litaaps

Lo kalah, Drake.

***

Draco sudah menghabiskan satu botol alkohol yang ia pesan sendirian. Di sampingnya ada Blaise, namun lelaki itu sudah pingsan duluan karena sudah meminum cukup banyak alkohol.

Sementara Draco, dia memandang langit langit dengan matanya yang memerah. Membayangkan air mata Astoria membuat hatinya semakin sakit. Dia yang memulai permainan sialan ini, namun mengapa rasanya sakit saat harus mengakhiri nya?

Draco tidak pernah tau bahwa melihat Astoria menangis akan membuat dirinya sehancur ini. Sudah lama sekali ia tidak meminum alkohol, bahkan mungkin terakhir saat pertama masuk kuliah karena stress akan tugas. Setelah itu, tidak lagi.

Mengenal Astoria lebih dekat ternyata ada perasaan hangat tersendiri di hati Draco, terkadang dia berpikir mengapa tidak dari dulu dia mendekati perempuan itu? Mengapa dulu dia tidak pernah menoleh ke arahnya. Namun semua sudah kacau, semua sudah berantakan. Astoria pasti tidak ingin lagi dekat dengannya. Astoria pasti tidak ingin lagi mengenalnya. Perempuan itu pasti membencinya.

“Arrghh bangsaaat!!!”

“Berisik anjing. Lo kenapa sih?”

Draco menoleh, ada Pansy disana yang baru saja datang.

“Astoria tau semuanya, Pans.”

“Hah? Tau apa? Tau yang mana? Lo mainin dia, atau lo—”

“Dua duanya.”

“What? Lo serius?!”

Draco kembali meminum alkohol botol kedua miliknya.

“Lo sekacau ini karena Astoria tau?”

Draco menunduk merasakan pusing.

“Lo serius karna Astoria lo sekacau ini?”

Draco tidak menjawab.

“Lo kalah anjing! Hahaha Drake Drake.. Lo yang mulai permainan, lo yang kalah.”

“Kalah maksud lo?”

“Lo sadar gak sih? Waktu lo pisah dari Hermione aja lo gak sekacau ini. Tapi sekarang? Liat diri lo, berantakan, kemeja kancingnya ada yang kebuka, ada yang nutup. Rambut berantakan, mata kacau, gila, karna Astoria loh Drake.”

Draco menoleh, menatap Pansy dengan tatapannya yang tajam.

“Lo kalah Drake. Akuin aja lo kalah. Lo datengin Astoria nanti kalau waktunya udah pas, dan lo jelasin ke dia semuanya, lo minta maaf. Jangan buru-buru tapi, lo cukup tunggu beberapa hari seenggaknya sampe emosi Tori stabil.”

“Kalau Tori benci sama gue gimana Pans?”

“Itu resiko lo. Karna emang niat lo bikin orang benci sih. Semua orang itu gak ada yang percaya lo suka sama Astoria, Drake. Termasuk Daphne. Jadi ya wajar aja.”

“Kalau Tori gak mau lagi deket sama gue gimana Pans?”

“Deketin, buktiin kalau lo suka sama dia, tulus, tanpa ada ba-bi-bu lagi. Inget, cewek itu butuh action, bukan cuman omongan kosong.”

Draco hanya terdiam menatap lurus kedepan.

“Sekarang, nikmatin dulu deh mabok lo sampe lo tepar. Nanti baru ngomong ke Astoria kalau keadaan nya udah sedikit membaik.”

Apakah ia memang kalah? Tapi Pansy benar, Draco belum pernah sekacau ini karena perempuan sebelumnya.


© urhufflegurl_

Maaf, Tori.

***

Hermione berlari menuju rumah sakit setelah mendapatkan kabar itu, semua ketakukannya menjadi kenyataan. Ini yang selama ini Hermione takutknya. Dropnya Astoria adalah salah satu ketakutan Hermione.

Disana, di depan ruang ICU ada Theo berdiri sambil menunduk.

“The? Gimana keadaan Astoria?” Tanya Hermione, dia sangat berharap bahwa apa yang akan Theo ucapkan itu adalah hal baik.

“Lo tau Astoria berhenti minum obat?”

Hermione mengerutkan keningnya, “Maksud lo?”

“Tadi dokter bilang, Astoria udah lama gak kontrol dan dia udah lama berhenti minum obat. Lo tau itu Mi?”

Hermione menggelengkan kepalanya dengan gerakan patah-patah, dia terkejut bukan main akan kenyataan ini.

“Berhenti minum obat?”

Theo mengangguk. “Keadaannya kritis. Selama kritis, dia belum bisa dijenguk.”

“The, kenapa Astoria berhenti minum obat? Gue gak tau soal itu.”

“Lo sahabatnya kan? Harusnya lo tau soal itu.”

“Tapi The—”

“Gue tau, hidup lo gak selalu tentang Astoria, Mi. Gue tau. Tapi soal yang satu ini, gue gak ngerti kenapa lo bisa gak tau.”

“Obat dia berkurang setiap hari gue liat.”

“Dibuang mungkin sama dia.”

Hermione duduk dan masih terkejut. Dia tidak tau alasan Astoria berhenti minum obat, padahal Hermione cek obat milik Astoria selalu berkurang setiap hari nya.

Harusnya Astoria semakin semangat meminum obat, karena Draco ada di sisinya. Lelaki yang ia cintai, ada disampingnya.

Tapi mengapa?

Hermione menggelengkan kepalanya dan menunduk, kembali menangis.

“Maaf Tor, maaf..”


© urhufflegurl_

She knows.

***

Draco dan Hermione sudah berada dicafe yang mereka maksud. Mereka duduk berhadapan, Draco memesan ice americano, dan Hermione memesan caramel macchiato kesukaannya.

“Maaf soal kemarin. Gue bener bener ngelakuin itu pure itu spontan, Mi.”

“Gue tau Drake, gue kemarin kaget soalnya gue liat banget ekspresi Astoria gimana.”

“Theo tau soal kita?”

“Soal kita apa?”

“Kita pacaran selama di Amerika?”

Hermione menggelengkan kepalanya dengan ragu. Seingat dia, dia hanya bilang bahwa dia mencintai Draco, tidak sampai berpacaran.

“Kenapa dia bisa nanya gitu soal kita di Amerika? Lo mikir sampe sana gak? Dia sus banget, kayak tau sesuatu tentang kita.”

“Gue gak pernah cerita apa-apa ke dia, Drake.”

