leviaphile

Sekilas Alerta

Alerta Nox lahir di keluarga kaya dan memiliki IQ jauh di atas rata-rata. Namun, sejak bermimpi bertemu sosok misterius dari dalam cermin saat berumur 12 tahun, Alerta dikutuk. Alerta bisa melihat angka-angka dari makhluk hidup, mulai dari temperatur tubuh hingga kandungan tertentu dalam darah. Angka-angka tersebar di penglihatan Alerta, berjajar di udara dan berkerlip membuatnya pusing. Sebisa mungkin, dia mengurangi interaksi dengan makhluk hidup.

Suatu hari, Alerta terdampar di dunia aneh. Kemampuan anehnya bertambah. Jika mau, Alerta bisa melihat angka-angka dari benda mati. Alerta yang berusaha mencari jalan pulang akhirnya mendaftar NRC. Dia bersyukur ditempatkan di dorm yang terkenal individualistis dan anti-sosial.

Di kemudian hari Alerta akan mengenal Yuu, sesama manusia dari dunia lain. Alerta bingung mengapa Yuu tidak cocok dengan tujuh dorm sehingga harus menghuni Ramshackle. Namun, untuk saat ini Alerta masih sibuk beradaptasi di dunia baru.

“Alerta! Apa kamu mau membantuku membujuk Nii-san agar datang rapat?” ajak Ortho Shroud, satu-satunya angin segar bagi Alerta karena dia tidak bisa melihat angka-angka pada diri Ortho. Alerta pun teringat adiknya setiap melihat Ortho.

Kakak Ortho yang selalu pakai tablet itu, kan? Idey ... Idea ... oh, Idia Shroud, batin Alerta sebelum mengikuti ajakan Ortho.

Sesampainya di kamar Idia, Alerta tidak mendapatkan kesan pertama positif walau angka-angka yang dia lihat relatif luar biasa, terutama tentang rambut dan warna bibir. Alerta langsung tahu bahwa Idia memang dikutuk. Di pihak lain, meski sempat mengoceh suram tentang “normie”, Idia lekas paham kalau Alerta bukan normie biasa.

Percakapan berjalan canggung tanpa basa-basi. Idia menolak. Ortho mengalah. Alerta bosan, kemudian pandangannya tidak sengaja terarah pada light novel fantasi di tempat tidur Idia. Sampulnya seperti sepasang kekasih, lelaki berekor ular memegang pedang legendaris bersama dengan perempuan bermata pelangi.

“Boleh kupinjam?” Alerta jarang tertarik pada fiksi, tetapi seolah ada magnet kuat di buku ini.

“A-aku sudah selesai membaca, tapi bukan berarti kamu boleh membawanya pergi,” tukas Idia, agak heran dengan diri sendiri mengapa tidak langsung menolak.

“Kenapa tidak membaca di sini saja? Boleh, kan, Nii-san?”

Kalimat Ortho itulah pembuka kisah pertemanan sesama manusia terkutuk dari dunia berbeda. Dua orang yang saling membenci tetapi ternyata akur juga. Yang satu berusaha pulang dan mencari jati diri, sedangkan yang lain akan berkenan repot demi membantunya.

author: leviaphile language: English fandom: Obey Me pairing: Diavolo x DD (MC)


Tonight, Diavolo is a Cinderella.


Since childhood, Diavolo has been at the top. His family holds supreme power in Devildom. Along with privilege, Diavolo also has to accept the mental burden. He learned to live up to people's expectations.

Most people fear, even avoid him. He has a few close friends indeed, such as Barbatos who he considers a brother and Lucifer who is his best friend. Lucifer's brothers also welcomed him positively. However, he sometimes feels lacking.

Diavolo must be able to suppress his desire. Diavolo must be someone the entire Devildom can rely on. Even though he was occasionally seen playing around, he was always serious about his work.

As it is now. On the Diavolo desk, there were two stacks of documents. There are still quite a lot of unfinished documents. He asked Barbatos to do some work in another room. His activities were distracted by DDD ringing.

A call from DD. A smile appeared on Diavolo's tired face.

“Hello, DD.” Diavolo felt more relaxed while talking to DD, but he still sounded tired.

DD immediately asked, “Hello. You sound tired. What are you doing?”

“I'm still working,” Diavolo answered.

“At this hour? Have you had your dinner?”

Diavolo glanced at the dinner he hadn't touched. He wanted to finish work first so he could eat in peace. “Barbatos served it but I haven't eaten.”

“Diavolo....” DD took a few seconds to catch her breath “Get ready! I will kidnap you.”

Diavolo's laughter broke. Suddenly he wanted to be kidnapped. He was taught to be wary of kidnappings, but if DD did it... honestly, Diavolo would be very happy. “I'll wait for you, DD.”


Diavolo was eating the last bite of dessert when his DDD rang again. DD tells him to eat before being kidnapped. One hand wiped his mouth with a tissue, and the other answered the call from DDD.

“Hello—”

“Pssst, Diavolo. I came to kidnap you. I'm under the window,” said DD without further ado.

Immediately, Diavolo peeked behind the curtains of the room. DD waves at him with a big smile.

“Wait, I'm coming down,” Diavolo said. It would have been easier if he had snuck out.

This Demon Prince stopped briefly to tell Barbatos if he wanted to rest, anticipating the possibility that Barbatos might find him. Then he secretly went out of the palace using special magic.

DD didn't look like the kidnapper in Diavolo's imagination. “Hey, DD! I thought you brought a rope or something,” Diavolo joked.

DD giggled before taking something out of her pocket. The remaining half of the potion. “I brought a better one. Drink this potion.”

Without a doubt, Diavolo drank the potion. DD won't hurt him.

DD then explained that she accidentally made the potion in class a few days ago. DD didn't know where is the error. When tested, her charm potion had the opposite effect. This magic potion made a person unrecognizable and look worthless. “The effect is only until midnight, but I think it's enough,” added DD.

“Interesting. Let's have some fun, DD.” Diavolo's enthusiasm grew stronger. This is his hidden dream.

Diavolo reaches out to DD. His teleportation magic will increase efficiency. Diavolo didn't want to waste time. DD answers the hand grip.

Mission to kidnap Diavolo, on going!


The place Diavolo wanted to go was the Folk Festival. Diavolo had visited this place as a Demon Prince, but privilege made him treated differently.

This was the first time he had been able to pass by people without them bowing respectfully. It was the first time residents had walked by him without feeling intimidated. Freedom is a rare phenomenon in Diavolo's long life. Diavolo inwardly praised DD's potion, if only the potion could be reproduced.

Meanwhile, DD was happy to see Diavolo having a good time. She just wanted Diavolo to rest, to let go of the heavy weight on his shoulders for a moment. They walked around the festival, bought snacks, and tried some games. Usually, Diavolo has a bright personality and laughs a lot, but this time his laughter was different. Feels free. Totally free.

“DD, over here! I have something to try.” Diavolo guides DD running through the crowd.

They arrived at an open field that was quite crowded with people. This place is at the end of the festival.

The bonfire adds to the warm atmosphere. Several local orchestras play folk songs. Residents dance, regardless of gender and age. Their dance was messy but fun, not like dancing at a noble's party. Diavolo and DD join in the dance, lost in euphoria.

In the middle of the dance, Diavolo suddenly had a melancholy thought. This magic only works until midnight, like in Cinderella's fairy tale. However, one of the differences, Diavolo felt a miracle to be like a commoner.

Play like ordinary people. Dating like normal people. Just for tonight, and will be remembered forever.

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel setting: local AU note: songfic JKT48 – Dirimu Melody. disarankan membaca songfic singkat ini sambil mendengarkan lagu tersebut


Sinar mentari yang menjadi sihir musim semi Seluruh kota dan semua orang jadi bercahaya Angin yang berhembus pun tanpa sadar membuatku Bersenandung sendiri di sini

Favorite song kita berdua yang lama tersimpan Jauh di dalam kenangan telah terlupakan Entah kenapa aku jadi teringat kembali Kan lagu itu


Arciel dimintai tolong tetangganya mengantar buku anak mereka yang ketinggalan. Kebetulan, arah SD searah dengan kantor tujuan Arciel. Usai memberikan buku, intuisi Arciel menuntunnya untuk berkeliling. Dia ingin bernostalgia.

Rasanya sudah lama Arciel tidak mengingat masa kecil. Terkadang memang teringat, tetapi hanya sambil lalu. Keseharian Arciel sudah padat dengan studi, organisasi, dan pekerjaan. Sekarang dia menjadi seorang editor penerbit yang rutin dikejar tenggat, sehingga nyaris tidak ada waktu untuk berlama-lama melamun. Di luar perusahaan, Arciel juga menjadi seorang penulis.

“Ini Ruri-chan.” Seorang bocah laki-laki menunjukkan layar gadget pada teman sebayanya.

“Ini Ruri-chan.” Bocah laki-laki berambut biru keunguan menunjukkan kartu bergambar penyihir perempuan kepada Arciel kecil.

Arciel mundur selangkah ketika tiba-tiba melihat sosok bocah lain. Begitu dia mengerjapkan mata, bocah tersebut kembali ke wujud aslinya. Bocah berambut biru keunguan adalah memori belaka.

“Oh, sekarang anime ini dirilis ulang,” gumam Arciel sambil mengecek informasi tentang Ruri-chan di internet. Sekarang judulnya adalah The Magical Girl Ruri Hana: Reborn.

