litaaps

“Dingin” Katanya.


“Hai guys, sorry telat.”

Astoria berdiri di belakang Draco dengan senyumnya yang manis dan gugup. Dia tidak begitu mengenal teman temannya Draco, dia hanya mengenal Blaise. Lelaki berkulit gelap, teman satu SMA nya.

“Hai, Tori.” Sapa Blaise.

“Hai, Blaise.”

“Ciee bawa siapa tuh?” Salah satu teman Draco menyenggol lengan Draco.

Draco merangkul Astoria dan sedikit menarik nya untuk maju, “kenalin, Astoria namanya.”

“Cantik, Drake.” Puji salah satu diantara mereka.

“Bisa aja lo. Tau aja cewek cantik yang mana.” Balas Draco diakhiri dengan tawanya.

“Lo tunggu disana gapapa?” Draco menunjuk kursi di pinggir lapangan.

Astoria hanya mengangguk dan berjalan menuju kursi yang ditunjuk oleh Draco. Namun, baru juga beberapa langkah, Draco memanggilnya kembali.

“Tori wait.”

“Ya?”

Draco melepas jaket miliknya dan memakaikannya di tubuh Astoria. Jangan tanyakan bagaimana perasaan Astoria sekarang.

“Pake. Dingin soalnya.”

Astoria hanya terdiam dengan jantungnya yang berdebar kencang.


© urhufflegurl_

Toko buku. . . Astoria senang buku, dia senang membaca buku, berkelana dengan pikirannya sendiri dan menghabiskan waktu seharian penuh dengan buku yang ia baca. Bukan hanya Astoria yang senang buku, tapi sang sahabat juga, Hermione Granger.

Astoria dan Hermione bagaikan dua sejoli yang tak bisa di pisahkan. Mereka cukup mirip, memiliki beberapa kesamaan seperti rambut panjang, mata yang indah dan senyum yang manis. Dan yang pasti, mereka sama sama senang buku.

Namun dibalik kesamaan yang ada, juga ada perbedaan yang sangat banyak.

“Tori?”

Astoria menoleh, mata indah miliknya menangkap satu titik yang membuat jantung nya berdebar kencang.

“Draco?”

“Lo sama siapa disini? Sendiri?”

Astoria tersenyum, “Sama Hermione, tapi dia lagi di bagian lain. Lo sendiri?”

Mendengar nama Hermione, Draco hanya ber-oh ria.

“Iya sendiri. Lagi cari novel action kebetulan. Lo lagi cari buku juga?”

Astoria mengangguk, pipinya memerah tanpa dapat ia tahan. “Sama cari kanvas buat ngelukis.”

Melukis. Selain membaca, Astoria sangat senang melukis.

“Tori udah? Yuk, gue ud—”

Draco dan Astoria sama sama menoleh ke arah suara yang tiba tiba muncul itu.

“Hai, Hermione.” Draco menyapa dengan senyumnya yang, aneh.

Hermione memutarkan kedua bola matanya malas, “Ayo balik Tor.”

“Ih bentar, kan lagi ngobrol sama Draco.”

Draco menyunggingkan bibirnya, “Ya, enjoy dong. Buru buru banget, mau kemana sih?”

“Sorry, gue dan sahabat gue gak ada waktu buat lo. Ayo Tor.” Hermione menarik tangan Astoria, memaksanya untuk berjalan dan menjauh dari Draco.

Sementara Draco, hanya berdiam di tempat melihat dua punggung itu menjauh dari nya.


“Draco balik dari Amerika makin ganteng ya? Pasti di Amerika lebih ganteng ya Mi?”

Hermione memutarkan kedua bola matanya malas, “Lebih mirip buaya sih lebih tepatnya.”

“Maksudnya?”

“Deket sama banyak cewek, Astoria. Udah deh kan gue udah bilang lo harus lupain Draco. Jangan deket deket sama dia, lo harus alergi sama cowok uler.”

