Distorsi dari Seberang
author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Mystic Messenger (tapi sedikit crossover dengan Obey Me, Wannabe Challenge, dan Amnesia) pairing: sebenernya susah menyebut pairing tapi nikmati saja, mostly platonis and one-sided warning: PANJANG! mungkin OOC, beberapa hal tidak sesuai cerita asli, agak utopis, dan sok idealis. karena ini memang berawal dari kekurangpuasan kami terhadap Saeran's After Ending.
note: Ini pernah kuunggah dalam bentuk ss-an, dan isinya tidak akan banyak berubah.
“Andai saja aku bisa masuk ke dalam game untuk membantu menyelamatkan mereka. Tidak menjadi MC pun tidak apa-apa.”
Membahagiakan semua orang memang sulit sekali, terutama jika mereka bukan tokoh utama dalam sebuah kisah. Sebagian dari jutaan pengunduh game tidak berhenti memaki, menangis, bahkan menunggu kebahagiaan karakter kesayangan mereka. Ada yang puas dengan ending, dan ada yang merasa kurang. Keduanya wajar.
“Berakhir semudah ini? Perlakuan yang diterima amat jahat, kenapa mereka terlalu baik?!”
Arciel mengacak rambutnya gemas, Good Ending memang sangat indah tapi terasa kurang adil. Terutama saat dia teringat Saeyoung disiksa.
“Kenapa Jihyun cuma bahagia dan waras di rute sendiri? Itu saja susah sekali. Kenapa dia seperti karakter tiri?!” isak Tamy, merenungkan percakapan di telepon dengan Jihyun alias V—dan suara Rika.
“Sial, kupikir di Final Ending Rika menunjukkan perkembangan. Kenapa lagi-lagi begini? Aku kesal padanya, tapi ... tapi ....”
Ash kehabisan kata, melihat salah satu karakter kesayangan menyakiti karakter kesayangan yang lain terasa menyesakkan. Dia hanya bisa membanting ponsel ke kasur.
Di tiga lokasi berbeda, mereka membatin hal yang sama: “Andai saja aku bisa masuk ke game untuk membantu menyelamatkan mereka. Tidak menjadi MC pun tidak apa-apa.”
Layar ponsel mereka tiba-tiba bercahaya terang, lalu hourglass muncul di udara secara ghaib. Entah dari mana, tetapi suara mistis terdengar di kepala mereka. “Kalau begitu, lakukanlah sebelum semua pasir terjatuh.”
Karena syok, mereka bertiga hanya bisa melihat hourglass terbalik sendiri. Cahaya putih keemasan memenuhi kamar.
Ketika cahaya itu menghilang, mereka berpindah ke ruangan asing. Lantai, dinding, dan langit-langit seluruhnya putih. Mereka duduk di kursi putih yang mengelilingi meja berbentuk bunga teratai. Ada empat pintu emas.
Mereka bertiga saling mengamati. Orang-orang yang terdampar bersama terlihat asing tetapi anehnya juga tidak asing.
“Tampaknya kita senasib. Mari menyusun strategi bersama.” Perempuan bertopi hitam buka suara pertama kali, tetapi tatapan matanya seolah menerawang. Ingatan dan perasaannya campur aduk dengan tokoh yang wujudnya ia pinjam. Tokoh yang meninggal berulang-ulang.
“Benar, waktu kita terbatas. Tidak ada gunanya memikirkan ini nyata atau tidak. Ayo lakukan saja. Oh, aku Tamy,” ujar perempuan berambut merah jambu. Mata hitamnya melirik hourglass yang melekat sebagai jam tangan mereka.
“Tamy? Aku Arciel, sepertinya kita saling kenal,” respons perempuan bermata pelangi sebelum kembali mengamati sekitar. Sesekali tangannya bergerak seperti hendak melakukan sesuatu tetapi gagal.
“Aku Ash. Pantas saja tidak asing, aku pernah melihat tampilan MC kalian di jekitter,” lanjut Ash, si Topi Hitam tadi.
“Astaga, dunia sempit sekali, haha. Sialnya, aku menjadi Tamy yang ini, kalau jadi Barbara mungkin aku bisa menyembuhkan otak Jihyun.” Raut wajah Tamy lebih rileks saat tahu rekan-rekan penyelamatan adalah teman-temannya.
“Bisa dicoba. Tampaknya lebih menguntungkan jika aku menjadi Eri. Aku bisa memahami jalan pikiran Cheritz. Sepertinya kita harus memulai dari empat pintu itu,” duga Ash. Di sini kosong, berarti mereka harus memulai dari ruangan lain.
“Sama, Arciel sebelah punya senjata keren untuk melawan agensi. Kira-kira apa alasan kita dikirim dalam wujud ini?” Arciel mengetuk hourglass yang menjadi bandul gelang. Di tangan yang sama, terdapat arloji biasa.