Ada teman SD Arciel yang menggemari tokoh Ruri-chan. Hampir setiap hari dia bercerita. Arciel jadi menonton The Magical Girl Ruri-chan karena anak tersebut. Dia ingin bisa menanggapi ceritanya dengan baik.

Bocah itu memiliki mata jingga dengan dasar ungu, mengingatkan Arciel pada senja di laut. Dia menangis kencang saat ikan mas yang baru dibeli mati, tetapi tidak takut saat ada ular di halaman SD. Menurut Arciel dulu, dia memiliki senyuman yang sangat manis.

Ah, indahnya cinta monyet anak kecil.

“Leviathan, ya? Bagaimana kabarnya sekarang?” Arciel menggumam.

Leviathan. Sesuatu yang hangat memenuhi rongga perut Arciel saat menyebut namanya. Dia mengasumsikan ini sebagai efek kenangan manis. Secuil serotonin di tengah hari yang melelahkan. Rasa rindu melankolis yang menggelitik untuk memutar jarum waktu.

“Semoga kamu baik-baik saja, Leviathan,” bisik Arciel sebelum mendongak menatap angkasa, karena di manapun tempatnya ... mereka selalu berada di bawah langit yang sama.


Rasa cinta yang sejak dulu selalu kupendam Kini kan bersiap Radio yang bersuara bising perlahan mulai terdengar Menembus waktu

Dirimu melody, melody yang kurindukan harmony, harmony Ku menahan rasa sakit karena ku tak mampu mengatakan suka Milikku melody, melody Hanya refrain yang bisa kuingat Masa mudaku yang pilu Hari-hari yang berkilau kan kembali lagi


Leviathan mengerjakan revisi untuk menambahkan beberapa detail pada project. Mereka butuh ilustrasi seorang Mahadewi. Sosok ini hanya akan muncul tiga detik, tetapi harus memiliki magnet yang kuat. Dua desain yang disetorkan Leviathan ditolak karena katanya kurang berkesan.

Alhasil dia melamun, menggali referensi dari ratusan judul anime yang pernah dia tonton. Ruri-chan mungkin bagus, tetapi dia ingin sesuatu yang lain. Kemudian, dia beralih mencari referensi dari perempuan nyata. Masih tidak ada yang cocok. Dia mengingat-ingat primadona kampus, idola fakultas, siswi populer di sekolah. Masih nihil ide.

Tiba-tiba sosok teman masa kecil menyeruak di otaknya. Hati Leviathan berdesir aneh ketika mengingat perempuan itu: Arciel. Sahabat dan cinta pertama Leviathan, yang bisa-bisanya lebih dari sepuluh tahun dia lupakan.

Jemari Leviathan bergerak sendiri menggoreskan pen tab. Dia menggambar interpretasinya tentang Arciel dewasa. Baru sketsa, tetapi Leviathan merinding. Meski begitu, dia tidak rela menyerahkan desain ini. Lebih baik dia menggambar dengan referensi Ruri-chan saja.

“Arciel, bagaimana kabarmu?” gumam Leviathan, mulai mewarnai sketsa Arciel.

Rambut putih bergelombang yang berkilau di bawah cahaya. Mata warna-warni seperti pelangi. Kompleksitas dan kepolosan dalan senyumnya. Cantik. Terlihat rapuh, tetapi baik hati dan pemberani.

Pantas saja aku belum pernah tertarik pada orang lain. Ternyata dulu aku menyukai seorang Mahadewi, batin Leviathan.

Leviathan ingat dia tidak bisa masuk sekolah karena sakit perut di hari kepindahan Arciel. Semua karena kakaknya, Mammon, mengerjai Leviathan untuk makan ramen super pedas malam-malam. Dia sempat mogok bicara pada Mammon selama satu bulan gara-gara ini.

Dulu dia sempat menulis surat cinta—yang gagal diberikan karena tidak bisa bertemu. Leviathan jadi malu sendiri mengingat isinya. Akan tetapi, dia kini berandai-andai. Apa yang terjadi jika dia mampu menyerahkan surat itu kepada Arciel?


Dari tengah kota aku berjalan bersamamu Dan tersesat di masa mudaku yang telah berlalu Tanpa ku sadari diriku telah tumbuh dewasa Tanpa sempat mendengarkan lagu

Mungkinkah ku terlanjur melupakan sesuatu Diri ini hanya sibuk mencari hal yang baru Diriku yang sekarang seolah seolah ditanya Oleh musik itu


Roda waktu melaju begitu cepat. Semakin tumbuh, rata-rata manusia menjadi semakin mekanis. Mengejar target ini, mengerjakan tugas itu. Tidur, dan bangun lalu bergerak lagi.

Sejak berpisah, mereka tidak menemukan cara untuk berkomunikasi. Pada masa itu teknologi belum secanggih sekarang. Kesibukan membuat mereka perlahan tidak sempat mengingat, dan berujung terlupakan secara alami.

Walau beberapa kali mencoba mencari jejak, keduanya menjumpai kegagalan. Mereka kekurangan sangat banyak informasi. Bahkan, mereka lupa nama belakang yang lain.

Terkadang, manusia akan bertemu seseorang yang sangat berkesan. Sosok yang membuat waktu singkat dapat selamanya membekas.

Tidak ada pertemuan kembali. Hanya menjadi memori. Cuma berjumpa di angan. Menawarkan mimpi untuk berlari saat realitas terlalu kejam.

Arciel tersenyum setelah membaca cerita singkat yang dia buat sambil mengenang Leviathan. Ternyata menulis hal yang disukai terasa sangat membebaskan, berbeda dengan tulisan-tulisan wajib yang kerap membuatnya terbebani.

Leviathan tersenyum melihat ilustrasi Arciel di wallpaper ponselnya. Dia tidak salah mengganti wallpaper. Setiap suntuk dengan pekerjaan, melihat Arciel mampu membuatnya sedikit nyaman.


Hal hal yang kebetulan selalu mengajarkan Bahwa masa depan ternyata semua ada artinya Cinta yang lama terpejam Kini terbangun

Manisnya memory, memory Yang kuimpikan glory days, glory days Keabadian yang ada dalam perpisahan, itulah janjiku Suddenly memory, memory Bayangan itu semakin jelas Diriku yang tanpa sadar senandungkan lagu ini sekarang pun masih


Leviathan keluar dari ruangan dengan hati ringan. Diskusi berlangsung sangat lancar sehingga meeting selesai setengah jam lebih awal. Dia bermaksud membuat minuman sebentar di lantai dua sebelum kembali ke ruangannya.

Di tangga, dia melihat seorang perempuan berambut putih hendak naik ke lantai tiga. Mata Leviathan tidak bisa berpaling darinya. Perempuan serius membaca berkas sambil berjalan. Kemudian, dia mendekap berkas dan menarik napas. Matanya warna-warni.

“Arciel?” panggil Leviathan tanpa sadar.

“Eh? Iya, saya?” sahut Arciel spontan. Bahkan, suaranya tidak jauh berbeda dari yang Leviathan ingat.

Leviathan turun dua langkah sehingga anak tangga pijakan mereka sejajar. “Apa kamu tidak bertambah tinggi, Arcchan?” tanyanya.

Arciel mengamati Leviathan lekat-lekat. Dia mengenali panggilan akrab dan senyuman itu, tetapi perubahan Leviathan cukup drastis. Dulu tinggi mereka hampir sama, sekarang Arciel bahkan tidak mencapai bahu Leviathan.

“Leviathan! Levlev!” serunya.

Senyuman Arciel membuat Leviathan salah tingkah. Tatapan lurus Leviathan membuat wajah Arciel memerah. Keduanya terdiam saling menatap. Sosok asli ternyata lebih indah dari yang mereka bayangkan.

Baik Leviathan dan Arciel lantas memikirkan hal yang hampir sama: Kenapa selama ini aku bisa melupakanmu?

Mungkin perasaan itu bukan hanya kenangan. Atau perasaan terkubur memekarkan sesuatu yang lebih agung. Leviathan dan Arciel tidak yakin apakah ini dinamakan cinta, tetapi mereka bahagia saat kembali berjumpa. Mereka tidak ingin berjauhan lagi. Mereka lega sebab tidak ada yang mengenakan cincin di jemari.

“Mau makan siang bersama?” ajak Leviathan sembari menggaruk pipi. Sekarang dia adalah lelaki dewasa. Dia harus lebih percaya diri.

Arciel terkesiap mendengar ajakan Leviathan yang tiba-tiba. Dia tidak punya agenda penting setelah ini. Dia akan minta izin supaya boleh kembali ke kantor setelah jam makan siang. “Mau,” jawabnya.

Waktu tidak bisa diputar ke belakang. Namun, mereka bertemu lagi di masa depan. Mereka telah memiliki cukup kekuatan untuk berjuang di jalan yang dipilih.

Mulai detik ini, mereka akan berbagi lebih banyak memori. Di setiap langkah, terdengar sebuah melodi.

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Satan x Aira (MC), slight interaksi Leviathan x Arciel note: singkat, random, mungkin ooc. btw aku gak main pq sekarang tapi sepintas denger mc jadi domba


“Apakah kamu masih mencintaiku jika aku adalah seekor domba?”


Arciel dan Leviathan bermaksud menyampaikan rencana kejutan ultah Satan kepada Aira. Kemudian, mereka terkejut melihat ada seekor domba di kamarnya. Warna bulu dan mata domba mungil tersebut sangat mirip Aira.

