She knows.
***
Draco dan Hermione sudah berada dicafe yang mereka maksud. Mereka duduk berhadapan, Draco memesan ice americano, dan Hermione memesan caramel macchiato kesukaannya.
“Maaf soal kemarin. Gue bener bener ngelakuin itu pure itu spontan, Mi.”
“Gue tau Drake, gue kemarin kaget soalnya gue liat banget ekspresi Astoria gimana.”
“Theo tau soal kita?”
“Soal kita apa?”
“Kita pacaran selama di Amerika?”
Hermione menggelengkan kepalanya dengan ragu. Seingat dia, dia hanya bilang bahwa dia mencintai Draco, tidak sampai berpacaran.
“Kenapa dia bisa nanya gitu soal kita di Amerika? Lo mikir sampe sana gak? Dia sus banget, kayak tau sesuatu tentang kita.”
“Gue gak pernah cerita apa-apa ke dia, Drake.”
“Gue tau.”
“Mungkin dia terlalu mikir jauh menuju benar, jadinya kayak gitu.”
Draco mengangguk setuju, dia mengisap kopi ditangannya. Pait. Sama seperti apa yang ia rasakan saat ini.
“Jadi gimana? Kapan kita ngomong ke Astoria?” Tanya Draco.
“Secepatnya.”
“Secepatnya itu kapan?”
“Gue gak tau Drake, gue gak siap.”
“Gue tau soal Astoria. Tentang keluarganya, dia pernah cerita ke gue. Karena itu lo mau nyembunyiin semuanya dari dia?”
Hermione menatap Draco dan mengerutkan keningnya. “Keluarga dia? Emang lo belum tau? Daphne kan sahabat lo?”
“Daphne cuman cerita ke Theo, gak ke gue.”
“Gue kira lo udah lama tau soal itu.”
Draco menggelengkan kepalanya.
“Ada satu hal lebih besar dari itu, Drake.”
“Lo tau kan lo cukup jujur sampe kita saling suka selama di Amerika, terus kita pacaran dan kita putus karena gue yang terlalu mikir pendek akan suatu masalah. Soal gue yang mainin dia, gue mainin dia karena mau bikin lo panas dan mau lo kembali, itu biar jadi urusan gue, Hermione. Cukup sampe situ aja.”
“Ini gak sesederhana yang lo pikirin Drake.”
“Lagipula ini masalalu kan Mi? Lo juga gak cinta sama gue lagi kan?”
Hermione terdiam, dia tidak menjawab.
“Kita cukup perlu jujur aja sekarang. Daripada kedepannya terlalu rumit lagi.”
“Tapi kalau Astoria marah gimana?”
“Dia pasti marah Hermione, dia pasti kecewa. Tapi seenggaknya— Tori?”
Hermione menoleh ke arah kanannya dengan cepat, dia berdiri saat melihat Astoria dan Theo ada disana.
Mata Astoria sudah dipenuhi oleh air mata. Apakah itu artinya dia mendengarkan semua yang diucapkan oleh Draco dan Hermione?
Tidak, ini bukan waktunya.
“Maksudnya apa? Lanjutin Drake, gue mau denger.” Ucap Astoria dengan suaranya yang bergetar.
Bukan hanya Astoria yang terkejut, namun Theo juga. Dia selama ini tidak pernah berpikir bahwa hubungan Draco dan Hermione ternyata lebih dari sekedar teman yang saling jatuh cinta. Ternyata mereka sempat berpacaran.
“Tor, gue gak—”
“Kenapa Mi?”
“Tor..”
“Kenapa gak bilang sama gue? Kenapa gak kasih tau gue?”
“Gue udah kasih tau lo dari awal, jangan deket sama Draco dia itu—”
“Kenapa lo gak cerita ke gue kalau lo suka sama Draco dan bahkan kalian pacaran selama di Amerika?”
Hermione menunduk merasa bersalah. Ini semua salah, tidak seharusnya semua terbongkar seperti ini.
“Gue malu banget Mi. Selama lo di Amerika, gue selalu nanya soal Draco, gue selalu minta pap Draco ke lo, gue selalu curhatin Draco yang ternyata Draco itu cowok lo. Lo pasti ngetawain gue kan selama disana? Iya kan?”
Hermione menggelengkan kepalanya, “Tor, dengerin gue dulu, gue mohon.”
Saat Hermione hendak memegang tangan Astoria, Astoria menepisnya dengan kasar.
“Kenapa gak cerita Mi? Kenapa gak bilang? Kenapa gue harus tau dengan cara kayak gini? Kenapa Mi?”