“Gue tau.”

“Mungkin dia terlalu mikir jauh menuju benar, jadinya kayak gitu.”

Draco mengangguk setuju, dia mengisap kopi ditangannya. Pait. Sama seperti apa yang ia rasakan saat ini.

“Jadi gimana? Kapan kita ngomong ke Astoria?” Tanya Draco.

“Secepatnya.”

“Secepatnya itu kapan?”

“Gue gak tau Drake, gue gak siap.”

“Gue tau soal Astoria. Tentang keluarganya, dia pernah cerita ke gue. Karena itu lo mau nyembunyiin semuanya dari dia?”

Hermione menatap Draco dan mengerutkan keningnya. “Keluarga dia? Emang lo belum tau? Daphne kan sahabat lo?”

“Daphne cuman cerita ke Theo, gak ke gue.”

“Gue kira lo udah lama tau soal itu.”

Draco menggelengkan kepalanya.

“Ada satu hal lebih besar dari itu, Drake.”

“Lo tau kan lo cukup jujur sampe kita saling suka selama di Amerika, terus kita pacaran dan kita putus karena gue yang terlalu mikir pendek akan suatu masalah. Soal gue yang mainin dia, gue mainin dia karena mau bikin lo panas dan mau lo kembali, itu biar jadi urusan gue, Hermione. Cukup sampe situ aja.”

“Ini gak sesederhana yang lo pikirin Drake.”

“Lagipula ini masalalu kan Mi? Lo juga gak cinta sama gue lagi kan?”

Hermione terdiam, dia tidak menjawab.

“Kita cukup perlu jujur aja sekarang. Daripada kedepannya terlalu rumit lagi.”

“Tapi kalau Astoria marah gimana?”

“Dia pasti marah Hermione, dia pasti kecewa. Tapi seenggaknya— Tori?”

Hermione menoleh ke arah kanannya dengan cepat, dia berdiri saat melihat Astoria dan Theo ada disana.

Mata Astoria sudah dipenuhi oleh air mata. Apakah itu artinya dia mendengarkan semua yang diucapkan oleh Draco dan Hermione?

Tidak, ini bukan waktunya.

“Maksudnya apa? Lanjutin Drake, gue mau denger.” Ucap Astoria dengan suaranya yang bergetar.

Bukan hanya Astoria yang terkejut, namun Theo juga. Dia selama ini tidak pernah berpikir bahwa hubungan Draco dan Hermione ternyata lebih dari sekedar teman yang saling jatuh cinta. Ternyata mereka sempat berpacaran.

“Tor, gue gak—”

“Kenapa Mi?”

“Tor..”

“Kenapa gak bilang sama gue? Kenapa gak kasih tau gue?”

“Gue udah kasih tau lo dari awal, jangan deket sama Draco dia itu—”

“Kenapa lo gak cerita ke gue kalau lo suka sama Draco dan bahkan kalian pacaran selama di Amerika?”

Hermione menunduk merasa bersalah. Ini semua salah, tidak seharusnya semua terbongkar seperti ini.

“Gue malu banget Mi. Selama lo di Amerika, gue selalu nanya soal Draco, gue selalu minta pap Draco ke lo, gue selalu curhatin Draco yang ternyata Draco itu cowok lo. Lo pasti ngetawain gue kan selama disana? Iya kan?”

Hermione menggelengkan kepalanya, “Tor, dengerin gue dulu, gue mohon.”

Saat Hermione hendak memegang tangan Astoria, Astoria menepisnya dengan kasar.

“Kenapa gak cerita Mi? Kenapa gak bilang? Kenapa gue harus tau dengan cara kayak gini? Kenapa Mi?”

“Gue minta maaf Tori, gue—”

“Dan soal lo Drake, gue tau, dari awal lo emang gak ada niat serius sama gue. Gue tau lo cuman main-main sama perasaan gue. Gue tau ini semua cuman permainan lo. Sekarang, semuanya selesai. Lo menang. Gue udah tau, dan kalian bisa bersama lagi kan? Itu kan tujuannya?”

“Tor, enggak gitu..” Lirih Draco.

Astoria menghapus air matanya, “Gue kecewa sama lo Mi.”

“Tori..”

Astoria berlari keluar dari cafe meninggalkan mereka bertiga. Hermione ingin menyusulnya, namun ditahan oleh Theo.

“Gue aja. Gue gak nyangka ternyata lebih dari itu, Mi.” Bisik Theo, namun sangat tajam. Dia kembali merasakan kecewa.

Kini, hanya tinggal Hermione dan Draco disana. Hermione menangis hingga rasanya semua yang ia rasakan hanya sesak. Kini Astoria sudah tahu semuanya, dia tahu Astoria akan bereaksi seperti itu.

Namun, jika dari awal dia jujur, apakah semua akan berbeda? Apakah semua akan jauh lebih baik?

“Lo liat kan Drake? Kacau Drake. Kacau.” Lirih Hermione ditengah tangisannya.

Draco hanya terdiam kaku, berdiri disana dengan posisinya yang sama. Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Harusnya dia senang. Namun, mengapa saat melihat air mata kecewa dari Astoria itu, rasanya sangat hancur dan berantakan?


“Tori Tori, hei denger gue. Tor!”

Theo terus mengejar Astoria hingga akhirnya dia berhasil menggapai tangannya.

“Apa The? Gue mau balik!”

“Balik sama gue oke? Lo kesini sama gue, itu artinya lo harus balik sama gue.”

“Lepas The! Gue mau balik!”

Astoria mendorong Theo dengan sangat kencang sehingga lelaki itu terjatuh, lalu perempuan itu berlari dan menghentikan taksi.

“Tor!” Teriak Theo, sementara taksi itu telah maju meninggalkannya.

Theo segera berlari menuju parkiran dan mengejar taksi yang ditumpangi Astoria.

Astoria tidak tau ternyata akan sesakit ini rasanya menerima rasa kecewa dari Hermione. Dia tidak pernah sama sekali berpikir bahwa Hermione, memiliki perasaan kepada lelaki yang ia cintai. Tapi ini semua lebih daripada itu, Astoria tidak pernah berpikir bahwa ternyata Hermione dan Draco sempat berpacaran.

Dan apa yang Draco ucapkan itu benar benar menyakitkan. Dia tau dia hanya dipermainkan oleh lelaki itu, namun ia tidak menyangka bahwa permainan yang Draco maksud itu untuk membuat Hermione kembali kepadanya. Apakah Draco tidak tau bahwa dia dan Hermione itu bersahabat? Mengapa Draco sangat jahat?

