leviaphile

Dainsleif tidak membalas lagi. Lumine membaca penjelasan Dainsleif berulang-ulang. Hatinya dibanjiri berbagai emosi.

Yaksha tidak ingin dikasihani, khususnya oleh makhluk mortal yang takkan bisa mengerti, batin Lumine.

Dia tidak melupakan sedikit pun tentang yaksha di hari itu. Peristiwa yang bisa saja merenggut nyawa Lumine andai mereka tidak bertemu. Lumine membayangkan yaksha mencoba mengurangi dampak badai dan sebisanya menyelamatkan nyawa. Mungkin, badannya merasakan sakit karena menanggung semua sendiri.

Apa yang lebih menyedihkan? Dia melakukannya tersembunyi, seperti disembunyikan angin. Dia tidak diketahui. Di zaman yang semakin modern, dia semakin dilupakan orang-orang ... dan dia tetap mengabdi.

Lumine berjalan keluar tanpa memikirkan arah. Dia menyaksikan Liyue lekas pulih dari bencana. Penduduk bersiap untuk festival besok malam. Kegembiraan mereka membuat Lumine tersenyum.

Pasti Archon Morax bangga pada kinerja Penjaga Angin, tapi sekarang Penjaga Angin sedang apa ya? lamun Lumine.

Tiupan angin menjatuhkan jepit rambut Lumine. Angin kembali mengingatkannya pada sosok yaksha yang menolong di hutan Liyue. Refleks, tangan Lumine memegang lengan kiri yang pernah dipegang yaksha dengan tujuan melindunginya. Sensasi tersebut seolah masih tertinggal.

Aku ingin memanggil namanya. Aku ingin bisa mengulurkan tangan padanya. Aku ingin bisa sedikit menolongnya, sekali saja. Gelombang perasaan makhluk mortal mengusik Lumine. Bibir Lumine berucap lirih, “Xiao.”

Angin bertiup lebih kencang. Lumine menutup mata sebentar untuk melindungi dari debu. Saat dia membuka mata, yaksha tersebut ada di hadapannya. Sekarang dia tidak mengenakan topeng, tetapi Lumine yakin ini adalah dia. Kaki Lumine lemas melihat wajah asli yaksha yang pesonanya di luar nalar.

“Ka-kamu di sini?” Lumine berusaha terlihat tenang meski suaranya sempat tergagap. Dia tidak ingin terlihat sebagai manusia yang bodoh.

“Kamu memanggilku.” Suara yaksha—atau bisa dipanggil Xiao membuat Lumine semakin lemas. Jika Lumine air, dia pasti langsung menguap. Lumine mati-matian mengumpulkan kekuatan mentalnya.

“Kamu selalu datang kalau ada orang memanggil?”

Xiao menjawab dengan gelengan kepala. Dia menyerahkan jepit rambut Lumine yang entah sejak kapan dipungutnya. Karena Lumine tidak bereaksi, Xiao memasangkan jepit rambut itu. Dia tidak mengerti efek perbuatannya terhadap jantung Lumine.

“Oh ... terima kasih. Aku Lumine. Salam kenal, Xiao.”

“Ya.”

Lumine berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan. Akan tetapi, perut Lumine tiba-tiba berbunyi. Dia baru ingat dia belum makan sejak tadi malam karena fokus menunggu balasan Dainsleif tentang Penjaga Angin.

Lumine berdehem untuk menepis rasa malu, “Mau makan sesuatu?” tawarnya.

Xiao tersenyum tipis. “Almond tofu.”

Lumine meregangkan tangan ke depan. Untung dia datang ke hutan, suasana di sini mampu mengisi ulang energinya. Dia jadi ingin berpetualang.

Kakinya berhenti melangkah ketika melihat pohon-pohon yang lebih besar menjulang sejauh batas pandang. Petugas Dinas Kehutanan berpesan supaya tidak masuk terlalu jauh. Ketika sudah melihat jajaran pohon besar, pengunjung tidak boleh meneruskan berjalan. Lokasi tersebut juga ditandai dengan pos lain. Pengecualian hanya diberikan untuk warga setempat yang sudah biasa melintasi hutan.

Lumine ingin masuk, tetapi takut karena dia kurang persiapan. Berjiwa petualang tidak bersinonim dengan bersikap bodoh. Dia hanya duduk di akar salah satu pohon sambil melamun melihat ke sana. Sudah setua apa pohon-pohon itu?

Angin kencang berembus membawa mendung pekat. Dalam waktu singkat, mendung bertambah tebal. Lumine teringat akan ramalam Mona. Dia harus bergegas pulang.

Tiba-tiba hujan turun deras. Lumine mempercepat larinya. Dia berpapasan dengan ayam hutan yang berlari dari arah sebaliknya. Burung-burung pun justru terbang ke bagian hutan yang lebih dalam. Insting Lumine menyuruh untuk mengikuti mereka. Binatang lebih peka terhadap bahasa alam, mereka pasti tahu tempat yang lebih aman. Jantung Lumine sempat berdegup kencang ketika melewati pos, untung saja di sana tidak ada orang.

Hujan semakin deras dibarengi dengan petir dan angin kencang. Lumine berlindung di bawah pohon sambil terus berdoa. Secara logika, di sini bukan tempat yang aman. Akan tetapi, hanya ada pepohonan. Jika ada tanda-tanda akan roboh, Lumine harus siap berlari ke tempat lain.

Mata Lumine membelalak melihat punggung seseorang. Rambutnya hijau, pakaiannya aneh. Lumine berjalan ke sana. Seakan sadar sedang dihampiri, sosok itu menoleh. Lumine terkejut sebab dia memakai topeng aneh.

“Ka—” Lumine baru membuka mulut ketika ada pohon tumbang ke arahnya. Lumine berancang-ancang untuk lari sambil melindungi kepala. Sosok tersebut lebih cepat. Sebelah tangannya memegangi lengan Lumine, dan satunya melakukan entah apa yang membuat pohon tumbang ke arah lain. Sentuhan di lengan Lumine terasa asing. Siapapun sosok ini, dia pasti bukan manusia.

“Terima kasih,” ucap Lumine.

Sosok bertopeng mengangguk. Dia melepaskan tangan Lumine lalu pergi menolong burung kecil yang jatuh. Dia berpindah tempat kurang dari satu detik. Badan Lumine seolah membeku. Otaknya pun kebingungan memproses keadaan. Satu hal yang Lumine tahu, di sini dia merasa aman.

Sosok tersebut kembali ke hadapannya. Lumine berkesempatan melihat dia lebih dekat. Model rambutnya nyaris tidak berubah meski basah. Topeng yang dikenakan bercorak seram, tetapi tidak menakutkan. Matanya indah berwarna keemasan.

Seolah terhipnotis, Lumine membalas ketika dia mengulurkan tangan. Kemudian, dalam sekejap Lumine sudah berada di bagian luar hutan.