“Lo kenapa sih? Setelah balik dari Amerika kayaknya lo benci banget sama Draco. Padahal sebelum itu kalian biasa biasa aja kan?”

Hermione terdiam sementara Astoria menatap Hermione penuh harap.

“Mi?”

“Gak penting. Ayo balik.”

Astoria hanya pasrah tangannya ditarik oleh Hermione untuk keluar dari toko buku.


© urhufflegurl_

. . Astoria senang buku, dia senang membaca buku, berkelana dengan pikirannya sendiri dan menghabiskan waktu seharian penuh dengan buku yang ia baca. Bukan hanya Astoria yang senang buku, tapi sang sahabat juga, Hermione Granger.

Astoria dan Hermione bagaikan dua sejoli yang tak bisa di pisahkan. Mereka cukup mirip, memiliki beberapa kesamaan seperti rambut panjang, mata yang indah dan senyum yang manis. Dan yang pasti, mereka sama sama senang buku.

Namun dibalik kesamaan yang ada, juga ada perbedaan yang sangat banyak.

“Tori?”

Astoria menoleh, mata indah miliknya menangkap satu titik yang membuat jantung nya berdebar kencang.

“Draco?”

“Lo sama siapa disini? Sendiri?”

Astoria tersenyum, “Sama Hermione, tapi dia lagi di bagian lain. Lo sendiri?”

Mendengar nama Hermione, Draco hanya ber-oh ria.

“Iya sendiri. Lagi cari novel action kebetulan. Lo lagi cari buku juga?”

Astoria mengangguk, pipinya memerah tanpa dapat ia tahan. “Sama cari kanvas buat ngelukis.”

Melukis. Selain membaca, Astoria sangat senang melukis.

“Tori udah? Yuk, gue ud—”

Draco dan Astoria sama sama menoleh ke arah suara yang tiba tiba muncul itu.

“Hai, Hermione.” Draco menyapa dengan senyumnya yang, aneh.

Hermione memutarkan kedua bola matanya malas, “Ayo balik Tor.”

“Ih bentar, kan lagi ngobrol sama Draco.”

Draco menyunggingkan bibirnya, “Ya, enjoy dong. Buru buru banget, mau kemana sih?”

“Sorry, gue dan sahabat gue gak ada waktu buat lo. Ayo Tor.” Hermione menarik tangan Astoria, memaksanya untuk berjalan dan menjauh dari Draco.

Sementara Draco, hanya berdiam di tempat melihat dua punggung itu menjauh dari nya.


“Draco balik dari Amerika makin ganteng ya? Pasti di Amerika lebih ganteng ya Mi?”

Hermione memutarkan kedua bola matanya malas, “Lebih mirip buaya sih lebih tepatnya.”

“Maksudnya?”

“Deket sama banyak cewek, Astoria. Udah deh kan gue udah bilang lo harus lupain Draco. Jangan deket deket sama dia, lo harus alergi sama cowok uler.”

“Lo kenapa sih? Setelah balik dari Amerika kayaknya lo benci banget sama Draco. Padahal sebelum itu kalian biasa biasa aja kan?”

Hermione terdiam sementara Astoria menatap Hermione penuh harap.

“Mi?”

“Gak penting. Ayo balik.”

Astoria hanya pasrah tangannya ditarik oleh Hermione untuk keluar dari toko buku.


© urhufflegurl_

Penjelasan.

***

Draco sedang mengobrol dengan 2 temannya saat Hermione sampai di lapangan basket. Jarak lapangan basket tidak terlalu jauh dari kelasnya, hanya terhalang oleh kantin dan ruang guru.

Hermione tersenyum gugup saat melihat Draco dengan setelan basketnya. Draco sangat tampan dan cocok dengan pakaian tersebut.

“Hai, Drake.”

“Hai, ngobrolnya disana aja yuk. Disini berisik banyak yang latihan.”

“Oke..”

Draco mengajak Hermione ke luar lapangan yang sedikit lebih senyap dibandingkan di dalam lapangan.

“Jadi?”

“bener bener to the point banget.”

