leviaphile

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Beelzebub x Yuna (MC), slight Leviathan x Arciel (MC) warning: singkat, mungkin OOC, nulisnya dadakan jadi sepertinya gak rapi.


Cerita ulang tahun sederhana. Sepulang sekolah, bersama-sama.


Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Mereka mengerubungi meja Yuna. Tadi Yuna mengajak semuanya bermain sepulang sekolah untuk merayakan ulang tahunnya.

“Selamat ulang tahun, Yuna.”

“Terima kasih, teman-teman. Ayo kita bermain!” ajaknya.

“Ke mana?” Kendati suaranya agak serak, nada bicara Arciel seolah berbunga-bunga.

“Ice skating yuk.” Ajakan Yuna direspons positif oleh yang lain. Apalagi sekarang hampir memasuki musim dingin, mereka sudah tidak sabar dengan hal-hal terkait.

Leviathan maju, ingin berdiri lebih dekat dengan Arciel. Akan tetapi, Arciel buru-buru pindah ke sebelah siswa lain. Kemarin Leviathan lupa janji kencan mereka karena tiba-tiba diajak Diavolo dan Barbatos ke game center. Leviathan tidak sengaja meninggalkan ponsel di rumah. Alhasil, Arciel menunggunya berjam-jam di luar hingga terkena flu.

Leviathan tidak mengerti mengapa kemarin Arciel tetap menunggunya, tetapi menangis ketika dia sampai, dan mengabaikan pesan serta teleponnya sejak pulang. Lalu sekarang, marah? Leviathan yakin salah satu kutipan protagonis di anime musim lalu benar, perempuan memang sulit dimengerti.

Romansa adalah bencana di masa muda manusia kebanyakan. Tsk, mengapa para remaja cenderung mencurahkan energi mereka untuk hal-hal yang .... AAAAAAAA ARCIEL CANTIK. Mau peluuukk. Sesi chuunibyou Leviathan terusik ketika melihat Arciel tersenyum pada Yuna dan teman-teman yang lain. Dia tidak tahu perbincangan mereka sudah sampai mana.

“Aku dan Levi malas. Kami ikut tapi duduk-duduk saja,” ucap Belphegor.

“Hah? O-oke,” timpal Leviathan.

“Kalian harus melihat aksi The Great Mammon.” Mammon menepuk dadanya sambil menyombongkan diri.

“Yuna pasti keren,” puji Beelzebub. “Yang penting Yuna bisa bersenang-senang hari ini,” lanjutnya.

“Kita semua akan bersenang-senang, Beel,” tanggap Yuna. Dia berdiri dan mengambil tasnya. “Ayo!”

Leviathan memicingkan mata ketika tidak sengaja melihat sesuatu yang dipegang Beelzebub di belakang punggung. Brosur restoran sushi? Beelzebub memasukkan brosur tersebut diam-diam ke saku.

Tunggu, brosur itu sepertinya tidak asing. Leviathan mengingat-ingat.

Semalam saat dia tidak bisa tidur menunggu balasan pesan Arciel, dia sempat ke dapur untuk mengambil cola. Di sana dia bertemu Beelzebub yang sedang makan kue sambil membaca setumpuk brosur—entah dikumpulkan dari mana. Beelzebub begitu serius memilah brosur-brosur itu.

Ketika Leviathan bertanya apa yang Beelzebub lakukan, Beelzebub bilang dia sedang mencari yang paling spesial. “Semua lezat, tapi aku mau sesuatu yang benar-benar spesial. Date yang sempurna,” jawab Beelzebub.

Pikiran Beelzebub tidak jauh-jauh dari makanan, tetapi ketulusannya membuat hal itu tak pernah membosankan.

Sebentar, restoran sushi itu kan tutup sebentar lagi. Kalau kita ice skating dulu, bisa-bisa Beel tidak sempat mengajak Yuna makan, batin Leviathan panik.

“A-anu, Yuna, aku lapar. Bagaimana kalau nanti malam saja kita semua bertemu di tempat ice skating?” Leviathan mencoba memberi Beelzebub kesempatan. Beelzebub tampak kaget ketika Leviathan memberi isyarat mata ke arahnya.

“Yah, tapi aku mau main dulu, Levi. Nanti kupesankan devfood saja di lokasi,” tukas Yuna.

“Ide Yuna boleh juga. Ayo kita main dulu,” sahut Beelzebub. Dia tersenyum tipis kepada Leviathan. Dia menghargai usaha Leviathan untuknya, tetapi hari ini biar Yuna yang menentukan.

Leviathan sekarang tidak bisa berkata-kata. Beelzebub sudah mengalah. Yuna belum peka. Dan, Arciel berbalik sebentar untuk memberinya sebungkus roti berukuran sedang.

“Makasih, Ar—” Arciel berbalik lagi sebelum kalimat Leviathan selesai. “—ci,” lanjut Leviathan lirih.

“Sekarang tidak ada masalah lagi, kan? Waktunya berangkat!” Yuna menggandeng Beelzebub dan keluar kelas, diikuti oleh yang lain.


Yuna suka berseluncur. Sensasinya berbeda daripada berlari. Dengan ice skating, dia merasa seolah menari sambil bercerita. Dia ingin melepas stress ujian beberapa waktu terakhir.

Setelah memesankan teman-temannya donat, Yuna langsung asyik bermain. Terkadang dia mengajari teman-temannya. Terkadang saat berpapasan dengan Mammon, mereka meluncur bersama. Terkadang dia berhenti untuk bergabung dalam selfie Asmodeus. Leviathan dan Belphegor yang tadi malas-malasan saja sekarang ikut bermain ice skating.

Beel ke mana ya? Apa dia kembali untuk makan donat lagi? Yuna mencari-cari Beelzebub.

Dugaan Yuna tepat. Beelzebub kembali dari arah sana. Dia membawa satu donat. Pipinya cemong krim dan selai. Yuna menjadi gagal fokus.

Aku jadi ingin makan donat, kata Yuna dalam hati. Tapi sebelum itu aku ingin membersihkan sudut bibir Beelzebub. Apa kucium saja— “Aduh!”

Mungkin ini karma instan karena berpikiran kotor. Yuna tiba-tiba terpeleset dan jatuh. Pantatnya sakit. Melihat Yuna jatuh, Beelzebub lekas menghampiri dengan wajah khawatir. Namun, teman-teman yang lain lebih sigap dan dekat. Ketika Beelzebub sampai, Yuna sudah berdiri lagi.

“Apa yang sakit, Yuna?” tanya Beelzebub. Di mata Yuna, Beelzebub terlihat seperti anak beruang.

“Pantatku sakit, tapi tidak apa-apa, ayo kita main,” jawab Yuna.

“Mau donat?” Beelzebub mendekatkan donat ke dekat wajah Yuna. Dia beranggapan Yuna jatuh karena belum makan. Yuna menggigit donat tersebut.

“Makasih, Beel. Kamu habiskan saja donatnya. Aku belum terlalu lapar.”

Beelzebub menurut. Yuna memperhatikan Beelzebub yang sedang makan dengan penuh perhatian. Beelzebub tampak menggemaskan saat makan. Saat sudah selesai, Beelzebub mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Lalu mengusapkan lagi ke celana seragamnya.

“Aku tidak terlalu bisa bermain ice skating, apa Yuna mau mengajariku?” pinta Beelzebub.

“Tentu saja, Beel.” Yuna menarik tangan Beelzebub.

“Jaga keseimbanganmu ya. Jangan panik atau takut, nanti lebih gampang tergelincir,” pesan Yuna.

Meski mengaku tidak jago bermain ice skating, kemampuan fisik Beelzebub tidak perlu dipertanyakan. Selain kuat, ketahanan dan keseimbangannya relatif bagus. Yuna hanya perlu mengajarinya gerakan-gerakan supaya lebih menyenangkan.

Tidak butuh waktu lama hingga Beelzebub terbiasa dengan ritme permainan Yuna. Mereka menari berdua di atas es. Mereka mengelilingi arena, sesekali berhadapan dan berputar sambil bergandengan tangan. Atau menambah variasi dengan bergerak ke kiri kanan, lalu saling memunggungi. Sayangnya Yuna belum banyak menguasai gerakan, dia takut kalau coba-coba dan gagal malah merusak suasana. Terkadang pantatnya masih terasa sakit kalau dia terlalu bersemangat.

Beelzebub terpesona melihat Yuna. Dia mengikuti sebagian arahan Yuna hanya bermodal insting. Pikirannya sukar bekerja melihat senyum dan tawa Yuna.

Aku senang Yuna terlihat sangat bahagia hari ini, batin Beelzebub.

Sepandai-pandainya Beelzebub beradaptasi, pengalaman tetap menjadi faktor penting dalam segala hal. Dia tersandung kakinya sendiri hingga terjatuh. Yuna yang meluncur di sampingnya buru-buru menolong.

“Terima kasih, Yuna. Maaf, aku butuh banyak latihan,” ujar Beelzebub, merasa tidak enak pada Yuna.

“Tidak apa-apa kok. Beel hebat sekali,” puji Yuna sungguh-sungguh.

Beelzebub berdiri, tetapi sesuatu tidak sengaja jatuh dari saku celananya. Yuna membantu memungut kertas tersebut.

“Brosur restoran?” Yuna menggumam sendiri. Beelzebub panik menyadari brosurnya jatuh.

“I-itu tidak penting kok. Tolong kembalikan,” ucap Beelzebub gelagapan.

Reaksi Beelzebub membuat Yuna malah membuka brosur tersebut. Sebenarnya ini brosur restoran biasa, tetapi dia menemukan tulisan tangan Beelzebub.

Untuk ultah Yuna ☆☆☆☆☆ Belakangan ini Yuna sudah banyak makan daging, sepertinya ikan segar. Suasananya enak. Ocha di sini bisa membuat pikiranku rileks, semoga Yuna juga. Akhir-akhir ini dia kelihatan tertekan.

Masih ada beberapa kalimat lain yang ditulis kecil-kecil. Ada juga kalimat yang dicoret. Yuna speechless melihat bentuk perhatian Beelzebub. Kemudian dia melihat waktu operasional restoran tersebut. Sekitar satu jam lagi restorannya tutup.

“Beel, kenapa tidak bilang dari awal?” Suara Yuna bergetar karena terharu.

“Yuna kelihatan senang bermain di sini. Tidak ke sana juga tidak apa-apa kok, yang paling penting kan Yuna menikmati hari ulang tahun.”

Jawaban Beelzebub membuat Yuna nyaris meneteskan air mata. Dia menggenggam tangan Beelzebub. Kehangatan yang mengaliri tangannya membuat Yuna merasa terberkati. Dia sangat bersyukur memiliki Beelzebub.

“Sekarang sesi main bersama teman-teman sudah selesai. Aku mau melanjutkan merayakan ulang tahun berdua denganmu.” Yuna tersenyum menatap Beelzebub.

“Sungguh?” tanya Beelzebub.

Yuna mengangguk. Teman-teman yang lain sebagian besar masih asyik bermain. Akan tetapi, Yuna yakin mereka tidak keberatan ditinggal. Perutnya mendadak lapar setelah membaca uraian Beelzebub di brosur. Mungkin ini alasan Leviathan tadi mengode soal lapar. Jangan-jangan Beelzebub sudah mempersiapkannya tetapi batal mengusulkan.

“Iya, aku mau makan sushi.”