“Entahlah, semoga aku tidak kena sial. Ngomong-ngomong, pintunya ada empat, kita hanya bertiga.”
Tamy memijit dahi, dia pusing karena MC yang dia perankan tidak disukai Dewi Fortuna. Semoga saja Fortuna tidak ada di sini. Dia tidak ingin kesialan mengikutinya dalam misi sepenting ini.
“Sepertinya satu pintu untuk pulang, atau tujuan lain,” lanjut Ash.
“Oh, aku baru sadar pasir hourglass mulai turun,” pekik Tamy, menunjukkan gelang hourglass di tangan kirinya.
“Aku sudah menghitung. Jika kecepatannya konstan, waktu kita sekitar satu setengah sampai dua jam. Sebentar, Ash, boleh lihat hourglass-mu?”
Ash membolehkan. Kemudian, Arciel beranjak mendekat ke masing-masing pintu. “Mungkin aku tahu pintu yang benar.”
“Wow, Arciel. OC-mu pengamat yang baik. Bagaimana pemilihan pintunya?” tanya Tamy.
“Hourglass kita memiliki tinggi dan lebar yang sedikit berbeda, tapi aku yakin volumenya sama. Lubang kunci pintu aneh, mungkin hourglass yang menjadi kuncinya. Tenang saja, aku sudah mencoba mengguncang hourglass, pasirnya tidak jatuh,” jelas Arciel.
Ash dan Tamy mendatangi Arciel. Mereka sepakat untuk mencoba pintu satu persatu. Ketemu.
“Pintu keempat yang belum bisa terbuka mungkin pintu pulang. Dan saat semua pasir jatuh, kita kembali ke tempat ini,” ungkap Ash.
“Apa rencana kalian? Aku mau menyadarkan Jihyun atau membawanya ke psikiater kalau mungkin,” ungkap Tamy.
“Tentu saja menolong Saeyoung. Sisanya kupikirkan setelah tahu pintu ini membawaku ke mana,” ujar Arciel.
“Jujur, aku belum tahu. Mungkin aku akan mencoba mengajak Rika berbicara, tapi hasilnya belum terjamin. Yang jelas, aku ingin bertemu dengannya,” ucap Ash, lalu ia spontan menjulurkan tangan kanan. “Semoga kita berhasil, teman-teman,” tukasnya.
Arciel ikut menjulurkan tangan untuk menumpuk punggung tangan Ash. “Semoga berjalan lancar.”
Tamy menaruh tangannya di atas tangan Arciel. “Sampai bertemu lagi di ruangan ini.”
Mereka bertiga bergerak ke pintu-pintu yang kuncinya sudah terbuka. Tangan kanan mereka gemetaran saat memegang kenop pintu. Seolah bermaksud menguatkan tekad, mereka mempererat pegangan di sana.
Pintu terbuka. Mereka kembali menjumpai cahaya putih keemasan. Mereka berjalan menembus cahaya itu.
Tamy membuka pintu yang mengarah ke apartemen. Dia langsung bertatapan dengan Jihyun yang sedang berbicara di telepon. Karena kaget, Tamy tersandung keset dan jatuh di depan Jihyun. Jihyun hanya bisa melihat Tamy samar-samar.
“Nanti kutelepon lagi ya, Rika,” ucap Jihyun. Ia berjalan ke arah Tamy yang sudah bangun dan panik sendiri.
“Nona, Anda siapa?” tanya Jihyun.
“Halo, aku Tamy.” Tamy melambaikan tangan sambil nyengir kuda.
Tamy bodoh, kenapa malah seperti ini, rutuk Tamy dalam hati.
“Oh. Apa yang Anda lakukan di tempat ini?” Meski sopan, Jihyun terdengar waspada. Nanti sore, Saeyoung akan dipindahkan kemari.
Sosok Biho langsung terbayang di benak Tamy. Tokoh yang tubuhnya dia pakai memang menyukai Biho setengah mati. Kelihatannya bukan alasan bagus, tapi tidak ada salahnya dicoba.
Jihyun 'kan matanya bermasalah, mungkin aku bisa sedikit mengelabui, pikir Tamy.
“Hiks aku bertengkar dengan Biho-oppa. Dia sudah sampai bawah apartemen. Izinkan aku sembunyi di sini sampai pacarku pulang.” Tamy mulai berdrama dan sedikit terisak.
Jihyun belum sepenuhnya percaya, tetapi mempersilakan Tamy duduk. Tamy masih berakting sedih dan sesekali sok menyumpahi Biho, padahal dia menyindir Rika.
“Biho kejam. Katanya cinta, tapi cuma bisa menyakiti. Katanya cinta, tapi membawaku ke hal-hal buruk, bahkan melindunginya yang kerap berbuat buruk. Hiks aku benci, benciii.”
Biho, maafkan aku, Baby. Kamu baik banget kok, aku cuma acting.
