leviaphile

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel setting: Canon Divergence Great Celestial War, (ex)angel!Leviathan x angel!Arciel warning: ada sedikit spoiler lore dari Obey Me Nightbringer


“Gonna wish we never met on the day I leave.” | “ .... Baby, angels like you can't fly down hell with me.” Sampai 'akhir', Leviathan tidak mengerti siapa Arciel baginya.


Deras hujan seolah mengaburkan dunia di luar jendela. Embun memenuhi kaca dan suara rintik air bergaung di dalam kepala yang sedang berisik. Ketika Leviathan membuka jendela, semerbak petrikor menghampiri hidungnya, menghantarkan lebih banyak perasaan yang tidak mampu dia pahami.

Tepatkah keputusannya untuk tidak melibatkan Arciel dalam rencana?

Tiba-tiba Leviathan gamang. Arciel mungkin membencinya saat mengetahui Leviathan melarang Lucifer untuk mengajak gadis itu. Arciel pasti marah karena Leviathan merahasiakan semua ini, bahkan diam-diam mengintervensi misinya di Human World agar selesai lebih lama. Arciel akan ... bersedih—

Leviathan berdiri, tidak sanggup membayangkan lebih jauh. “Arciel ....”

Gumaman lemah diredam suara gemuruh. Halo Leviathan ikut berkilat kala petir menyambar di kejauhan. Dia tengadahkan kepala untuk memandangi langit abu-abu, mengkhayalkan masa depan yang menanti di akhir perang.

Lucifer berhasil mereformasi peraturan. Mammon paling lantang mengabarkan kemenangan. Asmodeus, Sang Permata Surga, tampak paling berkilauan. Beelzebub terharu memeluk mereka berenam. Belphegor mengeluh manja ingin beristirahat. Lilith dapat mereka berenam lindungi. Kemudian, dirinya menyambut kepulangan Arciel di depan gerbang, meminta maaf, dan menceritakan kisah yang panjang.

Walau terlalu muluk, imajinasi tersebut dapat menenangkan Leviathan. Lantas dia berlatih di kamar ditemani hujan yang tidak kunjung reda. Dia adalah Jenderal Tentara Celestial Realm. Bertarung bukanlah hal asing untuknya, jadi Leviathan berharap semua akan baik-baik saja.

Di Celestial Realm yang identik dengan cahaya dan kesucian, kebetulan hujan turun lebat menjelang hari pembangkangan. Langit menangisi mereka bertujuh.


Tidak ada kedamaian di Celestial Realm hari ini. Seraphim terkuat, Lucifer, memimpin pemberontakan terhadap “Ayah”. Kendati cuma bertujuh, mereka sanggup memporakporandakan Celestial Realm. Para malaikat terpukul melihat sosok-sosok yang dikagumi berbalik melawan Pencipta mereka semua, tetapi titah “Ayah” adalah mutlak. Mau tidak mau mereka melawan Lucifer dan para saudaranya.

Saudara. Semestinya semua malaikat bersaudara karena diciptakan oleh “Ayah” yang sama. Namun, Lucifer menjalin persaudaraan mendalam dengan enam malaikat pilihannya. Relasi mereka bertujuh tidak bisa malaikat lain masuki. Ikatan itu pula yang menggiring mereka untuk bertindak nekat. Demi Lilith, si Adik Bungsu yang terancam hukuman berat, mereka siap mengibarkan bendera perang.

Naas. Sekuat apapun berjuang, mereka bertujuh ditakdirkan untuk kalah di tangan “Ayah” Yang Maha Kuasa. Throne andalan, Mammon, kini mematung nelangsa. Leviathan mulai membenci diri sendiri yang lemah. Beelzebub Sang Cherubim merasa gagal menjadi guardian bagi saudara-saudarinya. Belphegor baru melalui masa kritis. Lilith tidak dapat mereka selamatkan dari nasib buruk.

Setitik air lolos dari mata kelam Lucifer. Dia kalah. Mereka kalah. Harga dirinya berujung menyakiti keluarga yang dia sayangi.

Sementara enam saudara dihakimi, seorang dominion terkejut menyaksikan situasi di Celestial Realm. Arciel baru pulang dari misi panjang. Perannya mengharuskan Arciel untuk mengawasi dan bila perlu pergi ke Human World.

“Arciel, Lucifer dan para saudaranya mengkhianati kita.”

Keranjang berisi tujuh jenis bunga yang didekap Arciel jatuh. Sekujur badan lemas seketika, tetapi dia memaksakan diri untuk terbang mendekat. Dia butuh penjelasan mengapa tidak ada yang memberitahunya padahal mereka cukup akrab. Sebanyak apa yang telah dia lewatkan?


Selalu ada hukuman untuk setiap pelanggaran. Dalam daftar tersebut, pemberontakan merupakan dosa yang tidak termaafkan. Atas tindakannya, mereka berenam akan dijatuhkan dari Celestial Realm, kehilangan status dan kehidupan sebagai malaikat.

Lucifer berikrar dalam hati untuk menjaga para saudaranya apapun yang terjadi. Mammon meyakinkan mereka bahwa ini merupakan konsekuensi yang harus dijalani, dan mereka takkan pernah sendiri. Seperti yang sudah-sudah, mereka berlima tetap mengikuti Lucifer. Andaikata ampunan “Ayah” ada, Lucifer tidak akan mendapatkannya, sedangkan mereka tidak mau kehilangan keluarga ... lagi.

Kedatangan malaikat bertubuh mungil menunda proses hukuman. Sekali lihat saja orang-orang bisa tahu mentalnya terguncang. Arciel terengah-engah, gemetaran, dan berusaha keras menahan tangis.

Banyak hal yang ingin Arciel tanyakan. Apa yang sedang terjadi? Di mana Lilith? Mengapa dia ditinggalkan? Apa yang akan terjadi?

Dari semua tanda tanya, Arciel memanggil sebuah nama. Malaikat yang melarang Arciel menganggapnya saudara. Seseorang yang sesumbar tidak memiliki teman padahal kerap berinteraksi dengannya. Lelaki yang diam-diam dia cintai.

“LEVIATHAN!”

Sesaat Leviathan goyah, tetapi tatapan tajam “Ayah” menusuk jiwa. Leviathan mengepalkan tangan, menahan diri supaya tidak menarik Arciel ke dalam dekapan. Dengan sihir terakhir sebagai malaikat, Leviathan mengempaskan Arciel ke belakang—sebelum Arciel sempat menggunakan kekuatan alam atau malah mengatakan hal yang berbahaya kepada “Ayah”.

Sebisa mungkin, Leviathan berupaya untuk tidak melukainya. Sang Mantan Jenderal hanya ingin menghentikan Arciel supaya dia terhindar dari hukuman. Di sisi lain, lima malaikat pendosa bergeming. Meski Arciel juga teman mereka, gadis itu memiliki hubungan rumit dengan Leviathan. Biarlah mereka berdua yang mengakhiri.

Malaikat seindah dirimu sebaiknya tidak berkubang dosa bersamaku, batin Leviathan perih.

Leviathan memang lebih lemah Lucifer dan “Ayah”, tetapi beda cerita jika targetnya bahkan bukan malaikat petarung. Hal terakhir yang tertangkap oleh mata pelangi Arciel adalah adegan enam malaikat terusir dari surga.


Kesedihan dan kebencian berpadu. Rasa sakit kala jatuh tidak sebanding dengan kepedihan batin karena kehilangan Lilith, saudari yang ingin mereka lindungi. Mereka berenam melepaskan kehidupan nyaman sebagai malaikat, meninggalkan orang-orang yang pernah mewarnai hari.

Halo hancur. Sayap menghitam. Tanduk dan ekor tumbuh mengoyak kulit. Keagungan mereka tercerabut. Dosa besar membakar nadi, menghentak jantung.

Beberapa dari mereka meratap. Ada pula yang tidak bereaksi secara fisik, tetapi batin dilanda kekacauan. Kemarahan pun menyebabkan Lucifer mencabut dua sayapnya sendiri. Dari perwujudan amarah tersebut, lelaki berambut kuning muncul dan jatuh bersama mereka.