—end

author: leviaphile language: English fandom: Obey Me SWD pairing: Solomon x Aly (MC) warning: short, maybe OOC, typos/wrong grammar note: I quoted some of his dialogues


Do you believe that everyone has a guardian star? Stars silently befriend you from afar. Even though the sky is blue, they're always there. It's just the sun makes them seem to disappear.

We're always there. I'm always there. I'm Solomon's guardian star. Want to listen to my story?


The universe has so many stars. People know and named some stars, but there are unnamed stars ... like me. We aren't humans that can walk anywhere, shopping and eating somewhere. That was why each of us had a mission. We're intertwined by strange ties with a human.

When they were born, we got a supernatural message—it was like telepathy but I don't know who did that to us. “Your human was born.” All of sudden, we could see and hear them wherever they are.

My human is Solomon. I've watched him since the beginning. I've seen his innocent side. I've listened to his rebellion phase. I was there when he got lonely. I'm proud of him for his achievement, becoming The Greatest Sorcerer. He's the strongest human, is he?

His immortality makes him feel more distant. He just doesn't want to be attached to anything. He pays the immortality with losing everything.

He ever had friends, dreams, and love. He lost them. He is required to keep going through any pain.

He is different from normal humans, but he is still human. He is trying not to be alone anymore, but loneliness is another thing. He made pacts. Sadly, he didn't have anyone he could trust.

Do you know I always want to talk to him? This limit forbids me. I could count how many I was able to whisper to him with a human hand in his dreams. Only whisper, not conversation.

Well, let's stop talking about me. I'm certain you want to hear more about Solomon. Every birthday, he always talks to me—uh, not me, but to all stars in the sky. He cried over that person. He kept regret in his heart. He missed the true him he lost.

Since he experienced many things in a long time, his human brain couldn't save those all. He memorized some of them and forgot the others with the potion. Some of the memories can kill you slowly. Too many memories also burden your way.

Oh, Solomon My Human, when will your suffering ends?


This is the first time he spends birthday with a sincere smile. It's all because of the demons, the angels, and ... her. They all were having fun in a haunted house, then did a celebration at the party.

Now it's only Solomon and her. They're sitting on the swings. Solomon is holding a gift box. She is holding a bouquet of sunflowers.

“Aly, I've been living for a long time already so birthdays don't feel special anymore. But this year does feel special.” He gazed at her while confessing.

“Not only this year, Sol, but from this year.” Aly held his hand.

I know them. I knew she meant this. She wants to be immortal someday, so Solomon won't be alone. She doesn't want Solomon to feel grieve again. She continued her words, “I don’t care how hard it will be, I’m staying with you forever, alright? We'll try our hardest to make it works.”

Solomon thinks this is his best birthday. Love comes to him and together they'll fight for their dream. He ... is alive, really alive.

“After all, you are the very one that has changed my life. You make me the happiest I’ve ever been. We will be together forever, no matter what the future holds.” He promised.

As his guardian star, I feel blissful today. My human, whom I've been with for a long time has found happiness. For us, the guardian stars, their happiness is our happiness. Even if they won't know us, they will always be the most important.

Anyway, I haven't interacted with your guardian star. We separated far far far away because you were born very late than Solomon. I can't walk, you know? I don't have a DDD, I even don't have hands. But, I can assure you they love you.

And, to Aly ... you can't hear me, but I still want to thank you. I only can thank you. I'm very grateful because he has met you.

Thank you for loving him. Thank you for staying with him. Thank you for calling his name. Thank you for being his light. Thank you. Thank you so much.

“Solomon, I love you.”

“I love you too, Aly. You don't have any idea how much I love you.”

Happy birthday, Solomon, my human. Your birthday won't be lonely from now on. I'm glad. If I had had real eyes, I could've cried.

I wish you two happiness. Every second. Forever. From me, an unnamed star in an unidentified galaxy.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Belphegor x Kayy (MC) warning: pendek dan OOC


Sesibuk apapun, dia harus punya waktu ... karena hari ini terlalu indah untuk dilewati sendiri.


Kayy uring-uringan sejak beberapa hari terakhir. Teman-temannya mengajak dia menyelenggarakan pesta untuk merayakan hari ulang tahun, tetapi RAD sedang dalam masa ujian. Dia mengapresiasi teman-temannya, hanya saja stress ujian membuat Kayy merasa tidak punya waktu.

“Hoi, jangan merengut terus begitu. Nilaimu pasti tinggi.” Mammon menggoyangkan bahu Kayy yang sibuk membaca buku untuk ujian selanjutnya.

“Tidak. Diam, Mammon. Ujian barusan aku hampir tidak bisa menyelesaikannya tepat waktu. Kenapa kamu sesantai itu, Mammon?” balas Kayy sengit. Dia menoleh sebentar, Mammon kaget melihat kantong mata Kayy.

“Karena Mammon bodoh.” Belphegor menyahut dari bangku seberang.

“Kamu juga diam. Kerjaanmu tidur setelah sepuluh menit mengerjakan, tetapi nilaimu pasti seratus,” tukas Kayy.

Mammon menahan tawa. Leviathan melepas headphone ketika merasakan keirian Kayy. Dia bingung apa yang sedang terjadi tetapi enggan bertanya. Belphegor cuma menguap.

Sebelum Belphegor menjawab, Arciel, Luke, dan Raphael datang ke kelas. Setiap melihat Raphael, ketenangan Kayy seperti bertambah sepuluh persen. Mungkin karena dia malaikat, energinya terasa lain dibanding para demon. Atau karena peru—maksudnya, aura Raphael yang menenangkan seperti second lead di dalam manhwa.

“Kayy, tadi Ray titip ini. Rangkuman cara menghapal kode program.” Arciel menyerahkan buku catatan.

“Makasih, Arci.” Kayy menerimanya dengan hati yang mulai lega.

“Kenapa dia tidak datang sendiri?” sinis Leviathan.

“Tadi kami juga beli banyak permen dan manisan.” Luke bersemangat mengeluarkan sekantong jajanan. Kayy berterima kasih sambil mengusap rambut Luke.

“Kalau kamu masih kurang berselera, mau kumintakan masakan lezat Solo—”

“TIDAK!” Kompak, semuanya menyela Raphael. Mereka tidak ingin batal mengikuti ujian karena tewas.


Ujian hari ini akhirnya selesai. Suasana hati Kayy semakin membaik karena tadi cukup mampu menyelesaikan ujian. Sekurang-kurangnya, dia yakin bisa mendapat nilai 60 ke atas. Dia cukup menguasai pelajaran yang diujikan besok, jadi ketika Diavolo mengajak semua orang makan bersama di Ristorante Six untuk merayakan ulang tahun Kayy nanti malam ... dia tidak menolak.

“Ssstt, Kayy,” panggil Belphegor dari luar pintu kamar.

“Belphie!” Kayy sigap membuka pintu. Dia bahkan belum sempat berganti pakaian dari seragam RAD. Acara di Ristorante Six masih dua jam lagi, kenapa Belphegor sudah memanggil?

“Ayo ikut aku.” Belphegor ternyata masih mengenakan seragam juga.

“Oke.”

Belphegor mengajak Kayy ke planetarium. Di sana terdapat belasan bantal besar yang ditata sebagai alas. Belphegor merebahkan diri di atas bantal-bantal, menepuk bantal di sampingnya sebagai isyarat mengajak Kayy bergabung. Mereka berdua menatap ke langit-langit.

“Bersantailah dulu. Manusia masih menganggap ulang tahun spesial, kan?” Belphegor menggaruk pipi.

“Aku tidak terlalu menganggapnya spesial, tetapi aku senang merayakannya bersama kalian,” ujar Kayy seraya merentangkan kedua tangan ke atas. Ujian tadi membuat fisik dan mental pegal.

“Ah, Belphie, aku masih menyimpan beberapa permen dari Luke tadi. Mau?”

Kayy merogoh saku seragam. Ia berhasil menemukan beberapa butir permen. Belphegor membuka mulut sebagai jawaban. Dengan gemas, Kayy menyuapi Belphegor.

Ketika Kayy berniat menarik kembali tangannya, Belphegor lebih dulu menahan agar tetap berada di sana. “Kayy, aku merasa kamu lahir ke dunia untuk bertemu denganku ...,” Belphegor berhenti sejenak untuk mencium punggung tangan Kayy, “ ... dan aku tidak akan berubah pikiran.”

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Leviathan x Arciel (MC) warning: ketimbang smut, mungkin lebih ke pwp? hampir gaada plot hiks note: karena malu, aku berusaha agak implisit dan vanilla di sini 🥺 ada beberapa time skip


Dan ketika kita sepenuhnya menyatu, aku mengerti mengapa orang-orang menyebut ini bercinta.


Hubungan Leviathan dan Arciel tidak melulu menggemaskan seperti komik remaja. Pada banyak kondisi, mereka memang tidak ingin ketahuan berpegangan tangan oleh orang lain ... tetapi ada saat-saat di mana jemari yang bertautan terasa kurang. Mereka bisa berciuman seperti orang-orang kehausan, lalu kembali gugup ketika bertemu pandang esok hari.

Akan tetapi, tampaknya kali ini ... mereka terlalu haus akan satu sama lain? Arciel membuka matanya dan mendorong wajah Leviathan untuk melepas ciuman mereka. Leviathan yang kaget lantas menatap Arciel penuh tanya.

“Levi, sesak. Napasku hampir habis. Dan, tadi, tadi ....” Arciel membuang muka ke kanan, “Lidahmu tiba-tiba jadi lebih panjang. Curang,” protesnya dengan volume pelan.

Leviathan menutup mata dengan tangan, sebelum melepaskannya lagi. Tadi dia kan tidak memakai sarung tangan. Leviathan langsung menyadari entah sejak kapan dia berubah ke wujud demon.

Sebentar, ada lagi yang aneh. Aku merasakan sesuatu yang hangat di ... di .... Leviathan takut-takut menoleh ke bawah. “Gyaaa! Arci, ma-maaf. Aku tidak sengaja. Ekorku—”

Wajahnya bertambah merah saat melepaskan ekor yang melilit kaki dan pinggang Arciel. Seakan baru sadar, Arciel juga menoleh ke bawah. Dia menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang semakin panas.

“Ti-tidak apa-apa. Uhm, ekormu agak dingin ya?”

Arciel, kenapa kamu malah membahas ini lagi? Ayo pikirkan topik lain! batin Arciel meraung malu.

“Begitulah. Tandukku juga sama. M-mau pegang?”

LEVIATHAN, KENAPA KAMU MALAH MENAWARKAN YANG SEPERTI ITU? AJAK MAIN GAME ATAU NONTON ANIME KAN BISA. Ganti Leviathan yang berteriak di dalam hati.

Di luar dugaan, Arciel malah mengulurkan kedua tangannya. Dia mengusap kedua tanduk Leviathan penasaran. Dingin, sedikit lembab dan licin, tetapi saat diusap lebih kuat akan terasa sebuah tekstur. Leviathan tidak bisa tidak memandang wajah Arciel karena jarak mereka terlalu dekat. Jantung demon ketiga dari tujuh bersaudara ini ingin melompat keluar.

“U-uhm, Arci, boleh kucium lagi?”


