leviaphile

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Mystic Messenger (tapi sedikit crossover dengan Obey Me, Wannabe Challenge, dan Amnesia) pairing: sebenernya susah menyebut pairing tapi nikmati saja, mostly platonis and one-sided warning: PANJANG! mungkin OOC, beberapa hal tidak sesuai cerita asli, agak utopis, dan sok idealis. karena ini memang berawal dari kekurangpuasan kami terhadap Saeran's After Ending.

note: Ini pernah kuunggah dalam bentuk ss-an, dan isinya tidak akan banyak berubah.


“Andai saja aku bisa masuk ke dalam game untuk membantu menyelamatkan mereka. Tidak menjadi MC pun tidak apa-apa.”


Membahagiakan semua orang memang sulit sekali, terutama jika mereka bukan tokoh utama dalam sebuah kisah. Sebagian dari jutaan pengunduh game tidak berhenti memaki, menangis, bahkan menunggu kebahagiaan karakter kesayangan mereka. Ada yang puas dengan ending, dan ada yang merasa kurang. Keduanya wajar.

“Berakhir semudah ini? Perlakuan yang diterima amat jahat, kenapa mereka terlalu baik?!”

Arciel mengacak rambutnya gemas, Good Ending memang sangat indah tapi terasa kurang adil. Terutama saat dia teringat Saeyoung disiksa.

“Kenapa Jihyun cuma bahagia dan waras di rute sendiri? Itu saja susah sekali. Kenapa dia seperti karakter tiri?!” isak Tamy, merenungkan percakapan di telepon dengan Jihyun alias V—dan suara Rika.

“Sial, kupikir di Final Ending Rika menunjukkan perkembangan. Kenapa lagi-lagi begini? Aku kesal padanya, tapi ... tapi ....”

Ash kehabisan kata, melihat salah satu karakter kesayangan menyakiti karakter kesayangan yang lain terasa menyesakkan. Dia hanya bisa membanting ponsel ke kasur.

Di tiga lokasi berbeda, mereka membatin hal yang sama: “Andai saja aku bisa masuk ke game untuk membantu menyelamatkan mereka. Tidak menjadi MC pun tidak apa-apa.”

Layar ponsel mereka tiba-tiba bercahaya terang, lalu hourglass muncul di udara secara ghaib. Entah dari mana, tetapi suara mistis terdengar di kepala mereka. “Kalau begitu, lakukanlah sebelum semua pasir terjatuh.”

Karena syok, mereka bertiga hanya bisa melihat hourglass terbalik sendiri. Cahaya putih keemasan memenuhi kamar.


Ketika cahaya itu menghilang, mereka berpindah ke ruangan asing. Lantai, dinding, dan langit-langit seluruhnya putih. Mereka duduk di kursi putih yang mengelilingi meja berbentuk bunga teratai. Ada empat pintu emas.

Mereka bertiga saling mengamati. Orang-orang yang terdampar bersama terlihat asing tetapi anehnya juga tidak asing.

“Tampaknya kita senasib. Mari menyusun strategi bersama.” Perempuan bertopi hitam buka suara pertama kali, tetapi tatapan matanya seolah menerawang. Ingatan dan perasaannya campur aduk dengan tokoh yang wujudnya ia pinjam. Tokoh yang meninggal berulang-ulang.

“Benar, waktu kita terbatas. Tidak ada gunanya memikirkan ini nyata atau tidak. Ayo lakukan saja. Oh, aku Tamy,” ujar perempuan berambut merah jambu. Mata hitamnya melirik hourglass yang melekat sebagai jam tangan mereka.

“Tamy? Aku Arciel, sepertinya kita saling kenal,” respons perempuan bermata pelangi sebelum kembali mengamati sekitar. Sesekali tangannya bergerak seperti hendak melakukan sesuatu tetapi gagal.

“Aku Ash. Pantas saja tidak asing, aku pernah melihat tampilan MC kalian di jekitter,” lanjut Ash, si Topi Hitam tadi.

“Astaga, dunia sempit sekali, haha. Sialnya, aku menjadi Tamy yang ini, kalau jadi Barbara mungkin aku bisa menyembuhkan otak Jihyun.” Raut wajah Tamy lebih rileks saat tahu rekan-rekan penyelamatan adalah teman-temannya.

“Bisa dicoba. Tampaknya lebih menguntungkan jika aku menjadi Eri. Aku bisa memahami jalan pikiran Cheritz. Sepertinya kita harus memulai dari empat pintu itu,” duga Ash. Di sini kosong, berarti mereka harus memulai dari ruangan lain.

“Sama, Arciel sebelah punya senjata keren untuk melawan agensi. Kira-kira apa alasan kita dikirim dalam wujud ini?” Arciel mengetuk hourglass yang menjadi bandul gelang. Di tangan yang sama, terdapat arloji biasa.

“Entahlah, semoga aku tidak kena sial. Ngomong-ngomong, pintunya ada empat, kita hanya bertiga.”

Tamy memijit dahi, dia pusing karena MC yang dia perankan tidak disukai Dewi Fortuna. Semoga saja Fortuna tidak ada di sini. Dia tidak ingin kesialan mengikutinya dalam misi sepenting ini.

“Sepertinya satu pintu untuk pulang, atau tujuan lain,” lanjut Ash.

“Oh, aku baru sadar pasir hourglass mulai turun,” pekik Tamy, menunjukkan gelang hourglass di tangan kirinya.

“Aku sudah menghitung. Jika kecepatannya konstan, waktu kita sekitar satu setengah sampai dua jam. Sebentar, Ash, boleh lihat hourglass-mu?”

Ash membolehkan. Kemudian, Arciel beranjak mendekat ke masing-masing pintu. “Mungkin aku tahu pintu yang benar.”

“Wow, Arciel. OC-mu pengamat yang baik. Bagaimana pemilihan pintunya?” tanya Tamy.

“Hourglass kita memiliki tinggi dan lebar yang sedikit berbeda, tapi aku yakin volumenya sama. Lubang kunci pintu aneh, mungkin hourglass yang menjadi kuncinya. Tenang saja, aku sudah mencoba mengguncang hourglass, pasirnya tidak jatuh,” jelas Arciel.

Ash dan Tamy mendatangi Arciel. Mereka sepakat untuk mencoba pintu satu persatu. Ketemu.

“Pintu keempat yang belum bisa terbuka mungkin pintu pulang. Dan saat semua pasir jatuh, kita kembali ke tempat ini,” ungkap Ash.

“Apa rencana kalian? Aku mau menyadarkan Jihyun atau membawanya ke psikiater kalau mungkin,” ungkap Tamy.

“Tentu saja menolong Saeyoung. Sisanya kupikirkan setelah tahu pintu ini membawaku ke mana,” ujar Arciel.

“Jujur, aku belum tahu. Mungkin aku akan mencoba mengajak Rika berbicara, tapi hasilnya belum terjamin. Yang jelas, aku ingin bertemu dengannya,” ucap Ash, lalu ia spontan menjulurkan tangan kanan. “Semoga kita berhasil, teman-teman,” tukasnya.

Arciel ikut menjulurkan tangan untuk menumpuk punggung tangan Ash. “Semoga berjalan lancar.”

Tamy menaruh tangannya di atas tangan Arciel. “Sampai bertemu lagi di ruangan ini.”

Mereka bertiga bergerak ke pintu-pintu yang kuncinya sudah terbuka. Tangan kanan mereka gemetaran saat memegang kenop pintu. Seolah bermaksud menguatkan tekad, mereka mempererat pegangan di sana.

Pintu terbuka. Mereka kembali menjumpai cahaya putih keemasan. Mereka berjalan menembus cahaya itu.


Tamy membuka pintu yang mengarah ke apartemen. Dia langsung bertatapan dengan Jihyun yang sedang berbicara di telepon. Karena kaget, Tamy tersandung keset dan jatuh di depan Jihyun. Jihyun hanya bisa melihat Tamy samar-samar.

“Nanti kutelepon lagi ya, Rika,” ucap Jihyun. Ia berjalan ke arah Tamy yang sudah bangun dan panik sendiri.

“Nona, Anda siapa?” tanya Jihyun.

“Halo, aku Tamy.” Tamy melambaikan tangan sambil nyengir kuda.

Tamy bodoh, kenapa malah seperti ini, rutuk Tamy dalam hati.

“Oh. Apa yang Anda lakukan di tempat ini?” Meski sopan, Jihyun terdengar waspada. Nanti sore, Saeyoung akan dipindahkan kemari.

Sosok Biho langsung terbayang di benak Tamy. Tokoh yang tubuhnya dia pakai memang menyukai Biho setengah mati. Kelihatannya bukan alasan bagus, tapi tidak ada salahnya dicoba.

Jihyun 'kan matanya bermasalah, mungkin aku bisa sedikit mengelabui, pikir Tamy.

“Hiks aku bertengkar dengan Biho-oppa. Dia sudah sampai bawah apartemen. Izinkan aku sembunyi di sini sampai pacarku pulang.” Tamy mulai berdrama dan sedikit terisak.

Jihyun belum sepenuhnya percaya, tetapi mempersilakan Tamy duduk. Tamy masih berakting sedih dan sesekali sok menyumpahi Biho, padahal dia menyindir Rika.

“Biho kejam. Katanya cinta, tapi cuma bisa menyakiti. Katanya cinta, tapi membawaku ke hal-hal buruk, bahkan melindunginya yang kerap berbuat buruk. Hiks aku benci, benciii.”

Biho, maafkan aku, Baby. Kamu baik banget kok, aku cuma acting.

Tamy melirik Jihyun. Rahang Jihyun menegang, tapi belum ada reaksi lain.

Oh, masih kurang pedas ternyata.

“Kakak, mau menyimak ceritaku? Aku akan senang sekali kalau ada yang mau mendengar. Sebab aku sudah lelah menahan rasa sakit ini bertahun-tahun,” mohon Tamy.

Topik yang Tamy angkat berkesan bagi Jihyun. Pemuda berambut mint itu lantas merasa tidak ada salahnya sesekali berbincang normal dengan orang asing. Situasi sekarang benar-benar membuat dia tercekik.

Kalau sudah tuntas bercerita dan pacarnya pergi, dia pulang, 'kan? batin Jihyun retoris.

“Um, baiklah, Nona Tamy. Silakan bercerita.”

Tamy mengangguk puas. Dia bisa mengarang cerita sambil memikirkan cara menyadarkan atau menculik Jihyun. Di sisi lain, Jihyun agak menyesal mendengarkan cerita Tamy ... sebab sekitar dua pertiga bagian mirip dengan apa yang dia alami.

Jihyun menanggapi seadanya. Biasanya dia bisa berkata bijak pada orang lain, tetapi hari ini tidak seperti biasa. Tamy tidak tahu apa itu karena serangkaian peristiwa After Ending atau lagi-lagi perasaan Jihyun berkutat pada Rika, tetapi dia belum menyerah. Dia ingin menyadarkan Jihyun bahwa cinta bukan seperti yang diberikan Rika.


Arciel sampai di ruangan tempat Saeyoung disekap. Dia hampir menangis melihat Saeyoung diborgol ke kaki meja kayu, tatapan kosong, baju robek, kacamata jatuh dan pecah, serta badan luka-luka.

“Arciel, kenapa kamu datang? Pergilah selagi orang-orang agensi masih di ruangan sebelah,” lirih Saeyoung.

“Kamu mengenaliku?” Arciel mendekat.

“Aku tidak mengerti kenapa kau bisa sampai ke sini, tapi kumohon pulanglah. Kita sama-sama tahu akhir cerita ini.” Saeyoung mencoba tersenyum.

“Tidak mau.”

Arciel mengambil pisau daging di atas piring kotor—sepertinya sisa makan siang penjaga dari agensi dan mulai mengiris kaki meja seperti menggunakan gergaji. Seharusnya dia masih memiliki sedikit kekuatan elemen, tetapi dia gagal setiap mencoba.

“Sulit, aku rindu pedang atau dagger-ku,” gumam Arciel.

“Kenapa kamu tidak mengerti juga?! Aku tidak apa-apa,” bentak Saeyoung dalam suara rendah.

“Bohong. Kalau kamu tidak apa-apa pun, aku yang apa-apa!” Arciel balas membentak.

“Arciel, kamu ....” Saeyoung batal melanjutkan kata-katanya, Arciel masih fokus memotong kaki meja.

“Aku pasti menolongmu.” Arciel mengusap matanya yang basah, tetapi air mata malah jatuh deras.