Tamy melirik Jihyun. Rahang Jihyun menegang, tapi belum ada reaksi lain.
Oh, masih kurang pedas ternyata.
“Kakak, mau menyimak ceritaku? Aku akan senang sekali kalau ada yang mau mendengar. Sebab aku sudah lelah menahan rasa sakit ini bertahun-tahun,” mohon Tamy.
Topik yang Tamy angkat berkesan bagi Jihyun. Pemuda berambut mint itu lantas merasa tidak ada salahnya sesekali berbincang normal dengan orang asing. Situasi sekarang benar-benar membuat dia tercekik.
Kalau sudah tuntas bercerita dan pacarnya pergi, dia pulang, 'kan? batin Jihyun retoris.
“Um, baiklah, Nona Tamy. Silakan bercerita.”
Tamy mengangguk puas. Dia bisa mengarang cerita sambil memikirkan cara menyadarkan atau menculik Jihyun. Di sisi lain, Jihyun agak menyesal mendengarkan cerita Tamy ... sebab sekitar dua pertiga bagian mirip dengan apa yang dia alami.
Jihyun menanggapi seadanya. Biasanya dia bisa berkata bijak pada orang lain, tetapi hari ini tidak seperti biasa. Tamy tidak tahu apa itu karena serangkaian peristiwa After Ending atau lagi-lagi perasaan Jihyun berkutat pada Rika, tetapi dia belum menyerah. Dia ingin menyadarkan Jihyun bahwa cinta bukan seperti yang diberikan Rika.
Arciel sampai di ruangan tempat Saeyoung disekap. Dia hampir menangis melihat Saeyoung diborgol ke kaki meja kayu, tatapan kosong, baju robek, kacamata jatuh dan pecah, serta badan luka-luka.
“Arciel, kenapa kamu datang? Pergilah selagi orang-orang agensi masih di ruangan sebelah,” lirih Saeyoung.
“Kamu mengenaliku?” Arciel mendekat.
“Aku tidak mengerti kenapa kau bisa sampai ke sini, tapi kumohon pulanglah. Kita sama-sama tahu akhir cerita ini.” Saeyoung mencoba tersenyum.
“Tidak mau.”
Arciel mengambil pisau daging di atas piring kotor—sepertinya sisa makan siang penjaga dari agensi dan mulai mengiris kaki meja seperti menggunakan gergaji. Seharusnya dia masih memiliki sedikit kekuatan elemen, tetapi dia gagal setiap mencoba.
“Sulit, aku rindu pedang atau dagger-ku,” gumam Arciel.
“Kenapa kamu tidak mengerti juga?! Aku tidak apa-apa,” bentak Saeyoung dalam suara rendah.
“Bohong. Kalau kamu tidak apa-apa pun, aku yang apa-apa!” Arciel balas membentak.
“Arciel, kamu ....” Saeyoung batal melanjutkan kata-katanya, Arciel masih fokus memotong kaki meja.
“Aku pasti menolongmu.” Arciel mengusap matanya yang basah, tetapi air mata malah jatuh deras.
“Sakit, Arciel ... mengetahui semua ini, terus mengulangi, terus mengingat. Terus mengulangi, terus mengalami, semua memenuhi otakku.” Saeyoung ikut menangis.
“Kali ini, kamu bisa memilih ending sendiri, Saeyoung.” Arciel tersenyum.
Arciel berhasil memotong kaki meja. Dia menangkap kayu bagian bawah sebelum jatuh, melepaskan kaitan ke borgol Saeyoung, dan memasang kaki meja lagi. Selama tidak tersenggol, kelihatannya tidak akan jatuh sendiri.
“Apa kamu bisa berdiri?” tanya Arciel.
“Terima kasih. Aku tidak yakin, tapi kuusahakan.”
Arciel berkeliling dan mengambil beberapa barang yang sekiranya bisa menjadi bukti. Sayang dia tidak menemukan makanan atau minuman. Saeyoung tengah mengumpulkan tenaga, tapi selain lelah fisik, pikirannya juga kacau karena exilir. Dia pun mengetik pesan kepada Saeran dan MC.
Kemudian, Arciel membantu Saeyoung berdiri. “Saeyoung, ayo kita pergi.”
Mereka berjalan perlahan ke pintu. Arciel belum bisa bernapas lega, sebab mereka masih berada di lingkungan agensi, Saeyoung terluka, dan dia sendiri lemah.
Ash memang belum siap bertemu Rika, tapi dia lebih kecewa karena saat membuka pintu tidak melihat perempuan berambut kuning tersebut. Dia mencari Rika keliling apartemen.
Tidak ada V di sini. Kehadiran kami seperti membuka dimensi-dimensi paralel baru, tapi kuharap progress kami saling terkait, pikir Ash.
Akhirnya Ash menemukan Rika duduk meringkuk di sudut kamar mandi. Ia belum bisa melihat ekspresi Rika, tapi aura Rika menyiratkan kepedihan.
