litaaps

Hujan.

***

8 Tahun kemudian..

` Pansy kembali ke tempat ini, ke tempat dimana dia merasa pulang. Selama 8 tahun, rasanya masih sama. Dia masih sangat menyayangi dan mencintai Theo, selayaknya dia ada.

Theo ada, lelaki itu tak pernah pergi. Hanya raganya saja yang telah menghilang. Iya kan?

Theo ada. Di dalam hatinya.

Pansy meletakkan setangkai mawar merah yang entah ke berapa, dia berdoa, merapalkan banyak doa untuk ketenangan sang kekasih..

“Tenang disana ya? Gue udah kerja The, gue udah sukses. Mama, Papa, Bunda, Ayah bangga sama gue. Bunda sama Ayah masih tinggal di rumah tau. Mereka adopsi anak. Gapapa kan The? Gapapa ya? Anak itu, manggil gue Mami. Cewek anaknya, namanya Aileen. Lucu bangett, dia dari panti asuhan. Sengaja, Bunda sama Ayah adopsi, mereka kesepian karena gak ada lo—”

”—Bukan mau ganti lo, atau ngelupain lo The, mereka cuman gak mau kesepian. Gapapa ya?”

Setelah itu, Pansy berdiri dan pergi dari sana. Seperti biasa, dengan langkah kaki nya yang berat.


Hari ini mendung, dan hujan.

Pansy diam di pinggir jalan, melamun melihat rintikkan hujan yang bertabrakan dengan aspal.

Bagaimana rasanya bermain hujan? Mengapa Theo sangat menyukainya?

Pansy tersenyum sendiri mengingat hal itu.

Mengingat semua hal yang membuatnya bahagia dan senang.

“Gak pulang?”

Di tengah lamunannya, Pansy menoleh ketika melihat ada seseorang berdiri di sampingnya.

“Hujan.” Balas Pansy singkat.

“Mau tau alasan Theo suka hujan gak?”

Pansy terdiam.

“Main hujan yuk Pans.”

“Enggak, lo aja.”

“Lo tau gue benci sama hujan. Hujan yang udah buat Theo pergi.” Lanjut Pansy.

Lelaki itu tersenyum, “Bukan hujan yang bawa Theo pergi, tapi takdir. Takdir yang udah membuatnya pergi Pans. Sejatinya, Theo itu bukan milik lo sepenuhnya. Dia bukan milik kedua orang tuanya, dia milik Tuhan. Tuhan bisa kapan aja ambil dia.”

“Gue tau. Udah 8 tahun dari kejadian itu. Gue udah gede.”

Lelaki itu terkekeh pelan, “Gede apa tua?”

Pansy hanya menatapnya tajam.

“Bercanda. Udah ayo main ujan.”

“Gak, Blaise.”

Lelaki itu Blaise. Lelaki yang selama 8 tahun ini menemaninya, dan selalu berusaha ada di sisinya. Lelaki yang rela tidak menikah, lelaki yang rela tidak mencintai siapapun, dan memfokuskan dirinya kepada wanita yang ada di sampingnya, wanita yang sahabatnya titipkan kepadanya.

Wanita yang berhasil membuatnya jatuh cinta.

“Ayo, sini. Biar lo bisa tau kenapa Theo suka hujan. Anggap aja hujan ini Theo. Theo lagi meluk lo. Ayo Pans.”

Blaise sudah berdiri di bawah derasnya air hujan.

Sementara Pansy, wanita ragu untuk bergabung dengannya.

“Ayo Pans!”

Akhirnya, Pansy pun bergabung dengan Blaise, menikmati tiap rintikkan hujan yang menyentuh seluruh badannya hingga basah tak tersisa.

Theo sedang memeluknya. Bayangkan, setiap turun hujan, Theo sedang memeluknya.

Mengapa selama 8 tahun ini, Pansy tidak pernah memikirkan hal itu?

Mengapa dia hanya larut dalam kesedihan dan rasa sakit yang mendalam?

