litaaps

Am I a liar?

***

Suasana cafe sore ini cukup ramai, Draco dan Hermione sengaja mengambil tempat didalam, agar sedikit sepi, dibandingkan diluar.

Sementara Theo, dia duduk diluar.

Jarak diantara mereka hanya sebatas kaca, jadi Theo masih bisa melihat Hermione dan Draco, begitupun mereka.

“Mau ngomong apa Drake?”

“Gue minta maaf, Mi.”

Hermione menatap Draco, tidak dengan tatapan tajamnya, hanya tapapan biasa.

“Maaf, karena gue udah bikin semua kekacauan ini. Maaf, Mi.”

Draco menunduk, sangat terlihat bahwa lelaki itu benar-benar merasa bersalah.

“Gue gak tau, rasanya kacau banget liat Tori di ruang ICU waktu itu. Satu hal yang gak pernah gue bayangin sebelumnya. Gue tau, semua yang gue lakuin ini kurang ajar, brengsek, gue tau, Mi. Tapi lo tau kenapa kan? Lo tau kan alasannya apa?”

Hermione terdiam, tidak mengangguk, namun juga tidak menggelengkan kepalanya.

“Gue minta maaf.. Gue bener bener minta maaf. Maaf atas apa yang udah gue lakuin selama kita di Amerika, maaf atas perasaan yang udah gue kasih ke lo, maaf atas semua hal yang membuat lo juga punya perasaan ke gue, maaf Mi.”

Entah mengapa, kini pertahanan Hermione runtuh seketika. Dia meneteskan air matanya, namun segera menghapusnya.

“Gue sayang Astoria, Mi. Gue cinta sama dia.”

“Apa omongan lo yang ini bisa dipercaya, Drake?”

Draco mengangguk, “Gue bener sayang Astoria.”

Hermione meneguk salivanya yang mengering, “Gue boleh nanya sesuatu? Tapi gue mau lo jawab jujur.”

“Apa?”

“Waktu kita dibelakang kampus itu, maksud lo apa ngelakuin itu ke gue?”

Draco terdiam sejenak, kepalanya reflek melirik ke arah luar dimana Theo ada disana yang kebetulan dengan memperhatikan keduanya.

Hermione pun ikut melirik, membuat Theo mengerutkan keningnya kebingungan.

“Pertama, karena gue sayang sama lo, Mi. Gue takut kehilangan lo saat itu. Lo tau gue orangnya nekat, jadi gue cium lo.”

Hermione menatap Draco dengan kedua matanya yang berkaca-kaca.

“Kedua, karena gue bingung Mi.. Gue bingung, gue nyaman setiap gue deket sama Astoria, gue ngerasa kalau sama Astoria itu gue dibutuhin, gue jadi orang yang Astoria butuhkah. Gue ngerasa, beda. Gue ngerasa beda setiap gue ngeliat senyum dia, ngobrol sama dia, ketawa, deket sama dia, gue ngerasa beda. Gue ngerasain perasaan yang sama, dengan perasaan yang gue rasain disaat gue deket sama lo, waktu di Amerika, Mi.”

Satu bulir air mata Hermione mengalir di pipinya, tanpa ia hapus.

“Ketiga, karena gue mau tau, perasaan gue ini kemana.”

“Maksud lo?”

“Gue—”

“Jawab jujur, Drake. Perasaan sayang lo ke Astoria itu gak mungkin muncul ketika Astoria sakit kan? Pasti udah lama munculnya. Terus kenapa lo cium gue saat itu? Kenapa?”

Draco menggelengkan kepalanya perlahan, “Belum, Mi. Gue belum ngerasa sayang sama dia, gue cuman ngerasa nyaman.”

“Terus?”

“Gue tertarik sama Astoria saat gue tau dia suka sama gue.”

“Maksud lo?”

“Gue merhatiin Astoria dari SMA, tapi gak sepenuhnya merhatiin dia, karena— ya, karena gue gak— karena gue brengsek. Gue belum sayang sama Astoria disaat gue cium lo, Mi. Gue cuman ngerasa aneh, gue cuman ngerasa gue seneng setiap deket sama Tori, gue ngerasa nyaman sama dia, dan gue mau buktiin apakah perasaan ini hanya perasaan semata atau—”

“Maksud lo? Lo cium gue saat itu karna mau ngetes gue?”

“Mi, gue—”

“Lo brengsek.”

“I am.”

“Sekarang gimana perasaan lo Drake?”

“Gue sayang Astoria, Mi.”

“Lo tau kan apa yang harus lo lakuin?”

“Gue bakal buktiin, kalau gue sayang sama Astoria.”

Hermione meminum kopi nya dengan 7 kali tegukan, saking emosinya, hingga menyisakan kopinya tinggal setengah gelas.

“Gue harap, setelah ini, kita bisa bersikap biasa aja, Mi. Gue tau ini permintaan brengsek, tapi gue bingung Mi, gue bingung, gue ngerasa kalau gue gak pantes buat Tori, tapi gue gak mau kehilangan dia. Gue harus gimana Mi?”

“Jangan tinggalin Tori. Dia butuh lo, Drake.”

“But she deserves better, Mi. Dia berhak mendapatkan yang lebih baik daripada gue.”

“Tori gak butuh itu, dia butuhnya lo, Drake. Buktiin. Buktiin kalau lo sayang sama dia. Kalau urusan kita, gue akan usahakan buat maafin dan lupain semua tentang kita.”

Draco mengusap wajahnya, “Thanks Mi.”

”.. Dan soal Amerika, gue harap semua itu kita keep sendiri, Mi.”

Hermione menghela napasnya, lalu mengangguk singkat.

“Udah kan berarti? Gak ada yang perlu kita omongin?”

Draco mengangguk, “Makasih lo udah mau repot dateng kesini, gue duluan Mi.”

Draco meninggalkan Hermione seorang diri disana.

Saat berpapasan dengan Theo, Draco hanya menepuk singkat bahunya, lalu berlalu begitu saja.

Theo membali memperhatikan Hermione. Dia dapat melihat bagaimana Hermione menangis dan mengusap air matanya.

Hermione menangis disana sendiri, menutup kedua matanya dan menghadap ke kiri agar Theo tidak melihatnya.

Entah apa yang Hermione rasakan, melupakan Draco tidak semudah saat dia mencintainya.

“Pada akhirnya, gue harus bohong kan Drake? Bohong kalau gue bisa segampang itu lupa atas semua yang lo kasih ke gue, Drake.”

“Bahkan gue masih inget dengan jelas, how the way you said that you love me, Drake.”

“Mi?”

Hermione menghapus air matanya dengan segera saat Theo berdiri didepannya.

“Udah The, yuk.”

Theo jongkok di depan Hermione, kedua tangannya menggenggam tangan Hermione.

“That's okey. Melupakan orang yang pernah kita sayang itu emang berat, tapi gue yakin lo pasti bisa.”

Hermione tersenyum dengan kembali mengalirnya air mata di pipinya.

Theo memeluk Hermione dan mengusap punggungnya, menenangkan, dan seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

“Jangan tinggalin gue The, gue butuh lo. Gue butuh lo, The.”

“Anytime you need me, I'm here, Mi.”


© urhufflegurl_

Having fun.

***

Siang ini, sesuai dengan apa yang telah dijanjikan, Theo, Hermione dan Thania bertamu ke rumah Astoria. Mereka akan bermain dan melukis bersama.

Theo dan Hermione tidak bisa melukis, jadi hanya Thania yang excited untuk acara ini.

Sesampainya di rumah Astoria, mereka disambut dengan hangat.

“Kak Daphne???” Teriak Thania terkejut, sekaligus senang.

“Thaniaaaa! Haaii!!”

“Kakaaakk!!”

Thania dan Daphne sudah saling mengenal, bahkan sudah lama karena saat SMA Daphne sering ke rumah Theo, bermain dengan Bunda dan Thania. Jadi, Thania dekat dengan Daphne.