“Sakit, Arciel ... mengetahui semua ini, terus mengulangi, terus mengingat. Terus mengulangi, terus mengalami, semua memenuhi otakku.” Saeyoung ikut menangis.

“Kali ini, kamu bisa memilih ending sendiri, Saeyoung.” Arciel tersenyum.

Arciel berhasil memotong kaki meja. Dia menangkap kayu bagian bawah sebelum jatuh, melepaskan kaitan ke borgol Saeyoung, dan memasang kaki meja lagi. Selama tidak tersenggol, kelihatannya tidak akan jatuh sendiri.

“Apa kamu bisa berdiri?” tanya Arciel.

“Terima kasih. Aku tidak yakin, tapi kuusahakan.”

Arciel berkeliling dan mengambil beberapa barang yang sekiranya bisa menjadi bukti. Sayang dia tidak menemukan makanan atau minuman. Saeyoung tengah mengumpulkan tenaga, tapi selain lelah fisik, pikirannya juga kacau karena exilir. Dia pun mengetik pesan kepada Saeran dan MC.

Kemudian, Arciel membantu Saeyoung berdiri. “Saeyoung, ayo kita pergi.”

Mereka berjalan perlahan ke pintu. Arciel belum bisa bernapas lega, sebab mereka masih berada di lingkungan agensi, Saeyoung terluka, dan dia sendiri lemah.


Ash memang belum siap bertemu Rika, tapi dia lebih kecewa karena saat membuka pintu tidak melihat perempuan berambut kuning tersebut. Dia mencari Rika keliling apartemen.

Tidak ada V di sini. Kehadiran kami seperti membuka dimensi-dimensi paralel baru, tapi kuharap progress kami saling terkait, pikir Ash.

Akhirnya Ash menemukan Rika duduk meringkuk di sudut kamar mandi. Ia belum bisa melihat ekspresi Rika, tapi aura Rika menyiratkan kepedihan.

“Pasti melelahkan terus dijadikan villainess dan hanya dimunculkan untuk hal buruk. Bahkan, di dunia 'ini' pun, villain lebih mudah diampuni daripada villainess.” Tanpa sadar Ash menggumam sendiri, volume suaranya cukup tinggi untuk menarik atensi Rika.

“Apa kamu malaikat? Atau dewa kematian?” tanya Rika, tatapannya sulit dibaca.

“Bukan. Aku malah kesal pada mereka.” Ash tertawa miris.

Rika bangun. Hawa kehidupan cukup drastis menghiasi wajahnya, atau topengnya?

“Aku tidak tahu kamu siapa, tapi setidaknya aku bisa menyajikan teh untuk tamuku.”

Rika berjalan melewati Ash, dan Ash membiarkannya. Perempuan berambut cokelat kemerahan ini berjalan ke sofa seperti tamu sungguhan. Ia tidak mengikuti Rika sebab perlu menyusun kata-kata serta merancang tahap langkah penyelamatan sebisanya. Ia tidak boleh 100% gagal.

“Silakan dinikmati,” ujar Rika sekembalinya dari dapur.

“Terima kasih.” Ash menyesap teh dengan gestur anggun.

“Kamu benar. Aku merasa dibenci. Aku pun tidak paham apa yang terjadi denganku, kenapa bisa seperti ini. Isi kepalaku jauh lebih berisik dari kelihatannya.” Rika memulai cerita.

“Kamu tahu, kadang aku merasa salah, kadang benar, kadang aku merasa bahwa aku tidak perlu merasakan. Aku menyayangi mereka. Aku ingin menolong. Aku menyakiti mereka. Aku ingin mereka bersamaku. Aku takut sendiri. Aku tidak percaya siapa-siapa.”

Cerita Rika terus mengalir ke segala arah, tetapi Ash mengerti maksudnya.

“Kita mirip, Rika. Tidak tahu apa-apa. Bingung harus bagaimana. Apa yang sebenarnya dicari. Apa yang selalu dimiliki. Kekasihku saja pernah mencoba membunuhku di setiap dimensi agar kami bisa bersama di dimensi baru. Terkadang, aku tidak terima.” Ash menggabungkan cerita'nya' dengan cerita MC 'Ash' dan Ukyou.


Kembali ke Arciel, dia dan Saeyoung berhenti tepat di depan pintu ... sebab ada kemungkinan orang-orang di sebelah akan mendengar suara pintu terbuka.

“Aku akan menge-hack sistemnya agar seolah-olah ada penyusup. Saat mereka teralihkan, kita bisa kabur,” putus Saeyoung.

Walau ingin bertanya, “Apa kau baik-baik saja?” sekarang tidak ada gagasan lain. Saeyoung kembali duduk untuk meretas dengan ponselnya, Arciel memeriksa ruangan untuk mencari alat pertahanan diri. Hanya ada pisau daging tadi dan pemukul baseball.

Selain hal-hal abstrak yang tidak berlaku di dunia ini, RAD hanya mengajariku menari dan menyanyi. Jika bisa mengalihkan pun, Saeyoung tidak kuat kabur sendiri. Saeyoung tidak bicara apa-apa tentang Vanderwood, berarti dia belum memungkinkan untuk dijangkau, renung Arciel sembari menimang pemukul baseball yang kalau dilihat lebih dekat bernoda darah.

“Kami akan meminjamimu kartu-kartu berisi kekuatan kami untuk membantumu dance battle.” Suara Lucifer terngiang.

Arciel merogoh saku seragam RAD. Ada satu kartu, tapi dia tidak tahu bagaimana dan akan seperti apa kalau menggunakannya. Terlalu berisiko, Arciel menggeleng sebelum berlatih mengayunkan pemukul baseball.

Sesekali perempuan berambut putih ini melirik Saeyoung. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan atau sampaikan, tetapi Arciel sadar sekarang dia bukan MC.

Tidak apa-apa, Arc. Ini cukup.

“Hampir selesai, Arc. Ada kemungkinan beberapa dari mereka akan masuk ke ruangan ini untuk mengamankanku,” ucap Saeyoung.

“Ada berapa orang?”

“Jika tidak ada tambahan, total tujuh orang. Kalau Ayah atau Bos datang ada tambahan lagi, tapi tenang, mereka baru pergi sebelum makan siang,” papar Saeyoung.

Arciel menghela napas. “Ayo kita lakukan.”

Saeyoung mengangguk. Mereka bisa mendengar derap langkah para agen. Sebagian langkah itu berlari melewati mereka. Saeyoung mendapat pisau daging untuk pertahanan diri. Arciel maju ke depan pintu sambil membawa pemukul baseball. Adrenalinnya bekerja.

Pintu terbuka. Satu orang.

Arciel mengayunkan pemukul secepat dan sekeras mungkin. Leher adalah titik vital karena ada nadi karotis. Agen itu pingsan. Arciel memungut pistolnya lalu menyerahkan ke Saeyoung.

Dengan cepat Arciel memapah Saeyoung dan berjalan ke luar. Saeyoung belum kuat berlari.

Dua agen mendekat, Saeyoung melumpuhkan kaki mereka dengan tembakan. Sialnya, pistol ini tak berperedam. Suaranya membuat para agen mendatangi mereka. Arciel gagal merebut pistol. Mereka menghindar sebisanya, tetapi lengan Saeyoung dan lutut Arciel tertembak.

Agen semakin dekat. Arciel jatuh terduduk dan Saeyoung yang masih lemas turut jatuh. Sebagai peruntungan terakhir, Arciel mengambil kartu di saku.

Kumohon, ciptakan keajaiban, Leviathan, harap Arciel.

Kartu tersebut menghilang, berganti dengan Leviathan dalam wujud demon. Leviathan mengamati situasi sekilas.

“Arciel, ada apa ini? Siapa yang melukaimu? Grr,” geramnya, mengusap cipratan darah di wajah Arciel.

Tembakan melayang lagi. Leviathan melindungi mereka. Badannya kebal peluru manusia.

“Levi, bisakah kamu membantu kami keluar dari sini?” pinta Arciel.

“Jika memakai wujud itu, mungkin hanya beberapa detik.”

Arciel membantu menaikkan Saeyoung ke punggung Leviathan. Laki-laki berambut ungu itu menggendong Arciel, berubah ke wujud ular laut raksasa, lalu meletakkan Arciel ke lehernya—Saeyoung juga ada di sana.

Ketinggian Leviathan mampu merusakkan lantai dan atap bangunan apapun tempat mereka berada sekarang. Leviathan menjulurkan leher ke arah luar dan bawah. Bagian ekornya sudah mulai luruh menjadi cahaya warna-warni.

“Terima kasih, Levi.” Arciel menepuk kepala Leviathan. Peluruhan Leviathan sudah mencapai punggung.

“Sa-sampai jumpa di House of Lamentation. Kamu berhutang cerita padaku.”

Arciel dan Saeyoung melompat turun. Pendaratan mereka tidak mulus. Ketika Arciel mendongak ke arah Leviathan, demon itu sudah menghilang.

Arciel sejenak larut dalam nuansa emosional. Leviathan merupakan seseorang yang sangat penting baginya. Dia menggelengkan kepala untuk mengusir melankoli sebelum berdiri dengan sebelah kaki terpincang. Tanpa kata, Arciel dan Saeyoung saling memapah. Adrenalin memacu mereka hingga bisa berlari meski pincang.

Saeyoung menelepon Vanderwood, melaporkan keadaan dan mengabarkan tempat persembunyian yang hendak dituju.

Arciel beralih menatap hourglass. Waktunya tinggal sedikit.


Rika dan Ash berdua bertukar banyak cerita. Beradu argumentasi di sejumlah topik. Sebagian orang bisa berpikir mereka mencoba saling memanipulasi, padahal sesungguhnya ... mereka berharap bisa sedikit lebih mengerti.

“Oleh sebab itu, aku mau menyerah pada kegelapan ini. Aku takkan ditinggalkan sendiri,” timpal Rika sebelum tertawa gila padahal matanya kosong.

“Kenapa kegelapan membuatmu tak merasa sendiri?” tanya Ash.

“Karena kegelapan gaduh, dia menyuruhku melakukan ini dan itu. Dia menawarkan solusi yang sulit kutolak. Kepada apa lagi aku bisa berpegang? Tuhan?” ungkapnya.

“Kegelapan akan menelanmu, Rika.”

“Jika itu bisa membuat eksistensiku lebih berarti, aku tidak keberatan.” Suara Rika terdengar seperti membicarakan hal yang sangat jauh.

Ash terdiam. Dia tidak bisa memaksa Rika. Sebab setiap orang memiliki otoritas terhadap diri mereka sendiri. Dan, sebagian kehendak sukar digoyahkan.

Sekarang yang tersisa hanyalah aturan dari benturan ego individu. Kebebasan tidak boleh melukai orang lain.

“Tapi jangan menyeret orang lain dalam kegelapanmu, Rika. Mereka bisa menemanimu tanpa harus terjebak bersama di dalam sana. Kegelapan bukan pembenaran kita boleh menggelapkan orang lain,” bujuk Ash.

“AKU INGIN MEREKA JUGA MERASAKANNYA. AGAR MEREKA MENGERTI. KEGELAPAN INI BISA MENOLONG KITA SEMUA!” teriak Rika sembari mencengkeram kepalanya.

Ash mengusap lengan Rika untuk menenangkan. “Kumohon jangan menyakiti orang lain, Rika ... sebab rasa sakit mereka akan kembali pada dirimu.”

Rika tertawa lagi. Lebih lantang dan pilu dari sebelumnya. “Ash, kenapa semua yang ingin kulakukan hanya menyakiti diriku? Apa aku harus mengakhiri diriku sendiri?”

“Jangan berkata seperti itu, hei! Artinya, kamu akan sepenuhnya kalah. Jangan menyerah untuk berusaha hidup,” bentak Ash.

Orang-orang berkata, perilaku seseorang yang mentalnya terganggu tidak sepenuhnya diri mereka. Mereka bisa memaklumi karakter protagonis yang jadi jahat karena faktor itu. Tapi lain halnya, dengan antagonis yang sejak awal sudah dicitrakan kejam dan gila ... apalagi kalau antagonisnya adalah seorang perempuan, di dunia penuh laki-laki tampan yang butuh diselamatkan, batin Ash miris.

Sayangnya, belum ada akhir yang layak untuk Villainess. Dia seolah dianakemaskan, mungkin perusahaan merasa bersalah. Padahal, dia butuh pertolongan, pengakuan kesalahan, penebusan yang adil, dan pemulihan secara alamiah, lanjutnya.