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me—Shall We Date pairing: Belphegor x Aki (MC) note: mungkin OOC, banyak narasi, kusarankan membaca pelan-pelan >~<


Ada jejak yang mudah terhapuskan. Ada jejak yang tidak akan lenyap. Ada jejak yang mudah terhapus tetapi tidak akan lenyap.


Pada hari kesebelas di bulan akhir tahun, pihak Demon Lord's Castle menggelar perayaan Devil Day. Tujuan utamanya yakni menjadi sarana berkumpul penduduk Devildom, terutama demon yang terdiri atas banyak ras dan berasal dari berbagai daerah. Ras non demon yang menjalin relasi dengan tokoh-tokoh tertentu di Devildom ikut diundang. Pesta akan berlangsung semalam suntuk.

Aki, salah satu siswi pertukaran pelajar RAD dari dunia manusia juga menghadiri pesta Devil Day. Tadi dia sudah berkumpul sebentar dengan teman-teman RAD dan para demon bersaudara. Kemudian, dia beranjak ke sudut ruangan usai mengambil segelas minuman. Semakin lama, pesta ini semakin terasa asing. Tamu terus bertambah, sedangkan teman Aki satu persatu mulai pulang, contohnya Simeon yang harus mengantar Luke.

Daripada berbicara dengan banyak orang, Aki lebih tertarik mengamati mereka. Sejak dulu dia suka mengamati sekitar. Tinggal di Devildom tidak mengubah kebiasaan ini, bahkan malah meningkatkannya karena Aki bertemu lebih banyak jenis orang.

Perhatian Aki sejenak tertuju pada DDD. Foto yang barusan dia unggah mendapatkan banyak notifikasi. Jarinya menggulir linimasa, banyak kenalan yang mengunggah foto di Devil Day. Aki tersenyum melihat foto demon bersaudara yang diunggah Beelzebub. Aki senang melihat orang-orang yang ia sayangi menikmati pesta.

“Anda semakin tampan, Lord.” Pujian tersebut disusul dengan tawa merdu, tetapi terdengar sumbang di telinga Aki.

Sontak Aki menoleh, sekitar tujuh meter di sisi kanannya, penyihir bernama Maddi tengah mengekor pada Diavolo. Barbatos mencoba mengusir Maddi secara halus, tetapi dia mengabaikannya. Diavolo tertawa canggung, tetapi mata keemasannya melirik sekitar untuk mencari pertolongan. “Terima kasih, Maddi. Selamat menikmati pesta. Saya hendak menyambut Michael,” jawab Diavolo.

“Bolehkah saya menemani Anda?” tanya Maddi membuat Aki spontan mengerutkan dahi. Maddi bahkan mencoba menggandeng lengan Diavolo.

Apa Maddi masih terobsesi untuk menjadi Ratu Devildom? Aki bertanya-tanya dalam hati.

Aki kembali mengamati suasana pesta. Ada beberapa demon paruh baya yang mencoba menjilat Lucifer. Ada satu incubus dan satu succubus menggoda Asmodeus. Ada demon mencurigakan yang seperti hendak menipu Mammon—untung Leviathan dan Satan lekas mendatangi mereka.

Demon akan tetap menjadi demon, huh? Aki membatin. Ketika tidak sengaja melihat Maddi lagi, Aki menambahkan, Oh, lebih tepatnya ada banyak makhluk hidup yang seperti itu. Tidak hanya kaum demon.

“Aki, ayo kita kabur.” Ajakan tiba-tiba membuat Aki sedikit terlonjak. Jika minumannya masih tersisa banyak, pasti Belphegor akan terciprat. Sebelah tangan Aki mengelus dada karena kaget.

“Sejak kapan kamu di sana, Belph?” tanya Aki. Nada suaranya terdengar normal, posisi berdirinya juga telah diperbaiki.

“Sejak kamu melamun sambil melihat tiang,” jawab Belphegor dengan wajah tanpa dosa. Lalu, Belphegor menguap.

Orang yang malas dengan keriuhan pesta bukan cuma Aki, Belphegor juga satu di antaranya. Demon bungsu ini terbiasa bermalas-malasan, energinya cepat habis saat digunakan untuk interaksi sosial. Belphegor rindu bantal motif kulit sapi kesayangannya.

Belphegor bertanya di grup House of Lamentation apa tidak ada yang ingin pulang, tetapi belum ada yang menjawab. Belphegor ingin tidur di balkon, tetapi di sana ada Solomon yang mengobrol dengan Thirteen dan Raphael. Belphegor pun mencari Aki, ingin mendengar tebak-tebakan aneh atau sekadar meme absurd untuk mengalihkan rasa kantuk. Melihat wajah Aki tertekuk dan tatapan matanya bosan, Belphegor langsung mengajaknya kabur.

“Um ... bagaimana kalau yang lain mencari kita?” Aki baru menanggapi ajakan Belphegor. Meski kurang nyaman dengan pesta, Aki merasa tidak enak kalau tiba-tiba pergi.

“Tinggal bilang di DDD. Lagipula kemungkinan besar mereka tidak akan sadar,” sahut Belphegor enteng, “Jadi ikut?”

Aki mengetukkan jari ke gelas perlahan. Berdasarkan pertimbangannya, perkataan Belphegor cukup meyakinkan. Mereka bisa mengabari via DDD kalau ada yang bertanya. Kalau tidak ada justru lebih bagus. Di pesta seramai ini, perginya dua orang pasti tidak akan diperhatikan.

Aki mengangguk, lalu meletakkan gelas, “ .... Ayo, Belph.”


Begitu menginjakkan kaki di luar kastel, dada Aki terasa lega. Kantuk Belphegor juga mereda. Mereka berdua berjalan pulang sembari bertukar cerita. Aki menceritakan beberapa hal tidak mengenakkan yang tadi dia saksikan. Belphegor tidak banyak menanggapi, tetapi serius mendengarkan.

“Belph, walau mungkin hanya bertemu setahun sekali, ternyata ada banyak demon penjilat ya?” celetuk Aki.

“Kelihatannya karena itu. Karena jarang bertemu, harus mencari benefit sebesar-besarnya,” ujar Belphegor sebelum menguap lagi.

“Um ... hum ... Devil Day apa selalu seperti ini?”

“Kurang lebih.” Belphegor mengangkat kedua bahunya.

Sekarang Aki tidak habis pikir apa Lord Diavolo tidak peka atau memang sengaja memberikan ruang untuk hal-hal munafik. Akan tetapi, mendadak Aki berpikir bahwa dirinya tidak jauh berbeda dari mereka. Kendati tidak pernah bersikap seperti Maddi atau demon-demon menyebalkan di pesta Devil Day, tetapi tidak jarang Aki menyimpan motif dalam perbuatannya.

Aki tidak ingin ditinggalkan. Aki tidak ingin dilupakan. Dia ingin menjadi seseorang yang bermanfaat bagi orang lain. Dia selalu berusaha agar bisa membantu orang lain. Jika Aki diam tanpa melakukan apa-apa, dia takut tidak diingat oleh siapa-siapa.