Astoria memikirkan dan menangisi itu semua hingga rasanya dadanya sangat sesak. Dada bagian kirinya kembali sakit, bahkan lebih sakit dari yang terakhir ia rasakan.

“Eh Mba kenapa mba?” Pak supir bertanya dengan panik saat melihat Astoria kesakitan bukan main.

Taksi itu berhenti sejenak dipinggir jalan. Theo yang melihat itu ikut berhenti dan segera menghampirinya.

“Kenapa Pak? Kenapa?” Tanya Theo panik.

“Gak tau Mas, Mba nya sakit kayaknya.”

Theo membuka pintu mobil dan benar, Astoria sedang menahan rasa sakitnya.

“Hei Tori? Kenapa? Dadanya sakit lagi? Denger gue, tarik nafas oke? Lo harus bisa atur pernafasan lo.” Theo berjongkok didepan Astoria, dia mengusap lembut kepala Astoria dan pipi Astoria yang dipenuhi air mata.

“Sakit The. Sakit.” Lirih Astoria dengan suaranya yang tercekat.

“Gue tau, tapi lo harus jaga kondisi lo ya? Tarik nafas pelan pelan, lo bisa Tor.”

Astoria menggelengkan kepalanya, “Sesek banget. Sakit The.”

Theo memeluk Astoria dan berusaha menenangkan wanita itu dengan mengusap punggungnya perlahan. Sementara Astoria, dia terus menangis dan merasakan sesak yang semakin mengikatnya, seperti oksigen tidak diizinkan masuk ke pernafasannya.

“Tor?”

Theo merasa Astoria tidak lagi menangis.

“Mba nya pingsan Mas!”

“Tori? Hei? Astoria bangun. Tori!”

“Pak, bawa ke rumah sakit, sekarang.”

“Mas nya ikut dibelakang kan?”

“Iya pak. Tori, lo kuat. Tahan ya? Gue mohon...”


© urhufflegurl_

Kecewa itu hal yang biasa.

***

Sebelum pergi ke cafe, Astoria dan Theo diam sebentar di halaman Astoria karena bibik sedang menyiapkan makan untuk Astoria. Ya, hari ini perempuan itu belum sempat makan jadi dipaksa makan dulu oleh bibik.

“Makan itu penting. Kalau lo gak makan, lo sakit.”

“Iyaaa Theodore.”

“Eh Tor, gue mau nanya deh.”

Astoria menoleh, “Kenapa?”

“Lo pernah ngerasain rasa kecewa gak sih?”

“Pernah. Satu-satunya rasa kecewa yang paling dalam dan menyakitkan itu, rasa kecewa dari kedua orang tua gue.”

Theo mengangguk mengerti, dia tau karena Daphne yang cerita semuanya.

“Kalau misalnya, orang terdekat lo ngecewain lo, gimana?”

“Orang terdekat? Lo maksudnya? Kan kita lagi deket jaraknya.”

Theo tertawa pelan, “Bukan gitu maksudnya.”

“Maksudnya siapa orang terdekat? Daphne? Hermione? Draco? Lo?”

“Kalau Draco?”

“Draco mah emang bakal ngecewain gak sih The? Dari awal gue deket sama dia, sebenernya gue gak mau nganggap semua ini lebih dari yang gue pengen. Gue tau dia cuman mainin gue, entahlah maksud dari mainnya dia apa, gue cuman ikut main aja. Syukur syukur kalau menang.”

Theo tersenyum kecil, “Emang bener Tor, emang bener dia cuman mainin lo.”

“Kalau Daphne?”

“Gue kecewa sama Daphne karena dia tinggal sama Papa. Tapi, gue juga gak bisa egois kan? Gue gak boleh seegois itu misahin Daphne sama Papa. Jadi, gue maafin dia. Gak masalah, dan selama ini, Daphne gak pernah ngecewain gue.”

Mereka terdiam sejenak.

“Kalau Hermione?”

Astoria menoleh menatap Theo, dia terdiam lebih lama untuk menjawab pertanyaan Theo dibanding saat dia menjawab 2 pertanyaan sebelumnya.

“Kalau dia ngecewain lo gimana?”

“Lo tau kan gue gak punya siapa-siapa disini selain dia The? Kalaupun dia ngecewain gue, gue maafin dia. Dan gue harap, dia masih mau jadi sahabat gue.”

Theo tidak menjawab lagi, dia terdiam dan menatap halaman depan rumah Astoria yang cukup luas itu.

Persahabatan mereka terlalu kuat untuk dihancurkan oleh lelaki seperti Draco Malfoy.


© urhufflegurl_

Kalau iya, gimana?

***

“Tor? Are you okay?”

Astoria mengerjap ketika tangannya disentuh oleh Draco.

“Hah? Okey, I'm okey. Cuman capek aja.”

“Ada yang sakit lagi? Atau pusing? Atau apa?”

Astoria menggelengkan kepalanya dan kembali menatap pemandangan yang ada disampingnya.

“Kalau Draco suka sama Hermione, atau Hermione suka sama Draco gimana?”

“Lo pernah gak mikir satu kemungkinan yang bisa aja terjadi?”

“Mereka di Amerika itu satu tahun, Tori. Gak mungkin dong mereka gak banyak ngobrol? Apalagi ya yang mereka kenal cuman mereka sendiri. Draco cuman kenal Hermione, Hermione cuman kenal Draco. Ya kan?”

Semua pertanyaan Daphne itu terus menggema sangat kencang di kepalanya. Bagaimana jika iya? Bagaimana jika semua yang Daphne bicarakan menjadi kenyataan? Bagaimana jika pada akhirnya, dia ada diposisi harus memilih diantara salah satu? Sahabat? Atau lelaki yang ia cintai?

Draco adalah cinta pertama Astoria. Draco lah lelaki pertama yang Astoria cinta tanpa adanya rasa takut. Dan Hermione, adalah orang pertama yang tau semua itu.

Jangankan persoalan perasaan, semua hal tentang Astoria, sudah ia ceritakan kepada Hermione hingga rasanya ia sudah tidak memiliki satu pun rahasia yang ia sembunyikan dari Hermione.

Namun jika iya, itu artinya Hermione selama ini menyembunyikan semuanya dari Astoria?

Apa arti persahabatan untuk Hermione jika seperti itu?