“Emm.. Drake, gue minta maaf banget, kemarin itu gue denger kabar kalau Bunda masuk rumah sakit. Ada sedikit masalah di keluarganya Theo, dan Bunda pingsan. Theo yang—”

“Bunda? Bundanya Theo?”

Hermione mengangguk.

“Terus sekarang gimana keadaannya?”

“Baik, Bunda baik Drake. Besok udah boleh pulang.”

“Syukurlah. Terus gimana lagi? Penjelasan lo?”

Hermione menatap Draco dengan seksama. Di wajah lelaku itu tidak menyiratkan sedikitpun rasa cemburu atau marah. Apakah Draco memang seperti ini? Dan satu hal, Draco malah menyuruhnya menjelaskan semuanya. Tidak seperti Theo dulu yang menyangkal dan langsung menyimpulkan sendiri.

“Drake, kemarin itu Theo kacau banget. Theo sayang banget sama Bunda, dan karena Bunda dia sekacau ini. Kemarin dia ngerokok dan berantem sama beberapa siswa di warung belakang sekolah, lo tau kan soal itu?”

“Tau, barusan banget Blaise denger kabarnya. Jadi karena itu Theo berantem sama anak sekolah?”

Hermione mengangguk, “Iya Drake, gue kenal Theo, gue kenal Bunda. Gue sayang banget sama Bunda, gue juga takut banget Bunda kenapa-kenapa makanya gue gak mikir berkali kali, gue langsung pergi sama Theo ke—”

Draco mengerutkan keningnya ketika Hermione menghentikan omongannya. “Kenapa berhenti?”

“Lo denger penjelasan gue?”

“Denger, kan emang lo harus jelasin ke gue biar gue gak salah paham.”

“Lo gak mau nyela atau menyimpulkan sendiri gitu? Kemarin gue jalan sama Theo?”

“Asal yang lo bilang jujur, buat apa gue menyela dan menyimpulkan sendiri Hermione?”

Hermione tersenyum.

“Ayo lanjut.”

“Oke..”

Hermione menjelaskan semua kejadian di hari kemarin, sampai meminta maaf berkali kali atas kesalahannya yang telah membuat Mama Draco kecewa.

Dan dengan seksama, Draco mendengarkan semuanya.


© urhufflegurl_

Theo dan rasa trauma.

***

“The, Bunda gak apa-apa, percaya sama gue.”

Theo mengadahkan kepalanya tanpa menoleh sedikitpun ke arah Hermione.

Hermione hanya bisa menghela napasnya dengan tangan terus mengusap pundak Theo berharap lelaki itu akan segera tenang.

“Kamu tau kan aku takut banget kehilangan Bunda? Cuman Bunda satu satunya di hidup aku, Mi. Cuman Bunda.”

“Gue tau The. Kata dokter kan tadi Bunda gak apa-apa. Jadi lo tenang aja.”

“Kenapa harus ada Ayah sih Mi? Kenapa Ayah harus kayak gitu? Kenapa harus sekasar ini sama Bunda sampe Bunda sakit? Kenapa Mi?”

Lelaki berambut coklat itu kembali meneteskan air matanya ketika ingatan tentang Bunda yang terkapar lemas di lantai kembali. Hermione yang melihatnya merasa sangat sedih dan juga takut.

Hermione sangat mengenal Bunda. Bunda yang sempurna, Bunda yang baik dan selalu hangat. Bunda yang selalu ceria dan mencairkan segala suasana. Hermione sangat terkejut saat Theo menceritakan bahwa Bunda dan Ayah bertengkar hebat hingga Ayah memukul Bunda, dan Bunda jatuh pingsan.

Itu yang membuat Theo sangat hancur seharian ini, bahkan dari kemarin. Hingga lelaki itu berani kembali menyalakan rokoknya.

“Kamu disini kan Mi?” Tanya Theo menatap Hermione.

Hermione mengangguk, “Gue disini The. Gue tau, melawan rasa sakit dan trauma itu emang susah, tapi gue yakin lo bisa The.”