Beragam emosi melintas di kepala Leviathan. Dia takkan melupakan kekalahan besar mereka.

Di antara sekian banyak kilasan yang datang dan pergi, tidak sedetik pun wajah Arciel enyah dari benaknya. Perasaan ini tidak terdenisi. Leviathan belum mampu menjabarkan dalam nama atau kata-kata.

Dan, Leviathan tidak mengerti mengapa hatinya tertinggal di sana.

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel setting: angel(-demon) AU. Di sini Arciel adalah malaikat dan yang berperang CR dengan Devildom. rating: 17+ (cuma ciuman tapi temanya agak berat) note: – Ditulis untuk meramaikan #PYDYumefic dengan subtema Tak Ada Logika – Merupakan bagian terakhir dari dwilogi Malaikat di Langit Pekat


Mereka mengira, kondisinya masih terlalu lemah untuk bertindak gila. Mereka tidak mengerti, tanpa Leviathan, dunia Arciel kehilangan warna.


Kabar kematian Lilith dan jatuhnya enam malaikat bersaudara terlambat sampai ke telinga Arciel yang baru bangun dari koma. Dia tidak ingin percaya sebelum memastikan sendiri. Simeon dan Raphael yang sedang menjenguk Arciel berusaha menenangkan.

“Aku harus meminta penjelasan pada Beliau. Mereka tidak layak diperlakukan seperti itu.”

Suara Arciel bergetar menahan sakit. Cairan bening merebak di pelupuk mata. Tubuhnya sukar digerakkan, efek samping salah satu kutukan yang dia terima saat perang belum hilang.

“Kamu bisa melakukannya setelah sembuh, sekarang beristirahatlah,” bujuk Simeon, sementara Raphael memanggilkan healer.


Malaikat Penjaga Alam sengaja mengurus izin seminggu—dengan alasan tubuhnya masih lemah— untuk misi yang sanggup ia tuntaskan kurang dari sehari. Tujuan asli Arciel adalah mengunjungi Devildom via jalur ilegal di Dunia Manusia. Sangat sulit mengurus perizinan ke Devildom langsung dari Celestial Realm. Walau dua dunia berdamai, sentimen pasca perang belum reda.

Persiapan telah matang; perbekalan, ramuan pendukung, peta Devildom, hingga menghafal sejumlah pasal peraturan Devildom dan Celestial Realm yang bisa membenarkan tindakannya. Karena terus dihalangi sampai tidak bisa bertemu dengan Pimpinan Celestial Realm, Arciel memilih datang sendiri ke Devildom.

Tidak ada matahari di Devildom. Sekujur badan Arciel berkeringat dingin ditelan kegelapan yang mencekam. Takut. Cemas. Trauma. Luka fisik pasca perang saja belum pulih total.

Sambil mengingat Leviathan dan saudara-saudaranya, Arciel menguatkan hati untuk bergerak menuju Demon Lord's Castle. Di luar dugaan, reaksi Pangeran Devildom, Diavolo cukup hangat. Dia mengutus Barbatos agar mengantar Arciel ke House of Lamentation, tempat para iblis-mantan-malaikat bersaudara tinggal.

Sesampainya di sana, Arciel hanya melihat Lucifer dan Mammon. Kata Lucifer, lima saudara lain masih mengurung diri di kamar. Mereka perlu waktu sampai terbiasa dengan hidup baru. Mammon langsung pergi usai mengantarkan Arciel ke depan pintu kamar Leviathan.


“Levi, apa kamu di dalam?”

Ketukan hati-hati Arciel dibalas dengan pintu yang dibuka kasar, nyaris dibanting. Leviathan dalam wujud iblis menggeram gusar, “Mammon sialan! Berani sekali kau memainkan trik padaku—Arciel? Ini benar kamu?”

Ekspresi iblis ular laut seketika melunak. Tangan mencengkeram dua sisi bahu Arciel, lalu memperhatikan sang Gadis dari atas sampai bawah. Arciel berubah ke wujud malaikat guna meyakinkan Leviathan bahwa ini benar dirinya.

“Arciel ... Arciel ... Arciel ...”

Ditariknya Arciel ke dalam rengkuhan. Merasakan jantung mereka berdegup seirama. Menghirup wangi tubuh yang senantiasa dia damba. Dalam kondisi normal, Leviathan perlu menanyakan kabar, tetapi sang Iblis justru berbisik, “Jangan pergi, Arci.”

Pelukan Leviathan bertambah erat, seolah Arciel lenyap jika ia lepaskan. Arciel tergeming kaku, merenung bolehkah dia membalas pelukannya. Kemudian, Arciel memekik tertahan begitu ekor Leviathan turut melingkari badan.

Leviathan menilainya sebagai isyarat untuk mundur. Tatapan sang Mantan Malaikat hampa. Netra jingga itu berair dan bahu pun berguncang. Ekornya terkibas lemah seperti anak kucing terbuang.

“A-apa kamu benci padaku? Takut? Jijik? Maaf .... Maaf, aku demon lancang. Aku rendahan, tidak tahu diri, tidak berguna—”

Arciel menggeleng, memotong rentetan kalimat rendah diri Leviathan. Dia terbang, menyamakan tinggi badan mereka, lalu memeluk punggungnya yang dingin.

Bingung memilih kata penghiburan, malaikat memeluk iblis dalam diam. Arciel tahu sekarang Leviathan lebih membutuhkan keberadaannya daripada kata-kata. Dia menangis membayangkan sesakit apa luka yang Leviathan tanggung. Tidak ada sedikitpun rasa takut atau jijik—kalau boleh jujur, wujud iblis Leviathan tetap indah di mata Arciel.

“Kamu tetaplah Leviathan dan selalu menjadi Leviathan yang kucintai,” ucap Arciel, mengakui perasaan yang telah lama dipendam.

Bisakah kita menjadi Leviathan dan Arciel saja tanpa semua embel-embel? lanjutnya dalam hati.

Pernyataan cinta Arciel membuat badan Leviathan menegang. Sang Iblis melonggarkan pelukan, sekadar untuk saling bertatapan. Mata jingga Leviathan berkilat penuh hasrat, selaras dengan warna dosa yang mengaliri hakikatnya. Iri hati.

Leviathan iri pada Celestial Realm karena memiliki orang yang dia sayang. Di langit ada banyak malaikat. Pemimpin di sana terkesan gampang membuang dan mengorbankan malaikat. Jadi tidak masalah, kan, kalau dia menginginkan satu? Cinta Leviathan bahkan lebih besar dari kepedulian seisi Celestial Realm terhadap Arciel jika digabungkan.

“Aku mencintaimu, Arciel, sangat mencintaimu. Karena kamu juga mencintaiku, hal lain tidak penting lagi.”

Gejolak dalam suara Leviathan menyebabkan Arciel merinding, tetapi dia tidak menolak. Tangan mungil Arciel mengelus tanduk Leviathan, berlanjut ke helaian rambut biru keunguan, pipi, dan berakhir di sisik leher. Arciel bermaksud menunjukkan bahwa dia tidak keberatan dengan apapun wujud Leviathan.

Rahang Leviathan mengeras menahan sentuhan lembut yang membakar hati. Dia mulai hilang kewarasan.

Kabut jingga imajiner menebal, menyelubungi otak sang Iblis. Leviathan iri pada orang-orang yang bisa melihat Arciel setiap hari. Dia cemburu membayangkan Arciel bertatapan mata dengan malaikat lain. Dia tidak kuasa memikirkan suatu hari ada pria asing memegang tangan itu. Dia tidak mau Arciel melupakannya sepulang dari sini.

Rasa iri hati menggelegak tak terkendali, merayu Leviathan untuk mengambil yang harus menjadi miliknya. Miliknya. Miliknya. Persetan dengan hal lain. Sudah banyak yang diambil dari Leviathan. Kini, Avatar Iri Hati tidak mau kehilangan cinta juga.