“Haii kak Tori.” Sapa Thania memeluk Astoria, setelah dia berpelukan dengan Daphne.

“Hai cantik, apa kabar?”

“Baik bangeet. Kakak apa kabar? Udah sembuh?”

“Baik juga, udah dong. Nih udah bisa senyum.”

“Thania seneng banget. Kemarin, waktu kakak sakit, Thania sedih soalnya Thania belum ngewarnain ini kak.”

Thania mengeluarkan kanvas nya, dan menunjukannya kepada Astoria.

“Apa ini sayang?”

“Aku ngelukis ini kak, tapi bingung warna jembatan dan latarnya apa. Aku mau buat ala galaksi, campuran warna ungu, biru, sama hitam, tapi aku juga pengen bikin warna cerah campuran putih, kuning, oren, aku bingung kak. Mau diskusi sama kakak, tapi kakaknya sakit.”

Theo mengusap kepala Thania karena gemas sekaligus bangga melihat adiknya itu, sangat hebat.

“Ayo kita warnain bareng! Kakak punya ide!”

“Ayoo kakaakk!”

Thania dan Astoria pun beranjak menuju ruangan lukis milik Astoria.

“Kayaknya gue ikut Tori aja kali ya, sekalian kangen kangenan juga sama Thania.” Ucap Daphne saat ditinggal bersama Theo dan Hermione.

“Daph, gue boleh masak gak? Kebetulan gue bawa bahan masakan nih, dari mama.”

“Boleh dong Mi, ke dapur aja ya, udah biasa kan?”

Hermione mengangguk.

“Temenin sana The.” Daphne memukul kecil lengan Theo.

Walaupun masih kesal dengan apa yang Hermione lakukan kepada Astoria, namun Daphne berusaha untuk memaafkan dan mengikhlaskan semuanya. Karena, Daphne pikir, jika ada orang yang dendam kepada Hermione, itu bukan dirinya, melainkan Astoria sendiri.

Jadi, percuma saja mempunyai rasa dendam kepada orang yang telah menyakiti kembarannya, disaat sang korban itu sendiri dengan leluasa telah memaafkan. Daphne belajar banyak dari Astoria.

“Iya ini mau ke dapur.”

Daphne hanya tersenyum lalu beranjak menuju ruang lukis, bergabung dengan Astoria dan Thania.


“Daph, bantuin dong! Jangan diem ajaa.”

“Bantu apa anjir? Ini gue megang kuas aja gak pernah?”

“Kuas make up kan pernah?”

“Ya beda!”

Thania yang tadinya sedang fokus itu tertawa melihat kedua kakak kembar sedang bertengkar.

“Kak Daphne, bantu Thania aja sini, ngewarnain bareng.”

“Nahh mending sama Thania aja gue, gambarannya gak abstrak, bukan gambaran yang seolah mewakili perasaan yang sedang tak karuan.”

“Berisik lo.”

Daphne tertawa, lalu menghampiri Thania dan melukis bersamanya disana.

Astoria memandangi lukisannya. Hanya lukisan biasa, seorang wanita dengan wajah cantik, namun dia mengoleskan banyak sekali cat berwarna gelap diwajah cantiknya, sehingga tidak terlihat sama sekali bahwa lukisan itu adalah lukisan seorang wanita.

Berbanding terbaik dengan Thania, dia melukis pemandangan hijau, dengan kambing menjadi sang pemeran utama disana.

Dan yang mewarnai kambingnya, adalah Daphne.

“Kambing itu warna cream kak Daph.”

“Putih aja biar kayak shaun the sheep.”

“Kalau putih mah gak usah pake cat dong!”

Daphne tertawa kecil, “Biar timbul putihnya.”

“Kakak bisa aja.”

Satu ruangan, dengan 2 perasaan yang berbeda. Campur aduk.


Sementara di dapur, 2 orang sedang berkutat dengan masakan mereka. Theo ingin membuat spageti, sementara Hermione ingin membuat kue kesukaan Astoria. Jadi mereka membuat makanan masing-masing, sesuai dengan apa yang ingin mereka buat.

“Emang bener cara masaknya gitu The?”

“Bener, Bunda sering masak begini Mi.”

Hermione menggelengkan tangannya, “Awas aja ya kalau gak enak.”

“Mau nyalahin Bunda?”

“Lo lah! Kenapa jadi Bunda?”

“Kan gue ngikutin Bunda, jadi kalau gak enak, salah Bunda.”

Hermione tertawa, “Dasar!”

“Lo sampe mana coba kue nya? Ih, lebih jago Thania.”

“Enak aja! Gue juga bisa ya buat kue! Gue sering bikin kue sama Mama.”

“Iyaa deh, percaya.”

Theo melihat adonan Hermione yang masih ada sisa terigunya, dan ada sedikit terbesit rasa jahil menyerangnya.

Theo mencolekkan sedikit tepung terigu di hidung mancung Hermione.

“Theo! Kebiasaan ih!”

Tak mau kalah, Hermione juga membalas kejahilan Theo, dia mencolekkan tepung ke hidung Theo, lebih banyak dari yang Theo berikan.

“Curang ya! Gue kan gak sebanyaa— haciim!”

Hermione tertawa melihat Theo bersin bersin akibat tepung yang masuk ke hidungnya.

“Hermione! Awas aja ya lo!”

“Idung lo merah! Hahaha.”


© urhufflegurl_

Always.

***

Suasana cafe sudah ramai begitu Theo dan Hermione masuk kedalam. Mereka duduk sebentar, memesan kopi kesukaan mereka, lalu mengobrol sebentar.

Setelah itu, Theo pamit sebentar ke Hermione untuk menyiapkan live music mereka.

Setelah kejadian itu, Hermione rasanya sangat tidak ingin jauh dengan Theo. Lelaki itu benar-benar yang terbaik diantara yang baik. Hermione sangat beruntung bisa dekat dengan Theo, walaupun dengan luka yang ia tinggalkan.

Namun, keputusan untuk sembuh bersama-sama adalah keputusan yang tak akan pernah Hermione sesali.

Malam sudah menunjukan pukul 7, band Theo sudah menyiapkan semuanya.

“Oke semuanya, asik ketemu lagi kita nih.” Ucap Theo membuat semua pengunjung cafe tersenyum.

Cafe ini, adalah cafe dimana Theo dan Hermione pertama kali bertemu. Theo sering manggung disini, ya karena pemilik cafe ini adalah temannya Theo. Jadi, para pengunjung juga sudah lumayan kenal dengan Theo.

“Jadi, apa kabar semua?” Tanya Theo.

“Baik!” Balas para pengunjung cafe.

Hermione tersenyum melihat interaksi diantara Theo dan mereka, sangat hangat.

“Alhamdulillah, syukur kalau baik. Gue juga lagi baik nih. Ohiya, gue mau bawain satu lagu, dari Daniel Caesar judulnya Always. Lagu bucin nih, sengaja gue bawain karena tampak tampaknya disini pada berpasangan semua nih.”

Para pengunjung tertawa mendengar celotehan Theo.

“Lagu mantan itu mah!” Teriak salah satu pengunjung.

“Wes santai mba, lagu mantan tapi bucin banget kan mantannya? Walaupun seseorang yang dicintainya itu bersama orang lain, dia akan selalu ada untuk orang yang dia cintai. Bagus bukan?”

“Lagu gamon!”

Semua pengunjung tertawa.

“Sebenernya, lagu ini gue persembahkan untuk seseorang yang duduk sendiri didepan gue nih. Dia temen SMA gue, gue suka sama dia kira kira waktu kita kelas 3 SMA, udah telat buat ngungkapin karna saat itu kita udah mau lulus. Eh ketemu lagi disini, di cafe ini sekitar beberapa bulan ke belakang. Tapi ternyata, perjalanan gue untuk menuju kesana itu berat banget. Banyak cobaannya, tapi, satu hal yang gue pengen ucapin disini.. Gue selalu disini, untuk dia, apapun yang terjadi.”

