Amarah menghubungkan kita. Amarah memisahkan kita. Amarah bercerita tentang kita.
Sejak lahir, aku terikat dengan sang Kemarahan. Amarah adalah helaan napas dan tetes air mata pertamaku. Emosi pertama. Rasa sakit pertama. Ambisi pertama. Gravitasi yang menarikku ke dasar seiring kami jatuh dari nirwana.
Ia menjadikanku ada. Ialah yang mewujudkanku nyata. Walau menyaksikan kehidupan saudara-saudariku semasa mereka menjadi malaikat, tetapi tidak satupun memori tersebut dari pengalaman sendiri. Kini aku memiliki wujud fisik, tetapi takkan berkesempatan membuat memori yang sama.
Aku hadir sebagai Avatar of Wrath. Aku hanyalah seonggok kemarahan tersebab luka. Haus pengetahuan dan ingin memahami apa yang dinamakan rasa. Melalui waktu demi waktu, mengalami berbagai amarah.
Kemudian, emosi berdosa ini pula yang menghubungkan kita berdua, Aertha.
Kaum demon diwanti-wanti untuk tidak sembarangan membentuk pact. Namun, kupikir kita cocok membentuk pact. Kamu layak menjadi masterku. Dengan atau tanpa pact pun, aku akan selalu berdiri di pihakmu.
Pact membuat kita mampu merasakan kemarahan satu sama lain. Katamu, hanya pact denganku yang memiliki efek tersebut. Aku jadi merasa istimewa. Bukankah ini artinya aku yang paling dekat denganmu?
Kita berbagi kerlingan dan cengiran rahasia saat berpapasan. Kita sering bertukar pesan membicarakan kenapa merasa marah. Kita menghabiskan waktu bersama untuk meredakan amarah. Aneh, kemarahan terasa lebih menyenangkan jika aku bersamamu.
Suatu ketika, Lucifer membuatku marah karena dia melarang untuk memelihara kucing. Kamu tiba-tiba datang lalu menggigit pipiku. “Hayooo, Satan,” ujarmu.
“Sudah tidak apa-apa, Aertha,” tuturku, menahan senyum.
Kamu mengajak keluar rumah, aku mengikuti dengan senang hati. Kita memberi makan kucing jalanan bersama. Aku dan kamu tertawa. Amarahku reda.
Di lain hari, aku yang menghampirimu. Kamu sedang memandangi produk kosmetik asing dengan tatapan gusar. Melihatku, kamu lekas menggerutu, “Aku tertipu. Produknya jelek, hanya packaging yang bagus.”
Kubaca sekilas merek kosmetik tersebut, lalu aku menepuk kepalamu. “Jangan khawatir. Nanti kucarikan rekomendasi yang kredibel. Tapi kulitmu tidak iritasi, kan? Apa kita perlu ke dokter?”
Aku memang memiliki jejaring yang luas. Mudah untukku mencari koneksi terkait produk kecantikan. Apapun bisa kulakukan untukmu.
Kamu menggeleng. “Santai saja, Satan. Kekurangannya hanya karena tidak cocok dengan kulitku kok. Mau coba?”
Matamu berbinar jenaka sebelum menggamit tanganku. Amarahmu sirna. Kamu siap memulaskan produk tersebut di wajahku. Ini memalukan, tetapi aku menikmati kala memandangmu dari dekat.
Pertalian amarah mendekatkan kita. Menambah warna di kisah kita. Memudahkan kita untuk saling mengerti dan menjaga.
.... Demikianlah yang kukira.
Maaf, Aertha, aku lupa betapa rapuhnya manusia. Seharusnya pact kita tidak pernah ada.
Aku adalah Avatar of Wrath. Berbagi tali kemarahan cepat atau lambat hanya akan menyakiti partnerku. Kemarahanku bahkan sulit ditanggung oleh sesama demon. Andai aku menyadari ini sebelum terlambat.
Tiba hari di mana aku terpicu untuk murka. Jelas tidak bisa dibandingkan dengan amarah remeh sehari-hari. Kamu terluka internal karena merasakan emosiku. Ketika aku mendengar teriakanmu, semua telah terlambat. Badanmu mengejang kesakitan lalu tidak sadarkan diri.