Iblis mengajari malaikatnya bercumbu. Bertaut bibir, bertukar saliva, berpeluk lekat. Sesaat dia gentar, tetapi bara di mata jingga Leviathan menepis niat Arciel untuk kembali menjadi malaikat taat.

“Arciel, tetaplah di sini,” pinta Leviathan, napasnya memburu.

Yang diajak bicara tidak sempat menjawab karena kembali terbungkam oleh ciuman. Namun, Arciel mengangguk. Mata pelangi yang sayu sekarang terpejam, berserah pada cinta.

Perasaan mereka melampaui segala batas, menghapus pembeda identitas. Jikalau Leviathan dilarang ke surga kembali, biarlah Arciel yang turun mencari. Arciel tidak peduli meski itu berarti dia harus ikut berkubang dosa.

—Arciel melemparkan diri ke neraka karena dia jatuh cinta.

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel setting: angel(-demon) AU. Di sini Arciel adalah malaikat dan perangnya antara CR dengan Devildom. rating: 15+ note: – Ditulis untuk meramaikan #PYDyumefic dengan subtema Hati yang Kau Sakiti – Merupakan bagian pertama dari dwilogi Malaikat di Langit Pekat


Sang Jenderal menjanjikan, ketika perang berakhir, dia akan mengajak Arciel ke padang bunga. Namun, perang telah merenggut segalanya.


“Maaf, aku gagal membantah Michael sehingga kamu tetap diterjunkan ke garda depan, Arciel.”

Kalimat meluncur berat dari tenggorokan Leviathan. Dia masih mengenakan seragam tentara ketika singgah ke kediaman Arciel. Gadis malaikat tersebut merupakan anomali baginya yang hanya mengenal pertarungan, mungkin bisa disebut sebagai kawan. Berbeda dengan Leviathan yang berkarir di militer, tugas utama Arciel adalah merawat alam. Dia tidak tega bahkan untuk membunuh semut atau melihat pohon terbakar.

“Tidak apa-apa kok. Aku ingin membantu,” jawab Arciel sambil tersenyum menenangkan, tetapi Leviathan bisa melihat tangannya gemetar.

“Aku pasti menjagamu.” Dia bertekad. “Arciel, setelah perang nanti, ayo kita pergi ke Dunia Manusia. Aku tidak sengaja menemukan padang bunga yang indah ketika survei tempo hari.”

Bohong. Usai memastikan dunia manusia aman dari risiko pertempuran Celestial Realm dan Devildom, Leviathan sengaja mencari hal yang disukai Arciel. Mereka jarang berjumpa karena kesibukan masing-masing. Nanti tidak ada salahnya meluangkan waktu untuk teman sebentar, kan?

Rona merah menyebar di pipi Arciel. Mata pelanginya berkilat gembira. Sesuatu kian menggelitik hati Leviathan, lalu lelaki ini turut tersenyum.


Warna merah merembes di kulit pucat dan rambut putih Arciel. Matanya terpejam. Beruntung healer berkata bahwa dia masih tertolong. Terpaut jarak beberapa meter, Leviathan mengepalkan tangan kuat-kuat hingga telapak tangannya berdarah.

“Demon mana yang melukai Arciel?” desis Leviathan penuh kebencian. Dia akan memberikan kematian paling menyakitkan.

Kendati perang berlangsung nyaris seimbang, kedua pihak terus mengalami kehilangan. Ketenangan para malaikat terusik, sedangkan iblis lebih terbiasa dengan kekacauan. Leviathan terhantam kesedihan lagi saat adik perempuannya, Lilith, terkena serangan fatal. Adik kembarnya, Beelzebub dan Belphegor sangat terpukul.

Leviathan merasa lemah. Tidak berguna. Putus asa.

Dia marah. Saudara-saudaranya pun marah. Sembari mengutuk perang yang berakhir sia-sia, mereka ingin menyelamatkan yang tersisa. Enam malaikat memperjuangkan apa yang mereka bisa.

Tatkala “Ayah” enggan mengabulkan kehendak, si Sulung, Lucifer memulai perlawanan. Saudara-saudara lain termasuk Leviathan berdiri di pihak yang sama.

Mereka jelas takkan menang. Suara mereka dianggap pembangkangan. Kendati begitu, apabila waktu kembali diulang dan menemui akhir yang sama, mereka pasti tetap bersikap demikian.

Baik terikat darah atau tidak, mereka semua bersaudara.


Hitam. Langit sedang hitam ketika Leviathan dan saudara-saudaranya jatuh. Pakaian mereka menghitam. Sayap mereka sebagian hilang, sebagian menghitam. Tanduk dan ekor berwarna gelap muncul seiring energi hitam mengaliri darah mereka.

Rasa sakit ini tak tertahankan. Air mata. Teriakan. Rintihan kesakitan. Penolakan terhadap keadaan. Dersik angin hanya menambah sayatan luka.

Mereka berubah menjadi iblis dan kini bertambah satu saudara lagi di tengah-tengah mereka, Satan. Devildom adalah tempat mereka dibuang. Pihak yang sebelumnya mereka lawan. Dari malaikat kelas atas, mereka menjadi tujuh iblis yang masing-masing membawa sebuah naluri dari tujuh dosa besar.

“Aku tidak pernah ingin datang ke tempat mengerikan ini sejak awal!” raung Leviathan.

“Tenanglah, Levi. Kita semua memiliki alasan mengikuti Lucifer dan menempuh jalan ini,” ujar Mammon, kakak keduanya.

Tidak jauh dari mereka, salah satu adiknya, Asmodeus menangis ingin kembali ke Celestial Realm. Sang mantan Permata Surga merindukan sayap putih yang cantik.

Lucifer saja menangis. Akan tetapi, prioritas utama mereka sekarang adalah kehadiran Satan. Kemudian, banyak hal perlu kembali ditata usai hidup mereka terjungkirbalikkan.

Leviathan tidak menyangka akan jatuh sejauh ini. Devildom terlalu mengerikan. Dia pun merasa berkhianat, bukan kepada “Ayah”, melainkan pada orang-orang yang bertarung bersama di medan perang. Apa yang harus dia katakan apabila kelak bertemu prajurit-prajuritnya?

Lantas, seraut wajah jelita kembali terbayang. Arciel. Dia tidak sempat menengok Arciel. Berhasilkah gadis itu melalui masa kritis?

Apa Arciel baik-baik saja? Kumohon ... tetaplah hidup, Arciel. Tetaplah hidup.

Leviathan tertawa miris dengan tangis masih membanjiri pipi. Dia gagal menepati kata-katanya. Dia tidak mampu menjaga Arciel saat perang. Mereka tidak mungkin berangkat ke padang bunga. Barangkali Arciel akan membencinya yang kini menjadi iblis di neraka.

Ketika melihat saudara-saudaranya, Leviathan merasa bisa bertahan di neraka ini, walau sangat sulit atau butuh waktu lama. Suatu hari, mungkin dia akan bisa bertemu orang-orang dari kehidupan lamanya tanpa menundukkan mata. Namun, apabila Arciel sungguh membencinya, maka luka Leviathan takkan pernah sembuh.

Arciel adalah yang terberat untuk dia tinggalkan. Hal indah dalam kehidupan lama yang seperti mimpi buruk. Seseorang yang terlalu indah untuk Leviathan gapai, sekaligus mustahil ia lupakan.

Ketika jatuh, Leviathan tersadar bahwa selama ini dia jatuh cinta.

.... Dan Leviathan terbuang dari surga tanpa sempat mengungkapkan cinta.

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel (MC)


Arciel tidak memiliki ekspektasi apa-apa terkait Hari Putih, tetapi ternyata Leviathan lebih antusias daripada yang dia kira.


Empat belas Maret dikenal sebagai Hari Putih. Perayaan Valentine tahap dua. Momen membalas ungkapan kasih yang telah diterima.

