author: leviaphile
language: Bahasa Indonesia
fandom: Obey Me SWD
pairing: Lucifer x Hana (MC), Leviathan x Arciel (MC), Satan x Misha (MC)
warning: PANJANG! kemungkinan besar OOC, alur pasaran, dan ada sedikit adegan NSFW
note: terinspirasi dari devilgram Vampire Partners in Crime
Lucifer memandang bosan ke arah kartu-kartu yang dijajarkan oleh Leviathan. Dia masih menyesali kenapa harus ikut dalam permainan bodoh saat laporan harian RAD-nya belum tuntas. Ketika Mammon pulang nanti, Lucifer bersumpah akan mengutuk duo idiot Mammon dan Leviathan supaya berpegangan tangan selama 24 jam.
Kesialan ini berawal saat Mammon mendapatkan paket misterius berisi permainan kartu. Menurut Mammon, jenis kartunya fantasi, jadi dia memberikan kepada Leviathan. Kemudian, Mammon dan Asmodeus harus pergi ke Majolish.
Leviathan yang girang dengan permainan baru mengajak seisi House of Lamentation untuk bermain. Beelzebub ada kegiatan klub dan Belphegor menemaninya—walau Lucifer yakin dia hanya ingin tidur sore di RAD. Arciel sudah pasti ikut meski tidak membalas di grup. Hana pertama merespons dengan semangat, Misha menyusul, lalu Satan yang sepertinya ingin berbaikan dengan Misha. Hal ini berakhir dengan partisipasi Lucifer sebab Hana tidak berhenti membujuk dan Satan terus menantangnya.
“Yosh! Semua kartu dasar sudah dipasang. Sekarang kita harus memilih satu kartu untuk menentukan peran,” kata Leviathan, membaca prosedur pertama.
Ada enam peran yang tersedia, antara lain demon, angel, human, beast, vampire, dan werewolf. Namun, ada satu kartu netral yang imun terhadap semua peran. Kartu netral memiliki keuntungan bisa lolos tantangan tanpa melakukan apa-apa, tetapi kerugiannya adalah tidak mendapat poin. Selama ini, pemegang kartu netral juga berperan sebagai pengawas permainan.
Semua sudah memilih kartu. Leviathan berseru lagi, “Sekarang ayo kita buka peran secara bersamaan.”
Lucifer demon, Leviathan vampire, Satan beast, Hana angel, Arciel juga vampire, dan terakhir Misha ....
“Kok kosong? Ini kartu netral?” tanya Misha, membolak-balik kartu itu seperti mencari sesuatu.
“Iya, Misha,” jawab Lucifer.
“A-Arci, kenapa kamu bertaring?!” pekik Leviathan, membuat Arciel memegang taringnya sendiri. Arciel menoleh ke arah Leviathan.
“Kamu juga, Levi.” Arciel lantas mengedarkan pandangan. Leviathan sedang memegangi hidung, Lucifer dalam demon form, Satan bertelinga dan berekor kucing, lalu Hana bersayap putih ala malaikat. Mereka tampak bingung.
“Kartu ini mengubah pemain sesuai peran, kan? Berarti saat permainan selesai kita semua bisa kembali lagi,” tukas Satan sambil memainkan telinga kucingnya. Dia berpura-pura menggaruk rambut saat Lucifer ikut melihat.
“Ayo bacakan prosedur selanjutnya, Levi,” pinta Hana, sedikit nyaman karena sudah lama dia ingin mencoba wujud malaikat.
“Permainan terdiri atas tiga babak. Pada babak pertama, pemain harus mengambil kristal yang tertanam di tengkuk pemain lain yang mendapatkan peran berlawanan dengan dirinya ....” Leviathan berhenti sejenak untuk meraba tengkuk. Benar, terdapat benda asing menempel, teksturnya seperti kristal, “Demon berlawanan dengan angel, vampire dengan werewolf, dan beast dengan human. Tunggu, peran kita tidak selengkap itu!”
“Coba lanjutkan dulu, mungkin ada kondisi khusus,” usul Arciel, menggeser duduk untuk menghampiri Leviathan tetapi yang didekati malah buru-buru menjauh.
“Ketika kristal lawan dimasukkan ke tengkuk, bentuk kristal seorang pemain akan berubah. Babak kedua sama dengan babak pertama. Kristal akhir akan berbentuk bola. Pecahkan bola tersebut, maka final boss yang harus dihadapi oleh pemain akan muncul. Pemain yang gagal tidak bisa berpartisipasi dalam babak selanjutnya. Namun ada pengecualian untuk pemain netral dan pemain yang lolos babak kedua tetapi tidak berhasil mendapatkan kristal untuk babak ketiga ... karena hanya akan ada satu final boss.”
