian tidak menggubris ancaman Anne. Ia justru memajukan wajah, hendak mengecup bibir ranum Anne. Syukur Anne masih ada sisa tenaga mendorong dada Jeffrian dan bangkit guna berlari menaiki anak tangga sebelum si lelaki mengejarnya.

Rindu...

Pernah kah kalian merindukan seseorang sampai rasanya sesak untuk sekadar bernapas?

Itu yang Tania rasakan setiap saat ia mengantar sang suami ke Pangkalan TNI untuk bertugas. Bagas bekerja sebagai tentara sekaligus dokter di pangkalan.

Pria-nya bisa beberapa hari tinggal di pangkalan, baru setelahnya Tania jemput. Tania tidak masalah harus berulang kali mengantar dan menjemput Bagas. Setidaknya rasa rindu bisa ia minimalisir. Namun tetap saja rasanya sesak, karena ras rindu Tania selalu diiringi dengan kecemasan besar. Bagai momok, Tania takut Bagas kenapa-napa walau pandemi sudah berlalu sejak setahun yang lalu.

Pintu mobil terbuka, menyadarkan Tania dari kekhawatiran. Adalah Bagas, yang tersenyum sayu menatap Tania. Tania pancarkan senyum sembari menyodorkan botol hand sanitizer pada tangan sang suami.

“How's your day?” tanya Bagas yang sibuk mengusap tangan dengan cairan.

Pretty cool! Aku jaga cafe as always, terus pas makan malam nyanyi dikit, setelahnya aku tinggal. Udah ada Retno juga di sana, enggak perlu aku yang handle sampai closing,” balas Tania.

“Kalau kamu gimana?”

“Capek banget aku, Kak. Enggak banyak sih pasien, tapi tentara ada aja yang cidera. Pusing deh,” keluh Bagas.

Bagas tidak salah memanggil Tania dengan sebutan Kakak. Wanita itu memang lebih tua dari Bagas, tepatnya tiga tahun lebih tua. Keduanya bertemu di cafe milik Tania yang beberapa saat lalu keduanya bicarakan. Bagas yang stress dengan beban kuliah kedokteran dan bebas menjadi tentara, datang untuk menikmati secangkir kopi yang kebetulan diracik oleh Tania. Mereka mengobrol santai kala itu, tidak mengetahui kalau kini keduanya menjadi pasangan sehidup-semati.

Sedikit informasi, keluarga Bagas adalah keluarga angkatan. Walau Bagas memiliki keingin sebagai dokter, pria itu tetap diharuskan menjadi tentara. Aturan kolot, namun Bagas tetap menghargai keputusan sang Ayah karena tidak dilarang menempuh pendidikan dokter. Yang membuat Bagas beberapa kali menyesal karena ia mudah sekali letih. Seperti malam ini.

“Kenapa sih ya aku ngebet banget dulu sekolah dokter. Udah bener jadi tentara aja enggak pakai embel-embel,” lanjut Bagas.

Tania elus surai berantakan Bagas yang sebelumnya tetutup topi. “Hey, don't talk like that! Kamu tuh hebat. Jadi tentara, jadi dokter juga. Di mana aku cari suami sesempurna kamu di dunia? Enggak ada, kamu doang!” gombal Tania sebagai bentuk pujian.

Tania jarang menggombal, membuat Bagas tertawa. “Kak, sejak kapan suka gombal gitu? Enggak cocok ah! Harusnya aku mah yang ngegombalin Kakak,” sahut Bagas.

“Hahaha! Just admit that you like it,” ucap Tania merapikan surai Bagas.

Netra Bagas naik sedikit menatap wajah Tania yang begitu dekatnya. Perlahan melirik ke bawah dan mulai terangsang karena pakaian tidur berbahan satin yang Tania kenakan. Walau sudah tertutup jubah, Bagas sudah bisa membayangkan tubuh indah sang istri.

Rasa rindu berlebihan itu lalu melesak ke permukaan dan tersuarakan, “Kak, mau coba di dalam mobil? Jugaan udah malam, enggak bakal ada yang tahu.”

Tania bukan gadis lima belas tahun lagi. Wanita itu berusia tiga puluh tahun kini dan ia tahu betul ke mana arah pembicaraan Bagas. Tania akui dia adalah sosok pemberani dan suka mencoba hal baru, sayang kali ini harus ia tunda dahulu.

