liliyongg

pukul 23.30 malam ini, baru ku rebahkan diriku setelah menghabiskan malam bersama temanku. hanya sedikit mengobrol tapi membuat suasana hatiku menjadi cukup baik. padahal beberapa hari terakhir aku sedang di masa sensitifku.

aku tak langsung terlelap, masih bermain gawai untuk melihat lihat video di sebuah aplikasi. sejauh ini laman aplikasi itu tidak menunjukkan sesuatu yang aneh. hingga akhirnya sebuah akun muncul. meski aku tidak saling mengikuti aknnya, tapi aku tau persis siapa orang di balik akun ini.

awalnya aku memang tidak tertarik dengan video tersebut, maka ku lewati setelah menontonnya di tiga detik pertama. namun, entah apa yang merasuki diriku saat itu. setelah melewatinya, aku tiba tiba berpikir untuk menonton video tersebut hingga akhir. “jarang jarang akunnya lewat timeline,” begitu pikirku.

kembali ku arahkan jemariku untuk menampilkan video tersebut. bukan video yang aneh memang, hanya sekumpulan orang yang sedang melaksanakan syuting untuk sebuah film pendek.

lambat laun ku amati video tersebut. terlihat ada gadis yang sedang menari dengan latar belakang pantai selatan jawa, serta seorang lelaki yang mengiringi tarian si gadis dengan kendhang yang ia mainkan.

ah, tentu saja aku mengenal sang tuan.

lelaki itu, aku mengenalnya. entahlah, aku juga tidak tau bagaimana harus mendeskripsikannya. teman? —memang kita berteman, sih, gebetan? —ah, tidak juga. toh, hubungan kami tidak sejauh itu. astaga, baiklah kita sebut saja dia temanku.

hubunganku dengan temanku ini memang bisa dibilang sesuatu yang cukup istimewa. sebab seringkali dia mengantar dan menjemputku selama ini. orang tuaku bahkan sudah mengenalnya cukup baik. namun, dibalik keistimewaan itu semua, tidak ada status yang pasti antara kami. aku dan dia pun tidak pernah memikirkan tentang “kita ini apa, sih?”. hal tersebut ternyata malah menjadi bumerang bagi kami, karena banyak orang salah mengartikan kedekatan kami.

kembali ke video yang ku tonton, aku merasa tak heran, sebab temanku ini memang pandai bermain segala macam alat musik. selanjutnya, detik demi detik berlalu. aku dikejutkan dengan apa yang ku lihat di pertengahan video. temanku dan si gadis penari itu, mereka tampak serasi berdua memandangi lautan di tepi pantai. berdiri berdekatan dan bersebelahan, sang videografer mengambil gambar mereka yang sedang membelakangi kamera.

tak ku sangka. jemariku menekan sekali pada layar gawaiku, menjeda video yang ku tonton, tepat pada saat mereka sedang berdiri serasi memandangi lautan.

bingung. itu yang ku rasakan. merasa sakit hati, namun siapakah aku? memangnya pantas kalau aku merasa sakit hati?

di saat yang bersamaan, sebuah telepon masuk ke gawaiku. panggilan dari jaya, si temanku itu.

—tbc.

ingin rasanya aku kembali di saat masih kanak kanak. tidak banyak yang ku alami dan tidak banyak yang perlu ku pikirkan. hanya makan, tidur, dan bermain.

kala itu, luka yang ku dapat hanyalah luka di lutut akibat terjatuh saat bermain sepeda. namun kini banyak sekali hal yang membuatku terluka. mengukir bamyak goresan yang tak nampak.

jika menjadi dewasa adalah sebuah pilihan, tuntu saja aku tak akan memilih untuk menjadi dewasa. sayangnya, menjadi dewasa adalah sebuah keharusan. sebuah fase yang pasti akan dilewati semua orang.

di balik dewasanya manusia, tentu banyak sekali jalan yang mereka lalui. dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan bukanlah hal yang mudah.

teruntuk semua orang dewasa di bumi ini, kalian hebat. teruslah bertahan, meskipun itu hanya untuk dirimu sendiri.

malam ini, kembali ku termenung. banyak yang ingin ku utarakan, ku bicarakan, dan ku tanyakan pada dunia ini. tentang bumi dan segala isinya, tentang ruang angkasa dan kesunyiannya, serta tentang manusia dan segala misterinya.

dalam mata pelajaran ips, kita mempelajari bahwa manusia merupakan makhluk sosial. makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam hidupnya. aku tidak akan mengelak, karena itu memang benar. meski begitu, pada akhirnya ita hanya memiliki kita.

menurutku, hal itu sejalan dengan pernyataan bahwa setiap orang memiliki masanya dan setiap masa ada orangnya. bisa saja sahabat kita yang hari ini masih bergurau bersama, esok harinya akan jauh dari kita. bisa saja ibu kita yang setiap pagi memasakkan sarapan untuk kita, esok hari akan jauh dari kita. karena, tidak ada yang tidak mungkin di dunia.

tuhan adalah maha segalanya. sang maha membolak balikkan hati dan perasaan manusia. tuhan bisa mengubah hati manusia sebagaimana mudahnya manusia membalikkan tangan mereka.

maka dari itu, sebelum semua ini terlambat, maafkan aku untuk segala hal yang pernah ku perbuat. terima kasih karena telah menjadi bagian dari hidupku. dan terakhir, tolong terima ucapan maaf dan terima kasihku.

Hanya Mahesa,

dan selalu Mahesa.

Lantas, bagaimana jika Mahesa-nya sudah bukan miliknya lagi?

Jakarta, 4 April 2026.

Lavanya’s pov.

Jakarta dan hiruk pikuknya tidak pernah berubah dari dulu, ya?

Ah, iya. Aku sudah berhasil meraih gelar Master of Management dalam waktu 2 tahun di University of Melbourne dan menghabiskan sekitar 3 bulan untuk membereskan segala urusanku di sana, akhirnya aku kembali lagi ke kota ini.