” .... Tidak tertulis apa-apa lagi?”
Leviathan menggeleng untuk menjawan pertanyaan Lucifer. Arciel iseng memeriksa kardus kartu, lalu menghela napas panjang. “Ternyata di bagian bawah terdapat tulisan, permainan ini harus dilakukan oleh 13 orang. Batas waktunya adalah tengah malam.”
“Levi ...,” panggil Satan dengan suara sarat ancaman.
“Kita tidak bisa bermain. Sekalipun salah satu dari Lucifer atau Hana berhasil, tetap akan berhenti di babak kedua,” ucap Arciel pasrah, “Mungkin kita akan terjebak seperti ini sampai tengah malam.”
“Lucifer, kakak terhebatku, tolong bantu kami,” pinta Leviathan.
“Oi, Lucifer! Bukankah kutukan adalah keahlianmu?” dukung Satan.
“Ya, tapi tidak. Kalian akan kembali nanti tengah malam. Nikmati saja.” Lucifer menyunggingkan senyum angkuh sembari mengibaskan pelan sayap demon-nya. Dia beruntung memperoleh peran demon. Tidak ada salahnya balas mengusili mereka.
“Pekerjaanku masih banyak. Jangan ganggu!” Lucifer berdiri dan berjalan keluar ruangan.
“LUCIFER!”
Leviathan berusaha menghubungi Mammon via DDD, sedangkan tangan satunya dia gunakan untuk mencari informasi di komputer. Misha menyandarkan kepala pada Hana. Sebelah sayap Hana turut merangkulnya. Arciel menemani Satan mencari buku kontra kutukan di perpustakaan. Mereka kembali ke kamar Leviathan dengan sebuah buku.
“Ada banyak buku relevan, tetapi kami memilih satu yang fokus membahas perubahan wujud,” tukas Satan, “Sayangnya aku dan Arci menemukan poin misterius, jadi kami membawa bukunya ke sini.”
Sulit untuk fokus pada perkataan Satan sebab telinga dan ekornya bergerak ketika dia berbicara. Ketiadaan Lucifer di ruangan ini membuat Satan tidak segan memainkan ekornya. Diam-diam Satan menikmati menjadi beast.
“Poin yang dimaksud kak Satan berbunyi; Harga tidak menghapus kesetaraan awal dan akhir. Ketika akar asphodel mentah ditambahkan ke larutan akhir, ingatlah titik nol hanya terjadi karena melampaui infiniti.” Arciel membaca kalimat-kalimat itu dari buku.
Apakah kesetaraan adalah kontrak dan titik nol merupakan kondisi awal? Tetapi apa itu infiniti? Dan kenapa asphodel? Padahal umumnya asphodel digiling sebagai salah satu bahan dasar.
“Membingungkan. Dari cara Lucifer bicara tadi, kupikir ini hanya kutukan sederhana,” komentar Hana, menggaruk rambut biru-kelabunya.
“Mungkin karena cara kerjanya lebih seperti perjanjian daripada kutukan. Perjanjian adalah hal sakral sehingga harga untuk memutusnya sangat mahal,” timpal Satan.
“Kalau seperti itu bukankah kita hanya perlu menunggu?” kejar Hana lagi.
Satan menggeleng. Pertanyaan Hana memang bagus, tetapi hasilnya belum pasti. “Kemungkinannya 50:50, Hana. Kita tidak tahu apa konsep waktu akan bekerja karena tidak bisa memainkannya dengan benar.”
Kemudian Satan duduk di sebelah Misha, tetapi Misha bersembunyi di belakang Hana. Misha memegang tangannya sendiri agar tidak memegang telinga Satan yang terlihat lembut. Dia, kan, sedang marah.
Misha jangan bucin dulu, Misha jangan bucin dulu, rapal Misha dalam hati.
“Bagaimana kalau kita tunggu sampai tengah malam dahulu? Kalau belum hilang, baru kita tanya Lucifer,” usul Misha.
“Lucifer tega,” dengkus Leviathan, memencet keyboard keras-keras.
“Apa Levi menemukan sesuatu?” Arciel menghampiri Leviathan, tetapi Leviathan mengibaskan bahu ke arahnya.
“Arci jangan mendekat!” usir Leviathan, tanpa sengaja menaikkan volume suara.