Suasana cafe menjadi riuh menyuraki Hermione dan Theo. Hermione sendiri tersipu malu mendengar ucapan Theo. Lelaki itu sangat manis.

Musik pun mulai mengalun, membawa suasana cafe menjadi semakin syahdu.

“Baby, baby There will always be a space for you and me Right where you left it And just maybe Enough time will pass We'll look back and laugh Just don't forget it.”

Mata Theo dan mata Hermione bertemu, bibir mereka sama sama melengkungkan senyuman yang indah.

“And maybe I'm wrong For writing this song Losing my head over you.”

“And I'll be here 'Cause we both know how it goes I don't want things to change I pray they stay the same always And I don't care If you're with somebody else I'll give you time and space Just know I'm not a phase I'm always, ways, ways Always, ways, ways I'm always, ways, ways.”

“I love you, Mi..”

Theo menatap mata hazel itu dengan hangat, memastikan bahwa wanita yang ada di hadapannya ini tersenyum bahagia. Memastikan bahwa apa yang mereka lakukan saat ini, tidak akan menjadi sia-sia.

Theo hanya ingin Hermione tau, bahwa bersamanya, Hermione pasti akan sembuh.

Sama seperti Theo, bersama Hermione, semua luka yang ada, pasti akan menghilang dan sembuh sendirinya.


© urhufflegurl_

Tentang Hermione.

***

“Lagi nungguin siapa sih? Liatin jendela mulu daritadi perasaan.”

“Ih kakak! Kaget tau.”

Hermione anak kedua dari 2 bersaudara, dia punya kakak lelaki, namanya Cedric, biasa dipanggil Kak Ced oleh Hermione. Beda 4 tahun, cukup dekat, makanya sering bertengkar dan Hermione selalu menjadi korban kejahilan Cedric.

“Nunggu siapa? Ada yang mau dateng?”

Hermione mengangguk, “Theo.”

“Theo si anak band yang kamu ceritain itu?”

“Iya, dia mau kesini, nganterin boba.”

“Boba? Murah amat ngapelinnya cuman beliin boba. Mana udah malem lagi.”

“Ih! Sana ah! Kakak ganggu aja.”

Cedric tertawa kecil, “Gimana Astoria?”

“Besok katanya dia ada cek lab, kalau hasilnya bagus, lusa boleh pulang.”

“Bagus deh, kasian juga dia kalau lama lama di rumah sakit. Kalau Draco?”

“Kak, Hermione mau lupain Draco.”

“Emang harusnya gitu kan?”

Hermione mengangguk, ya, dia memang harus melupakan Draco. Dia tidak boleh melalukan kesalahan yang sama lagi.

Tak lama kemudian, terdengar suara motor dari luar. Hermione pun segera mengeratkan cardigan miliknya dan keluar menghampiri Theo.

“Hai The.”

Theo yang baru saja membuka helm itu terkejut karena Hermione sudah ada didepan pintu, padahal Theo belum mengetuk pintu.

“Hai.”

Theo turun dari motor, dengan keresek berwarna bening. Theo benar membelikan satu minuman dengan topping boba.

“Udah pada tidur?” Tanya Theo.

“Kak Cedric belum.”

“Salamin ya buat kak Cedric. Ehiya, ini boba nya. Gak terlalu dingin, takutnya lo sakit kalau dingin dingin.”

“Makasih, lo mau masuk dulu?”

“Gak usah, gue langsung aja. Kasian juga Thania nunggu boba dirumah.”

Hermione mengangguk, “Yaudah.. Hati-hati The.”

“Besok kuliah Mi?”

“Kuliah, kenapa?”

“Besok gue ada manggung di cafe, mau dateng gak?”

“Mau! Mau banget. Cafe mana? Jam berapa?”

Theo tertawa sendiri melihat excitednya Hermione. Dia senang dengan reaksi yang Hermione berikan kepadanya.

“Cafe deket kampus gue, nanti gue jemput. Jam 7 malem mulainya.”

“Gue selesai kuliah jam 4.”

“Gue jemput jam 5 gak masalah kan?”

Hermione menggelengkan kepalanya, “Enggak.”

Theo menaikkan kedua alisnya, “Yaudah, gue balik ya Mi.”

“Hati-hati The, makasih ya boba nya.”

“Sama-sama, bye.”

“Bye The.”

Setelah memastikan Theo pergi, Hermione masuk ke dalam rumahnya.

“Ciee, besok mau pergi nih kakak denger?”

“Cuman liat dia ngeband di cafe. Eh mau gak kak? Enak tau, matcha.”

“Gak enak, kayak rumput, mending taro.”

“Aneh banget, taro justru yang gak enak!”

“Jadi udah mutusin nih mau yang mana?”

“Apanya?”

“Tuh, Theo.”

“Apaan sih kak, udah deh. Jangan mulai.”

“Jangan labil, Mi. Kasian Theo.”

“Enggak kak, aku mau lupain Draco.”

“Yaudah bagus.”

Hermione pergi ke kamarnya untuk menikmati boba pemberian dari Theo sendirian. Disana, dia kembali tersenyum dengan sikap manis dan hangat yang Theo berikan. Pertemuan malam ini, walaupun hanya sebentar, namun sangat membuatnya senang.

Ya, Hermione sudah memutuskan apa yang akan dia lakukan.

Sama seperti Theo yang tidak ingin kehilangan Hermione, Hermione juga tidak ingin kehilangan Theo.

Theo adalah apa yang Hermione inginkan sekarang.


© urhufflegurl_

Maaf, Tori.

***

Astoria tidak ada diruangan ICU, kata suster disana, Astoria sudah dipindahkan ke ruang rawat VIP dilantai 4. Jadi Hermione segera melangkahkan kakinya kesana.

Hermione masuk ke dalam ruangan VIP itu, ada Theo yang sedang membantu Astoria untuk duduk.

“Mi?”

“Tori..”

Kedatangan Hermione benar benar membuat Theo terkejut.

Mengabaikan Theo disana, Hermione segera memeluk Astoria.

“Maaf Tor, maaf... Gue seneng banget lo udah sadar, Tori.. Gue seneng banget..”

Astoria perlahan melepaskan pelukan Hermione, lalu menatap ke arah Theo.

“Udah ada Hermione, The. Lo pulang ya?”

“Gue jaga lo disini, Tor.”

“Tapi mata lo udah capek banget. Lo harus istirahat dirumah, bentar lagi juga Daphne kesini, jadi ada dia yang jaga gue disini, The. Lo pulang ya? Ada Hermione juga, gue aman The.”

“Bener?”

“Gue harus ngomong sama Hermione, The.”

“Lo baru sadar, Astoria.”

“Gue baik-baik aja, Theodore.”

Theo terdiam sejenak, melirik Hermione, lalu melirik Astoria kembali memastikan bahwa perempuan itu benar baik-baik saja.

“Yaudah.. Gue tunggu diluar sampe Daphne dateng, baru gue bisa tinggalin lo.”

“Makasih The..”

Setelah Theo keluar dari ruangan Astoria, Hermione duduk disamping Astoria.

“Gimana keadaan lo? Udah enakan?”

Astoria mengangguk, “Lebih sakit dari terakhir gue kambuh, Mi.”

“Maaf Tor..”

“Kenapa Mi? Kenapa lo ngelakuin itu?”

“Gue salah, Tor. Gue minta maaf..”

“Draco seganteng itu ya sampe sampe bisa bikin lo jatuh cinta sama dia?”

Hermione meneteskan air matanya ketika melihat Astoria tersenyum. Hermione sangat jahat. Dia tau itu.

“Tor..”