Selain karena studiku sudah selesai, aku pulang ke Indonesia juga karena akan menghadiri pernikahan Mas Jojo dan Mba Jelita. Sedikit informasi bahwa mereka sudah berpacaran saat aku duduk di bangku semester 3 saat masih kuliah di Indonesia. Mas Jojo adalah salah satu sahabat Mahesa, dan Mba Jelita adalah tetanggaku dan kami cukup dekat, mereka sebenarnya teman satu fakultas, tetapi saat itu Mas Jojo meminta tolong Mahes untuk membantu dirinya mendekati Mba Jelita. Singkat cerita saat aku dan Mahes masih berpacaran, kami membantu Mas Jojo dan Mba Jelita untuk pdkt hingga pacaran, dan pada akhirnya mereka akan menikah dalam waktu dekat. Mengetahui mereka akan menikah sebenarnya aku agak bingung harus bereaksi seperti apa. Senang? Tentu saja! Mereka sudah berpacaran hampir, atau bahkan sudah melewati 10 tahun. Namun, tidak memungkiri aku juga tersenyum getir saat mendengarnya. Entahlah, aku merasa lucu, sebab aku dan Mahes yang mendekatkan mereka hingga mereka akan menikah, tetapi hubunganku dengan Mahes malah berakhir dengan tragis.

Tapi, sudahlah… Jika membahas mengenai Mahes tidak akan selesai. Jika perhitunganku tidak salah, kini Mahes sudah memiliki anak yang berusia sekitar 2,5 tahun. Dia pasti sangat menyayangi anaknya, mengingat dia juga menyukai anak kecil.

Sekarang aku sedang berada di salah satu restoran Jepang di Jakarta. Sendiri, hanya memesan paket bento sebelum melanjutkan kegiatanku siang ini.

Ah, iya. Sebelum aku pergi ke Australia 3 tahun silam, aku sempat membuka toko bunga dengan Mba Jelita. Aku selama ini hanya membantu di bagian keuangannya dan Mba Jelita yang mengendalikan usaha itu. Setelah menyelesaikan makanan ini aku berniat untuk mengunjungi toko bunga tersebut. Sekalian menemui Mba Jelita, tentunya.

“Va, kalau semisal di masa depan kita udah menikah, kamu punya impian yang pengin kamu wujudin bareng aku ngga?”

“Punya lah. Since I love Switzerland soooo much, aku pengin di masa depan nanti, setelah menikah kita pergi jalan-jalan sama ke sana! Abis itu kita hiking sambil cari edelweiss, karena edelweiss itu kan simbol kesetiaan ya, Sa. Aku mau jadiin hal itu tanda kalau kita setia satu sama lain, kita bakal bareng terus, until death separate us, ya? Too much too realize ngga sih, Sa? Hahaha… Tapi serius deh, it was one of my biggest dreams.”

Soon ya, sayang. Aku bakal usahain impian kamu itu bakal terwujud sama aku. I love you, sayangku. Tunggu aku sebentar lagi sampai rumah yang aku bangun selesai, ya? Setelah rumah itu jadi, secepatnya we’ll get married and make your dream comes true.

Will do, Sa. Love you more.

Suara lonceng pintu berbunyi. Menandakan bahwa seseorang baru saja masuk ke toko bunga yang terletak di sudut selatan kota Jakarta. Penjaga kasir dengan ramah menyapanya dan menawarkan bantuan, sejenak dia terdiam dan menyadari bahwa yang hadir adalah Lavanya maka ia segera mempersilahkan Lavanya untuk naik ke lantai 2, dimana Jelita sedang berkutat di meja dekat jendela dengan laptopnya dan segelas caramel latte.

“Mba?” sapa Lavanya singkat.

Jelita yang awalnya sedang disibukkan dengan laptop di depannya segera berdiri dan menghampirinya. Meski lebih dari 3 tahun mereka tidak saling bertemu, Jelita masih mengingat jelas suara itu, suara gadis manis yang sangat lembut yang nyaring dan lucu. Tanpa berlama-lama Jelita langsung memeluknya erat, menumpahkan semua kerinduan yang ia pendam kepada sahabatnya. Mereka berbagi kerinduan dalam pelukan yang sunyi itu. Tidak ada yang membuka suara hingga akhirnya Jelita melepaskan pelukannya dan tangannya beralih menangkup wajah Lavanya.

Tawa kebahagian muncul dari bibir keduanya.

“Mba ngga bakal nyangka kalau Melbourne bakal ngubah kamu segini banyaknya, Va?”

Kekehan keduanya kembali mengisi ruangan tersebut.

Look at your short ash brown hair, Lavanya. Oh my God, you look prettier and much grow than three years ago? How was Aussie? How was your college? Is it fun? No way, Mba masih ngga percaya ini kamu, Va? Kok kamu ngga bilang mau balik? Ya Tuhan, sejak kapan kamu di Jakarta coba?”

Slow down, Mbaaa. Aku udah dari dua hari lalu pulang ke Indonesia, ke Bekasi dulu tapi, nemuin Mama sama Papa. Terus, ya karena masih cape jadi aku istirahat dulu di sana. Baru pagi tadi aku ke rumah yang Jakarta.”

“Ya Tuhan…. Kamu nyetir sendiri atau sama supir?”

“Sendiri, Mba. Soalnya Pak Wahyu juga bawa barang-barang aku pake mobil lain. Jadi tuh rumah yang di Jakarta bakal ditempatin aku, Mba. Mama sama Papa bakalan stay di Bekasi.”

I see. Syukur deh, akhirnya aku bisa nyuruh kamu buat bantuin aku di sini.”

