author: leviaphile
language: Bahasa Indonesia
fandom: Kimetsu no Yaiba
pairing: Sanemi x Mai (OC)
setting: college AU
Keadaan menempatkan Sanemi Shinazugawa dalam posisi tidak bisa menolak saat harus berbagi tempat tinggal dengan orang lain, apalagi roommate-nya perempuan. Namanya Mai. Kesan pertama Sanemi adalah; “Dia terlihat seperti mahasiswi baru yang bodoh.” Saat itu, Sanemi cuma berharap Mai tidak betah lalu lekas angkat kaki.
Mai lebih keras kepala dari yang terlihat. Walau perilaku Sanemi jauh dari kata ramah, Mai santai menyikapinya. Mai hanya butuh tempat tinggal dan tempat ini direkomendasikan aman untuknya. Toh, Sanemi hanya kasar di mulut. Mai tidak ingin takut. Perlahan Mai sadar, amarah dan kata kasar sudah mendarah daging dalam diri senior penuh bekas luka tersebut. Mai tidak lagi takut.
Hidup bersama orang asing terasa menyulitkan. Mereka berusaha tidak mengganggu, tetapi mau tak mau harus tetap saling bicara. Sapaan garing seperti “Selamat pagi!” dan “Aku berangkat duluan.” menjadi satu-satunya percakapan rutin antara mereka berdua. Jika ditanya percakapan yang lebih bermakna, itu adalah mengabari akan pulang terlambat atau menginap di kos teman.
“Woi, Mai, titip belikan susu.” Sanemi nekat meminta tolong Mai, yang untungnya disambut positif. Menurut Sanemi, sekali saja tidak apa-apa.
“Ok, Kak.”
Mai membalas kekhilafan Sanemi dengan kekhilafan serupa di hari yang lain. “Kak Sanemi, titip dessert ya.”
“Ok, Mai.”
Persoalan jasa titip mengubah relasi mereka menjadi simbiosis mutualisme. Berawal dari titip-menitip, lalu mengingat jadwal akademik masing-masing, lalu menawarkan lebih dulu apakah ingin titip dibelikan sesuatu. Konversasi Sanemi dan Mai berkembang sedikit demi sedikit hingga tidak sebatas sapaan, izin, dan jasa titip.
Barangkali mereka berdua lelah menghindar satu sama lain. Karena sudah tinggal bersama, tidak ada salahnya sesekali bekerja sama.
Entah sejak kapan, mereka bukan lagi orang asing. Mungkin sejak Miko, anjing Sanemi, menyukai Mai kemudian di waktu senggang mereka akan bermain bertiga. Mungkin sejak ajakan intuitif untuk menonton film horror bersama. Mungkin sejak Mai memasak dua porsi untuk dimakan bersama. Atau, mungkin sedari awal perlahan mereka saling mendekat; selangkah demi selangkah.
“Miko, jangan bergerak dulu,” pinta Sanemi, memegangi Miko sementara Mai membilas badan si Anjing. Miko sudah tidak sabar ingin berlari dan berguling-guling di atas karpet.
“Hahahaha.” Mai tertawa lepas melihat Sanemi kerepotan.
“Hei!” Sanemi menggetok pelan ubun-ubun Mai, tetapi tawa kecil terselip dari bibirnya.
Miko semakin gencar memberontak saat Sanemi melepaskan sebelah pegangannya. Mai spontan ikut memegangi Miko. 1-0 untuk para manusia. Sesi mandi Miko diselesaikan. Setelah itu, bulu Miko dikeringkan dan disisir.
Mai mengangkat sebelah tangan, bermaksud mengajak Sanemi high five. Sanemi yang tidak bergeming mengakibatkan warna merah merayap di pipi Mai.
“Kak Sanemi!” panggil Mai menahan rasa malu, sekaligus tidak ingin diabaikan.
“Tos!” Sanemi membalas ajakan tersebut. Akan tetapi, hal yang membuat Mai terperangah adalah senyuman Sanemi.
Seiring mereka bertambah akrab, suatu pencerahan pun hadir. Ternyata hidup bersama tidak selalu memerlukan banyak kesamaan. Tidak perlu saling mengerti, melainkan saling menghargai. Cukup menjadi diri sendiri selama tidak menyakiti.
Mai mencoba memahami kekasaran Sanemi. Di sisi lain, Sanemi kelebihan toleransi untuk kebodohan Mai. Hari demi hari, mereka mengenal lebih banyak sisi. Mai bisa tegas. Sanemi bisa meminta maaf. Mereka bisa tertawa bersama atau menertawakan yang satunya.