“Pasti melelahkan terus dijadikan villainess dan hanya dimunculkan untuk hal buruk. Bahkan, di dunia 'ini' pun, villain lebih mudah diampuni daripada villainess.” Tanpa sadar Ash menggumam sendiri, volume suaranya cukup tinggi untuk menarik atensi Rika.
“Apa kamu malaikat? Atau dewa kematian?” tanya Rika, tatapannya sulit dibaca.
“Bukan. Aku malah kesal pada mereka.” Ash tertawa miris.
Rika bangun. Hawa kehidupan cukup drastis menghiasi wajahnya, atau topengnya?
“Aku tidak tahu kamu siapa, tapi setidaknya aku bisa menyajikan teh untuk tamuku.”
Rika berjalan melewati Ash, dan Ash membiarkannya. Perempuan berambut cokelat kemerahan ini berjalan ke sofa seperti tamu sungguhan. Ia tidak mengikuti Rika sebab perlu menyusun kata-kata serta merancang tahap langkah penyelamatan sebisanya. Ia tidak boleh 100% gagal.
“Silakan dinikmati,” ujar Rika sekembalinya dari dapur.
“Terima kasih.” Ash menyesap teh dengan gestur anggun.
“Kamu benar. Aku merasa dibenci. Aku pun tidak paham apa yang terjadi denganku, kenapa bisa seperti ini. Isi kepalaku jauh lebih berisik dari kelihatannya.” Rika memulai cerita.
“Kamu tahu, kadang aku merasa salah, kadang benar, kadang aku merasa bahwa aku tidak perlu merasakan. Aku menyayangi mereka. Aku ingin menolong. Aku menyakiti mereka. Aku ingin mereka bersamaku. Aku takut sendiri. Aku tidak percaya siapa-siapa.”
Cerita Rika terus mengalir ke segala arah, tetapi Ash mengerti maksudnya.
“Kita mirip, Rika. Tidak tahu apa-apa. Bingung harus bagaimana. Apa yang sebenarnya dicari. Apa yang selalu dimiliki. Kekasihku saja pernah mencoba membunuhku di setiap dimensi agar kami bisa bersama di dimensi baru. Terkadang, aku tidak terima.” Ash menggabungkan cerita'nya' dengan cerita MC 'Ash' dan Ukyou.
Kembali ke Arciel, dia dan Saeyoung berhenti tepat di depan pintu ... sebab ada kemungkinan orang-orang di sebelah akan mendengar suara pintu terbuka.
“Aku akan menge-hack sistemnya agar seolah-olah ada penyusup. Saat mereka teralihkan, kita bisa kabur,” putus Saeyoung.
Walau ingin bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” sekarang tidak ada gagasan lain. Saeyoung kembali duduk untuk meretas dengan ponselnya, Arciel memeriksa ruangan untuk mencari alat pertahanan diri. Hanya ada pisau daging tadi dan pemukul baseball.
Selain hal-hal abstrak yang tidak berlaku di dunia ini, RAD hanya mengajariku menari dan menyanyi. Jika bisa mengalihkan pun, Saeyoung tidak kuat kabur sendiri. Saeyoung tidak bicara apa-apa tentang Vanderwood, berarti dia belum memungkinkan untuk dijangkau, renung Arciel sembari menimang pemukul baseball yang kalau dilihat lebih dekat bernoda darah.
“Kami akan meminjamimu kartu-kartu berisi kekuatan kami untuk membantumu dance battle.” Suara Lucifer terngiang.
Arciel merogoh saku seragam RAD. Ada satu kartu, tapi dia tidak tahu bagaimana dan akan seperti apa kalau menggunakannya. Terlalu berisiko, Arciel menggeleng sebelum berlatih mengayunkan pemukul baseball.
Sesekali perempuan berambut putih ini melirik Saeyoung. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan atau sampaikan, tetapi Arciel sadar sekarang dia bukan MC.
Tidak apa-apa, Arc. Ini cukup.
“Hampir selesai, Arc. Ada kemungkinan beberapa dari mereka akan masuk ke ruangan ini untuk mengamankanku,” ucap Saeyoung.
“Ada berapa orang?”
“Jika tidak ada tambahan, total tujuh orang. Kalau Ayah atau Bos datang ada tambahan lagi, tapi tenang, mereka baru pergi sebelum makan siang,” papar Saeyoung.
Arciel menghela napas. “Ayo kita lakukan.”
Saeyoung mengangguk. Mereka bisa mendengar derap langkah para agen. Sebagian langkah itu berlari melewati mereka. Saeyoung mendapat pisau daging untuk pertahanan diri. Arciel maju ke depan pintu sambil membawa pemukul baseball. Adrenalinnya bekerja.
Pintu terbuka. Satu orang.