“Rika, kurasa kali ini villainess bisa mengibarkan bendera perang terhadap kegelapannya. Meski mungkin dia tetap dipandang gelap atau ingin dikalahkan oleh yang lainnya.” Ash menuangkan teh ke cangkir Rika yang sudah kosong.

“Jika kulakukan, apa yang bisa kudapat?” tanya Rika nanar.

Bagi Rika, setiap hal indah seperti pasir di genggaman tangan. Ia tak yakin apa yang dimulai dengan harapan bisa bertahan hingga akhir gemilang. Ia takut semakin banyak hal yang akan hilang.

“Dirimu sendiri.” Ash berupaya menutupi keraguan di jawabannya.

“Diriku?” ulang Rika.

“Kamu bilang kegelapan takkan pergi, tapi dari penjelasanmu ... bukan kamu yang memiliki kegelapan, ia yang memilikimu. Tidakkah kamu ingin memiliki diri sendiri?” tanya Ash balik.

Apakah boleh? batin Rika. Alih-alih menyuarakannya, dia malah bertanya, “Ash, kenapa kamu peduli?”

Pertanyaan ini menghunjam Ash. “Aku tidak tahu. Mungkin, alasannya sama seperti kenapa kamu menolong para Believer, yah, walau caramu terlalu ekstrem.”

Manusia memang aneh, kan. Kenapa seseorang ingin menolong saat dirinya butuh ditolong? Bisakah seseorang yang baru kautemui menyayangimu? Seberapa lama dan dengan cara apa seseorang akhirnya dilupakan? Apakah semua kebaikan untuk memuaskan ego atau kasih sayang memang terlampau universal? Hah, kenapa manusia selalu bertanya-tanya?

Ash sendiri belum paham apa motifnya ingin menyelamatkan Rika. Namun, apapun itu, sekarang dia ada di sini. Walau tidak yakin bisa banyak menolong, paling tidak sekarang dia ada di sini.

Keheningan menggerakkan Ash untuk melirik hourglass. Waktunya semakin sempit. “Rika, tolong pikirkan dengan matang apa yang ingin kamu lakukan,” pesannya.

Apapun pilihan Rika, ke depannya tidak mudah. Komitmen bisa naik turun. Rasa lelah dan tidak dihargai. Dicurigai bahwa mustahil villainess bisa berubah. Godaan dari monster dalam kepala.

“Semua tentu perlu waktu. Namun jika tidak menyerah, seburuk apapun hari ini ... bukankah hari esok selalu ada?” lanjut Ash.

Saat Rika tidak banyak bicara begini, rasanya aku seperti ninja legendaris yang berbakat dalam berbicara, hahaha, batin Ash, masih bisa mentertawakan diri sendiri.

Cukup, Ash. Jangan terlalu banyak bicara, nanti tidak ada yang meresap di otaknya, batin Ash lagi.

Rika memegang cangkir erat-erat. Netranya terus memandangi permukaan teh seolah ingin melihat masa depan dari sana. Kabut hinggap di matanya, seakan-akan justru masa lalu yang terlihat ... memanggilnya dengan sumpah serapah serta kutukan.

Ia pernah mencoba melawan kegelapan hatinya dan berujung kalah. Alhasil, kegelapan kian luas menjajah hatinya. Sebagian luka mungkin bisa disembuhkan perlahan, tetapi bagi Rika ada hal-hal yang tidak bisa ditolong.

“Aku harus memulai dari mana?” lirih Rika.

“Dari apa yang terdekat dan memungkinkan. Jika rasa bersalah masih mencekik, tebus dengan keberanianmu. Aku percaya, Rika yang sejati adalah sosok kuat dan baik hati.” Ash tersenyum lembut.

Bagaikan roll film, kenangan kembali terputar. Kali ini bagian indah yang dulu ia ingkari karena menganggapnya semu. Jihyun dan RFA lain mengulurkan tangan padanya. Kemudian, kolega seperti tamu-tamu party turut muncul.

RFA pernah memberinya warna. Kebaikan yang bukan sebuah pura-pura. Meski Mint Eye lebih melekat di prinsipnya, tetapi ... di RFA, dia merasa diterima sebagaimana manusia. RFA memperlakukan dia jauh lebih baik dari yang layak ia terima.

Rika tidak ingin percaya, tapi jika boleh ... sekali lagi ... “Ash, aku menyayangi RFA.”

“Aku tahu 'kamu' belum sepenuhnya dikalahkan kegelapan, Rika.”

Ash bangkit dan memeluk Rika. Sang Villainess berambut kuning ini menangis dan meratap. “V, Jihyun, Jihyun ....” Rika memanggil. Suaranya bertambah serak ketika melanjutkan, “Ray, Ray, Saeran, Saeyoung, Jumin, Jaehee, Zen, Yoosung ....”


Jihyun ingin menanggapi sekenanya, tetapi aneh, cerita-cerita Tamy terasa familiar. Bertemu orang senasib membuatnya ikut bercerita. Lebih menguntungkan, Tamy orang asing. Besar kemungkinan, mereka takkan bertemu lagi.

“Cinta itu tidak menyiksa,” simpul Tamy.

“Lalu, apa yang saya rasakan? Apa yang saya kejar?” desak Jihyun.

“Obsesi, mungkin. Atau dendam. Aku bingung juga, hehe,” jawab Tamy. Sebenarnya dia ingin ceramah, tetapi takut terdengar mencurigakan.

Jihyun belum puas dengan jawaban Tamy, beruntung Biho menelepon di saat yang tepat. Tamy berjanji dalam hati akan top up untuk menjemput Biho di event selanjutnya. Bagian lain di perasaan Tamy melonjak bahagia karena ditelepon oleh pujaan hati server sebelah.

Obrolan mereka membuat Jihyun merasa aneh. Itu tidak seperti pasangan yang sedang bertengkar.

Atau apa mereka berpura-pura semua baik-baik saja padahal hubungan semakin beracun? batin Jihyun. Tanpa diundang, siluet Rika hadir ke benaknya.

Dia yakin dia mencintai Rika—atau setidaknya pernah. Atau sejak awal itu bukan cinta? Tapi dulu tidak begini. Lalu, sejak kapan mereka menjadi seperti ini? Bagaimana bisa? Adakah jalan kembali?

“Aku mau pinjam mitologi Ikarus. Seseorang yang awalnya bisa terbang, tetapi jatuh tragis karena ingin meraih matahari.” Jihyun menoleh pada Tamy yang masih berbicara pada Biho di telepon.

Ikarus? Seseorang yang bisa membuat sayapnya tetapi jatuh karena terbang terlalu tinggi? batin Jihyun, mengingat-ingat.

Otak Jihyun merangkai hipotesis baru. Mungkin, ia dan Rika sama-sama Ikarus. Merasa kurang, tetapi menambah dengan cara yang tidak tepat. Mengejar yang tak mungkin. Mengabaikan keresahan yang tampak tak penting.

.... Terlalu fokus pada ego masing-masing, hingga saling meracuni atas nama hal yang mereka sebut sebagai “cinta”. Saat tersadar, mereka sudah kecanduan racun tersebut. Mereka jatuh. Cepat sekali karena sebelumnya terbang terlalu tinggi. Sakit.

Namun, mereka enggan saling melepaskan. Karena mereka sama-sama jatuh. Karena mereka sama-sama masih dibutakan matahari. Mereka yang remuk redam tersebut masih berdelusi sembari saling meracuni ... hari demi hari.

“V? Apa terjadi sesuatu?” Tamy mengibaskan tangan di depan wajah Jihyun.

Dia cemas melihat Jihyun beraura menyeramkan, tetapi sedih di saat yang sama. Jihyun terkaget dan memundurkan kepala. Bagaimana bisa orang asing ini memicu banyak gejolak di dalamnya.

“Tamy, siapa kamu sebenarnya?” tanya Jihyun telak.

Aku adalah orang yang rajin menggambarmu saat perusahaan kerap menyisihkanmu. Aku adalah orang yang merasa rileks setiap mendengar suaramu. Aku adalah orang yang ikut sedih melihat nasibmu. Aku adalah orang yang kerap mengkhayal akhir bahagia untukmu—dan kita. Aku adalah orang yang jatuh cinta padamu, yang terobsesi dan terluka akibat orang lain. Aku adalah orang yang ingin menyelamatkanmu, walau cuma sekali. Batin Tamy berteriak penuh emosi.

“Maksudmu? Tentu saja aku manusia,” elak Tamy.

“Saya merasa kita saling mengenal. Aneh, padahal kita baru bertemu.”

“Yah, mungkin di kehidupan lain.” Tamy minum sedikit untuk mengurangi rasa gugup.

Jihyun menghela napas. Dilihat dari segi manapun, Tamy adalah orang asing. Kenapa dia menjadi emosional begini?

“Kalau dunia lain ada, mungkin di sana saya tetap tak memperoleh cinta yang sesungguhnya.”

Tawa miris Jihyun membuat Tamy tak sadar meraih tangannya. “V, bisa jadi di luar sana, di dunia lain ... kamu bukan sosok nyata. Dan penduduk asli dunia tersebut tetap mencintaimu. Pasti ada dunia di mana kamu bisa bahagia. Carilah kebahagiaanmu.”

“Kenapa ucapanmu terdengar meyakinkan? Saya takut berharap bisa bahagia di dunia yang ini.”

“E-eh, maaf.” Tamy melepaskan tangan Jihyun setelah sadar apa yang dia lakukan. Lagi-lagi ia melihat wajah sedih Jihyun.

Apa perjuanganku di sini sama sekali tak menghasilkan sesuatu? batin Tamy suram.

Ia paham tak mungkin langsung menyembuhkan Jihyun di waktu setipis ini. Namun, paling tidak dia ingin menunjukkan arah, atau cahaya, atau harapan, atau apa saja agar Jihyun terbebas dari iblis yang merasuki dirinya di After Ending.

“Kata siapa kamu tidak bisa bahagia di sini? Kamu bisa, V. Kamu layak untuk bahagia. Kamu berhak memulai hidup baru. Kamu ... meski ini pertemuan pertama kita, aku yakin, kamu bukan orang jahat,” seru Tamy.

Jihyun mematung. Kemudian, sesaat ada cahaya di mata dan semburat tipis di pipi. Tamy terpukau pada apa yang ia lihat. Jihyun pun melanjutkan,

“Terima kasih, Tamy, mungkin alasan saya menjadi seperti ini adalah saya tidak menemukan seseorang sepertimu.”

Tamy ingin menangis meski tahu kalimat Jihyun bukan ungkapan cinta. Itu lebih seperti rasa syukur, pengandaian, serta semoga saja pencerahan. Tamy ingin memeluk Jihyun, tetapi dia sadar di sini bukan MC. Dia tidak boleh melampaui batas.

“Kamu pasti bisa menemukannya, V. Semangat!” Tamy tersenyum lembut. Ia melirik hourglass. Pasir yang belum jatuh hanya tersisa sedikit.

Sudah hampir berakhir. Kumohon, semoga kedatanganku bisa membantu Jihyun, batin Tamy pasrah. Ia tidak memiliki rencana lain untuk menolong Jihyun. Ia pun tidak bisa mengungkapkan semua hal yang dirasakan karena keterbatasan sebagai figuran. Untuk terakhir kali, Tamy ingin menatap Jihyun lekat.

“Jihyun. Nama saya Jihyun.” Jihyun tersenyum padanya.


Di tiga tempat berbeda, para manusia dari dunia lain, menghabiskan sisa waktu. Mereka paham, seharusnya mereka pulang sebelum dipulangkan paksa, supaya tidak menimbulkan keanehan. Akan tetapi, mereka ingin egois; menunda perpisahan selama mungkin.

Akhirnya, mereka bertiga mendengar dentang lonceng di kepala, seperti pertanda sudah saatnya pulang.

“Aku ingin menyelamatkanmu di semua rute.” Ash mengusap punggung Rika.

“Aku ingin membahagiakanmu di semua rute.” Tamy melambai ke arah Jihyun.

“Aku selalu menyayangimu di semua rute.” Arciel tersenyum pada Saeyoung.

Bukan, tidak hanya “di semua rute”. Lebih dari itu, di semua persona, atau malah di semua 'dunia'. Mereka membuktikan bahwa kasih sayang bisa melampaui segala skenario.

Tepat saat seluruh pasir hourglass terjatuh, sosok mereka memudar mirip pasir tertiup angin.

Mereka bertiga berteleportasi ke ruangan di awal. Pintu keempat terbuka, menyedot mereka masuk sebelum sempat berkata-kata.