Lagi-lagi mereka terbawa suasana. Ketika tersadar, rambut dan pakaian mereka sudah berantakan. Sebelah tangan Leviathan menyelip di sela-sela sayap Arciel, dan satunya bertengger di paha. Sedangkan tangan kanan Arciel merangkul tengkuk Leviathan dan tangan kirinya menyusup ke balik baju.

Mereka berdua saling menatap ketika ciuman berakhir. Leviathan mengusap sisa saliva di sudut bibir Arciel. Mereka sama-sama tahu bahwa ini belum selesai. Lebih tepatnya, mereka belum ingin mengakhiri. Selayaknya bara yang belum padam di mata mereka, desiran hasrat meminta untuk dituntaskan.

“Leviathan ...,” panggil Arciel.

“Jangan memanggilku dengan wajah begitu. Bagaimana kalau aku tidak bisa berhenti?”

“Aku tidak ingin kamu berhenti.”

Satu persatu urat yang menahan kewarasan Leviathan putus. Dia mengepalkan tangan hingga kukunya menancap, sedangkan sarung tangan hitam sudah terlempar entah ke mana. Dia berusaha menjaga sisa kewarasan.

“Kamu yakin? Aku demon. Ini agak berbeda dengan manusia, itu pun kalau kamu pernah.”

Arciel cemberut melihat Leviathan seperti meremehkannya. “Aku pernah baca buku. Aku juga pernah dapat nilai bagus saat ikut kajian biologi. Dan aku bukan 100 persen manusia,” jawabnya dalam sekali bernapas.

Mengapa orang-orang kerap mengacu pada pengalaman? Arciel merasa pengetahuan lebih penting dalam beberapa hal. Tidak semua orang yang pernah melakukan hubungan seksual bisa mengenal tubuhnya sendiri.

Leviathan semakin takut memberikan Arciel pengalaman pertama yang buruk. Dia lebih takut pada diri sendiri yang semakin terpicu untuk merealisasikan khayalan-khayalannya. Pun mempraktikkan hal-hal yang ia pelajari di anime dan manga. Leviathan menatap Arciel sekali lagi, yang direspons dengan anggukan.

“Ka-kalau tahu akan melakukannya hari ini, aku pasti mandi dulu dan memakai boxer yang keren,” keluh Leviathan, menggumam sendiri. Dia sedang memakai boxer merah jambu bermotif ikan mas.

Arciel tertawa kecil sebelum merentangkan tangannya, pertanda minta dipeluk. “Levi selalu keren kok.”

Perkataan Arciel bukan penghiburan semata. Leviathan memang tetap terlihat keren apapun pakaiannya. Coba lihat otot-otot badannya mulai dari lengan hingga kaki. Arciel sampai tidak berkedip.

Pelukan yang ia tunggu telah datang. Hangat. Jantung mereka berdetak kencang. Leviathan meninggalkan beberapa ruam gigitan di leher dan bahu Arciel yang terbuka. Arciel mengecup sisi wajah Leviathan yang terjangkau dengan penuh kasih.

Rasa gugup Leviathan telah berkurang, tetapi dia tidak ingin terburu-buru. Bagaimana jika Arciel tiba-tiba takut dan meninggalkanya? Bagaimana jika dia pingsan karena tidak kuat melihat keindahan Arciel? Ada banyak sekali kemungkinan buruk yang harus diminimalkan.

Lebih baik seperti sekarang. Menghayati bagian demi bagian. Membuka perlahan. Memberikan jejak banyak-banyak. Leviathan tersenyum merasakan kecanggungan Arciel ikut berkurang. Bahkan, dia berani menggigit ekor Leviathan sebagai balasan atas remasan yang terlalu kencang di dadanya—Leviathan tidak sengaja melakukannya karena gemas.

Tangan Arciel merayap ke bawah, tetapi Leviathan dengan lembut menariknya. Demon itu mencium pergelangan tangan Arciel, tepat di bekas luka lama. Arciel selalu membatu setiap Leviathan melakukan ini. Matanya memanas. Leviathan mengusap air mata yang belum jatuh. Kecupan ringan hinggap di kelopak mata kekasihnya.

Arciel merengkuh tengkuk Leviathan. Ujung jemarinya menyisiri sisik-sisik di sana. Lantas, dia mendekap punggung Leviathan dalam lingkar sayapnya. Kemudian, ia menurunkan badan dan menempelkan telinga di dada Leviathan. Suara detak jantung itu membuatnya nyaman.

Mereka berdua meneruskan penjelajahan. Menggunakan privilege yang hanya diberikan untuk sama lain. Saling memanggil dalam nuansa berbeda.

“Levi ..., Leviathan ....” Sesuatu datang. Leviathan menarik kembali lidah dan jari-jarinya dari pusat. Arciel meremas kedua tanduknya. Puncak pertamanya terasa seolah terbang. Pandangan Arciel masih memburam, tetapi dia juga ingin mengantar Leviathan.

“Ba-bagaimana rasanya?” Pertanyaan Leviathan membuat Arciel bersemu merah. Leviathan kembali ke sisi Arciel sembari membelai pipinya.

“Mm ... aku tidak bisa menjelaskan, tapi ....” Arciel menatap saksama boxer Leviathan yang menggembung, “a-aku ingin Levi merasakannya langsung.”

Leviathan tersedak ludah sendiri. Tampaknya dia tidak bisa mengelak lagi. Dia melepaskan boxer serta celana dalam. “A-aku sudah bilang kan kalau punyaku aneh. Kuharap aku tidak membuatmu jijik atau ta—”

“Lucu. Ada duaaa.” Arciel memegang keduanya dengan dua tangan. Bentuk dan tekstur ini belum pernah ia lihat di buku.

Leviathan memalingkan muka, tetapi berulang kali melirik Arciel. Dia senang Arciel tidak terganggu dengan organnya yang tidak biasa. Lalu, Arciel turun dari tempat tidur. Dia bertumpu di lutut, menghangatkan Leviathan dengan tangan dan mulut.

” .... Arciel.” Leviathan meremas rambut Arciel untuk menahan sensasi di bagian bawah badannya. Arciel mendongak saat dipanggil. Dia ingin menjawab, tetapi mulutnya penuh. Kedua tangannya sama, satu di batang kedua, satu di lubang belakang. Karena takut tidak bisa membuat Leviathan puas, dia mempraktikkan apa yang pernah dia baca. Sayang jarinya kecil.

“Tidak kok. Santai saja, menurutku kamu cepat belajar ....” Leviathan mengelus kepala Arciel. “ ... dan cepat bersikap nakal.” dia mencambuk punggung Arciel dengan ekornya satu kali. Reaksi Arciel membuat Leviathan semakin tegang.

Jangan sekarang. Jangan sekarang. Leviathan menggelengkan kepala ketika mendapati kecenderungan Arciel yang satu itu. Meski sisi Grand Admiralnya ingin berperan, Leviathan takut kelewatan. Dia tidak mau Arciel membencinya.

Ketika Leviathan merasa sudah di ujung, dia melilit Arciel dengan ekor dan membawanya naik. Dia belum ingin Arciel menelan cairannya. Arciel memanyunkan bibir, padahal dia sudah menyiapkan mental.

“Jangan dulu. Bagaimana kalau rasanya aneh dan kamu jadi muntah?” larang Leviathan.

“Tapi tadi kamu tidak muntah, kan?” Arciel bersikeras.

“Kan beda. Aku kan demon otaku jelek dan tidak berguna.”

Arciel meraih milik Levi sebentar. Sisa cairan Levi menempel di jari-jarinya. Dia menjilatnya di depan wajah Leviathan. “Lihat, kan, aku tidak apa-apa. Err ... ini unik, tetapi aku tidak menganggapnya buruk.”

“Arci ... kenapa kamu selalu menguji imanku dengan wajah tanpa dosa itu?” desah Leviathan.

“Demon punya iman?”

Kehabisan kata, Leviathan mendorong jatuh Arciel ke bak tidur. Dia berusaha tidak sepenuhnya menjatuhkan diri menindih tubuh mungil itu.

“Grrr.” Leviathan menggeram tepat di samping telinga Arciel yang kini memanjang.

“T-tunggu, Levi. Aku bingung bagaimana cara kerja punyamu.”

“U-uhm.” Tidak ada satu pun skenario normal di kepala Leviathan. “Mau masuk depan belakang atau jadi satu atau depan semua tapi di luar dan dalam?”

Arciel menutup wajahnya dengan tangan. Leviathan murni bertanya, tidak ada maksud menggoda. Akan tetapi, Arciel malah membayangkan semuanya. Wajahnya sudah menyaingi tomat yang dimakan Beelzebub tadi siang. Leviathan memegang kedua tangan Arciel dengan satu tangan. Dia ingin memandangi wajahnya.

“Eh? Bisa digabung? Boleh.”

“Lihat ini, Arci.” Leviathan memamerkan proses penggabungan. Arciel tidak bisa berkata-kata. Intinya, indah.

Percumbuan kembali terjadi untuk mempersiapkan agenda utama. Kedua tangan Arciel dilepaskan. Mereka berdua sibuk saling menjamah.

Leviathan melirik Arciel yang berupaya menyembunyikan rasa takut saat dia bersiap memasukinya. Dinding vagina dapat melebar hingga puluhan kali lipat. Apakah akan muat tidak perlu diragukan. Akan tetapi, tetap saja besar dan panjang.

Pasti penuh, batin Arciel. Gagasan itu membuatnya gugup, sekaligus ... senang? Leviathan akan memenuhinya.

“Arci siap?” Leviathan menanyakan lagi. Arciel mengangguk.

Walau Leviathan bergerak pelan-pelan, rasanya sangat sakit. Tangan Arciel menggenggam erat tangan Leviathan. Dia menggigiti ekor Leviathan untuk meredam sebagian teriakan. Leviathan mencium leher dan dada sebagai distraksi. Dia tidak tega melihat Arciel menangis, tetapi mundur sekarang hanya menyisakan sakit. Arciel pun tidak ingin dia berhenti.

Tangisan Arciel berhenti mengalir ketika dia mulai terbiasa. Sensasi baru berdatangan. Gerakan pinggul Arciel mendorong Leviathan untuk bergerak. Perlahan, lalu bertambah cepat, sesekali tidak beraturan.

Leviathan senang melihat Arciel sudah tidak sesakit tadi. Arciel hangat. Arciel sempit. Tempat yang hanya miliknya. Bukan, lebih tepat jika Arciel hanya miliknya. Alasan terbesar Leviathan memilih posisi ini sebagai pengalaman pertama adalah .... “Arci, kamu cantik. Aku ingin terus melihatmu.”

Demi entitas yang Maha Kuasa, ini adalah pemandangan terindah yang pernah Leviathan lihat. Leviathan akan menanamnya di pikiran, tak ingin terlewat barang satu detik.

Segalanya sempurna untuk Leviathan. Arciel tanpa seutas pun tabir adalah makhluk terindah di dunia. Tanda kepemilikan di setiap jengkal kulitnya. Ekspresi yang menginginkannya. Suara yang terus mendesahkan namanya. Kesempurnaan ini untuk Leviathan, karena Leviathan, milik Leviathan.

Di sisi lain, pikiran Arciel hampir terasa kosong. Dia sadar, tetapi kesulitan mengungkapkan apapun dengan benar. Leviathan memonopoli seluruh atensi. Cara Leviathan memandangnya membuat Arciel merasa amat berharga.