Theo tersenyum, “Thanks Mi. Btw, lo gak ada acara sore ini?”

Hermione menggelengkan kepalanya ragu, “hari ini hari apa deh?”

“Rabu.”

Mata Hermione membulat sempurna, mengingat bahwa seharusnya sore ini dia bukan disini, dirumah sakit bersama Theo. Melainkan disana, bersama Draco dan sang Mama yang sudah menyiapkan semuanya.

“Kenapa Mi?”

“Gue lupa ada janji sama Draco. Shit. Bentar The.”

Theo hanya mengangguk dan memperhatikan Hermione dari jauh. Lelaki itu sangat menyesal berpisah dengan Hermione, andai waktu bisa diulang, dia tidak akan pernah melakukan hal bodoh sehingga dirinya bisa kehilangan Hermione. Tidak akan.


© urhufflegurl_

Gak berhak lagi.


Draco menghampiri Hermione yang sedang dengan urusannya. Entahlah apa urusan yang dimaksud Hermione, Draco tidak mengerti. Apakah urusan mengobrol dengan lelaki jangkung jelek ini? Berduaan di tempat yang ramai? Ditengah tengah keramaian sehingga semua orang berhak menilai bahwa mereka adalah pasangan yang romantis?

Cih, rasanya Draco sangat ingin memisahkan jarak duduk mereka yang menurut Draco cukup dekat.

“Mi.”

Hermione yang sedang berbicara spontan terdiam dan menoleh ke arah belakang.

“Kak, gue duluan ya? Udah di jemput nih.”

Kak? Kakak tingkat? Oh, Draco paham.. pasti kakak tingkat ini adalah modelan kakak tingkat yang modus sama adek tingkat nya. Yang pura pura mau ngasih tau soal tugas, ujian, atau himpunan dengan niat ingin mendekati. Alah, basi.

“Cowok lo?”

Kesan pertama, to the point. Draco menilai lelaki ini sangat to the point. Setidaknya tanya siapa? Temen? Langsung cowok. Oh atau jangan jangan, ah iya Draco paham, memang sih, untuk Hermione, hanya Draco lah yang pantas di sebut cowok lo.

“B—bukan, temen.”

Draco mengangkat alisnya. Yang asalnya ingin menyombongkan diri, kini menciut bagaikan kucing kedinginan.

“Temen SMA, gue ada urusan sama dia.. Jadi, pembicaraan hari ini bisa dilanjut besok kan kak?”

Lelaki itu tersenyum menyeringai, entahlah yang pasti Draco sangat membenci seringai itu. Serasa ingin menonjoknya.

“Oh iya, lanjut besok aja. Besok gue selesai kelas jam 2, lanjut asistensi sampe sekitar jam 5.”

Asisten dosen rupanya. Oke.. Setidaknya lelaki ini tidak lebih kaya dari Draco. Lagipula siapa yang berani bersanding kekayaan dengan Draco? Tidak ada.

“Oke kak, jadi jam 5 ya?”

Lelaki itu hanya mengangguk dan tersenyum, “Gue pamit ya Hermione. Hati-hati, kabarin kalau udah sampe.”

Kabarin? Dia pikir dia siapa sampai Hermione harus memberinya kabar?

Setelah lelaki itu pergi, Draco jalan lebih dulu ke mobil meninggalkan Hermione yang menatapnya penuh kebingungan.

Draco bahkan tidak dikenalkan kepada lelaki itu. Draco sebel, Draco kesal kepada Hermione.

“Drake?” Panggil Hermione.

Draco tidak menoleh, dia langsung masuk ke dalam mobil, disusul oleh Hermione.

“Are you okey?”

No. I'm not okey. Gue cemburu! Gue sebel sama lo! Gue kesel, kenapa coba gue gak dikenalin sama tu cowok? Seenggaknya gue bisa menjabat tangan dia dengan sombong kalau gue kenal lo lebih dulu dibanding dia!

“Okey.” Jawab Draco singkat.