Terakhir kali Leviathan membentaknya adalah saat mereka belum berteman. Dibentak di depan teman-teman lain membuat Arciel merasa kurang nyaman, tetapi dia tidak ingin memperpanjang masalah di situasi seperti sekarang. Arciel mundur, “Maaf.”
Respons Arciel membuat Leviathan kembali panik. Dia memutar kursi gaming khususnya. “Ma-maksudku bukan begitu. Aaarrrggh maafkan aku, Arc. Bukannya aku tidak senang berdekatan denganmu ..., tapi baumu membuatku semakin haus.”
Leviathan mengacak-acak rambutnya frustrasi. Sebagian tubuh Arciel adalah kumpulan entitas elemental yang bisa memperoleh energi dari sekitar, sehingga sekarang dia belum berhasrat akan darah. Lain dengan Leviathan yang sejatinya demon, dia malah merasakan kehendak vampire terdorong menjadi semakin liar. Leviathan bisa mengabaikan bau darah orang lain, sayangnya bau darah Arciel terlalu menggoda.
“Ini masalah kedua kita. Tinggal menunggu waktu sampai kita lapar. Beast adalah karnivora yang lebih suka memakan daging mentah, dan vampire harus meminum darah. Kami harus bisa mengatasinya sepanjang hari,” papar Satan.
Misha melongokkan kepala dari atas bahu Hana. Dia cemas terhadap teman-teman dan pacarnya. “Ada baiknya kalian bertiga mengisolasi diri secara terpisah. Kami yang akan membelikan daging mentah dan darah.”
“Benar, masih ada cukup waktu sampai jam makan malam. Kalian tunggu saja di kamar,” imbuh Hana.
“Terima kasih, Misha dan Hana,” pungkas Arciel.
Langkah kaki Misha semakin berat saat berjalan ke kamar demon—sekarang beast tersebut. Dia membawa kotak berisi steak dengan kematangan rare yang baru dibelinya bersama Hana. Akan tetapi, Hana bergegas mengambil dua kantong darah dan meminta Misha yang menyerahkan makanan Satan.
Mereka tadi hendak membeli daging mentah karena yang di kulkas habis dimakan Beelzebub tadi pagi. Di tengah jalan, Misha khawatir Satan tidak bisa langsung memakannya sehingga mereka ganti membeli steak yang rare.
Satan jelek. Satan bau. Satan jelek. Satan bau. Satan jelek. Satan bau. Satan jelek, maki Misha dalam hati.
Sebutlah dia kenakak-kanakan, tetapi bagi Misha, Satan kelewatan. Sudah berapa kali Satan melupakan waktu berkencan mereka? Keasyikan baca buku lah, menolong anak kucing mencari induknya lah, acara mendadak komunitas pecinta kucing jalanan lah. Misha juga gemar belajar dan menyukai kucing, meski begitu kelakuan Satan sudah keterlaluan.
Lalu, apa yang lebih buruk? Satan mengajak berkencan LAGI yang bertepatan dengan hari H acara ekskul Misha. Mephistopheles memberikan kepanitiaan krusial padanya, mana mungkin Misha mengkhianati kepercayaan tersebut?
“Aku sudah memesan tiket yang tidak bisa dijadwal ulang. Tidak apa-apa, kita bisa langsung berangkat sepulang event-mu.”
Ucapan Satan saat itu membuat Misha ingin menjambaknya. Bagaimanapun dia ingin dalam kondisi optimal secara fisik dan emosional ketika kencan. Jangan lupakan fakta bahwa manusia bisa merasakan lelah. Event ekskul akan menguras tenaga Misha sebelum mereka berangkat berkencan.
Sibuk mengomel dalam hati membuat Misha tahu-tahu sudah berada di depan kamar Satan. Misha sedang tidak ingin berbasa-basi. “Satan, dagingmu.”
“Masuk saja, Misha,” jawab Satan dari dalam.
Gadis berambut kecokelatan ini berniat menaruh makanan lalu pergi. Menyadari gelagat Misha, Satan buru-buru mencegah, “Tunggu! Maukah kamu membantuku?”
“Apa yang bisa kubantu?” sambar Misha, ingin lekas membantu agar bisa cepat keluar.
“Temani aku,” pinta Satan dengan tatapan seperti anak kucing. Telinga dan ekornya bergerak seirama. Satan sengaja bersikap imut agar Misha tidak menolak.
“Aku tidak akan menyerangmu.” Satan membuka kotak makannya, “Kamu tahu kan, sekarang aku menjadi beast kucing. Kucing membutuhkan atensi dan kasih sayang,” lanjut Satan lagi.