“Arci, ini aku,” ujar domba dalam suara Aira. Ia terdengar hampir menangis, “aku membuka link aneh di DDD, lalu tiba-tiba saja berubah menjadi domba.”

Sementara Leviathan mengecek link di DDD, Arciel memeluk domba Aira untuk menenangkannya. Karena gemas, Arciel beberapa kali mencium kepala domba tersebut.

“Aku juga mau menjadi domba,” gumam Leviathan pelan, sehingga domba Aira malah memanas-manasinya.

Arciel tidak mendengar karena fokus pada domba Aira, lalu dia bertanya, “bagaimana linknya, Levi?”

“Link ini berisi sihir random untuk setiap orang pertama yang membukanya, tetapi akan hilang dalam 24 jam,” jelas Leviathan.

Mereka sedikit lega karena kondisi Aira sekarang hanya sementara. Akan tetapi, setelah tersadar sesuatu, domba Aira menangis. “Ulang tahun Satan bagaimana dong?” isaknya.


Satan mencari-cari Aira selama pesta ulang tahunnya. Dia menduga Aira sedang menyiapkan kejutan. Tak lama setelah itu, Satan tidak sengaja mendengar domba berbicara dalam suara Aira kepada Arciel dan Leviathan. Dari apa yang Satan dengar, perubahan Aira menjadi domba adalah ketidaksengajaan.

Tiba-tiba Satan mengangkat domba Aira dari gendongan Arciel, membuat mereka bertiga terkejut. “Tidak apa-apa. Aku yang akan menjaga Aira,” ujar Satan sebelum mereka mengatakan apapun.

Satan mengakhiri pesta ulang tahun lebih awal. Orang-orang curiga Satan ada janji di tempat lain dengan Aira yang belum kelihatan. Demon tersebut lantas menggendong domba Aira ke kamar. Domba Aira menatap ke arah Arciel dan Leviathan untuk meminta pertolongan. Sesaat Arciel seperti berniat menghampiri domba Aira, tetapi Leviathan mengatakan entah apa sampai Arciel membatalkan niatnya.

“Aira, kamu imut sekali saat menjadi domba,” puji Satan sembari mengusap kepala berbulu domba Aira.

Tadi Satan tidak begitu memperhatikan karena menunggu Aira. Sekarang dia asyik mengamati setiap gerak-gerik domba Aira. Sangat menggemaskan. Aira menahan malu sebab mata Satan terus memperhatikannya dalam wujud ini.

“Aira, apa saat menjadi domba kamu juga mengerti bahasa domba?” tanya Satan saat mengajak domba Aira menonton Shawn the Devilsheep.

“Tentu saja tidak,” jawab Aira.

“Apa selera makanmu ikut berubah, Aira? Aku bisa mengambilkan rumput,” tawar Satan sebelum mengambilkan makan malam.

Aira merasa terkena serangan mental. Dia hanya domba di fisik. Mana mau dia memakan rumput? Aira cepat-cepat menggeleng. Badan dombanya sedikit bergoyang ketika dia menggelengkan kepala. Domba Aira ingin makanan normal.

“Sebagai seekor domba, apa pendapatmu tentang kasus di peternakan ini?” Satan mengajak domba Aira berdiskusi terkait buku yang dia baca.

“Domba hanya ingin hidup sehat, bahagia, dan berumur panjang. Domba tidak ingin pusing. Hanya ingin rebahan dan mengembek seharian,” tukas Aira asal.

“Apakah kita memerlukan revolusi peternakan?” tanya Satan lagi.

Pertanyaan Satan membuat Aira agak syok. “Lupakan. Aku hanya bercanda,” ujar Satan.


Mereka menghabiskan waktu di kamar Satan untuk membaca buku bersama. Satan duduk di kasur membaca buku sihir tebal. Domba Aira duduk di atas bantal, membaca buku khusus tentang kontra kutukan. Dia penasaran apakah ada cara yang lebih cepat untuk menghilangkan sihir transformasi. Dia ingin memperkaya referensi mantra supaya bisa menjadi penyihir yang lebih hebat.

Tidak kunjung paham dengan isi buku membuat Aira menjadi murung. “Satan, apa kamu masih mencintaiku jika aku adalah seekor domba? Domba sungguhan begini. Bukan sekadar anggapan bahwa karakterku mirip domba atau lambang binatangku domba,” tanya domba Aira.

“Tentu,” jawab Satan seraya tersenyum, “harusnya malah aku yang bertanya. Apakah kamu masih mencintaiku jika kamu adalah seekor domba?”

Satan mengelus kepala domba Aira penuh kasih sayang. “Jangan khawatir, Dombaku. Aku akan selalu mencintaimu, dan aku pasti bisa menemukan cara untuk mengembalikanmu.”

Kata-kata Satan mampu menenangkan Aira. Mereka melanjutkan aktivitas dengan lebih santai.

00.00. Alarm di DDD Satan berbunyi. Tatapan mata Satan melembut.

“Aira,” panggilnya sambil mengangkat tubuh domba Aira.

Pada tengah malam, Satan mengecup dahi domba Aira. Mendadak seisi kamar Satan bercahaya. Aira kembali ke wujud manusia dan terduduk di pangkuannya. Wajah mereka berdua sama-sama memerah. Entah bagaimana mantra sihir di badan Aira sirna sebelum 24 jam.

“Selamat datang kembali,” sambut Satan, “dan selamat ulang tahun.”

21 Oktober. Ucapan ulang tahun pertama. Pelukan pertama. Satan yang melakukannya ...,

... juga kecupan kedua di dahi Aira.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel setting: Pirate AU note: warning NSFW, agak PWP, mungkin sedikit dark di beberapa aspek


Leviathan, satu dari tujuh pimpinan kru bajak laut House of Lamentation menculik Arciel, seorang gadis petani yang mereka temui di pulau persinggahan sebelumnya. Arciel bingung melihat gelagat aneh Leviathan ..., hingga pada suatu titik Arciel turut mempertanyakan dirinya sendiri.


Leviathan membawa Arciel ke kamarnya. Dia mengikat tangan dan kaki Arciel di tempat tidur agar tidak kabur. Usai memastikan ikatannya tidak terlalu kencang, Leviathan baru tersenyum lega. Kemudian, Leviathan melepaskan coat oranyenya untuk menyelimuti Arciel.

“Maaf, aku harus membawamu paksa.” Dia membelai pipi Arciel.

Berdasarkan perkiraan Leviathan, seharusnya tidak lama lagi Arciel bangun. Leviathan lekas ke dapur untuk mencarikan Arciel makanan. Dia ingin memasak, tetapi takut Arciel bangun sebelum makanannya jadi. Dia tidak ingin Arciel kelaparan.

Arciel sudah sadar ketika Leviathan kembali. Sepintas tatapan matanya kosong, tetapi Leviathan tahu Arciel sedang mencerna situasi.

“Arci, apa kamu lapar? Di dapur hanya ada hotdog dan donat,” ujar Leviathan berseri-seri. Arciel merasa ngeri.

“Kenapa kamu menculikku?” tanya Arciel setenang mungkin, berusaha supaya tidak terlihat terintimidasi.

Dia tidak habis pikir mengapa Leviathan menculiknya. Dalam hal apapun, Arciel bukan orang yang terlalu menonjol. Uang tebusan jelas bukan target Leviathan karena dia tahu Arciel tinggal sebatang kara. Kakak angkat Arciel, Noir, merantau ke ibukota.

“Aku sudah pernah mengajak, kan? Aku cuma menjemput. Ayo kita jadi bajak laut dan bersama-sama mengelilingi dunia.”

Leviathan tidak terdengar merasa bersalah. Dia malah bingung bagaimana cara Arciel makan. Dia belum mau melepaskan ikatan Arciel. Wajahnya tiba-tiba memanas. “A-Arci, mau kusuapi?”

Ketenangan emosi yang susah payah Arciel bangun pun luntur. “Tidak. T-terima kasih.”

Dia pasti mabuk atau gila. Bagaimana cara supaya aku selamat darinya?

“Mau minum sesuatu? Mau ganti baju? Aku sudah membeli banyak baju untukmu. Mau kubacakan cerita?” Leviathan terus menghujani Arciel dengan pertanyaan. Arciel kesulitan membaca jalan pikiran Leviathan.

“Tolong lepaskan aku!” pinta Arciel memelas.

“Asal kamu berjanji tidak akan lari dariku.” Leviathan tersenyum pedih.

Apa maksudnya? Ekspresi sedih yang sesaat ditunjukkan Leviathan membuat Arciel heran. Dia yang korban di sini, kenapa si Penculik justru tampak menderita?

“Lepas!” sentak Arciel dingin.

Tidak.

Suara Leviathan terdengar tak terbantahkan. Arciel merinding. Leviathan membelai rambut Arciel dengan niat menenangkan. Dia mencium ujung rambut Arciel. Wangi yang tidak pernah dia lupakan. “Arciel, sudah lama sekali aku mencarimu. Aku sangat merindukanmu.”

Apa dia sudah gila? Kami baru saling kenal tiga hari lalu.

“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya Arciel hati-hati.

Ini adalah kali kedua Arciel bertanya. Saat mereka pertama bertemu, Leviathan menangis haru. Arciel tidak pernah keluar pulau. Dia juga tidak punya riwayat amnesia. Namun, Leviathan bersikap seolah mengenalnya. Waktu itu Leviathan hanya tersenyum dan meminta Arciel membawa kru bajak laut House of Lamentation ke restoran terdekat.