Diam-diam, air mata Astoria menetes, dan dia dengan segera menghapusnya sebelum Draco menyadarinya.

“Tor? Mau cerita?” Tanya Draco.

“Gue ngantuk Drake, gue tidur boleh?”

Draco mengusap lembut kepala Astoria, “Tidur ya. Nanti gue bangunin kalau udah sampe.”

Astoria hanya tersenyum dan menetralkan perasaan sesaknya agar air matanya tidak tumpah.

Dan perlahan, dia pura-pura menatap matanya.


© urhufflegurl_

Jawaban.

***

Theo sampai lebih dulu di cafe dibanding Hermione. Hermione sedikit terlambat karena mata kuliah hari ini cukup lama, dosennya terlalu lama menjelaskan.

Hermione tidak tahu apa yang dimaksud belum selesai, namun, dia sangat senang Theo akhirnya ingin kembali berbicara dengannya. Hermione merindukan Theo. Sungguh, entah mengapa, Hermione tidak ingin kehilangan lelaki itu.

Sesampainya di cafe, dia segera duduk tepat di depan Theo.

“The..”

Theo tersenyum kecil, “Pesen dulu gih.”

“Bentar ya.”

Theo hanya mengangguk, dan Hermione kembali berdiri untuk memesan kopi untuknya.

Setelah pesenannya selesai, Hermione kembali ke meja.

“Ada apa The?”

“Gue minta maaf soal kemarin. Kemarin gue masih dipenuhi amarah, gue masih kecewa banget sama lo. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, gue gak ada hak untuk kecewa. Gue bukan siapa-siapa lo. Jadi, gue minta maaf.”

“Harusnya gue yang minta maaf The.. Maaf karena gue semuanya jadi kacau kayak gini. Gue mau jujur ke Astoria, gue dan Draco berencana mau ngomong ke dia secepat mungkin.”

“Bagus Mi. Gue yakin, apapun nanti reaksi Astoria, dia pasti bakal terima.”

“Mudah-mudahan. Lo sendiri gimana? Udah maafin gue belum?”

Theo tersenyum kecil sambil menghisap kopi pesanannya, “Gue maafin. Lagian, temenan gak salah kan?”

“Thanks The..”

Ditengah obrolan mereka, tiba-tiba ada yang menyapa Hermione.

“Mi?”

“Tori? Draco?”

“Ih ketemu disini! Kalian lagi ngobrol ya?”

Itu Astoria dan Draco. Hermione melirik Draco sejenak, namun segera mengalihkan pandangannya.

“Yaudah deh, lanjut.”

“Eh Tor, gabung aja.” Ucap Theo.

Hermione menatap Theo dengan tatapan penuh tanda tanya.

“Eh jangan, kan kalian lagi ngobrol.” Balas Astoria.

“Gapapa Tor, gabung aja sini.” Ucap Hermione, dengan terpaksa.

Sebenarnya tidak masalah jika yang bergabung hanya Astoria. Namun, ada Draco juga disana.

“Gapapa nih?” Tanya Astoria memastikan.

“Gapapa, sini.” Ajak Theo.

“Yaudah deh.”

“Yaudah gue pesen dulu, lo disini ya?” Tanya Draco, Astoria mengangguk.

“Lo pesen apa?” Tanya Draco kepada Astoria.

“Jangan kopi Tor, nanti asam lambung.” Balas Theo.

Astoria terkekeh pelan, “Gue coklat aja.”

“Oke.”

Tak membutuhkan waktu lama, Draco kembali membawa 2 minuman. 1 kopi untuknya, dan 1 coklat untuk Astoria. Kini, mereka duduk saling berhadapan.

Theo duduk disamping Hermione, berhadapan dengan Astoria yang duduk disamping Draco.

“Jadi, ngomongin apa nih?” Tanya Astoria diakhiri dengan kekehan pelan.

“Eh gimana kalau kalian cerita soal Amerika? Belum pernah kan kalian cerita bareng ke gue gini? Iya kan?” Tanya Astoria kepada Hermione dan Draco.

Terlihat sangat jelas bahwa wajah Hermione dan Draco cukup tegang. Namun mereka berusaha menetralkan ekspresi mereka.

“Cerita apanya? Gak ada yang seru, Tor.” Balas Hermione.

“Masa iya setahun bareng bareng gak ada cerita seru?” Tanya Astoria, Theo hanya menyimak.

“Yang seru cuman bagian Hermione ngomel aja kalau gue udah mata keranjang.” Balas Draco.

“Cewek Amerika cantik-cantik ya?” Tanya Astoria.

“Tetep cantikan lo sih.”

“Gombal!”

Theo mendengus sambil mengeluarkan seringai khasnya. Rasanya ingin sekali Theo menggaruk wajah Draco. Tangannya sangat gatal.

“Tapi emang bener Tor, dia itu mata keranjang. Liat cewek bening dikit, langsung di tatap lama, di godain.” Ucap Hermione.

Astoria tertawa kecil, “Ohya? Kenapa gak tinggal disana aja kalau gitu? Kan lumayan bisa deket sama cewek Amerika?”

“Gak mau, disini aja, ada lo soalnya.”

Astoria memukul lengan Draco karena dia mengeluarkan gombalannya lagi.

“Tapi di Amerika tuh, kalian bareng-bareng kan. Sering bercanda bareng gitu dong? Ngobrol? Deep talk gitu? Atau curhat curhatan bareng?” Tanya Theo yang membuat suasan menjadi hening seketika.

Draco berdeham menetralkan tenggorokannya, begitupun dengan Hermione.

Astoria menatap mereka bergantian.

“Gak ada lah, kita kan sibuk belajar. Gue cuman bareng di kelas sama dia, bukan berarti gue tiap saat bareng dia.” Balas Hermione.

“Siapa tau..” Balas Theo.

Astoria sama sekali tidak merencakan pertemuan tidak sengaja ini, dan sangat kebetulan. Selama ini, ucapan Daphne soal Draco dan Hermione terus bersarang di otaknya, dan sama sekali tidak bisa hilang.

Untung semesta memberikan kesempatan ini.

Ditengah keheningan diantara mereka, tiba-tiba ada seseorang yang lewat dan tidak sengaja menjatuhkan minumannya ke baju Hermione.

Dan secara spontan, Draco dan Theo memberikan reaksi yang sama, yaitu mereka sama-sama memberikan tissu kepada Hermione.