Arciel tidak memiliki ekspektasi apa-apa terkait Hari Putih. Pertama, dia dan Leviathan sudah berpacaran. Kedua, Hari Putih merupakan perayaan kaum (yang dianggap Leviathan) normies. Ketiga, pasti Leviathan hendak mengisi hari dengan bermain game.

Alangkah kagetnya dia ketika sepulang sekolah Leviathan memberikan sekotak permen berhias bunga sakura.

“Happy White Day, Arciel. Aku membuat permen untukmu—mengikuti resep di manga Demon Chef.”

Mulut si Gadis terbuka lalu mengatup kembali. Tergagap ia menjawab, “Aa ... oh ... terima kasih, Leviathan.”

Di kepala Leviathan kini muncul papan quest imajiner berbunyi: Mission completed. Namun, raut wajah Arciel yang menggemaskan mendorong Leviathan maju selangkah lagi. Kekuatan anime romance berkobar bersamanya.

“K-kalau kamu tidak keberatan, Arci, mau berjalan-jalan?” Serangan mendadak kedua pun terlontar.

“Mau. Ayo, Levi!”

Begitu otak selesai mencerna kata-kata Leviathan, Arciel langsung mengangguk cepat dua kali. Poninya sedikit berayun sesuai gerakan kepalanya. Lantas, mata pelangi Arciel melancarkan kitty eyes andalan agar Leviathan tidak berubah pikiran.

Leviathan memegangi dada kiri sejenak, khawatir jantungnya melompat keluar. Papan quest imajiner di kepala mengabarkan bahwa dia menerima sekian damage. Sisa HP Leviathan belum cukup untuk menggandeng tangan Arciel.


Dua remaja makan siang bersama, membeli es krim, dan singgah ke photobox terdekat. Tak lupa Leviathan memberi sebuket mawar jingga. Arciel nyaris membeli buket bunga lain untuk Leviathan, tetapi lelaki itu melarangnya mengeluarkan uang selama kencan White Day. Leviathan lalu mengajak Arciel menonton anime di bioskop.

Kehabisan ide berkencan, setelah dari bioskop Leviathan dan Arciel beristirahat di taman kota. Sesekali mereka menonton atraksi kawanan merpati di tengah taman. Terkadang mereka mendongak memandang pohon sakura. Ada kalanya, mereka hanya menunduk ke bawah, ke arah sepatu masing-masing.

Dua pasang sepatu yang tampak serasi ketika bersebelahan. Dua pasang sepatu yang berbeda model dan ukuran, tetapi melangkah bersama.

Lamunan dibuyarkan oleh embus angin. Arciel terkesiap ketika rambut putihnya tertiup hingga berantakan. Angin pun menggelitik leher, membuat Arciel sedikit merinding. Leviathan berinisiatif mengubah posisi duduk ke sisi arah angin datang, menjadikan badannya benteng.

“Apa kamu kedinginan?” tanya Leviathan cemas, mengira Arciel baru saja menggigil.

“Ti-uhm .... dingin.” Batal menggeleng, Arciel malah mengangguk. Dia ingin Leviathan memegang tangannya.

Akan tetapi, Leviathan memikirkan hal berbeda. Dia memakaikan scarf jingga ke leher sang Gadis. Scarf tersebut terlalu panjang untuk Arciel, jadi Leviathan perlu melingkarkan beberapa kali. Bagian leher Arciel terlihat menggembung karena hal tersebut.

“Terima kasih. Uhm ... aku tidak mirip minion, kan?” ujar Arciel pelan, berharap tidak terlihat konyol di mata lelaki yang dia suka.

“Kamu cantik,” puji Leviathan, merapikan rambut Arciel dengan jari.

“Hei, Arciel.” Tangan Leviathan berhenti di kedua sisi wajah Arciel. Entah memperoleh buff dari mana, dia berani mencubit gemas pipi pacarnya. “Um ... kapan-kapan ayo kita berkencan seperti normies lagi.”

“Tentu saja. Aku suka berkencan denganmu.” Arciel tersenyum manis.

Berada di jarak sedekat ini membuat wangi badan mereka bersenyawa. Wajah Leviathan dan Arciel bersemu ketika menghirupnya. Leviathan memperhatikan bulu mata Arciel yang lentik, lalu tersedot dalam matanya. Pupil mata Arciel mengingatkan Leviathan kepada nebula.

Saat Arciel menyentuh salah satu tangan di pipinya, Leviathan merasa seperti tersengat listrik. Dia menelan ludah kemudian bergerak mendekat. Rambut indigonya bertemu helaian putih Arciel.

Dahi mereka bersentuhan ....

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Leviathan x Arciel (MC) note: sudah lama nggak menulis pakai bahasa Indonesia, semoga nggak aneh :(


.... Di mata Leviathan, Arciel akan selalu menjadi pelangi.


“Aku dapat gerhana, penyeimbang antara matahari dan rembulan.”

Usai setengah jam hanya mendengarkan album Sucre Frenzy sembari sibuk sendiri, akhirnya seseorang buka suara. Arciel memberitahukan hasil kuis kepribadian yang sedang viral di TokTik. Dia menunjukkan layar DDD kepada Leviathan yang bermain game di sebelah.

Leviathan mengalihkan atensi dari game. Jemari lelaki itu sudah hafal di mana letak tombol pause. Baris demi baris penjelasan di DDD Arciel ia baca saksama. Kemudian, dia mengangguk, setuju dengan apa yang tertulis di sana.

“Arci seperti gerhana, matahari, bulan, bintang—” Spontanitas meluncurkan kalimat tersebut dari mulut Avatar of Envy. Akan tetapi, volume suaranya menurun seiring semburat merah mekar di pipi, “t-tapi Arci paling mirip dengan pelangi.”

“Pelangi?” ulang Arciel, dalam hati bertanya-tanya apakah ini karena mata dan sayap yang berwarna-warni.

Belum ada tanggapan. Komputer di kamar Leviathan kini otomatis memutar lagu terbaru Zaramela. Telinga mereka berdua dipenuhi lirik tentang cinta. Jenis lagu yang bisa membuat salah tingkah ketika didengarkan bersama kekasih.

Tak sengaja saling melirik, mereka buru-buru memalingkan muka. Arciel menarik DDD untuk memainkan otome Mystic Hacker. Leviathan melanjutkan game offline yang sempat tertunda. Saat Arciel sibuk dengan Zero, dia tidak peka Leviathan melirik lagi.

Leviathan dulu berpikir bahwa Arciel adalah pelangi. Kecantikan yang tidak bisa diraih. Mahakarya yang membuatnya merasa lancang untuk bermimpi. Jua sebentuk eksistensi yang dia syukuri ada.

“Arci, apa kamu pernah mendengar fenomena pelangi di luar angkasa?” Tanpa memalingkan wajah dari game, Leviathan melontarkan topik lain.

“Aku pernah dengar pelangi bisa terjadi di Venus, namanya Glory. Salah satu satelit Saturnus, Titan, secara teori memungkinkan untuk keberadaan Terrestrial Rainbow. Pluto pun bisa dikatakan 'planet' berwarna pelangi,” jelas Arciel, merasa lega topik dialihkan.

“Kalau di laut?” tanya Leviathan lagi.

“Di permukaan laut cukup sering terjadi. Di laut dalam setahuku ada spesies binatang berwarna pelangi.”

Sayang Arciel lupa nama spesies-spesies tersebut. Daughter of Nature jadi ingin berjalan-jalan ke dasar laut. Samudra sangat indah dan misterius, walau semakin dalam semakin gelap. Barangkali mereka bisa berkencan usai menengok Lotan. Arciel mau melihat langsung para binatang laut yang menggemaskan.

Sebelum Arciel mengutarakan keinginannya, Leviathan bangun. Tatapan mata jingga Leviathan mengunci Arciel. Sang Demon tersenyum lembut, “Karena itu, Arciel, kamu seperti pelangi.”

Bagi Leviathan, Arciel memang pelangi. Keindahan yang bisa hadir di mana-mana. Di prisma. Di gelembung. Di langit malam. Di dinding akuarium Henry 2.0. Di dalam laut. Bahkan, di luar angkasa. Ia ada mulai dengan cara yang semenjana hingga mendobrak logika.