Mulai hari ini, dengan lelaki yang ada di hadapannya, Pansy menyukai hujan.

Hujan, dan Theo, dua hal yang membuat Pansy bahagia.

Hingga kapanpun, tak akan tergantikan.


© urhufflegurl_

Malam dan Hujan..

***

10 Tahun yang Lalu.

Setelah mendapatkan pesan dari sang kekasih, Theo kembali melamun, di tengah derasnya hujan.

Kemarin, untuk yang pertama kalinya setelah tidak bermain hujan dengan Pansy, akhirnya Theo berhasil mengajak perempuan itu bermain hujan.

Perempuan yang akan menjadi istrinya, perempuan yang akan menjadi pendamping hidupnya, selamanya. Perempuan yang akan selalu ada di hatinya, perempuan yang selalu ia cintai.

Sudah pukul 10 malam, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan mereda. Akhirnya, Theo pun memaksakan diri.

Yang penting ada jas hujan kan? Ya, Theo akhirnya memakai jas hujan saja, dan menerobos hujan di malam hari.

Pikirannya penuh dengan Pansy. Senyumnya, caranya tertawa, caranya menangis, sedih, bahagia, semua bayangan indah melintasi dan berlarian di dalam kepalanya. Semua kenangannya dari kecil, hingga dewasa seperti sekarang. Dari sahabat, hingga akan menjadi seorang istri. Dengan semua masalah yang mereka hadapi.

Pikirannya terlalu penuh, hingga tidak sadar bahwa dari arah kanannya, ada cahaya yang sangat besar dan—

Brak!!

Tubuhnya terpental, motornya hancur tidak karuan. Yang dia rasakan hanya cahaya yang menyorot matanya sangat tajam, hujan dengan rasa yang berbeda, dan sangat sakit rasanya menusuk ke seluruh badannya.

Theo terkulai lemas disana, dengan nafas yang tak teratur, dan perlahan pandangannya mulai gelap.


© urhufflegurl_

Hari Bahagia?

***

Pansy memakai gaunnya yang berwarna putih itu. Dia menggulung rambutnya, walaupun rambutnya tidak pernah memanjang. Dia, dengan sang Papa di sampingnya berjalan menuju altar.

“Don't forget to smile, Pans.”

“I forgot how to do that, Pa.”

“I understand, love.”

Pansy menatap sang Papa dengan mata yang berlinang air mata.

Kedua anak dan Papa itu berjalan menuju altar. Dan disana, seorang lelaki menantinya. Lelaki itu tersenyum hangat kepada Pansy.

Kedua pasangan itu pun jalan perlahan untuk saling mengucapkan janji suci mereka.

“Baik, kita mulai ya?”

Pansy menatap matanya, dia juga menatap mata Pansy.

“Saya mengambil engkau menjadi istri saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.”

Kini, giliran Pansy..

“Saya—”

Pansy meneteskan air matanya.

“Pans..”

“Saya mengambil engkau menjadi suami saya, untuk saling memiliki dan menjaga, dari sekarang sampai selama-lamanya. Pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan kita, sesuai dengan hukum Allah yang kudus, dan inilah janji setiaku yang tulus.” Ucap Pansy dengan cepat, dengan matanya yang tertutup.

“Aku tau ini sulit, aku tau—”

“Blaise..”

“Ini janji aku untuk Theo, Pans.”

Pansy semakin menangis.

Seharusnya, 10 tahun yang lalu, tepat di hari ini, adalah hari dimana hari bahagianya dengan lelaki yang sangat ia cintai, Theodore Nott.

Seharusnya, saat ini dia tidak perlu merasakan sakit yang luar biasa lagi. Seharusnya, mungkin hari ini dia sudah memiliki tiga anak bersama orang tercintanya.

Bukan menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai, Blaise Zabini, sahabatnya.

“Maaf Pans..”

“Ajari aku cinta sama kamu, Blaise.”

Blaise perlahan mengecup kening Pansy. “I'll try. But if you can't do that, I understand, Pans.”