Mereka kembali tergelak. Percakapan mereka selanjutnya mengalir begitu saja, mengenai Lavanya selama berada di Australia, persiapan pernikahan Jojo dan Jelita, progress dari toko bunga mereka, hingga pemilik cafe sebelah yang suka modus dengan salah satu pegawai florist mereka. Banyak hal yang baru mereka bagi satu sama lain setelah terpaut jarak yang cukup jauh selama 3 tahun.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, waktu Jakarta. Toko bunga pada saat akhir pekan memang tutup lebih awal, supaya para pegawainya bisa beristirahat lebih lama. Jelita sedang mengemasi barang-barang bawaannya saat Jojo naik ke tempat dimana ia dan Lavanya berada. Jojo memang selalu naik ke lantai 2 saat menjemput Jelita, malas menunggu di bawah, katanya. Keberadaan Lavanya di tempat itu cukup mengejutkan Jojo. Keduanya bersitatap dan berhambur saling memeluk satu sama lain. Lavanya dan Jojo terlihat seperti kakak-beradik yang terpisahkan dan akhirnya bertemu kembali. Jelita mengukir senyum penuh haru, bagaimana ia dan kekasihnya menyayangi Lavanya bak adik mereka sendiri, mengkhawatirkan Lavanya yang berjarak dengan mereka selama 3 tahun ini sudah terbayarkan.

“Hei, pulang kapan? My God, Lavanya, Melbourne change you so much. Mas sempet ragu ini kamu atau bukan. Apa kabar?” beberapa pertanyaan dilontarkan Jojo tanpa melepas pelukan mereka. Belum sempat Lavanya menjawab pertanyaannya, Jojo kembali mengeluarkan pertanyaan, tetapi untuk Jelita.

Babe, ini Vanya, kan?”

Jelita dan Lavanya yang mendengar pertanyaain itu kembalik terbahak. Jelita, yang enta sejak kapan berdiri di samping Lavanya, mengelus surai Lavanya dengan hangat sambil tersenyum. Lavanya yang masih sedikit tertawa melepaskan pelukannya dengan Jojo.

“Ini Vanya, Maaasss. Mas tuh ada-ada aja deh, mana ada orang yang lebih cantik dari aku?”

Dengusan nafas malas keluar dari Jojo dan Jelita, yang membuat Lavanya tertawa.

Happy to see you again, Va. Hope you always happy after comeback here, ya?”

Lavanya hanya membalas pertanyaan Jojo dengan senyuman.

“Ya udah, yuk turun. Gimana kalau kita makan bareng bertiga? Bills on Jojo! Ayo, Va!”

“Duh, next time aja ya Mas, Mba. Aku masih harus beberes rumah.”

“Kenapa ngga besok aja?”

“Besok juga, cuman ini tuh aku juga belum beresin kamar aku. Mau tidur cepet aku nanti malem, hawa capenya masih kerasa.”

“Oke deh, rest well ya, Va! Besok kalau butuh bantuan call us aja.”

“Siap. Duluan ya Mas, Mba. Bye!

Bye!

“Hati-hati nyetirnya.”

Mereka masuk ke mobil masing-masing, Lavanya juga sempat memberi kalkson kepada Jojo dan Jelita sebelum ia melesat masuk ke dalam kemacetan di Jakarta. Lantunan lagu Niki yang berjudul La La Lost You menemani Lavanya yang terjebak dalam kemacetan yang berlatarkan matahari mulai terbenam di sudut selatan kota Jakarta.

Di sebelah kursi pengemudi Lavanya menurunkan jendela mobil. Segera ia ambil gawainya dan memotret ke arah matahari terbenam.

Saat itu hari Sabtu, pukul 5 sore. Jam-jam orang pulang setelah seharian bekerja, dan jam-jam pasangan kekasih baru saja pergi untuk bermalam minggu dengan pasangan mereka, salah satunya adalah dirinya dan Mahesa.

“Mahes, coba deh sini lihat sunset, jangan lihat jalanan terus, bosen tau lihatin banyak mobil yang kena macet. Lampunya juga bikin pusing kalau dilihat terus, mending lihat sunset, cantik banget, Sa.”

“Kalau nanti ternyata di depan udah jalan pas aku lengah bakalan diklakson yang belakang dong, sayang.”

Bertolak belakang dengan perkataannya, kini Mahesa menoleh ke arah barat sambil menaruh dagunya di pundak sang kekasih.

Mahesa tetap diam sambil mengamati kekasihnya yang masih asyik memotret matahari terbenam. Sempat menoleh kembali ke depan, Mahesa kembali meletakkan dagunya pada pundak Lavanya sambil melingkarkan tangannya dipinggang kekasihnya saat dirasa mobil masih belum bergerak, setidaknya untuk 5 menit ke depan.

Lavanya segera menyudahi kegiatan memotretnya saat menyadari tangan Mahesa memeluknya dari belakang. Ia letakkan telepon genggamnya di atas pahanya kemudian ia menaruh tangannya di atas tangan sang kasih, sambil kepalanya juga tersandar di atas kepala Mahesa.

“Padahal kamu lebih cantik daripada mataharinya loh, Va.”

“Apaan sih, jelek banget gombalnya.”

Mahesa sempat terkekeh sebelum dirinya mengganti posisi, menaruh dagunya di pucuk kepala Lavanya sambil mengecupinya.

“Suka banget sama sunset, ya, sayang?”

Lavanya berdehem untuk menjawab pertanyaannya.

“Berarti besok rumah kita harus ada balkon, rooftop, sama backyard yang terbuka, ya? Biar kamu leluasa buat lihat sunset.”

Lavanya tertawa sebelum kemudian menjawab pertanyaan kekasihnya.

“Boleh, terus ini, Sa, bagian kitchen tuh dibikin pintu kaca boleh? Biar nanti dari dapur langsung ngarah ke backyard dan lebih terang juga kalau siang.”

Anything for my precious woman.