Mereka tidak bersama tepat sehari 24 jam. Namun, mereka berbagi tujuh hari dalam seminggu. Berbagi tatapan suntuk, wajah kusam berkeringat, rambut berantakan, serta aroma baju yang terbakar matahari. Menyaksikan tawa gila, histeria, amarah impulsif, deretan makian, bahkan sekadar perilaku konyol yang tidak masuk di akal.
Sanemi dan Mai. Dua individu yang saling terbiasa. Berbeda tetapi saling menerima ... sampai di titik sulit membayangkan hari saat rekan tinggalnya tidak ada.
Mereka masih tinggal bersama walau Sanemi telah menanggalkan jas almamater kampusnya. Pria berambut putih tersebut memperoleh pekerjaan di kota yang sama. Berdalih malas pindahan lagi, dia memilih tetap bersama Mai. Rutinitasnya agak berubah, tetapi ada hal-hal yang konstan walau beralih masa.
Pekerjaan hari ini tuntas sudah. Sanemi mengambil ponsel terlebih dahulu sebelum membereskan barang-barangnya. Jempol Sanemi segera menuju kolom chat bersama Mai yang dia sematkan supaya mudah dicari.
“Mau titip apa?” tanya Sanemi melalui chat.
Pertanyaan langganan Sanemi setiap Selasa, Rabu, dan Sabtu sore. Pada tiga hari tersebut, dia pulang lebih larut daripada Mai. Sedangkan pada Senin dan Kamis, ganti Mai yang akan bertanya. Jumat dan Minggu mereka tidak perlu bertanya via chat karena bisa langsung memesan bersama.
Si Pria masih memandangi layar ponselnya, menunggu getar notifikasi dan kolom percakapan menampilkan balasan pesan.
Satu menit. Dua menit. Sanemi menyimpan ponsel ke saku. Membereskan barang-barangnya. Dia berjalan ke tempat parkir lebih pelan dari biasa. Kemudian, dia mengecek ponsel lagi.
Nihil, belum ada balasan pesan. Serapah ringan tergumam dari mulut, disusul sebuah gerutuan, “Padahal tinggal balas chat, apa susahnya?”
Pesan yang tidak jua dibalas membuat Sanemi agak kesal. Akan tetapi, di sudut hatinya terbersit setitik rasa cemas. Bertanya-tanya apa yang perempuan tersebut lakukan hingga belum sempat membalas. Tugas? Deadline? Ketiduran? Keasyikan membaca novel? Pikiran yang kian mengawang-awang membuat Sanemi berdecak. Lebih baik dia cepat pulang untuk memastikan sendiri.
Pertama-tama, dia mampir ke suatu kawasan ramai. Aroma sedap aneka street food menyerbu indera penciuman Sanemi. Samar terhirup sedikit bau khas dari asap makanan yang pengolahannya memang harus dibakar. Ketika berjalan lagi, terdengar bunyi familiar makanan dalam penggorengan. Kemudian berpadu dengan kesegaran minuman yang dijajakan di sebelahnya.
Mai belum juga membalas pesan, sehingga Sanemi membeli apa saja yang setahunya perempuan tersebut suka. “Ini sudah, itu sudah, ternyata banyak sekali. Mai sialan,” komentar Sanemi, menengok kantong besar di tangan.
Persinggahan berikutnya, petshop langganan. Sanemi membelikan Miko stok wet food yang seingatnya tinggal sedikit dan beberapa creamy treats. Senyuman lembut yang langka terkembang di bibir Sanemi ketika mengingat kelucuan Miko. Dia tidak sabar mengajak Miko bermain bersama Mai.
Terakhir, Sanemi membeli makanan untuk dirinya sendiri. Hanya satu macam dengan porsi sedang. Dia berpikiran untuk memakan sebagian titipan Mai jika terlalu banyak. Lantas, Sanemi bergegas pulang. Tak luput dia menyiapkan sederet omelan untuk Mai yang membuatnya kerepotan.
Sebentar ... Mai kan tidak minta, potong suara lain di batin Sanemi.
Dia biasa titip kok. Suara yang satu lagi tidak mau kalah.
Tidak ingin ambil pusing, Sanemi menepis suara-suara random tersebut. Perutnya berbunyi. Pulang dan makan merupakan dua hal prioritas bagi Sanemi sekarang.
Ruang tamu apartemen masih gelap saat Sanemi tiba. Hari telah petang, normalnya lampu dinyalakan. Mai tiduran di sofa membelakangi Sanemi. Mai menggaruk bagian belakang rambutnya. Gestur itu membuat Sanemi mengetahui kalau Mai masih bangun.