Seperti perjumpaan pertama mereka, sekarang pun Leviathan tersenyum. “Aku mencintaimu,” ucapnya sendu.

“Levi, apa kamu mabuk?”

“Aku mencintaimu, Arciel.”

“Aku tidak—” Arciel berhenti. Kenapa hatiku mendadak terasa perih?

Logika Arciel menepis emosi tidak masuk akal tersebut. Lidahnya berat ketika melanjutkan, “Aku tidak mencintaimu, Leviathan. Aku tidak mungkin mencintaimu.”

Leviathan tampak terluka—yang makin aneh bagi Arciel, tetapi dia tersenyum lembut. “Kamu mencintaiku. Kamu hanya tidak ingat.”

Jeda yang menyesakkan. Kemudian Leviathan berbalik, “Mau kuambilkan makanan apa, Arci?”

“Mana mungkin aku mencintaimu?! Kamu adalah orang asing sampai tiga hari yang lalu. Kita memiliki jalan hidup yang berbeda. Aku bahkan mencintai orang lain. Kamu mungkin sedang mabuk atau dalam pengaruh obat aneh,” papar Arciel.

Tangan Leviathan terkepal mendengar Arciel mencintai orang lain. Tidak boleh. Aku adalah satu-satunya orang yang kamu cintai.

“Siapa orang itu?” desis Leviathan.

“K-kamu tidak perlu tahu.” Arciel merasakan bahaya. Dia ingin lari tetapi kondisinya masih terikat.

“Kalau begitu ...” Leviathan mengambil pena di atas meja. “Arciel, aku akan membuatmu ingat.”

Leviathan melemparkan coat jingga ke lantai. Arciel memejamkan mata, pasrah jika Leviathan menusuknya. Akan tetapi, dia hanya menggambar sebuah simbol di dada Arciel yang tidak tertutup pakaian. Simbol tersebut mengeluarkan cahaya jingga selama sepersekian detik.

Tinggal kontak fisik sebanyak mungkin untuk memicunya, tapi .... Batin Leviathan berkonflik. Dia tidak ingin memaksa. Namun, Arciel berkata dia mencintai orang lain. Arciel yang ingkar janji. Leviathan hanya ingin Arciel ingat siapa pemilik hatinya.

Kecemburuan menguasai Leviathan. Dia mencium Arciel. Kerinduan yang bergelora dibalut keputusasaan. Emosi abstrak tersampaikan melalui ciuman, tetapi Arciel masih menerka. Mungkinkah Leviathan menciumnya dengan ... cinta? Bagaimana bisa?

Sesaat Arciel memejamkan mata pelanginya, hanyut dalam ciuman Leviathan walau dia tidak membalas. Kemudian Arciel membuka mata, berniat mengusir Leviathan, bila perlu membenturkan kepala ke kepala lelaki tersebut. Ternyata Leviathan masih memejamkan mata, menangkup kedua pipi Arciel, dan mencium sepenuh hati.

Arciel merasa cara Leviathan menciumnya seperti seorang kekasih, bukan ciuman pelanggan kepada pelacur. Arciel tahu dia tidak boleh berpikir demikian, tetapi semakin lama semua terasa membingungkan. Dia mengenali ciuman Leviathan.

Seharusnya ... Leviathan asing, kan?

“Manusia, kamu akan mati jika terus tenggelam begini.” Arciel sedikit membuka mata dengan mengerahkan sisa kesadarannya. Sekujur badan Arciel sakit. Dia tidak sanggup berbicara.

Naga laut berwarna kebiruan menatap Arciel iba. “Aku benci manusia, tetapi aku tidak ingin membiarkanmu mati.”

Sang Naga berubah wujud menjadi manusia dengan beberapa fitur naga. Wajah pria tersebut buram. Arciel hanya bisa melihat dia bertanduk, berekor, sisik di leher, dan semacam duri-duri mencuat di salah satu sisi dadanya. Pria naga itu menggendong Arciel. Kemudian, dalam sekejap mereka berpindah ke sebuah peradaban bawah laut. Istana adalah hal terakhir yang Arciel lihat sebelum pingsan.

Arciel mengerjapkan mata. Dia tidak tenggelam, tetapi pengalaman itu terasa begitu nyata. Tatapan Leviathan membuat Arciel memalingkan pandangan, tetapi dia malah menemukan sesuatu yang mengejutkan: Tanda di leher Leviathan mirip sisik naga yang baru saja Arciel lihat.

“Naga laut?”

Leviathan menjawab melalui sebuah ciuman. “Mau mengingat lebih banyak?”

Seolah terhipnotis, Arciel mengangguk. Dia tidak tahu apakah dia sungguh menginginkannya. Dia ingin menolak. Dia ingin tahu. Dia menganggap ini cara untuk bertahan hidup. Dia takut, tetapi lebih takut mati. Alhasil, Arciel membiarkan Leviathan menyentuhnya.

Suara robekan kain terdengar jelas di telinga Arciel. Leviathan memotong pakaiannya menggunakan dagger. Lalu, Leviathan melemparkan ikat pinggang dan dagger-daggernya ke lantai. Terdengar bunyi nyaring sehingga Arciel refleks menutup mata.

Ini tidak apa-apa. Ini tidak apa-apa. Ini tidak apa-apa.

Arciel mensugesti dirinya sendiri untuk melupakan rasa takut. Dia berpikir Leviathan akan berhenti karena badannya tidak menarik. Kalau Leviathan bosan, Arciel tinggal memohon agar dibiarkan hidup. Dia akan turun di persinggahan selanjutnya, meminta sedikit kompensasi supaya bisa pulang kampung.

Pemikiran Arciel salah. Leviathan memandanginya dengan segenap hasrat dan kerinduan. Dia meminta Arciel melihatnya. Dia ingin Arciel hanya memanggil namanya. Leviathan ingin dicintai.

Dahaga Leviathan mulai terobati saat Arciel mendesah di bawah sentuhannya. Terkadang tatapan Arciel kosong karena penglihatan masa lalu, lalu saat sinar matanya kembali, Leviathan akan menyentuh lebih intens. Dia senang menandai Arciel, dan berharap nanti Arciel mau menandainya juga.

Arciel kesulitan berpikir rasional. Leviathan mengenal baik tubuhnya. Setiap hal yang Leviathan lakukan mampu menggoyahkan pertahanannya. Dia harus berusaha keras supaya tidak menikmati sentuhan-sentuhan amoral.

Di ingatan yang Arciel saksikan, Leviathan merupakan naga pemalu. Dia tidak suka manusia, tetapi tertarik mendengar cerita dari dunia sana. Leviathan yang itu wajahnya akan langsung merah sampai telinga saat sedikit digoda. Dari mana dia belajar hal seperti ini?

Arciel bilang dia mencintai orang lain. Siapa itu? Haruskah aku memanggil teman lamaku, Lotan, untuk menyapu bersih pulau tempat tinggal Arciel? Tiba-tiba Leviathan teringat perkataan Arciel beberapa saat lalu.

Tidak ada yang boleh memisahkan mereka. Seperti di kehidupan-kehidupan lampau, Leviathan dapat melenyapkan orang yang mengganggu Arciel. Tidak ada yang boleh merebut Arciel darinya.

“Levi, sakit.”

Tangisan Arciel menyadarkan Leviathan bahwa dia sudah bertindak terlalu jauh. Dia bersikap teramat kasar karena cemburu. Leviathan ikut menangis.

“Maafkan aku, Arciel. Maaf,” ucapnya seraya melepaskan ikatan Arciel. Leviathan tahu dia keterlaluan, tetapi dia takkan membiarkan Arciel pergi dari hidupnya, “Jangan pergi, Arci.”

Leviathan mendekap Arciel. Badan mereka masih menyatu, tetapi dia tidak lagi bergerak. Leviathan hendak melepaskan penyatuan mereka pelan-pelan, tetapi Arciel merintih sakit lagi sehingga dia berhenti. Leviathan bermaksud menunggu sampai keadaan Arciel lebih tenang.

Perca ingatan dan kesadaran Arciel saling tumpang tindih. Tubuh Arciel masih gemetar dan nyeri, tetapi hatinya tidak bisa membenci. Aneh. Arciel hanya ... kesal? Sesuatu di hatinya malah ingin memeluk Leviathan. Arciel jadi mempertanyakan diri sendiri.

Arciel melirik dagger yang teronggok di lantai, sebelum menggelengkan kepala. Dia tidak boleh gelap mata. Arciel mendongak melihat wajah seseorang yang sedang mendekapnya. Sebuah kilasan masa lalu tiba-tiba hadir.

“Levi, kenapa kamu ingin menjadi manusia? Naga kan keren.” Arciel menggosok ekor Leviathan.

“Aku ingin memelukmu, Arci. Aku ingin berjalan-jalan denganmu dengan bebas. Aku ingin menua bersamamu.”

Sejak jatuh cinta, Leviathan memilih jalan hidup yang sangat sederhana: Arciel. “Dewa bilang, aku bisa menjadi manusia. Tapi syaratnya, setiap terlahir kembali aku akan mengingat kehidupan lampau dan kamu tidak. Arciel, aku akan terus menemukanmu di kehidupan selanjutnya.”

Arciel terdiam. Leviathan rela membuang kehidupan abadi sebagai naga penguasa samudera. Di sisi lain, Arciel hanyalah manusia biasa. Dia tidak punya kekuatan untuk tawar menawar dengan para Dewa. Akan tetapi, jika boleh berkehendak ....