“Thank you Blaise. Makasih.”

Blaise memeluk wanita yang ia cintai itu dengan tulus.

Setelah kejadian itu, kejadian yang membuat semuanya berubah, Blaise menunggunya dan selalu ada di sampingnya.

Dia selalu menunggu Pansy. Walaupun ia tau, Pansy tidak akan mencintainya.

Namun, mereka menikah hari ini. Semua bahagia atas hal itu.

“Harusnya Theo—”

“I know.. Harusnya Theo.”

“Maaf Blaise..”

“That's okay.. I love you, Pans.”

Pansy hanya tersenyum kepadanya.


© urhufflegurl_

Golf.

***

“Nih, sorry ya kalau ngerepotin.”

Theo tersenyum dan mengambil bekal itu, “Iya sama-sama. Bunda bentar lagi pulang, jadi kalau ada apa-apa kasih tau Bunda ya.”

Pansy hanya mengangguk, tanpa ada senyuman di wajahnya.

Setelah itu, Theo pergi dengan motor kesayangannya.

“Kangen banget gue dibonceng motor itu The..”


Sesampainya di lapangan golf, Theo langsung menghampiri Papa dan Ayah.

((((Takutnya kalian pusing, Papa itu Papanya Pansy, Ayah itu Ayahnya Theo oke))))

Pansy dan Theo saling menyebut Papa, Mama, Bunda dan Ayah, tidak menyebut Tante, karena kedua orang tua mereka ini benar benar bersahabat. Jadi, orang tua mereka tidak ingin anak mereka menyebut tante atau om.

“Yah, Pa.” Theo salim kepada Ayah dan Papa.

“Wih, apa ini The?” Tanya Ayah.

“Bekal buat Papa dari Mama. Tadi dikasih sama Pansy.”

Theo duduk, diikuti oleh Ayah dan Papa yang duduk dikedua sampingnya.

“Gimana sama Pansy? Masih marah dia?” Tanya Papa.

“Theo malah nambah kesalahan Pa.”

“Soal cowok yang kamu pukul?”

Theo mengangguk. Masalah Adrian, kedua orang tuanya tau karena dirumah mereka itu ada CCTV. Makanya Theo langsung di interogasi soal itu.

“Kamu memang salah sih. Tapi yang penting, kamu sudah minta maaf ke Adrian.” Ucap Ayah.

Theo mengangguk, “Theo bisa baikan gak ya sama Pansy? Kangen banget. Udah mau dua minggu diem-dieman kayak gini Pa, Yah.”

“Bisa. Papa kemarin ngobrol sama Pansy. Papa coba pancing dia supaya cerita, dia bilang, dia itu kangen sama kamu, tapi dia bingung mau mulai semuanya darimana The.”

“Gitu Pa?”

Papa mengangguk, “Nanti, setelah ini, coba kamu ajak dia bicara. Mungkin suasana hatinya sudah enak.”

“Makasih Pa.” Theo tersenyum lebar, seolah menemukan titik terang dari semua ini.

“Udah ayo kita main golf! Let's go!” Seru Ayah berdiri dan jalan menuju lapangan.

“Ayo cepat calon menantu!” Seru Papa, membuat Theo tertawa.

“Si Papa.”


© urhufflegurl_

Gue cuman, gak mau lo kenapa-kenapa.

***

Theo masih memandangi rumah Pansy. Sudah satu minggu semenjak malam itu, mereka masih belum berbicara perihal masalah ini. Pansy benar benar menghindarinya. Ketika Theo masuk, Pansy baru keluar rumah. Ketika Theo keluar, Pansy masuk. Begitu terus.

Padahal, Theo sangat merindukannya. Tidak apa-apa jika Pansy menolaknya, sungguh. Daripada dia jauh dari wanita itu. Theo tidak ingin jauh dari nya.

Saat sedang menikmati pemandangannya, tiba-tiba fokus Theo teralihkan oleh mobil yang baru datang. Theo sontak berdiri, dan terkejut ketika melihat Adrian keluar, merangkul dan menuntun Pansy untuk jalan.