“Oi, Mai, lampunya!” suruh Sanemi karena posisi Mai lebih dekat dengan saklar. Bawaannya banyak. Sanemi lantas meletakkan kantong-kantong makanan di meja.
Mai tidak menjawab. Dia langsung berdiri dan berjalan lesu untuk memencet saklar lampu. Dari belakang, rambut Mai tampak berantakan. Sanemi mengernyitkan dahi melihat baju yang Mai kenakan sama seperti tadi pagi, bahkan masih memakai kaos kaki. Jadwal kuliah Mai hari ini selesai sekitar satu setengah jam yang lalu. Tidak mungkin ada acara di sekre karena rapat rutin UKM Mai diadakan setiap akhir pekan.
Sanemi hafal hal-hal kecil tentang Mai, dan itu membuatnya tahu ada yang tidak beres. Tatkala lampu dinyalakan, Mai kelihatan bertambah berantakan. Kedua pundaknya bergetar.
“Mai, kamu kesurupan?” celetuk Sanemi. Mai menggeleng, belum membalikkan badan untuk bertatap muka.
Sejurus kemudian, Sanemi melihat ke bawah. Kaki Mai masih menapak lantai. Sanemi menghela napas lega.
“Lapar? Aku beli banyak, mau yang mana?” Sanemi membongkar bawaan dan meletakkannya berjajar di atas meja.
“Terima kasih, Kak.”
Suara Mai serak menahan tangis. Mai berbalik. Mata Mai merah sembab dan wajahnya kuyu. Mai terlihat sangat tidak baik-baik saja. Hati Sanemi seolah ikut ditonjok karenanya.
Biasanya Mai akan tersenyum cerah seperti orang bodoh lalu mengajak makan bersama. Bercerita tentang menu lain di restoran yang sama, atau iseng mengajak Sanemi memasak esok hari. Tidak seperti ini.
“Aku habis baca novel sedih. Tidak apa-apa kok,” cerita Mai seraya mengusap sudut mata. Jarinya sekarang agak basah.
“Tadi kukira kesambet. Terserahlah, ayo makan.” Sanemi menepuk sofa, menyuruh Mai cepat datang dan duduk. Walau tahu Mai berbohong, Sanemi belum ingin bertanya kebenarannya.
Di sela-sela makan, manik mata ungu pucat Sanemi mengekori gerak-gerik Mai. Selera makan Mai hampir hilang total. Secepat kilat, Sanemi mengambil dua piring dari dapur dan meletakkan banyak macam makanan di piring Mai.
“Kak Sanemi, terima kasih. Tapi makanannya kebanyakan.” Mai menunduk melihat isi piring di hadapannya.
“Kutraktir,” gumam Sanemi sambil mengisi piringnya sendiri. “Habiskan, Mai, tidak baik kalau buang-buang makanan,” imbuhnya.
Kamu pasti belum sempat makan. Jangan sampai sakit ya, batin Sanemi.
“Baiklah, Kak. Terima kasih.”
Mereka makan dalam diam. Mai masih murung, tetapi setidaknya sudah makan cukup banyak. Energi dari makanan memantik energi Mai untuk bercerita.
“Kak, dosen di tahun kedua banyak yang mulutnya pedas ya. Tugas makin tidak manusiawi,” ucap Mai membuka obrolan.
Oh ini yang membuat Mai sedih. Sanemi menyusun hipotesis dalam hati.
“Benar. Rasanya jadi makin loyo. Teman-temanmu bagaimana, Mai?”
“Aku jarang sekelas sama teman-temanku di tahun kedua. Ada yang sekelas, tapi jarang sekelompok,” lanjut Mai. “Tugas mandiri juga sulit. Tadi makalahku dirobek dosen dan dilempar ke tempat sampah. Aku—”
Mendadak Mai mengatupkan bibir. Energinya habis, dia tidak sanggup lagi. “Aku ... pilek. Hehehe. Sebentar, mau ambil tisu dulu.”
Mai meraih kotak tisu yang bersebelahan dengan remote TV. Beberapa detik kemudian, terdengar suara membuang ingus. Sanemi meneruskan sesi makan tanpa merasa terganggu.
Tahun kedua jelas lebih berat dari tahun pertama. Bagi sebagian orang termasuk Sanemi, niat kuliah hanya berapi-api di semester pertama. Semakin bertambah semester, beban dan stress yang meningkat. Ambisi serta target-target keren di awal menjadi berantakan. Bisa bertahan sampai akhir semester saja membutuhkan banyak perjuangan.