Hermione hanya mengangguk, “Oke..”

Draco menghela napasnya kasar dan melajukan mobilnya dengan kecepatan normal. Tidak ada yang berbicara diantara mereka berdua, keheningan menguasai keduanya membuat Hermione menjadi canggung.

“Tante Cissy, dibawain apa ya menurut lo?”

Draco tidak menjawab, pikirannya dipenuhi oleh bisikan baik dan buruk. Bisikan perperangan diantara pertanyaan, 'lo kenapa deh? Cemburu lo? Siapa lo cemburu begitu ke Hermione? Inget, lo udah jadi mantan. Gak berhak cemburu.' dengan pertanyaan, 'sialan itu cowok. Hajar Drake harusnya. Dia bisa aja jadi penghambat lo selalu deket bahkan balikan sama Hermione. Apalagi mereka satu kampus, sering ketemu. Lo mah jarang. Ayo balikan cepet.'.

“Drake?”

“Iya gue tau gue gak berhak.”

“Hah? Gak berhak apa?”

Draco menghentikan mobilnya secara mendadak membuat Hermione terkejut bukan main.

Selain membahayakan mereka berdua, juga bisa membahayakan pengendara lain yang berkendara di belakang Draco.

“Lo gila ya?! Kenapa sih? Lo mikirin apa sampe ngerem ngedadak kayak gini?”

Lo.

“Kalau ada kecelakaan gimana? Kalau gue atau lo gapake sabuk pengaman gimana?!”

“S—sorry Mi.”

Draco dengan tangannya yang sedikit berkeringan dan bergetar kembali melajukan mobilnya.

“Bego! Anjing! Pergi jauh jauh lo semua!”

“Drake, lo kenapa? Ada masalah?”

“Enggak, sorry, pikiran gue lagi penuh.”

Hermione hanya mengangguk dan berharap bahwa Draco baik-baik saja.


© urhufflegurl_

Awalnya, dia adalah obat. Namun sekarang, bukan lagi.

***

Theo marah besar ketika Hermione dan Blaise datang ke ruangan Draco. Dia menahana mereka diluar dan membawa mereka ke tempat yang aman.

“Anjing!”

Theo memukul Blaise membuat Hermione teriak.

“Theo! Apaan sih maksud lo? Kenapa lo mukul Blaise?!” Teriak Hermione.

“Apa? Mau nonjok lo tapi lo cewek.” Ucap Theo.

Theo dapat melihat wajah bingung Hermione dan Blaise.

“Kalian selingkuh dari Draco udah berapa lama? Selama apa?”

“The, gue—”

“Jawab pertanyaan gue, Mi.”

Hermione menahan nafasnya yang sesak, semakin sesak mengingat ini semua.

“Gue yang salah disini, The.”

Theo menatap Blaise dengan tajam. “Kalian salah. Tau kan? Sebaik apa Draco sama lo, seroyal apa dia sama lo. Dan lo dengan entengnya selingkuh sama ceweknya? Lo mau aja pake punya orang?”

“Bukan gitu, gue—”

“Udahlah, mending kalian pulang. Percuma juga kalian disini. Draco belum tau apa-apa kan? Bilang ke gue, dia sampe drop begini bukan karena liat kalian dari ciuman?”

Hermione dan Blaise terdiam.

“Bilang ke gue apa susahnya?!” Teriak Theo mengagetkan Hermione dan Blaise.

Belum sempat Hermione menjawab, Pansy menelfonnya. Katanya, tante Narcissa ingin meminta tolong Theo untuk mengantarnya ke rumah, beliau ingin membawa beberapa baju Draco.

“Urusan kita belum selesai.” Bisik Theo kepada mereka.


Kini, hanya ada Hermione sendiri didalam ruangan Draco. Hermione tidak berhenti menggenggam tangannya, dan memperhatikan wajahnya yang sangat tampan.

Hermione kembali menangis, padahal dia sudah cukup lelah untuk itu.

Hermione sangat takut Draco pergi, benar benar takut.

“Mi?”