Kepanikan membuatku melupakan kemurkaan, tetapi kamu masih tergeletak. Kugendong dirimu dengan tangan gemetar. Saudara-saudaraku, Solomon, sampai Lord Diavolo datang membantu. Healer profesional bahkan kami panggil ke House of Lamentation.
“Manusia ini mengalami syok dan rasa sakit di luar akal sehat. Tubuhnya tidak mampu menampung hal tersebut.”
Pikiranku buram. Lucifer yang menerima obat-obatan dan menyimak instruksi beliau. Beberapa saudara lain melirikku masam bercampur kalut, tetapi tidak ada yang menyalahkan. Barangkali mereka menganggap ini sebatas kecelakaan atau raut mukaku terlalu kacau hingga memantik iba.
Semua salahku, Aertha. Maaf, aku gegabah. Maaf, aku kurang berpikir panjang. Maaf, aku terlena dengan riak manis amarah di sekitar kita berdua. Maaf. Maafkan aku.
Tidak sehari pun aku alpa menunggu di sisi tempat tidurmu. Ingin senantiasa menjaga sekaligus tidak mau lagi menyakitimu. Satu ..., dua ..., tiga ..., pada hari keempat, kamu akhirnya membuka mata.
“Satan?” panggilmu dalam suara serak.
“Aertha! Ada apa? Apa kamu membutuhkan sesuatu?” sahutku haru. Kupegang kedua tanganmu.
Kamu diam selama beberapa saat, seolah sedang mencerna apa yang terjadi. Lantas, kamu tersenyum lemah. “Aku lapar.”
Secepat kilat aku pergi ke dapur. Tak luput aku membagikan kabar bahagia di grup. Kala aku sampai ke kamarmu, di sana sudah ramai orang. Matamu kemudian menangkap sosokku.
“Kamu sudah kembali, Satan,” ujarmu.
Aku ... tiba-tiba ingin menjauh. Aku merasa tidak pantas menerima sambutan hangat itu. Dikarenakan aku masih membatu, Beelzebub menawarkan diri untuk mengantarkan makananmu. Tahu-tahu, aku kembali ke kamar dan mengutuk diri sendiri.
Sejak kamu siuman, aku malah menghindar. Kondisimu berangsur membaik, tetapi aku tidak bisa mengenyahkan ingatan saat kamu kolaps. Rasa bersalah karena telah melukaimu bercampur dengan kecemasan, takut tidak sengaja menyakiti lagi.
“Satan, ayo kita menonton kodok! Ada yang mengunggah foto di devilgram,” ajakmu seraya menunjukkan unggahan DDD.
Kamu tetap memperlakukanku dengan baik. Aku hampir marah lagi dibuatnya. Aku nyaris marah karena kamu tidak marah padaku. Buru-buru kutekan kemarahan tersebut ketika melihatmu menahan nyeri.
Maafkan aku, Aertha. Aku hampir kelepasan. Aku mundur perlahan. Suaraku nyaris tidak bisa kukenali. “Maaf, Aertha. Tidak hari ini.”
Terlepas dari gelar serta kemampuan, sesungguhnya aku hanyalah sosok yang lemah. Pelukanmu adalah tempatku rebah. Kamu mengajakku mengobrol tentang berbagai hal—setelah beberapa hari minim interaksi. Sesekali, kamu mengelus kepalaku.
Pelukan lembutmu membuatku terbuai ... hingga lupa kekelaman di namaku. Tak terasa lagi bara yang membakar esensi jiwa. Mereka terjinakkan menjadi pijar-pijar kehangatan selama berada dalam rengkuhanmu.
Di pelukanmu, aku aman. Aku tenang. Deretan abc kepura-puraan tidak diperlukan. Topeng apapun sedang tidak relevan.
Kala aku menengok ke atas, kamu sudah terlelap. Senyummu seolah menyimpan matahari. Aku memejamkan mata, tetapi masih terjaga. Kueratkan pelukan ini. Dengkuran halusmu lantas beriringan dengan isakanku. Aertha, izinkan aku merapuh untuk yang terakhir kali.
Esok paginya, kuturuti semua keinginanmu. Membuatkan makanan kesukaanmu. Pergi ke tempat yang kau mau. Melakukan apapun kehendakmu. Aku mengumpulkan sebanyak mungkin kenangan di waktu yang tersisa. Kemudian, ketika pulang, aku mengakhiri kita.