“Akhirnya maintenance selesai. Wah, ada ending kesebelas. Katanya hanya bisa dibuka hari ini.”

MC berniat memainkannya, tetapi tidak muncul opsi. Lebih mirip membaca novel visual. Jihyun putus dengan Rika setelah ditegur penghuni kamar sebelah. Saeyoung ditolong kabur oleh peri dan naga. Rika berbincang dengan teman khayalan lalu memutuskan untuk melanjutkan terapi.

Saeran bisa diselamatkan. Semua yang bersalah diadili sebagaimana mestinya. Ada momen kebersamaan RFA, yang meski emosional tetapi berakhir hangat.

“Figuran-figuran ini menyenangkan juga,” puji MC.

—END

author: Leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Mammon x Lea (MC) warning: mungkin OOC, mungkin singkat, mengambil setting di lesson 16 tapi beberapa hal berbeda, niatnya angst tapi malah gagal jadi gatau ini genre apaan


Ketika Lea mengikuti Barbatos, Mammon sudah merasakan firasat buruk. Seorang manusia harus melalui perjalanan waktu untuk menyelesaikan masalah keluarga demon—dalam hal ini keluarganya? Bagaimana jika situasi lapangan melenceng dari rencana?

“Kamu tenang saja, Mammon. Aku pasti bisa menolong Belphegor sambil menghindari kontak dengan kalian semua di masa lalu,” kata Lea beberapa menit lalu untuk menenangkannya.

Mammon tahu Lea benar. Sejauh ini Lea sudah melakukan banyak hal untuk membantu mereka. Mungkin hanya Lea yang bisa menolong Belphegor. Meski begitu ... tetap saja ..., Mammon sulit menerima fakta Lea mungkin dalam bahaya.


Lord Diavolo mengadakan program pertukaran pelajar dari tiga dunia. Imbasnya, Lucifer mempercayakan seorang manusia di bawah pengawasan Mammon. Awalnya, Mammon hanya bisa mengikuti perintah. Namun, perlahan dia bisa menerima kehadiran Lea.

Jika mengenai Lea, Mammon selalu ingin menjadi yang teristimewa. Dia sudah menjadi demon pertama yang membuat pact. Dia sudah menjadi demon yang paling dekat. Belum—belum cukup. Bagaimanapun, Mammon adalah Avatar of Greed.

“Dia manis, kan?” gumam Mammon, melihat Lea yang sedang menenangkan Beelzebub dan memberinya camilan.

“Leaaa, temani aku memilih sepatu.” Asmodeus datang menginterupsi mereka, senyuman Lea masih belum hilang.

“Ya. Lea lebih seperti kakakku dibandingkan denganmu,” ledek Leviathan sambil bersiap membuka banner waifu.

“Aku setuju. Dia bisa begitu sabar menghadapi orang-orang idiot seperti kalian,” timbrung Satan tanpa mengalihkan pandangan dari buku.

Seakan sadar sedang diperhatikan, Lea melambai ke arah mereka. Levi komat-kamit berdoa waifu pulang sambil menutup mata, jempolnya gemetar takut memencet ikon gacha. Satan kembali hanyut dalam bacaan yang serius. Hanya Mammon yang masih melihat ke arah Lea sambil tersenyum seperti orang bodoh.

Sadar akan kelakuannya, Mammon membuang muka. Wajahnya merah. Dia diam-diam melirik ke sana lagi. Lea tertawa. Di mata Mammon, tawanya manis sekali.

****

Mammon tidak sebodoh yang ditunjukkannya. Lea tidak sekuat kelihatannya. Mereka sama-sama diandalkan oleh banyak orang. Dan persamaan mereka adalah ingin menolong meski diri sendiri terluka.

“Lucifer bersikap berlebihan lagi?” tebak Lea khawatir.

“Tidak apa-apa. Dia pasti tertekan.” Suara Mammon terdengar serius, lalu dia tertawa ceria lagi, “Traktir aku Hell's Noddle, ya.”

“Oke, ajakan kencan yang bagus, Mammon.” Lea tertawa kecil.

Sifat tsundere Mammon kambuh. Berapa kalipun Lea melihatnya, Mammon tetap menggemaskan. “Bukan! Ini bukan kencan.” Lalu, Mammon menoleh ke Lea dengan tatapan seperti anak anjing, “Tiba-tiba aku ingin berjudi.”

“Siapa takut. Ayo, jangan sampai kita pulang dalam keadaan miskin.” Lea mengulurkan tangan untuk mengajak Mammon tos.


Kembali ke saat ini, para demon bersaudara dan Diavolo tengah menunggu kabar. Barbatos kembali dengan wajah muram. Dia menghela napas beberapa kali, dan terkadang melirik ke arah ruangannya.

“Apa yang mengganggu pikiranmu, Barb?” tanya Diavolo.

“Lea baik-baik saja, kan?” serobot Mammon, tenggorokannya tercekat saat Barbatos menggeleng.

“Saya mendeteksi sesuatu yang abnormal. Kemungkinan, Lea bertemu kalian di masa itu atau melakukan hal yang sangat melenceng dari rencana,” ujar Barbatos.

“LEA!” Mammon spontan berteriak, “Kita harus menolongnya!”

“Tunggu dulu, Mammon. Barbatos belum selesai menjelaskan. Abnormal belum tentu buruk.” Lucifer menahan lengan Mammon.

Secara teori, kalau seseorang datang mengubah masa lalu, dia tidak akan mengubah masa kini atau masa depan. Dia akan menciptakan masa depan lain alias menghadirkan masa baru yang terpisah. Barbatos mengatakan muncul aliran energi aneh di ruangannya. Energi tersebut berkumpul menjadi pintu, tetapi wujudnya masih transparan.

Penjelasan yang lebih mudah adalah Lea tengah menemui percabangan. Tindakan-tindakan kecil yang dia lakukan dapat berdampak besar. Baik atau buruknya masih sulit diprediksi.

“Barbatos, bisakah kamu memantau apakah Lea masih hidup?”

“Saya mampu, Tuan Muda. Namun, saya hanya bisa mendeteksi hidup dan mati, bukan detail keadaannya.”

“Itu sudah cukup. Kita tidak bisa ikut campur lebih jauh karena sangat berisiko,” jawab Diavolo.

“Aku percaya pada Lea.” Beelzebub mencoba meyakinkan semua orang, khususnya diri sendiri.

****

Mammon tidak tahu cara berdoa, tetapi dia mencoba melakukannya. Dia mendoakan keselamatan dan keberhasilan Lea. Mammon belum mengangkat wajah dari tangannya ketika Barbatos berseru,

“Hawa kehidupan Lea menghilang.”

Mammon merasa seluruh tulangnya seolah hilang, badannya lemas. Dia tidak sempat bereaksi apa-apa saat pilar cahaya kebiruan muncul dari arah ruangan Barbatos. Cahaya itu menyebar ... Mammon tertelan.


“Mammon, kenapa kamu terus menempel padaku?” tanya Lea geli.

Mereka memang sudah berpacaran, tetapi Lea terkadang heran Mammon sangat lengket padanya. Demon berambut putih ini tidak ingin meninggalkannya sendiri. Dia mudah cemas bahkan dalam hal-hal sepele.

“Aku takut kamu pergi,” rajuk Mammon sambil merangkul Lea, “Ingat, jangan mati. Bertahanlah sampai aku datang menyelamatkanmu.”

Lea tidak bisa sebal kepada Mammon yang membuat dirinya merasa begitu dicintai. Dia tersenyum dan menyandarkan kepala ke pundak Mammon.

“Terima kasih, Mammon. Aku pasti bisa menolong Belphegor.” Mammon tersenyum pahit mendengarnya.

Kekacauan aliran waktu menyebabkan sebuah loop terjadi. Lea datang ke Devildom dan kembali ke masa lalu untuk menolong Belphegor. Lea meninggal di masa lalu, tetapi karena dia tidak seharusnya meninggal di sana ... Lea kembali ke waktu sebelum datang ke Devildom.

Lea tidak ingat. Belphegor tidak ingat. Semua, bahkan Diavolo pun tidak ingat .... Mammon adalah satu-satunya yang ingat. Mammon berusaha mematahkan loop, tetapi selalu gagal.

—end

author: Leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Solomon x Myre (MC), slight Leviathan x Arciel (MC) warning: mungkin OOC, agak panjang karena plot tapi SoloMyre-nya cukup singkat


Para pelajar RAD mendapat tugas untuk membuat tiruan galaksi mini secara berkelompok. Kelompok pertama yang berisi Mammon, Asmodeus, Simeon, Luke, Beelzebub, dan Belphegor ditugaskan di Devildom. Kelompok kedua yang bertugas di dunia manusia beranggotakan Leviathan, Satan, Solomon, Myre, dan Arciel. Sementara itu, Lucifer, Diavolo, dan Barbatos menjadi pengawas.

Leviathan agak kesal dengan pembagian kelompok ini. Dia senang satu kelompok dengan pacarnya, Arciel. Tiga rekan lain juga bisa diandalkan. Akan tetapi, dia agak merasa tersisih padahal lokasi dan suasananya mendukung untuk melakukan hal-hal seru seperti di anime.

Solomon dan Myre berdebat tentang metode pembiakan bibit bintang yang paling efektif. Satan memonopoli Arciel untuk berdiskusi tentang topik-topik yang tidak Leviathan mengerti. Mereka sampai tidak sadar Leviathan sudah turun bukit dan kembali membawa sekantong minuman. Saat Leviathan kembali, bahkan mereka belum mulai mengerjakan tugas.

“A-Arc, ini kubawakan minuman.” Leviathan meletakkan satu cup sup buah di tangan Arciel.

“Terima kasih, Levi. Mau minum bersama?” tawar Arciel.

Mata jingga Leviathan melirik ke kanan dan kiri. Dia ragu harus mengangguk atau menggeleng karena mereka tidak berdua saja di sini. “U-uhm, boleh,” jawab Levi malu-malu.

Solomon, Myre, dan Satan melihat isi kantong yang tersisa. Hanya ada jus kalengan, soda, cola, dan bir. Myre mengulum senyum menonton pasangan menggemaskan itu. Rasa haus pengetahuan Satan telah terpuaskan, sehingga dia beralih pada topik perdebatan Solomon dan Myre.

“Setelah kuanalisis. Metode kalian berdua sama-sama memiliki celah. Bagaimana jika begini?”

****

Tahap pertama lancar. Mereka berhasil membiakkan bibit bintang. Tahap kedua, membuat konstelasi berjalan cukup lancar. Ada sedikit kendala karena Leviathan dan Satan membuat konstelasi di luar daftar; Ruri-chan dan kucing. Akan tetapi, Arciel masih bisa menyiasati penggunaan bibit bintang untuk membuat sisa konstelasi yang diperlukan.

Tinggal tahap terakhir, menyusun galaksi. Ini adalah tahap tersulit serta menguras banyak energi. Arciel sudah terengah-engah karena energinya habis untuk menutupi kekacauan yang dibuat kakak dan pacarnya.

“Istirahat dulu, Arc. Pulihkan energimu,” saran Myre, Arciel mengangguk lalu tiduran di rumput.

Keadaan semakin sulit ketika Leviathan dan Satan ikut tumbang. Satan duduk meringkuk memegangi perutnya. Leviathan bersandar di pohon sambil meremas kaleng cola kuat-kuat.

“Apa yang terjadi pada kalian?” tanya Solomon.

“Perutku sakit sekali,” rintih Leviathan.

“Aku juga,” sahut Satan.

Myre heran mengapa demon bisa sakit perut. Solomon tidak memasak apapun hari ini. Mereka hanya mengonsumsi minuman yang dibeli Leviathan.

“Apa ini gara-gara minuman tadi?” duga Myre.

“Mungkin saja minuman manusia bisa berdampak buruk terhadap demon.” Solomon meletakkan tangan di dagu, tanda sedang berpikir.

“Tapi ini kan minuman biasa?” Myre belum puas dengan jawaban Solomon.

“Ini buatan pabrik, Myre. Mungkin ada bahan kimia tertentu.”

Myre mengangguk setuju, baginya alasan Solomon logis. Dia sering menonton liputan investigasi para pedagang nakal dan produk-produk abal-abal. Kalaupun produknya normal, mungkin ada bahan yang tidak cocok di lambung demon.

“Apa kamu bisa memberi mereka sihir pengurang rasa sakit?” tanya Myre lagi.