Ketika mereka menyatu, mereka mengerti mengapa aktivitas ini disebut bercinta .... Sesederhana karena mereka adalah dua makhluk yang sedang jatuh cinta. Setiap sentuhan, tatapan, gerakan, dan ucapan mewakili beragam bahasa yang tak terkatakan. Ini bukan sekadar pertukaran panas tubuh atau pemenuhan hormon-hormon. Mereka mencintai cinta dengan saling mencintai.

Semua berlangsung natural dan terasa benar. Malam ini masih panjang.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Solomon x Vesper (MC), slight Lucifer x Vesper (?) warning: singkat, mungkin OOC


Di manapun selalu ada tokoh utama dan tokoh sampingan. Hubungan antara mereka telah ditentukan hingga akhir.


Jika cerita pertukaran pelajar ini difilmkan, Solomon yakin Vesper akan menjadi tokoh utama. Kemudian, tujuh demon bersaudara juga menjadi tokoh penting lainnya. Atau, jika perlu dispesifikkan, Lucifer adalah yang paling menonjol di antara mereka. Tokoh utama sementara tinggal di rumah tujuh bersaudara, menjadi dekat dan membantu persoalan mereka.

Hanya saja ... di sini Solomon hanyalah tokoh sampingan; teman sesama manusia dari si Tokoh Utama. Mereka memang akrab karena berbagi nasib, tetapi ada batas tak kasat mata antara tokoh utama dan tokoh sampingan.

“Vesper, ayo kita berdansa,” ajak Lucifer. Mereka semua tengah berada di pesta Lord Diavolo.

Solomon bisa mempertahankan ekspresi tenangnya, tetapi dia gelisah. Normal kalau sesama tokoh utama berdansa, meski begitu diam-diam dia tidak rela. Vesper belum menjawab Lucifer dan malah meliriknya, untuk apa?

Vesper, jika aku memberanikan diri untuk mengajakmu berdansa, akankah ada hal yang berubah?


Jika cerita pertukaran pelajar ini difilmkan, Vesper yakin Solomon akan menjadi tokoh utama. Manusia terkuat yang mampu mengguncang Devildom. Senyumnya meneduhkan sekaligus menyimpan ribuan misteri. Apa yang selama ini dia alami? Apa yang sejatinya ingin dia raih?

Sayangnya ... di sini Vesper hanyalah tokoh sampingan; teman sesama pelajar si Tokoh Utama. Selain karena sesama manusia, Solomon adalah orang yang paling Vesper percaya.

“Vesper, ayo kita berdansa,” ajak Lucifer. Mereka semua tengah berada di pesta Lord Diavolo.

Walau Vesper sudah bisa menduga, ia sedikit terkejut ketika sungguh terjadi. Tujuh demon bersaudara memang atraktif, tetapi penyihir manusia inilah yang dia suka. Dia melirik Solomon yang tampak santai-santai saja.

Solomon, jika aku memilih untuk bersamamu di sini, akankah ada hal yang berbeda?

—end

author: leviaphile language: English fandom: Obey Me SWD pairing: Leviathan x Arciel (MC), perhaps? setting: AU, Demon Brothers aren't brothers here. SatArci is siblings. note: inspired by a nightmare, anime, daily chat, and otaku FM. short fiction, idk which genre is most suitable for this story. warning: short fiction, maybe OOC


But if Princess Asmo and Prince Simeon live happily ever after, the Heroes may have met their demise. (Otaku FM)


Arciel met Leviathan when he came to recruit her brother, Satan, a warrior. He wasn't alone, a mage named Belphegor was also there. Satan gives them a favor to let her join. He can't leave his sister since they only have each other. And although not as strong as Satan, she's able to fight.

Leviathan had a strong will to save Princess Asmodeus. Arciel has heard, Asmodeus is the most beautiful human in this country. She thought Leviathan loves Asmodeus. If not, why did he come from overseas just to save him? Even, Leviathan always smiles when mentioning his name.

At first, she didn't mind at all. She like her two new friends. But, loving Leviathan romantically was an unplanned disaster. Arciel had already through the denial phase, now she had accepted her feelings but also given up. She didn't want this feeling to ruin their friendship.

“I've analyzed Demon Lord Beelzebub. It would be tough, but I'm making sure our plan will be worked!” Leviathan spoke solemnly. “Beelzebub has two demon subordinates, just call them The Annoying Lucifer and The Idiot Mammon.”

There has been not much information about Lucifer and Mammon yet. Leviathan only knew they could fly. Lucifer tends to be sadistic but calm, then Mammon is noisier and moves a lot.

Leviathan intended to split the team into two; Satan and Belphegor, him and Arciel. Belphegor could support Satan when facing Lucifer. Leviathan and Arciel had similar styles in fighting, they could distract Mammon with a combination of magic and swords.

“I'll do my best, Levi.” Arciel tightened her grip on the sword.

Leviathan glanced and smiled at her. “I'm counting on you, Arci. This is the final chapter of our journey.”

His voice reached Arciel's ears, brought some strange sensation. Arciel felt like butterflies were flying in her stomach, but aside from their wings were sharp. Farewell is near.


Finally, they arrived at the tower where Asmodeus was locked up. The tower was only about three floors high but surrounded by black magic. Asmodeus stared hopefully from the opened window. The Demon Lord Beelzebub was eating raw meat next to him. And, today, Arciel confirmed that Asmodeus is the most beautiful human being.

“Are you all the Love Love Love Princess Asmo team?” Asmodeus shouted dramatically. He blinked his lovely eyes. “Please save me!”

“What the fuck with that name?” Belphegor grumbled in low volume, only his friends could hear.

“Love lo—what?” Satan muttered.

“Saving the princess is our priority.” Leviathan changed the topic directly.

“I think we must split our team. We need large space to fight.” Arciel suggested.

“Yes. This tense ... I can sense someone is coming.”

Belphegor sounded cautious. All of sudden, they were startled by the fireballs. Lucifer had summoned Cerberus, a big three-headed dog. One of Cerberus's heads shooted fireballs. They managed to dodge to the side. Immediately Lucifer flew to the right, where Satan and Belphegor were.

“I hate you at the first sight.” Satan pointed his middle finger at Lucifer before retrieving his dual axes. There are silver axes and gold axes.

“Me too, but I'll kill your puppy first.” Belphegor raised his wand.

Other Cerberus's head spouted a poison mist. Belphegor launched some sort of anti-magic, instantly the mist disappeared. Cerberus roared, his voice was deafening.

“I'm sleepy, don't beg me to play with you.” Belphegor yawned.

Leviathan and Arciel were running towards Beelzebub and Asmodeus. until golden arrows flew towards them. High upon them, Mammon was flying there. Arciel withstood the arrow with a wind shield.

“Go, Leviathan!”

Arciel moved beyond the plan. She ran to herd Mammon away. This time, the only option for Leviathan was trusting Arciel.

Leviathan nodded. He held an orange gem in his necklace before dashing forward. He threw a magical bomb at the black magic shield. The explosion shattered the lining on one side. Beelzebub flew down as Leviathan entered the area.

“Pathetic, leaving a girl that protects you like that.”

“Don't underestimate her.” Leviathan took out his sword.

When turned their head, they could see Mammon's wing was burned. That makes Mammon's balance falter. Arciel used the ground to jump up. Her sword was shining.

“See?” Proudly, Leviathan smirked. “Stop focusing on them, your enemy is me.”


Arciel stood while holding on to her sword. She was exhausted. She purposely played around then ended it with high-level water magic and thunder slash. Mammon is stronger than her, but stupid.

This was sloppy. If Mammon had been smarter before, she would be dead by now. What made this more embarrassing was honestly she just didn't want to see Leviathan saves Asmodeus.

Don't be jealous. Remember, you must support Leviathan. Arciel pinched her cheeks.

When Arciel came, Belphegor gave Leviathan the strongest buff. “Legendary slash!”

It would be the final attack. Like its name, this slash even seemed to cut the sky. A slash that could cut anything. Beelzebub fell, he has been cut into two pieces.

It ends here. They won. The remaining black magic around this tower completely disappeared. Leviathan opened the door to take Asmodeus out of there. Arciel forced a smile seeing Leviathan offer his hand to Asmodeus.

Yes, this is the last chapter. End of our journey. A farewell to my love. Arciel turned around.

“Brother, when will we go home?” Arciel hugged Satan's right arm, was trying not to sound bitter. Satan patted her head.

“Soon.”

“Hey, where are you going?” Leviathan grabbed her shoulder from behind.

Arciel didn't answer Leviathan because surprised to see Asmodeus talking to someone through Belphegor's crystal. It looks like ... a prince? She couldn't see it clearly, but Asmodeus was happy when talking to them.

Huh? Don't tell me Leviathan is heartbroken. But, he doesn't look like that.

“You didn't take the Princess to his castle? Don't you love him?”

Leviathan froze for a moment. He didn't understand why Arciel could conclude that. However, if Leviathan was correct... Now all was clear. The reason Arciel why she's seen distant on several occasions, even refusing to keep the same gem as in his necklace.

“Young knight, why do you think if I want to help someone, that's because I want to be with them? I did this because I'm the Hero. Prince Simeon is on his way here.”

“Will they dating?”

Leviathan laughed. Her innocence amused him. “Maybe. Love isn't that easy, you know?”

“I always thought you love him.”

“Never. I love ... Uhm, hey, Arciel. I'm the Hero, and you're the Knight. You have to be by my side. Okay?”

What his word implied was still ambiguous for Arciel, but his face heavily heated up. Arciel also blushed when gazing at him.

Arciel wanted to ask something. She fears being overconfident. What if she's wrong?

Let me stay with you, Leviathan. “Levi, do you—”

“You dare to tease my sister in front of ME?” Satan growled. He brushed Leviathan's hand off his sister's shoulder. Then, Satan stood between them.

Meanwhile, Asmodeus whistled. “Oh, how to be lovebirds ....”

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Simeon x Amber (MC) setting: Amber adalah demon, sedangkan Simeon merupakan malaikat yang mengikuti program pertukaran pelajar ke RAD warning: singkat, mungkin OOC


“Mereka, malaikat, tidak lebih dari penjilat-penjilat munafik yang merasa lebih agung karena tinggal di tempat yang tinggi.” Sebagai demon normal, Amber membenci malaikat. Akan tetapi, suatu hari program konyol di sekolahnya membuat malaikat mendekat.


Kelas hari ini, Ramuan Sihir. Amber pusing mengingat harus sekelas dengan Simeon, siswa pertukaran pelajar dari Celestial Realm alias malaikat. Ada juga bocah malaikat bernama Luke, yang meski kerap mengoceh sembarangan tentang demon tapi masih menggemaskan. Namun, Simeon adalah pusat sakit kepala Amber. Pertama, dia bukan bocah ... dan kedua, Simeon mirip malaikat dalam cerita keluarganya.

Selayaknya demon normal, keluarga Amber sentimen terhadap malaikat—bahkan sudah sampai taraf benci. Mereka menganggap malaikat munafik, sok suci, sok baik, robot tanpa hati, merasa lebih tinggi sehingga selalu menjadi pihak yang memberi pengampunan, serta serentetan opini jelek yang lain. Amber setuju mengenai beberapa hal.

Simeon meresahkan. Apa malaikat memang selembut itu? Apa dia juga sok baik? Apa dia memiliki perasaan dan kehendak sendiri atau cuma pion malaikat yang lebih tinggi? batin Amber penasaran.