Misha mengalah. “Oke, beberapa jam saja.”
“Kamu sudah makan?” tanya Satan, Misha mengangguk,
“Tadi sama Hana.”
Kemudian, Satan mulai menyantap makan malamnya. Rasanya sedikit aneh, mungkin beast dalam dirinya protes ketika diberi daging rare. Namun, Satan lebih tidak bisa membayangkan dirinya memakan daging mentah. Misha tidak ingin melihat Satan terus-terusan, dia mencari beberapa mainan kucing di kamar. Satan kerap membeli makanan, mainan serta perlengkapan lain untuk kucing jalanan.
Ada benang rajut dan bola. Misha mengambilnya sebelum menyisir bagian lain. Dia menemukan mainan tikus-tikusan dan sekotak penuh creamy treats. Otak Misha tanpa diperintah langsung membayangkan Satan memakan creamy treats.
Tidak, tidak, ayo sadar, Misha. Dia mengembalikan kotak camilan kucing ke tempat semula.
Ekor Satan refleks bergoyang melihat Misha menghampirinya membawa mainan. Dia yang baru selesai makan berjalan ke arah Misha dengan senyum lebar.
“Minum dulu.” Misha memberikan susu kotak. Satan langsung menghabiskan isinya.
“Ayo main,” ajak Satan.
Mereka berdua bermain bola dan benang. Misha tidak bisa menahan tawa menyaksikan Satan mencakar-cakar benang. Telinga kucingnya menegak. Wajahnya tampak berkonsentrasi.
Di lain permainan, Satan terlihat lebih rileks—bahkan cenderung bangga setiap berhasil menangkap bola dengan satu tangan. Misha lupa kemarahannya terhadap Satan. Dia tidak sungkan mengusap kepala Satan, bahkan sempat memegang telinga kucingnya. Bulu-bulu kekuningan di telinga kucing Satan lembut saat disentuh.
Bermain ke sana kemari membuat keduanya lelah. Tanpa permisi, Satan meletakkan kepalanya di pangkuan Misha lalu mulai memejamkan mata. Dengkuran halus ala kucing terdengar tak lama kemudian.
Sementara itu, Misha kembali ingat kalau dia (seharusnya) sedang marah. Dia ingin menyingkirkan kepala Satan, tetapi wajah polosnya membatalkan niat Misha. Satan terlihat damai saat tidur. Misha tidak mau mengganggu.
“Aku masih marah, Satan jelek,” kata Misha sambil menggembungkan pipi.
Tidak sampai semenit setelahnya, Misha mengusap kepala Satan, “ .... Tidur yang nyenyak, Tantan.”
Usai mengantarkan darah untuk Arciel dan Leviathan, Hana bergegas mendatangi Lucifer di ruang kerjanya. Lucifer masih fokus di depan setumpuk berkas. Hana meletakkan kopi di meja yang kosong, rutinitas ketika Lucifer lembur. Bekerja dalam mode demon form dan berkacamata membuat Lucifer tampak sedikit aneh, tetapi tetap berwibawa seperti biasa.
“Terima kasih.” Lucifer meminum kopinya.
“Semua akan kembali normal besok, kan?” tanya Hana tanpa berbasa-basi.
“Ya,” jawab Lucifer tanpa memalingkan wajah dari berkas laporannya.
Hana mengambil kursi lain untuk duduk di sebelah Lucifer. Tidak bisa sedekat biasanya sebab sayap mereka memakan banyak ruang. Sayap hitam Lucifer dan sayap putih Hana terlihat kontras. Hana tidak sengaja memperhatikan sayap mereka.
“Apa yang kamu rasakan saat menjadi malaikat?” tanya Lucifer.
Pertanyaan Lucifer membingungkan Hana. Dia tidak merasakan perubahan signifikan seperti Satan, Leviathan, dan Arciel. Mungkin ini efek banyak bergaul dengan malaikat di Purgatory Hall. Dia cuma merasa lebih ... baik?
“Tidak ada perbedaan mencolok, tetapi aku merasa lebih baik, tenang, dan sabar,” jawab Hana apa adanya.
Mereka kadang bertengkar atau berdebat ketika sedang berdua. Lucifer biasa mengomel seperti bapak-bapak. Lucifer biasa mengatur seperti mandor banyak beban. Antitesis dari itu, Hana tidak suka diomeli atau diatur, sehingga tidak sungkan melawan. Adu mulut merupakan salah satu love language mereka.