Mahesa sempat mengecup pucuk kepala Lavanya dengan dalam, menyalurkan perasaannya yang teramat sayang kepada sang kasih sebelum ia kembali memfokuskan diri membelah jalanan Jakarta yang mulai ramai lancar.

-cont,

Bingung.

Satu kata yang sangat menggambarkan isi pikiran Lavanya saat itu.

Kedatangan Mahesa, Kamila, beserta kedua orang tua mereka dan juga beberapa teman dekat mereka cukup mengejutkannya. Lavanya yang saat ini berada di rumahnya seorang diri sangat kebingungan akan kedatangan mereka semua.

“Eh, masuk dulu, silahkan,” kalimat yang pertama kali diucapkan olehnya saat melihat mereka semua di depan pintu rumahnya. Jangan lupakan dengan nada suara dan raut muka yang penuh kebingungan.

Setelah memastikan tamunya masuk dan duduk di rumahnya, Lavanya hendak mengambilkan beberapa makanan dan minuman untuk disuguhkan, namun pergerakannya terhenti oleh ucapan Shaka yang tegas.

“Ngga usah disuguhin, Va. Kita juga mau langsung ngomong aja. Kamu duduk sini.”

Mendengar ucapan Shaka yang agak memerintah, Lavanya segera duduk di single sofa ruang tamunya. Di sebelah kanannya terdapat Mahesa, Kamila, serta orang tua Mahesa. Di sebelah kirinya ada Bisma, Dhanes, Hani, dan orang tua Kamila. Di hadapannya kini, Shaka duduk di single sofa yang berjarak sebuah meja panjang dengan Lavanya.

Hening. Semua orang yang berada di sana seolah-olah enggan mengucap sepatah kata walaupun sebenarnya ada banyak kata yang ingin dikeluarkan.

“Papa sama Mama ngga di rumah, Va?” Dhanes mengawali percakapan di ruangan tersebut setelah hening yang berisik melanda mereka.

“Ngga, Nes. Papa kan lagi renovasi rumah yang di Bekasi, lagi cek progress, terus si Mama minta ikut sekalian,” jelas Lavanya secara singkat.

“Va, we’re here of course not without reason, apalagi kita di sini juga ada banyak orang. There’s something that Mahesa and Kamila will explain to you,” Shaka mengambil alih perhatian seluruh orang dengan suara baritonnya.

Setelah mendengar ucapan Shaka entah mengapa perasaan Lavanya mendadak tidak karuan. Tuhan, semoga ini bukan suatu hal besar atau suatu hal buruk, batin Lavanya kala itu.

“Va, I’m truly sorry for saying this.

Baru satu kalimat yang terucap oleh Mahesa membuat darah dalam tubuh Lavanya berdesir hebat dan jantungnya berdetak sangat cepat.

“Tapi, Va, aku berani sumpah kalo kejadian ini emang bener-bener ngga disengaja.”

Suatu hal buruk dan besar pasti sudah terjadi, batin Lavanya.

Let me explain first, Va.”

“Setelah aku anter kamu pulang dari birthday party Dhanes aku balik lagi ke rumah Dhanes. Masih banyak anak-anak di sana, and as the night get dark we’re decided to have some shots. Ada aku, Kamila, Dhanes, Bisma, Hani, Shaka, Jean, Sabrina, sama Rakha. Kita main beberapa game sambil kita minum di malem itu. Maybe we’re really into te situation saat itu, sampe akhirnya mayoritas dari kita udah tumbang. At that time aku ngga sengaja liat Kamila udah bener-bener lemes di sana. Akhirnya aku bawa dia ke kamar tamu di rumahnya Dhanes karena aku rasa dia udah ngga kuat lagi.”

God, please….. I hope what I think just a randomly thought…

“Waktu aku nganter Kamila keadaanku emang udah agak mabuk, tapi aku masih bisa berdiri, jadinya aku gendong dia ke kamar tamu. Begitu sampe di kamarnya, I don’t know how and I don’t know why ‘it’ could be happen, Va. For real, aku berani sumpah pas besok paginya aku sama Kamila juga sama-sama kaget.”

“Setelah kita tenangin diri, kita ngobrol sebentar dan mutusin buat nyembunyiin ini dari semuanya. Tapi salah, Va, ternyata Bisma, Hani sama Dhanes tau. Waktu itu aku sama Kamila disidang sama mereka, and we’re honest that was an accident. Setelah mereka denger penjelasan dari kita, Dhanes nyuruh kita juga buat jujur sama kamu, but we’re lying to him kalo kita udah jujur sama kamu. That’s why when Dhanes saw you at your birthday party dia langsung tanya ke kamu, you okay or not.”

It’s almost two months after that accident. Parahnya, karena itu bener-bener kecelakaan, aku ngga pake ‘pengaman’ dan aku keluarin di dalem.

“Kamila hamil anak aku, Va.”

God.

Pecah tangis Kamila, orang tuanya, serta orang tua Mahesa. Entahlah, Lavanya tiba-tiba seperti mati rasa. Terlalu banyak perasaan yang bercampur di hati dan pikirannya yang membuat Lavanya tidak tau harus berbuat apa.

Di tengah tangisannya, Kamila tiba-tiba bersuara.

“Va, aku berani sumpah kalo ini semua beneran ngga disengaja. Maafin aku, Va. Demi Tuhan aku juga kaget banget, Va.”

Berkali-kali Kamila mengucap kata maaf di tengah isak tangisnya pada Lavanya. Tetapi, selama itu Lavanya benar-benar membisu.

Hal ini terlalu mengejutkan bagi Lavanya. Sudah 5 tahun lebih dirinya menjalin hubungan dengan Mahesa, dan walaupun baru setahun ia berteman dengan Kamila, tapi hei, Lavanya dan Kamila juga sangat dekat seperti Lavanya dengan Hani. Lavanya tentu sangat syok, bingung, kecewa, marah, dan juga sedih di saat yang sama.