Hermione menoleh ke sumber suara.

“Blaise.. Gue gak bisa liat Draco begini, gue gak—”

Blaise menarik Hermione kedalam pelukannya, dia menenangkannya dengan mengusap punggungnya.

“Draco pasti sembuh.”

Blaise dan Hermione berpelukan didepan Draco yang tanpa mereka sadari, Draco sudah membuka matanya bahkan meneteskan air matanya.

“Dulu, dia adalah alasan aku bertahan. Dia adalah obat. Namun sekarang, alasan dan obat itu telah pergi, jauh, bahkan aku tidak ingin menggapainya lagi. Dan sekarang, sudah tidak ada alasan untukku bertahan.”


© urhufflegurl_

Maaf, Drake.

***

Hermione masih disana. Draco kritis dan koma, entah berapa hari. Keadaannya sangat buruk sehingga dia harus menginap di ruangan ICU.

Kedua orang tuanya marah kepada Theo ketika Theo memberi tau semuanya. Namun, Theo berusaha menjelaskan sejelas-jelasnya. Dan kedua orang tua Draco berencana ingin membawa Draco ke rumah sakit luar negeri.

Hermione hanya bisa melihat Draco dari luar. Dari kaca. Matanya sudah sembab akibat terlalu banyak menangis.

Semua kenangan manis tiba tiba lewat memenuhi pikirannya. Awal mengenal Draco, masa pendekatan, malam dimana Draco menyatakan perasaannya, hingga setiap perhatian Draco yang Draco berikan. Semua kenangan itu nampak sangat menyakitkan bagi Hermione, dan tentu bagi Draco.

Hermione kembali menangis dengan dadanya yang sesak.

Dibelakangnya, Theo berdiri ikut meneteskan air matanya melihat Hermione sehancur ini. Ini yang Theo takutkan, Theo takut Hermione tau ketika keadaan Draco sudah buruk. Theo takut bahwa Hermione mengetahui semuanya namun semua sudah terlambat.

Theo takut.

Padahal, dari dulu, andai Draco jujur, Hermione pasti selalu siap menemaninya melakukan semua rangkaian penyembuhan, tidak seperti sekarang.

“Maaf, Drake.. Maaf..”

Hermione kembali membayangkan wajah Draco tadi sore, wajah yang penuh dengan rasa kecewa dan sakit. Wajah yang penuh amarah, wajah yang belum pernah Hermione lihat sebelumnya.

“Maaf..”

Hermione terjatuh dan memeluk dirinya sendiri disana, tenggelam dengan tangisan yang ia keluarkan.


© urhufflegurl_

Gue pacar yang gagal, The.

***

Theo berlari ketika mendengar kabar dari Blaise bahwa Draco dilarikan kesana dan masuk ruang ICU.

Sesampainya disana, Theo melihat hanya ada Blaise dan Hermione. Dia tidak sempat berpikir bagaimana mereka bisa bersama, yang dia pikirkan hanya Draco.

Theo tidak sendirian, dia bersama Pansy yang kebetulan sedang bersamanya saat Blaise mengabarinya.

“Gimana? Keadaan Draco gimana?” Tanya Theo.

“Belum tau, dia masih di periksa sama dokter.” Balas Blaise.

“Kenapa bisa gini? Kalian lagi bareng dia atau gimana? Kenapa bisa kambuh?”

“Kambuh?”

Theo terdiam mengutuk dirinya sendiri ketika tak sengaja keceplosan.

“Kambuh? Maksudnya apa kambuh? Dia sakit apa The?” Tanya Hermione.

“Enggak, maksud gue—”

“Lo tau sesuatu yang gak gue tau?!” Tanya Hermione marah.

“Jawab The! Jangan diem aja, jawab!” Teriak Hermione.

Theo menghela napasnya dan terpaksa jujur. Mungkin memang ini lah waktu yang tepat bagi Hermione tau semuanya.

“Draco sakit, dia kanker darah.”

“What?” Hermione, Blaise dan Pansy bereaksi sama, terkejut.