“Kenapa, Levi?” Ganti Arciel yang bertanya.

Arciel senantiasa mewarnai kemuraman Leviathan. Asalkan sang Demon Otaku jujur terhadap diri sendiri dan mengulurkan tangan, ternyata Arciel bisa sedekat lapisan bening bola matanya, sekarib kilau di sisik demonnya.

Sahabatnya. Cintanya. Belahan jiwanya. Pelanginya. Bersama Arciel, situasi sesulit apapun yang Leviathan alami tetap menyimpan sisi indah.

“Err ... maaf, aku harus mengambilkan makanan Henry.”

Kontak mata mereka terputus. Tidak kuasa menjawab, Leviathan kabur dengan dalih memberi makan Henry 2.0. Demon ular laut tersebut tersandung kardus merch, beruntung dia sampai terjatuh. Mendengar tawa kecil Arciel, Leviathan menoleh ke belakang lagi. Arciel tengah berjalan menghampiri.

“Aku ikut, Levi.”

—end

happy birthday to you~


Hari ini, alarm membangunkan Kazuko lebih awal. Semalam Beelzebub memintanya untuk menemani berlari pagi—yang disanggupi perempuan tersebut tanpa berpikir dua kali. Dia senang menonton Beelzebub berolahraga.

Hal yang tidak Kazuko prediksi adalah hawanya dingin sekali. Barangkali ada pengaruh dari tidak biasa mandi sepagi ini. Dia masuk ke dalam selimut lagi ... hingga ketukan pintu membuatnya terlonjak.

“Kazu, apa kamu sudah bangun?” tanya Beelzebub dari luar.

“Iya. Sebentar, Beel.”

Segera, ia membukakan pintu. Rasa malas Kazuko seketika hilang ketika mendengarkan suara Beelzebub. Demon kesayangannya tampak segar dan bersemangat. Senyuman hangat Beelzebub laksana matahari.

“Ayo kita berangkat, Beel.” ajak Kazuko, tertular semangat Beelzebub.
Klik di sini

“Apakah kita akan berangkat sekarang, Beel?” tanya Kazuko.
Klik di sini

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Beelzebub x Haruko (MC) note: singkat, random, mungkin ooc. happy birthday haru >~<


Setiap orang pasti memiliki tempat untuk pulang.


Kata siapa waktu berputar lebih santai di bawah senja kesumba? Lelaki itu justru bergegas. Irama langkah kakinya kian menderap tatkala tempat tujuan terlihat. Bekas peluh masih mengkilap di wajah.

Dunia memang terasa lebih mekanis bagi orang dewasa. Seperempat sampai sepertiga hari dapat dihabiskan di ruang kerja. Petang merupakan saat di mana mereka terbebas dari rutinitas, sejenak beristirahat, kemudian mengulang lagi keesokan harinya. Jadi, sekarang dia enggan membuang waktu.

Telah sampailah dia di depan rumah. Pintu diketuk dan bibir berucap, “Aku pulang.”

Selang kurang dari satu menit, pintu terbuka. Aroma makanan favorit menggelitik hidung. Perut sang Lelaki berbunyi mengikuti insting. Sosok perempuan jelita hangat menyambut.

“Selamat datang, Beel.”

'Beel' alias Beelzebub masih terpaku, belum terbiasa ada seorang perempuan menjawab salamnya. Lalu, dia tersenyum. Warna merah samar menjalar di pipi, senada dengan nuansa senja. Hati Beelzebub berdesir. Setengah penatnya terangkat seketika.

Mereka baru menikah beberapa hari. Masing-masing belum sepenuhnya beradaptasi dengan status berumah tangga. Terkadang mereka masih menganggap satu sama lain sebagai pacar. Terkadang mereka bisa tersipu ketika ingat kalau sudah menjadi pasangan legal.

“Aku pulang,” kata Beelzebub lagi, setengah sadar. Entah kenapa dua kata tersebut terasa lebih bermakna ketika seseorang tercinta menjawabnya.

“Selamat datang. Kamu mau makan atau mandi dulu? Semua sudah siap,” ujar Haruko, istri Beelzebub.

Usai belasan detik beradu tatap, ditariknya sang Perempuan ke dalam pelukan. Wangi, lembut, dan hangat. Energi Beelzebub perlahan terisi kembali. Selain rumah dalam bentuk materi, dia pun menemukan rumah dalam bentuk manusia.

Rumah di mana dia bisa menjadi apa adanya. Rumah yang ingin dia jaga. Rumah tempat separuh jiwanya berada.

“Haru, aku pulang.”

—end

author: leviaphile language: Bahasa Indonesia fandom: Obey Me pairing: Solomon x Yura (MC) note: singkat dan random, happy birthday yura 🧡

Merayakan sekali lagi hari satu putaran mengitari matahari. Hanya ada cinta dan bintang-bintang.


Desember yang dingin tidak membuat Yura menggigil. Dia betah berjalan dengan rok pendek di malam hari. Setidaknya, sebuah syal terlilit di leher. Tangannya pun hangat karena bergandengan dengan Solomon.

Devildom malam hari cukup sepi. Keramaian hanya terpusat di tempat-tempat tertentu. Solomon membawa sekotak kue ukuran sedang, dan Yura membawa kantong berisi dua kaleng minuman. Mereka menuju tempat yang nyaman untuk melihat bintang.

Solomon melihat jam, menghitung detik demi detik dalam hati. Jarum jam tengah menunjukkan tengah malam. Hari telah berganti.

“Selamat ulang tahun, Yura,” ucap Solomon sembari menyalakan lilin di kue.

Hari ini merupakan ulang tahun Yura. Gadis itu ingin Solomon menjadi orang pertama yang bersamanya merayakan ulang tahun. Dia meniup lilin lalu tersenyum.

“Terima kasih. Ayo kita makan kuenya,” tanggap Yura.

Mereka memakan kue bersama sembari melihat bintang. Sejurus kemudian, Solomon berpaling. Dia lebih suka menatap wajah jelita Yura.

“Kamu punya mata yang indah,” bisiknya setengah tidak sadar.

Yura kaget mendengar pujian Solomon yang tiba-tiba. Wajahnya selalu memerah setiap Solomon melontarkan kata-kata manis. Solomon tersenyum khas menyaksikan reaksi Yura yang menggemaskan.

Kalimat tersebut pun mengantar Yura bernostalgia. Solomon adalah orang pertama yang memuji mata heterokromianya, selain keluarga. Ketika banyak yang takut atau menganggapnya aneh, Solomon justru menganggap mata Yura indah. Solomon meyakinkan Yura bahwa keunikan warna mata menambah kecantikannya.

Bagaimana mungkin Yura tidak luluh? Yura akhirnya menemukan seseorang yang membuat dia merasa sangat berharga.

“Apa yang kamu lamunkan?” goda Solomon.

“Aku bersyukur telah bertemu denganmu.” Yura memilih jujur. Terlebih lagi, sekarang momen ulang tahunnya. Dia ingin mengungkapkan gejolak perasaan kepada sang Kekasih.

“Begitu pula aku.” Solomon lantas mengusap pipi Yura, “Kita tidak akan pernah terpisah.”

Yura mengangguk terharu. Dia tidak ingin berpisah dengan Solomon. Dia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Solomon. Apapun yang terjadi, mereka akan tetap ada untuk satu sama lain.

“Iya, kita akan bersama selamanya.”

—end

Amarah menghubungkan kita. Amarah memisahkan kita. Amarah bercerita tentang kita.


Sejak lahir, aku terikat dengan sang Kemarahan. Amarah adalah helaan napas dan tetes air mata pertamaku. Emosi pertama. Rasa sakit pertama. Ambisi pertama. Gravitasi yang menarikku ke dasar seiring kami jatuh dari nirwana.