Sorry to say, aku enggak bisa iyain permintaan kamu kali ini,” balas Tania.

“Kenapa, Kak? Capek banget ya?”

Tania ambil amplop di dashboard dan memberikannya pada Bagas. “Nih! Aku periksa tadi pagi karena udah dua kali enggak menstruasi, ternyata aku udah hamil tujuh minggu. Selamat Ayah Bagas!” pekik Tania lalu membubuhkan kecupan pada pipi sang suami yang belum memberi reaksi apapun.

Bagas menatap amplop di tangannya dengan pandangan haru. Pria itu belum membuka dan membaca keterangan di dalamnya, namun air mata terlanjur tumpah lebih dahulu. Tangisnya menjadi lebih keras diiringi segukan.

“Loh kok kamu nangis sih?!” tanya Tania panik. Wanita itu langsung mendekat dan memeluk Bagas.

“Enggak suka ya?” tanya Tania ragu.

Nope! Suka, I love it. Cuma terharu aja. Perjuangan kamu, perjuangan kita selama dua tahun terakhir membuahkan hasil. Selamat sayang!” balas Bagas sedikit tersendat, namun tidak membuatnya kesulitan membalas pelukan Tania.

“Terima kasih, Bunda.”

“Jadinya mau beli apa dulu?”

“Beli kemeja baru kali ya? Tadi gue cek lemari lo, kemejanya udah pada lusuh. Padahal uang banyak, kenapa enggak beli gitu loh?”

“Nunggu kamu yang ajakin lah!”

“The hell was that Juna?! Cringe!”

Juna tertawa mendengar protesan sang calon istri. “Jangan gitu lah sama calon suami, Prim. Gue 'kan berusaha nih!” celetuk Juna.

“Gii kin birisihi nih. Terserah lo dah! Senang 'kan lo dijodohin sama gue? Bersyukur gue enggak nolak, jadi jaga sikap lo kalau enggak mau gue talak sebelum nikah,” sahut Prima.

Prima berjalan cepat menjauh, namun Juna tanpa kesulitan menyamakan langkah dan merangkul bahu si gadis.

“Apaan sih rangkul-rangkul?!” desis Prima.

“Ya biar kamu enggak hilang lah, kan kamu mungil.” Celetukan Juna membuat Prima memutar bola mata jengah.

“Ngaca geh! Lo juga mungil ya!”

“Tapi gue lebih tinggi dari lo,” balas Juna kemudian mengecup pelipis Prima.

“Juna!”

“Kenapa? Kurang? Apa perlu aku cium di bibir juga?” goda Juna.

Prima hendak membalas Juna dengan melempar pukulan kecil ke tubuh, namun netranya justru menangkap sosok yang sudah setahun terakhir tidak ia temui.

Gadis itu Adel, sedang melakukan percakapan telepon sembari melangkah ke arah Prima dan Juna berdiri. Pandangan mereka bertemu kala Adel mendongak.

Dari sisi lain, netra Juna menangkap sosok lelaki yang tengah mengobrol dengan teman lelakinya. Atau mungkin saja kekasihnya, jika dilihat dari genggaman tangan Hasan dengan si lelaki. Adalah Hasan, sosok yang juga setahun lamanya tidak Juna maupun Prima jumpai.

Kejadian satu tahun lalu ketika persahabatan mereka hancur dalam sekejap hanya karena masalah perasaan, merupakan malapetaka besar yang memangkas habis pertemanan tujuh tahun mereka sejak masa kuliah. Tidak ada satupun dari mereka berharap hal itu terjadi, namun Adel menyerah dan memilih menutup diri. Gadis itu sama sekali tidak ingin berkomunikasi sejak meninggalkan grup. Perlahan Hasan pun ikut menjauh.

Tersisa Juna dan Prima yang kemungkinan bisa juga berpisah, jika kedua orang tua mereka tidak menjodohkan keduanya. Bertemu secara tidak sengaja setelah setahun, tentu saja rasa canggung itu muncul.

“Sayang, kamu mau makan apa deh? Yang jarang kita makan aja gimana?”

“Terserah Kak Mark aja sih! Aku mah apa aja mak-”

Ucapan Hasan pada kekasihnga terhenti kala menangkap tatapan Juna padanya. Lantas tatapan Juna, Prima, Adel, dan Hasan bertemu. Entah berapa lama ini berlangsung, namun tidak ada satupun yang bergerak dari posisi mereka. Tidak ada satupun yang ingin memulai perdamaian di antara mereka.