Aku akan menolongmu. Jangan tinggalkan aku. Jangan buang aku. Aku bisa membantumu .... Aki terkadang menggaungkannya di dalam benak.

Bersikap sok pahlawan agar dianggap dapat diandalkan. Melibatkan diri dalam berbagai hal karena tidak mau kesepian. Melakukan kebaikan atas motif egois bukankah juga memuakkan?

Ternyata semua orang memuakkan, caranya saja yang berbeda-beda. Termasuk aku. Aki tersenyum miris.

Diamnya Aki membuat Belphegor menyadari ada yang aneh. Sejak tadi Aki memang terlihat kesal dan bosan, tetapi secara mendadak auranya berubah suram. Belphegor ingin tahu apa yang sedang Aki pikirkan supaya bisa menghilangkan kabut di wajahnya.

Belphegor berhenti berjalan, Aki spontan turut berhenti. Sebelum Aki sempat bertanya, Belphegor menarik lembut rambut yang mencuat menyerupai tanduk di kedua sisi wajah Aki. “Aku mengingat tempat yang bagus. Kita pulangnya nanti saja, ya?”

Tindakan Belphegor membuat Aki mematung, wajahnya merah. Dia kesulitan bicara karena malu. Belphegor kembali menyerang dengan senyuman yang membuat Aki tidak bisa menolak. Walau Belphegor telah melepaskan rambutnya, Aki belum terlepas dari rasa malu. Perempuan itu mengangguk kaku sebagai jawaban.

Di bawah arahan Belphegor, mereka menuju areal perbukitan. Perjalanan mereka semakin jauh dari kata romantis. Sendi-sendi Aki seolah berteriak meminta ampun karena lelah berjalan. Aki berhenti sebentar sambil memegangi pinggangnya yang pegal. “Belph, apa masih jauh?” tanya Aki, “Aku belum mengecek jam, apa sudah tengah malam,” imbuhnya menggumam sendiri.

Belphegor menoleh. Keringat sudah membanjiri wajahnya. Dia tidak terbiasa dengan aktivitas fisik. Rasanya seperti energi untuk bersosialisasi selama setahun penuh tersedot habis dalam satu malam, padahal tadi Belphegor sudah memperkirakan tempat yang terjangkau. Lokasi yang dituju Belphegor tidak begitu jauh dari Demon Lord's Castle, tidak terlalu tinggi, tetapi aman dari keramaian.

“Sebentar lagi. Itu puncaknya sudah kelihatan.” Suara Avatar of Sloth terdengar sarat kelegaan.


Setelah bersusah payah mendaki, Aki dan Belphegor sampai di puncak. Pakaian mereka kotor karena terkena tanah dan daun tanaman tertentu yang bisa menempel di kain. Napas mereka sudah terengah-engah. Akan tetapi, semuanya terbayar ketika mereka tiba di tempat tujuan.

Tanah yang tidak ditumbuhi rumput agak becek sebab semalam hujan, tetapi ada lebih banyak rumput tersebar. Ada pohon-pohon yang Aki tidak tahu jenisnya dan sejumlah semak berbunga putih keunguan. Kunang-kunang terbang bebas di sekitar mereka. Sekali lagi, Aki kehabisan kata-kata. Belphegor tampak puas melihat Aki terpana, tidak sia-sia dia mengajaknya ke sini.

Semilir angin menyapa rambut mereka. Kunang-kunang terbang sekitar satu kaki lebih tinggi, mata Aki dan Belphegor mengikuti pergerakannya. Bukan cuma kunang-kunang, mereka bisa melihat bulan purnama dan taburan bintang di angkasa. “Indah,” lirih Aki yang terpukau menyaksikannya.

“Mau berdansa?”

Pandangan Aki berpaling ke tangan yang diulurkan Belphegor, lalu berpindah ke wajahnya yang tampak lebih mempesona dibias cahaya bulan. Aki tidak sadar Belphegor tengah merasakan hal yang sama. Jantung Belphegor seperti kembali berdetak saat Aki sudah menerima uluran tangannya.

“Tentu saja.”

Momen tersebut seperti garis di antara kenyataan dan khayalan karena terasa sempurna. Mereka berdansa di bawah cahaya-cahaya lembut nan magis. Tidak ada yang bisa berkata-kata. Baik Aki maupun Belphegor mencoba merekam setiap detiknya. Seolah terhipnotis senyuman satu sama lain, mereka menari nyaris tanpa melepaskan kontak mata.

Mendadak Aki tersandung kerikil hingga menginjak kaki Belphegor. Momen sunyi di antara mereka pecah. “Maaf, Belphie,” ucap Aki malu.

“Santai saja, ayo kita lanjutkan,” tanggap Belphegor.

Mereka kembali berdansa. Kali ini sambil saling bercerita. Pembicaraan mereka tidak terarah, tetapi masih menyenangkan. Kemudian, ganti Belphegor yang tidak sengaja menginjak kaki Aki.

“Maaf, Aki.” Telunjuk Belphegor menggaruk pelan wajahnya, pertanda dia sedang malu.

Aki memaklumi—dan diam-diam bersyukur bukan hanya dia yang malam ini menginjak kaki, “Tidak apa-apa, Belphie.”

Keduanya melanjutkan dansa mereka. Entah apa konsentrasi mereka terganggu karena kecerobohan tadi atau Aki dan Belphegor sama-sama kelelahan, tidak sampai lima menit kemudian mereka saling menginjak kaki. Masih dengan kaki yang saling menginjak, mereka tertawa lepas. Kecelakaan kecil tidak menodai kesempurnaan malam ini, sebab kejadian barusan juga menyenangkan.

“Um ... tampaknya kita kelelahan,” komentar Aki.

“Dan mengantuk,” tambah Belphegor yang membuat Aki sedikit tertular.

Mereka tertawa lagi. Lalu, Aki melepaskan injakan di kaki Belphegor—sekaligus membebaskan sebelah kakinya yang terinjak. Dia mengajak Belphegor untuk duduk di bawah pohon. Lantas Aki melepas sepatunya yang penuh lumpur. Dia mengamati baik-baik sepasang sepatu tersebut, sebelum bergeser pada jejak-jejak kaki mereka yang tertinggal di atas tanah dan rumput.

Secara acak, pikiran Aki kembali pada pesta di Demon Lord's Castle. Apa mereka sukses kabur tanpa disadari atau orang-orang hanya kehilangan jejak? Ternyata di bukit ini tidak ada sinyal DDD. Aki tidak bisa mengecek grup. Apa pesta masih berlangsung dengan atmosfer sesesak tadi, membaik, atau lebih parah?

Banyak hal yang Aki pikirkan, bahkan sampai ke apa dia boleh menikmati saat ini. Apa dia berhak menerima ketulusan Belphegor? Apa dia orang yang cukup baik?