Ia menjadikanku ada. Ialah yang mewujudkanku nyata. Walau menyaksikan kehidupan saudara-saudariku semasa mereka menjadi malaikat, tetapi tidak satupun memori tersebut dari pengalaman sendiri. Kini aku memiliki wujud fisik, tetapi takkan berkesempatan membuat memori yang sama.

Aku hadir sebagai Avatar of Wrath. Aku hanyalah seonggok kemarahan tersebab luka. Haus pengetahuan dan ingin memahami apa yang dinamakan rasa. Melalui waktu demi waktu, mengalami berbagai amarah.

Kemudian, emosi berdosa ini pula yang menghubungkan kita berdua, Aertha.


Kaum demon diwanti-wanti untuk tidak sembarangan membentuk pact. Namun, kupikir kita cocok membentuk pact. Kamu layak menjadi masterku. Dengan atau tanpa pact pun, aku akan selalu berdiri di pihakmu.

Pact membuat kita mampu merasakan kemarahan satu sama lain. Katamu, hanya pact denganku yang memiliki efek tersebut. Aku jadi merasa istimewa. Bukankah ini artinya aku yang paling dekat denganmu?

Kita berbagi kerlingan dan cengiran rahasia saat berpapasan. Kita sering bertukar pesan membicarakan kenapa merasa marah. Kita menghabiskan waktu bersama untuk meredakan amarah. Aneh, kemarahan terasa lebih menyenangkan jika aku bersamamu.

Suatu ketika, Lucifer membuatku marah karena dia melarang untuk memelihara kucing. Kamu tiba-tiba datang lalu menggigit pipiku. “Hayooo, Satan,” ujarmu.

“Sudah tidak apa-apa, Aertha,” tuturku, menahan senyum.

Kamu mengajak keluar rumah, aku mengikuti dengan senang hati. Kita memberi makan kucing jalanan bersama. Aku dan kamu tertawa. Amarahku reda.

Di lain hari, aku yang menghampirimu. Kamu sedang memandangi produk kosmetik asing dengan tatapan gusar. Melihatku, kamu lekas menggerutu, “Aku tertipu. Produknya jelek, hanya packaging yang bagus.”

Kubaca sekilas merek kosmetik tersebut, lalu aku menepuk kepalamu. “Jangan khawatir. Nanti kucarikan rekomendasi yang kredibel. Tapi kulitmu tidak iritasi, kan? Apa kita perlu ke dokter?”

Aku memang memiliki jejaring yang luas. Mudah untukku mencari koneksi terkait produk kecantikan. Apapun bisa kulakukan untukmu.

Kamu menggeleng. “Santai saja, Satan. Kekurangannya hanya karena tidak cocok dengan kulitku kok. Mau coba?”

Matamu berbinar jenaka sebelum menggamit tanganku. Amarahmu sirna. Kamu siap memulaskan produk tersebut di wajahku. Ini memalukan, tetapi aku menikmati kala memandangmu dari dekat.

Pertalian amarah mendekatkan kita. Menambah warna di kisah kita. Memudahkan kita untuk saling mengerti dan menjaga.

.... Demikianlah yang kukira.


Maaf, Aertha, aku lupa betapa rapuhnya manusia. Seharusnya pact kita tidak pernah ada.

Aku adalah Avatar of Wrath. Berbagi tali kemarahan cepat atau lambat hanya akan menyakiti partnerku. Kemarahanku bahkan sulit ditanggung oleh sesama demon. Andai aku menyadari ini sebelum terlambat.

Tiba hari di mana aku terpicu untuk murka. Jelas tidak bisa dibandingkan dengan amarah remeh sehari-hari. Kamu terluka internal karena merasakan emosiku. Ketika aku mendengar teriakanmu, semua telah terlambat. Badanmu mengejang kesakitan lalu tidak sadarkan diri.

Kepanikan membuatku melupakan kemurkaan, tetapi kamu masih tergeletak. Kugendong dirimu dengan tangan gemetar. Saudara-saudaraku, Solomon, sampai Lord Diavolo datang membantu. Healer profesional bahkan kami panggil ke House of Lamentation.

“Manusia ini mengalami syok dan rasa sakit di luar akal sehat. Tubuhnya tidak mampu menampung hal tersebut.”

Pikiranku buram. Lucifer yang menerima obat-obatan dan menyimak instruksi beliau. Beberapa saudara lain melirikku masam bercampur kalut, tetapi tidak ada yang menyalahkan. Barangkali mereka menganggap ini sebatas kecelakaan atau raut mukaku terlalu kacau hingga memantik iba.

Semua salahku, Aertha. Maaf, aku gegabah. Maaf, aku kurang berpikir panjang. Maaf, aku terlena dengan riak manis amarah di sekitar kita berdua. Maaf. Maafkan aku.

Tidak sehari pun aku alpa menunggu di sisi tempat tidurmu. Ingin senantiasa menjaga sekaligus tidak mau lagi menyakitimu. Satu ..., dua ..., tiga ..., pada hari keempat, kamu akhirnya membuka mata.

“Satan?” panggilmu dalam suara serak.

“Aertha! Ada apa? Apa kamu membutuhkan sesuatu?” sahutku haru. Kupegang kedua tanganmu.

Kamu diam selama beberapa saat, seolah sedang mencerna apa yang terjadi. Lantas, kamu tersenyum lemah. “Aku lapar.”

Secepat kilat aku pergi ke dapur. Tak luput aku membagikan kabar bahagia di grup. Kala aku sampai ke kamarmu, di sana sudah ramai orang. Matamu kemudian menangkap sosokku.

“Kamu sudah kembali, Satan,” ujarmu.

Aku ... tiba-tiba ingin menjauh. Aku merasa tidak pantas menerima sambutan hangat itu. Dikarenakan aku masih membatu, Beelzebub menawarkan diri untuk mengantarkan makananmu. Tahu-tahu, aku kembali ke kamar dan mengutuk diri sendiri.

Sejak kamu siuman, aku malah menghindar. Kondisimu berangsur membaik, tetapi aku tidak bisa mengenyahkan ingatan saat kamu kolaps. Rasa bersalah karena telah melukaimu bercampur dengan kecemasan, takut tidak sengaja menyakiti lagi.

“Satan, ayo kita menonton kodok! Ada yang mengunggah foto di devilgram,” ajakmu seraya menunjukkan unggahan DDD.

Kamu tetap memperlakukanku dengan baik. Aku hampir marah lagi dibuatnya. Aku nyaris marah karena kamu tidak marah padaku. Buru-buru kutekan kemarahan tersebut ketika melihatmu menahan nyeri.

Maafkan aku, Aertha. Aku hampir kelepasan. Aku mundur perlahan. Suaraku nyaris tidak bisa kukenali. “Maaf, Aertha. Tidak hari ini.”


Terlepas dari gelar serta kemampuan, sesungguhnya aku hanyalah sosok yang lemah. Pelukanmu adalah tempatku rebah. Kamu mengajakku mengobrol tentang berbagai hal—setelah beberapa hari minim interaksi. Sesekali, kamu mengelus kepalaku.

Pelukan lembutmu membuatku terbuai ... hingga lupa kekelaman di namaku. Tak terasa lagi bara yang membakar esensi jiwa. Mereka terjinakkan menjadi pijar-pijar kehangatan selama berada dalam rengkuhanmu.

Di pelukanmu, aku aman. Aku tenang. Deretan abc kepura-puraan tidak diperlukan. Topeng apapun sedang tidak relevan.

Kala aku menengok ke atas, kamu sudah terlelap. Senyummu seolah menyimpan matahari. Aku memejamkan mata, tetapi masih terjaga. Kueratkan pelukan ini. Dengkuran halusmu lantas beriringan dengan isakanku. Aertha, izinkan aku merapuh untuk yang terakhir kali.

Esok paginya, kuturuti semua keinginanmu. Membuatkan makanan kesukaanmu. Pergi ke tempat yang kau mau. Melakukan apapun kehendakmu. Aku mengumpulkan sebanyak mungkin kenangan di waktu yang tersisa. Kemudian, ketika pulang, aku mengakhiri kita.