“Adel, kamu dengerin Mama enggak?”

Adel menggeleng pelan, lalu membalas suara di seberang sana, “Dengar, Ma. Jadi belinya yang Mozzarela 'kan?” Adel perlahan melanjutkan langkah menjauh, terlihat tidak lagi peduli dengan Juan, Prima, Hasan, maupun persahabatan mereka yang sesungguhnya masih bisa dibenahi.

Prima yang melihat sikap Adel langsung menarik Juna untuk berjalan menuju toko pakaian. Kalau Adel bisa terlihat tidak peduli, maka Prima pun bisa.

Tersisa Hasan dengan kekasihnya yang bertanya, “Kenapa, Sayang? Kok berhenti?”

“Enggak kenapa kok, Kak. Aku pikir tadi tuh teman-teman aku, ternyata mirip doang. Bukan mereka itu,” balas Hasan sembari merangkul Mark menjauh.

Pasalnya, apapun yang sudah hancur berkeping-keping tidak akan bisa dikembalikan ke posisi semula. Sekuat apapun jenis perekat yang dipakai.

Karina dengan lesu menekan kombinasi angka pada kunci apartemen. Ia buka pintu, melepas sepatu asal, dan langsung saja menuju ruang tengah. Di sana ada Tama yang asik menonton pertandingan tenis. Karina tanpa pikir panjang duduk dan memeluk Tama dari samping. Karina sandarkan kepala pada bahu kanan si pria. Tama otomatis merangkul bahu Karina.

“Kenapa? Kok kayaknya lesu gitu?” tanya Tama yang menyadari mood tidak baik dari Karina.

“Enggak apa-apa kok,” balas Karina, enggan untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Tama dorong sedikit tubuh Karina, membuat keduanya saling menatap. Tama lalu berucap, “Kalau ada cerita aja, sayang. Jangan ditutupin. Kamu tahu ‘kan kalau aku bakal selalu ada buat kamu.”

“Aku takut Kakak marah,” cicit Karina.

“Aku belum dengar cerita kamu, gimana caranya aku marah deh?” tanya Tama.

Karina mendesah pelan, masih bingung bagaimana harus ia jelas apa yang bersarang dalam pikirnya beberapa hari terakhir.

“Kakak tahu ‘kan minggu lalu aku ada reuni sama teman angkatan kuliah yang sejurusan? Nah kita udah ngirim undangan virtual itu kan ya, ya berharapnya sih mereka datang,” cerita Karina.

“Terus mereka banyak yang enggak bisa datang, gitu?”

Karina menggeleng. “Enggak. Ngobrol-ngobrol ‘kan ya kita, abis itu aku izin ke toilet. Pas balik dari toilet itu, aku enggak sengaja dengar mereka ngomongin aku sama Kakak,” lanjut Karina.

“Diomongin apa emang?”

“Ada dua kubu gitulah, cuma dua-duanya sama-sama negatif. Yang tim cewek tuh ada yang ngatain gini, ‘Kenapa deh Karina mau sama Pak Tama? Emang sih cakep gue akuin, tapi jarak umur jauh banget tujuh tahun! Emang bisa ngeladenin nafsu cowok dewasa gitu. Apalagi cowok dewasa ‘kan banyak maunya, pasti entar terkekang.’ Terus teman yang lain balas, ‘Ya biar tetap kaya lah! Pak Tama kan duit ngalir terus. Orang keluar dari kampus tetap kaya, jadi ya enggak aneh.’ Kayak gitu,” terang Karina.

“Kalau tim cowok tuh lebih kejam lagi. Mereka bilang, ‘Karina pasti udah di-unboxing itu sama Pak Tama. Mau perjodohan, ya kali Karina mau aja. Pasti udah diapa-apain, makanya mau.’ Kan gila ya! Emang mereka pikir aku nih barang?!” lanjut Karina, kini amarah terpancar nyata dari netra dan getaran tubuh.

Tama tarik Karina dalam pelukan hangat. Ia elus surai Karina lembut, berusaha menenangkan amarah sang kekasih. Kalau ditanya, Tama jelas marah. Siapa yang tidak marah ketika mendengar ucapan seperti itu. Tama tidak pernah punya pikiran macam-macam pada Karina. Bahkan selama proses menuju pernikahan, tidak pernah Tama ada keinginan mengekang segala macam. Walau kadang Tama suka mencium Karina, tapi tidak pernah lebih dari itu. Tama tahu batasnya dan ia berjanji tidak menyentuh Karina lebih jauh sebelum mereka sah di mata negara dan Tuhan.