Solomon beranjak untuk memeriksa Leviathan dan Satan, sedangkan Myre harus fokus menjaga larutan sihir yang berfungsi untuk menstabilkan galaksi nanti. Mereka sudah kekurangan orang, kalau pekerjaan ini ditinggalkan, bisa dipastikan tugas mereka gagal.

“Kurasa tidak berguna. Meski rasa sakitnya hilang, aliran energi dalam mereka masih kacau. Lebih baik mereka beristirahat,” kata Solomon, “biar kuantar ke penginapan terdekat,” imbuhnya.

“Jangan, kamu dibutuhkan di sini. Biar aku saja yang mengantar mereka,” tukas Arciel, sekarang dia punya cukup energi untuk bangun.

Myre dan yang lain merasa tidak enak dengan Arciel. Sayangnya mereka tidak punya pilihan lain.

****

Tinggal Solomon dan Myre di bukit. Larutan penstabil galaksi hampir jadi. Debu-debu magis untuk menambah efek sudah disiapkan. Sekarang tinggal merampungkan tiruan galaksi. Di wadah ada sekitar beberapa genggam kristal konstelasi.

Myre membaca ulang panduan pengerjaan agar tidak keliru.

“Ketika semua bahan sudah siap, sebarkan kristal konstelasi ke udara. Uapkan larutan penstabil ke arah mereka. Selanjutnya, atur koordinat setiap konstelasi sesuai skala yang tertera. Jika sudah pas, taburkan debu-debu magis,” baca Myre lantang.

“Aku mengerti. Sekarang kita bisa mulai,” ujar Solomon.

Benar, lebih cepat mereka memulai, lebih cepat mereka akan selesai. Mereka mengkhawatirkan tiga teman mereka yang sedang berada di penginapan.

“Ayo kita sebarkan bersama-sama,” ajak Myre. Jantungnya berdegup lebih kencang.

“Tentu, rasanya seperti sedang membuat dunia kita sendiri.” Solomon mengerlingkan mata, Myre menjadi salah tingkah. Ketika sedang berdua, mereka memang lebih ekspresif dalam menunjukkan afeksi satu sama lain.

“Jangan menggodaku dulu, tugas kita belum selesai.” Myre mencoba mengendalikan diri, tetapi di telinga Solomon terdengar seperti rengekan sehingga Solomon tersenyum lagi.

Mereka menyebarkan kristal konstelasi bersama. Kemudian, Solomon menguapkan larutan penstabil miniatur galaksi. Kristal-kristal konstelasi tertahan di udara karena uap ini.

“Saatnya mengatur galaksi kita,” ucap Solomon setengah berbisik.

“Kupercayakan bagian sana padamu, aku yang sebelah sini,” respons Myre.

Mata hijau Myre belum berhenti terpukau sejak tadi. Terutama saat debu-debu magis ditaburkan, galaksi mereka meski hanya sekitar sehasta tampak seolah nyata. “Galaksinya jadi, Sol. Tugas kita berhasil,” soraknya riang.

“Belum. Ayo kita coba galaksinya.”

Solomon menerapkan sihir proteksi agar aktivitas di bukit tidak terdeteksi dari luar. Lalu dia menyihir galaksi mini agar melambung ke atas. Galaksi itu menjadi besar, tetapi Solomon menjaga agar tidak menarik objek-objek di sekitarnya atau malah berantakan tertarik gravitasi Bumi. Myre sampai ternganga menyaksikan “kelahiran” galaksi secara langsung.

“Belum saatnya terpesona, Myre. Kita harus mendatangi galaksi itu, hmm SoloMyre nama yang bagus.” Solomon mengulurkan tangan, Myre masih takjub dan merekam momen di otaknya, “Won't you take my hand?” tanya Solomon lagi.

Myre mengangguk. Tangannya membalas uluran tangan Solomon. Penyihir berambut putih ini mengajak Myre terbang ke langit. Mereka masuk ke dalam galaksi buatan.

“Di sini benar-benar gravitasi nol!” pekik Myre, mempererat pegangan tangannya ke Solomon.

“Menyenangkan, kan?” Solomon balas mengusap tangannya.

Mereka melayang-layang di galaksi sambil berpegangan tangan. Bintang-bintang buatan tidak panas, tetapi cukup hangat dan terang. Terang yang lembut, bukan yang menyilaukan mata.

Myre dan Solomon merasa seperti berpindah ke dunia baru. Hanya ada cinta dan semesta yang menggemakan kisah mereka ke seluruh jagatnya. Perasaan agung yang menjadi awal dari segala keindahan. Bintang-bintang berkedip lembut seakan turut berbahagia. Dan, tidak semua perasaan cukup diungkapkan dalam kata-kata.

Mereka terbuai. Mereka membisu dan mengamati bintang-bintang. Mereka tidak perlu kata untuk saling meyakinkan ... bahwa dunianya akan hampa tanpa satu sama lain.

“Myre, maukah kamu berdansa denganku?” Solomon akhirnya menghentikan saat-saat bisu yang mendebarkan. Myre justru semakin berdebar.

“Aku mau, Solomon,” jawab Myre tanpa keraguan.

Mereka berdua berdansa. Ini bukan dansa pertama mereka, tetapi pengalaman pertama mereka berdansa tanpa gravitasi.

Tidak ada musik, hanya senandung merdu Solomon yang sesekali dibarengi Myre. Tidak ada orang lain yang menonton. Tidak ada lampu-lampu mewah atau wangi bunga.

Bagi mereka semua itu tidak penting. Selama mereka bersama, apapun akan terasa indah.

Ketika dansa berakhir, Myre mendaratkan ciuman di pipi Solomon secara tiba-tiba.

—end

Bonus:

Keringat sampai menetes dari dahi Arciel karena dia berlari dari apotek terdekat ke penginapan. Di tangan kanan, dia membawa kantong berisi obat-obatan, vitamin, dan makanan. Dia belum tahu mana yang bisa mereka konsumsi, jadi membeli semuanya.

Akan tetapi, sesampainya di kamar, Arciel justru mendapati Leviathan berpose di depan cermin dengan topi baru dan Satan tiduran sambil senyum-senyum memandangi tiga lembar tiket.

Apa mereka sudah pulih? batin Arciel mulai merasa lega.

“Arc, besok temani kakak ke kafe kucing, ya,” ajak Satan sumringah. “Ada pertunjukan spesial dan kakak dapat tiketnya.”

“Arc, bagaimana penampilanku? Topi ini dipakai oleh Lord of Shadow ketika menyendiri di hutan belantara,” tanya Leviathan sembari berjalan menghampiri Arciel.

“Cocok. Topi baru, Lev?” tanya Arciel sebelum menaruh kantong belanjaan di meja.

“Solomon memberiku ini sebelum kita ke human world,” sahut Leviathan tanpa pikir panjang. Satan mulai gelisah melihat Arciel terdiam. Levi ikut panik saat sadar kalau keceplosan.

”.... Oh, jadi kalian pura-pura sakit karena disogok Solomon?”

Kalimat tersebut mengawali penyesalan dan penderitaan kedua demon sampai seminggu kemudian.

author: Leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Barbatos x Alle (MC), slight Diavolo x Lucifer (sebenarnya platonis menyorot persahabatan mereka, tapi kalau dianggap romantis juga gpp) warning: mungkin OOC, mungkin pendek


Setiap akhir pekan, Lucifer dan Alle pergi berdua ke kastel Demon Lord untuk minum teh. Meski kontras, mereka berdua memiliki kesamaan. Dengan bangga, Lucifer menulis “minum teh bersama Diavolo” sebagai hobi yang dia sukai. Sementara bagi Alle, dia menyukai acara minum teh bersama Barbatos.

“Mereka baru membeli daun teh hijau dari dunia manusia, kamu pasti suka,” ujar Lucifer.

“Iya.” Alle sudah mengatakan iya, tetapi dia masih mengangguk. Lalu, dia diam lagi.

Lucifer sudah terbiasa dengan hal ini. Dia paham Alle bukan seseorang yang banyak bicara. Lagipula, Lucifer sesekali butuh ketenangan, karena kegaduhan saudara-saudaranya kerap membuat sakit kepala.

****

“Silakan dinikmati.” Barbatos menuangkan teh untuk mereka bertiga, baru menuang untuk dirinya sendiri.

“Terima kasih, Barbatos.”

Alle lagi-lagi menyaksikan khasiat teh Barbatos. Wajah Lucifer yang biasanya kaku dan masam terlihat lebih rileks. Bahkan, nada suaranya terdengar lebih ceria ketika mengobrol dengan Diavolo.

Gadis berambut pendek tersebut meminum tehnya perlahan. Mata toscanya melirik ke arah Barbatos. Alle tersedak ketika melihat Barbatos ternyata sedang melihatnya. Tangan Alle menjatuhkan cangkir teh ke meja, untungnya tidak pecah karena berbahan kuat dan dilapisi sihir.

“Alle, apa kamu baik-baik saja?” tanya Diavolo cemas, sedangkan Barbatos dengan sigap memberi Alle segelas air putih dan mengelap tumpahan tehnya. Lucifer mengambilkan cangkir Alle.

Situasi ini membuat Alle malu, panik, serta gugup bercampur menjadi satu. Wajahnya merah padam. Mata toscanya bergerak ke kiri dan ke kanan. Dia bingung harus mengatakan apa. “Ma-maaf,” cicit Alle.

“Tidak apa-apa, yang penting kamu tidak terluka,” jawab Lucifer.

“Lucifer benar. Kamu santai saja. Hehehe,” timpal Diavolo.

Usai meminum setengah gelas air, Alle sudah lebih tenang. Mereka berempat melanjutkan acara minum teh yang sempat terdistraksi.

“Aku baru tahu teh hijau berbeda dengan matcha,” gumam Diavolo.

“Begitulah, My Lord. Selain negara asalnya berbeda, sinar matahari yang diperlukan turut bervariasi,” jelas Barbatos lancar. Dia tertarik dengan minuman khas dunia manusia.

“Dunia manusia memang sangat luas.” Lucifer menyesap tehnya dengan elegan.

“Alle, tolong ceritakan beberapa minuman lain di dunia manusia,” pinta Barbatos.

“Hmm ... tehnya ada bermacam-macam. Kopi juga sama. Lalu ada flat white, latte, dan beberapa olahan lain. Agak mirip dengan yang di Devildom, tapi perbandingan espresso, susu, dan micro foam berbeda. Ada beberapa minuman unik seperti kopi yang diambil dari feses luwak. Biji kopinya diproses tapi gagal dicerna. Teh tidak kalah unik, ada teh hitam, teh dari bunga, sampai teh hijau yang diminum bersama daun mint,” papar Alle.

Diavolo menyimak dengan antusias. Barbatos mencatat poin-poin penting. Kemungkinan besar Diavolo akan meminta dibuatkan minuman-minuman itu.

****

Diavolo dan Lucifer asyik bermain catur, sehingga mereka meminta Barbatos mengantar Alle pulang. Tentu saja Barbatos dan Alle menerima dengan senang hati. Namun, Alle belum ingin pulang ke House of Lamentation. Alhasil, mereka berdua jalan-jalan ke taman.

Mereka berdiri berdekatan, tetapi malu bergandengan tangan. “Alle, di dunia manusia tidak ada minuman yang melibatkan tikus, kan?” tanya Barbatos hati-hati.

Alle tertawa kecil. “Setahuku tidak.”

“Baguslah. Kalau ada, mungkin aku kesulitan membuatkannya untukmu.” Barbatos berdehem pelan, Alle tidak pernah terbiasa dengan kekasihnya ketika sedang berterus terang.

“Itu tidak perlu. Aku suka apapun yang kamu buat,” aku Alle seraya menunduk, menyembunyikan wajahnya yang merah.

“Aku akan belajar banyak tentang makanan dan minuman dunia manusia. Jadi aku bisa membuatkanmu setiap kamu merindukan rumah.”

Barbatos memegang kedua bahu Alle. Ucapannya sarat akan keyakinan. Alle memberanikan diri menatap langsung ke matanya. Mereka berdua saling pandang dan bertukar senyum.

“Terima kasih, Barb.” Tangan Alle sedikit gemetar, tetapi mantap memegang salah satu tangan Barbatos yang bertengger di bahunya, “di sini ... aku juga menemukan rumah.”

—end

author: Leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Tears of Themis pairing: Luke x Rosa (MC) warning: mungkin OOC, mungkin agak angsty? lumayan singkat

summary: Jarum jam saku tua berhenti bergerak sejak manusia sok tahu tentang waktu. Dia seolah membeku.