Theo pun berlari sekuat tenaga, dia menghampiri Adrian dan Pansy.

“Lo ngapain?” Tanya Theo dari kejauhan.

Bug!

“Theo! Lo gila anjing?!” Teriak Pansy.

Theo tidak memperdulikan teriakan Pansy. Lelaki itu kembali menghajar Adrian, lagi dan lagi.

“Theo stop!! Apa apaan sih lo? Theo!” Pansy berteriak membuat Theo terdiam.

“Di apain lo sama dia? Kenapa perut lo? Kenapa dia rangkul lo kayak gitu? Kenapa hah?” Tanya Theo marah.

Pansy mengerutkan keningnya, mengabaikan Theo dan membantu Adrian untuk berdiri.

“Lo gapapa? Sorry Yan..” Ucap Pansy.

“Lo stress? Sakit anjing.” Ucap Adrian kepada Theo.

“Udah gak usah peduliin, ayo kita masuk aja.”

Bergantian, kini Pansy yang merangkul Adrian dan menuntunnya masuk ke dalam.

“Pans? Gue belum selesai ngomong? Gue belain lo?”

Pansy meminta tolong kepada bibik untuk menyiapkan obat untuk Adrian, sementara dia keluar sebentar untuk mengurus sahabatnya yang sedang emosi itu.

“Apa? Kenapa lo? Kenapa tiba tiba mukul Adrian gitu?” Tanya Pansy marah.

“Lo di apain sama dia? Kenapa lo tadi kayak kesakitan gitu?”

“Asam lambung gue naik. Sumpah, Theodore. Lo gila apa gimana sih?” Pansy benar benar marah, dan kini Theo merasa bersalah.

“So.. Sorry Pans.. Maaf.. Gue gak—”

“Makanya kalau apa-apa itu mikir dulu pake otak. Punya otak kan? Dari dulu, lo selalu gegabah soal apapun.”

Perkataan Pansy sebelum masuk ke dalam rumahnya itu membuat Theo diam membantu.

Tidak perlu dijelaskan bagaimana rasa sakit yang Theo rasakan kan? Ini memang salah Theo, Theo sangat gegabah. Tapi Theo berani sumpah, dia sangat panik dan cemburu.

Dia panik, takut Pansy kenapa-kenapa.

Dan cemburu, karena lelaki itu Adrian. Lelaki yang menyukai Pansy.

Theo merasa sangat kacau sekarang.


© urhufflegurl_

Dingin.

***

Setelah kejadian tadi, Pansy tidak duduk di sebelah Theo. Pansy menjauh darinya, dan tidak menatap wajah lelaki itu sama sekali.

Kedua orang tua mereka menyadari perbedaan ini. Bunda sudah tau, Bunda mengerti mengapa bisa terjadi situasi semacam ini.

“Jadi, next nya apa nih? Kita liburan atau—”

“Dirumah aja.” Balas Pansy dengan cepat, memotong ucapan Mama Evelyn.

“Kok dirumah? Kalian libur semester lama loh, 3 bulan. Kita gak boleh menyia-nyiakan ini. Iya kan?”

Bunda, Ayah dan Papa mengangguk.

“Iya kan The?”

Theo mengangguk kecil. Matanya bertemu dengan mata Pansy, namun Pansy segera memalingkannya.

“Dirumah aja Ma, Pansy males kemana-mana.”

“Are you okay? Kenapa? Ada masalah?”

Pansy menggelengkan kepalanya.

“Terus kenapa Pans?”

“Gapapa.”

“Theo juga gak bisa Ma.” Ucap Theo, membuat semuanya menoleh ke arahnya.

“Loh? Mumpung musim panas loh The, jadi—”

“Ya justru itu. Panas, mending dirumah.” Balas Theo.

“Kalian berantem?” Tanya Ayah.

Bunda memegang paha Theo, mengusapnya pelan seolah tau apa yang sedang anaknya rasakan. Bunda tersenyum kepadanya berkata bahwa semuanya akan baik-baik saja.