“Kalau begitu, aku akan terus jatuh cinta padamu di kehidupan selanjutnya, Leviathan.” Arciel memeluk Leviathan dari samping. “Kita harus menemukan cara supaya aku bisa mengingat. Aku tidak mau kamu menanggung semuanya sendirian.”

—end

Hello. My name is Mavorte Venhenry, but you can call me Mavochan or Vochan. I'm 12 years old. I have a cute little sister, her name is Givania Arurin. In short, we call her Givachan or Vachan.

Papa Leviathan is the greatest otaku. Well, he still works as Grand Admiral of Hell's Navy, but he looks much happier doing some otaku activities and being a freelancer. To be honest, I like Ultrawitch Rainbow-chan more than Hana Ruri-chan. Then, we both agreed that Mama Arciel is our number one.

Mama has the most beautiful eyes I've ever seen. She doesn't look like a woman at her age. She's too ... cute, but she makes me feel safe and protected around her. Mama is half human and half elemental spirit. She goes to the human world often to do her duty as Daughter of Nature.

Uncle Lucifer told me that I'm a powerful person. During pregnancy, Mama couldn't even leave the house because I unconsciously caused disaster inside her every day, and I'm glad Mama never hates me.

Then, adorable Vachan came as a blessing. I forgot to mention, that Vachan was a human. Uncle Satan once said about recessive genes trait but I don't understand yet.

Since having a little sister, I forced myself to accept that time treats us differently. Years passed by, and she grows sooo fast. I'm her big brother ... but quickly she was older than me. I remain the same. Papa and Mama too. Only Vachan grows up. She became much more mature. She spoiled me like I'm her little brother.

One day, she died in an accident. How easily. How fragile. Why are humans so weak? She studied at RAD. Just ... why? Why did she leave us? Death was new in my vocabulary. That was the first time I see Papa and Mama crying. No miracle happened. She's gone.

Aunty Thirteen informed me that her soul will be reincarnated but her memory will be erased. I'm happy to hear that. She will be born in a different world, in a different family, and walk a different path. She won't remember us, but we're still family. I'm still her big brother for eternity.

“Vachan, my dearest sister, we will love every version of you.”

I truly hope ... we can meet again. Soon.

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Arknights pairing: Nathan (OC) x Elysium setting: College AU


Pasca putus, Nathan tidak bisa melupakan Elysium. Nathan tidak ingin berpisah, tetapi keputusan Elysium sulit digoyahkan.


“Nathan, kita putus!”

Seorang pemuda bangun dengan peluh membanjiri muka. Punggung bajunya pun basah. Mata lelahnya menoleh ke arah jendela. Sinar matahari menembus tirai jendela. Jam berapapun sekarang pasti sudah pagi.

Nathan memang bangun dari mimpi buruk, tetapi dia tidak merasa lebih baik. Mimpi tersebut adalah memori kejadian nyata. Elysium memutuskannya minggu lalu. Nathan tidak bisa berhenti memikirkan Elysium sampai terbawa mimpi.

Elysium, pemuda yang mewarnai hidupnya. Seseorang yang mampu membuat Nathan jatuh cinta sejatuh-jatuhnya. Mereka sering bertengkar, tetapi Nathan menyayangi Elysium sehingga mencoba bersabar. Nathan tidak ingin Elysium pergi ....

... Akan tetapi, Elysium sudah pergi. Tidak akan ada lagi mereka yang makan siang bersama sambil berdiskusi isu sosial. Tidak akan ada lagi mereka yang belajar bersama walau diselingi berdebat tentang jawaban suatu persoalan. Tidak akan ada lagi mereka yang diam-diam bertemu di sudut kampus untuk berciuman. Tidak akan ada lagi mereka yang saling cinta.

Nathan melangkah gontai ke kamar mandi guna membersihkan badan seadanya. Dia tidak repot-repot membuka tirai jendela. Di perjalanan singkat tersebut, Nathan beberapa kali menginjak buku dan baju yang berserakan di lantai. Sementara itu, di meja teronggok botol minuman keras dan terdapat bekas tinjuan yang sedikit berdarah di dinding.

Kamar Nathan berantakan seperti hatinya sejak mereka putus. Jangankan membersihkan kamar, sekadar makan teratur pun Nathan kerap lupa. Kesedihan menggelayuti setiap detik. Nathan merasa ia seperti kapal yang kehilangan arah.

Dia tidak bisa kembali menjadi dirinya sebelum mengenal Elysium. Dia tidak baik-baik saja tanpa Elysium.

Begitu keluar dari kamar mandi, Nathan terlihat lebih segar walau sorot matanya masih suram. Hidup terus berjalan kendati Nathan tidak bergairah dengan rutinitas tersebut. Nathan hanya ingin menyendiri untuk meratapi cinta yang meninggalkannya—entah sampai kapan. Akan tetapi, ada terlalu banyak hal yang harus dia lakukan.

Sembari menyisir rambut, Nathan tidak sengaja melihat gitar yang senarnya putus. Dulu, Nathan biasa menyanyikan Elysium lagu-lagu cinta. Dia tidak tahu sejak kapan senar gitar ikut putus. Dari benda yang fungsinya tidak lagi sempurna, memori indah dan pahit menyerbu Nathan dalam rentetan nostalgia.

“Ely ...,” panggil Nathan pada udara.

Nathan tidak melanjutkan gumaman itu. Dia hanya ingin memanggil nama Elysium. Dia rindu.


Suasana Iberia penuh ingar-bingar peradaban di kala petang. Jalanan macet sebab banyak orang dalam perjalanan. Suara klakson bersahut-sahutan padahal lampu lalu lintas baru berubah warna.

Di tengah kemacetan ini, Nathan belum ingin pulang. Jika dia pulang, dia hanya akan hanyut dalam melankoli. Nathan sedang tidak ingin mengenang. Andai bisa, Nathan ingin melupakan Elysium barang sejenak.

Tadi dia mendapatkan tawaran pertukaran pelajar ke Victoria. Kabur ke luar negeri merupakan pilihan bagus untuk orang yang patah hati, tetapi di sisi lain Nathan tidak ingin semakin jauh dari Elysium. Nathan bilang akan mempertimbangkan tawaran tersebut. Namun, bagaimana dia bisa berpikir jernih jika Elysium terus menghantui? Ah, bahkan sekarang Nathan tidak mampu memahami perasaannya sendiri.

Nathan memilih pergi ke klub malam. Dia mencari pelampiasan.


Botol minuman kosong ditaruh cukup keras di meja kaca. Suaranya yang nyaring memancing pengunjung lain untuk menoleh sebentar. Oh, hanya mahasiswa yang sendirian dan asyik mabuk-mabukan. Mungkin itulah yang mereka pikirkan. Nathan tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengamuk sehingga mereka kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

Secercah keberuntungan datang kepada Nathan. Elysium mengunjungi club saat Nathan masih berada di sana. Usai beberapa kali memastikan bahwa dia tidak berhalusinasi, Nathan menghampiri Elysium. “Ely! Ely!”

Elysium tidak ingin mereka menjadi pusat perhatian. Dia terpaksa mengikuti Nathan. Tatapan intens Nathan membuat Elysium risih. Di bawah pengaruh alkohol, Nathan kemudian berceloteh tentang kerinduannya.

“Ely, lama tidak bertemu. Aku kangen,” ujar Nathan memelas.

Elysium menghela napas berat. Dia gatal ingin membentak Nathan, untung masih bisa menahan diri. “Anggap saja kita tidak pernah saling kenal.”

“Tidak bisa.” Nathan keras kepala. Mustahil baginya melupakan segala tentang Elysium.

“Maaf, Nathan. Jangan semakin mempersulit kita.”

Intonasi Elysium lembut tetapi penuh penekanan. Harus dengan cara apa dia memberitahu Nathan bahwa mereka tidak cocok satu sama lain? Jika tetap bersama, mereka cuma akan saling menyakiti.

“Maafkan aku, Ely. Aku tidak bisa karena terlalu mencintaimu.” Nathan tidak mau mengalah. Hidup tanpa Elysium terasa lebih neraka. Dia telah terjatuh begitu dalam dan tidak mau kehilangan Elysium.

Reaksi Nathan mengakibatkan Elysium kian naik darah. Bagian di lubuk hati Elysium tergelitik, tetapi logika mengingatkan pemuda tersebut pada kejadian yang sudah-sudah. Cinta. Cinta. Cinta. Konyol. Apalah makna cinta tanpa kedamaian. Manusia perlu kebijaksanaan untuk tahu kapan harus menggenggam dan melepaskan.

Seharusnya mereka mencari kebahagiaan masing-masing. Seharusnya. Bukan malah berdebat tentang cinta di suatu sudut remang-remang, teredam oleh lantangnya musik dan kerlip khas lampu. Tak jauh dari mereka, orang-orang menari dan saling menggoda untuk satu malam.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Lucifer x Mine (MC), mention of Levarci note: happy birthday mine >~<


Pesta ulang tahun Mine digelar bersama dengan perayaan 1000 hari (walau lebih sehari) program pertukaran pelajar RAD. Di keramaian manapun, Mine selalu mencari orang yang sama.


Di dekat tangga, Mine berdiri sambil meremas mochi besar berwajah Lucifer dari Leviathan. Arciel baru saja diajak pergi oleh Avatar of Envy dan mochi ini diberikan sebagai pengganti. Mau bagaimana lagi, energi sosial Mine hanya cukup bertahan dua jam sejak pesta dimulai. Lalu, dia perlu mengisi energi. Toh para tamu pun asyik dengan rekan mereka sendiri.