“Gue yang harusnya minta maaf Mi. Maaf karena selama lo di Amerika, gue selalu minta pap Draco. Aduh gue malu banget, gue minta pap Draco ke ceweknya. Gue minta maaf Mi.”

Hermione menggelengkan kepalanya, “Lo sama sekali gak salah Tori, lo gak berhak minta maaf.”

“Gue maafin lo, Mi. Gue sadar kok, yang namanya perasaan itu gak bisa dipaksa. Gue juga gak pernah maksa Draco suka sama gue kan? Gue jatuh cinta sama Draco itu gak ngarepin apa-apa. Dibales ya syukur, gak dibales juga gak masalah, gue gak bisa dan gue gak mau maksa.”

Astoria menggenggam tangan Hermione, “Sama kayak perasaan lo. Gue gak bisa maksa lo gak boleh suka sama Draco, karena gue suka sama dia. Perasaan gak sekonyol itu, Mi. Jangan karena lo sahabat gue, lo jadi merasa gak berhak punya perasaan itu. Semua orang berhak atas perasaan yang dia punya, termasuk lo.”

“Sekarang, gue mau move on dari Draco. Gue sadar, selama ini, emang bukan gue yang—”

“Jangan. Lo jangan move on, Tor. Jangan.”

“Kenapa? Kan, bukan gue yang dia mau, Mi.”

“Draco jatuh cinta sama lo, Tor. Draco sayang sama lo, dia bilang sendiri didepan gue, Daphne, dan Theo. Dia jatuh cinta sama lo.”

“Maksud lo?”

“Lo berhasil bikin dia jatuh cinta, Tori. Lo berhasil.”

“Terus, lo gimana Mi?”

“Gue udah gak ada perasaan apapun ke Draco, Tori. Sama sekali.”

“Jangan bohong, Mi. Jangan lagi.”

“Gue gak mau kehilangan lo, Tor. Draco mau lo. Lo yang dia mau, kalian berhak atas perasaan yang kalian punya. Lo sendiri kan yang bilang, perasaan gak bisa dipaksa? Kalau emang lo yang Draco mau, sejauh apapun lo menghindar, sebesar apapun lo denial, lo gak akan bisa lepas dari dia, Tor.”

“Gue gak mungkin bisa sama Draco diatas penderitaan lo, Mi.”

“Gue gak menderita, Astoria. Sama sekali enggak. Dengan liat lo sembuh aja gue udah seneng.”

“Jangan, Mi. Jangan lagi korbanin perasaan lo karena gue sakit. Gue gak butuh belas kasian dari lo.”

“Gue enggak, Tor. Gak pernah mikir kayak gitu.”

Astoria terdiam sejenak, dia belum tau harus melakukan apa, selain sembuh dari sakitnya dan keluar dari rumah sakit ini. Untuk urusan Draco, Astoria sama sekali tidak tau harus berbuat apa.

“Tor?”

“Gue mau sembuh dulu, Mi. Gue gak mau mikirin Draco dulu.”

“Yaudah.. Kalau lo mau sembuh.. Kenapa lo berhenti minum obat?”

Astoria menunduk, “Gue capek.”

“Capek?”

“Capek minum obat. Capek dikit, sesek. Nangis dikit, sesek. Setiap hari harus minum obat, gue capek Mi.”

Hermione duduk diatas ranjang, memeluk Astoria.

“Jangan capek Tor. Gue butuh lo disini, Daphne, Draco, Theo, kita semua sayang sama lo. Kita gak mau kehilangan lo.”

“Tapi gue capek, Mi. Gue mau nyerah.”

“No, lo jangan nyerah. Lo bisa sembuh, Tori. Bisa.”

Astoria menghapus air matanya. Ditengah obrolan mereka, Astoria mendengar kerusuhan dari luar.

“Itu apa Mi? Kenapa rusuh? Theo ya?”

“Biar gue liat.”

Saat Hermione hendak membuka pintu kamar, Draco tiba-tiba masuk ke dalam dan bertatapn dengan Astoria.

Tanpa aba-aba, Draco memeluk wanita itu dengan erat. Rasanya sangat lega dapat kembali melihat Astoria kembali, tanpa kabel yang begitu banyak menempel di badannya.

Draco tidak sanggup melihat Astoria terus tertidur lelap tak berdaya. Draco tidak bisa.

“Hei, gimana keadaan lo? Ada yang sakit gak? Kenapa gak pernah cerita kalau lo sakit? Kenapa gak bilang? Tori, gue khawatir banget sama lo, gue takut, Tor. Gue takut kehilangan lo.”

Astoria kembali meneteskan air matanya, dan Draco kembali memeluknya.

Hermione yang mengerti akan keadaan itu, perlahan keluar dari ruangan dan menutup pintu kamar Astoria rapat-rapat.

“Untuk apa gue cerita Drake? Gue gak sepenting itu kan buat lo sampe-sampe gue harus cerita hal ini ke lo?”

“Lo penting, Tori. Lo penting banget buat gue. Gue sayang sama lo, Tor. Gue sayang sama lo.”

“Gue minta maaf, Tori.. Gue tau gue jahat, gue minta maaf. Lo boleh pukul gue, lo boleh tampar gue, atau lo boleh maki maki gue. Ayo Tor, ayo, gue—”

Plak!

“Lo jahat. Kenapa harus gue? Kenapa harus gue yang lo jadiin bahan mainan? Kenapa harus gue?! Lo jahat!”

Astoria memukul dada Draco dengan terus menangis kencang.

“Lo jahat, Draco. Lo jahat.”

“Tor..”

“Gue cinta sama lo, gue sayang sama lo, tapi lo jahat. Lo bikin Hermione jatuh cinta sama lo, lo juga jatuh cinta sama dia. Gue harus percaya siapa sekarang Drake? Lo jahat.”

Draco memeluk Astoria berharap bahwa pelukannya dapat menenangkannya.

“Lo jahat, Draco.”

“Gue tau, Tori.. Gue jahat, gue minta maaf.”

Setelah memastikan Astoria sedikit tenang, Draco mengambilkan air putih untuknya.

“Gue minta maaf, Tori.”

“Kita harus ngejauh dulu, Drake. Gue butuh waktu buat nerima semuanya.”

“Kenapa? Tor—”

“Gue mau sembuh dulu, Draco. Gue juga gak mungkin bareng sama lo sementara Hermione masih punya perasaan ke lo. Gue gak mau bahagia diatas penderitaan Hermione, gue gak mau, Drake.”

“Tapi Tor—”

“Gue mau lo ngejauh dari gue, Draco.”

Draco tau Astoria akan meminta ini. Tapi Draco belum siap.

“Kasih gue kesempatan kedua, gue mohon, Tor..”

“Akan gue kasih, tapi gak sekarang, Drake. Gue harus sembuh dulu.”

“Sama gue, lo gak sembuh?”

“Bukan gitu, gue—”

“Yaudah, gapapa.. Kalau emang itu yang lo mau, gue akan menjauh dari lo. Gue gak akan muncul dihadapan lo.”

Astoria terdiam.

“Diminum obatnya, Tor. Jangan gak minum obat. Gue seneng jadi alasan lo bertahan selama ini.”

“Lo akan selalu jadi alasan gue bertahan, Draco.”

Draco memegang kedua pipi Astoria, dan mengusap lembut kepalanya.

“Maaf, Tor..”

“Gue maafin lo, Drake.”

“Makasih, Astoria.”


© urhufflegurl_

Cafe.

***

Theo melipat kedua tangannya setelah meletakkan kopinya diatas meja. Kedua matanya menatap tajam lelaki yang ada didepannya.

“Kenapa?”

“Sorry. Gue minta maaf atas semua kekacauan yang gue buat.”

“Bukan gue korbannya.”

“Lo juga korban, The. Gue minta maaf.”