“Jangan terlalu dipikir,” ucap Belphegor, seolah mengerti kerisauan Aki. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu bersedih, kuharap semua lekas membaik, atau semoga kenyataannya tidak seburuk ketakutanmu. Aku mengajakmu kemari karena ingin membuatmu bahagia. Dan, Aki, terima kasih sudah mau merayakan Devil's Day denganku.”

Belphegor bersungguh-sungguh, dan Aki kini tersadar akan sesuatu. Tidak ada makhluk yang sempurna. Semua pasti berproses dari waktu ke waktu, mengobati luka demi luka.

Meski belum yakin dirinya orang baik, Aki ingin menjadi orang yang lebih baik, serta dalam prosesnya tidak menyakiti orang lain. Dia tidak ingin menjadi menyebalkan seperti orang-orang yang ia hindari. Aki ingin membahagiakan orang-orang yang ia sayangi. Dia ingin hidup bahagia bersama mereka.

“Terima kasih juga, Belphie. Um ... aku bahagia ...,” bersamamu. Aki membatin kata terakhir, sengaja tidak melisankannya.

Di langit, gumpalan awan tertiup angin berarak melewati bulan. Saat awan telah jauh dari bulan, daratan kembali menjadi sedikit lebih terang. Di sana sepi karena si manusia dan demon kehabisan energi setelah lama menari. Aki dan Belphegor duduk meresapi sisa-sisa momentum sembari mengumpulkan energi untuk pulang.

Masih tersebar jejak-jejak kaki. Bekas yang tidak abadi, besok mungkin sudah menghilang seolah tidak pernah terjadi. Akan tetapi, penyebab jejak-jejak itu tertanam jauh lebih dalam di hati; dan dengan caranya sendiri mendekati kata abadi. Mereka berdua takkan melupakan hari ini.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Beelzebub x Kazuko (MC) setting: AU warning: (sangat) singkat, mungkin OOC, cheesy, beberapa hal tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan


Lelaki tinggi besar itu rajin datang ke kliniknya. Dia tidak bisa berhenti memakan camilan manis dengan raut sedih.


Kazuko membolak-balik halaman novel dengan tampang bosan. Hari ini kliniknya sepi pasien. Tadi hanya ada seorang bocah yang diantar ibunya untuk mencabut gigi. Saat pandemi seperti sekarang, jarang sekali ada orang yang datang ke dokter gigi karena menganggapnya sepele.

Terdengar suara deru mesin motor yang sudah dikenal Kazuko. Ketika Kazuko menoleh ke luar jendela, pasiennya sedang memarkir motor. Lelaki tinggi besar tersebut melepaskan helm, menampakkan helaian rambut berwarna jingga. Ekspresi wajahnya cenderung kaku. Dia adalah Beelzebub, manajer produksi salah satu perusahaan di bidang otomotif, hampir setahun terakhir rutin datang ke tempat praktik Kazuko.

Seingatku jadwal konsultasi Beel masih beberapa hari lagi, batin Kazuko.

Beelzebub pertama datang untuk menghilangkan karang gigi. Penumpukan karang gigi Beelzebub tebal, tetapi belum terlalu mengeras sehingga mudah dihilangkan. Kazuko memperkirakan sebelumnya kesehatan gigi Beelzebub terawat dengan baik.

Selang dua minggu, Beelzebub kembali datang untuk menambal gigi berlubang. Saat itu, Beelzebub bercerita tentang duka yang ia alami. Lilith, adik bungsunya, meninggal akibat COVID-19. Memakan camilan manis menjadi pelarian Beelzebub setiap merasa bersedih dan kehilangan.

Kemudian, Beelzebub rutin datang untuk memeriksakan gigi, khususnya apabila ada keluhan. Beelzebub juga pernah datang mengantar adiknya, Belphegor. Jika Beelzebub melampiaskan emosinya dengan makan, Belphegor lebih suka tidur. Gigi gerahamnya sampai berlubang karena sering ketiduran sebelum sempat gosok gigi.

Pertemuan mereka bukan cuma satu atau dua kali. Kazuko tidak hanya memandang Beelzebub sebagai pasien, tetapi juga seorang teman. Sembari berkonsultasi tentang kesehatan gigi, mereka dapat mengobrol banyak hal secara bebas. Beberapa bulan terakhir, Beelzebub lebih suka datang di sore hari supaya bisa menjadi pasien terakhir Kazuko.

Derit pintu ruangan dibarengi dengan panggilan, “Dokter Kazu,” ujar Beelzebub.

“Silakan duduk, apa yang bisa saya bantu?” Kazuko bersikap professional. Gestur tangannya memberi isyarat agar Beelzebub duduk.

Beelzebub mengangkat kantong plastik yang dia bawa. Isinya kue favorit Kazuko. Biasanya Kazuko memesan secara online sebab lokasi outlet jauh dari sini.

“Gigi saya kemarin berdenyut nyeri saat saya minum milk tea dan boba. Setelah itu, kalau jam kerja Bu Dokter sudah selesai, apa Anda bersedia memakan kue ini dengan saya?” tanya Beelzebub.

Beelzebub membuka kotak kue tersebut. Tidak ada lilin, tetapi terdapat tulisan “Happy Birthday Kazuko” pada bagian topping. Hiasan lain berbentuk kepala chibi K-pop yang diidolakan Kazuko.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Mystic Messenger pairing: Saeran x Cil (MC) warning: OOC, singkat, mungkin ada beberapa kekeliruan terutama bahasa bunga note: menggunakan sudut pandang Saeran


Selama bunga masih ada di dunia, selalu ada cara untuk menyampaikan pesan untukmu.


Dandelion terbang menyentuh ujung hidungku. Doa pendek meluncur sebelum kubiarkan ia pergi, berjuang untuk hidup yang baru. Aku kembali berjalan di bawah pohon-pohon akasia. Belum musimnya ia berbunga.

Aroma lembut menarikku menoleh. Remaja berseragam sekolah membeli sebuket mawar kuning dari suatu toko. Melihat senyuman di wajah, pasti mawar tersebut untuk sahabatnya. Nanti aku jadi ingin membeli beberapa.

Dapat kulihat hortensia mencolok di antara para krisan, padahal warnanya lebih lembut. Ah, siapa yang bisa memalingkan pandang dari bunga kaya makna tersebut? Warnanya saja bisa berbeda tergantung lingkungan hidupnya.

Bagaimana pagimu, Cil? Apakah cerah seperti bunga matahari di sudut toko bunga? Apakah duka hyacinth ungu lebih cocok untukmu, atau haruskah aku mendamaikan lily oranye di harimu?

Seorang pemuda pengantar bunga potong menghentikan motornya di depanku. Tampaknya aku sudah terlalu lama di sini. Penjaga toko bunga mengembangkan senyum ketika bertemu pandang denganku. Mungkin beliau berpikir aku hanya sedang malu.

Aku membungkukkan badan sebelum bergegas pergi. Di boncengan motor tersebut, paling banyak adalah mawar merah. Cinta ... memang tidak ada habisnya.