Arciel mengayunkan pemukul secepat dan sekeras mungkin. Leher adalah titik vital karena ada nadi karotis. Agen itu pingsan. Arciel memungut pistolnya lalu menyerahkan ke Saeyoung.
Dengan cepat Arciel memapah Saeyoung dan berjalan ke luar. Saeyoung belum kuat berlari.
Dua agen mendekat, Saeyoung melumpuhkan kaki mereka dengan tembakan. Sialnya, pistol ini tak berperedam. Suaranya membuat para agen mendatangi mereka. Arciel gagal merebut pistol. Mereka menghindar sebisanya, tetapi lengan Saeyoung dan lutut Arciel tertembak.
Agen semakin dekat. Arciel jatuh terduduk dan Saeyoung yang masih lemas turut jatuh. Sebagai peruntungan terakhir, Arciel mengambil kartu di saku.
Kumohon, ciptakan keajaiban, Leviathan, harap Arciel.
Kartu tersebut menghilang, berganti dengan Leviathan dalam wujud demon. Leviathan mengamati situasi sekilas.
“Arciel, ada apa ini? Siapa yang melukaimu? Grr,” geramnya, mengusap cipratan darah di wajah Arciel.
Tembakan melayang lagi. Leviathan melindungi mereka. Badannya kebal peluru manusia.
“Levi, bisakah kamu membantu kami keluar dari sini?” pinta Arciel.
“Jika memakai wujud itu, mungkin hanya beberapa detik.”
Arciel membantu menaikkan Saeyoung ke punggung Leviathan. Laki-laki berambut ungu itu menggendong Arciel, berubah ke wujud ular laut raksasa, lalu meletakkan Arciel ke lehernya—Saeyoung juga ada di sana.
Ketinggian Leviathan mampu merusakkan lantai dan atap bangunan apapun tempat mereka berada sekarang. Leviathan menjulurkan leher ke arah luar dan bawah. Bagian ekornya sudah mulai luruh menjadi cahaya warna-warni.
“Terima kasih, Levi.” Arciel menepuk kepala Leviathan. Peluruhan Leviathan sudah mencapai punggung.
“Sa-sampai jumpa di House of Lamentation. Kamu berhutang cerita padaku.”
Arciel dan Saeyoung melompat turun. Pendaratan mereka tidak mulus. Ketika Arciel mendongak ke arah Leviathan, demon itu sudah menghilang.
Arciel sejenak larut dalam nuansa emosional. Leviathan merupakan seseorang yang sangat penting baginya. Dia menggelengkan kepala untuk mengusir melankoli sebelum berdiri dengan sebelah kaki terpincang. Tanpa kata, Arciel dan Saeyoung saling memapah. Adrenalin memacu mereka hingga bisa berlari meski pincang.
Saeyoung menelepon Vanderwood, melaporkan keadaan dan mengabarkan tempat persembunyian yang hendak dituju.
Arciel beralih menatap hourglass. Waktunya tinggal sedikit.
Rika dan Ash berdua bertukar banyak cerita. Beradu argumentasi di sejumlah topik. Sebagian orang bisa berpikir mereka mencoba saling memanipulasi, padahal sesungguhnya ... mereka berharap bisa sedikit lebih mengerti.
“Oleh sebab itu, aku mau menyerah pada kegelapan ini. Aku takkan ditinggalkan sendiri,” timpal Rika sebelum tertawa gila padahal matanya kosong.
“Kenapa kegelapan membuatmu tak merasa sendiri?” tanya Ash.
“Karena kegelapan gaduh, dia menyuruhku melakukan ini dan itu. Dia menawarkan solusi yang sulit kutolak. Kepada apa lagi aku bisa berpegang? Tuhan?” ungkapnya.
“Kegelapan akan menelanmu, Rika.”
“Jika itu bisa membuat eksistensiku lebih berarti, aku tidak keberatan.” Suara Rika terdengar seperti membicarakan hal yang sangat jauh.
Ash terdiam. Dia tidak bisa memaksa Rika. Sebab setiap orang memiliki otoritas terhadap diri mereka sendiri. Dan, sebagian kehendak sukar digoyahkan.
Sekarang yang tersisa hanyalah aturan dari benturan ego individu. Kebebasan tidak boleh melukai orang lain.
“Tapi jangan menyeret orang lain dalam kegelapanmu, Rika. Mereka bisa menemanimu tanpa harus terjebak bersama di dalam sana. Kegelapan bukan pembenaran kita boleh menggelapkan orang lain,” bujuk Ash.
“AKU INGIN MEREKA JUGA MERASAKANNYA. AGAR MEREKA MENGERTI. KEGELAPAN INI BISA MENOLONG KITA SEMUA!” teriak Rika sembari mencengkeram kepalanya.
Ash mengusap lengan Rika untuk menenangkan. “Kumohon jangan menyakiti orang lain, Rika ... sebab rasa sakit mereka akan kembali pada dirimu.”