“Aku tidak tahu apa yang salah.” Luke meletakkan jam saku tua yang gagal ia perbaiki. “Harusnya sudah benar, tapi kenapa jarum jam ini tidak bergerak?” lanjut Luke, menggumam sendiri.

Rosa yang sedari tadi menonton aksi Luke mengambil jam saku tersebut. Desainnya antik. Rosa jadi paham kenapa Luke mencurahkan fokus ke sana. Sayang sekali dia belum berhasil.

“Kamu mau memperbaikinya lagi?”

“Iya, tapi tidak dalam waktu dekat. Masih ada beberapa barang yang perlu kucek. Kita pun masih ada klien.”

“Boleh kupinjam?” tanya Rosa intuitif.

Rosa tidak paham mengapa jam saku tersebut menyedot atensinya. Luke sedikit heran dengan permintaan Rosa, tetapi dia menyanggupi. Toh desainnya memang elegan dan warnanya cantik, cocok dengan Rosa.

****

Di kamar, hampir setiap malam Rosa memandangi jam saku tua yang dipinjamnya tanpa batas waktu. Mungkin memang nasib jam saku tua telah berhenti di sana. Mungkin sekuat apapun Luke mencoba, jam ini takkan kembali berfungsi.

Rosa memejamkan mata. “Ah, waktu ...,” lirihnya.

Semua makhluk takkan berdaya di hadapan waktu. Akan tetapi, Rosa tidak suka orang-orang sok tahu—walau mereka tidak sepenuhnya mengada-ngada. Beberapa orang di sekitar mereka semakin rajin berceloteh tentang waktu. Tentang Luke yang katanya tinggal menunggu.

Seperti Luke yang menjadi pedang Rosa meski harus melukai tangan sendiri ... Rosa ingin memberi arti untuk Luke, tetapi dia takkan bisa menghentikan waktu.

Rosa ingin jam saku tua itu adalah parameter waktu di seluruh dunia. Andai waktu bisa berhenti, dan saat ini menjadi selamanya.


Pada kencan yang kesekian, lagi-lagi Rosa tersentuh oleh kasih sayang Luke. Lelaki ini mengingat detail-detail kecil tentangnya. Dia pun menganggap berharga setiap momen kebersamaan mereka.

Satu hal yang sulit Rosa terima, Luke tidak egois. Luke tidak ingin egois.

Luke mengalami banyak kesulitan. Luke menyayanginya begitu besar. Luke mungkin terbebani dengan batas waktu yang digemakan di kepala. Dia terlalu baik hati dan takut melukai lebih banyak terkait hal-hal yang bukan salahnya. Dia takut pergi meninggalkan luka yang tak bisa diobati.

“Aku ingin selalu bersamamu.” Rosa menyuarakan keegoisannya, dengan harapan Luke tertular secuil.

“Aku ingin kamu bahagia, Rosa.” Luke tersenyum. Matanya berbinar cerah di bawah cahaya bulan.

“Meski dengan orang lain?” sahut Rosa cepat, seakan mendesak, menunggu jawaban 'tidak'.

“Ya.” Luke tersenyum lagi, penuh cinta serta kerelaan.

Sampai akhir pun, kamu masih lebih memikirkan diriku, batin Rosa sedih.

Suara Rosa tercekat di tenggorokan. Matanya panas, dia hampir menangis. Rosa berusaha menahannya, dia tidak ingin merusak kencan mereka dengan air mata. Dia meraih tangan Luke, menggenggamnya erat tanpa berani memandang sang Pemilik Tangan.

“Luke, aku cuma mau kamu.”


tiga tahun kemudian ...

“Selamat, kamu telah melampaui rekor saya.”

Artem menjabat tangan Rosa yang telah menjadi Senior Attorney. Rosa tersenyum percaya diri.

“Terima kasih. Saya banyak berkembang selama bekerja di sini,” jawab Rosa, lalu mereka mendiskusikan sebuah kasus.

****

Investigasi hari ini selesai, Vyn dan Marius ikut membantu sehingga pekerjaan jadi lebih cepat. Rosa membuka pintu Themis Law Firm dengan pikiran melambung ke mana-mana. Sembari berjalan, tanpa sadar Rosa mengelus cincin di jemari tangan kanannya.

Tiga tahun ... rasanya masih baru kemarin. Ketika Luke memberikan cincin itu padanya seraya berkata dia tidak bisa menjanjikan apa-apa. Bahkan, Luke meminta maaf berulang kali, mengatakan ini adalah keegoisan pertama dan terakhirnya.

Mata Rosa memanas lagi. Waktu ... memang tidak bisa dihentikan.

“Rosa!”

Panggilan itu membuatnya menoleh. Luke berdiri di sana, mengatakan hal-hal semacam kenapa tidak bilang kalau pulang lebih awal. Pendengaran Rosa masih agak kabur ketika nostalgia dibuyarkan paksa.

Ketika kesadarannya terkumpul, Rosa tersenyum kepada Luke. Dia menggandeng tangannya.

“Aku lapar. Ayo makan di tempat biasa,” ajak Rosa.

Di saku kiri blazer Rosa, terdapat jam saku tua yang jarumnya sudah kembali berdetak. Di genggaman tangan kanan Rosa, terdapat tangan Luke ... Luke yang asli, bukan memori atau fatamorgana. Luke telah bersiap untuk kekalahan, tetapi sang Waktu memberinya kemenangan.

Waktu memang tidak bisa dihentikan, tetapi keajaiban tidak mengenal ruang dan waktu.

Begitu pula cinta.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Belphegor x Kayy (MC) note: ini settingnya AU, mengembangkan prompt buatan Kayy dari keywords tertentu.


Alkisah jauh di puncak gunung tanpa nama, hiduplah seorang penyihir hebat bernama Kayy. Sejarah mengatakan Kayy membasmi monster anjing berkepala tiga dan menjaga daerah sekitarnya. Gunung tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat sebagai bentuk penghormatan. Sesepuh desa-desa di kaki gunung percaya penyihir Kayy masih hidup. Kastel Kayy dilindungi mantra agar tidak terlihat mata manusia awam.

Kayy memang masih hidup, dan dia jauh berbeda dari “penyihir tua kharismatik” yang dibayangkan oleh para sesepuh desa. Wujud Kayy masih seperti perempuan muda yang pemalas, tapi sekalinya berniat akan sangat-sangat aktif.

| Dari Solomon Halo, Kayy. Aku baru menjalin kontrak ke-69. Kalau sudah 72, aku akan pulang dan mengunjungimu. ps: aku membuatkanmu tart pisang. |

“Si Kakek Solomon ingin meracuniku atau apa? Bisa-bisanya mengirimkan kue mengerikan begini.” Mata kuning Kayy menyipit ngeri melihat hadiah kiriman sahabat penyihirnya. Ia mengayunkan tongkat dan bungkusan itu lenyap.

Kayy berguling di karpet empuknya. Dia jarang turun gunung. Sahabat pertamanya, Solomon, sibuk mencari iblis untuk membuat kontrak dan hal yang dia sebut “belajar memasak”. Sahabat keduanya, Arciel, pindah ke dunia bawah laut sejak menikah dengan raja di sana.

“Arc, kamu lebih memilih siluman ular daripada menemaniku?”

Kayy teringat dia sempat merajuk ketika Leviathan memboyong Arciel ke kerajaannya. Arciel bilang dia akan sering berkunjung, tetapi menilai dari tabiat Leviathan, Kayy ragu pada kata “sering”. Ternyata memang hanya sekali setahun.

“Siapa siluman ularnya, Kayy? Hati-hati nanti jodohmu siluman sapi,” balas Leviathan sengit sambil memeluk Arciel dari belakang.

Kemudian Kayy berguling ke arah sebaliknya. Dia suka bermalas-malasan, tapi sendirian terkadang sangat membosankan. Dia ingin menambah teman.

****

Suara benda jatuh membangunkan Kayy dari tidurnya. Dia terbang keluar dan memeriksa areal halaman kastel. Ada lubang baru yang masih berasap, kemungkinan ini hasil tabrakan benda asing.

“Apa itu meteor?”

Kayy menemukan kapsul besar di pusat lubang. Ketika mengayunkan tongkat sihir untuk memperbaiki benda itu, tidak terjadi apapun ... seolah-olah kapsul tersebut berasal dari luar dunia. Kayy berjalan mendekat. Terdapat semacam tombol berwarna merah. Kayy baru menyentuhnya, tetapi pintu segera terbuka.

“Manusia?” Kayy melihat seseorang tidak sadarkan diri dalam keadaan meringkuk. Fisiknya mirip manusia laki-laki. Rambutnya biru kehitaman dengan sejumlah helaian putih.

Kayy menyentuh lengannya dengan ujung tongkat sihir, tidak ada reaksi. Panggilannya pun tidak direspons. Panik, Kayy mengguncangkan makhluk itu. Ia tidak ingin ada mayat di wilayah kekuasaannya, apalagi mayat makhluk asing.

Sosok itu membuka mata lalu bangun. Dia menghapus bekas air liur di dagu dan bicara dalam bahasa yang anehnya Kayy mengerti.

“Apa aku sudah sampai di Bumi? Aku masih mengantuk.”


“Belphie, jangan tidur bersandar di tungku. Aku mau membuat ramuan!” omel Kayy sambil menjewer telinga Belphegor.

“Udara Bumi membuatku mengantuk, Kayy,” dalih Belphegor ke-1234567890 kalinya dalam beberapa bulan terakhir sejak mendarat di Bumi.

“Dasar banyak alasan. Kamunya saja yang malas,” cibir Kayy.

“Apa tidak terbalik? Kamu penduduk asli planet ini, udara tidak akan membuatmu mengantuk, kan?” balas Belphegor.

Tuhan, aku bilang ingin punya teman baru, tapi tidak yang seperti ini juga. Kayy meratap dalam hati.

Belphegor berpindah tidur di sudut ruangan sambil memeluk bantal bermotif ala kulit sapi. Sementara itu, Kayy berniat membuat ramuan untuk mengisi waktu luang. Namun, lima menit kemudian minatnya hilang.

“Nanti saja. Ayo malas-malasan bersama,” hasut Belphegor tanpa membuka mata, seakan lupa dia baru saja mengatai Kayy pemalas secara implisit.

“Hmm, lima menit.” Kayy mengambil posisi duduk di sebelah Belphegor. “Belph, pinjam bantal.”

“Tidak mau, kamu tidur di pundakku saja.” Belphegor tidak mau melepaskan bantalnya. Entah efek gabut atau suasana, Kayy mengangguk.

“Oke, jangan mendengkur, ya,” ujar Kayy sebelum bersandar di bahu Belphegor.

“Iya, jangan ngiler,” sahut Belphegor sambil tersenyum tipis.

“Nanti sore kita mengecek gunung ini lagi. Pendaki bebal yang kita jahili kemarin sepertinya belum kapok.” Kayy memejamkan mata karena semakin mengantuk.

“Tenang saja, Kayy. Aku sudah menyiapkan trik baru.”

Beberapa bulan tinggal bersama membuat keduanya bertambah dekat. Meski masing-masing belum mau mengakui, tetapi memiliki teman bermalas-malasan, bertengkar, dan menjahili orang ternyata seru juga.

****

“Kayy, aku ganteng, kan?”

Pertanyaan sok polos Belphegor membuat Kayy tersedak saat minum susu. Bohong jika Belphegor tampak jelek, tapi memuji Belphegor tampan rasanya aneh. Kayy batuk untuk menutupi salah tingkah.

“Aku cantik, kan?” Kayy balik bertanya.

“Jelek.” Belphegor menjulurkan lidahnya.

“Ya sudah, berarti kamu juga jelek,” tukas Kayy, entah kenapa agak tersinggung.

“Bercanda kok.” Belphegor menepuk-nepuk kepala Kayy. Wajah Kayy memerah tanpa alasan jelas. Melihat wajah Kayy memerah, Belphegor ikut tertular.

“Bercandaaa. Jangan suruh aku menghabiskan racun kiriman teman penyihirmu,” rengek Belphegor. Kayy tertawa.

“Aku akan meminta Solomon memasak makanan spesial untukmu.”


Sejak Belphegor terdampar di halamannya, Kayy terus bertanya-tanya kenapa Belphegor datang ke Bumi. Kenapa harus mendarat di kediamannya? Apa Belphegor akan pulang ke planetnya?