Cil, aku ingin bercerita tentang padang gypsophila dalam mimpiku. Di sana kudeklarasikan bahwa aku akan selalu bersamamu. Kemudian, kamu menghambur dalam pelukanku. Suatu saat, bisakah kita seperti Gypsophila paniculata?

Jika tidak bisa, hal yang lebih sederhana tidak mengapa. Kuatnya ikatan lavender dan ketulusan daisy. Jika tentang kita, tidakkah mereka luar biasa?

Cil, aku di balik pintu. Mengetuk dan menunggu. Sengaja tidak mengirimkan pesan terlebih dahulu. Apa kamu terkejut dengan kedatanganku?

“Saeran, kenapa tidak kirim messenger dulu? Untung aku belum berangkat ke luar kota dengan teman-teman.” Kamu terlihat menggemaskan saat berbicara panjang lebar yang intinya mengkhawatirkanku. Lalu, kamu mempersilakanku masuk sekali lagi—tanpa dilanjutkan omelan heran tetapi sambil tersipu senang.

“Kali ini bunga apa?” tanyamu melihat bunga yang kubawa.

“Primrose.”

Kamu sibuk mengetik di ponsel. Aku yakin kamu sedang mencari tahu arti bunga yang kuberikan.

Cil, aku tidak bisa hidup tanpamu. Kamu adalah salah satu faktor terbesar yang membuatku kembali merasa hidup. Aku ingin menghabiskan hidupku bersamamu.

Aku belum sepenuhnya pulih dan menjadi manusia normal seperti kalian. Aku kerap bingung harus bagaimana, tetapi juga takut meledak lantas melukai yang lainnya. Akan tetapi, selama bunga masih ada di dunia, selalu ada cara untuk menyampaikan pesan untukmu; menyalurkan perasaanku dalam salah satu bahasa terindah.

Sekarang semburat di wajahmu bertambah merah. Kutebak kamu pasti sudah mengetahui artinya.

Oh iya, Cil, jika aku adalah bunga ... mencintaimu merupakan bahasa tunggalku.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Thirteen x Himeka (MC) note: singkat dan mungkin OOC


Hanya sebuah pagi yang biasa saja, tetapi mereka ingin mengulanginya setiap hari.


Thirteen membanting tugas kelompok ke atas meja dengan penuh kelegaan. Himeka menyandarkan punggungnya ke sofa. Usai begadang semalaman di kamar Himeka, akhirnya PR menyebalkan tersebut dapat mereka selesaikan.

“Aku mengantuk,” keluh Himeka, “tapi tanggung kalau tidur jam segini, sebentar lagi kita harus ke sekolah.”

“Tidur saja, Hime, nanti kubangunkan.” Thirteen ikut mengempaskan punggungnya ke sofa. Dia menguap tidak sampai lima detik kemudian.

“Jangan, kamu kan juga mengantuk. Mau makan atau minum sesuatu?” tawar Himeka. Dia ingin menawarkan secara spesifik, tetapi tidak berani. Beelzebub biasanya terbangun tengah malam untuk makan.

“Oke, aku mau ikut ke dapur.” Thirteen membayangkan beberapa makanan manis yang mungkin akan berlabuh di perutnya. Selain itu, berjalan kaki ke dapur bisa sedikit mengurangi rasa kantuk.

Kekhawatiran Himeka benar. Di dapur sekarang tinggal makanan-makanan mentah. Mammon—yang terjadwal memasak hari ini takut melihat ekspresi dingin Himeka saat beradu pandang dengannya. Dia menanyakan apa mereka butuh sesuatu, tetapi Himeka menjawab tidak ada yang perlu dibantu.

Mereka berdua kembali ke kamar Himeka hanya dengan setangkai anggur, ukurannya kira-kira sekepalan tangan. Makan anggur belum cukup untuk mengatasi rasa kantuk, maka dari itu mereka terus mengobrol. Himeka jahil menyodorkan anggur di depan muka Thirteen tetapi tiba-tiba dia menariknya kembali. Tidak mau kalah, Thirteen menangkap pergelangan tangan Himeka dan menyantap anggurnya. Perlakuan ini membuat Himeka sedikit salah tingkah.

Thirteen tertawa. “Hime mau juga?” godanya.

“Mau,” jawab Himeka lugas. Raut wajah Himeka membuat Thirteen gemas. Dia heran mengapa banyak yang berpikir Himeka dingin dan menyeramkan.

Thirteen tidak tahan untuk merangkul leher Himeka dan mencium pipi serta hidungnya beberapa kali. Kemudian, kecupan Thirteen berpindah ke tempat favoritnya, tahi lalat di samping bibir Himeka. Dia menggumam retoris sambil mempererat rangkulannya. “Kenapa kamu sangat manis?”

“Terima kasih.” Himeka balas mengecup pipi Thirteen dan memegang tangannya. Tidak ingin menjadi satu-satunya yang malu, Himeka memberikan beberapa kecupan lain di pelipis dan rambut.

Mereka berdua baru berhenti saat wajah keduanya semerah tomat. Pasangan tersebut lantas tertawa melihat keadaan satu sama lain. Rasa kantuk mereka telah sepenuhnya hilang. Sekarang mereka harus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.

—end

author: leviaphile language: English fandom: Obey Me SWD pairing: Leviathan x Arciel (MC) warning: short, maybe OOC, and ungrammatical


.... I'd choose you; in a hundred lifetimes, in a hundred worlds, in any version of reality. I'd find you and I'd choose you. (Kiersten White, The Chaos of The Stars)


Since Arciel had failed to make a memory-generating potion with normal technique, she used her elemental abilities and made a random potion. This method had higher purity, and the result was beyond her imagination. A small cauldron exploded. Then, Arciel was suddenly transferred to a strange place. Anti delusions spell wasn't worked.

According to the landscape, this must be in the human world ... but she wasn't familiar with the civilization. Arciel gasped while saw her and Leviathan walking towards her. They were wearing school uniforms and playing video games. Arciel wanted to get closer, so she took a single step forward. Instantly she moved to another world. In this world, she and Leviathan raised their swords to defeat monsters.

Arciel pumped up her courage because she had to take this occasion. Every single step, Arciel witnessed a story. It's always about her and Leviathan. Same love, different story. Not all stories have happy endings, but their loving gaze hasn't changed a bit.

Were these my past lives? Or were these different universes?

Arciel couldn't help but keep walking beneath the unfamiliar sky. She wanted to see more. Another her. Another Leviathan. Another universe. And love is their choice; wherever, however. They've chosen to stay in love. This simple fact made her heart filled with happiness.

“Arciel!”

Leviathan's voice brought her back home. Her room was messy because of failure in sorcery assignment. His amber with purplish pattern eyes was looking at her deeply. His big hand wiped some potion that spilled on Arciel's face and hair.

“Arci, are you okay?”

Leviathan was worried. When he came home, Arciel didn't answer him. He found his wife just standing and giving him a blank stare. Finally, light returned into Arciel's pretty eyes.