“Terlihat jelas.” Lucifer terkekeh kecil. Normalnya Hana langsung meminta penjelasan panjang lebar tentang sihir yang mengubah wujud mereka.
“Huft, Satan bilang kemungkinan sihir patah saat pergantian hari hanya setengah,” tukas Hana, membantu Lucifer mengerjakan salah satu lembar observasi RAD.
“Bisa kok. Jika dugaanku salah, aku bisa langsung mengembalikan kalian esok hari.”
Mereka mengerjakan laporan RAD bersama—Hana memilih aspek laporan yang mudah. Ketenangan berlangsung cukup lama.
“Mammon dan Levi ada-ada saja, tapi jangan keterlaluan kalau menghukum mereka,” ucap Hana.
“Kita lihat saja nanti.”
Mereka menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin. Hana lantas berdiri, “Aku sudah menyelesaikan apa yang bisa kubantu,” kabarnya.
“Aku hampir selesai,” timpal Lucifer.
Demon tertua dari tujuh bersaudara tersebut melirik Hana sekali lagi.
Cantik. Dalam wujud apapun, Hana selalu cantik, puji Lucifer dalam hati.
Mode malaikat membuat Hana tampak anggun dan suci, mengingatkan Lucifer pada para malaikat kenalannya semasa di Celestial Realm. Tentu Hana lebih menarik dari mereka semua. Hasrat demon dalam diri Lucifer menggelegak.
Ini pertama kali dia tertarik pada makhluk yang berbeda. Lebih tepatnya, dia sudah tertarik sejak awal bahkan sebelum pacarnya berubah menjadi malaikat. Perubahan wujud membuat Lucifer memikirkan gagasan baru, sebentuk emosi untuk menyatu dalam perbedaan sejauh langit dan bumi. Pantas banyak narasi klasik tentang iblis dengan malaikat, magnet “pertentangan” memiliki gaya yang besar.
“Sayang sekali kita semua tidak jadi bermain, padahal seru,” ungkap Hana.
Lucifer menawarkan, “Mau mencoba babak pertama?”
Hana menggeleng. Meski tawaran Lucifer bagus, Hana tidak suka membuang tenaga secara percuma. Namun, Hana juga ingin melihat kristal baru untuk babak kedua. “Ambil saja punyaku,” ujarnya mengalah.
Lucifer mengelus tengkuk Hana, mengetuk kristal yang menempel di sana. Sentuhan Lucifer membuat bulu kuduknya merinding. Tangan Lucifer berlama-lama di sana seperti sengaja menggoda Hana.
“Cepat, Lucifer,” perintah Hana, mulai hilang kesabaran.
“Baiklah.” Lucifer mencabut kristal di tengkuk Hana ... dengan mulut. Hana seolah meleleh saat bibir Lucifer mendarat di tengkuknya, menggigit, hingga menarik kristal itu keluar.
“Syukurlah tidak menimbulkan luka.”
Lucifer menyeringai. Dia mengusap bagian bekas kristal berada dengan ibu jari. Napas hangatnya masih tertinggal menyapu kulit Hana.
Hana agak menyesal berubah menjadi malaikat. Dia sulit berpikiran kotor sekarang.
Arciel menyelinap ke kamar Leviathan dengan membawa bekal sekantong darah. Tadinya dia ingin tidur di kamar, tetapi Leviathan menelepon dan setengah merengek, “Aku tidak mau kita di ruangan terpisah. Arciel, tolong kembali ke sini.”
Leviathan langsung mengunci pintu setelah membukakan untuk Arciel. Dia tidak ingin ketahuan yang lain. Lucifer bisa menghukum mereka. Belajar dari pengalaman, Arciel meletakkan kantong darahnya dan duduk agak jauh. Dia meminjam salah satu manga Leviathan untuk mengisi waktu. Leviathan melakukan hal yang sama.
“Kamu belum haus, Arciel?” Selang beberapa menit, Leviathan buka suara.
“Sedikit haus, tapi masih tahan,” jawab Arciel, membalik halaman manga, “Lev, vampire kan cuma minum darah, buang airnya bagaimana? Terutama buang air besar,” celetuknya penasaran.
Leviathan pun bingung. “Entahlah, Arc. Mungkin nanti kita akan kebelet.”
Mereka berdua berusaha menyibukkan diri agar melupakan rasa haus. Membaca manga, menonton anime, dan bermain game gacha sudah mereka lakukan, tetapi waktu berjalan sangat lambat. Wajah keduanya bertambah pucat.