Setiap kali Kayy bertanya, Belphegor tidak pernah menjawab dengan serius. Akhirnya, Kayy menyerah dan menyimpan rasa penasarannya sendiri.

Hari ini ia mengetahui jawabannya, tetapi hati Kayy sakit. Dia bermaksud membangunkan Belphegor di kamarnya. Kayy ingin mengajak Belphegor jalan-jalan ke kota. Namun, Kayy malah menemukan catatan harian Belphegor berisi motif dan rencana.

Salah satu raja di planet asli Belphegor terobsesi untuk memahami rahasia alam semesta. Dia mengirim sejumlah pemuda untuk menyelidiki kehidupan di planet lain. Selain membawa pengetahuan, mereka diminta membawa jantung seseorang yang kuat atau memiliki kemampuan khusus untuk diteliti. Mereka bisa pulang ke planet asal dengan mengaktifkan mode khusus di kapsul luar angkasa, dengan syarat awal harus menyampaikan laporan bahwa tugas terselesaikan.

Jadi ini rasanya dikhianati? batin Kayy.

“Belphie, jelaskan padaku!”

Belphegor terbangun dan kaget melihat Kayy membawa buku hariannya. Dia belum ingin ketahuan. Panik, Belphegor spontan mencekik leher Kayy.

Kayy belum membaca sampai selesai. Dia memang membaca sampai catatan terakhir sebelum lembaran kosong tetapi masih ada catatan tersembunyi. Buku harian tersebut jatuh ke lantai, tepat terbuka di halaman terakhir.

| Aku sudah menemukan penyihir tetapi ragu menjalankan rencanaku. Aku menyukainya. |

'Maaf, aku harus membunuhmu di sini. Semoga kamu terlahir kembali di planetku.'

'Maaf, aku harus membunuhmu di sini. Semoga kamu terlahir menjadi manusia di kehidupan selanjutnya.'

Sebelah tangan Kayy mengambil tongkat sihir dari saku. Dia meluncurkan mantra pembunuh. Cekikan terlepas. Kayy batuk-batuk. Belphegor diselimuti asap ungu.

Ketika asap menghilang, tampaklah Belphegor masih hidup tetapi memiliki tanduk dan ekor aneh.

“Kenapa sapi?” Baik Kayy maupun Belphegor berteriak histeris.

“Batalkan mantranya.”

“Tidak bisa. Aku juga tidak tahu kenapa jadi begini.”

Kayy yang masih kesal meluncurkan mantra pembunuh lagi, tetapi mantranya gagal. Dia jatuh terduduk. Benang merah tampak melingkari kelingking mereka berdua, lalu menghilang lagi. Belphegor mencoba mencekik Kayy lagi, tetapi baru sedetik, tangannya seolah dikendalikan entah siapa untuk melepas cekikan tersebut.

Suasana berubah canggung. Mulai sekarang mereka kembali terjebak untuk hidup berdua, kali ini untuk selamanya.

—end

Bonus:

“Kayy, kami datang berkunjung.” Solomon, Arciel, dan Leviathan mengetuk pintu kastel Kayy. Tak sampai semenit kemudian, Kayy keluar bersama pemuda bertanduk dan berekor sapi.

Solomon berpikir keras. Arciel hanya diam mengamati. Kayy bingung harus menjelaskan dari mana. Belphegor cuek. Leviathan yang pertama kali tertawa puas.

author: Leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Asmodeus x Hana (MC) slight Leviathan x Arciel (MC) warning: genre-nya ANGST! mungkin tema pasaran, pendek. note: aku nulis ini sambil dengerin Loveless-nya Miura Ayme


“Halo, Cantik.”

Sapaan merdu tersebut membuat Hana tersenyum. Dia berpose dengan baju baru, mata kelabunya mengerling pada Asmodeus,

“Halo juga, Sayang. Aku jadi beli gaun yang ini.”

“Kalau begitu, aku akan mencari suit yang matching dengan gaunmu,” tukas Asmodeus cerah.

Hana kembali ke ruang ganti dan keluar membawa bungkusan gaun tadi. Tampaknya Asmodeus sudah selesai memilih baju karena membawa bungkusan yang sama.

“Tumben cepat sekali, Asmo. Biasanya kamu sangat pemilih.” Hana mengungkapkan keheranannya.

“Kebetulan gaunmu punya model suit couple. Kita bisa lebih banyak memilih di bagian asesoris dan sepatu,” jelas Asmodeus bangga.

Berbelanja bersama merupakan aktivitas rutin mereka. Kemudian, mereka akan mampir di kafe yang menyajikan kue-kue estetik. Di perjalanan pulang mereka biasa membeli beberapa bunga untuk mengisi vas.

Sepanjang jalan orang-orang selalu melirik lama ke arah mereka. Hana paham Asmodeus adalah permata dari surga yang tetap indah kendati menghuni neraka. Dia memiliki daya tarik yang membuat orang-orang tidak bisa berhenti menatapnya.

“Kita adalah yang paling indah di tiga dunia,” bisik Asmodeus seraya menggenggam tangan Hana.

“Kita?” ulang Hana.

“Iya. Aku nomor satu, kamu nomor dua.” Asmodeus lantas tertawa kecil, Hana tertular tawanya.

Asmodeus abadi. Keindahannya takkan dihapus waktu. Dia rupawan dan akan selalu menjadi nomor satu.


Di mata Asmodeus, Leviathan dan Arciel digabungkan sekalipun belum seindah dirinya. Coba saja lihat model rambut aneh Leviathan dan lingkaran hitam di bawah matanya karena terlalu banyak begadang menonton anime. Arciel memang menggemaskan, tapi selera fashion-nya terlalu plain. Sudah berapa ratus tahun berlalu, apa pasangan ini hanya saling menunjukkan dahi ketika mereka sedang berdua?

Akan tetapi, Asmodeus mengagumi sesuatu dari mereka; mata yang sedang jatuh cinta. Wajah yang bahagia karena bisa saling mengekspresikan cinta.

Lihat, mereka asyik bermain game gacha di DDD sampai tidak sadar Asmodeus lewat. Kali ini Asmodeus memutuskan untuk tidak menggoda mereka. Dia lebih merindukan Hana.

Demon kelima dari tujuh bersaudara ini bergegas ke kamar, mengenakan pakaian terbaik dan bersolek. Kemudian, dia berjalan ke kamar Hana. Ia hampir mengetuk pintu sebelum sadar bahwa belum membawa bunga atau buah tangan lain. Bisa-bisanya dia lupa!

Asmodeus menahan diri supaya tidak berlari. Dia takut keringat merusak penampilannya. Florist langganan tutup hari ini, dia memutuskan untuk membeli bunga di dunia manusia.

To: Hana Mungkin aku sedikit terlambat, Darling. Tolong tunggu sebentar.

****

Pesannya belum dibaca. Tidak apa-apa, yang penting sekarang buket bunga cantik sudah di tangan. Dia harus segera menemui si Tercantik Nomor Dua tambatan hatinya.

Asmodeus abadi. Keindahannya takkan dihapus waktu. Asmodeus tidak ingin kecantikan abadi. Asmodeus hanya merindukan cinta, hal yang masih ia miliki sekaligus direnggut darinya. Asmodeus siap mengorbankan apa saja agar rongga tersebut kembali terisi.

Kamar Hana kosong. Pesan di DDD-nya takkan terbaca ... sebab sang Bunga telah kembali ke tanah. Asmodeus meletakkan bunga di atas pusara sebelum menyapa getir,

“Halo, Cantik.”

—end

author: Leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me SWD pairing: Leviathan x Arciel (MC)
warning: kebanyakan narasi note: I'm gonna translate it to english when I have enough time and mood. unimportant note: I write this as a comfort. don't expect too much.


I wanna lift you up into the light that you deserve. I wanna take your pain into myself so you won't hurt. (Evanescence – Imperfection)


Semua yang mengenal rasa sakit pasti membangun pertahanan. Dapat berupa tembok tinggi atau sekadar pintu lapuk tak berkunci.

Arciel 'melihatnya'. Selama beberapa detik sejak anime yang ditonton Levi berakhir, mata amber bercorak keunguan itu kosong. Setengah nyawa masih tersedot layar komputer.

Barangkali kisah heroik mengingatkannya kala masih menjadi jenderal perang malaikat, atau idealisme yang pernah ia bicarakan dengan Lotan. Sekarang otot-otot badannya kerap menjadi pajangan, bahkan Lucifer pernah mengancam akan menurunkan levelnya jika Leviathan terus melemah.

Leviathan kagum pada Ruri-chan, Azuki-tan, Luminous alias Ultrawitch Rainbow-chan, dan masih banyak lagi tokoh dua dimensi. Tales of Seven Lords memenuhi mimpi Leviathan, menghanyutkannya. Begitu pula manga, game, serta barang-barang otaku. Dunia lain, dunia baru ... dunia yang tidak menyedihkan.

Jauh di dalam hati, Leviathan tak ingin semua berakhir seperti 'ini'. Dia juga ingin keajaiban. Kekuatan untuk mengubah keadaan, atau mencegah kehilangan. Namun, selayaknya Lord of Shadow yang Leviathan idolakan, dia dihantui banyak pertanyaan seputar kekosongan. Jiwa iri hatinya mengutuk ketidakberdayaan. Ia merasa tak lebih dari bayangan yang hilang di kegelapan.

Beberapa detik berlalu. Lantas, Leviathan kembali ke realitas. Ke peperangannya. Ke persembunyiannya.

Perempuan itu selalu di sana, selalu begitu sejak Mammon mempertemukan mereka.

“Levi, mau keripik lagi?” ujar Arciel, menyodorkan sebungkus keripik kentang. Leviathan teringat mereka tengah menonton anime bersama.

Ketika Leviathan telah terbiasa dipecundangi keadaan, siswi pertukaran pelajar tersebut menjadi variabel baru. Arciel datang, bukan sebagai dewi kemenangan ... tapi sebagai kawan perjuangan.

“Terima kasih, Arciel. Ayo kita makan bersama.” Demon ular laut itu tersenyum lebar. Dia menjulurkan tangan untuk menerima snack, tetapi tangannya bergerak ke arah yang tidak diperintahkan otak. “Ma-maaf, Arc, aku tidak sengaja memegang tanganmu.”

****

Semua yang memiliki akal pasti membuat topeng, sebab hewan saja pandai meski bermodal insting. Sains berkata jarak dan hambatan pasti ada, walau nilainya nol, bahkan negatif.

Leviathan 'melihatnya'. Ada saat di mana beberapa detik pertama Arciel terbangun, mata pelanginya hampa. Setengah nyawa masih terpenjara dalam mimpi. Badannya gemetar sesaat.

Barangkali kenangan buruk masih menjadi momok di alam bawah sadar. Rangkaian cerita yang membuat Arciel membenci dan mencintai manusia pada saat bersamaan. Segenap kompleksitas yang menyusun napasnya kerap memuakkan. Dia sukar membedakan mana yang benar-benar kehendaknya dan mana yang ia paksakan.

Ada saat di mana Arciel ingin lebur, tercerai menjadi angin, air, tanah ... sekejap berubah menjadi petir atau api pun tak mengapa. Sesak yang dia tahan kian hari kian melelahkan.

Dia takkan sanggup menjadi sepemaaf ibu atau sebaik mendiang ayah. Tidak dengan dunia yang seperti sekarang. Meski tidak separah mereka, sialnya dia memiliki keberanian untuk mengasihi, sekalipun hanya kepahitan yang terulang.

Beberapa detik itu adalah kemewahan. Lantas, Arciel kembali ke realitas. Ke ketenangan yang harus ia pasang. Ke senyuman yang wajib ia layangkan. Ke retakan-retakan yang luruh bersama darah serta tangisnya sendiri.

“Boleh kupeluk?” ucap Leviathan dari belakang punggungnya.

Ketika Arciel putus asa dengan kondisi dunia manusia, takdir mengantarnya ke Devildom. Leviathan datang, bukan sebagai pangeran yang menyelamatkan ... tetapi sebagai sesama kesatria yang menyadarkan Arciel kalau dia masih memiliki pedang.

“Tentu. Pelukan Levi hangat.” Arciel berbalik, memeluk Leviathan lebih dulu. Degup jantung mereka bersahutan, memantik gelenyar rasa aman. “Aku sayang Levi, sangat sayang.”


Liburan musim panas kedua sejak RAD menyelenggarakan pertukaran pelajar dari tiga dunia. Mammon menggerutu melihat Leviathan menarik Arciel pergi. Dia masih ingin ditemani mencari kerang bernilai jual tinggi.