Rika tertawa lagi. Lebih lantang dan pilu dari sebelumnya. “Ash, kenapa semua yang ingin kulakukan hanya menyakiti diriku? Apa aku harus mengakhiri diriku sendiri?”
“Jangan berkata seperti itu, hei! Artinya, kamu akan sepenuhnya kalah. Jangan menyerah untuk berusaha hidup,” bentak Ash.
Orang-orang berkata, perilaku seseorang yang mentalnya terganggu tidak sepenuhnya diri mereka. Mereka bisa memaklumi karakter protagonis yang jadi jahat karena faktor itu. Tapi lain halnya, dengan antagonis yang sejak awal sudah dicitrakan kejam dan gila ... apalagi kalau antagonisnya adalah seorang perempuan, di dunia penuh laki-laki tampan yang butuh diselamatkan, batin Ash miris.
Sayangnya, belum ada akhir yang layak untuk Villainess. Dia seolah dianakemaskan, mungkin perusahaan merasa bersalah. Padahal, dia butuh pertolongan, pengakuan kesalahan, penebusan yang adil, dan pemulihan secara alamiah, lanjutnya.
“Rika, kurasa kali ini villainess bisa mengibarkan bendera perang terhadap kegelapannya. Meski mungkin dia tetap dipandang gelap atau ingin dikalahkan oleh yang lainnya.” Ash menuangkan teh ke cangkir Rika yang sudah kosong.
“Jika kulakukan, apa yang bisa kudapat?” tanya Rika nanar.
Bagi Rika, setiap hal indah seperti pasir di genggaman tangan. Ia tak yakin apa yang dimulai dengan harapan bisa bertahan hingga akhir gemilang. Ia takut semakin banyak hal yang akan hilang.
“Dirimu sendiri.” Ash berupaya menutupi keraguan di jawabannya.
“Diriku?” ulang Rika.
“Kamu bilang kegelapan takkan pergi, tapi dari penjelasanmu ... bukan kamu yang memiliki kegelapan, ia yang memilikimu. Tidakkah kamu ingin memiliki diri sendiri?” tanya Ash balik.
Apakah boleh? batin Rika. Alih-alih menyuarakannya, dia malah bertanya, “Ash, kenapa kamu peduli?”
Pertanyaan ini menghunjam Ash. “Aku tidak tahu. Mungkin, alasannya sama seperti kenapa kamu menolong para Believer, yah, walau caramu terlalu ekstrem.”
Manusia memang aneh, kan. Kenapa seseorang ingin menolong saat dirinya butuh ditolong? Bisakah seseorang yang baru kautemui menyayangimu? Seberapa lama dan dengan cara apa seseorang akhirnya dilupakan? Apakah semua kebaikan untuk memuaskan ego atau kasih sayang memang terlampau universal? Hah, kenapa manusia selalu bertanya-tanya?
Ash sendiri belum paham apa motifnya ingin menyelamatkan Rika. Namun, apapun itu, sekarang dia ada di sini. Walau tidak yakin bisa banyak menolong, paling tidak sekarang dia ada di sini.
Keheningan menggerakkan Ash untuk melirik hourglass. Waktunya semakin sempit. “Rika, tolong pikirkan dengan matang apa yang ingin kamu lakukan,” pesannya.
Apapun pilihan Rika, ke depannya tidak mudah. Komitmen bisa naik turun. Rasa lelah dan tidak dihargai. Dicurigai bahwa mustahil villainess bisa berubah. Godaan dari monster dalam kepala.
“Semua tentu perlu waktu. Namun jika tidak menyerah, seburuk apapun hari ini ... bukankah hari esok selalu ada?” lanjut Ash.
Saat Rika tidak banyak bicara begini, rasanya aku seperti ninja legendaris yang berbakat dalam berbicara, hahaha, batin Ash, masih bisa mentertawakan diri sendiri.
Cukup, Ash. Jangan terlalu banyak bicara, nanti tidak ada yang meresap di otaknya, batin Ash lagi.
Rika memegang cangkir erat-erat. Netranya terus memandangi permukaan teh seolah ingin melihat masa depan dari sana. Kabut hinggap di matanya, seakan-akan justru masa lalu yang terlihat ... memanggilnya dengan sumpah serapah serta kutukan.
Ia pernah mencoba melawan kegelapan hatinya dan berujung kalah. Alhasil, kegelapan kian luas menjajah hatinya. Sebagian luka mungkin bisa disembuhkan perlahan, tetapi bagi Rika ada hal-hal yang tidak bisa ditolong.
“Aku harus memulai dari mana?” lirih Rika.
“Dari apa yang terdekat dan memungkinkan. Jika rasa bersalah masih mencekik, tebus dengan keberanianmu. Aku percaya, Rika yang sejati adalah sosok kuat dan baik hati.” Ash tersenyum lembut.