Namun bagi Tama, menenangkan Karina jauh lebih penting kali ini. Ia calon kepala keluarga di sini, ia yang akan jadi pembimbing Karina setelah ini. Menyulutkan rasa emosi justru dapat membuat Karina semakin kepikiran dan itu tidak baik untuk kesehatan mental mereka berdua.

“Ya udah, jangan marah lagi ya,” ucap Tama.

Karina mendorong tubuh Tama pelan dengan mata memicing. “Kakak kok enggak marah sih?! Marah dong! Emang suka dengerin ucapan kayak gitu?!” protes Karina.

Tama memang tidak akan pernah mengerti wanita, tapi menghadapi Karina yang terkadang labil itu cukup mudah. Ia raih kedua tangan Karina sembari berkata, “Aku marah. Marah banget kalau kamu tanya. Tapi enggak semua hal harus aku respon dengan marah-marah. Habis tenaga kita buat mikirin apa kata si A, apa kata si B.”

“Iya sih,” gumam Karina kembali memeluk Tama.

“Saran aku sih diemin aja apa kata orang. Kita mau marah kayak apa juga enggak bakal merubah jalan pikir mereka. Selama kita tahu apa yang terjadi di antara kita, omongan orang enggak penting. Okay?”

Karina mengangguk pelan.

“Ya udah, sekarang kamu cek dulu enggak interior kamar-kamarnya? Kalau udah entar kita makan di luar, baru aku antar pulang,” ajak Tama.

“Udah jadi? Asaaaa!”

cw // kiss

“Halo?”

“...”

“Iya, udah datang kok ini set lipstick-nya. Ini mau aku buat dulu video review-nya. Nanti kalau sudah aku rekam sama edit, aku kirimin draft-nya ke Mbak. Kayak biasanya.”

“...”

“Sama-sama, Mbak.”

Adalah Anne, wanita karir berusia 25 tahun yang beralih profesi dari budak korporat menjadi beauty Youtuber. Anne biasanya membuat video review produk, berbagi tips menggunakan skin-care, dan memamerkan riasan ala artis yang sedang tren. Kegiatan barunya ini sudah berlangsung selama kurang lebih setahun.

Beberapa menit yang lalu, Anne baru saja melakukan percakapan telepon dengan salah satu marketer dari produk kosmetik ternama. Kebetulan perusahaan si marketer baru mengeluarkan line-up lipstick baru dan Anne merupakan satu dari banyak beauty Youtuber yang mendapat kesempatan mereview produk baru tersebut sebelum tanggal rilis resmi. Anne tidak ragu menerima tawaran, mengingat ia juga menggunakan produk kosmetik dari perusahaan itu.

Anne bangkit dari tempat tidur menuju meja dekat jendela kamar. Meja kerja yang sering menjadi area utama ia membuat video. Ia sesuaikan posisi kamera dan kembali menyusun lipstick berbagai swatch agar berdiri rapi dan terlihat di kamera dengan jelas. Tak lupa ia sediakan pula micellar pads yang nantinya akan ia gunakan untuk menghapus lipstick setiap berganti warna.

Anne menghidupkan kamera dan rekaman dimulai.

“Halo semua! Kembali lagi sama aku Anne, yang hari ini bakal review produk baru dari MBL yaitu Ultimate Dry Lipstick! Katanya sih tahan lama dan enggak transfer kalau kita pakai sambil makan. Terus cepet kering juga,” buka Anne.

Anne melanjutkan, “Ada delapan warna, seperti yang kalian bisa lihat di depan aku ini, dan aku bakal cobain satu-satu biar kalian bisa lihat kayak apa sih swatch-nya di bibir aku. Aku juga bakal review apakah benar dia kering dengan cepat.”

Anne mulai coba satu-persatu lipstick dihadapan. Ia tidak lupa menjabarkan betapa suka-nya ia pada setiap warna lipstick yang ia coba dan mencoba menempelkan bibir pada mug yang ia sediakan di samping meja. Berulangkali pula Anne harus menghapus bekas lipstik dengan pad agar ia bisa mencoba warna lainnya.