Astoria dan Hermione hingga terdiam melihat reaksi mereka berdua.

“Pake punya lo aja Tor. Gak dipake kan tissu nya?” Hermione merebut tissu yang ada di sebelah minuman Astoria.

“Eng—gak.”

“Duh kak, maaf ya kak, maaf banget saya gak sengaja.” Ucap seseorang yang menumpahkan minumannya di baju Hermione.

“Gapapa kok gapapa kak, untung air putih hehe, jadi gak kotor.”

“Sekali lagi saya minta maaf kak.”

“Gapapa kak.”

Dan kini, semesta juga yang memberikan jawaban atas semua pertanyaan yang bersarang di kepala Astoria.


© urhufflegurl_

Tentang Astoria.

***

Sore ini, Astoria sudah cantik dengan dress berwarna putih yang membalut tubuhnya. Rambutnya ia biarkan digerai, karena ia sangat suka digerai, membiarkan rambutnya berterbangan dan bersentuhan dengan angin.

Sore ini, Draco akan menjemputnya dan mereka akan menuju pantai untuk melihat keindahan sunset disana.

Astoria bilang, dia menyukai pantai di sore hari dibandingkan pagi hari, itu benar adanya. Menurutnya, pantai di sore hari lebih syahdu dan nikmat dibanding pagi hari. Dia sangat menyukai keindahan senja, walaupun itu hanya sesaat.

Mungkin seperti apa yang ia dapatkan dari Draco akhir-akhir ini, semuanya indah, namun dia tau itu hanya sementara karena dia tau semua hanya permainan semata. Permainan yang ia sangat nikmati, dan tenggelam di dalamnya.

Draco kini menggunakan kaos dan celana pendek, lelaki itu sangat cocok dengan outfit apapun, dia selalu tampan. Dan memang begitu faktanya.

Selama di perjalanan menuju pantai, Astoria tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Dia teramat bahagia diajak ke tempat kesukaannya oleh Draco, lelaki yang ia cintai.

Sesampainya di pantai, Astoria berlari kecil menuju ombak, lalu berlari menjauh dari ombak yang mengejarnya.

Draco yang melihat itu hanya tersenyum. Disana, ada dua keindahan sekaligus. Pantai di sore hari, dan Astoria dengan dress putih miliknya.

“Drake, pesen kelapa gak?” Tanya Astoria.

“Ayo, lo mau?”

Astoria mengangguk. Dia duduk di tepi pantai sambil menunggu Draco memesan kelapa.

Setelah itu Draco duduk di samping Astoria, dengan 2 kelapa utuh yang sudah dibuka, dengan sedotan masing-masing diatasnya.

“Lo suka pantai?” Tanya Draco.

Astoria mengangguk, “Banget. Dulu, gue sering banget jalan-jalan ke pantai sama Mama, Papa dan Daphne. Sekarang gak pernah. Gue bisa aja ke pantai sendirian, karena Hermione selalu sibuk setiap gue ajak. Tapi gue ngerasa kasian ke diri sendiri kalau ke pantai sendirian. Kayak orang galau banget gak sih?”

Draco sedikit tertawa mendengar itu, “Gue pernah denger, katanya, kalau udah pengen ke pantai, itu artinya galaunya gak main main.”

“Iya gue juga tau. Nangis di pantai itu emang enak tau. Bahkan, gue selalu ngerasa kalau berisiknya ombak itu lebih tenang daripada berisiknya manusia. Bahkan lebih tenang dibanding diamnya manusia.”

Draco menatap Astoria lebih dalam daripada biasanya, dia meletakkan sejenak kelapa yang sedang ia genggam, dan memfokuskan semua fokusnya ke Astoria.

“Gue boleh nanya sesuatu?”

“Apa?”

“Sorry kalau ini agak sensitif.. Gue gak pernah liat, orang tua lo.”

Astoria tersenyum, “Emang Daphne gak pernah cerita?”

Draco menggelengkan kepalanya.

“Theo bener bener bisa jaga rahasia dengan sangat baik ternyata.”

Draco meneguk salivanya yang mengering ketika mendengar Theo.

“Sorry gue gak cerita soal itu, gue gak mau cerita sebelum lo nanya.” Ucap Astoria.

“Sekarang mau cerita?”

Astoria menoleh, “Boleh?”

Draco mengangguk, “Boleh dong. Cerita apapun ke gue Tor, gue mau tau semua hal tentang lo.”

Entah mengapa rasanya Astoria merasa nyaman.

“Orang tua gue udah cerai dari gue SMP. Mereka berantem hebat didepan gue sebelum cerai. Makanya gue sangat menentang perceraian itu dibanding Daphne. Anak itu ya, Daphne tuh lebih bodo amatan sama segala hal, padahal gue tau dia juga sakit.”

Draco terdiam kaku mendengar cerita Astoria.

“Nyokap gue tinggal di Swiss sama keluarga barunya. Kabar yang terakhir gue denger, dia udah punya anak. Kalau bokap gue, tinggal di Aussie sama keluarga barunya juga, dan kabar yang gue denger dia juga udah punya anak.”

“Aussie?”

Astoria mengangguk, “Lo tau kenapa Daphne mati-matian dapetin beasiswa pertukaran mahasiswa itu? Karena dia pengen tinggal sama bokap disana. Sebenernya udah lama, Daphne selalu maksa gue untuk maafin semuanya, relain dan ikhlasin semua yang terjadi. Dia pengen banget tinggal di Aussie, sama bokap, dia juga pengen banget sekali-sekali bisa ke Swiss nemuin nyokap. Daphne sedewasa itu dibanding gue yang selalu tenggelam dalam rasa kecewa, tanpa ada niatan untuk bangkit dan memaafkan.”

Draco menghela napasnya agak berat, dia tidak tau cerita Astoria ternyata sesakit ini. Draco terlahir sebagai anak tunggal dari keluarga Malfoy yang sangat terkenal sangat harmonis. Draco selalu dimanjakan oleh kekayaan yang orang tuanya punya. Dan kedua orang tuanya pun masih sering mesra layaknya pasangan yang baru merasakan cinta.

Mereka sangat harmonis. Berbanding terbalik dengan Astoria.

Draco pikir, Hermione dan Astoria itu sama. Hermione juga memiliki keluarga yang harmonis, Hermione selalu disayang dan dimanja oleh kedua orang tuanya, bahkan sang kakak lelakinya. Draco pikir, Astoria juga sama. Namun ternyata benar, diantara Hermione dan Astoria, ada perbedaan yang sangat jauh, yaitu kehidupan mereka.