Sanemi mulai mengerti kenapa Mai menangis. Dia tidak suka melihat Mai menangis, tetapi dia lebih tidak suka jika Mai memendam kesedihan. Bukankah diam-diam bersedih lebih menyesakkan? Kalau sekarang, untunglah Mai memiliki dirinya.
Kamu kan tidak berbuat apa-apa. Suara menyebalkan di kepala Sanemi kembali berulah.
Aku kan menemaninya, balas Sanemi tidak mau kalah.
Tapi kamu tidak menghibur atau melakukan sesuatu untuknya.
Lalu aku harus bagaimana?
Mana 'ku tahu.
Fuck you.
Berdebat dengan diri sendiri menyedot konsentrasi Sanemi sesaat. Mai sudah kembali duduk di sebelahnya begitu Sanemi menoleh. Ujung hidung Mai memerah.
“Mau nonton film?” ajak Sanemi usai mereka makan.
“Ayo, Kak. Aku ingin menonton film horror tentang demon slayer yang dikutuk,” jawab Mai. Nada suaranya terdengar lebih bersemangat.
Mai bahkan bersenandung saat menyetel film. Mereka pun menonton film horror bersama.
Lima menit kemudian, reaksi Mai tidak seperti biasanya. Mai gemetaran dan terisak lagi. Sanemi melirik dari sudut mata, dalam hati bingung memikirkan harus mengucapkan apa. Mata Mai berkaca-kaca. Air kian menggenang di pelupuk mata dan sewaktu-waktu bisa tumpah.
“B-boleh pinjam punggungnya, Kak?” tanya Mai ragu-ragu.
“Pinjam saja, Mai.” Suara Sanemi parau.
Gadis itu mundur, menyandarkan kepala ke punggung Sanemi. Isakan kecil terdengar jelas walau film tengah menayangkan scene penuh jumpscare. Sanemi tidak bisa fokus terhadap film karena punggung bajunya basah. Dia tahu, bukan film ini yang menjadi alasan Mai menangis sekarang.
“Filmnya seram sekali,” cicit Mai, berusaha menyambungkan kondisinya dengan alur film. Dia hanya ingin bersandar pada Sanemi. Tangis Mai tidak bisa dibendung ketika dia bersandar ke punggung Sanemi yang membuatnya merasa aman. Mai ingin memeluk Sanemi, tetapi menahan diri.
Acting Mai jelek, tetapi Sanemi berpura-pura tidak tahu. Sosok yang bersandar di punggungnya terasa rapuh. Sanemi takut kata-kata atau tindakannya justru menghancurkan Mai. Biarlah Mai meminjam punggungnya, Sanemi pasti mengizinkan tanpa batas waktu.
“Filmnya nanti akan selesai.” Sanemi memberanikan diri menepuk kepala Mai. Gerakannya amat berhati-hati. Mai mengangguk.
Kuharap masalahmu akan segera selesai. Jangan merasa sendirian. Aku di sini, ucap Sanemi dalam hati. Entah kenapa dia kesulitan mengatakan secara lisan.
Tawa Mai menular pada Sanemi. Apapun yang menyakiti Mai akan memancing kemarahan Sanemi. Tangisan Mai ikut melukai Sanemi. Tinggal bersama Mai membuat Sanemi menemukan seseorang yang penting untuknya.
Seseorang yang ingin Sanemi sanding, tetapi tidak boleh dia kejar. Mai bisa pergi kalau tidak nyaman dengan perasaan Sanemi.
Sekarang pun Sanemi menangis bersama Mai, walau hanya di dalam hati. Tangannya ingin memeluk Mai, tetapi rasionalitas Sanemi mencegah. Jika Sanemi bersikap lebih dari ini, Mai mungkin akan peka bahwa Sanemi menganggapnya lebih dari sekadar teman.
Waktu memangkas jarak antara mereka berdua, tetapi selalu ada sebuah benteng pemisah. Saput kelabu antara dunia Mai dan dunia Sanemi. Ia terlihat mudah ditembus, tetapi risikonya terlalu besar. Kebersamaan mereka mungkin akan terkorbankan.
Sanemi masih ingin tinggal bersama Mai. Mendengar celoteh tidak jelas tentang novel yang baru dibaca. Melihat helaian rambut Mai yang mencuat setiap bangun tidur. Menemani Mai di dapur. Bermain bertiga dengan Miko. Berdiskusi tentang merek makanan anjing.
Setiap kepingan kecil tentang Mai telah menjadi bagian dari hidup Sanemi.
Untuk Mai, Sanemi tidak akan ke mana-mana.