Asmodeus tersenyum geli seraya mengoleskan tabir surya. Dia asyik menonton sepasang kekasih yang berlarian ke arah lautan. Kemeja pantai Levi berkibar. Rambut putih Arciel berkilauan di bawah matahari.

“Dua tahun. Semua orang berkembang sejak Arciel datang, termasuk Arciel sendiri,” tukas Lucifer sambil menyesap minuman. Asmodeus berusaha tidak mengkritik pakaian renang ala pelatih lumba-lumba yang dikenakan Lucifer lagi.

“Waktu terasa lebih menyenangkan,” sahut Beelzebub, membawakan ikan besar yang ia tangkap dengan tangan.

“Belphie, ayo jalankan dan bersiap untuk rencana B,” pungkas Satan dari arah kiri mereka. Belphegor mengangguk tanpa semangat.

Sementara itu, setengah badan Arciel sudah terendam air. Terkadang ia membenci perbedaan tingginya dengan Leviathan. Genggaman tangan mereka mengerat, kemudian mereka menyelam.

“Jangan lepaskan tanganku, ya?”

“Tidak akan, ayo pergi bersama.”


Don't you dare surrender. Don't leave me here without you. 'cause I could never replace your perfect imperfection (Evanescence – Imperfection)

oleh leviaphile

dalam rangka merayakan genap setahun di Obey Me bahasa: bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel (MC) warning: NSFW untuk tema berat, kata-kata jorok, unsur ketelanjangan, dan selfharm


Tidak perlu menjadi demon pembaca pikiran untuk mengetahui Arciel sedang tidak baik-baik saja. Leviathan tahu, tetapi dia belum berani bertindak karena bingung harus bagaimana. Dia hanya mengikuti alur kekasihnya yang masih tertawa, bersikap tenang, dan beraktivitas normal.

Leviathan membuka hingga 38 tabs internet demi mencari petunjuk cara menjadi lelaki yang bisa diandalkan. Semua tampak seperti retorika belaka. Sisi inferior demon berwujud sea serpent tersebut tergugah; Jangan-jangan dia pacar yang tidak berguna dan cuma menambah masalah.

“Pray, impart unto me the knowledge on how to fill this abyss.”

Suara yang sangat Leviathan kenal terdengar di luar pintu. Itu adalah password baru kamarnya, kutipan Lord of Shadow dari Tales of Seven Lords. Secara otomatis pintu terbuka, menampakkan sumber keresahan si Demon Ketiga dari Tujuh Bersaudara. Levi bergegas menghampirinya.

Rambut putih yang biasanya ikal mengembang kini basah dan kuyu. Poninya nyaris menutupi mata, selain efek basah mungkin Arciel belum sempat memotongnya. Tanpa mengatakan basa-basi, Arciel memeluk Leviathan. Bagian bahu dan lengan kaosnya basah. Kulitnya dingin. Levi bertanya-tanya dalam hati, apa dia berlama-lama di kamar mandi?

“A-Arc?” panggil Leviathan terbata. Dia balas merengkuh tubuh mungil yang tenggelam dalam pelukannya.

Arciel mendongak, mata warna-warninya mengintip pedih di celah-celah poni. Bibirnya pucat, gemetar mengatakan kalimat kotor yang kali ini tak mampu membakar hasrat Levi. “I want you to rail me. Fuck me until I forgot everything but screaming your name.”

Leviathan menggeleng. Kesedihan terpancar sejelas ini. Nada putus asa itu menusuk jantungnya. Dia memang demon, tapi dia tak ingin mengambil keuntungan dari rasa sakit seseorang.

“You don't need that, Arc.” Leviathan menyibak poni basah itu ke atas, lalu merendahkan badan untuk mendaratkan sebuah kecupan di dahinya. “Biar kukeringkan rambutmu. Kamu bisa pinjam bajuku dulu. Sebentar, kuambilkan hair dryer.”

****

Leviathan menggigit lidah tepat sebelum ia berteriak gugup bercampur malu melihat Arciel duduk telanjang di tempat tidur dan mendekap bantal Azuki-tan. Ia nyaris menjatuhkan hair dryer gara-gara itu. Meski tidak bisa mengendalikan warna wajahnya, ia bisa menjaga tindakannya. Leviahan membungkus Arciel dengan selimut Ruri-chan.

“N-nanti kamu masuk angin,” ucapnya. Arciel menoleh sebentar, mengangguk, dan mengucapkan terima kasih dengan pelan. “Rambutmu kukeringkan dulu, ya?” Kelanjutan pertanyaan Leviathan hanya dijawab dengan anggukan.

“Sudah. Arc mau kubuatkan cokelat panas?” tanyanya lagi, Arciel menggeleng.

“Kalau kamu mau bercerita, I'm all ears. But if you don't want to, don't force yourself. I'm always here.” Leviathan mendekap Arciel dari belakang.

“Soon, I'm gonna get a new scar.” Satu kalimat itu membuat Leviathan membalik badan Arciel dan memeriksa tangannya. Leviathan takut Arciel melukai dirinya secara harfiah, beruntung tidak ada luka atau bekas luka baru.

“Hanya kiasan kok. Maaf membuatmu cemas, Lev.” Arciel mengusap pipinya.

“Jangan meminta maaf!”

Leviathan meraih tangan kiri Arciel, mencium bekas luka sayatan di pergelangan tangannya. Bekas luka yang membuat Leviathan berjanji pada diri sendiri untuk terus menjaga seseorang yang sangat dia cintai. Dia tidak ingin hal buruk terjadi. Dia tidak mau bekas luka itu bertambah.

Rona mulai kembali ke wajah pucat Arciel. Kehangatan Levi merasuk ke jiwanya, bahkan mencapai waktu-waktu yang hilang. Dia menggigit bibir, berdebat dengan diri sendiri mengapa datang ke kamar Leviathan .... Mengapa dia ingin bercerita, tapi sekaligus enggan melakukannya? Mengapa melihat Leviathan memberinya kekuatan bahwa semua akan baik-baik saja, bahkan tanpa satu pun kata?

“Bolehkah aku melihat bekas lukamu?”

Arciel menanyakan itu sebagai gantinya. Leviathan membuka baju, terdapat beberapa bekas luka sisa perang dan jatuh. Arciel menelusurinya dengan jari dan mengecup bekas luka yang letaknya tertinggi, di sekitar selangka.

Mereka belum bertemu ketika semua itu terjadi, mereka hanya berbagi cerita. Mereka tahu mengapa luka-luka itu ada, tetapi mereka hanya bisa mencegah agar tak ada luka baru.

Kulit mereka bertemu, kehangatan tersalur. Air mata membanjir. Kata-kata meluncur lamat-lamat ibarat gerimis, sebagian bernostalgia, selebihnya berbagi momen yang baru terjadi.

Dua orang dengan bekas luka berbeda, baik yang kasat dan tidak oleh mata ... saling memeluk hingga pagi tiba.

—end

#Bekas Luka#

oleh leviaphile

dalam rangka merayakan genap setahun di Obey Me bahasa: bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel (MC) warning: NSFW untuk tema berat, kata-kata jorok, unsur ketelanjangan, dan selfharm


Tidak perlu menjadi demon pembaca pikiran untuk mengetahui Arciel sedang tidak baik-baik saja. Leviathan tahu, tetapi dia belum berani bertindak karena bingung harus bagaimana. Dia hanya mengikuti alur kekasihnya yang masih tertawa, bersikap tenang, dan beraktivitas normal.

Leviathan membuka hingga 38 tabs internet demi mencari petunjuk cara menjadi lelaki yang bisa diandalkan. Semua tampak seperti retorika belaka. Sisi inferior demon berwujud sea serpent tersebut tergugah; Jangan-jangan dia pacar yang tidak berguna dan cuma menambah masalah.

“Pray, impart unto me the knowledge on how to fill this abyss.”

Suara yang sangat Leviathan kenal terdengar di luar pintu. Itu adalah password baru kamarnya, kutipan Lord of Shadow dari Tales of Seven Lords. Secara otomatis pintu terbuka, menampakkan sumber keresahan si Demon Ketiga dari Tujuh Bersaudara. Levi bergegas menghampirinya.

Rambut putih yang biasanya ikal mengembang kini basah dan kuyu. Poninya nyaris menutupi mata, selain efek basah mungkin Arciel belum sempat memotongnya. Tanpa mengatakan basa-basi, Arciel memeluk Leviathan. Bagian bahu dan lengan kaosnya basah. Kulitnya dingin. Levi bertanya-tanya dalam hati, apa dia berlama-lama di kamar mandi?

“A-Arc?” panggil Leviathan terbata. Dia balas merengkuh tubuh mungil yang tenggelam dalam pelukannya.

Arciel mendongak, mata warna-warninya mengintip pedih di celah-celah poni. Bibirnya pucat, gemetar mengatakan kalimat kotor yang kali ini tak mampu membakar hasrat Levi. “I want you to rail me. Fuck me until I forgot everything but screaming your name.”

Leviathan menggeleng. Kesedihan terpancar sejelas ini. Nada putus asa itu menusuk jantungnya. Dia memang demon, tapi dia tak ingin mengambil keuntungan dari rasa sakit seseorang.

“You don't need that, Arc.” Leviathan menyibak poni basah itu ke atas, lalu merendahkan badan untuk mendaratkan sebuah kecupan di dahinya. “Biar kukeringkan rambutmu. Kamu bisa pinjam bajuku dulu. Sebentar, kuambilkan hair dryer.”

****

Leviathan menggigit lidah tepat sebelum ia berteriak gugup bercampur malu melihat Arciel duduk telanjang di tempat tidur dan mendekap bantal Azuki-tan. Ia nyaris menjatuhkan hair dryer gara-gara itu. Meski tidak bisa mengendalikan warna wajahnya, ia bisa menjaga tindakannya. Leviahan membungkus Arciel dengan selimut Ruri-chan.

“N-nanti kamu masuk angin,” ucapnya. Arciel menoleh sebentar, mengangguk, dan mengucapkan terima kasih dengan pelan. “Rambutmu kukeringkan dulu, ya?” Kelanjutan pertanyaan Leviathan hanya dijawab dengan anggukan.

“Sudah. Arc mau kubuatkan cokelat panas?” tanyanya lagi, Arciel menggeleng.

“Kalau kamu mau bercerita, I'm all ears. But if you don't want to, don't force yourself. I'm always here.” Leviathan mendekap Arciel dari belakang.

“Soon, I'm gonna get a new scar.” Satu kalimat itu membuat Leviathan membalik badan Arciel dan memeriksa tangannya. Leviathan takut Arciel melukai dirinya secara harfiah, beruntung tidak ada luka atau bekas luka baru.

“Hanya kiasan kok. Maaf membuatmu cemas, Lev.” Arciel mengusap pipinya.

“Jangan meminta maaf!”

Leviathan meraih tangan kiri Arciel, mencium bekas luka sayatan di pergelangan tangannya. Bekas luka yang membuat Leviathan berjanji pada diri sendiri untuk terus menjaga seseorang yang sangat dia cintai. Dia tidak ingin hal buruk terjadi. Dia tidak mau bekas luka itu bertambah.

Rona mulai kembali ke wajah pucat Arciel. Kehangatan Levi merasuk ke jiwanya, bahkan mencapai waktu-waktu yang hilang. Dia menggigit bibir, berdebat dengan diri sendiri mengapa datang ke kamar Leviathan .... Mengapa dia ingin bercerita, tapi sekaligus enggan melakukannya? Mengapa melihat Leviathan memberinya kekuatan bahwa semua akan baik-baik saja, bahkan tanpa satu pun kata?

“Bolehkah aku melihat bekas lukamu?”

Arciel menanyakan itu sebagai gantinya. Leviathan membuka baju, terdapat beberapa bekas luka sisa perang dan jatuh. Arciel menelusurinya dengan jari dan mengecup bekas luka yang letaknya tertinggi, di sekitar selangka.

Mereka belum bertemu ketika semua itu terjadi, mereka hanya berbagi cerita. Mereka tahu mengapa luka-luka itu ada, tetapi mereka hanya bisa mencegah agar tak ada luka baru.

Kulit mereka bertemu, kehangatan tersalur. Air mata membanjir. Kata-kata meluncur lamat-lamat ibarat gerimis, sebagian bernostalgia, selebihnya berbagi momen yang baru terjadi.

Dua orang dengan bekas luka berbeda, baik yang kasat dan tidak oleh mata ... saling memeluk hingga pagi tiba.

—end