“Theo yang salah Yah.”

“Kenapa? Ada apa The?”

“Gapapa, cuman, kesalahan kecil.”

“Kecil?”

“Pans.. Sorry..”

“Kecil lo bilang? Itu kesalahan besar!”

“Iya, besar..” Theo menunduk.

Suasana menjadi hening sejenak. Agak canggung.

“Kalian udah gede, udah bisa atur semuanya sendiri kan?” Tanya Papa.

Theo mengangguk, sedangkan Pansy terdiam.

“Kita pindah dulu ke rumah Bunda. Abis itu, kalau udah selesai, Theo pulang ya? Nanti Mama sama Papa, baru balik kesini, gimana?” Tanya Mama.

Sudah hal biasa, jika Pansy dan Theo bertengkar, orang tua yang pindah agar kedua anaknya itu bisa damai dan membicarakan masalah mereka.

“Iya Ma.” Balas Theo.

Mereka meninggalkan Theo dan Pansy yang hanya berdua di meja makan.

“Pans.. Maaf..”

Pansy terdiam. Dia tidak menatap wajah Theo daritadi.

“Lupain soal pernyataan gue tadi gue mohon.”

“Gue—”

Theo menghela napasnya, berharap Pansy tidak mengatakan hal yang aneh, semacam memintanya jauh atau semacamnya.

“Gue kaget The.”

“Maaf Pans..”

Pansy lagi-lagi terdiam. Dia juga tidak tau harus berbuat apa sekarang. Pernyataan yang barusan Theo sampaikan, benar benar membuatnya terkejut.

“Kita jauhan dulu deh.”

“Enggak, plis. Pans. Jangan gitu.”

“Buat sementara. Kasih gue waktu buat cerna semuanya The.”

“Pans, gue gak bisa jauh sama lo. Gue mohon.”

“Kita masih tetanggaan elah. Kita jauhan dulu, gue mau mikir semua ini yang bener bener diluar pikiran gue, oke?”

“Jangan musuhin gue Pans. Lo boleh tolak gue, lo boleh gak terima cinta gue, gapapa. Tapi gue mohon, jangan jauhin gue, gue mohon.”

“Enggak The, cuman sementara.”

Malam itu, Theo benar benar menyesali apa yang telah ia perbuat.

Sangat sepi, pasti akan sangat sepi jika Pansy jauh darinya.


© urhufflegurl_

Kekhawatiran Theodore.

***

“Pans!”

“The! Liat deh motornya, rusak kan, gue udah—”

“Lo gapapa? Kepala bagian mana yang kebentur? Selain itu ada lagi gak yang sakit? Kaki? Tangan? Aman gak?”

Melihat wajah Theo yang penuh dengan rasa khawatir itu membuat Pansy tertawa.

“Gue serius Pans?”

“Iya iya. Sedikit kok, kan gue pake helm juga, kepala gue ngebentur trotoar tadi.”

“Aman gimana sih? Kata lo aman?”

“Sumpah gue gapapa, ini motor—”

“Gue lagi gak mau ngomongin motor.”

Pansy terdiam. Oke, Theo mode serius seperti ini cukup menyeramkan. Matanya seolah memancarkan sinar “jangan ganggu” Dan jika diganggu sedikit, dia akan ngamuk.

“Ada luka lagi gak selain di kepala?”

Pansy membuka jaketnya, dia memperlihatkan tangannya yang memar, lalu lututnya yang luka namun sudah diobati.

“Udah diobatin ini?”

“Udah.”

“Sama siapa?”

“Sendiri.”

“Sini. Lo ngobatin luka suka gak bener.”

Theo menuntun Pansy untuk duduk, dan dia membawa kotak P3K milik keluarga Parkinson. Disana, Theo mengobati luka Pansy dengan hati-hati.

“Soal cowok yang lo tabrak, gimana?”

“Gue udah ganti rugi kok, gue udah transfer yang dia mau.”