Kangen Lucifer, ujar Mine dalam hati.

Lucifer selalu sibuk. Tadi Lucifer hanya sempat mengucapkan selamat, kemudian kembali bergabung dengan Diavolo dan Barbatos. Saat Mine mencari Lucifer lagi, dia berbincang dengan kolega dari Celestial Realm. Setelah itu Lucifer tampak mem-briefing sesuatu kepada panitia. Sekarang Lucifer meminum demonus bersama Simeon.

Mine bimbang apakah dia harus menghampiri Lucifer sekarang. Tiba-tiba, Mephistopheles, Thirteen, dan Raphael datang menyapa Mine. Perhatiannya teralihkan sejenak.

Nanti saja deh. Luci juga masih sibuk, batin Mine.


“Mammooonn!”

Suara khas Lucifer terdengar penuh penekanan, tetapi kurang menggelegar dibanding biasanya. Mine yang tidak jauh dari sana buru-buru mendatangi mereka. Untunglah tidak ada pertengkaran. Demon brothers minus Leviathan dan Belphegor berkumpul di sini.

“Hahahaha!” tawa Mammon. Dia bangga berhasil menempelkan beberapa stiker ke wajah Lucifer. Wajah Mammon juga penuh stiker. Satan dan Beelzebub mengobrol, sedangkan Asmodeus bermain DDD.

Kehadiran Mine mengubah fokus mereka tertuju padanya. Asmodeus langsung menyeret Mammon, mengajak Avatar of Greed live DDD. Asmodeus mengedipkan mata kepada Mine, pertanda dia sengaja membantu. Mine mengangguk paham.

Dia lantas menghampiri Lucifer. Stiker lucu dan raut santai membuat si Sulung tampak lebih muda.

“Sekali lagi, selamat ulang tahun.”

“Terima kasih, Luci. Selamat 1000 hari,” tanggap Mine.

Seribu hari sejak exchange students datang ke RAD. Seribu hari sarat cerita.

“Selamat 1000 hari juga, Mine.” Lucifer tersenyum di akhir kalimat.

“Ngomong-ngomong, Luci, dari satu sampai seribu, menurutmu nilaiku berapa?” tanya Mine pelan.

Pertanyaan ini terlontar begitu saja. Mine baru sadar ketika selesai menanyakannya, tetapi dia jadi penasaran. Sepuluh? Atau bisa mencapai seratus?

Tanpa berpikir lama, Lucifer menjawab dengan mantap, “Satu.”

Hah? Satuuu? Mine merasa down mendengarnya. Dia tahu Lucifer pasti banyak bertemu orang hebat, tetapi masa' nilainya cuma satu?

“Kenapa satu?” Mine agak protes. Seribu hari saling mengenal, tetapi impresi Lucifer terhadapnya cuma satu? Satu dari sepuluh masih bagus, ini satu dari seribu!

“Sebanyak apapun nolnya, tanpa satu, bukankah tidak akan bermakna? Seratus, seribu, bahkan sejuta hanya tinggal deretan angka nol. Seperti itulah nilaimu bagiku.”

Mine yang barusan jatuh kini melambung ke awang-awang. Otaknya tiba-tiba malfungsi sehingga Mine belum bisa membalas ucapan Lucifer. Mulut Mine terbuka sedikit lalu menutup lagi.

Lucifer tersenyum penuh kemenangan menyaksikan reaksi Mine. Kemudian Lucifer menempelkan stiker-stiker di wajah Mine. Stiker pertama yang dia tempelkan adalah hati berwarna biru. Sedangkan stiker terakhirnya berupa bintang. Morningstar.

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Kimetsu no Yaiba pairing: Sanemi x Mai (OC) setting: college AU


Keadaan menempatkan Sanemi Shinazugawa dalam posisi tidak bisa menolak saat harus berbagi tempat tinggal dengan orang lain, apalagi roommate-nya perempuan. Namanya Mai. Kesan pertama Sanemi adalah; “Dia terlihat seperti mahasiswi baru yang bodoh.” Saat itu, Sanemi cuma berharap Mai tidak betah lalu lekas angkat kaki.

Mai lebih keras kepala dari yang terlihat. Walau perilaku Sanemi jauh dari kata ramah, Mai santai menyikapinya. Mai hanya butuh tempat tinggal dan tempat ini direkomendasikan aman untuknya. Toh, Sanemi hanya kasar di mulut. Mai tidak ingin takut. Perlahan Mai sadar, amarah dan kata kasar sudah mendarah daging dalam diri senior penuh bekas luka tersebut. Mai tidak lagi takut.

Hidup bersama orang asing terasa menyulitkan. Mereka berusaha tidak mengganggu, tetapi mau tak mau harus tetap saling bicara. Sapaan garing seperti “Selamat pagi!” dan “Aku berangkat duluan.” menjadi satu-satunya percakapan rutin antara mereka berdua. Jika ditanya percakapan yang lebih bermakna, itu adalah mengabari akan pulang terlambat atau menginap di kos teman.

“Woi, Mai, titip belikan susu.” Sanemi nekat meminta tolong Mai, yang untungnya disambut positif. Menurut Sanemi, sekali saja tidak apa-apa.

“Ok, Kak.”

Mai membalas kekhilafan Sanemi dengan kekhilafan serupa di hari yang lain. “Kak Sanemi, titip dessert ya.”

“Ok, Mai.”

Persoalan jasa titip mengubah relasi mereka menjadi simbiosis mutualisme. Berawal dari titip-menitip, lalu mengingat jadwal akademik masing-masing, lalu menawarkan lebih dulu apakah ingin titip dibelikan sesuatu. Konversasi Sanemi dan Mai berkembang sedikit demi sedikit hingga tidak sebatas sapaan, izin, dan jasa titip.

Barangkali mereka berdua lelah menghindar satu sama lain. Karena sudah tinggal bersama, tidak ada salahnya sesekali bekerja sama.

Entah sejak kapan, mereka bukan lagi orang asing. Mungkin sejak Miko, anjing Sanemi, menyukai Mai kemudian di waktu senggang mereka akan bermain bertiga. Mungkin sejak ajakan intuitif untuk menonton film horror bersama. Mungkin sejak Mai memasak dua porsi untuk dimakan bersama. Atau, mungkin sedari awal perlahan mereka saling mendekat; selangkah demi selangkah.

“Miko, jangan bergerak dulu,” pinta Sanemi, memegangi Miko sementara Mai membilas badan si Anjing. Miko sudah tidak sabar ingin berlari dan berguling-guling di atas karpet.

“Hahahaha.” Mai tertawa lepas melihat Sanemi kerepotan.

“Hei!” Sanemi menggetok pelan ubun-ubun Mai, tetapi tawa kecil terselip dari bibirnya.

Miko semakin gencar memberontak saat Sanemi melepaskan sebelah pegangannya. Mai spontan ikut memegangi Miko. 1-0 untuk para manusia. Sesi mandi Miko diselesaikan. Setelah itu, bulu Miko dikeringkan dan disisir.

Mai mengangkat sebelah tangan, bermaksud mengajak Sanemi high five. Sanemi yang tidak bergeming mengakibatkan warna merah merayap di pipi Mai.

“Kak Sanemi!” panggil Mai menahan rasa malu, sekaligus tidak ingin diabaikan.

“Tos!” Sanemi membalas ajakan tersebut. Akan tetapi, hal yang membuat Mai terperangah adalah senyuman Sanemi.

Seiring mereka bertambah akrab, suatu pencerahan pun hadir. Ternyata hidup bersama tidak selalu memerlukan banyak kesamaan. Tidak perlu saling mengerti, melainkan saling menghargai. Cukup menjadi diri sendiri selama tidak menyakiti.

Mai mencoba memahami kekasaran Sanemi. Di sisi lain, Sanemi kelebihan toleransi untuk kebodohan Mai. Hari demi hari, mereka mengenal lebih banyak sisi. Mai bisa tegas. Sanemi bisa meminta maaf. Mereka bisa tertawa bersama atau menertawakan yang satunya.

Mereka tidak bersama tepat sehari 24 jam. Namun, mereka berbagi tujuh hari dalam seminggu. Berbagi tatapan suntuk, wajah kusam berkeringat, rambut berantakan, serta aroma baju yang terbakar matahari. Menyaksikan tawa gila, histeria, amarah impulsif, deretan makian, bahkan sekadar perilaku konyol yang tidak masuk di akal.

Sanemi dan Mai. Dua individu yang saling terbiasa. Berbeda tetapi saling menerima ... sampai di titik sulit membayangkan hari saat rekan tinggalnya tidak ada.


Mereka masih tinggal bersama walau Sanemi telah menanggalkan jas almamater kampusnya. Pria berambut putih tersebut memperoleh pekerjaan di kota yang sama. Berdalih malas pindahan lagi, dia memilih tetap bersama Mai. Rutinitasnya agak berubah, tetapi ada hal-hal yang konstan walau beralih masa.

Pekerjaan hari ini tuntas sudah. Sanemi mengambil ponsel terlebih dahulu sebelum membereskan barang-barangnya. Jempol Sanemi segera menuju kolom chat bersama Mai yang dia sematkan supaya mudah dicari.

“Mau titip apa?” tanya Sanemi melalui chat.