Sejak saat itu, Amber selalu ingin menguji Simeon. Jiwa demonnya bergejolak melihat sasaran empuk tepat di depan mata. Amber ingin memastikan Simeon adalah malaikat yang seperti apa.


“Hei, ayo bolos. Jam pertama cuma sejarah Devildom.” Amber berkacak pinggang di depan meja Simeon. Malaikat memang makhluk yang membosankan, pasti sebentar lagi Simeon menolak.

“Boleh.”

APA?

“Saya akan izin ke guru. Selain itu, saya ingin lebih mengenalmu, Amber.” Sambil tersenyum, Simeon mengeluarkan DDD. Amber langsung menyitanya.

Mana ada orang izin membolos? Dan dari mana dia punya kepercayaan diri padahal hobi typo-nya di grup saja sulit disembuhkan? Amber tidak habis pikir, tetapi melanjutkan acara bolosnya. Simeon mengekor dengan tenang. Mereka berdua keluar kelas.

“Malaikat lain akan mengira otakmu gangguan kalau melihat situasi ini. Dengar ya, Simeon. Aku mungkin menerima keberadaanmu, tapi jangan pernah mencoba mendekatiku. Ketahui tempatmu!” Cara Amber melirik Simeon bahkan lebih sinis dari perkataannya, tetapi Simeon malah tersenyum.

“Saya tadi memasak roti dengan Luke. Kami hampir kesiangan jadi belum sempat memakannya. Kamu sudah sarapan?” tanya Simeon lembut. Mereka berdua sedang

“Bukan itu masalahnya. Malaikat tidak perlu sok baik. Dalam hatimu pasti mengataiku yang bukan-bukan,” cibir Amber lagi.

“Kamu bisa melanjutkannya setelah kita makan. Tapi yang jelas, saya tidak pernah berpikir buruk tentang kamu.” Simeon mengambil kotak bekal dari tasnya dan membagi satu roti menjadi dua. Dia memberikan salah satu bagian kepada Amber.

Amber ingin menolak, tetapi perutnya tiba-tiba lapar. Kali ini saja, Amber, tidak apa-apa.

Tidak peduli Simeon memang baik atau memiliki motif tersembunyi, menurut Amber Simeon tidak boleh mendekat. Simeon malaikat. Apa kata keluarga Amber jika melihat kejadian ini? Jika Simeon mendekat lagi, Amber harus lekas mengusirnya. Mereka tidak boleh dekat.

“Huh, malaikat memang makhluk yang menyebalkan,” gerutu Amber, melirik Simeon sambil memakan roti.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me -Shall We Date pairing: Diavolo x Nami (MC) warning: mungkin OOC, singkat tapi masih lebih panjang dari rencana awalku, karena singkat mungkin semi puitis dan cenderung naratif, sepertinya gabisa dibilang angst :( maafkan


Dia kesepian. Dia tidak pernah dicintai. Mereka tidak kesepian. Mereka saling mencintai.


Bagi Nami, Diavolo adalah matahari. Tanpa undangan ke RAD, entah bagaimana hidup Nami kini. Diavolo menghadirkan warna-warna baru dalam hidupnya. Berkat calon raja Devildom ini, Nami mulai memiliki hal indah untuk dikenang.

Diavolo berbeda. Ketika yang lain masih dibayang-bayangi Lilith sang Adik Tercinta, Diavolo selalu memandangnya sebagai Nami. Berkat lelaki itu, Nami percaya bahwa cinta memang ada. Dan Nami ingin menghapus sepi yang menghitam di balik punggung lebarnya.

“Masa pertukaran pelajar akan selesai, tapi kamu tidak boleh pergi.” Diavolo mendekapnya erat ketika Nami datang ke Demon Lord Castle. “Aku bisa memperpanjang durasi program secara sepihak. Asalkan kamu jangan pergi.”

Ekspresi Diavolo seperti anak anjing yang terbuang, padahal sedang membicarakan nasib makhluk-makhluk lain di tiga dunia. Peserta program bukan hanya Nami, bahkan tidak cuma di RAD. Jika Nami pergi, Diavolo akan kembali pada sepi. Dia tidak ingin merasakannya lagi.

“Aku pun tidak ingin pergi. Aku cuma punya kamu.” Nami mempererat pelukan. Tidak akan ada orang yang bisa mencintainya seperti Diavolo. Sekarang Nami telah mendapatkan cinta, dia tidak ingin cinta direnggut darinya. “Oh iya, kapan ... kamu mengusir Maddi?”

Nami tidak suka orang lain mengganggu Diavolo, apalagi membuat kekasihnya tidak nyaman. Seperti pengakuan Diavolo, dia hanya membutuhkan Nami. Tidak boleh ada orang lain mengusik kebahagiaan mereka berdua.

“Besok pagi.” Meski tidak kelihatan, Nami paham Diavolo gembira. Dia sangat mengenal Diavolo, mulai dari impian besar hingga hal-hal kecil yang membuatnya kesal. Jika Diavolo adalah buku, Nami telah tamat membaca berulang kali hingga hafal setiap letak tanda baca.

Kedatangan ke Devildom membuat Nami menemukan tujuan. Planet tak bernama sekarang bergerak di orbit yang seharusnya. Nami tidak bisa dan tidak ingin berpaling.

Ibarat cahaya yang gelap, tetapi menghangatkan. Gravitasi yang kuat, tetapi menenangkan. Bagi Nami, Diavolo adalah matahari.

—end

author: leviaphile language: English fandom: Obey Me SWD pairing: Leviathan x Arciel (MC), featuring another MC (Eunbi) because I want to and debuting my OC (Noir) setting: AU. both of them are human. warning: probably OOC, typos, and ungrammatical


“My feelings are real, you are not. Only in my dreams, I can imagine “Someday, in this world”. And when I wake up, I feel cold.”


Eunbi has moved to this school last month, but it was the first time she see her. A petite girl with shiny white hair, contrasting with her lively rainbow eyes. She almost looks like endemic flowers in the winter.

“Who is she?”

“That is Arciel, from class 3-3. She's kind but quiet.” One of Eunbi's classmates answered.

“Don't you think she's ugly? Look, how pale and plain she is.” Another friend muttered.

“Ssshhh, I've heard she's wise and trustworthy. Strangely, her classmates don't know anything about her. Her presence is almost insignificant but also flashy like someone from another planet.”

“You're too dramatic. She is nice, err ... only that. They never forget her on purpose. People prefer funny and loud friends to boring ones. Just saying.”

Those two students keep talking about Arciel. Meanwhile, Eunbi lets out a sigh. She worries that Arciel might think she doesn't belong anywhere in this school. It's bothering her, a little.


“I'm home.”

Arciel entered her house and turned on the lamp. Her father was still out of town to advocate for people who are in an agrarian conflict. Arciel would come there too on the weekend, with her comrades in the name of solidarity.

“Time to do my homework, then sleep.” She spoke to herself. “I forgot Daily Tasks. Zero, I'm coming.” She opened an otome game first.

At certain times, she is lonely. She's close with her father, but she found it difficult, to be honest, and tell him anything unnecessary. She thought that would be selfish. She didn't deserve much of his time, because there are many people need him.

Arciel rarely meets her comrades, and they always do discussions or actions. Some of her comrades were mentally unstable. Noir, the closest one, fighting against his depression. She loves them but doesn't want them to worry.

Then, school? She tries to be close to them, but she still feels beyond the circle. Every time something bad happened, she started building an invisible wall. Because she has ever run to them, and nobody cares. Her trust issue is going high and higher.

Coward, but ... she just doesn't want more wounds. She also doesn't want to hurt anyone. The shitty situation isn't an excuse to be a shitty person. She's just implementing an ethic, first, do no harm.

“Done. I'm about to tell Levi.”

A slight smile rose on her face. Arciel had a little secret. She experienced three lucid dreams and always met the same dream character, kind of her imaginary friend that was created by her subconscious. She hoped for the fourth, fifth, sixth, and forever.

He's a weeb boy called Leviathan. He has a masculine body but is literally a cutie pie. Arciel likes his facial expressions when talking about his passion. Perhaps, he is her ideal type.

Arciel was lying on her bed. She closed her eyes, counted the sheep.

She quite hated the Wake-Initiate-Lucid-Dream method that had to be preceded by sleep paralysis. When Arciel managed to land in the dream world, she was immediately greeted by a very familiar figure. This time, Leviathan was wearing the Lord of Shadow costume, his kin in Tales of Seven Lords.

“Henry, you came! The clock tickling slowly, I feel empty without you around.”

Arciel changed her clothes instantly. This was a lucid dream. She had the power to do anything here, with him. Tonight was roleplay, huh?

“This void doesn't last forever, oh Lord of Shadow.”

They continued the roleplay, then tried other activities. Eating, reading manga, gardening, playing with Lotan (Leviathan summoned them). Time was relative. It seemed long, but only briefly in real terms. When their energy was getting low, they lied on the grass.

“Arci, how's life?” Leviathan tilted his head. His face turned red realizing they're so close. The same went to Arciel, she rolled away from him.

That was a simple question, but Arciel freeze at the moment. She had the will to tell, but ain't sure where to start.

“Well, it's flowing as usual. I'm so confused about how to say.” She answered honestly.

“Okay, I'll tell you mine. I won a giveaway. I got a limited edition Ruri-chan figurine. I also epically failed at the gacha game, Ultrawitch Rainbow-chan waits for me please wait for me! I'm gonna take you home next year. And ... and ... this was irritating, my second older brother sold my Dogi☆Maji video game. He is the worst. But he bought me a light novel. But he is still the worst.”

Arciel laughed. Leviathan never shared a specific story, but he always made her entertained. He talked about small things often, not crucial information. Leviathan was an imaginary friend that she created, and she knew no creature is perfect. At last, Leviathan was more than enough to her.

“You sound like you love him a lot. Anyway, Levi, please pray for my father to return home safely and people there would not be repressed by the oligarchs. I'm gonna go there with my friends in solidarity. School is running as usual. What else, uhm? Thanks to you, recently I play otome game. I like Zero, the Mystic Hacker. Uhm ... I just knew it's anime released two years ago.”

“Just confirming, do you like me more, my friend?”

Is he ... jealous of otoge character? How cute. Her heart beat faster because of surprise. Arciel touched his cheeks. “I do. Both of you are not real, but I can see and touch you here.”

“H-hey! Don't touch me all of sudden! B-but yeah, Arciel, you're the best!” Leviathan stood up.

They were ready for new agenda. There was enough time until morning. With him, dream is an adventure.


Eunbi had homework to review a book. She went to the school library. She saw Arciel was reading a book. There were three other books stacked beside her. Eunbi wanted to befriend Arciel, but there was no chance yet.

“Hello?” Eunbi approached Arciel after selecting the book she wanted to review.

“Hello.” Arciel greeted back.

“Could I sit next to you?”

“Of course.”

There was no more conversation because they were busy with their book. Arciel finished reading a book. She picked another book.

“You've read a nice book,” Eunbi commented before Arciel opened the book.

“I agreed. Human's brain is powerful.” Lucid dream and Leviathan lead her to learn more about the human brain. She has read useful facts. Some were new to her.

“We can feel because we have a brain and many hormones. I'm Eunbi from class 3-1.” Eunbi spoke further.

“Nice to know you, Eunbi. I'm Arciel from class 3-3. Now I'm interested in the subconscious and complexity of feelings.”