Bagaikan roll film, kenangan kembali terputar. Kali ini bagian indah yang dulu ia ingkari karena menganggapnya semu. Jihyun dan RFA lain mengulurkan tangan padanya. Kemudian, kolega seperti tamu-tamu party turut muncul.
RFA pernah memberinya warna. Kebaikan yang bukan sebuah pura-pura. Meski Mint Eye lebih melekat di prinsipnya, tetapi ... di RFA, dia merasa diterima sebagaimana manusia. RFA memperlakukan dia jauh lebih baik dari yang layak ia terima.
Rika tidak ingin percaya, tapi jika boleh ... sekali lagi ... “Ash, aku menyayangi RFA.”
“Aku tahu 'kamu' belum sepenuhnya dikalahkan kegelapan, Rika.”
Ash bangkit dan memeluk Rika. Sang Villainess berambut kuning ini menangis dan meratap. “V, Jihyun, Jihyun ....” Rika memanggil. Suaranya bertambah serak ketika melanjutkan, “Ray, Ray, Saeran, Saeyoung, Jumin, Jaehee, Zen, Yoosung ....”
Jihyun ingin menanggapi sekenanya, tetapi aneh, cerita-cerita Tamy terasa familiar. Bertemu orang senasib membuatnya ikut bercerita. Lebih menguntungkan, Tamy orang asing. Besar kemungkinan, mereka takkan bertemu lagi.
“Cinta itu tidak menyiksa,” simpul Tamy.
“Lalu, apa yang saya rasakan? Apa yang saya kejar?” desak Jihyun.
“Obsesi, mungkin. Atau dendam. Aku bingung juga, hehe,” jawab Tamy. Sebenarnya dia ingin ceramah, tetapi takut terdengar mencurigakan.
Jihyun belum puas dengan jawaban Tamy, beruntung Biho menelepon di saat yang tepat. Tamy berjanji dalam hati akan top up untuk menjemput Biho di event selanjutnya. Bagian lain di perasaan Tamy melonjak bahagia karena ditelepon oleh pujaan hati server sebelah.
Obrolan mereka membuat Jihyun merasa aneh. Itu tidak seperti pasangan yang sedang bertengkar.
Atau apa mereka berpura-pura semua baik-baik saja padahal hubungan semakin beracun? batin Jihyun. Tanpa diundang, siluet Rika hadir ke benaknya.
Dia yakin dia mencintai Rika—atau setidaknya pernah. Atau sejak awal itu bukan cinta? Tapi dulu tidak begini. Lalu, sejak kapan mereka menjadi seperti ini? Bagaimana bisa? Adakah jalan kembali?
“Aku mau pinjam mitologi Ikarus. Seseorang yang awalnya bisa terbang, tetapi jatuh tragis karena ingin meraih matahari.” Jihyun menoleh pada Tamy yang masih berbicara pada Biho di telepon.
Ikarus? Seseorang yang bisa membuat sayapnya tetapi jatuh karena terbang terlalu tinggi? batin Jihyun, mengingat-ingat.
Otak Jihyun merangkai hipotesis baru. Mungkin, ia dan Rika sama-sama Ikarus. Merasa kurang, tetapi menambah dengan cara yang tidak tepat. Mengejar yang tak mungkin. Mengabaikan keresahan yang tampak tak penting.
.... Terlalu fokus pada ego masing-masing, hingga saling meracuni atas nama hal yang mereka sebut sebagai “cinta”. Saat tersadar, mereka sudah kecanduan racun tersebut. Mereka jatuh. Cepat sekali karena sebelumnya terbang terlalu tinggi. Sakit.
Namun, mereka enggan saling melepaskan. Karena mereka sama-sama jatuh. Karena mereka sama-sama masih dibutakan matahari. Mereka yang remuk redam tersebut masih berdelusi sembari saling meracuni ... hari demi hari.
“V? Apa terjadi sesuatu?” Tamy mengibaskan tangan di depan wajah Jihyun.
Dia cemas melihat Jihyun beraura menyeramkan, tetapi sedih di saat yang sama. Jihyun terkaget dan memundurkan kepala. Bagaimana bisa orang asing ini memicu banyak gejolak di dalamnya.
“Tamy, siapa kamu sebenarnya?” tanya Jihyun telak.
Aku adalah orang yang rajin menggambarmu saat perusahaan kerap menyisihkanmu. Aku adalah orang yang merasa rileks setiap mendengar suaramu. Aku adalah orang yang ikut sedih melihat nasibmu. Aku adalah orang yang kerap mengkhayal akhir bahagia untukmu—dan kita. Aku adalah orang yang jatuh cinta padamu, yang terobsesi dan terluka akibat orang lain. Aku adalah orang yang ingin menyelamatkanmu, walau cuma sekali. Batin Tamy berteriak penuh emosi.
“Maksudmu? Tentu saja aku manusia,” elak Tamy.
“Saya merasa kita saling mengenal. Aneh, padahal kita baru bertemu.”