Di tengah kebisuan Lavanya, Ibunda Mahesa angkat bicara.

“Vanya, sayang… Bunda sama Papah juga minta maaf sebesar-besarnya sama kamu ya, Nak. Kita juga sama kayak kamu, kaget pas denger Mahes bilang ini ke Papah sama Bunda.”

“Sebelum kita semua ke sini buat nemuin kamu, kita udah ke keluarganya Kamila dulu, Nak. Kita diskusiin masalah ini bareng-bareng.”

“Lavanya, Bunda mohon maaf sekali lagi sama kamu ya, sayang. Kita udah memutuskan buat tetep menjaga anak yang dikandung Kamila.”

“Kita juga sepakat, bulan depan Mahes dan Kamila akan menikah.”

Sunyi kembali melanda ruangan itu. Semua orang berisik dengan pikirannya masing-masing, terutama Lavanya. Ia terlalu banyak membisu semenjak mendengar semua hal dari runtutan kejadian yang dijelaskan, hingga penyataan Bundanya Mahesa tentang pernikahan anaknya dan Kamila.

Lavanya tiba-tiba merasa sangat kosong. Impiannya untuk membangun rumah di dekat pantai bersama Mahesa langsung hilang bagaikan debu yang tertiup angin.

Kenyataan belum tercerna penuh oleh Lavanya, tetapi panggilan Shaka menyuruhnya untuk segera tersadar.

“Va, you have something to say, don’t you?

“Ah, iya. Maaf, tadi masih sedikit kaget.”

Mmm, I don’t know how to start, tapi kayaknya kamu dulu ya, Sa. Since you’ll get married, I think there’s no reasons to stay. So, makasih banyak ya, Sa. Thanks for everything you gave to me, those five years that really meant a lot to me. Maaf, kalo selama ini aku masih kurang buat kamu. Hope you and Kamila always happy and stay longlast after married ya.”

“Dan…”

Keheningan kembali melanda, Lavanya yang pikirannya osong bingung harus mengucapkan apalagi untuk menutupi perasaannya yang sangat hancur.

“Jujur aku bingung harus ngomong apalagi ya, hahaha. Pikiranku tiba-tiba kosong, jadi bingung mau ngomong apa. Tapi makasih ya buat kalian. Makasih karena kalian udah mutusin buat tetep jaga bayi itu. Semoga anak kalian sehat selalu ya.”

I think it’s enough from me. Kayaknya dari kalian juga udah tersampaikan semua ya?” pertanyaan Lavanya saat itu seolah mengirimkan sinyal kepada tamunya bahwa dirinya sudah tidak menginginkan mereka berada di rumahnya.

Shaka yang paham akan maksud Lavanya memutuskan untuk berpamitan serta segera beranjak dengan Mahesa dan yang lain. Biarlah Lavanya dicap sebagai tuan rumah yang tidak sopan karena mengusir tamunya, biarkan Lavanya egois untuk sekali saja.

Setelah memastikan tamu tak diundangnya sudah meninggalkan kawasan rumahnya, Lavanya bergegas kembali ke dalam dan mengunci pintu rumahnya.

Sunyi.

Baru memijakkan kakinya di langkah pertama, Lavanya merasa seolah-olah dirinya dipukul oleh kenyataan. Sejenak ia berdiri diam sambil menatap ruang tamu rumahnya. Kejadian beberapa menit yang lalu terputar terus menerus di kepala Lavanya bak kaset film yang rusak.

Hancur.

Tumpah semua seluruh perasaannya. Kini Lavanya terduduk bersandar di pintu rumahnya dengan menatap ruang tamu. Jangan lupakan tangisannya yang terdengar sangat lemah dan putus asa, sangat menggambarkan kondisi Lavanya saat ini.

Pukul 01.00 dini hari, kamar Lavanya masih memancarkan cahaya lampu, yang berarti sang pemilik kamar belum tidur. Pikiran Lavanya sangat berisik di kesunyian pagi itu.

Di tengah lantunan lagu Oceans & Engines ia kembali memutar ingatannya saat kedatangan dan juga penjelasan tak terduga oleh Mahesa dan Kamila siang itu, Lavanya benar-benar diam. Seolah-olah ia ingin meresapi rasa sakit dikhianati oleh orang yang sangat ia sayangi.

Bagi Lavanya, Mahesa adalah segalanya. Mahesa selalu ada di saat Lavanya membutuhkan pelukan dan usapan di kepalanya, saat Lavanya menginginkan kue pancong di tengah malam, saat Lavanya menangisi pemeran utama dari novel yang ia baca meninggal, dan masih banyak momen yang Lavanya lewati dengan bergantung kepada Mahesa.

Mengetahui kenyataan bahwa kekasihnya, ah tidak, maksudnya mantan kekasihnya akan menikahi sahabatnya tentu membuat Lavanya sangat hancur.

Kepada siapa ia akan meminta pelukan yang hangat dan usapan di kepalanya yang sangat menenangkan?

Kepada siapa ia akan mengadu bahwa ia sangat menginginkan kue pancong tiramisu setengah matang yang biasa ia beli di depan alun-alun kota?

Kepada siapa ia mengadu bahwa tokoh utama di novel yang dibaca meninggal oleh musuhnya?

Kepada siapa ia akan mengadu tentang tukang parkir pinggir jalan yang suka memindahkan motornya sembarangan hingga ia harus mencari selama beberapa waktu?

Kepada siapa lagi ia akan mengadu jika sudah tidak ada Mahesa?

Hanya Mahesa-nya lah yan sangat mengerti segala hal tentang Lavanya.

Hanya Mahesa yang selalu siap sedia untuk memberikan pelukan dan usapan yang menenangkan Lavanya.

Hanya Mahesa yang selalu berkenan untuk membelikan Lavanya kue pancong tiramisu saat dirinya butuh camilan untuk menemani membaca novel pukul 23.00 malam.