“Aertha, maaf ... kita harus putus.”

“Ada apa?” Suaramu terdengar penuh ketidakpercayaan. Kamu berharap cuma salah dengar.

“Kita harus putus, Aertha. Aku sangat berbahaya untukmu. Kita harus menjaga jarak sebelum aku melukaimu lagi,” jelasku.

Pada setiap kata, lidahku seolah ditikam sembilu. Tolong terimalah sebelum aku goyah. Semua demi kebaikanmu.

“Aku tidak mau putus,” jawabmu sebelum menyanggah, “Satan, masalahnya bukan di hubungan kita, tetapi efek samping pact. Kita bisa mencari solusinya bersama.”

Kamu tidak salah, tetapi terlalu berbaik sangka. Putus akan merentangkan jarak antara kita, yang membuatku sadar diri untuk menjaga kestabilan emosi. Putus akan membuatku lebih banyak mengenangmu daripada marah. Jika kita tetap bersama, bagaimana kalau aku melukaimu lagi sebelum kita menemukan solusi?

“Tidak, Aertha. Putus adalah jalan terbaik,” bantahku keras kepala.

Setiap argumenmu kukembalikan dengan rasionalisasi serupa. Kamu menuduh pemikiranku sempit, tidak apa-apa. Daripada aku terlalu berharap dan kehilangan lebih banyak, kan?

“Pikirkan dirimu sendiri! Kamu pikir Avatar of Wrath bisa menahan kemarahan selamanya? Kita bisa mencari solusi yang kaubilang, tetapi lebih aman jika kita tetap berjauhan,” tukasku, membuatmu tersentak.

Mulutmu sedikit terbuka lalu mengatup kembali. Kamu kehabisan kata-kata. Aku yang memenangkan perdebatan kita. Hubungan kita usai sudah.

“Barangkali kamu butuh waktu sendiri dulu, Satan. Kita bisa membicarakannya lagi saat kamu lebih tenang,” ucapmu seraya memaksakan seulas senyuman.

Aku tidak menjawab. Tanpa mengatakan apapun, kulanjutkan mengantarmu ke kamar. Kamu menutup pintu dengan jemari gemetar. Aku masih di balik pintu, mendengarmu menjatuhkan diri ke kasur, terisak, dan menahan pekikan emosi yang meluap.

Dapat kurasakan kemarahanmu. Kamu marah terhadap keadaan. Kamu tidak ingin kita berakhir.

Percuma, Aertha, aku tidak mungkin berubah pikiran. Nyawamu yang ada di ujung tanduk. Kalau harus memilih antara “bersamamu” dan “menyelamatkanmu”, akan kutekan semua ego dan menjalani pilihan kedua.

Langkahku terasa berat saat berbalik. Lebih lama di sini hanya akan membuatku goyah. Aku harus pergi sebelum mengetuk pintu lalu memelukmu. Terima kasih atas segalanya, Aertha—dan, maafkan aku.


Kamu pulang ke dunia manusia di akhir tahun ajaran berikutnya. Hasil risetku menunjukkan bahwa efek samping pact tidak akan terasa saat kedua pihak berjauhan. Saat kita berada di dunia berbeda, kamu tidak akan merasakan amarahku. Akan tetapi, sebagai Avatar of Wrath aku masih bisa mendeteksi amarah darimu—walau tidak seakurat saat lokasi kita dekat.

“Aertha, jika kamu memanggil, aku akan langsung datang padamu,” kataku saat kamu mengucapkan selamat tinggal.

“Terima kasih, Satan,” jawabmu, berupaya menutupi kecanggungan.

Kita kembali ke hidup masing-masing. Kamu pulang ke dunia manusia dan aku tetap di Devildom. Setiap amarahmu adalah pelipur lara. Aku selalu memejamkan mata, membiarkan jantungku berdenyut bersamanya. Sesaat, kamu terasa dekat.

Bulan berganti bulan, kemudian tahun bergulir. Manusia ternyata begitu rapuh. Perasaan mereka mudah berubah. Kamu yang dulu berkeras tidak ingin putus malah lebih cepat mendapat pengganti. Bahkan, kamu mengirimkan undangan pernikahan kepada kami.

Mammon dan Belphegor menatapku simpati. Leviathan menepuk pundakku. Beelzebub memelukku. Asmodeus berkata manis untuk menghibur percintaanku yang kandas. Lucifer menghela napas sebelum berkata aku tidak perlu datang jika ingin. Aku menggeleng, mengisyaratkan kesiapan datang ke pernikahanmu.

Kita bertemu lagi hanya untukku merelakanmu. Kamu adalah pengantin tercantik di seluruh dunia. Kamu terlihat bahagia saat bersanding dengannya. Tidak apa-apa, Aertha. Jika keberadaanku hanyalah luka, maka lupakanlah.

Aku tersenyum. “Selamat atas pernikahanmu.”


Kepulanganmu ke dunia manusia membuat komunikasi kita merenggang. Di tahun-tahun pertama, kamu cukup sering menghubungi kami. Kemudian kamu jarang mengirim pesan sejak menikah. Kamu beralasan akan sulit menjaga kerahasiaan Devildom jika kita tetap berteman dekat. Setelah itu, DDD-mu tidak bisa dihubungi.

Solomon sempat datang berkunjung ke sana. Dia bercerita bahwa kamu ingin menjadikan Devildom sebagai masa lalu dan sepenuhnya memulai hidup baru. Kamu merintis kafe yang cukup digemari. Solomon pun mengirimkan foto anakmu yang masih bayi. Cantik.

Aertha, maaf aku tiba-tiba membayangkan bagaimana jika kita menikah. Aku pasti kaujadikan barista utama di sana. Pasti anak kita akan secantik itu—bukan, pasti yang tercantik di tiga dunia. Kamu mewariskan tatapan yang membuatku tidak bisa mengatakan “tidak”. Kalian akan kompak mengerjaiku, yang menuruti dengan senang hati. Kita bertiga tertawa lalu tidur berpelukan.

“Satan, apa kamu ingin menitip pesan pada Aertha? Kurasa dia tidak akan marah jika aku mampir sekali lagi,” tawar Solomon.

Aku menggeleng. “Aertha sudah bilang jika dia ingin memulai hidup baru. Kita harus menghormati keputusannya.”

Bagimu, mungkin aku tidak lebih dari kenangan. Bagiku, kamu adalah sosok yang takkan tergantikan. Meski hanya bisa memeluk amarahmu, kamu masih menjadi bagian dari diriku.


Sekurang-kurangnya, kamu akan marah seminggu sekali. Namun, sekarang sudah tiga bulan. Kenapa kamu tidak pernah marah? Apakah hidupmu sedang di titik paling bahagia?

Aku merindukan amarahmu. Aku ingin merasakan sedikit jejakmu, walau sebatas alasan marah. Ini terdengar tidak wajar, tetapi kuharap kamu lekas marah. Apa saja boleh. Stok kopi langgananmu habis atau salah beli kosmetik kadaluwarsa. Hal-hal sekecil itu mampu mengobati sekelumit rindu.

Sensasi panas yang asing membakar badanku dalam sepersekian detik. Tanganku kini berkeringat. Aku tidak tahu apa yang terjadi barusan. Kejadian tersebut amat singkat, seolah antara ada dan tiada.

Suara pintu kamar yang dibuka dengan tak sabar membuatku menoleh. Asmodeus masih memakai jubah mandi. Tunggu, kenapa dia menangis?

“Satan, pact dengan Aertha menghilang,” serunya panik, “Aku sedang mandi lalu tiba-tiba panas. Ketika kucek, pact dengan Aertha menghilang.”

“Hah?”

Aku bergegas mengecek pact. Tidak ada. “Pact denganku juga hilang, Asmo.”

Asmodeus mengambil DDD-ku untuk menghubungi saudara-saudara yang lain. Mereka lekas berkumpul di kamarku. Pact kami semua menghilang. Prosedur menghilangkan pact sangat sulit, kecuali ...