“I'm fine. Welcome home, Levi.”

Arciel's smile warmed Leviathan's heart. They've been married a month ago, but he was still flustered in this situation. It feels like he went isekai into a romance anime. Even Grand Admiral of Hell's Navy can't resist the (silly) effect of love.

“I bought rainbow pizza for us. You worked very hard lately. How about we get some rest together while watching anime?”

“Sounds fun! I baked demonic fruity cake too. Uhm, but let me use the bathroom first.”

Marriage isn't a common thing in Devildom. Perhaps they won't be a normal family. One thing is true; they are loving endlessly.

Being born is a destiny, maybe falling for the loved one is also a destiny. And they choose to stay in love. If fate wanted to separate them, they would fight to change it. They would escape and create their own path.

Love ... as a choice, and they always choose each other. For them, their dearest person is the one.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Beelzebub x Charon (MC) warning: singkat dan OOC


Beelzebub suka makan, tetapi hidupnya tidak melulu berisi makanan. Dia rajin berolahraga setiap pagi buta. Dia aktif dalam kegiatan klub di sekolah. Dia akan menemani Charon tanpa diminta.


Charon lekas kembali dari ruangan Lucifer ketika si Sulung ternyata masih di RAD. Tadinya dia ingin mengajak Lucifer mendengarkan lagu bersama. Sekarang dia bermaksud kembali ke kamar karena bingung harus melakukan apa.

Dia berpapasan dengan Beelzebub di depan pintu kamar Leviathan. Beelzebub langsung tersenyum saat melihat Charon. “Charon mau ke mana?” tanya Beelzebub.

“Bingung. Aku tidak jadi ke tempat Lucifer, Beel. Kamu mau main sama Levi?” jawab Charon, yang diikuti dengan pertanyaan baru.

Beelzebub mengangguk, tetapi langsung membalikkan badan. “Iya, tapi tidak jadi. Di dalam sudah ada Belphie. Aku mau menemani Charon saja.”

“Tidak usah repot-repot, Beel.”

“Tidak repot sama sekali kok.” Beelzebub menggeleng. Kemudian dia mencoba memikirkan tempat atau aktivitas bagus, sayangnya semua yang terlintas adalah makanan. Sesekali Beelzebub ingin menghabiskan waktu dengan Charon di luar urusan makanan, tetapi mencari ide lain amat sulit.

“Baiklah, ayo kita main!” sorak Charon.


Mereka berjalan tanpa tujuan pasti karena masih bingung ingin ke mana. Di jalan, beberapa kali mereka melihat demon yang membawa binatang peliharaannya jalan-jalan, seperti kucing dan anjing. Kucing-kucing jalanan juga berkeliaran. Charon bersembunyi di balik badan Beelzebub, tetapi kepalanya muncul mengintip binatang-binatang tersebut. Mereka lucu, jika tidak punya alergi, Charon pasti ingin mengelusnya.

“Beel, kucingnya melihat ke arahku,” ujar Charon berbisik-bisik.

“Biar kuusir. Ayo kita lanjutkan jalan.” Beelzebub mengibaskan tangan untuk mengusir kucing liar.

“Tapi dia menggemaskan.”

Charon masih menoleh ke arah kepergian kucing. Dia jadi ingin memegang beberapa kucing, lalu nanti meminta obat anti alergi ke Lucifer atau Solomon. Beel seolah memahami pikiran Charon, dia kembali mengajaknya pergi.

Kemudian, mereka berhenti di depan Game Center. Keduanya kurang familiar dengan tempat semacam ini, tetapi tidak ada salahnya mampir. Charon sudah teralihkan dari pikiran untuk bermain binatang-binatang berbulu. Dia mengambil salah satu senapan untuk game menembak.

“Beel, ayo kita bertanding. Yang kalah membelikan kue,” tantang Charon. Dia masih percaya diri kalau lawannya Beelzebub.

“Boleh, berarti siapa yang skornya paling banyak yang menang, ya? Mau berapa ronde?” Beelzebub menyambut baik tawarannya.

“Hmm, tiga.”

Mereka sudah siap di tempat dengan senjata masing-masing. Charon sempat memperingatkan Beelzebub. “Jangan mengalah, Beel! Aku pasti menang. Hahaha.”

Sayang kepercayaan diri Charon tidak sebanding dengan hasil. Dia memang memenangkan babak pertama, tetapi Beelzebub membalas di babak berikutnya. Dan setelah berusaha keras, Charon masih kalah tipis dengan Beelzebub pada babak terakhir.

“Lain kali aku akan menang,” tukasnya. “Sekarang kue apa yang harus kita beli?”

Mereka batal mencoba permainan lain karena terlihat rumit. Sekarang mereka ingin membeli kue dan beberapa camilan, lalu pulang jika tidak menemukan tujuan lain.


Charon rebahan di tempat tidur. Kencan dadakan tadi menyenangkan, tetapi lelah juga. Dia ingin tidur, tetapi sebentar lagi episode terbaru anime yang dia ikuti rilis. Menurut spoiler yang beredar, karakter favorit Charon yaitu TJ si Summoner Cacing Besar Alaska akan mendapatkan banyak screen time.

“Charon, kamu masih bangun?” tanya Beelzebub dari luar kamar. Dia mengetuk pintu pelan-pelan, mungkin takut membangunkan Charon.

“Iya, Beel, ada apa?”

Charon bergegas membuka pintu. Mata lime-nya membelalak melihat penampilan Beelzebub. Dia memakai suit, tetapi yang paling menonjol adalah telinga dan ekor kucing. Kostum di Devildom levelnya sudah berbeda, bahkan ekor Beelzebub terlihat bergerak secara natural. Charon kehilangan kata-kata.

Satu lagi yang perlu digarisbawahi, kancing atas kemeja Beelzebub terbuka. Kulitnya relatif terpampang, mengingatkan Charon pada karakter-karakter anime kesukaannya. Charon buru-buru melihat wajah Beelzebub sebelum pikiran kotornya semakin mencuat.

“Kenapa kancing atasnya terbuka?” tanya Charon tanpa sadar.

Beelzebub melirik bajunya sendiri. Dia pikir tidak ada masalah. “Bajunya kekecilan. Tidak bisa dikancingkan,” jawab Beelzebub polos.

“Oh.” Charon tidak bisa memikirkan jawaban lain. “Kenapa kamu berpenampilan seperti ini?”

“Tadi kamu terlihat ingin memegang kucing, tapi kamu kan alergi. Mau memegang telingaku?” Beelzebub menunduk untuk memposisikan kepalanya. Dia ingin memakai kostum kucing, tetapi tidak punya dan Akuzon sedang kehabisan stok. Dia harap ini cukup untuk menyenangkan Charon.

Tangan Charon terjulur menyentuh telinga kucing Beelzebub. Teksturnya lembut, bulu-bulu di sana terasa asli. Charon tersentuh melihat upaya Beelzebub untuknya. “Terima kasih, Beel.”