“Aertha, maaf ... kita harus putus.”
“Ada apa?” Suaramu terdengar penuh ketidakpercayaan. Kamu berharap cuma salah dengar.
“Kita harus putus, Aertha. Aku sangat berbahaya untukmu. Kita harus menjaga jarak sebelum aku melukaimu lagi,” jelasku.
Pada setiap kata, lidahku seolah ditikam sembilu. Tolong terimalah sebelum aku goyah. Semua demi kebaikanmu.
“Aku tidak mau putus,” jawabmu sebelum menyanggah, “Satan, masalahnya bukan di hubungan kita, tetapi efek samping pact. Kita bisa mencari solusinya bersama.”
Kamu tidak salah, tetapi terlalu berbaik sangka. Putus akan merentangkan jarak antara kita, yang membuatku sadar diri untuk menjaga kestabilan emosi. Putus akan membuatku lebih banyak mengenangmu daripada marah. Jika kita tetap bersama, bagaimana kalau aku melukaimu lagi sebelum kita menemukan solusi?
“Tidak, Aertha. Putus adalah jalan terbaik,” bantahku keras kepala.
Setiap argumenmu kukembalikan dengan rasionalisasi serupa. Kamu menuduh pemikiranku sempit, tidak apa-apa. Daripada aku terlalu berharap dan kehilangan lebih banyak, kan?
“Pikirkan dirimu sendiri! Kamu pikir Avatar of Wrath bisa menahan kemarahan selamanya? Kita bisa mencari solusi yang kaubilang, tetapi lebih aman jika kita tetap berjauhan,” tukasku, membuatmu tersentak.
Mulutmu sedikit terbuka lalu mengatup kembali. Kamu kehabisan kata-kata. Aku yang memenangkan perdebatan kita. Hubungan kita usai sudah.
“Barangkali kamu butuh waktu sendiri dulu, Satan. Kita bisa membicarakannya lagi saat kamu lebih tenang,” ucapmu seraya memaksakan seulas senyuman.
Aku tidak menjawab. Tanpa mengatakan apapun, kulanjutkan mengantarmu ke kamar. Kamu menutup pintu dengan jemari gemetar. Aku masih di balik pintu, mendengarmu menjatuhkan diri ke kasur, terisak, dan menahan pekikan emosi yang meluap.
Dapat kurasakan kemarahanmu. Kamu marah terhadap keadaan. Kamu tidak ingin kita berakhir.
Percuma, Aertha, aku tidak mungkin berubah pikiran. Nyawamu yang ada di ujung tanduk. Kalau harus memilih antara “bersamamu” dan “menyelamatkanmu”, akan kutekan semua ego dan menjalani pilihan kedua.
Langkahku terasa berat saat berbalik. Lebih lama di sini hanya akan membuatku goyah. Aku harus pergi sebelum mengetuk pintu lalu memelukmu. Terima kasih atas segalanya, Aertha—dan, maafkan aku.
Kamu pulang ke dunia manusia di akhir tahun ajaran berikutnya. Hasil risetku menunjukkan bahwa efek samping pact tidak akan terasa saat kedua pihak berjauhan. Saat kita berada di dunia berbeda, kamu tidak akan merasakan amarahku. Akan tetapi, sebagai Avatar of Wrath aku masih bisa mendeteksi amarah darimu—walau tidak seakurat saat lokasi kita dekat.
“Aertha, jika kamu memanggil, aku akan langsung datang padamu,” kataku saat kamu mengucapkan selamat tinggal.
“Terima kasih, Satan,” jawabmu, berupaya menutupi kecanggungan.
Kita kembali ke hidup masing-masing. Kamu pulang ke dunia manusia dan aku tetap di Devildom. Setiap amarahmu adalah pelipur lara. Aku selalu memejamkan mata, membiarkan jantungku berdenyut bersamanya. Sesaat, kamu terasa dekat.
Bulan berganti bulan, kemudian tahun bergulir. Manusia ternyata begitu rapuh. Perasaan mereka mudah berubah. Kamu yang dulu berkeras tidak ingin putus malah lebih cepat mendapat pengganti. Bahkan, kamu mengirimkan undangan pernikahan kepada kami.