“Percuma juga kan lo minta maaf ke gue? Yang bakal gue dapet apa? Hermione yang masih punya perasaan ke lo?”

“The..”

“Dari awal lo selalu menang, Drake. Gak Astoria, gak Hermione, semua suka sama lo seolah olah dunia cuman berpihak ke lo. Anjing.”

“Sorry The..”

“Lo maunya apa? Lo mau siapa sebenarnya?”

“Astoria. Gue mau Astoria.”

“Terus Hermione gimana?”

“Dia udah gak punya perasaan kan ke gue?”

“Lo yakin? Tau darimana dia udah gak punya perasaan ke lo?”

“Dia sendiri yang bilang, The.”

“Dan lo percaya gitu aja?”

Suasana semakin panas ketika Theo meninggikan nada bicaranya. Draco hanya bisa menghela napasnya, menyesali semua yang telah ia lakukan.

“Sekarang gimana Drake? Gue harus nyembuhin Hermione atas luka yang lo kasih?”

“Gue gak minta, The. Gue mau ngobrol disini, karena gue mau minta maaf sama lo.”

“Minta maaf karena apa?”

“Ya karena lo juga korban. Lo deketin Hermione, lo suka sama dia, tapi dia malah jadi bajingan karena gue. Gitu kan di mata lo sekarang?”

Kini Theo yang diam.

“Gue tau The. Kemarin lo samperin Hermione, lo peluk dia di taman. Gue tau apa yang ada dipikiran lo. Lo nganggap Hermione jahat, tapi di sisi lain, lo juga sayang sama dia. Iya kan?”

“Gue harus gimana The? Gue gak mungkin nyembuhin luka 2 orang sekaligus, sedangkan luka yang gue derita aja belum sembuh.”

“Ngomongin luka, emang lo punya luka apa hah?”

“Gue suka sama Astoria, udah lama. Semenjak gue tau dia suka sama gue, gue udah tertarik sama dia.”

“Anjing, terus kenapa lo gak kejar dari dulu?”

“Karena gue egois. Karena gue gak mau gue yang ngejar. Gue mau Tori yang ngejar gue. Gue tau gue bangsat, gue sialan, gue tau The. Tapi lebih sialan lagi, ketika perasaan gue ke Hermione muncul waktu kita sama sama di Amerika. Terbiasa bareng itu yang bikin gue jatuh cinta sama Hermione.”

“Dan terbiasa bareng juga yang bikin lo jatuh cinta sama Astoria?”

Draco terdiam.

“Lo mending intropeksi diri dulu deh, Drake. Lo sembuhin luka lo, sembuhin juga sakit jiwa lo. Abis itu lo terserah mau ngapain.”

Theo dan Draco kini sama sama diam, sama sama bergelut dengan pikiran mereka masing-masing.

“Lo bener sayang sama Astoria?”

Draco mengangguk.

“Lo fokus Astoria, gue fokus Hermione.”

“Maksud lo?”

“Gue udah kehilangan Astoria, gue gak rela kehilangan Hermione juga. Lo paham kan maksud gue apa?”

“Emang itu yang gue mau, The. Gue yakin lo bisa nyembuhin luka Hermione.”


© urhufflegurl_

Tentang Draco.

***

“Ada cewek suka sama lo tuh.”

“Siapa?”

“Astoria.”

“Astoria? Kembaran si Daphne? Bukannya Theo suka sama dia?”

“Yaa yang namanya perasaan gak tau, Drake. Tori nya suka sama lo.”

Saat Draco tau Astoria menyukai dirinya, mata Draco tidak bisa lepas dari wanita itu. Semua hal yang wanita itu lakukan rasanya sangat sayang untuk Draco lewatkan.

“Kembaran lo beneran suka sama gue?”

“Iya, kenapa?”

“Kok gak gerak kayak cewek cewek lain?”

“Heh bajingan! Tori itu gak sama kayak cewek cewek centil yang suka sama lo ya. Lagian gue juga gak mau dia jadi korban ke sekian lo. Gak ngasih gue.”

“Dih, tapi kan dia yang suka gue? Masa iya gue yang gerak?”

“Lo suka sama dia?”

“Enggak, sih.”

“Yaudah diem! Gak usah caper atau bikin dia punya harapan sama lo.”

Namun matanya tak bisa bohong, Astoria menarik perhatiannya.

Selama ini, Astoria memang tidak mengejar Draco seperti wanita lain yang menyukainya. Astoria bahkan tidak memperlihatkan perasaannya ketika dia berpapasan dengan Draco. Draco merasa ragu dengan pernyataan yang selama ini dia dengar, bahwa Astoria menyukainya.

Karena kesal Astoria tak ada pergerakan untuk mendekatinya, Draco sengaja bermain dengan wanita lain yang menyatakan perasaan kepadanya. Dia berpacaran berkali kali dengan berbagai wanita, sengaja untuk membuat Astoria cemburu. Namun tetap saja, wanita itu tidak ada pergerakan.

“Sialan. Katanya suka, tapi diem aja.”

Semenjak itu, Draco menjadi tidak peduli kepada Astoria. Andai saja Astoria mendekatinya, mungkin saat itu Draco akan menjadi miliknya. Namun wanita itu terlalu takut untuk mendekati Draco. Astoria takut akan merusak persahabatan Draco dan Daphne.

Saat di hari kelulusan SMA, Draco kembali melihat Astoria dengan gaunnya yang sangat cantik. Matanya tidak bisa lepas dari wanita itu. Namun sayang sekali, pasangan yang Astoria ajak untuk ke acara prom bukan Draco, melainkan lelaki lain, temannya. Draco semakin yakin, bahwa perasaan yang Astoria miliki itu hanya perasaan main semata, bukan betulan.

Tapi ketika mendengar pernyataan yang Hermione dan Daphne keluarkan, serta semua sifat hangat dan manis yang Astoria kasih, ternyata dia merasakan bahwa Astoria memang sangat tulus menyayanginya. Astoria benar-benar mencintainya.

Andai saat itu Draco tidak egois, andai Draco tidak menunggu Astoria yang bergerak, andai Draco yang melakukan pergerakan lebih dulu, mungkin semua tidak akan sekacau ini.

Apalagi ketika perasaannya kepada Hermione muncul saat dia harus bersama Hermione selama satu tahun di Amerika. Semua menjadi kacau.

“Dray?”

“Ma..”

“Kenapa kamu bengong disini? Udah malem ini Dray, belum tidur?”

Draco mengusap wajahnya kasar, lalu menghela napasnya.

“Papa udah cerita ke Mama. Bagaimana keadaan Astoria, Dray?”

Draco menatap sang Mama dengan sendu, pertahanannya kembali runtuh, air matanya kembali mengalir.

“Dray?”

“Dray ngelakuin kesalahan, Ma. Salah besar. Dray udah bikin Tori kecewa, Ma.”

“Maksud kamu? Apa karna kamu terlambat?”

Draco menggelengkan kepala, lalu mengangguk.

“Yang benar yang mana Dray?”

“Dua duanya, Ma.”

“Ceritakan, sayang.”

Draco menceritakan semuanya kepada sang Mama. Dimulai dari mengapa ia bisa jatuh cinta kepada Hermione, sehingga menjadikan Astoria permainan, lalu Astoria drop sampai koma hingga sekarang.

“Dray..”

“Dray salah, Ma. Harusnya Dray gak ngelakuin itu. Dray tau Hermione sahabat Astoria, tapi Dray jatuh cinta sama Hermione. Dray salah, Ma. Dray salah.”

“Kamu salah sayang, tapi semua orang melakukan kesalahan.”

“Tapi ini fatal, Ma.”

“Tapi semua orang yang melakukan kesalahan, itu berhak atas kesempatan kedua, untuk memperbaiki semuanya. Kamu sudah menyakiti banyak hati, sayang. Hermione, Astoria, Daphne, bahkan Theo juga kan tadi diceritamu?”