Arciel menyerap energi dari udara dan sedikit air di kamar Leviathan untuk mengurangi rasa hausnya. Dia tidak ingin meminum darah. Kemudian, dia melihat Leviathan belum mengambil kantong darahnya. “Levi, mau kuambilkan darah?” tawar Arciel.
Yang ditawari cuma menggeleng. “Tidak perlu. Baunya membuatku mual,” tolaknya.
Leviathan iri melihat Arciel mampu menahan diri. Dia tidak ingin kalah, tetapi rasa haus yang ia derita kian menyiksa. Kata salah satu anime koleksi Leviathan, darah yang diminum vampire akan menyatu dengan tubuhnya. Maka dari itu, dia berupaya agar tidak meminum darah dalam masa transformasi yang singkat.
“Kamu boleh meminum darahku,” ucap Arciel intuitif, iba melihat kondisi Leviathan.
Kendati dalam kondisi membutuhkan darah, seluruh darah dalam tubuh Leviathan terpompa ke pipi mendengar tawaran baru Arciel. “K-kamu yakin? Ini mungkin sakit,” tanyanya mencoba memastikan.
Arciel menutup wajah dengan manga yang belum dikembalikan ke rak, “Uhm ... kalau dengan Levi, tidak apa-apa.”
“Maaf, ya.” Leviathan mendekat, lalu menanyakan kesediaan Arciel sekali lagi. Kali ini Arciel menyanggupi sambil menatap mata amber Leviathan.
Keduanya gugup. Rasa haus dan jarak sedekat ini membuat situasi bertambah sulit. Leviathan meneguk ludah. Rasanya sudah tidak tertahankan lagi. Dia menyibakkan rambut Arciel ke belakang, lantas melabuhkan bibirnya ke leher. Leviathan menancapkan taring dan mulai menghisap darah.
Manis, segar, dan hangat. Enak sekali, batin Leviathan.
“Arciel mau juga?” tawarnya, mengusap bagian belakang kepala Arciel.
Kalau cuma sampai tengah malam, kelihatannya Arciel masih bisa tahan, tetapi tawaran Leviathan sayang untuk ditolak. Arciel mengangguk. Dia menggigit leher Leviathan untuk menghisap sedikit darahnya. Saling menghisap darah rupanya bisa menciptakan suasana intim. Suara erangan pelan dan napas yang memburu membuat kamar lembab Leviathan terasa panas.
Ketika Arciel melepas gigitannya, Leviathan menurunkan salah satu lengan baju Arciel untuk menggigit bagian bahu. Sekarang Leviathan berusaha tidak menghisap darah, tetapi dia belum bisa berhenti menggigit. Dia melirik ke samping, Arciel tengah memejamkan mata.
Lihat, ekspresi Arciel-ku manis sekali, batin Leviathan, dirayu keinginan untuk menandai Arciel lebih banyak.
“Ngomong-ngomong, Arc, kenapa kamu tidak pernah posesif padaku? Sekali-sekali, aku ingin mendengarnya.” Begitu Arciel membuka mata, senyuman nakal terpampang di wajah Leviathan.
Gelisah, Arciel menggigiti bibir. Di dalam kepalanya terdapat perdebatan, tetapi terkadang dia juga ingin mencoba. Arciel menarik pelan lengan baju Leviathan dengan ujung-ujung jari.
“L-Levi punyaku, uhm ... cuma punyaku.”
Sekarang Leviathan menyesal. Tatapan mata Arciel menggoyahkan kontrol dirinya. “Kenapa kamu sangat menggemaskan? GAHHH, MAAF ARC, A-AKU TIDAK SENGAJA MENDORONGMU SAMPAI JATUH.”
Melihat Arciel dalam kungkungannya, setengah dari isi otak Leviathan tahu dia harus lekas menyingkir ... tetapi badannya terasa kaku, tidak ingin beranjak dari sana.
Ini berbahaya. Levi, kamu pasti bisa mengendalikan diri, teriak batin Leviathan, mengumpulkan sisa-sisa kewarasan.
“Jangan pergi!” Arciel spontan memeluk Leviathan.
Upaya Leviathan seketika lenyap. Dia mengusap poni Arciel ke atas untuk melayangkan ciuman lembut di dahi. Lalu, kepala berambut biru keunguannya bergerak ke samping. Tangan Leviathan menyibakkan rambut Arciel ke belakang telinga seraya berbisik,
“Kita masih punya banyak waktu sampai tengah malam, Arciel-chan.”
—end