Pertanyaan langganan Sanemi setiap Selasa, Rabu, dan Sabtu sore. Pada tiga hari tersebut, dia pulang lebih larut daripada Mai. Sedangkan pada Senin dan Kamis, ganti Mai yang akan bertanya. Jumat dan Minggu mereka tidak perlu bertanya via chat karena bisa langsung memesan bersama.

Si Pria masih memandangi layar ponselnya, menunggu getar notifikasi dan kolom percakapan menampilkan balasan pesan.

Satu menit. Dua menit. Sanemi menyimpan ponsel ke saku. Membereskan barang-barangnya. Dia berjalan ke tempat parkir lebih pelan dari biasa. Kemudian, dia mengecek ponsel lagi.

Nihil, belum ada balasan pesan. Serapah ringan tergumam dari mulut, disusul sebuah gerutuan, “Padahal tinggal balas chat, apa susahnya?”

Pesan yang tidak jua dibalas membuat Sanemi agak kesal. Akan tetapi, di sudut hatinya terbersit setitik rasa cemas. Bertanya-tanya apa yang perempuan tersebut lakukan hingga belum sempat membalas. Tugas? Deadline? Ketiduran? Keasyikan membaca novel? Pikiran yang kian mengawang-awang membuat Sanemi berdecak. Lebih baik dia cepat pulang untuk memastikan sendiri.

Pertama-tama, dia mampir ke suatu kawasan ramai. Aroma sedap aneka street food menyerbu indera penciuman Sanemi. Samar terhirup sedikit bau khas dari asap makanan yang pengolahannya memang harus dibakar. Ketika berjalan lagi, terdengar bunyi familiar makanan dalam penggorengan. Kemudian berpadu dengan kesegaran minuman yang dijajakan di sebelahnya.

Mai belum juga membalas pesan, sehingga Sanemi membeli apa saja yang setahunya perempuan tersebut suka. “Ini sudah, itu sudah, ternyata banyak sekali. Mai sialan,” komentar Sanemi, menengok kantong besar di tangan.

Persinggahan berikutnya, petshop langganan. Sanemi membelikan Miko stok wet food yang seingatnya tinggal sedikit dan beberapa creamy treats. Senyuman lembut yang langka terkembang di bibir Sanemi ketika mengingat kelucuan Miko. Dia tidak sabar mengajak Miko bermain bersama Mai.

Terakhir, Sanemi membeli makanan untuk dirinya sendiri. Hanya satu macam dengan porsi sedang. Dia berpikiran untuk memakan sebagian titipan Mai jika terlalu banyak. Lantas, Sanemi bergegas pulang. Tak luput dia menyiapkan sederet omelan untuk Mai yang membuatnya kerepotan.

Sebentar ... Mai kan tidak minta, potong suara lain di batin Sanemi.

Dia biasa titip kok. Suara yang satu lagi tidak mau kalah.

Tidak ingin ambil pusing, Sanemi menepis suara-suara random tersebut. Perutnya berbunyi. Pulang dan makan merupakan dua hal prioritas bagi Sanemi sekarang.


Ruang tamu apartemen masih gelap saat Sanemi tiba. Hari telah petang, normalnya lampu dinyalakan. Mai tiduran di sofa membelakangi Sanemi. Mai menggaruk bagian belakang rambutnya. Gestur itu membuat Sanemi mengetahui kalau Mai masih bangun.

“Oi, Mai, lampunya!” suruh Sanemi karena posisi Mai lebih dekat dengan saklar. Bawaannya banyak. Sanemi lantas meletakkan kantong-kantong makanan di meja.

Mai tidak menjawab. Dia langsung berdiri dan berjalan lesu untuk memencet saklar lampu. Dari belakang, rambut Mai tampak berantakan. Sanemi mengernyitkan dahi melihat baju yang Mai kenakan sama seperti tadi pagi, bahkan masih memakai kaos kaki. Jadwal kuliah Mai hari ini selesai sekitar satu setengah jam yang lalu. Tidak mungkin ada acara di sekre karena rapat rutin UKM Mai diadakan setiap akhir pekan.

Sanemi hafal hal-hal kecil tentang Mai, dan itu membuatnya tahu ada yang tidak beres. Tatkala lampu dinyalakan, Mai kelihatan bertambah berantakan. Kedua pundaknya bergetar.

“Mai, kamu kesurupan?” celetuk Sanemi. Mai menggeleng, belum membalikkan badan untuk bertatap muka.

Sejurus kemudian, Sanemi melihat ke bawah. Kaki Mai masih menapak lantai. Sanemi menghela napas lega.

“Lapar? Aku beli banyak, mau yang mana?” Sanemi membongkar bawaan dan meletakkannya berjajar di atas meja.

“Terima kasih, Kak.”

Suara Mai serak menahan tangis. Mai berbalik. Mata Mai merah sembab dan wajahnya kuyu. Mai terlihat sangat tidak baik-baik saja. Hati Sanemi seolah ikut ditonjok karenanya.

Biasanya Mai akan tersenyum cerah seperti orang bodoh lalu mengajak makan bersama. Bercerita tentang menu lain di restoran yang sama, atau iseng mengajak Sanemi memasak esok hari. Tidak seperti ini.

“Aku habis baca novel sedih. Tidak apa-apa kok,” cerita Mai seraya mengusap sudut mata. Jarinya sekarang agak basah.

“Tadi kukira kesambet. Terserahlah, ayo makan.” Sanemi menepuk sofa, menyuruh Mai cepat datang dan duduk. Walau tahu Mai berbohong, Sanemi belum ingin bertanya kebenarannya.

Di sela-sela makan, manik mata ungu pucat Sanemi mengekori gerak-gerik Mai. Selera makan Mai hampir hilang total. Secepat kilat, Sanemi mengambil dua piring dari dapur dan meletakkan banyak macam makanan di piring Mai.

“Kak Sanemi, terima kasih. Tapi makanannya kebanyakan.” Mai menunduk melihat isi piring di hadapannya.

“Kutraktir,” gumam Sanemi sambil mengisi piringnya sendiri. “Habiskan, Mai, tidak baik kalau buang-buang makanan,” imbuhnya.

Kamu pasti belum sempat makan. Jangan sampai sakit ya, batin Sanemi.

“Baiklah, Kak. Terima kasih.”

Mereka makan dalam diam. Mai masih murung, tetapi setidaknya sudah makan cukup banyak. Energi dari makanan memantik energi Mai untuk bercerita.

“Kak, dosen di tahun kedua banyak yang mulutnya pedas ya. Tugas makin tidak manusiawi,” ucap Mai membuka obrolan.

Oh ini yang membuat Mai sedih. Sanemi menyusun hipotesis dalam hati.

“Benar. Rasanya jadi makin loyo. Teman-temanmu bagaimana, Mai?”

“Aku jarang sekelas sama teman-temanku di tahun kedua. Ada yang sekelas, tapi jarang sekelompok,” lanjut Mai. “Tugas mandiri juga sulit. Tadi makalahku dirobek dosen dan dilempar ke tempat sampah. Aku—”

Mendadak Mai mengatupkan bibir. Energinya habis, dia tidak sanggup lagi. “Aku ... pilek. Hehehe. Sebentar, mau ambil tisu dulu.”

Mai meraih kotak tisu yang bersebelahan dengan remote TV. Beberapa detik kemudian, terdengar suara membuang ingus. Sanemi meneruskan sesi makan tanpa merasa terganggu.

Tahun kedua jelas lebih berat dari tahun pertama. Bagi sebagian orang termasuk Sanemi, niat kuliah hanya berapi-api di semester pertama. Semakin bertambah semester, beban dan stress yang meningkat. Ambisi serta target-target keren di awal menjadi berantakan. Bisa bertahan sampai akhir semester saja membutuhkan banyak perjuangan.

Sanemi mulai mengerti kenapa Mai menangis. Dia tidak suka melihat Mai menangis, tetapi dia lebih tidak suka jika Mai memendam kesedihan. Bukankah diam-diam bersedih lebih menyesakkan? Kalau sekarang, untunglah Mai memiliki dirinya.

Kamu kan tidak berbuat apa-apa. Suara menyebalkan di kepala Sanemi kembali berulah.

Aku kan menemaninya, balas Sanemi tidak mau kalah.

Tapi kamu tidak menghibur atau melakukan sesuatu untuknya.

Lalu aku harus bagaimana?

Mana 'ku tahu.

Fuck you.

Berdebat dengan diri sendiri menyedot konsentrasi Sanemi sesaat. Mai sudah kembali duduk di sebelahnya begitu Sanemi menoleh. Ujung hidung Mai memerah.

“Mau nonton film?” ajak Sanemi usai mereka makan.

“Ayo, Kak. Aku ingin menonton film horror tentang demon slayer yang dikutuk,” jawab Mai. Nada suaranya terdengar lebih bersemangat.

Mai bahkan bersenandung saat menyetel film. Mereka pun menonton film horror bersama.

Lima menit kemudian, reaksi Mai tidak seperti biasanya. Mai gemetaran dan terisak lagi. Sanemi melirik dari sudut mata, dalam hati bingung memikirkan harus mengucapkan apa. Mata Mai berkaca-kaca. Air kian menggenang di pelupuk mata dan sewaktu-waktu bisa tumpah.

“B-boleh pinjam punggungnya, Kak?” tanya Mai ragu-ragu.

“Pinjam saja, Mai.” Suara Sanemi parau.