Draco mengangguk, “Harusnya Dray suruh Theo maju waktu itu, Ma. Astoria pasti gak akan sakit hati kalau dia sama Theo.”

“Perasaan itu gak bisa dipaksa. Theo memutuskan untuk melupakan Astoria karena yang ada dihati Astoria itu bukan dia. Dan hingga kapanpun Theo mengejar, jika bukan Theo yang dia mau, kamu gak bisa memaksa sayang. Nyatanya, hingga sekarang, kamu kan yang ada dihati Astoria?”

“Kalau saat itu, kamu nyuruh Theo maju, Theo pasti akan lebih sakit, nak. Karena dia berhadapan dengan wanita yang tidak mencintainya. Itu melelahkan, Dray.”

“Kamu tau apa yang harus kamu lakukan. Menebus semua kesalahan kamu, perbaiki satu satu, Dray. Coba bicara dengan Theo, pelan-pelan. Lalu, bicara dengan Hermione. Setelah itu, kamu buktikan kepada Astoria kalau kamu sayang sama dia, Dray.”

“Semua orang melakukan kesalahan, Dray.”

Ya, semua orang melakukan kesalahan, dan semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua.

Tapi, apakah Draco akan mendapatkannya? Apa Astoria sudi memberikan kesempatan kedua itu?


© urhufflegurl_

Kacau, Daph.

***

Setelah Hermione tenang, Theo kembali ke ruang ICU bersama Hermione. Disana, ada Draco yang berdiri menatap lurus ke Astoria yang sedang terbaring lemah dengan berbagai selang yang menempel di badannya.

Theo melihat mata Draco begitu sembab, tatapannya kosong dan Theo merasakan bagaimana sedihnya Draco saat itu.

Tanpa permisi, Theo langsung pergi dari sana. Hermione hendak menyusulnya, namun Theo menghalangi, jadi Hermione kembali duduk dan menundukkan kepalanya.

Selama di perjalanan, pikiran Theo tak karuan. Banyak sekali pertanyaan yang ingin Theo tanyakan, namun dia sama sekali tidak tau kepada siapa pertanyaan itu ditujukan. Kepada semesta? Takdir? Atau dirinya sendiri?

Theo harusnya jangan memeluk Hermione. Theo seharusnya membiarkan Hermione menangis sendirian di taman. Namun Theo tidak sanggup, Theo tidak bisa melihat Hermione sedih karena lelaki sialan itu.

Terkadang Theo berpikir, apakah Ia benar-benar kalah dari Draco Malfoy? Apakah Ia akan selalu kalah dari lelaki itu? Mengapa dua orang yang ia sayangi disakiti oleh lelaki yang sama? Mengapa dua orang yang ia cintai ternyata sama-sama mencintai lelaki yang sama. Apa Theo benar-benar kalah?

Sesampainya di bandara, Ia segera menghampiri Daphne.

Disana, Theo menangis, ia mengeluarkan semua yang ia pendam selama ini. Dia berlari saat Daphne berdiri di hadapannya. Dia memeluk Daphne dengan erat dan menumpahkan semua tangisannya seolah Daphne lah tempat yang nyaman dan aman untuk Theo mengeluarkan semua yang ia rasakan.

“It's okey, The.. Lo boleh nangis. I'm here.” Bisik Daphne.


Theo sudah menceritakan semuanya kepada Daphne. Dan Daphne sekarang marah besar. Marah kepada dua orang yang telah menyakiti kembarannya, adiknya, orang yang dia sayang hingga koma, terbaring lemah di rumah sakit.

Selama diperjalanan, Theo terus memegang tangan Daphne. Theo tau wanita itu sedang emosi berat, jadi Theo berusaha menenangkannya.

“Semuanya kacau Daph. Tapi jangan bikin semua makin kacau ya?” Tanya Theo sebelum mereka pergi ke ruangan ICU.

“Gue gak janji.”

Daphne segera pergi ke ruangan ICU, disusul oleh Theo.

Sesampainya disana, Daphne melihat Hermione dan Draco, masih dengan posisi yang sama saat Theo meninggalkan mereka.

“Daphne?” Tanya Hermione berdiri, membuat Draco menengok ke arahnya.

Tanpa basa basi, tangan Daphne melayang menampar Hermione.

“Astoria gak tega nampar lo kan? Astoria pasti gak nampar lo kan? Itu tamparan yang pengen Astoria kasih buat lo. Biar gue yang wakilin.”

Hermione yang masih memegang pipinya karena perih pun menoleh, dia ingin sekali menangis namun rasanya air matanya sudah kering.

“Lo tau gak sih kalau lo itu jahat Mi?! Lo bahkan lebih jahat daripada cowok brengsek ini!” Teriak Daphne menunjuk Draco.

“Disini itu yang bikin Astoria sampe koma itu lo! Bahkan gue aja gak tau semua cerita Astoria. Lo lebih tau karena dia lebih deket sama lo, Mi. Lo lebih tau. Tapi kenapa lo jahat sama dia? Kenapa lo pacaran sama cowok yang selama ini dia suka? Kenapa sih Mi? Emang gak ada cowok lain?”

Hermione menggelengkan kepalanya, “Maaf Daph.”

“Semua salah gue, bukan Hermione.”

“Ya emang lo juga salah disini, bangsat.” Daphne memukul dada Draco hingga lelaki itu termundur ke belakang.

“Kalian berdua itu sama aja. Kalian sama sama brengsek. Astoria gak berhak dapetin semua rasa sakit ini.”

“Sorry, Daph. Gue gak—”

“Lo diem. Dari awal, gue udah tau kalau lo emang cuman mainin Tori. Gue tau, bahkan dia juga tau. Dia udah siap sama semua rasa kecewa yang akan lo kasih ke dia. Lo harus tau seseneng apa dia deket sama lo, Draco. Lo harus tau kalau selama ini, lo adalah alasan dia bertahan! Bajingan emang, tapi ini kenyataan. Bahkan gue, Hermione, bahkan kedua orang tua kita aja gak ada di list orang yang bisa bikin dia bertahan sejauh ini. Cuman lo! Cuman lo, anjing!”

Daphne kembali memukul Draco, namun Theo menahannya.

Daphne memeluk Theo dengan tangisannya yang pecah.

“Udah, Daph..” Bisik Theo.

“Mereka jahat, The. Mereka jahat. Astoria itu orang yang baik, mereka jahat.”

“Gue tau, Daph. Semuanya emang kacau, tapi udah terlanjur. Kita berdoa aja semoga Tori baik baik aja dan cepet sadar ya?”

“Bahkan gue yakin, setelah Astoria sadar. Dia pasti maafin mereka berdua.”

Theo mengusap lembut kepala Daphne dan memeluknya dengan erat.

Setelah dirasa lebih tenang, Daphne menghapus air matanya, dia melepaskan pelukan Theo.

“Kalian mending ngejauh dari Astoria.”

“Gak bisa, Daph. Gue gak bisa jauh dari Tori, gue—”

“Dengerin gue dulu, Draco. Tapi ini semua demi kesehatan Tori. Setelah ini, setelah dia bangun, dia harus pulih dulu. Dan di masa pulih dia, gue mau kalian gak muncul di hadapan dia. Ini semua demi kebaikan dia, Drake.”

“Gue gak bisa Daph..”

“Kenapa gak bisa? Bukannya harusnya lo seneng kan karna kelakuan busuk lo udah ketauan?”

“Gue jatuh cinta sama Astoria, Daph. Gue sayang dia, gue cinta dia. Gue gak mau kehilangan dia, gue mau dia sembuh, gue mau nebus semua kesalahan gue dengan selalu ada di sisi dia, Daph. Gue mohon.”

Daphne terdiam kaku mendengar pengakuan yang keluar dari mulut Draco. Dia mengepalkan tangannya, lalu tertawa kecil.