Suatu pemahaman membuat duniaku runtuh. Kumohon. Jangan 'itu'. Semoga saja ini hanya fenomena singkat seperti glitch di game. Atau kamu memutus pact melalui jasa penyihir hebat. Atau ritual agama otomatis menghapus pact Aertha dengan para demon. Apapun boleh asal jangan 'itu'.

Mammon menenangkan kami walau kondisinya sendiri kacau. Lucifer menelepon Diavolo. Asmodeus menelepon Solomon untuk menanyakan alamatmu.

Kami tidak tenang. Kami harus melihatmu dengan mata kepala sendiri.


Aku adalah Avatar of Wrath. Yang termarah. Wujud kemarahan itu sendiri. Akan tetapi, lihatlah ... kini sang Avatar kehilangan amarah kecil yang bukan miliknya.

Bersama para pelayat dari dunia manusia dan Devildom, aku masih mematung di depan pusaramu. Mengutuk roda waktu dan takdir. Mengenangmu dalam kilasan rol film di kepala. Kenapa harus secepat ini?

Lantas DDD-ku bergetar nyaring, mengusik lamunan. Thirteen. Aku lekas menjauhi areal pemakaman karena pasti ini telepon penting.

“Maaf, aku harus menjemput Aertha.” Suara Grimm Reaper itu terdengar parau, seperti habis menangis.

Ternyata luka dalammu tidak sepenuhnya pulih, dan kian memburuk saat kamu jauh dari Devildom. Ketika kutanya apa yang akan terjadi pada jiwamu, Thirteen menggumam ambigu. Kusimpulkan belum ada kabar baik untuk beberapa waktu ke depan.

“Satan, Aertha menitip pesan,” lanjut Thirteen.

Sebelum aku sempat membalas, terdengar suaramu yang telah lama kurindukan. “Aku tidak membencimu, Satan. Tidak pernah,” ucapmu terburu-buru.

Dua kalimat. Enam kata. Kurang dari lima detik. Kamu seperti mencuri waktu hanya untuk mengatakan itu, kemudian sambungan telepon langsung terputus. Thirteen pasti sudah menyelesaikan tugasnya. Kamu telah beristirahat entah di mana. Tinggallah aku yang masih menangis memegang DDD sembari melihat pusaramu dari jauh.

“Aertha, Aertha.”

Aku meratap pilu. Kubiarkan air mata mengalir deras. Aku memberimu luka. Aku turut menjadi penyebab kematianmu. Aku sangat menyesalinya.

Meski begitu, kamu tidak membenciku. Kamu tidak pernah membenciku. Di saat terakhir pun, kamu mengerahkan segalanya untuk menyampaikan padaku. Kamu tidak mau aku menyalahkan diri sendiri. Kamu tidak ingin membuatku merasa dibenci.

Aku mendongak menatap langit biru. Entah, aku hanya berharap bisa melihatmu di sana. Tentunya aku tidak bisa melihatmu. Aku hanya bisa membayangkan wajahmu.

Tidak apa-apa. Itu cukup. Kuseka air mata sebelum kembali ke peristirahatan terakhirmu.

Satu persatu pelayat pulang. Leviathan menuntunku menjauh bersama yang lain supaya kami tidak mencurigakan di mata para manusia. Kamu ingin menjalani hidup tanpa kami lagi. Setidaknya, kami bisa mengabulkan harapanmu. Solomon merapal mantra agar kami tidak terlihat.

Suamimu—yang menggendong anak beranjak paling akhir. Setelah itu, kami kembali ke pusaramu, mengucapkan perpisahan. Lord Diavolo mengizinkanku pulang terlambat ke Devildom. Mereka memberiku waktu sendiri di sini.

Aku bercerita panjang lebar sembari mengusap batu nisanmu. Akan tetapi, ada menit-menit di mana aku cuma membisu.

“Kita pernah saling jatuh cinta. Dan kemarahan pernah menghubungkan kita berdua,” bisikku.

Kebersamaan singkat kita akan kusimpan selamanya. Setiap detik bersamamu merupakan saat terindah di hidupku. Walau perasaanmu sudah berubah. Meski jiwamu telah terpisah dari raga. Aku masih sama, menganggapmu sebagai anugerah dari semesta.

Kudoakan perjalananmu menyenangkan. Semoga peristirahatanmu tenang.

Buatlah taman bunga matahari. Bermainlah ke kolam penuh kodok. Tertawalah. Bersinarlah di manapun kamu berada. Aku akan terus mengingat dan menunggumu walau harus ribuan tahun lamanya.

Tidak ada lagi pact di tubuh, tetapi kamu selalu memiliki seluruhku. Selalu. “Aku mencintaimu, Aertha.”

nama : Noir Solidario esensi : noir, solidarity lambang(?) : blackhole palet warna : hitam ras : half-demon relasi : Arciel (teman masa kecil, saudara angkat) pronouns : he/him sexuality : asexual ship : none. Salah satu quote favorit Noir adalah “Tumbuh bhinneka cinta.” tetapi jenis cinta yang dia miliki platonis.

Deskripsi : Sepintas mirip “mas-mas aktivis mahasiswa yang punya mimpi menjadi bagian dari revolusi” biasa. Tampangnya sangat pasaran. Rambutnya kadang panjang (dikuncir), kadang pendek. Kulitnya tan, tetapi bisa kelihatan lebih gelap tergantung pencahayaan.

Latar belakang Berasal dari keluarga petani yang lahannya terancam digusur oleh oligarki. Mereka dibantu oleh Ayah Arciel yang merupakan pengacara publik, meski akhirnya kalah setelah melawan dengan sehormat-hormatnya. Mereka pindah ke kota (jadi tetangga Arciel) dan tetap menjadi petani.

Dia adalah teman terdekat Arciel sejak kecil, malah mereka saling menganggap sebagai saudara. Kata Arciel ke Leviathan, Noir adalah satu-satunya yang tidak boleh dicemburui. Saat Arciel dan Ayahnya harus pindah sejak insiden Ibunya dituduh penyihir jahat dan dibakar hidup-hidup oleh warga, keluarga Noir masih sering berkunjung. Mereka pun salah satu yang vokal membela saat kejadian traumatis tersebut. Ketika Ayah Arciel menjadi korban penghilangan paksa, Noir pindah ke kontrakan sebelah untuk menemani Arciel (Arciel mengajak tinggal bersama, tetapi Noir tidak mau).

Beberapa tahun kemudian, Noir berpamitan pergi ke ibukota pada Arciel. Kata Noir, dia menemukan petunjuk tentang hilangnya Ayah Arciel. Namun, Noir tidak bisa dihubungi dan tidak pernah kembali. Hal ini menjadi salah satu trigger terbesar Arciel untuk mencoba bunuh diri saat nantinya sebuah NGO mengabarkan temuan tulang belulang yang diduga adalah Ayah Arciel.

Ke mana Noir? Dia ditangkap oleh aparat dan disiksa. Dalam keadaan sekarat, dia membatin, dia rela menjual jiwanya pada iblis asal bisa membunuh mereka. Seorang iblis tingkat tinggi menjawab panggilan Noir. Pact spesial dibuat, dan ini menyebabkan Noir ikut berubah menjadi half-demon (dia punya tanduk dan kukunya memanjang).

Sayangnya, Noir belum bisa kembali pulang karena kondisinya belum stabil. Dia diajak ke Devildom lalu menjadi siswa RAD untuk menstabilkan konversinya.

Kenapa Noir tidak bertemu Arciel di RAD? Noir datang beberapa bulan lebih awal. Kemudian, Noir diutus menjadi siswa pertukaran pelajar ke Celestial Realm. Kata Michael, Noir adalah kasus langka; jiwanya tetap murni dan penuh kebaikan hati. Jika dia tewas saat itu, dia akan lahir kembali sebagai malaikat, tetapi Noir sudah apatis, bahkan cenderung membenci malaikat.

Noir baru bisa bertemu Arciel saat dia kembali ke Devildom bersama Raphael.