—end

author: leviaphile language: English fandom: Obey Me SWD pairing: Raphael x Kallisto (MC) warning: maybe OOC, short, wrong grammar, etc


If Raphael had never come to Devildom, he wouldn't have met Kallisto. If he had never met her, he wouldn't have cried.


Kallisto thought Raphael dislike demons, especially demon brothers. Rumor also said this angel is a hit man and scarier than the demons. But, who predicted Kallisto would fall for him? Who expected her feelings are mutual?

Meanwhile, Raphael just knew humans can be scarier than any demon. He found himself crying on her lap after telling her about the war. Also, he talked much about Lilith, about his guilt and grief. He, an angel, never cries before. How could a human change him? When his eyes were dry, Raphael smiled in gratitude to her.

“Let's have some tea, Raph. I'd make a new recipe. It's chamomile demonic tea! And we can listen to classical music. I remembered you like this composer.”

She wanted him to feel better, and he was. Raphael pondered how could she cure his invisible wounds. Damn, it seemed like he has fallen too deep.

“Raphael.”

She called his name. Her angelic voice convinced him that he doesn't mind falling deeper. He wants to.


On this holiday, Kallisto went to the human world. She looked brighter than usual. Probably she missed the sunshine, human technology, and people there.

“I'm about to tell my family about you.” Kallisto kissed Raphael's cheek.

“Just tell them normal thingy,” Raphael grumbled. There are many abnormalities in him. A stoic angel with a cold aura, but his hobby is sewing, yet people said he is scarier than any demon. Also, he doesn't understand why people are surprised that he likes Solomon's cooking.

She let out a laugh. “No~ hahaha, look at your face now. Angel, don't cry.” Then, she teased him.


At RAD, the holiday is almost three months. Kallisto told Raphael she would be back after a month. Raphael decided to come home to Celestial Realm while waiting for her. A month is a short time for the angel. But, thinking about Kallisto, this holiday would feel longer.

Raphael knitted a scarf for Kallisto. Winter in the human world is nearer. It would be a good excuse to meet.

Raphael: How's human world? Kallisto: It's fun. Aren't you curious about what did I tell about you? Raphael: Huh? Not at all. Kallisto: Raphael~ no need to be shy~ Raphael: I'm not! But I'm relieved you're doing well. Take care of yourself. Eat properly and don't stay up too late. Raphael: Anyway, I was knitting a scarf for you. It's almost winter there, right? Kallisto: Thanks, Raph. I can't wait to wear it. Kallisto: Come here to the human world. I would like to introduce you to my family. Raphael: Okay. When? Kallisto: Not tomorrow. Hmm, let me think. Raphael: Next week?

Kallisto hasn't replied to him yet.

Raphael: Or the day after tomorrow?

Still, there was no answer. Perhaps Kallisto fell asleep. Raphael was staring at a white scarf with the blue pattern he made. These colors always remind him of Kallisto.

There was a new message. Raphael thought it was Kallisto.

Thirteen: Raphael, sorry. Thirteen: She loves you until her last breath.

WHAT? SORRY FOR WHAT?

She's not an ordinary human. She's studying at RAD. She made pacts with The Rulers of Hell. She's learning sorcery. He must be dreaming. She has survived many dangerous situations. It must be a prank.

Before he replied Thirteen, another new message came.

Lucifer: Are you with Kallisto right now? Raphael: I'm not. What's happening? Lucifer: Our pact is broken. Something cut our ties. Not only me, but with others too. Lucifer: As you know, it's very difficult to do that. Raphael: Do you mean .... Lucifer: She died, or she used forbidden high class magic. Raphael: Thirteen said sorry. Raphael: Is it re—

His DDD fell. He didn't want to believe. It felt like the sky was falling and scattering on him afterward.

As quick as he could, he came over to Thirteen's place. Her eyes looked like she was crying until a moment ago.

“Thirteen, was she—”

Thirteen nodded. “It's so sudden. Human is fragile, right? And destiny is cruel sometimes.”

She died instantly in a train accident. It happened so fast, she didn't have time to prevent anything.

His vision was blurry. Tears were overflowing before he realized. Thirteen handed him a tissue, although her eyes were wet. “She said not to cry over her. She doesn't want you to.”

He has tried to dry his eyes, but the tears keep flowing. Why did you ask an impossible thing, Kallisto? Is it really what you want? You said you would introduce me to your family, now I had to come to your funeral. You said you wanted to wear that scarf, should I put this on your grave?


Thousands of years later, Raphael still feels hollow in his heart. He visited her grave often. He still hopes she to come back. These worlds are cold without her.

If only ... Kallisto could have been reincarnated as human—like Lilith, he would have been grateful, even though she can't remember him, even though she won't choose him. If only ....

Kallisto walks towards him. She smiles so brightly. How happy she is now? He couldn't handle his emotions. He is crying.

“Raphael, I bought new tickets. This horror movie is viral. Hah? Why are you crying?”

Kallisto pats his shoulders. Raphael woke up. That was only a dream.

“Where am I?” He remembered he visited her grave in the human world. Why is he in a strange bedroom?

He observed the room and found something familiar. That scarf on the table is similiar to his handmade scarf for Kallisto. He put his scarf on her tombstone and knew it was slowly being damaged by time. Seeing a very similiar scarf is nostalgic.

Someone's entering the room. Raphael pinched his hand. It must be dreaming. It's only his delusion. Kallisto comes here ... in an angel outfit?

“Oh, you awake. I sensed the angel's energy and found you fainted in the human world. This is my house in the human world.” Her voice is still the same. Her warm aura isn't changed from his memory. This is her. He wish he could hope, once again.

” .... Kallisto?”

“You know my name? I haven't passed the final exam yet and don't have angel's identity card. Who are you?”

Kallisto is surprised he knows her name. Also, she didn't know why she took him home. She knows that kindness is an angel's natural virtue, but she had alternative solutions like calling her mentor or even a teacher. She just ... can't see him like that.

“I'm Raphael.”

Raphael smiled sincerely, for the first time since long ago. Lilith lost her memories when she reincarnated, probably it's the same case. She doesn't remember him, but she's back. Whether she will love him or just became his friend, at least she's alive. That's enough for him.

He starts to cry in happiness.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: implied Leviathan x Arciel (MC) setting: local college AU


Keadaan menempatkan Leviathan, Arciel, dan teman-teman harus menginap dalam satu ruangan. Bagaimanapun masa depan nanti, yang jelas pasti Arciel mengenangnya dengan senyuman.


Teman-teman dari Universitas Celestial datang ke Universitas RAD. Biasalah, berjejaring sembari menghimpun kekuatan. Musyawarah Nasional akan dilaksanakan di wilayah satu. UniCel dan UniRAD akan berkoalisi agar pengurus nasional tidak dipilih dari anggota mereka. Jadi pengurus nasional jelas merepotkan.