“Jadi, gue disini cuman tinggal sama bibik. Bibik juga ada setelah orang tua gue cerai dan pindah ke luar negeri, bibik yang dititipin gue sama bokap.”

“Tapi, mereka masih sering chat lo kan? Hubungin lo?”

Astoria mengangguk, “Masih kok. Tapi gak pernah gue bales. Katakan lah gue kurang ajar atau gak tau diri, karena gue hidup juga karena uang yang mereka transfer. Tapi, lo ngerti kan rasa sakit yang gue terima? Gue teramat kecewa sampai-sampai rasanya, gue masih berharap ini semua mimpi. Padahal, udah kejadian dari 7 tahun lalu.”

“That's okay, lo gak salah kok untuk ngerasa semua rasa kecewa itu Tor.”

Astoria menoleh ke arah Draco dan tersenyum, “Lo sama kayak Hermione. Dia juga selalu bilang kalau semua yang gue rasain ini wajar untuk gue rasakan. Hermione selalu bilang kalau gapapa untuk merasakan rasa sakit yang teramat dalam, asalkan jangan dendam.”

Draco mengangguk samar, mengingat Hermione rasanya semua rasa bersalah menyerang dirinya. Bagaimana kabar wanita itu? Apakah dia sedang merasa bersalah juga sama seperti dirinya?

Apa ini jawaban dari semua yang Hermione rasakan? Dia tidak tega kepada Astoria karena ternyata, Astoria membutuhkan kasih sayang melebihi dari dirinya. Astoria tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya, makanya Hermione tidak tega untuk menyakitinya.

Jika memang ini adalah sebuah jawaban dari pertanyaannya selama ini, Draco merasa diam memang solusi yang tepat.

Tapi, sampai kapan?

“Tapi, lo sama keluarga Hermione gimana?” Draco bertanya dengan penuh hati-hati.

“Baik, nyokap bokapnya baik bangett sama gue, apalagi kakaknya. Tapi gue gak bisa liat keluarga itu, Drake. Gue selalu iri liat keharmonisan dari keluarga Granger. Gue gak bisa. Rasanya terlalu sakit untuk liat keluarga harmonis. Keluarga yang jadi impian gue selama ini.”

Draco menatap mata Astoria, disana tersirat rasa kecewa yang mendalam, namun Draco tidak melihat setitik air matapun yang menumpuk dan siap terjatuh. Apakah memang sedalam ini luka yang Astoria terima? Sehingga air matanya habis karena semua ini.

“Mereka welcome banget sama gue, tapi gue egois ke diri sendiri. Gue gak bisa Drake. Gue sering kok gabung sama mereka, kumpul, tapi setelah itu gue pulang, gue nangis. Gue juga capek kayak gini, gue gak mau ngerasain semua ini. Tapi gue gak bisa Drake, terlalu sakit.”

Draco menarik Astoria ke dalam pelukannya, dan mengusap lembut punggung wanita itu.

“That's okay, gapapa kok Tor.”

“Emang semua hal di dunia ini harus di gapapa-in kan Drake?”

Draco melepaskan pelukannya dan memegang kedua pipi Astoria.

“Ternyata lo lebih indah daripada yang gue bayangkan, Tori. Lo wanita yang kuat. Gue kagum sama lo.”

Astoria tersenyum, “Thanks, Drake.”

Draco kembali menarik Astoria ke dalam pelukannya.

“dan apapun arti dari semua ini buat lo, akan menjadi sangat berharga buat gue Drake. Walaupun semua ini hanya pura-pura.”

Sore itu, meninggalkan cerita Astoria tanpa melupakannya, Draco menemani Astoria untuk menikmati keindahan senja. Matanya tak bisa lepas dari wanita cantik itu, dan sesekali ponselnya ia gunakan untuk memotret moment ini.

Moment dimana, Draco merasa bahwa dia sangat senang, dan berharga.


© urhufflegurl_

Sorry.

***

Saat Astoria dan Thania keluar dari ruangan seni milik Astoria, disana hanya ada Theo. Lelaki itu sedang memandang lurus ke arah luar dengan kedua tangan saling menggenggam. Tatapannya cukup tajam, ada bekas air mata disana, terlihat sangat jelas.

Disana tidak ada Hermione. Astoria dapat memastikan bahwa Hermione pasti pulang karena masalahnya dengan Theo tidak kunjung selesai. Astoria bisa menebak hal itu.

“Abang liat, Thania dapet lukisan ini. Ini yang lukis kak Astoria sendiri loh.”

Theo tersenyum dan mencium puncak kepala Thania. Seperti bisa membaca suasana, Thania memeluk pinggang sang Abang dan mengelusnya pelan.

“Ayo pulang Abang.”

Thania tidak bertanya Hermione dimana, karena Thania tau bahwa sang Abang dan Hermione sedang ada masalah. Thania dapat membaca situasi semacam ini.

“The, gue mau ngomong sama lo sebentar.”

Theo mengangguk, “Thania tunggu di motor, nanti Abang sama kak Tori kesana ya?”

Thania mengangguk, “Oke Abang.”

Kini hanya ada Astoria dan Theo disana.

“Hermione pulang ya?”

Theo mengangguk.

“Sorry ya The, gara-gara gue jadi kacau gini.”

Theo menatap mata Astoria dengan lembut. Seandainya, seandainya Astoria tau semua itu, bagaimana kacaunya dia? Benar apa kata Hermione, bagaimana Astoria dapat menerimanya?

“Bukan gara-gara lo. Justru gue makasih ke lo karena lo udah bantu gue dan Hermione ngobrol berdua.”

“Mudah mudahan, setelah ini, apapun yang terjadi itu yang terbaik ya The.”

Theo mengangguk, “Gue boleh minta sesuatu gak Tor?”

“Apa?”

“Kalau ada apa-apa, kasih tau gue ya.”

Astoria mengerutkan keningnya, “Emangnya bakal ada apa-apa?”

Theo sedikit tersenyum, “Ya kalau ada apa-apa dalam segala hal. Lo kan sendiri di rumah sampe besok, nah, siapa tau gas lo mati, atau lampu rumah lo mati, atau mobil lo mogok, atau lo gak bisa masak, atau—”

“Stop The, hahaha apaan sih lo. Gak usah berlebihan! Kan ada pak satpam disini, gue gak butuh lo soal itu. Aman kok.”