The discussion went well. Arciel still didn't say anything about Leviathan, only lucid dreams. The biggest reason Arciel researched from many books was ... she felt something weird. In the fourth lucid dream, Leviathan kissed the tip of her hair. She got butterflies were flying freely on her stomach. Leviathan smiled when their eyes met. She couldn't erase his stunning figure.

It's unfair, why is an imaginary friend breathtaking? Arciel pouted lips while calming her heart.

“I'm not certain about what I say, but maybe feelings have no bound. Emotions are valid. Love is universal. Still, the brain is amazing indeed.” Eunbi said that while replying to a message on her phone. Those words are spoken uncontrollably.

Arciel tightened her grip on the book. Leviathan's silhouette came to her mind. No, no, hormones, you suck! “Yeah. I gotta borrow this book and go home.”

“So soon? I hope we can interact more in the future, Arciel.”

Eunbi wants to befriend her. Arciel wants to be closer to her.

“Me too. See you, Eunbi.”

It would be embarrassing falling in love with the person that isn't real. Is it hidden self-love? Is she loving him? Is it love? If it is love, what kind of love?

Arciel couldn't ignore this feeling. She was seeking the answer. One thing is true; as long as it is Leviathan, she doesn't mind.


“Arci, I'm glad you are okay.” Noir visited her home. His black hair looks messy. There were thick eye bags on his face.

“Nooiiirr!” Arciel missed him very much. She couldn't reach out to him for weeks. She was worried about her childhood friend. “Are you alright?”

“I think so, but I can't stay long here. I have to attend a consolidation tonight.”

“I see. Sorry, I have homework. Please forward the information to me.”

“Definitely. I came just to praise you. I've read your writing on your new blog. It's very good. I could feel your emotions there.”

Noir smiled at her. He understood Arciel was too hard to herself for too long. She hasn't opened up to him and other friends yet, but she started publishing her writing. It makes Noir happy.

“Thank you, Noir.”

Arciel was heading back to her room while singing Zaramela's song. She couldn't wait to finish her homework and see Leviathan afterward.

There was no accurate interval between her lucid dreams. Her second lucid dream was a week after the first. The third was three weeks after the second. Then, she had the fourth a week later. A month after the fourth lucid dream, Arciel had the fifth. It's almost a month since the fifth lucid dream.

Tonight I'll meet Leviathan in my dream. Tonight I'll meet Leviathan in my dream. Tonight I'll meet Leviathan in my dream. She suggested herself while doing her homework.

It worked. Leviathan took her wandering the entire dream world. They had fun with some little miracles. In her lucid dream, Arciel had control over this world.

They were playing a video game when Leviathan suddenly put his joystick on. His sad face was like a stray kitten. He was staring intently at Arciel until she got flustered.

“What's up, Levi?”

“This is our last meeting, Arciel.”

“Last meeting? W-what do you say?”

“We can't hold it any longer, Arci. This is our limit. I can't see you again.”

Arciel suddenly knows. Dreams are dreams. Her subconscious couldn't make Leviathan stay forever.

.... Or his duty ends here. Everything was going to be better. She's still the same Arciel, but she has grown up. Arciel becomes more honest with herself. She has new friends. She started to value herself.

Perhaps her subconscious assumed Arciel is strong enough to continue her life alone. Leviathan is just a sweet restroom, Arciel had to go out and walk on her path.

Arciel had lost of words. She was hugging Leviathan. A long hug. Warm, but not eternal.

“Leviathan, if you're somehow real, please find the way.” .... Because I'll do the same. She cried on Leviathan's chest. Leviathan wiped her tears although he was also crying.

“Arciel, sorry. I—”

Suddenly Arciel woke up. She was being kicked from her dream. Arciel was trying to sleep, her eyes burst into tears instead ... thinking of a farewell without a goodbye word. Is it farewell? She can't accept this.

Leviathan is my imaginary friend. I will meet him again. I wish.


His word was true. She never dreams about Leviathan anymore. She had many lucid dreams but Leviathan wasn't there. Her dream world wasn't the same without him. But, she knows life goes on. She's still looking fine as she should. She's growing up and keeping him inside.

“My brother cooked pudding. He gave different flavors in each pudding. At first, I chose orange pudding because I love orange color, but it was great. I love orange. Ooh, I love apples more. You must try poison apple! They coat apple with candy.” She's staring at orange pudding and the poison apple she ordered. Arciel misses Leviathan.

She stopped by in front of the anime store. If Leviathan has been real, he could have shopped in this place. She could see Ruri-chan figurine and smile. Absolutely Leviathan is collecting it. She wanted to buy but she left her credit card at home.

“I want to be someone he is proud of. I want to be someone he can lean on.” Arciel remembered Eunbi's words about her boyfriend.

Leviathan, if you were real, would you be proud of me? Arciel shook her head. But you're not real. I think it's okay to crystalize you in the bottom of my heart. Levi, I won't say goodbye.

“Thank you, Leviathan.” She looked up at the sky and whispered.


This university is very large, but the world is more narrow than she thought. Arciel saw Eunbi with many seniors. Arciel and Eunbi will be studying at the same university, but they take different majors.

“Arciel!” Eunbi greeted her first. Those seniors also stared at her.

Arciel waved her right hand awkwardly in response. Then, she walked towards Eunbi. “Glad to see you again, Eunbi.”

“Me too, Arci. I'd like to introduce you to my boyfriend. He's the vice leader of the Student Council. His name is—”

“Lucifer, you a sly evil demon lord! Give me my TSL album back now!” Someone came and ruined the atmosphere.

She's familiar with him, but she doubts this is someone she knows.

“Levi ... athan?” She whispered slowly. He tilted his head. His face becomes red instantly.

Leviathan always wants to meet her and imagine a bunch of dramatic first meetings. Not this. He internally cursed Lucifer for making him look dumb in front of her.

Fate, or even destiny? Solomon got seven mysterious pills from a strange witch that call herself Maddi. She said that pills would show the future. Solomon took one and gave six pills to Leviathan. Solomon suspected Maddi gave him hallucinogens, but Leviathan was obsessed with similar anime.

He tried one and met her—and fell for her. He tried once again and still met her. After the third dream, he was searching for her on the internet. He was trembling knowing she's real, but he didn't brave enough to tell her. He wanted to be a better him, then come find her.

But, now, she's here. Real. Staring at him in disbelief. Now or never. You can do this, Leviathan. Leviathan was collecting all of his confidence to reach her.

Those weren't only dreams, my angel. “H-hello, Arciel. It has been a while.”

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Leviathan x Arciel (MC), Belphegor x Aki (MC), slight other pairings note: PANJANG (kusarankan baca pelan-pelan), probably OOC sebelum baca ini, harus baca part 1 dulu


Di tengah-tengah rapat Student Council, Aki, Arciel, Beelzebub, Belphegor, dan Leviathan membolos untuk pergi ke Amusement Park. Mereka mencoba wahana baru yang bernama Survival Room. Namun, Beelzebub tiba-tiba menghilang.


Masih menjadi misteri bagaimana Beelzebub bisa menghilang tepat di depan mata mereka. Little D tidak memberikan keterangan, sehingga mereka yakin ini bagian dari permainan. Sayangnya, mereka tidak mendapat petunjuk apapun.

Mereka tidak membawa tas, apalagi DDD. Mereka tidak diperbolehkan memakai kekuatan khusus supaya tantangannya lebih terasa. Petugas memberikan jam stopwatch satu jam dihitung mundur kepada masing-masing dari mereka. Mereka juga dibekali satu peta Survival Room. Lalu, Little D memberikan dua senjata untuk permulaan.

Ruangan tempat game berkabut, tetapi jarak pandang mereka masih luas. Di sini terdapat tanah, tanaman, tumpukan batu, kayu, serta bangunan kecil nyaris roboh dan didesain tua. Ada beberapa tembok penyekat, tetapi tidak sampai buntu. Lebar ruangannya sekitar lima meter, dinding samping ruangan bisa terlihat, tetapi memanjang. Batasnya belum kelihatan oleh jarak pandang mereka.

“Sekarang bagaimana?” Belphegor bertanya pada Leviathan, satu-satunya yang pernah membaca versi novel.

Leviathan menggeleng. “Di novel tidak ada penculikan. Kita hanya terus diserang dan mencari zombie untuk memberantas mereka. Wahana adaptasi ini ternyata berbeda.”

Tidak ada waktu untuk berpikir lebih lama. Seseorang berjalan ke arah mereka.

“Itu Mephistopheles!” Aki menunjuk wajah yang mereka kenal. Mephistopheles, tetapi berkulit pucat kehijauan dan matanya melotot. Sosok tersebut mengangkat kedua tangan ke atas, memamerkan cakar.

“Bukan, itu zombie.” Leviathan mengambil senapan laras panjang dan langsung menembak.

Setelah Mephistopheles tertembak, sihir ilusi (atau apapun konsep dari pengembang game) padanya hilang. Wujud asli zombie adalah silinder abu-abu berdiameter dan tinggi kurang lebih setengah meter, dengan bercak merah dari peluru cat Leviathan. Silinder tersebut dapat bergerak, mungkin dengan sihir khusus ... dan berhenti bergerak saat tertembak. Ketika dicermati lebih jauh, di bagian tengah silinder terdapat garis hitam yang membentuk persegi.

“Arciel, jangan takut! A-aku bisa menjagamu.” Leviathan memegang tangan Arciel yang masih diam memandangi zombie. Arciel refleks menyentakkan tangan Leviathan. Mereka tidak hanya berdua di sini.

“Ya, kita hanya perlu menembak,” pungkas Arciel, berpura-pura tidak ada apa-apa yang terjadi. Wajah Leviathan memerah tetapi dia menimpali dengan kalimat serupa.

“Kita harus secepatnya mencari senjata lain. Tidak efektif jika kita berempat memakai dua senjata bergantian.” Aki mengungkapkan pendapatnya.

Belphegor mengambil pistol yang tersisa. Pergerakan mendadaknya membuat Aki dan Arciel heran. Jarang-jarang Belphegor semangat dalam bermain. Dia cenderung lebih suka menjadi supporter.

“Semoga setelah ini yang muncul zombie Lucifer,” ucapnya sembari tersenyum riang.

” ....”

“Kami juga mau senjata,” protes Aki.

“Kan kita bisa mencari lagi,” balas Belphegor.

“Kita harus cepat bergerak.” Leviathan mengepalkan tinju ke atas, “Dengan tembakan membara dari inti neraka, hancurlah para zombie!”

“Hancurlah, Lucifer!” Belphegor ikut bersorak.

” ....”

Walau sudah sering melihat, Aki dan Arciel masih lumayan takjub akan kelakuan dua demon tersebut. Lantas, Arciel meminta peta dari Leviathan dan Aki mengobservasi zombie yang sudah mereka kalahkan. Leviathan dan Belphegor dalam posisi siaga untuk mengantisipasi serangan mendadak.

“Ada tiga bangunan, kurasa kita bisa mencari petunjuk di sana. Tempat lain yang mencurigakan adalah pemakaman. Tetapi, ada kemungkinan ini jebakan dan banyak zombie menanti,” papar Arciel.

“Tidak apa-apa. Tugas kita memang membantai zombie,” ujar Belphegor kalem.

“Kalau begitu, kenapa namanya Survival Room?” tanya Aki heran. Di mana-mana, survival kan bertahan hidup, tidak harus membunuh.