Arciel tidak terlalu mengerti apa yang mereka bicarakan karena masih baru berkecimpung di himpunan. Dia bisa menyimpulkan Lucifer dan Simeon—yang dianggap calon terkuat dari UniCel adalah teman lama. Mereka sama-sama menghindari pencalonan meski sekadar pelengkap bakal calon.

“Tapi kalau keadaan benar-benar mendesak, bagaimana kalau kita tumbalkan Michael tetapi kita sepakat tidak memilihnya?” usul Mephistopheles dari UniCel. Dia pernah satu tahun kuliah di UniRAD sebelum mengejar SBMPTN lagi.

Getaran di ponsel membuat Arciel lekas membuka pesan.

Kak Leviathan: Arci bingung ya? Mau kuantar pulang sekarang?

Arciel melirik ke arah Leviathan, kakak tingkatnya, yang tampak tidak tertarik dengan pembicaraan dan asyik bermain game.

Arciel: Tidak apa-apa, Kak. Kasihan Lilith kalau tidak ada yang menemani. Maaf ya peraturan kosku tidak boleh mengajak teman menginap.

Lilith adalah mahasiswi UniCel yang seangkatan dengan Arciel dan si kembar Beelzebub-Belphegor. Kata Satan, mereka bertiga masih kerabat. Pasca UAS kebanyakan fungsionaris pulang kampung. Fungsionaris perempuan yang masih bertahan hanya Arciel. Arciel tidak tega kalau cuma Lilith yang menginap di sekre walau dia bersaudara dengan si Kembar dan Lucifer.

Kak Leviathan: Mau cari jajan? Mumpung mereka masih sok sibuk hahaha.

Arciel: Itu konsumsinya masih banyak, Kak.

Arciel mengambil keripik kentang saat Leviathan menoleh ke arahnya. Dia gugup kalau harus pergi berdua dengan kakak tingkat yang diam-diam dia sukai. Kemudian, dia bergabung dalam obrolan teman-teman lain. Syukurlah sekarang topiknya lebih bisa Arciel pahami, tentang konflik-konflik daerah yang terabaikan sebab kebanyakan perusahaan media mainstream berjabat tangan dengan penguasa.

Suasana menjadi lebih santai dalam sudut pandang Arciel. Mereka lebih banyak makan camilan, berbagi keresahan, dan sesekali bernyanyi. Leviathan beberapa kali kebagian memetik gitar. Sosoknya seolah temaram, tidak terlalu terang tetapi dekat ... dan hangat. Arciel selalu terseret masuk ke dunia lain setiap bernyanyi bersama Leviathan.

“Dari Bumi lautku sayang, hapuskan segala bentuk penindasan dan perampasan ruang hidup Kami bersama memupuk harapan damai di masing-masing sukma ....” (Sombanusa – Hansinah)

Tidak bisa ditepis bahwa ada saja mahasiswa sok idealis, pemimpi muluk-muluk kebanyakan teori yang rajin berdialektika demi memberi makan ego. Akan tetapi, Arciel bersyukur di himpunan ini dia dijauhkan dari orang-orang demikian. Dia senang bertemu kawan yang tidak melupakan Munir, Wiji Thukul, Petrus Bima Anugrah, Udin, Marsinah, serta masih banyak nama-nama lain.

“Levi, sekarang ayo Internasionale. Dan internasionaaalee, pasti di duniaaa.” Mammon mengepalkan tangan di depan dada secara dramatis. Semangat pasti bertambah karena teringat Bung Hatta, yang pernah mengajak hadirin menyanyikan lagu ini bahkan menerjemahkan liriknya

“Sudah malam. Nanti sekre sebelah terganggu. Lilith dan yang lain perlu beristirahat,” larang Lucifer. Perjalanan dari UniCel ke UniRAD saja memakan waktu sehari semalam. Pasti mereka lelah.

“Arci, ayo kita tidur,” ajak Lilith.

“Oke.”

Barangkali efek lelah, mereka semua bisa cepat tertidur. Meski hanya beralas karpet dan beberapa orang beruntung kebagian bantal buluk yang baunya tidak jelas. Sebagian lagi berbantal tas atau sekalian tidak memakai bantal.

Arciel berbaring miring menghadap ke tembok. Dia sudah pernah menginap di sekre, tapi ini pertama kalinya Leviathan ikut menginap. Tidur di bawah atap yang sama dengan Leviathan membuat kupu-kupu berdemo di rongga perutnya. Rasanya aneh, mendebarkan, tetapi nyaman.

Dia tidak bisa tidur mendengar Leviathan masih memencet keyboard laptop. Apa Kak Levi nugas? Atau dia main lagi? batin Arci.

“Arci tidak bisa tidur?” tanya Leviathan khawatir melihat Arciel duduk.

“Belum mengantuk, Kak. Kak Levi sendiri bagaimana?” Arciel balik bertanya. Dia tidak berani dekat-dekat.

“Aku masih nugas. Tadi keasyikan nge-game. Hehe.” Leviathan sekarang memakai kacamata anti radiasinya. Dia serius mengerjakan tugas, tetapi sesekali masih menemani Arciel mengobrol.

“Arci tidur saja. Sudah pagi. Nanti kamu sakit,” saran Leviathan. Arciel balas menatapnya aneh seolah berkata 'Lah kakak sendiri begadang.'

“Uhm, kucoba. Kakak juga jangan tidur terlalu siang.” Arciel masih ingin menemani Leviathan, tetapi kantuk mulai datang.

“Iya. Pakai saja jaketku kalau mau.” Leviathan melempar jaket dari dalam tasnya. “A-aku baru mencucinya dua minggu lalu kok,” imbuhnya agak gugup.

Wajah malu-malu Leviathan membuat Arciel membatu. Dia tahu persis Leviathan tidak suka jaket ini dipinjam orang lain. Bulan lalu dia pernah bertengkar dengan Mammon karena Mammon meminjamnya tanpa izin. Dia juga pernah mengomeli teman seangkatan Arciel karena memindahkan jaket itu tanpa izin. Kalau Arciel tidak salah ingat, Leviathan mendapatkan jaket itu dari undian untuk pembelian official merchandise salah satu anime. Sekarang Leviathan meminjamkan kepadanya?

Walau gugup, Arciel tidak mau menyia-nyiakan momen. Toh jaket sudah dilempar ke pangkuannya.

“Makasih, Kak. Semangat ya nugasnya. Selamat malam, Kak Levi.” Arciel melipat asal dan menjadikannya bantal. Aroma khas Leviathan menyentuh penciumannya. Seperti berada di hutan tepi laut, wangi yang agak absurd tetapi menenangkan.

Arciel memejamkan mata, tetapi dia sempat melihat senyuman Leviathan yang lembut. “Selamat tidur, Arci.”

Arciel tidak yakin apa dia bisa tidur malam ini. Memikirkan bahwa mungkin dia akan melihat Leviathan pertama kali saat bangun, membuat jantungnya berdebar kencang lagi.

—end