Theo ikut tersenyum melihat Astoria tertawa.

“Yaudah gue balik ya.”

Astoria mengangguk, “Ayo, gue belum pamitan juga sama Thania.”

“Inget, kalau ada apa-apa, kasih tau gue.”

“Ih siapa lo? Ogah.”

“Sahabat tersayang kembaran lo!”

“Ih males.”


© urhufflegurl_

Gue mohon, The.

***

“Lo ada tamu? Siapa?” Tanya Hermione kepada Astoria.

“Theo. Gapapa kan gue undang dia kesini?”

Wajah Hermione berubah menjadi terkejut, dan takut. “Theo? Ngapain dia kesini?”

“Gue tau lo ada masalah sama Theo. Jadi, gue mau lo nyelesain masalah lo sama Theo. Sekalian juga gue mau ketemu adiknya Theo, gue mau ngegambar bareng dia.”

Hermione sedang berada di rumah Astoria atas permintaan sahabatnya itu untuk menemaninya. Namun untuk yang satu ini, Hermione benar benar tidak tahu. Dia ingin sekali menjelaskan semuanya kepada Theo, namun dia teramat takut untuk itu.

Hermione tau apa maksud Theo mendekatinya, Hermione tau Theo menyukainya, bahkan sejak lama. Dan Hermione pun tau bahwa Theo pasti sangat kecewa atas apa yang ia lihat saat itu sampai-sampai Theo memblokir akun whatsapp miliknya.

“Tor, kenapa gak bilang dulu sih?” Tanya Hermione.

“Maaf Mi.. Gue cuman mau lo baikan sama Theo, udah itu aja. Anggap aja ini kesempatan buat lo jelasin semuanya ke dia tentang salah paham itu. Oke?”

Hermione menghela napasnya berat. Sahabatnya ini teramat baik untuknya, segala tindakannya dilakukan hanya karna ingin Hermione bahagia. Namun terkadang bagi Hermione itu cukup berlebihan.

“Padahal gak usah dengan lo begini, Tor. Gue bisa jelasin semua ke Theo nanti kalau emang udah siap.”

“Sorry, Mi..”

“Yaudah, karena udah terlanjur, jadi gue jelasin ke Theo sekarang.”

Astoria merasa bersalah sekarang. Ia pikir Hermione dan Theo bertengkar kecil karena Theo cemburu, tapi sepertinya semua ini lebih dari itu.

Tak lama kemudian, mereka mendengar suara motor Theo. Astoria berdiri untuk menyambut Theo dan Thania.

Sama seperti Hermione, Theo berdiri disana dengan ekspresi terkejut, dia terlihat ingin sekali marah namun tak bisa.

“Hai The, haii Thania ya?” Sapa Astoria.

Thania mengangguk, “kak Astoria ya?”

Astoria mengangguk semangat. “Iya! Ayo ayo masuk. Sini. Ayo The.”

Theo hanya mengangguk dan mencoba untuk tidak menatap mata Hermione. Karena setiap ia menatap mata hazel itu, ia teringat akan pemandangan yang membuatnya sangat kecewa.

“Ada kak Hermione juga? Hai kak!” Sapa Thania memeluk Hermione.

“Hai sayang, apa kabar?” Tanya Thania.

“Baik kak, kak Hermione apa kabar?”

“Baik juga.”

Theo tidak menyapa Hermione, bahkan lelaki itu nyaris menganggap Hermione tidak ada disana.

“Tor, gue kira lo sendiri.” Ucap Theo.

Astoria melirik Hermione, lalu kembali menoleh ke arah Theo. “Maaf The.”

“Thania, kita kekamar kakak yuk? Aku punya ruang lukis pribadi. Mau kesana?” Tawar Astoria kepada Thania.

Thania mengangguk semangat, “Mau kak. Abang ikut kan?”

“Abang disini dulu, soalnya abang harus ngobrol sama kak Hermione. Iya kan The?”

Theo mengangguk singkat menanggapi pertanyaan Astoria. Matanya belum juga melirik ke arah Hermione.

“Oke deh abang.”

Astoria menuntun tangan Thania, sebelum pergi, dia pun berbisik kepada Theo. “Gue tau kalian ada masalah. Omongin baik-baik ya The.”

Theo tidak menanggapi, dia hanya diam menatap ke arah Thania seolah-olah sang adik adalah titik yang membuatnya tenang ditengah gemuruh rasa kecewa di hatinya.

Kini, Theo benar benar ditinggalkan hanya berdua dengan Hermione. Lelaki itu akhirnya menatap mata Hermione.

“The, gue minta maaf..”

Theo tidak menanggapi.

“The, gue tau gue salah, gue minta maaf.. Gue—”

“Kenapa harus Draco?”

“The..”

“Lo tau kan siapa Draco? Dan lo juga paham kan siapa lo?”

Hermione menunduk, dia sangat salah. Dia sangat bodoh karena melakukan itu. Tapi saat itu benar-benar diluar kendalinya, Hermione tidak tahu mengapa dia tertarik akan moment yang Draco buat.

“Ini soal Astoria, bukan gue.”

Hermione menatap Theo dengan matanya yang berkaca-kaca.

“Gue gak mau lo jadi orang jahat, Mi. Gue gak mau lo jadi orang brengsek buat Astoria. Gue tau gimana deketnya kalian, gue tau gimana percayanya Astoria ke lo. Bahkan Daphne aja sering cerita kalau Astoria lebih deket sama lo dibanding sama dia. Ini Astoria loh Mi, dan ini Draco.”

“Gue tau The..”

“Kalau tau kenapa lo ngelakuin itu?”

Hermione terdiam.

“Oke, gue gak bisa nyalahin perasaan yang ada dihati lo. Emang cinta itu gak bisa ditebak Mi, cinta gak tau dia akan mendarat dimana, walaupun lelaki yang sahabatnya cintai sekalipun.”

Mata Hermione dan Theo bertemu.

“Gue gak cinta s—”

“Kalau lo gak cinta kenapa ciuman?”

“The..”

“Lo ada apa sama Draco?”

Hermione hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Theo tak tega jika harus menumpahkan semua amarahnya kepada Hermione. Karena memang benar, tidak ada yang salah dengan rasa cinta, namun disini Hermione tidak jujur kepada Astoria. Theo kecewa akan hal itu.

“Astoria gak tau kan?” Tanya Theo.

Hermione menoleh, “Enggak, gue mohon jangan kasih tau Astoria, The.”