Hanya Mahesa yang paham bagaimana perasaannya saat tokoh utama di novel yang ia baca ternyata meninggal.

Hanya Mahesa yang sepenuh hati mendengarkan keluh kesahnya selama menjalani hari.

Hanya Mahesa,

dan selalu Mahesa.

Lantas, bagaimana jika Mahesa-nya sudah bukan miliknya lagi?

-cont,

Sudah 4 malam aku menangisi kamu. Entahlah, aku menangisi dirimu atau apa yang aku lakukan padamu. Atau aku menangisi respon yang kau berikan kepadaku, malam itu.

Tepat tanggal 1 Maret kemarin, tanpa disengaja aku mengungkapkan perasaanku kepadamu. Sebuah penyesalan yang menghantuiku belakangan ini.

Menyesal karena sudah berkata jujur.

Menyesal karena sudah bertindak tanpa berpikir panjang.

Menyesal karena sudah membuat diriku kehilangan sosokmu.

Menyesal karena sudah membuat kita menjadi asing kembali.

Perkenalan kita yang singkat ini bahkan sudah membuat kita cukup dekat, untuk status pertemanan. Kita yang sering bertukar kabar, bertukar cerita, hingga bertukar hadiah ulang tahun.

Awalnya aku menyukaimu karena kamu persis seperti sosok yang aku inginkan. Tetapi semakin kesini, semakin aku mengenal dirimu dan mengetahui sebuah rahasia, bahwa kamu telah kehilangan sosok ibu dalam hidupmu, membuatku merasa ingin menjadi tempat kau bersandar.

Aku ingin menjadi tempat dimana dirimu berbagi keluh kesah tentang bagaimana kamu menjalani hari, percakapan random apa yang terjadi antara kamu dengan teman-temanmu, kegiatan apa yang dijalani pada pertemuan rutin organisasimu, dan menjadi tempat kamu mengeluh malu karena uang yang kamu bawa untuk belanja di minimarket kurang.

Kalau boleh jujur, aku rindu. Sangat rindu.

Rindu dengan notifikasi darimu yang muncul di layar ponselku.

Rindu menunggu kamu membalas pesanku.

Rindu bercerita hal-hal random kepadamu.

Rindu dengan respon yang kau berikan kepadaku setelah aku memberikan spam chat saat dini hari kepadamu.

Rindu dengan ceritamu.

Rindu dengan pertanyaanmuu mengenai organisasi yang kita ikuti bersama.

Aku rindu segalanya tentangmu.

Dan sekarang aku hanya bisa menangis. Menangis karena menyesali perbuatanku, menangis karena merindukan dirimu, dan menangis karena melihat kita yang sudah kembali asing.

“Nya, lo lagi punya orang yang lo sukain ngga?” ucap laki-laki di sebelah Lavanya.

Lavanya yang awalnya sibuk dengan jajan yang sedang ia makan lansung menoleh ke samping kiri, menatap lawan bicaranya dan tersenyum sembari berkata, “Iya, gue punya. Kenapa emang?”

“WIHHHH SIAPA TUH??!!!!!”

“Pertanyaan gue belom dijawab, Pranaja Jayantaka.”

“Ya gapapa sih gue iseng tanya aja, siapa tau gue bisa bantuin lo deket sama dia. Lo juga belom jawab pertanyaan gue, siapa sih cowo yang ditaksir sama seorang Lavanya Auristela?”

“Kepo lo ah! Lagian lo juga kenal sama orangnya kok.”

“BUSET SIAPA DAH ORANGNYA?!!!!”

“Ya orang.”

“Nya, lo jangan bikin gue kepo dong elah!”

“Justru itu niat gue, Jaya. Bikin lo penasaran. HAHAHAHAHA!!!!!!”

“Kurang ajar lo! Ayolah, masa lo gamau spill siapa orangnya?”

“Big no. Mulut lo kayak ember bocor.”

“Kali ini kaga sumpah, Nya. Seriusan dah, duarius malah.”

“Engga ya tetep engga, Jaya!”

Ratusan kali Jaya mengeluarkan kata tanya ‘siapa’ kepada Lavanya tidak membuat dirinya luluh dan segera memberitahukan perihal siapa orang yang sedang menjaga hatinya itu. Hingga akhirnya….

“Dih, lo gue cepuin ke anak-anak kalo lo punya pacar nih?!”

“Kok lo ngefitnah sih?!”

“Ya makannya siapa?!”

“IH! Yaudah, inisialnya aja nih. ‘R’. Udah ga usah lo tanya-tanya lagi ‘R’ itu siapa!”

“WIDIH ‘R’ SIAPA DAH? HAHAHAHA!!!!”

“Lo diem deh, atau nih sampah plastik gue jejelin ke mulut lo?! Jadi orang kok rewel banget.”

“Galak banget dah yang suka sama mas ‘R’. HAHAHAHAHA!”

Gadis yang sedang berada di sebuah toko buku ini lantas tertawa kecil setelah menemukan buku yang membawa ingatannya kembali ke masa dimana ia masih duduk di bangku SMA. Karena sudah memilih buku yang akan ia beli, Lavanya segera membayarnya di kasir dan bergegas keluar dari toko buku itu.

Lavanya memutuskan untuk makan siang dulu di sebuah restoran yang masih berada di mall yang sama dengan toko buku yang baru saja ia kunjungi beberapa menit yang lalu. Tanpa menunggu waktu lama, makanan yang ia pesan sudah berada di hadapannya. Tidak lupa sebelum pelayan reestoran pergi, Lavanya pasti mengucapkan terimakasih terlebih dahulu baru dirinya akan menyantap makanan yang dipesan.

Tak perlu waktu lama untuk Lavanya mennghabiskan makanan tersebut. Setelah selesai dirinya langsung membersekan barang-barangnya dan beranjak dari restoran itu menuju ke basement mall. Entahlah, hari ini Lavanya ingin menyetir sendiri. Padahal dia biasanya mengunakan angkutan umum atau taksi online.