Gadis itu mundur, menyandarkan kepala ke punggung Sanemi. Isakan kecil terdengar jelas walau film tengah menayangkan scene penuh jumpscare. Sanemi tidak bisa fokus terhadap film karena punggung bajunya basah. Dia tahu, bukan film ini yang menjadi alasan Mai menangis sekarang.

“Filmnya seram sekali,” cicit Mai, berusaha menyambungkan kondisinya dengan alur film. Dia hanya ingin bersandar pada Sanemi. Tangis Mai tidak bisa dibendung ketika dia bersandar ke punggung Sanemi yang membuatnya merasa aman. Mai ingin memeluk Sanemi, tetapi menahan diri.

Acting Mai jelek, tetapi Sanemi berpura-pura tidak tahu. Sosok yang bersandar di punggungnya terasa rapuh. Sanemi takut kata-kata atau tindakannya justru menghancurkan Mai. Biarlah Mai meminjam punggungnya, Sanemi pasti mengizinkan tanpa batas waktu.

“Filmnya nanti akan selesai.” Sanemi memberanikan diri menepuk kepala Mai. Gerakannya amat berhati-hati. Mai mengangguk.

Kuharap masalahmu akan segera selesai. Jangan merasa sendirian. Aku di sini, ucap Sanemi dalam hati. Entah kenapa dia kesulitan mengatakan secara lisan.

Tawa Mai menular pada Sanemi. Apapun yang menyakiti Mai akan memancing kemarahan Sanemi. Tangisan Mai ikut melukai Sanemi. Tinggal bersama Mai membuat Sanemi menemukan seseorang yang penting untuknya.

Seseorang yang ingin Sanemi sanding, tetapi tidak boleh dia kejar. Mai bisa pergi kalau tidak nyaman dengan perasaan Sanemi.

Sekarang pun Sanemi menangis bersama Mai, walau hanya di dalam hati. Tangannya ingin memeluk Mai, tetapi rasionalitas Sanemi mencegah. Jika Sanemi bersikap lebih dari ini, Mai mungkin akan peka bahwa Sanemi menganggapnya lebih dari sekadar teman.

Waktu memangkas jarak antara mereka berdua, tetapi selalu ada sebuah benteng pemisah. Saput kelabu antara dunia Mai dan dunia Sanemi. Ia terlihat mudah ditembus, tetapi risikonya terlalu besar. Kebersamaan mereka mungkin akan terkorbankan.

Sanemi masih ingin tinggal bersama Mai. Mendengar celoteh tidak jelas tentang novel yang baru dibaca. Melihat helaian rambut Mai yang mencuat setiap bangun tidur. Menemani Mai di dapur. Bermain bertiga dengan Miko. Berdiskusi tentang merek makanan anjing.

Setiap kepingan kecil tentang Mai telah menjadi bagian dari hidup Sanemi.

Untuk Mai, Sanemi tidak akan ke mana-mana.

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel setting: Twisted Folklore AU, mengambil setting cerita Ande Ande Lumut, tetapi tentu cukup melenceng. sekali lagi, ini AU dan karangan belaka. warning: sedikit OOC, singkat


Semua hanya mengenal Yuyu Kangkang sebagai kepiting raksasa di cerita Ande Ande Lumut. Kepiting mesum yang meminta ciuman para perempuan sebagai balas jasa. Kepiting pengecut yang lari ketakutan dari Klenting Kuning. Hanya itu.

Tidak ada yang mau tahu jika Yuyu Kangkang sebenarnya dikutuk.


Yuyu Kangkang berlari terbirit-birit sampai ke hulu sungai. Dia masih sedikit kepikiran karena gagal mendapatkan ciuman dari Klenting Kuning, walau lekas berbesar hati karena tampaknya gadis tersebut memang jodoh Ande Ande Lumut. Dia semakin pesimis kutukan ini bisa terangkat.

Identitas asli Yuyu Kangkang adalah panglima kerajaan yang tiba-tiba menghilang, Leviathan. Dia dikutuk karena membunuh monster laut yang tidak menyerangnya. Alhasil dia berubah menjadi kepiting raksasa, tetapi kemampuannya jauh melemah di wujud ini. Leviathan pindah ke habitat sungai untuk menyelamatkan diri.

Dari cerita-cerita yang Leviathan dengar, cinta bisa memusnahkan kutukan. Keong Mas kembali menjadi manusia karena bertemu belahan hati. Jua, ada anak-anak berkelakar kalau ciuman mampu mengubah kodok kembali menjadi pangeran. Oleh karena itu, Leviathan selalu meminta ciuman perempuan yang membutuhkan jasanya. Dia tidak ingin berada dalam wujud Yuyu Kangkang seumur hidup.

Selendang putih bermotif bunga di bagian ujung mendarat di dekat kakinya. Kemudian, derap langkah terdengar saat seorang gadis berlari ke arahnya. Pakaian yang dia kenakan seadanya seperti gadis desa biasa, tetapi dia cantik. Warna rambutnya jarang ditemui, dan Leviathan yakin warna matanya sangat langka.

Oh Jagat Batara, pemilik selendang ini ternyata jauh lebih cantik. Jika Leviathan dalam wujud manusia, dia akan lebih percaya diri mengembalikan selendangnya. Sekarang Leviathan tidak tahu apa dia harus mengambilkan selendang atau pergi.

Bagaimana kalau aku menakutinya? Bagaimana kalau aku membuatnya jijik? Leviathan hanya mematung di tempat.

“Permisi, Tuan Kepiting.”

Suara merdunya tidak terdengar jijik. Sorot matanya tidak terlihat takut—mungkin agak takut karena kaki dan tangannya gemetar, tetapi dia tidak mundur.

“Y-ya,” jawab Leviathan.

“Saya hanya menumpang lewat.” Dia memakai kembali selendangnya, Leviathan merasa selendang itu lebih cantik saat dikenakan. Kemudian, gadis tersebut tampak memilah dan memetik jenis rumput tertentu, berusaha tidak terganggu dengan kehadiran kepiting besar. Leviathan lantas menyadari bahwa yang dia kumpulkan adalah tanaman obat.

“Kenapa kamu tidak lari?” tanya Leviathan penasaran.

Sang Gadis menoleh. Bola mata pelanginya berbinar, membuat sekejap Leviathan seolah tersedot ke sana. “Karena Anda tidak menyerang saya dan saya takkan menyerang Anda kecuali untuk membela diri.”

Jawaban tersebut membuat Leviathan mengecek tenaga dalam gadis bermata warna-warni. Dari hasil deteksinya, dia merupakan praktisi bela diri level menengah. Meski masih jauh dari levelnya, tetapi Leviathan kagum tangan semungil itu ternyata bisa memukul. Dan, dia memiliki temperamen yang baik karena tidak sembarangan menyerang.

Tidak sepertinya yang dulu memandang bahwa semua monster harus dibunuh. Tidak sepertinya yang ingin sok heroik padahal ternyata jahat.

“O-o. Kamu butuh bantuan?” tawar Leviathan yang masih ingin berinteraksi dengannya.

Kali ini, Leviathan tidak mau meminta keuntungan. Memikirkannya saja tidak. Dia hanya ingin bisa bertemu lebih lama. Dia hanya ingin mendengarnya bicara lebih banyak.

“Terima kasih, Tuan Kepiting. Nama saya Arciel, tetapi karena pengucapannya agak sulit, orang-orang memanggil saya Sekar Putih.”

Arciel, nama yang bagus, puji Leviathan dalam hati. “Tidak perlu terlalu formal padaku, Arciel. Aku Levi—ah, maksudku, orang-orang memanggilku Yuyu Kangkang.”

Leviathan nyaris keceplosan menyebut nama aslinya. Sesaat tampaknya Arciel ingin menanyakan sesuatu, tetapi dia membatalkannya dan langsung mengajak Leviathan mencari tanaman obat. Sudah lama Leviathan tidak berinteraksi normal dengan manusia. Ternyata rasanya menyenangkan. Arciel asyik diajak bicara. Walau Leviathan terkadang masih gugup di dekatnya.

Mungkin ini rasanya memiliki teman. Leviathan membatin. Selama menjadi panglima, apakah dia memiliki seseorang yang bisa disebut teman? Dia hanya tahu cara memberi komando dan berkoordinasi.

Atau ini sesuatu yang mereka bilang cinta pada pandangan pertama. Tidak mungkin, ini terlalu cepat. Tidak mungkin seseorang secantik Arciel akan menyukai kepiting jelek sepertiku.

Malu dengan pikirannya sendiri, Leviathan bergerak gelisah. Dia menabrak pohon. Sekarang dia merasa seperti orang bodoh di hadapan Arciel. Leviathan ingin mengubur diri sendiri di air.

“Kamu kotor. Biar kubersihkan,” ujar Arciel saat melihat ada lumut dan sedikit tanah menempel.

Bagaimana kalau aku membuat tangannya kotor? Leviathan menghindar, lalu membuang tatapan ke bawah. “Tidak perlu.”

“Tidak apa-apa.” Arciel mendekat untuk mengusap noda di wajah kepiting raksasa dengan selendangnya. Namun, tiba-tiba sekujur tubuh Yuyu Kangkang mengeluarkan cahaya jingga yang menyilaukan hingga Arciel harus menutup mata.

Saat Arciel membuka matanya lagi, sosok Yuyu Kangkang menghilang, meninggalkan cangkang yang retak. Di lokasi Yuyu Kangkang menghilang, seorang pemuda berambut biru keunguan menatapnya seperti orang buta ketika bisa melihat untuk pertama kali.

—end