Mammon dan Belphegor menatapku simpati. Leviathan menepuk pundakku. Beelzebub memelukku. Asmodeus berkata manis untuk menghibur percintaanku yang kandas. Lucifer menghela napas sebelum berkata aku tidak perlu datang jika ingin. Aku menggeleng, mengisyaratkan kesiapan datang ke pernikahanmu.
Kita bertemu lagi hanya untukku merelakanmu. Kamu adalah pengantin tercantik di seluruh dunia. Kamu terlihat bahagia saat bersanding dengannya. Tidak apa-apa, Aertha. Jika keberadaanku hanyalah luka, maka lupakanlah.
Aku tersenyum. “Selamat atas pernikahanmu.”
Kepulanganmu ke dunia manusia membuat komunikasi kita merenggang. Di tahun-tahun pertama, kamu cukup sering menghubungi kami. Kemudian kamu jarang mengirim pesan sejak menikah. Kamu beralasan akan sulit menjaga kerahasiaan Devildom jika kita tetap berteman dekat. Setelah itu, DDD-mu tidak bisa dihubungi.
Solomon sempat datang berkunjung ke sana. Dia bercerita bahwa kamu ingin menjadikan Devildom sebagai masa lalu dan sepenuhnya memulai hidup baru. Kamu merintis kafe yang cukup digemari. Solomon pun mengirimkan foto anakmu yang masih bayi. Cantik.
Aertha, maaf aku tiba-tiba membayangkan bagaimana jika kita menikah. Aku pasti kaujadikan barista utama di sana. Pasti anak kita akan secantik itu—bukan, pasti yang tercantik di tiga dunia. Kamu mewariskan tatapan yang membuatku tidak bisa mengatakan “tidak”. Kalian akan kompak mengerjaiku, yang menuruti dengan senang hati. Kita bertiga tertawa lalu tidur berpelukan.
“Satan, apa kamu ingin menitip pesan pada Aertha? Kurasa dia tidak akan marah jika aku mampir sekali lagi,” tawar Solomon.
Aku menggeleng. “Aertha sudah bilang jika dia ingin memulai hidup baru. Kita harus menghormati keputusannya.”
Bagimu, mungkin aku tidak lebih dari kenangan. Bagiku, kamu adalah sosok yang takkan tergantikan. Meski hanya bisa memeluk amarahmu, kamu masih menjadi bagian dari diriku.
Sekurang-kurangnya, kamu akan marah seminggu sekali. Namun, sekarang sudah tiga bulan. Kenapa kamu tidak pernah marah? Apakah hidupmu sedang di titik paling bahagia?
Aku merindukan amarahmu. Aku ingin merasakan sedikit jejakmu, walau sebatas alasan marah. Ini terdengar tidak wajar, tetapi kuharap kamu lekas marah. Apa saja boleh. Stok kopi langgananmu habis atau salah beli kosmetik kadaluwarsa. Hal-hal sekecil itu mampu mengobati sekelumit rindu.
Sensasi panas yang asing membakar badanku dalam sepersekian detik. Tanganku kini berkeringat. Aku tidak tahu apa yang terjadi barusan. Kejadian tersebut amat singkat, seolah antara ada dan tiada.
Suara pintu kamar yang dibuka dengan tak sabar membuatku menoleh. Asmodeus masih memakai jubah mandi. Tunggu, kenapa dia menangis?
“Satan, pact dengan Aertha menghilang,” serunya panik, “Aku sedang mandi lalu tiba-tiba panas. Ketika kucek, pact dengan Aertha menghilang.”
“Hah?”
Aku bergegas mengecek pact. Tidak ada. “Pact denganku juga hilang, Asmo.”
Asmodeus mengambil DDD-ku untuk menghubungi saudara-saudara yang lain. Mereka lekas berkumpul di kamarku. Pact kami semua menghilang. Prosedur menghilangkan pact sangat sulit, kecuali ...
Suatu pemahaman membuat duniaku runtuh. Kumohon. Jangan 'itu'. Semoga saja ini hanya fenomena singkat seperti glitch di game. Atau kamu memutus pact melalui jasa penyihir hebat. Atau ritual agama otomatis menghapus pact Aertha dengan para demon. Apapun boleh asal jangan 'itu'.