(½)

Aku melihat aku, dibening bola matamu.

Kau melihat kau, dibening bola mataku.

Hatiku diam pada gejolak rindu waktu itu.

Dan jejakmu, pernah ku lacak sampai batas yang terjauh.

Di dalam ruangan yang bertuliskan “Perpustakaan Garda Cendekia”, duduklah seorang siswi XI MIPA 2 bernama Anya di pojok timur dekat jendela ruangan itu. Jari lentiknya dengan telaten membalik lembar demi lembar buku yang ia baca. Mata indahnya dengan disiplin memeriksa kata tiap kata yang dibaca.

Jam pelajaran kedua di hari Selasa ini seharusnya diisi dengan mata pelajaran kimia, tetapi karena guru-guru di sekolahnya sedang mengadakan rapat akhirnya kelas dikosongkan. Karena bingung harus melakukan apa di kelas, Anya memilih untuk pergi ke perpustakaan dan membaca novel yang tersedia disana.

Suasana perpustakaan jam ini cukup sepi, karena siswa siswi biasanya lebih memilih untuk pergi ke kantin atau tidur di kelasnya untuk mengisi jamkos. Di dalam Perpustakaan Garda Cendekia, Anya membaca novel remaja karya Pidi Baiq ditemani dengan suasana sunyi, suara detik jarum jam, serta suara ketikan keyboard komputer oleh kakak penjaga perpustakaan.

Sudah 30 menit berada di ruangan perpustakaan sekolahnya, Anya merasa sangat bosan, mengantuk, dan lapar. Dirinya memutuskan untuk segera membereskan meja yang ia tempati dan bergegas menuju kantin untuk membeli roti sebagai pengganjal rasa laparnya.

Setelah mengisi jurnal perpustakaam, Anya segera melesat menuju kantin. Dan benar seperti dugaannya, suasana kantin pagi ini cukup ramai, sangat bertolak belakang dengan suasana di perpustakaan.

Kaki jenjangnya melangkah melewati kerumunan murid-murid lain menuju warung yang ia tuju sambil tak berhenti mengucap kata ‘permisi’. Sampai di warung milik Bu Ripto, Anya membeli dua bungkus roti isi coklat, susu coklat dingin, dan beng-beng. Saat berbalik untuk kembali ke kelasnya, Anya tertegun karena kerumunan disana semakin ramai.

“Duh mampus, pasti keluarnya susah,” gumam Anya.

Disisi lain, segerombol siswa kelas XI IPS 2 baru saja masuk ke kantin hendak berpesta ria karena hari ini merupakan hari ulang tahun Baskara.

“Gorengan Bu Ripto sabi kali Bas,” seru Haris.

“Buruan anjir Bas, keburu habis HAHAHAH,” tambah Juna mengompori Baskara.

“Rese banget najis,” pasrah Baskara yang langsung berjalan menuju warung Bu Ripto.

Setengah jalan lagi menuju warung milik Bu Ripto, Baskara dikagetkan dengan siswi yang terdorong oleh siswa lain. Dan secara refleks Baskara langsung menahan lengan siswi yang hampir terhuyung ke dekapannya.

Anya, gadis yang hampir saja jatuh ke pelukan Baskara jika ia tidak menahan tubuhnya. Kejadiannya sangat singkat dan jujur, Anya masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi padanya.

Setelah Anya berbalik dan melihat kerumunan semakin ramai, Anya maju beberapa langkah untuk melihat apakah ada celah kecil untuk dirinya berjalan kembali ke kelasnya. Namun, saat dirinya masih memperhatikan sekelilingnya tidak sengaja ada seorang siswa menabraknya dan membuat dirinya terhuyung ke depan. Beruntung Baskara dengan sigap menahan lengannya agar tidak jatuh ke pelukan Baskara.

15 detik keduanya mematung dan tidak ada diantara mereka yang berniat menyudahi posisi tersebut hingga Danar berteriak, “WOY BASKARA NGAPAIN MELUK CEWE DI KANTIN ANJIR.” Anya dan Baskara sama-sama tersentak, mereka berdua langsung membenarkan posisi mereka kikuk, tersadar bahwa mereka sekarang sudah menjadi tontonan siswa siswi yang berada disana.

Baskara menunduk mengamati Anya yang sedang membenahi seragamnya. Di belakang sana masih terdengar suara tawa dari teman-teman Baskara. Dirinya bersumpah, mereka akan habis saat ia kembali ke sana. Terlalu fokus memerhatikan gadis di hadapannya, Baskara hampir terlonjak saat Anya secara spontan mendongak balik menatapnya. Baskara sontak berdehem untuk memecah canggung diantara mereka.

“Sorry dan makasih udah nolongin gue,” ucap Anya mengawali pembicaraan mereka.

“Hm, lain kali hati-hati,”

“Okay, thanks again… mmm Baskara?”

“Sama-sama?”

“Anya. Eh gue duluan ke kelas ya?”

“Oke Anya, gue juga udah ditunggu temen-temen gue.”

“Bye, Bas. Thank you ya!”

Berakhirnya pembicaraan mereka membuat keduanya kembali melangkah dan menjauhi satu sama lain. Anya kembali ke kelas dan Baskara menuju ke warung untuk membeli titipan teman-temannya.

Kembalinya Baskara ke teman-temannya, dirinya langsung menjadi bahan ejekan bagi mereka. Ditambah dengan Juna yang menyadari bahwa telinga Baskara memerah, yang menandakan bahwa dirinya sedang salah tingkah. Baskara yang awalnya bersumpah mereka akan habis di tangannya, sekarang malah berbalik menjadi Baskara yang habis di tangan mereka.