“Kan memang tidak waras,” dengkus Leviathan.


Mereka berempat sepakat menuju bangunan terdekat. Bangunan tersebut seukuran gubuk dan sebagian temboknya hancur. Di sana terdapat kotak besar berdesain mirip peti harta karun. Isinya satu pistol dan satu senapan laras panjang, serta banyak amunisi. Sepanjang perjalanan ke sana mereka juga berhasil menembak belasan zombie. Ada dua zombie bertopeng di antaranya.

Usai mengisi ulang peluru dan mengantongi beberapa set amunisi mereka meneruskan perjalanan. Beberapa langkah pertama, aman. Akan tetapi, kemudian rombongan zombie menghadang. Beberapa zombie menembakkan peluru cat biru.

Gerakan zombie monoton. Peluru setiap zombie hanya dua biji. Tantangannya adalah mereka kerap menyerang bersamaan dan menembak bergantian. Tim dituntut menghindari atau menahan serangan tanpa lupa menyerang balik. Konsentrasi mereka diuji.

Arciel dan Belphegor sanggup membawa papan kayu sebagai tameng, tetapi tidak dengan Aki dan Leviathan yang harus memegang senapan dengan dua tangan.

“Lari.”

Belphegor menahan peluru yang akan mengenai Aki. Ia pun menarik Aki yang belum sempat bereaksi. Aki lekas tersadar dan berlari bersama Belphegor. Dia menembakkan senapannya setelah mencapai posisi stabil. Satu zombie tumbang. Secara kebetulan, salah satu zombie yang menyergap mereka adalah zombie Lucifer. Belphegor menembak beberapa kali khusus ke arah zombie tersebut. Tepat setelahnya, Belphegor kehabisan peluru. Masih ada lima zombie.

Aki ganti mengambil posisi depan sembari menunggu Belphegor mengisi peluru. Aki kurang jago menggunakan senapan laras panjang, tetapi entah kenapa dia lebih tidak tega kalau Arciel yang memakainya. Jadi dia memilih senapan duluan. Aki sempat bertukar senjata dengan Belphegor, tetapi dia kesulitan mengemban dua peran. Refleks Belphegor lebih bagus darinya, sehingga Belphegor kembali memegang pistol dan perisai. Begitu Aki mendapatkan keseimbangan serta mengumpulkan tenaga, dia langsung melayangkan serentetan tembakan. Pelurunya habis tepat saat Belphegor sudah selesai.

Di sisi lain, Arciel dan Leviathan terpaut sekitar sepuluh meter. Arciel menjadi sasaran yang lebih empuk bagi para zombie ... sebelum mereka menyesal—kalau bisa menyesal. Jumlah zombie yang menyerangnya lebih banyak daripada Leviathan. Arciel kesal kenapa zombie jadi-jadian sok menerapkan body shaming. Dia menghabisi mereka dengan cepat. Leviathan pun lekas membantu setelah mengurus zombie yang mengincarnya.

Mereka berkumpul lagi. Adrenalin naik padahal waktu belum lama bergulir sejak mereka bermain. Sayangnya, waktu memang terbatas. Ini belum apa-apa.

“Kalau begini terus, kita tidak mungkin menghabisi semua zombie.” Napas Aki terengah-engah.

“Masih ada berapa zombie lagi?” Belphegor bertanya-tanya. Matanya merah karena kantuk tetapi memaksa untuk terjaga.

Arciel menggelengkan kepala. “Tidak tahu.”

“Sudah 15 menit dan kita bahkan belum mencapai seperempat peta.” Leviathan mengecek peta. Bagaimanapun caranya, mereka harus bergerak lebih cepat.

“Guys, apa saja yang ditanyakan saat pendataan tiga tahun lalu?” tanya Aki tiba-tiba.

“Kami diminta berdiri di atas lingkaran sihir selama beberapa detik. Lalu ada beberapa pertanyaan basa-basi seperti golongan darah, hobi, apa lagi ya?” Leviathan kesulitan mengingat semua pertanyaan tiga tahun lalu.

“Motto hidup? Datanya banyak, tapi konyol,” sambung Belphegor.

“Kalau jumlah demon yang didata?” tanya Arciel.

“Kurang ingat. Tidak sampai seribu kok, setengahnya saja tidak. Katanya masih akan diseleksi,” jawab Belphegor lagi.

“Kita sudah mengalahkan satu ... dua ... lima .... sepuluh ... ah, bingung! Tidak mungkin kita menghitung satu-satu.” Aki menggigiti bibir. Mereka sudah mengalahkan cukup banyak, tetapi yang belum ditemui jauh lebih banyak. Apa semuanya sungguh harus dihabisi?

Obrolan terhenti karena mereka tiba di areal pemakaman. Batu-batu nisan ditancapkan secara tidak beraturan. Jaraknya berdekatan pula. Leviathan tersandung sesuatu yang ternyata bagian atas peti mati. Sebagian peti terkubur di tanah, sedangkan sisanya sekadar terhalang beberapa nisan. Mereka mengambilnya secara hati-hati.

Petinya bolong-bolong dan lapuk. Tidak ada zombie, tetapi ada pistol dan secarik kertas robekan novel. Leviathan membacakan apa yang tertulis di sana.

Kami akan menghancurkan kalian saat kalian berpikir telah mengalahkan kami. Sudah waktunya manusia kalah. Mereka memiliki otak tetapi percuma. Merekalah pemangsa yang sebenar-benarnya. Mari kita songsong era baru, mematuhi Dia, menjadikan kegelapan sebagai cahaya.

“Aku setuju kalau ceritanya gila dan tidak jelas. Kenapa yang seperti ini diadaptasi ke sekelas Devildom Amusement Park?” komentar Belphegor sinis.

Aki terharu melihat pistol di dalam peti. Dia sudah tidak betah dengan senjatanya. “Sekarang aku siap melawan zombie,” klaimnya.


Sejak keluar areal pemakaman, mereka lebih cepat bergerak. Jumlah zombie yang menyerang semakin banyak pula. Intensitasnya menjadi lebih sering. Keringat kian membanjiri tubuh mereka berempat.

Ada suara langkah lagi. Semua bersiap di formasi dengan senjata dalam posisi siaga. Akan tetapi, sosok yang keluar dari balik pepohonan adaah orang yang mereka kenal.

“Beel!”

“Ternyata kalian di sini.” Beelzebub hampir menangis karena senang bertemu saudara dan kawannya.

“Beel, kenapa dahimu hijau?” tanya Aki, telunjuknya memegang dahi sendiri.

Beelzebub otomatis memegang dahinya sendiri. Tidak terasa ada sesuatu menempel. “Mungkin tadi lumut. Aku ketiduran lama. Sekarang aku lapar,” jawab Beelzebub.

“Sayangnya tidak ada makanan, Beel. Kita akan makan setelah keluar dari sini,” ucap Belphegor.

“Ini, Beel.” Leviathan menyerahkan senapan yang sudah tidak dipakai Aki.

“Terima kasih, Levi.”

“Kamu dari mana, Beel?” tanya Arciel.

“Tidak tahu, Arciel. Aku hanya ingat lapar lalu sempat tertidur. Tiba-tiba aku bangun di bawah pohon, lalu aku mencari kalian.”

“Ayo kita lanjutkan perjalanan. Waktu kita kurang dari setengah jam lagi,” ajak Belphegor lebih antusias. Dia senang Beelzebub telah kembali.

Perburuan zombie dilanjutkan. Mendekati ujung ruangan, intensitas penyerangan zombie semakin tinggi. Mereka seperti tidak diberikan waktu berpikir. Total 40 menit berlalu, entah sudah berapa zombie yang mereka habisi. Mereka juga menemukan kotak lain berisi peluru.

Sekarang mereka berlari menuju ujung ruangan. Tinggal sedikit lagi.

“Kira-kira sudah berapa zombie yang kita tembak?” Arciel berhenti berlari sebentar untuk mengatur napas.

“Kurasa tinggal satu gelombang lagi,” duga Beelzebub.

“Dari mana kamu bisa berspekulasi begitu, Beel?” tanya Belphegor sebelum tersandung batu karena terdistraksi.

“Feeling. Sudah banyak yang kita tembak, kan?”

Arciel limbung. Ini bukan karena lelah semata, otaknya kaget dengan hipotesis yang dia rangkai sendiri. Dia berpegangan ke lengan Leviathan, sedikit meremas bajunya untuk mengendalikan gejolak emosi. Sesuatu terasa mengganjal.

“Beel, apa kamu mengingat sesuatu sebelum kamu tertidur?” Arciel mencoba memastikan.

Beelzebub mengerutkan alis. “Err ... aku mencium wangi bunga, desisan binatang. Oh, ada laki-laki berkata, 'Keliru'.”

Potongan teka-teki telah terkumpul. Sekarang Arciel tahu apa yang janggal.


Gelombang besar zombie menyambut mereka berlima. Mungkin jumlahnya di atas 50 zombie. Semuanya mati-matian di babak terakhir. Ini sudah di ujung ruangan. Mereka bisa melihat tembok dan pintu keluar. Hasrat menyelesaikan wahana menambah poin kekuatan, kelincahan, dan akurasi.

“Selesai,” ujar Beelzebub lega.

Belphegor langsung rebahan di lantai dengan mata tertutup. Aki duduk meluruskan kaki. Leviathan duduk sambil melemaskan bahu. Arciel duduk sambil mengipaskan tangan di depan hidung, kabut ini sejak tadi membuatnya sebal. Beelzebub tiduran menyamping sambil memegangi perut.

Mereka beristirahat sebentar sambil menunggu kedatangan Little D. Mereka merasa sudah menghabisi semua zombie di ruangan. Namun, dua menit berlalu ... belum ada tanda kemunculan Little D atau apapun yang menandakan lolos dari Survival Room. Mereka mencoba membuka pintu sendiri, tetapi sihir khusus di sana membuat mereka terpental.

“Apa yang kita lewatkan?” Belphegor bertanya-tanya.

“Mungkin kita perlu menyisir ruangan sekali lagi,” usul Leviathan.

“Tidak ada cukup waktu, Lev. Kita hanya punya belasan menit,” tolak Aki.

Arciel tergelitik ingin meniru gaya Satan ketika dalam mode detektif, tetapi membatalkan niatnya karena merasa tidak cocok. Badannya yang kecil seperti tenggelam di tengah perdebatan kawan-kawannya.

“Ingat, Arci, kita harus memberikan kesan mengintimidasi dan meyakinkan saat mengungkap kasus. Penjahat yang diam-diam panik akan membongkar celahnya sendiri.”

Arciel teringat pesan Satan saat mereka menonton film detektif minggu lalu. Masalahnya adalah bagaimana cara agar terlihat demikian. Arciel memanjat setumpuk silinder bekas zombie yang telah mereka bereskan barusan. Dia duduk di atasnya. “Teman-teman, aku tahu apa yang salah,” serunya, menaikkan volume suara.

“Apa yang kamu lakukan di sana?” tanya Leviathan bingung.

“Arciel, waktu kita sekitar sepuluh menit lagi,” imbuh Beelzebub.

Walau merasa gagal bertindak keren, Arciel tidak ingin menunjukkannya. Dia harus bisa mengungkap pelaku. “Kita tidak akan ke mana-mana karena yang dibutuhkan ada di sini. Iya, kan, wahai Final Boss?” Arciel mengedipkan sebelah mata.