“Yah, mungkin di kehidupan lain.” Tamy minum sedikit untuk mengurangi rasa gugup.
Jihyun menghela napas. Dilihat dari segi manapun, Tamy adalah orang asing. Kenapa dia menjadi emosional begini?
“Kalau dunia lain ada, mungkin di sana saya tetap tak memperoleh cinta yang sesungguhnya.”
Tawa miris Jihyun membuat Tamy tak sadar meraih tangannya. “V, bisa jadi di luar sana, di dunia lain ... kamu bukan sosok nyata. Dan penduduk asli dunia tersebut tetap mencintaimu. Pasti ada dunia di mana kamu bisa bahagia. Carilah kebahagiaanmu.”
“Kenapa ucapanmu terdengar meyakinkan? Saya takut berharap bisa bahagia di dunia yang ini.”
“E-eh, maaf.” Tamy melepaskan tangan Jihyun setelah sadar apa yang dia lakukan. Lagi-lagi ia melihat wajah sedih Jihyun.
Apa perjuanganku di sini sama sekali tak menghasilkan sesuatu? batin Tamy suram.
Ia paham tak mungkin langsung menyembuhkan Jihyun di waktu setipis ini. Namun, paling tidak dia ingin menunjukkan arah, atau cahaya, atau harapan, atau apa saja agar Jihyun terbebas dari iblis yang merasuki dirinya di After Ending.
“Kata siapa kamu tidak bisa bahagia di sini? Kamu bisa, V. Kamu layak untuk bahagia. Kamu berhak memulai hidup baru. Kamu ... meski ini pertemuan pertama kita, aku yakin, kamu bukan orang jahat,” seru Tamy.
Jihyun mematung. Kemudian, sesaat ada cahaya di mata dan semburat tipis di pipi. Tamy terpukau pada apa yang ia lihat. Jihyun pun melanjutkan,
“Terima kasih, Tamy, mungkin alasan saya menjadi seperti ini adalah saya tidak menemukan seseorang sepertimu.”
Tamy ingin menangis meski tahu kalimat Jihyun bukan ungkapan cinta. Itu lebih seperti rasa syukur, pengandaian, serta semoga saja pencerahan. Tamy ingin memeluk Jihyun, tetapi dia sadar di sini bukan MC. Dia tidak boleh melampaui batas.
“Kamu pasti bisa menemukannya, V. Semangat!” Tamy tersenyum lembut. Ia melirik hourglass. Pasir yang belum jatuh hanya tersisa sedikit.
Sudah hampir berakhir. Kumohon, semoga kedatanganku bisa membantu Jihyun, batin Tamy pasrah. Ia tidak memiliki rencana lain untuk menolong Jihyun. Ia pun tidak bisa mengungkapkan semua hal yang dirasakan karena keterbatasan sebagai figuran. Untuk terakhir kali, Tamy ingin menatap Jihyun lekat.
“Jihyun. Nama saya Jihyun.” Jihyun tersenyum padanya.
Di tiga tempat berbeda, para manusia dari dunia lain, menghabiskan sisa waktu. Mereka paham, seharusnya mereka pulang sebelum dipulangkan paksa, supaya tidak menimbulkan keanehan. Akan tetapi, mereka ingin egois; menunda perpisahan selama mungkin.
Akhirnya, mereka bertiga mendengar dentang lonceng di kepala, seperti pertanda sudah saatnya pulang.
“Aku ingin menyelamatkanmu di semua rute.” Ash mengusap punggung Rika.
“Aku ingin membahagiakanmu di semua rute.” Tamy melambai ke arah Jihyun.
“Aku selalu menyayangimu di semua rute.” Arciel tersenyum pada Saeyoung.
Bukan, tidak hanya “di semua rute”. Lebih dari itu, di semua persona, atau malah di semua 'dunia'. Mereka membuktikan bahwa kasih sayang bisa melampaui segala skenario.
Tepat saat seluruh pasir hourglass terjatuh, sosok mereka memudar mirip pasir tertiup angin.
Mereka bertiga berteleportasi ke ruangan di awal. Pintu keempat terbuka, menyedot mereka masuk sebelum sempat berkata-kata.
“Akhirnya maintenance selesai. Wah, ada ending kesebelas. Katanya hanya bisa dibuka hari ini.”
MC berniat memainkannya, tetapi tidak muncul opsi. Lebih mirip membaca novel visual. Jihyun putus dengan Rika setelah ditegur penghuni kamar sebelah. Saeyoung ditolong kabur oleh peri dan naga. Rika berbincang dengan teman khayalan lalu memutuskan untuk melanjutkan terapi.
Saeran bisa diselamatkan. Semua yang bersalah diadili sebagaimana mestinya. Ada momen kebersamaan RFA, yang meski emosional tetapi berakhir hangat.
“Figuran-figuran ini menyenangkan juga,” puji MC.
—END