Di sisi lain, Anya yang sedang melangkah menuju kelas sedang berusaha keras menahan senyumnya selama ia melangkah di koridor. Masih terasa jelas sentuhan Baskara di lengannya. Pipinya terasa hangat dan perutnya terasa geli jika ia mengingat itu kembali. Anya bersumpah, tatapan Baskara sangat tajam tetapi hangat di waktu yang sama. Jika waktu bisa diberhentikan meskipun hanya sekali seumur hidup, Anya pasti akan meminta waktu berhenti saat Baskara menatapnya.

seu.

Bingung.

Satu kata yang cukup mendeskripsikan perasaan seorang gadis cantik yang sedang merenung di kamar miliknya yang bernuansa monochrome. Yap, seorang gadis yang menghabiskan masa kecilnya di New Zealand bernama Jennie Kim.

Gadis yang sedang menjalin hubungan dengan salah satu primadona kampus berdarah Chicago ini merasa bahwa hubungannya dengan sang kekasih sudah tidak terlalu baik. Johnny yang sering 'kepergok' oleh Jennie sedang bersama gadis lain membuat ia menaruh rasa curiga pada kekasihnya. Selain itu sikap Johnny kepada dirinya pun cukup berubah. Biasanya saat bersama selalu menebar kemesraan, sekarang ada saja yang membuat mereka bertengkar.


“Kamu kemarin jalan lagi sama Jisa?” tanya Jennie memecah keheningan di mobil sang kekasih.

“Rame-rame kok sayang. Ada Yudha sama Tian juga,” jawab Johnny.

Gadis berambut coklat tua itu kembali bertanya, “Tapi di instastory Jisa kalian berdua doang?”

“Ah, abis kumpul-kumpul selesai Jisa minta ditemenin cari buku, terus pulangnya dia traktir aku makan buat berterimakasih. Udahlah Jen kamu mau kita berantem lagi?”

“Bukan gitu maksudku, tapi kamu hampir setiap hari jalan keluar sama dia akhir-akhir ini.”

“Ya emang kenapa kalo aku jalan sama Jisa?”

“Ga kenapa-kenapa kalo kamu tau batesan buat jalan sama dia Jo. Kamu hampir setiap hari loh jalan sama Jisa, kamu ga pikirin perasaan aku sebagai pacarmu emang?”

“Aku sama Jisa temenan doang Jen, please aku tau kita pacaran, tapi kamu ngga bisa ya ngatur-ngatur aku sebegitunya.”

“Aku lagi ga ngatur kamu Jo. Aku cuma minta kamu ngertiin perasaan aku sebagai pacar kamu, kamu pikir aku ga sakit hati setiap liat instastory Jisa lagi jalan sama kamu? Itu hampir setiap hari lagi. Dan satu lagi, kamu bilang kamu sama Jisa cuman temenan? Kita dulu juga temen Jo.”

Hening, tak ada balasan ataupun pembelaan yang diberikan oleh Johnny.

Seperti inilah mereka akhir-akhir ini, selalu bertengkar saat bertemu. Dan lucunya lagi mereka bertengkar karena masalah yang sama.


Jisa. Seorang mahasiswi jurusan manajemen yang menjadi topik pertengkaran bagi Johnny dan Jennie.

Gadis dengan senyuman yang sangat manis dan rambut hitam pekat itu memang satu jurusan dan satu angkatan dengan Johnny. Mereka mengenal satu sama lain semenjak sepupu Jisa, Yudha, membawanya ke tongkrongan tempat dirinya dan teman-teman yang lain berkumpul.

Selain karena satu jurusan, Johnny dan Jisa merupakan orang yang gampang bergaul. Oleh karena itu mereka bisa sedekat ini meskipun baru dua bulan berkenalan.

Karena kedekatan antara Johnny dan Jisa yang bisa dibilang 'aneh' membuat Jennie menaruh rasa curiga pada keduanya. Lagipula siapa yang tidak curiga saat melihat kekasihnya sering keluar bersama perempuan lain yang baru dikenal?


Setelah memikirkannya matang-matang, Jennie dengan yakinnya berkata, “Jo, let's break up.” Sebenarnya Jennie pun tidak se-tega itu untuk memutuskan hubungannya dengan Johnny yang sudah berlangsung cukup lama.

Johnny yang sedang mengendarai mobil yang ditumpangi mereka lantas terkejut. Ia menoleh kepada Jennie yang juga sedang menatap dirinya. Tanpa mengucapkan sepatah kata apapun Johnny kembali fokus kepada jalanan dan melajukan mobilnya hingga kecepatan 100 km/jam.

“JO, ARE YOU CRAZY?!” tanya Jennie sembari berteriak kepada lelaki disebelahnya itu.

“KAMU YANG GILA. KAMU MAU KITA PUTUS? NGGA JEN, NGGA AKAN. AKU NGGA MAU PUTUS SAMA KAMU, AKU SAYANG BANGET SAMA KAMU. KAMU TAU ITU,” balas Johnny tak kalah kepada jennie.

“AKU CAPEK JO, KITA BERANTEM TERUS AKHIR-AKHIR INI. BERANTEM-BAIKAN-BERANTEM. GITU TERUS.”

“KAMU YANG BIKIN KITA BERANTEM! SETIAP KETEMU PASTI BAHASNYA JISA JISA JISA. JISA TEMEN AKU JEN.”

“KAMU ANGGEP JISA EMANG TEMEN, TAPI EMANG JISA ANGGEP KAMU TEMEN JUGA?”

Belum sempat Johnny membalas perkataan Jennie, mereka berdua dikagetkan dengan klakson dari mobil lain. Dan itu membuat mereka sadar bahwa sekarang mereka sudah berada di jalur yang berlawanan.


Kata maaf belum terucap, pelukan bahkan belum diberikan. Kini hanya tersisa dua raga tertimbun tanah dengan jiwanya yang saling menyesali keegoisan mereka.


seu.