“Kanker? Dia sakit dan gue gak tau?!” Tanya Hermione, sedikit membentak Theo.

“Dia yang minta gue sembunyiin semuanya dari lo, bahkan dari kedua orang tuanya, dari Blaise, dari Pansy. Cuman gue yang tau, itu pun gak sengaja.”

Hermione sangat gagal. Dia gagal menjadi kekasih, dia gagal menjadi rumah. Dia gagal.

Bahkan disaat Draco sakit, dia malah bermesraan dengan Blaise. Nafsu sialan. Itu semua karena Blaise yang memulai duluan hingga Hermione tergoda.

Padahal apa kurangnya Draco baginya? Draco begitu sempurna. Apa mungkin karena Draco terlalu sempurna hingga Hermione mencari yang kurang?

Hermione terjatuh, dia menangis disana. Dia tak kuasa menahan rasa sesak di dalam dadanya.

“Mi, gue minta maaf.. Dia sakit udah lebih dari 8 bulan, tapi dia gak mau ngasih tau lo karena dia yakin dia bisa sembuh. Dia bisa sembuh karena lo alasan dia bertahan sejauh ini. Lo alasan dia selalu senyum, ketawa dan survive di kehidupannya. Lo alasannya Mi.”

Hermione semakin merasa bersalah dan merasa menjadi manusia brengsek sekarang.

Pansy memeluk Hermione karena tak tega.

“Ssstt, Draco pasti sembuh Mi.” Bisik Pansy.

Bukan hanya itu yang menyebabkan Hermione sekacau ini. Bukan itu.

Tapi dirinya.

Dirinya yang telah gagal.

“Gue gagal, The. Gue gagal. Gue gagal jadi ceweknya. Gue gagal. Gue pacar yang gagal, The.” Bisik Hermione dengan suaranya yang tercekat.

“Lo gak gagal. Masih ada harapan. Lo bujuk dia supaya ngelakuin operasi atau kemo ya?”

Hermione semakin menangis.

Bagaimana Hermione bisa membujuknya bahkan disaat Draco saja kecewa dan sakit hati kepadanya?


© urhufflegurl_

Sakit.

***

“Sel kanker kamu itu sudah menyebar, Draco. Saya sudah bilang, rajin kontrol, minum obat yang bener. Kamu minum obat berapa hari sekali hingga parah seperti ini? Draco, stock obat yang saya kasih itu pas, sesuai dengan hitungan saya. Ini belum waktunya habis, malah sudah habis duluan.”

Draco menunduk ketika dimarahi oleh dokter pribadinya, dokter Adam.

Ya, Draco selama ini sakit kanker dan tak ada satupun orang yang tau kecuali Theo. Itu pun Theo tau secara tidak sengaja.

“Draco, apa ada masalah hingga kamu seperti ini?”

“Bisa sembuh kan dok?”

“Bisa, dari dulu saya selalu tawarkan kamu untuk operasi dan kemoterapi. Tapi kamu selalu menolak.”

“Maaf dok, saya merasa bahwa penyakit saya ini bisa sembuh karena obat obatan itu.”

“Obat obatan hanya membantu meredakan rasa sakit, bukan menyembuhkan. Draco, seluruh rangkaian pengobatan yang saya sarankan itu adalah proses penyembuhan, tapi kamu menolak itu semua. Ada apa Draco?”

Draco menggelengkan kepalanya dan berdiri. “Saya permisi dok. Saya akan datang ketika saya siap untuk melakukan rangkaian pengobatan itu.”

Belum sempat dokter Adam menahan, Draco sudah pergi berlari menuju parkiran dan menangis disana, di dalam mobilnya.

“Bego! Anjing. Kenapa lo penyakitan sih anjing?! Kenapa harus ada penyakit ini sialan!”


Draco tidak pulang ke rumahnya, tapi dia ke rumah Hermione.

Dan betapa terkejutnya dia ketika melihat mobil hitam itu lagi parkir disana.