Sibuk rekaman, Anne tidak menyadari kehadiran Jay sang kekasih yang baru saja datang dari kantor. Netranya sempat menatap sekilas, namun setelahnya kembali fokus pada kamera.

Jay tersenyum simpul, lalu masuk ke kamar untuk selanjutnya mandi dan beristirahat sembari menunggu jam makan malam. Ia tidak berniat mengganggu Anne yang sedang sibuk membuat video review.

Awalnya sih begitu.

Jay lantas tidak sengaja menatap Anne ketika wanita itu memoles lipstick berwarna merah jambu pada bibir ranumnya, saat ia hendak membuka pintu kamar. Lama Jay diam memerhatikan sang kekasih, bahkan pria itu masih berdiri di depan pintu kala Anne menghapus lipstick di bibirnya dan kembali memoles bibir dengan warna merah darah. Bibir Anne terlihat penuh dan mengundang dengan warna yang baru. Siapa yang tidak tergoda saat melihat salah satu bagian favorit tubuh kekasihmu terlihat bersinar dari biasanya?

Jay jatuhkan tas dan jas ke lantai, bergegas mendekati Anne dan tanpa rasa bersalah mengganggu proses rekaman.

“Wah! Ini merahnya cakep banget, teman-teman! Lihat deh! Dibandingin warna yang lain, yang merah ini benar-benar exudes different aura gitu buat yang pakai. Bibir aku jadi kelihatan full, padahal bibir aku tuh masuknya tipis loh-“

Kursi Anne terputar mendadak, membuat ucapan si wanita terputus. Belum sempat bersua, bibir Anne keburu dibungkam oleh bibir Jay.

Bibir Jay awalnya hanya menempel. Beberapa kali ia ulangi mengecup bibir Anne. Belum sempat reda dari keterkejutan, Anne kembali dibuat kaget dengan lumatan pelan bibir Jay. Pria itu sangat lihai membuat Anne lupa bahwa dirinya sedang merekam review produk.

Tangan Anne lantas naik mengalung pada leher, memberi tanda bahwa dirinya ingin ciuman yang lebih agresif. Jay dengan senang hati memberi, memperdalam ciuman mereka. Engahan napas sesekali terdengar, namun tidak membuat pergulatan mereka berhenti. Mereka nampak haus dengan cumbuan masing-masing. Padahal tadi pagi mereka sudah berbagi ciuman panas sebelum Jay berangkat ke kantor.

Bibir Jay melumat bibir Anne bergiliran antara bibir atas dan bawah, memberi sensasi yang sangat wanita itu sukai. Bahkan Jay tidak segan mengabsen barisan gigi dan berkelana dalam rongga mulut Anne.

Suara tabrakan meja yang diiringi dengan suara jatuhnya lipstick dari posisi berdiri lah yang mampu menghentikan kegiatan panas mereka. Napas Anne tersengal, dengan tangan perlahan melonggar dari mengalung di leher turun ke bahu si pria.

Napas Jay juga sama, namun pria itu tanpa ragu tersenyum senang melihat reaksi Anne. Jay juga suka melihat betapa berantakannya sang kekasih. Bekas lipstick tersebar di sekitar bibir.

“Jay! Aku lagi bikin video review loh!” protes Anne setelah beberapa saat.

Jay tanpa rasa bersalah kembali mengecup bibir Anne. “You look hot in red, you know. I can’t resist myself from kissing you deeply,” sahut Jay.

“Ya tapi-“

Jay elus bibir Anne menggunakan ibu jari. “Oh iya, tadi kamu bilang kalau lipstick ini non-transfer, tapi kok warnanya jadi nyebar ke mana-mana gini setelah aku cium? Kayaknya bibir aku jadi merah juga deh. Fraud nih barang-nya,” sela Jay.

“Ya kamu nyium aku kayak tadi, mana belum kering total. Ya nyebar lah! Lagian ngapain sih nyium-nyium gitu?!” omel Anne.

“ Your lipstick got me crazy, babe!” goda Jay.

“Jay!”

“Ih, orang aku serius!”

“Ya udah lah, sekarang sana! Aku mau nyelesain ini aja loh, tinggal terakhir juga. Jangan rese kamu!” sungut Anne.

Jay berdiri tegak sembari bersua, “Ya udah selesain aja itu. Nanti kalau udah selesai, ciuman lagi ya sama aku!”

Jay langsung saja lari ke kamar, mengabaikan sumpah serapah yang keluar dari bibir Anne karena diganggu.