Mammon menenangkan kami walau kondisinya sendiri kacau. Lucifer menelepon Diavolo. Asmodeus menelepon Solomon untuk menanyakan alamatmu.
Kami tidak tenang. Kami harus melihatmu dengan mata kepala sendiri.
Aku adalah Avatar of Wrath. Yang termarah. Wujud kemarahan itu sendiri. Akan tetapi, lihatlah ... kini sang Avatar kehilangan amarah kecil yang bukan miliknya.
Bersama para pelayat dari dunia manusia dan Devildom, aku masih mematung di depan pusaramu. Mengutuk roda waktu dan takdir. Mengenangmu dalam kilasan rol film di kepala. Kenapa harus secepat ini?
Lantas DDD-ku bergetar nyaring, mengusik lamunan. Thirteen. Aku lekas menjauhi areal pemakaman karena pasti ini telepon penting.
“Maaf, aku harus menjemput Aertha.” Suara Grimm Reaper itu terdengar parau, seperti habis menangis.
Ternyata luka dalammu tidak sepenuhnya pulih, dan kian memburuk saat kamu jauh dari Devildom. Ketika kutanya apa yang akan terjadi pada jiwamu, Thirteen menggumam ambigu. Kusimpulkan belum ada kabar baik untuk beberapa waktu ke depan.
“Satan, Aertha menitip pesan,” lanjut Thirteen.
Sebelum aku sempat membalas, terdengar suaramu yang telah lama kurindukan. “Aku tidak membencimu, Satan. Tidak pernah,” ucapmu terburu-buru.
Dua kalimat. Enam kata. Kurang dari lima detik. Kamu seperti mencuri waktu hanya untuk mengatakan itu, kemudian sambungan telepon langsung terputus. Thirteen pasti sudah menyelesaikan tugasnya. Kamu telah beristirahat entah di mana. Tinggallah aku yang masih menangis memegang DDD sembari melihat pusaramu dari jauh.
“Aertha, Aertha.”
Aku meratap pilu. Kubiarkan air mata mengalir deras. Aku memberimu luka. Aku turut menjadi penyebab kematianmu. Aku sangat menyesalinya.
Meski begitu, kamu tidak membenciku. Kamu tidak pernah membenciku. Di saat terakhir pun, kamu mengerahkan segalanya untuk menyampaikan padaku. Kamu tidak mau aku menyalahkan diri sendiri. Kamu tidak ingin membuatku merasa dibenci.
Aku mendongak menatap langit biru. Entah, aku hanya berharap bisa melihatmu di sana. Tentunya aku tidak bisa melihatmu. Aku hanya bisa membayangkan wajahmu.
Tidak apa-apa. Itu cukup. Kuseka air mata sebelum kembali ke peristirahatan terakhirmu.
Satu persatu pelayat pulang. Leviathan menuntunku menjauh bersama yang lain supaya kami tidak mencurigakan di mata para manusia. Kamu ingin menjalani hidup tanpa kami lagi. Setidaknya, kami bisa mengabulkan harapanmu. Solomon merapal mantra agar kami tidak terlihat.
Suamimu—yang menggendong anak beranjak paling akhir. Setelah itu, kami kembali ke pusaramu, mengucapkan perpisahan. Lord Diavolo mengizinkanku pulang terlambat ke Devildom. Mereka memberiku waktu sendiri di sini.
Aku bercerita panjang lebar sembari mengusap batu nisanmu. Akan tetapi, ada menit-menit di mana aku cuma membisu.
“Kita pernah saling jatuh cinta. Dan kemarahan pernah menghubungkan kita berdua,” bisikku.
Kebersamaan singkat kita akan kusimpan selamanya. Setiap detik bersamamu merupakan saat terindah di hidupku. Walau perasaanmu sudah berubah. Meski jiwamu telah terpisah dari raga. Aku masih sama, menganggapmu sebagai anugerah dari semesta.
Kudoakan perjalananmu menyenangkan. Semoga peristirahatanmu tenang.
Buatlah taman bunga matahari. Bermainlah ke kolam penuh kodok. Tertawalah. Bersinarlah di manapun kamu berada. Aku akan terus mengingat dan menunggumu walau harus ribuan tahun lamanya.
Tidak ada lagi pact di tubuh, tetapi kamu selalu memiliki seluruhku. Selalu.
“Aku mencintaimu, Aertha.”