Sebentar, tadi katanya, Hermione pergi bersama sang Mama bukan? Mengapa mobil ini ada di depan rumahnya?

Draco segera turun dari mobil dan memperhatikan mobil itu, lalu dia melihat rumah Hermione yang tertutup rapat.

Dengan perlahan, Draco membuka pintu Hermione yang ternyata tidak terkunci. Dia membukanya dan disana tidak ada siapa-siapa, cukup sepi.

Namun kesepian itu tidak bertahan lama, Draco mendengar suara Hermione tertawa dan ada suara lelaki disana.

Suara lelaki yang dia kenal.

Dengan segera Draco menuju ruang keluarga.

“Sialan.” Ucap Draco ketika melihat Hermione dan seorang lelaki ada disana, sedang berpelukan.

Hermione hanya memakai baju tipis yang bahkan Draco yakin Hermione tidak menggunakan pakaian dalam, dan lelaki itu tidak memakai baju, hanya menggunakan celana pendek.

“Draco?”

Hermione dan lelaki itu sama terkejutnya dengan Draco.

“Drake— kamu..”

Draco tertawa lepas, tawa yang sangat sakit dan pedih tentu saja.

“Wait, Blaise?”

Lelaki itu Blaise, sahabat terbaik Draco setelah Theo dan Pansy. Sahabat, sekaligus orang kepercayaan Draco Malfoy.

“Gue bisa jelasin—”

“Bentar bentar, gue gak ngerti. Maksudnya ini gimana?”

Jangan bayangkan betapa sakitnya Draco sore itu. Setelah mendengar kabar tentang penyakitnya yang semakin memburuk, dan dia berharap bahwa Hermione ada disana untuk menenangkannya dan memeluknya, yang dia lihat malah Hermione yang sedang bermesra dengan lelaki lain, sahabatnya sendiri.

“Kalian? Di belakang gue?”

Hermione dan Blaise masih terdiam.

Draco menyeka wajahnya dengan kasar, merasakan desiran di tubuhnya yang siap meledak.

“Kamu ternyata brengsek juga ya, Hermione.”

Hermione menggelengkan kepalanya, “Ini gak kayak yang kamu kira, Drake. Aku—”

“Apa? Bahkan kamu gak pernah berpakaian seperti ini didepan aku.”

Hermione terdiam.

“Kamu tau kan aku gak suka cewek selingkuh, cewek yang.. anjing.. mana sahabat gue lagi.”

“Drake, gue sama Hermione tadi cuman—”

“Cuman pelukan? Gak sampe having sex? Atau belum karena gue keburu dateng?”

“Draco.”

Draco menoleh ke arah Hermione, “Apa? Bener kan? Kalian gak sempet having sex? Yaudah, lanjut. Maaf ganggu.”

Hermione mengejar Draco dan menahannya. Draco tak bisa menahan tangisannya, dia berusaha agar tak menangis, namun tak bisa.

Dikhianati oleh kekasih tersayang dan sahabat terbaiknya, sangat menyakitkan.

“Draco plis.”

Draco menepis tangan Hermione dan mengangkat jari telunjuknya.

“Kamu. Mulai sekarang kita udah gak ada hubungan apa apa lagi. Kita putus.”

Hermione tidak ingin putus dari Draco. Tadi itu hanya permainan, tidak serius. Dia hanya bermain dengan Blaise.

“Draco plis, jangan, aku gak mau putus, Draco..”

Draco mendadak kepalanya sangat sakit, dan hampir terjatuh kalau tidak Hermione yang menahannya.

“Drake? Kamu kenapa? Draco, kamu mimisan.. Drake?”

Semuanya sangat sakit bagi Draco hingga dia tidak bisa menahannya lagi.

“Draco? Draco bangun! Draco!”

“Kita bawa kerumah sakit Mi. Lo ganti baju dulu.” Ucap Blaise.

Hermione mengangguk dan segera pergi kekamarnya. Sementara Draco, Blaise menidurkannya di atas sofa disana.


© urhufflegurl_