“Kenapa?”

“Lo tau keadaan Astoria gimana kan? Kita ngomongin soal dia kan? Lo tau kan gimana kalau dia tau semuanya The. Sahabat tersayangnya cinta sama lelaki yang ia cinta selama 5 tahun. Sahabat tersayangnya ciuman sama lelaki yang ia kagumi selama 5 tahun. Sahabat tersayangnya ngecewain dia dan berkhianat dengan pelukan sama lelaki yang ia cintai selama 5 tahun. Lo tau bakal sekacau apa Astoria nanti?”

Hermione mengusap air matanya sejenak.

“The, gue akan jujur sama Astoria. Tapi gak sekarang. Akhir akhir ini keadaannya lagi drop, dia sering ngeluh sakit lagi. Gue tau lo tau Astoria kenapa, karena gue yakin Daphne cerita ke lo. Jadi gue mohon lo ngerti The.”

Kini giliran Theo yang diam, semuanya terlalu rumit.

“Gue mohon The, gue mohon.”

“Kenapa gak jujur dari awal?”

“Gue gak bisa The.”

“Lo beneran cinta sama Draco?” Theo bertanya dengan nadanya yang bergetar. Ingin sekali dia menangis kencang, namun rasanya melelahkan.

Dan Hermione, tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

“Sekarang ngomongin gue. Kalau dari awal lo juga suka sama sahabat gue, gue gak akan deketin lo Mi.”

Hermione merasa hatinya sangat sakit mendengar itu.

“Gue selalu kalah dari dia. Dalam hal apapun itu, gue kalah jauh dari dia. Bahkan dari hal ngambil perasaan lo. Dia bisa ngancurin persahabatan lo sama Astoria. Power dia sekuat itu ternyata.”

Theo mengusap wajahnya, mengusap air mata yang mulai mengalir dari mata indahnya.

“Gak gitu The—”

“Gak usah ngomong apapun Mi. Soal gue, gue udah maafin lo. Gue kecewa, tapi gue gak bisa maksa lo buat bales perasaan gue. Gue gak bisa maksa lo jatuh cinta sama gue walau nyatanya cinta lo itu tertuju ke Draco. Gue gak bisa maksa semua itu. Cuman, gue mohon, jujur sama Astoria. Apapun itu reaksi dia, lo harus terima. Kecewanya dia akan lebih dalam daripada kecewa yang gue rasain.”

Itu kalimat terakhir Theo sebelum dia pergi keluar meninggalkan Hermione berdiri disana. Berdiri dengan wajah yang basah dipenuhi dengan air mata penyesalan dan rasa sakit.

Jadi Hermione juga sakit, mencintai seseorang yang salah, mencintai seseorang yang sudah jelas-jelas dicintai oleh sahabatnya sendiri.

Andai saja Hermione tidak melakukan kesalahan itu saat di Amerika, andai saja daya tarik yang Draco Malfoy miliki tidak sekuat magnet, semua pasti akan baik-baik saja.

Dia tidak akan merasakan semua rasa sakit ini.

“Gue harus gimana The? Egois ke diri sendiri atau egois ke Astoria?”


© urhufflegurl_

Ada apa?

***

“Masih sakit?” Tanya Draco melirik Astoria cemas.

“Sedikit, aman kok.”

“Lo tidur aja gapapa, maaf tadi gue harus ribut sama dia.”

“Theo kenapa sih? Kalian lagi ada masalah?”

Draco menghela napasnya kasar, kedua tangannya menggenggam setir dengan erat. “Gak ada harusnya, gak tau itu anak emang aneh.”

“Lo kenapa bisa sakit? Kecapean ya?” Draco berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.

“Kayaknya. Ada apa sih sebenernya Drake? Gue gak enak sama Theo tadi, kalian lagi ada masalah ya?”

Draco tersenyum, tangan kirinya mengusap lembut kepala Astoria, “Gak ada apa-apa. Tidur gih, macet juga jalanan. Biar rasa sakitnya berkurang.”

Astoria merasakan kehangatan disana. Kedua sorot mata Draco, entah mengapa rasanya Astoria merasakan adanya ketulusan disana.

“Gapapa nih gue tidur?”

“Gapapa dong, tidur yaa..”

Astoria mengangguk, perlahan dia pun memejamkan matanya. Tadi, dia sempat minum obat, jadi rasa ngantuk menyerangnya.

Ditengab kemacetan, Draco menatap Astoria dengan tatapan yang entah, Draco pun tidak bisa menjelaskannya. Lalu dia kembali mengingat moment tadi dengan Hermione.

“Sorry Tor..”


Astoria belum terbangun saat mobil yang dikendarai oleh Draco sampai di halaman rumahnya. Draco mencoba membangunkan Astoria, namun gadis itu belum juga terbangun.

Itu artinya, Draco harus menggendong Astoria untuk masuk ke rumahnya.

Draco terdiam sejenak saat hendak menggendong Astoria. Dia tersenyum saat melihat wajah cantik itu tertidur pulas. Mata, bibir, rambut, semua yang dimiliki oleh Astoria ternyata sangat indah.

Draco sangat terlambat menyadari bahwa, Astoria sangat cantik.

“Lo cantik Tor. Lo punya sesuatu yang gue butuhin dari dulu. Gue harus apa kalau suatu saat nanti lo tau semuanya Tor?”

Draco memegang dagu Astoria, dia pun tersenyum lalu mengusap lembut pipi Astoria.

Setelah itu, dia menggendong Astoria dan membawanya ke kamar.

Di rumah ada bibik, asisten rumah tangga yang sudah bekerja semenjak Astoria SMP. Bibik yang menyuruh Draco membawa Astoria ke kamarnya.

Draco melihat satu persatu foto di kamar Astoria. Didominasi oleh foto nya bersama Hermione. Persahabatan mereka sangat kuat.

Lalu, Draco salah fokus akan salah satu dinding kamar. Disana, terdapat beberapa foto Draco dan diberi tanda love oleh spidol permanen milik Astoria. Draco tersipu melihat itu. Astoria begitu pandai memotret Draco secara diam-diam.

Saat sedang menikmati foto dirinya sendiri, tangannya tak sengaja menyenggol salah satu foto di atas nakas Astoria. Disana, dia melihat satu kotak berwarna putih transparan.

Karena penasaran, Draco membukanya.

“Obat? Sebanyak ini buat apa?”


© urhufflegurl_