Café M, sore itu.
***
Draco lebih dulu sampai di cafe ini sebelum Hermione sampai. Kerjaan hari ini tidak terlalu banyak sehingga dia buru buru pergi dari kantornya sebelum ada kerjaan mendadak.
Dia sampai pukul 16.30. 30 menit lebih awal dari yang dijanjikan oleh Hermione, jadi dia memesan segelas americano lebih dulu agar kepalanya tidak terlalu pusing memikirkan ini semua.
30 menit tidak terasa, akhirnya yang ditunggu tunggu datang juga.
Hermione, dari dulu tidak pernah berubah. Dia selalu tepat waktu akan janji yang dia buat.
“Draco, maaf bikin kamu nunggu.”
Draco tersenyum kecil, “That's okay, duduk.”
Hermione menghela napasnya. Dia salah fokus kepada kopi hitam yang Draco pesan.
“Kamu masih suka kopi?”
Draco tentu terkejut akan pertanyaan itu. “Ya.”
Hermione mencoba tersenyum untuk menghangatkan atmosfir dingin diantara mereka.
“Jadi?” Tanya Draco mengangkat sebelah alisnya.
“To the point aja.” Lanjutnya.
Hermione lagi lagi menghela napasnya berat. Ginny benar, Draco sudah berubah. Dia sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa dengan pemikiran yang dewasa juga.
“Aku yakin kamu pasti udah tau semuanya. Aku tau kamu, Draco.” Ucap Hermione mengawali penjelasannya.
Draco diam saja, tidak mengangguk dan tidak menggelengkan kepalanya. Dia tidak berekspresi apa apa, dia hanya menatap Hermione dengan serius.
“Mereka bener.”
“Kamu ninggalin saya dan nikah sama Ron?” Tanya Draco.
“Draco, aku—”
“Mereka bilang kalian dijodohin dan kamu gak bisa menghindar. Lalu posisi saya saat itu apa?” Tanya Draco serius.
Hermione meremas kedua tangannya. Dia benar benar takut akan pesona Draco yang sangat mengintimidasi. Rasanya sesak.
“Saat itu, semuanya terasa cepat, Draco. Bunda Molly, Bunda nya Ron sakit keras. Dan kamu tau dia sayang banget sama aku. Dia pengen aku jadi menantunya. Kita gak bisa nolak, aku gak bisa nolak karena aku gak tega. Aku takut, Draco. Aku takut Bunda Molly pergi dan impiannya belum terkabulkan, aku takut.”
Draco menatap Hermione dengan sangat serius.
“Jadi terpaksa aku menerima perjodohan itu dan menikah dengan Ron.”
“Were you happy?”
Kini giliran Hermione yang menatap Draco.
“Were you happy then?”
“No, of course not, Draco. Kamu tau dihati aku cuman ada kamu, itu semua berat untuk aku, untuk Ron, untuk kamu, itu semua berat untuk kita semua. Aku— aku hanya mencoba menerima semuanya dengan pemikiran dewasa.”
Draco mengerutkan keningnya. “Pemikiran dewasa? Jika kamu memiliki pemikiran dewasa, harusnya kamu ceritakan semua ini kepada saya. Kamu gak dewasa, Hermione.”
“Maaf..”
“Saya gak butuh maaf kamu. Kamu tau gimana perasaan saya saat itu? Saya kuliah ke luar negeri untuk kita. Untuk kisah kita yang saya harap akan abadi selamanya. Saya berusaha melakukan yang terbaik untuk hubungan ini. Namun kamu dengan mudahnya ngirim undangan pernikahan tanpa ada pembicaraan apapun. Apa itu sikap dewasa?”
Hermione rasanya ingin menangis saat itu juga.
“Draco, aku—”
“Hermione, kamu tau saya berusaha melupakan kamu selama 4 tahun? 4 tahun saya jungkir balik menahan semua rasa sakit yang saya terima. 4 tahun saya berusaha menyingkirkan kamu dari hati dan pikiran saya. 4 tahun saya berusaha berdiri dan melanjutkan hidup saya. 4 tahun sampai akhirnya saya bertemu Astoria. Itu semua tidak mudah, Hermione.”
Hermione benar benar sudah menangis. Air matanya meleleh tanpa terkendali.
“Kamu pikir ini semua mudah juga untuk aku? Aku tiap hari diteken sama keluarga Weasley untuk menikah sama Ron. Aku gak mau, tapi mereka terus neken aku bahkan Ginny sekalipun karena Ibu mereka sekarat saat itu. Ron sampai sujud didepan aku, Ron minta aku terima perjodohan itu. Itu semua gak mudah Draco, gak mudah. Kamu hanya butuh 4 tahun untuk menyingkirkan semua itu? Bahkan aku butuh waktu hingga 20 tahun untuk menghilangkan rasa bersalah aku sama kamu! Aku malu, Draco. Aku malu sama kamu, aku takut, aku ngerasa gak guna didepan kamu, aku ngerasa gak tau diri. Aku juga sama hancur, Draco. Aku juga sama.”
“Kalau kamu tanya apakah aku bahagia dengan Ron, jawabannya gak sama sekali. Ron selingkuh saat Rose masih SD, usianya 7 tahun saat itu. Ron selingkuh, tidur dan main dibelakang aku sama cewek lain. Kita berdua cerai saat Rose masih berusia 9 tahun. Aku gak pernah bahagia Draco. Aku gak pernah bahagia selama ini, aku gak pernah bahagia sama Ron, gak pernah.”
Draco menahan emosinya hingga urat di lehernya terlihat. Bahkan dia mengepalkan tangannya.
“Aku gak pernah bahagia, Draco. Bahkan setiap harinya aku selalu tersiksa. Aku selalu tersiksa akan rasa rindu dan semua perasaan aku kekamu. Aku tersiksa.”
Hermione menangis hingga rasanya ingin tenggelam. Dadanya sangat sesak mengingat semua masa lalu yang membawanya ke dalam jurang dan mengharuskan dia bangkit sendirian.
“Aku bahkan menerima siksaan dari Ron. Sebelum Rose lahir, aku mengalami keguguran 2 kali. Dan aku selalu di siksa sama Ron karna aku gagal jadi seorang istri. Aku selalu berharap kamu ada, Draco. Bodohnya aku, aku selalu berharap kamu meluk aku dan berkata semua akan baik baik saja. Bodohnya aku, aku selalu berharap kamu ada dan bawa aku pergi. Tapi itu gak mungkin terjadi karena aku tau kamu juga sama sakitnya.”
“Hermione—”
“Kita sama sama sakit, Draco. Selama ini kita sama sama sakit.”
Draco tidak tahan lagi, dia duduk disebelah Hermione dan menarik perempuan itu kedalam pelukannya.
Akhirnya, akhirnya setelah 20 tahun lamanya mereka berpisah, kini Hermione bisa kembali merasakan pelukan Draco. Pelukan yang selalu dia harapkan, pelukan yang selalu membuatnya tenang dan nyaman.
“I'm sorry, I'm sorry..” bisik Hermione dalam tangisnya.
“No, You don't have to apologize, Hermione. Kamu benar, kita sama sama sakit. Maaf Hermione, maaf karna telah berpikir aku membenci kamu saat itu, maaf..”
Terasa menyakitkan bagi Draco, rasanya dia sangat ingin membunuh Ron ketika mendengar semua cerita Hermione.
“Kita adalah takdir yang sedang dipermainkan oleh semesta. Kita dipisahkan dengan luka yang begitu besar, namun dipertemukan kembali dengan pelukan yang begitu hangat.”
© urhufflegurl_