“Dia minta berapa?”

“3 juta.”

“3 juta? Lecet apaan sampe 3 juta? Lo mau aja dibegoin anjir.”

“Bagian belakangnya The. Duh gue gak mau ribet dan ribut, makanya gue langsung transfer aja.”

“Yaudah, nanti gue ganti duitnya.”

“Gak usah! Orang salah gue juga.”

“Udah nih, sekarang baru ngomongin motor.”

Pansy tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang rapi. “Thanks ya.”

Theo menghela napasnya lega. “Kalau ada apa-apa, langsung bilang. Jangan ada yang diumpetin.”

“Iyaaa!”

“Pinter!”


© urhufflegurl_

Rain for him.

***

Pansy tersenyum ketika melihat Theo dibawah sana. Rumah mereka bersebrangan, hanya terhalang jalanan yang membentang panjang.

Keluarga Nott dan Parkinson, alias orang tua Pansy dan Theo sudah bersahabat dari zaman mereka SMA. Ya, mereka awalnya bersahabat, namun menjadi pasangan. Dan mereka yakin, suatu saat nanti hal itu akan terjadi juga kepada Theo dan Pansy. Dan mereka akan menjadi besan.

Theo tertawa renyah. Suaranya bersatu dengan hujan. Senyumnya menyatu dengan hujan. Membuatnya menjadi terlihat sangat bahagia.

“Pans! Sini! Jangan ketawa ketawa aja lo!” Theo berteriak, sementara Pansy hanya tertawa saja.

“Anak kecil!” Balas Pansy berteriak.

Dari kecil, Theo memang sangat menyukai hujan. Namun tidak untuk Pansy. Wanita itu tidak suka hujan, baginya, hujan adalah hal yang membuatnya terhalang akan hal apapun, segala aktivitas nya. Hujan itu dingin, dan sering membuatnya sakit. Apalagi jika sudah terkena hujan, lalu basah. Akan merepotkan. Baginya seperti itu.

Sebaliknya dengan Theo, jiwa lelaki itu seolah bersatu dengan hujan.

Pansy menghampiri Theo yang sudah duduk di halaman rumahnya. Dia membawakannya handuk dan air hangat.

“Dingin gak?”

“Enggak lah. Hujan gak bikin gue kedinginan.”

Pansy hanya menggelengkan kepalanya dan terkekeh pelan.

“Besok kan uas, lo berarti masuk jam berapa aja kuliah?”

“Mulai dari jam 9 sih. Gapapa, gak usah bareng aja.”

“Dih, kenapa gitu?”

Pansy menghela napasnya. “Ya lo bakal repot!”

Pansy berdiri dan masuk ke dalam rumahnya. Theo menyusulnya.

“Kapan gue repot karna lo? Kapan coba gue ngerasa di repotin sama lo? Gak pernah kan? Udah, bareng aja.”

“Emang lo uas jam berapa?”

“Jam 8 sih.”

“Bego! Ya beda anjir.”

“Iya ya? Tapi, lo bisa bareng gue, lo jadi berangkat lebih awal.”

“Theo plis deh.”

Theo menekkukan wajahnya, cemberut. “Yaudah deh.”

“Dih, kenapa bete gitu deh? Gak mau ya kalau gak bareng gue? Tau deh, gue emang paling berharga buat lo The, sampe lo gak mau jauh dari gue.”

Theo mengacak ngacak rambut Pansy, gemas. “Tu tau!”

“Arrghh Theodore! Rambut gue berantakan! Sana mandi! Keramas rambutnya, nanti lo sakit.” Pansy melemparkan handuk kering lainnya kepada Theo.

“Keramasin dong Pans.” Ucap Theo dengan nada manjanya.

“Dih, astagaa.”

“Eh waktu kecil kita sering mandi bareng tau.”

Pansy melemparkan tisu, “Gila ya! Diem gak lo!”