“Gue minta maaf Tori, gue—”
“Dan soal lo Drake, gue tau, dari awal lo emang gak ada niat serius sama gue. Gue tau lo cuman main-main sama perasaan gue. Gue tau ini semua cuman permainan lo. Sekarang, semuanya selesai. Lo menang. Gue udah tau, dan kalian bisa bersama lagi kan? Itu kan tujuannya?”
“Tor, enggak gitu..” Lirih Draco.
Astoria menghapus air matanya, “Gue kecewa sama lo Mi.”
“Tori..”
Astoria berlari keluar dari cafe meninggalkan mereka bertiga. Hermione ingin menyusulnya, namun ditahan oleh Theo.
“Gue aja. Gue gak nyangka ternyata lebih dari itu, Mi.” Bisik Theo, namun sangat tajam. Dia kembali merasakan kecewa.
Kini, hanya tinggal Hermione dan Draco disana. Hermione menangis hingga rasanya semua yang ia rasakan hanya sesak. Kini Astoria sudah tahu semuanya, dia tahu Astoria akan bereaksi seperti itu.
Namun, jika dari awal dia jujur, apakah semua akan berbeda? Apakah semua akan jauh lebih baik?
“Lo liat kan Drake? Kacau Drake. Kacau.” Lirih Hermione ditengah tangisannya.
Draco hanya terdiam kaku, berdiri disana dengan posisinya yang sama. Dia tidak bisa melakukan apa-apa. Harusnya dia senang. Namun, mengapa saat melihat air mata kecewa dari Astoria itu, rasanya sangat hancur dan berantakan?
“Tori Tori, hei denger gue. Tor!”
Theo terus mengejar Astoria hingga akhirnya dia berhasil menggapai tangannya.
“Apa The? Gue mau balik!”
“Balik sama gue oke? Lo kesini sama gue, itu artinya lo harus balik sama gue.”
“Lepas The! Gue mau balik!”
Astoria mendorong Theo dengan sangat kencang sehingga lelaki itu terjatuh, lalu perempuan itu berlari dan menghentikan taksi.
“Tor!” Teriak Theo, sementara taksi itu telah maju meninggalkannya.
Theo segera berlari menuju parkiran dan mengejar taksi yang ditumpangi Astoria.
Astoria tidak tau ternyata akan sesakit ini rasanya menerima rasa kecewa dari Hermione. Dia tidak pernah sama sekali berpikir bahwa Hermione, memiliki perasaan kepada lelaki yang ia cintai. Tapi ini semua lebih daripada itu, Astoria tidak pernah berpikir bahwa ternyata Hermione dan Draco sempat berpacaran.
Dan apa yang Draco ucapkan itu benar benar menyakitkan. Dia tau dia hanya dipermainkan oleh lelaki itu, namun ia tidak menyangka bahwa permainan yang Draco maksud itu untuk membuat Hermione kembali kepadanya. Apakah Draco tidak tau bahwa dia dan Hermione itu bersahabat? Mengapa Draco sangat jahat?
Astoria memikirkan dan menangisi itu semua hingga rasanya dadanya sangat sesak. Dada bagian kirinya kembali sakit, bahkan lebih sakit dari yang terakhir ia rasakan.
“Eh Mba kenapa mba?” Pak supir bertanya dengan panik saat melihat Astoria kesakitan bukan main.
Taksi itu berhenti sejenak dipinggir jalan. Theo yang melihat itu ikut berhenti dan segera menghampirinya.
“Kenapa Pak? Kenapa?” Tanya Theo panik.
“Gak tau Mas, Mba nya sakit kayaknya.”
Theo membuka pintu mobil dan benar, Astoria sedang menahan rasa sakitnya.
“Hei Tori? Kenapa? Dadanya sakit lagi? Denger gue, tarik nafas oke? Lo harus bisa atur pernafasan lo.” Theo berjongkok didepan Astoria, dia mengusap lembut kepala Astoria dan pipi Astoria yang dipenuhi air mata.
“Sakit The. Sakit.” Lirih Astoria dengan suaranya yang tercekat.
“Gue tau, tapi lo harus jaga kondisi lo ya? Tarik nafas pelan pelan, lo bisa Tor.”
Astoria menggelengkan kepalanya, “Sesek banget. Sakit The.”
Theo memeluk Astoria dan berusaha menenangkan wanita itu dengan mengusap punggungnya perlahan. Sementara Astoria, dia terus menangis dan merasakan sesak yang semakin mengikatnya, seperti oksigen tidak diizinkan masuk ke pernafasannya.
“Tor?”
Theo merasa Astoria tidak lagi menangis.
“Mba nya pingsan Mas!”
“Tori? Hei? Astoria bangun. Tori!”
“Pak, bawa ke rumah sakit, sekarang.”
“Mas nya ikut dibelakang kan?”
“Iya pak. Tori, lo kuat. Tahan ya? Gue mohon...”
© urhufflegurl_