“Lo kalah? Tori menang nih?”

“Daph—”

“Anjing. Tapi sorry, adek gue gak butuh rasa kasian dari lo. Dia bisa sembuh tanpa bantuan lo.”

“Gue gak kasian, Daphne..”

“Terus kenapa Drake? Gue kenal sama lo, lo itu sering mainin cewek. Lo gampang bilang sayang ke cewek, terus lo sakitin cewek itu. Gue kenal lo.”

Draco menggelengkan kepalanya. Memang selama ini dia selalu bermain-main dengan wanita yang mencintainya, namun dengan Astoria, Draco tidak ingin menyakiti perempuan itu lagi, Draco tidak ingin kehilangannya.

“Gue sayang Tori, Daph. Gue mohon, jangan larang gue untuk deket sama dia, gue mohon.”

Daphne menatap mata Draco, berusaha melihat letak kebohongan dari sorotan itu, namun sial, Daphne tidak dapat menemukannya.

“Bokap gue punya kenalan dokter di rumah sakit luar negeri, kita bisa donor jantung disana. Kita cari pendonor buat Tori, gue yakin Tori pasti sembuh, Daph.”

“Tori gak mau donor jantung.”

“Peran lo disini sebagai kembarannya, harus ngeyakinin dia Daph, gue yakin lo pasti bisa yakinin dia. Plis Daph.”

“Lo sesayang itu sama Tori?”

Draco mengangguk dengan segera, “Gue sayang Tori, Daph.”

“Buktiin. Kalau dia minta lo ngejauh, lo harus ngejauh.”

“Oke. Gue buktiin sama lo.”


© urhufflegurl_

Tentang Theodore.

***

“Eh itu siapa namanya?

“yang mana? Kanan atau kiri?”

“Yang kanan.”

“Gak tau, gak jelas mukanya. Coba lo senggol aja, terus pura-pura liat name tag nya.”

“Ciee mau deketin cewek ya The?”

Theo tersipu malu saat itu. Dia benar benar melakukan ide gila dari perempuan berambut pendek bernama Pansy itu. Siangnya, saat jam istirahat, Theo pura-pura menabrak murid yang dimaksud oleh Theo, dan melihat namanya.”

“Kok nama belakangnya sama kayak lo Daph?”

“Siapa namanya?”

“Astoria Greengrass.”

“Itu cewek yang lo taksir? Itu kembaran gue anjir The!”

“Loh, tapi gak mirip? Eh, mirip deh di bibir sama mata.”

“Kita gak kembar identik, makanya gak mirip. Lo suka kembaran gue? Aaaa gue setuju deh! Semangat The!”

Ya, Theo menyukai Astoria saat Theo pertama kali melihat Astoria, dengan rambutnya yang di ikat di sekolah. Saat itu, mereka masih kelas satu, mungkin masih sekitar satu bulan bersekolah.”

Theo tidak mendekati Astoria secara terang-terangan, lelaki itu mencintai Astoria dalam diam.

“Lo kenapa sih suka sama kembaran gue? Emang apa yang lo suka dari dia?”

“Rambutnya, Daph. Rambut dia bagus banget, tebel gitu. Dia orangnya rapi ya?”

Daphne mengangguk, “Shampoo dia emang banyak banget, gue aja gak ngerti apa aja. Terus selain rambut?”

“Mata dia juga cantik, apalagi senyumnya. Bagus banget, cantik. Gue suka waktu liat dia olahraga di sekolah, cantik banget.”

“Semoga jodoh deh.”

“Aamiin hahahaha.”

Semua berjalan dengan lancar, awalnya Theo terus memendam perasaannya dalam diam. Namun, saat Theo akan bergerak, semua yang akan ia lakukan dipatahkan dengan—

“Kayaknya lo harus berhenti suka sama kembaran gue, The.”

“Kenapa Daph?”

“Astoria suka sama Draco.”

Semenjak itu, Theo mengubur dalam dalam perasaannya yang tak pernah tersampaikan itu, dan hanya tersisa rasa kagum, hingga sekarang.

Theodore Nott kalah dari Draco Malfoy saat itu. Walaupun Draco tidak mencintai Astoria balik, namun Astoria mencintai Draco. Dan Theo kalah telak jika Astoria telah memutuskan cinta nya.

Dan saat ini, Theo kembali kalah dari Draco. Wanita yang Ia sukai bahkan cintai juga menyukai Draco, bahkan sempat berpacaran dengan lelaki itu.

Apakah memang seperti ini? Dia akan selalu kalah dari Draco. Selalu Draco, dan Draco.

Theo berdiri disana, dia melihat dan mendengarkan semua yang dibicarakan oleh Hermione.

Hingga saat Draco meninggalkan Hermione sendiri di taman, Theo menghampiri Hermione.

Lelaki itu memberikan sapu tangan kepada Hermione.

“The?”

“Gue denger semua Mi.”

Hermione kembali menangis. “Gue kalah The. Gue kalah dari Astoria.”

“Ini bukan kompetisi. Lo gak kalah. Emang bukan buat lo aja. Draco bukan buat lo, dia buat Astoria. Harusnya lo seneng kan sahabat lo akhirnya bisa dicintai oleh lelaki yang dia sayang selama ini? Lo bisa kok perlahan lupain dia, Mi. Gue yakin.”

“The..”

Theo duduk di sebelah Hermione, dia menghapus air mata Hermione. Meskipun rasanya sakit, dia melakukannya. Dia harus berada di sisi Hermione.

Untuk kali ini, dia tidak ingin kalah dari siapapun lagi.

Theo memeluk Hermione dan mengusap lengannya dengan lembut. Dan Hermione, menangis di pelukan Theo.

“Gue harusnya seneng. Tapi kenapa sakit The?”

“Ada gue disini, Mi. Ada gue.”


© urhufflegurl_

Ya, gue kalah.

***

Setelah mendapatkan pesan itu dari Pansy, tanpa berpikir panjang, Draco segera mengambil kunci mobilnya dan bergegas pergi ke rumah sakit.

Sudah 3 hari Astoria tanpa kabar, bahkan Hermione selalu menghindarinya. Draco selalu menanyakan keadaan Astoria kepada Hermione, namun wanita itu terus menghindar dan tidak ingin menjawabnya.

Ternyata ini alasannya.

Draco tidak tau apa yang ia pikirkan. Apakah Astoria sakit? Atau kecelakaan saat itu? Mengapa wanita itu bisa berada diruangan ICU? Mengapa bukan diruang rawat biasa? Mengapa harus ICU?

Sesampainya di rumah sakit, Draco segera bergegas menuju ruang ICU. Draco cukup hapal denah rumah sakit ini, dia sering menemani sang Mama berobat. Namun Draco jarang sekali menginjak ke lantai dimana, ada ruangan ICU disana. Dan kini, dia harus menginjak lantai tersebut.

“Dimana Astoria? Kenapa dia bisa masuk ICU? Kenapa?”

Disana ada Theo dan Hermione yang saling diam, duduk agak jauhan dan menunduk, tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Mereka berdua ada disana bersamaan, namun, mereka saling menganggap tidak ada. Lebih tepatnya, Theo menganggap Hermione tidak ada disana.

Theo juga sama sakitnya. Dia mencintai Hermione karna dia pikir Hermione berbeda, namun ternyata sama.

“Ngapain lo kesini? Siapa yang ngasih tau lo Astoria ada disini?” Geram Theo berdiri, mengepalkan kedua tangannya dengan keras.

“Pansy. Dia gak sengaja liat lo disini, tapi dia gak berani nyapa lo. Dia ngasih tau gue kalau Astoria dirawat disini. Dia yang liat sendiri. Sekarang, Astoria dimana? Dia sakit apa? Dia kenapa?”

“Bangsat!”

Bug!

“THEO!”