“Apa maksudmu?” tanya Belphegor.

“Peti yang ditemukan Aki kosong, artinya ada sesuatu yang seharusnya di sana. Setiap permainan biasanya memiliki bos lantai. Tidakkah kalian merasa aneh karena kita belum bertemu dengannya?” Arciel melompat turun lalu merebut senapan di tangan Beelzebub.

“Sejak awal kita sudah diberitahu, tetapi hal-hal tersebut terlewatkan tanpa sengaja. Satu kelopak bunga di luar lingkaran. Little D mengucapkan berempat padahal seharusnya Beel masih dihitung, atau lebih mudah jika hanya menyambut dengan kata kalian. Kita tidak melihat zombie Beel menyerang. Sebagian wajah dan tangan Beel menghijau tanpa sebab yang jelas.”

“Tapi aku asli.” Beelzebub membela diri.

Pandangan tiga orang lain beralih pada Beelzebub. Aki dan Leviathan mengarahkan moncong senjata mereka ke sana, sedangkan Belphegor menodongkan pistolnya kepada Arciel. “Jangan sembarangan! Dia Beel sungguhan,” desis Belphegor.

Arciel tersenyum. “Aku belum selesai, Belphegor,” balasnya, menekankan pada kata Belphegor.

“Ingat, Aki dan aku pasti lolos tuduhan, karena kami belum datang ke Devildom tiga tahun lalu saat data mulai dikumpulkan.” Mereka berempat menjadi agak sesak. Arciel tidak mencoba mengintimidasi lagi, tapi alam seolah melakukan itu untuknya. “Turunkan senjata kalian, aku belum menembak siapapun. Waktu kita tinggal sedikit.”

Ketenangan Arciel membuat Belphegor menurunkan senapan. Aki dan Leviathan pun mengikuti. Mereka bisa merasakan kalau Arciel tidak sedang membual.

“Seharusnya Beelzebub menjadi Final Boss. Namun, petugas membuat suatu kesalahan. Beel, coba ulangi apa yang kamu ingat sebelum pingsan?”

“Hmm, aroma wangi, desisan binatang, dan suara asing yang berkata 'keliru'?” Beel menjawab.

“Apa maksudmu Beel belum sepenuhnya disiapkan menjadi Final Boss karena kekeliruan itu?” tanya Aki.

“Ya. Mereka bermaksud menculik Beel, membuatnya terlihat seperti final boss lalu kita akan game over karena menembaknya.”

“Lalu bagaimana dengan opinimu tentang angka empat tadi? Apakah ini kasus khusus?” tanya Leviathan.

“Tidak. Kita tetap berempat. Final Boss yang asli memang berada di sini. Aki, jika kamu tidak pernah mengenal mereka bertiga, kekeliruan apa yang mungkin kamu pikirkan?”

Dari mereka berempat, Arciel hanya percaya pada Aki. Sudah pasti Final Boss tidak bisa menyamar menjadi seseorang yang tidak mereka miliki datanya.

Aki mengamati Beelzebub, Belphegor, dan Leviathan. Kira-kira kekeliruan apa yang bisa diasumsikan orang? Mereka bertiga kan bersaudara meski tidak memiliki ikatan darah, batinnya sebelum tiba-tiba menyadari sesuatu.

“Um ... kembar? Levi lebih mirip kembaran Belphie daripada Beel?” tebak Aki ragu-ragu.

“Memangnya kenapa?” tanya Belphegor.

“Bukan. Kenapa aku?” Leviathan bingung tiba-tiba disangkutkan dalam premis.

“Levi bersikap normal dari tadi,” bela Belphegor. “Aku lebih percaya jika Beel dijebak dan sekarang Final Boss bersembunyi untuk menyergap kita berlima.”

Arciel menghela napas. Kenapa Kak Satan terobsesi dengan peran detektif, padahal ini merepotkan?

“Leviathan palsu, barusan kamu membuka celah dengan bertanya seperti itu. Tebakan Aki tidak menyudutkan, tetapi kamu malah mengelak untuk sesuatu yang tidak perlu.”

Belphegor hendak membela Leviathan lagi tetapi Arciel mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan supaya dia berhenti.

“Asap wangi di lorong mengandung efek ilusi dan melumpuhkan insting. Beel dan Levi diculik petugas. Awalnya mereka mengira yang kembar adalah Levi dan Belphie. Mereka tidak ingin mengambil risiko ketahuan dengan mudah jika kembaran palsu ditempatkan di posisi yang sama. Levi akan dijadikan Final Boss dan Beel akan digantikan yang palsu.

“Tetapi saat sinkronisasi data, mereka menemukan fakta kalau Belphie dan Beel yang kembar. Perannya pun dibalik secara mendadak. Tidak masalah jika Levi dalam proses bius karena dia tidak masuk ke permainan, tetapi untuk membius dan menyulap Beel menjadi Final Boss butuh waktu. Karena terburu-buru itulah, Beel tidak sempat dimasukkan ke peti serta efek biusnya tidak selama rencana.

“Levi bisa membaca keadaan tetapi kesadarannya menipis. Dia bermaksud meninggalkan kode karena tahu kesadaran Beel masih tersisa, tetapi di situasi sependek itu dia hanya terpikir untuk mendesis seperti ular. Tujuannya supaya kita tahu di sana kamu tidak sendirian, Beel. Sebab tidak mungkin wahana seperti ini memiliki binatang asli berkeliaran.”

Analisis Arciel membuat empat orang di sana membatu. Masuk akal, tetapi belum sepenuhnya bisa dipercaya.

“Aku ingat desisan itu, tapi setahuku Leviathan bersikap seperti biasa,” gumam Beel

“Jika aku palsu, kenapa aku tidak menyerang dari awal? Aku punya banyak kesempatan.” Leviathan membela diri.

“Jawabannya ada di kertas yang kita temukan di peti. Kami akan menghancurkan kalian saat kalian berpikir telah mengalahkan kami.

“Ka-kamu terlalu mengada-ada, Arc. Katakan saja kalau kamu kesal padaku. Jangan masukkan ke dalam hipotesismu.” Leviathan memegang kedua bahu Arciel, tatapan matanya seperti memohon. Arciel mundur tidak langkah.

“Tidak, Levi. Apa kamu lupa pertengkaran kita semalam di kamarmu?” Suara Arciel bergetar seperti tidak sanggup bicara lagi.

“Tidak. Maafkan aku, kupikir kita bisa melupakannya sejenak dan membuat kenangan indah hari ini.”

Arciel selalu kesulitan berbohong, tetapi ternyata Leviathan palsu lebih bodoh dari perkiraannya. Belphegor menodongkan pistol ke arah Leviathan.

“Dia palsu. Arci baru datang ke kamar Levi tadi pagi, bukan semalam. Tidak ada pertengkaran apapun,” tukas Belphegor.

“Sejak awal aku merasa aneh, karena kamu normal tapi sekaligus asing. Kemudian aku sadar, data Leviathan yang dikumpulkan tiga tahun lalu belum mengenalku. Kamu bingung cara bersikap denganku.” Sekarang Aki ikut menodongkan pistol. Beelzebub ingin bergabung, tetapi senapannya dibawa Arciel. Wajah polos Beelzebub mengganggu konsentrasi Arciel sejenak. Perempuan itu kemudian melemparkan senapan Beelzebub pada pemiliknya.

Leviathan palsu bergegas mengambil satu peluru cat biru dari sakunya. Dia hendak menekan pelatuk, tetapi tangan Beelzebub bergerak lebih cepat menembak jatuh senjata demon palsu.

“Levi menganggapku sebagai Player 2, partnernya dalam menyelesaikan game, bukan semacam NPC yang hanya harus dilindungi.” Arciel mengakhiri kalimat dengan menembak bersama Aki dan Belphegor.

Wujud Leviathan palsu berubah menjadi Little D setelah terkena serangan. Beberapa detik berselang, Little D pemandu muncul. Mereka berdua tertawa sembari melontarkan mantra khusus ke langit-langit. Kabut memudar, cahaya keemasan muncul dan berkumpul menjadi tulisan yang mengambang di udara.

Congratulations! You won this game.


Kegiatan bolos yang melelahkan akhirnya berlalu. Mereka berlima pulang ke House of Lamentation. Beelzebub langsung menuju kulkas untuk kebiasaan tengah harinya. Leviathan mengajak Arciel menonton anime bersama di kamarnya, untuk mengganti sesi kencan yang berantakan tadi. Aki ikut ke kamar Belphegor untuk menumpang tidur siang.

Mereka berdua rebahan menyamping, saling berhadapan. “Aki, kalau aku di posisi Leviathan, bagaimana kamu akan mengenaliku?” celetuk Belphegor penasaran.

“Mustahil.” Aki langsung mengibaskan tangan. “Kamu tidak mungkin diculik karena terlihat tidak bisa diandalkan. Maksudku, Beel kelihatan paling kuat di antara kita. Levi jago dalam urusan game sehingga mereka ingin mengurangi hambatan. Lah kamu?”

Belphegor mengakui kebenaran jawaban Aki. Akan tetapi, dia agak merasa kesal pula. “Jawab saja. Kan kalau,” gumamnya sedikit memaksa.

Aki berpikir. Dia salut Arciel bisa mengenali Leviathan. Seandainya Belphegor di posisi itu, bagaimana kira-kira dia memastikan?

“Aku akan melontarkan meme. Kalau Belphie tertawa berarti itu palsu. Atau aku akan menyanyikan lagu konyol yang viral di TokTik. Atau aku menyuruhmu tidur dan melihat seberapa cepat kamu tertidur. Atau aku mencoba bahasa sapi, moo moo. Atau ....”

“Aku mau tidur,” sela Belphegor.

Aki tertawa kecil. Dia bangun untuk mengambil buku dari tasnya. “Oh iya, tadi aku menggambarmu saat kita berlima makan.”

Mata Belphegor terbuka lagi. Dia duduk di tempat tidur, melihat gambar yang ditunjukkan Aki: Gambar Belphegor sedang mengangkat pistol. Belphegor terlihat keren di sana. Aki memang pintar menggambar orang.

“Bagus. Sini ... aku akan menambahkan gambarmu.”

Belphegor tersenyum sebelum mengambil pensil. Dia menggambar Aki di samping gambar Belphegor. Raut wajah fokus Belphegor selama menggambar membuat Aki terpesona.

“Sudah. Kamu tidak perlu memujiku.”

Belphegor kembali tidur, sementara Aki membuka buku dengan jantung berdegup kencang. Belphegor tidak punya jiwa seni yang memadai, di gambarnya Aki malah terlihat seperti zombie. Namun, gambar lebih mengutamakan perasaan daripada goresan, kan? Ketulusan Belphegor membuat gambar itu terlihat seratus kali lebih baik ...

... sebelum Aki membaca tulisan di bagian bawah.

Aki zombie bodoh ;p

” ....”

Aki menambah beberapa detail yang berhubungan dengan sapi serta coretan asal di atas gambar Belphegor.

Belphie sapi jelek ;p

Kemudian dia tidur di samping Belphegor. “Selamat tidur, Belphie.”

—end

author's note: aku masih ada draft dan outline kasaran detective AU soal tim detektif 345+Arciel (kalau jadi mau rekrut 1 MC lagi biar ganjil 5 orang, tokoh utamanya tentu Detective Satan). mereka menangani kasus pembunuhan. gatau bakal kurilis kapan