Theo memukul wajah Draco membuat lelaki berambut pirang itu tersungkur. Draco menatap Theo dengan tatapannya yang sangat tajam, dia ingin sekali membalas pukulan Theo, namun Draco tau bahwa dia pantas mendapatkan semua ini.

“Bangun lo anjing!” Theo menarik kerah kemeja Draco untuk bangun.

Lalu dia kembali memukul Draco, sekarang tepat diperutnya membuat lelaki itu terbatuk.

“Theo stop!”

“Lo kan? Lo yang ngasih tau dia! Iya kan?!” Theo membentak Hermione.

Hermione terdiam, lalu menggelengkan kepalanya. “Enggak, gue gak kasih tau dia.”

“Kenapa? Lo mau ngebela dia? Lo mau bela cowok yang udah bikin Astoria drop sama kritis hah?!”

Hermione tidak tau bahwa ternyata marahnya Theo akan seseram ini. Meledaknya Theo akan menjadi hal yang sangat menakutkan baginya, bahkan membuatnya merinding.

“Bukan gitu The.. Ini rumah sakit, lo bisa diusir kalau bikin kekacauan disini.”

Theo kini menatap Draco yang masih tersungkur sambil memegang perutnya karena perih.

“Urus cowok lo. Bawa pergi dari sini.”

Theo kembali duduk, sementara Hermione mengajak Draco untuk keluar dari rumah sakit.

“Kita ke taman ya?”

“Tapi gue mau liat Astoria, Mi. Astoria gimana? Kenapa dia bisa kritis?”

Hermione menghapus air matanya, “Gue jelasin di taman oke?”


“Astoria sakit. Dia punya penyakit jantung, udah berkali-kali operasi tapi dia gak mau dapet pendonor jantung, dia gak mau.”

Draco tertegun mendengar pernyataan dari Hermione. Sakit? Jantung? Sebentar, rasanya semua ini terlalu mendadak untuk Draco. Dadanya seperti mendapatkan hantaman yang lebih besar dari pukulan yang Theo daratkan kepadanya.

“Sakit? Tapi selama ini gue liat Tori baik-baik aja, Mi.”

“Yang lo liat, bukan berarti itu kenyataannya Drake. Dia baik-baik aja karena deket lo. Lo itu cintanya dia, Drake. Lo cinta pertamanya. Dia sakit jantung dari kecil, sering operasi dari kecil, sampe akhirnya waktu SMA, dia ketemu sama lo. Gak tau kenapa tapi, sakitnya gak pernah kambuh. Dia jadi lebih sering minum obat. Lo tau alasannya apa?”

Draco terdiam, air mata mulai keluar dari matanya.

“Karena lo Drake. Karena dia mau hidup lebih lama, karena dia pengen liat lo terus. Dia rajin minum obat, dia rajin olahraga, atur pola hidup sehat, karena lo. Dia seneng banget liat lo di kelas, dia seneng banget liat lo di lapangan basket. Dia seneng banget liat lo di parkiran waktu lo mau pulang. Dia seneng banget liat lo, Drake.”

Hermione menutup wajahnya, dan menangis kencang disana. Hermione merasa bersalah. Dia yang tau semua hal tentang Astoria, bahkan alasan Astoria bertahan. Namun Hermione juga yang mengkhianatinya.

“Waktu SMA dia gak pernah kolaps, dia gak pernah ngeluh jantungnya sakit. Dia kolaps terakhir waktu kuliah semester awal, itu juga dia cuman gak sadar 2 jam, gak sampe 3 hari dan masuk ruang ICU kayak gini, Drake.”

Draco masih terdiam, dia masih memikirkan hukuman apa yang pantas untuknya karena telah berbuat jahat kepada Astoria.

“Kenapa lo gak pernah cerita Mi?”

“Karena Astoria yang minta. Cuman gue, Daphne dan Theo yang tau penyakit dia.”

“Theo?”

“Ya, Theo tau dari Daphne. Daphne percaya semua hal sama Theo, termasuk yang satu ini. Daphne percaya Theo bisa jaga rahasia ini.”

“Kehilangan Astoria, akan lebih menyakitkan dibanding lo kehilangan Hermione.”

Jadi itu maksud dari ucapan Theo? Jadi ini jawabannya?

“Ini yang gue takutin Drake. Astoria drop. Gue takut, gue takut banget sama hal itu. Gue selalu tahan buat ngomong ke Astoria karena gue mau nunggu moment yang pas, Drake. Gue mau Astoria sehat karena akhir-akhir ini dia sering ngeluh dadanya sakit lagi. Dia sering ngeluh akhir-akhir dia sering sesek nafas. Makanya gue mau tunggu dia agak sehat, karena ini.”

“Mi..”

“Astoria juga udah jarang minum obat sekarang. Dia jarang kontrol sampe dokternya marah kemarin. Gue gak tau Astoria kenapa, gue gak tau..”

“Lo gak tau Astoria jarang minum obat?”

Hermione menggelengkan kepalanya, “Gue gak tau, Drake.”

“Astoria bisa sembuh kan? Dia bisa sembuh kan?”

“Bisa, dengan donor jantung. Tapi Astoria gak mau.”

“Kenapa?”

“Karena dia gak tega, Drake. Dia gak tega, dia gak mau ngambil jantung punya orang.”

“Tapi dengan itu dia bisa sembuh.”

“Gue udah jelasin kedia semuanya, tapi dia kekeuh gak mau. Kata dia, kalau udah takdirnya dia meninggal, ya berarti emang itu jalannya.”

“Enggak, Astoria gak akan meninggal. Dia bakal baik-baik aja.” Draco berdiri dengan nafasnya yang terengah-engah. Rasa sakit akibat pukulan Theo seolah olah menghilang begitu saja.

“Gue juga mau nya gitu, Drake.”

“Astoria harus sembuh, dia harus sembuh. Dia gak boleh kenapa-napa. Gue yang akan jamin, dia bakal sembuh oke? Astoria harus sembuh. Gue gak bisa tanpa dia, Mi. Gue gak bisa kehilangan Astoria.”

Hermione menatap Draco, mengerutkan keningnya. Mengapa Draco berkata seperti itu? Apa lelaki itu masih menjalankan permainannya?

“Maksud lo? Stop Drake. Sampe sini permainan lo. Udah cukup semuanya, karena lo Astoria jadi gini. Karena kita.”

“Permainan? Gue kalah sama permainan yang gue buat sendiri, Mi. Gue jatuh cinta sama Astoria. Gue kalah.”

Hermione merasakan lidahnya kelu dan tubuhnya kaku ketika mendengarkan pernyataan dari Draco. Mencintai? Kalah? Draco mencintai Astoria?

Harusnya Hermione senang. Namun mengapa sangat sakit rasanya mendengar semua pernyataan itu? Mengapa?

“Gue jatuh cinta sama dia, Mi. Gue gak bisa kehilangan Astoria. Enggak, dia gak boleh kenapa-napa. Dia harus sembuh.”

Hermione masih terdiam.

“Ini kan yang lo mau? Gue jatuh cinta sama Astoria dan lo bisa ngejauh dari gue. Ini kan yang lo mau Mi? Ini kan yang lo maksud Astoria bakal menang di permainan ini? Ya, dia menang, dan gue kalah. Gue jatuh cinta sama Astoria, dan gue gak mau kehilangan dia. Apapun akan gue lalukan demi kesembuhan dia.”

Tanpa berkata apapun lagi, Draco pergi meninggalkan Hermione yang mulai menangis kencang disana.

“Tori, lo menang. Dia jatuh cinta sama lo, Tor. Draco jatuh cinta sama lo. Tapi kenapa rasanya sakit Tor? Gue harus ngalah, kan Tor? Gue harus egois ke diri gue sendiri dengan melepaskan Draco. Iya kan Tor?”


© urhufflegurl_