Theo sontak tertawa melihat reaksi Pansy. “Bener Pans. Berarti emang lo harus sama gue, gue udah liat—”

“Babi! Theodore! Mandi sana!” Pansy berlari menuju kamarnya, sedangkan Theo tertawa dengan lepas disana.

Setelah itu, Theo menatap kamar Pansy. Lelaki itu tersenyum membayangkan bagaimana cantiknya sahabatnya itu. Mengaguminya, dan mencintainya dari dulu, membuat Theo tidak ingin kehilangannya.


© urhufflegurl_

Tolong.

***

Tangannya meraih tangan Blaise, sebelum dia masuk ke dalam ruangan ICU. Matanya melirik Blaise dengan penuh rasa sakit.

“Kenapa The? Kenapa?”

Blaise mendekatkan telinganya ke mulut Theo, dan Theo berbisik—

“Tolong— tolong—”

“Iya, ini lo mau masuk ruang ICU, mumgkin ada operasi, biar lo sembuh oke? Minggu depan lo mau nikah sama Pansy oke? Nanti gue kabarin Pansy.”

”—tolong — jaga Pansy.”

Blaise terdiam membatu disana, menggenggam tangan sahabatnya itu.

“kalau gue— gak selamat— tolong— jaga Pansy.”

Setelah itu, dokter dan suster membawa Theo ke dalam ruangan ICU. Sementara Blaise mulai menangis kencang disana.

Blaise yang menemui Theo. Blaise yang tidak sengaja menemukan Theo terkulai lemas di jalanan, dikerumuni oleh orang orang yang sibuk menelfon ambulance, dan melihatnya.

Theo tertabrak oleh truck yang sedang kehilangan kendali, remnya blong, dan Theo tidak bisa menghindar.


“Lo bohong kan?! Lo bohong! Mana Theo? Gak mungkin kan Theo kecelakaan?! Iya kan Blaise?! Jawab!” Pansy berteriak marah kepada Blaise, memaksanya untuk berdiri dan mencengkram erat kerah bajunya.

Ayah, Bunda, Mama, dan Papa ikut juga. Mereka panik bukan main saat mendengar Theo kecelakaan, dan langsung bersama sama menuju rumah sakit.

“Dimana Theo nak Blaise? Bagaimana keadaan dia?” Tanya Bunda dengan suaranya yang tercekat.

Mama sudah tidak sanggup berbicara, beliau sangat lemah di pelukan Papa. Beliau hanya bisa menangis dan merapalkan segudang doa agar Theo baik baik saja.

“Didalem tante. Tadi, Theo kecelakaan, ada truck yang rem nya blong, dan nabrak Theo.” Balas Blaise.

“Enggak, gak mungkin. Theo tadi chatan sama gue, katanya dia lagi neduh.” Pansy mulai meneteskan air matanya.

“Pans—”

“Plis Blaise. Gimana keadaan Theo? Dia gapapa kan? Dia cuman kecelakaan kecil kan?”

“Sorry Pans..”

Pansy menangis histeris. Ayah memeluknya dengan erat, karena wanita itu mengamuk ingin masuk kedalam ruangan ICU.

“Pansy sayang..” Bisik Ayah.

“Theo gapapa kan yah? Theo baik baik aja, iya kan? Theo gak mungkin ninggalin Pansy. Iya kan?” Suaranya hampir hilang, kalah dengan suara tangisnya yang menggema.

“Kita bedoa ya sayang.” Ayah mengecup kepala Pansy, menutup matanya, dan merapalkan doa untuk Theo.

“Pansy gimana kalau Theo gak ada Yah? Aku gak bisa...”

Tak lama kemudian, dokter pun keluar, dengan wajahnya yang penuh dengan kecewa.

Dokter menatap satu persatu keluar dengan tatapan yang tak ingin mereka lihat.

Pansy menggelengkan kepalanya, tidak percaya dengan apa yang akan dokter katakan.

Kecelakaan itu, merenggut nyawa seorang anak, seorang sahabat, seorang kekasih yang sangat disayangi.

Kecelakaan itu, merenggut nyawa seorang lelaki yang sangat Pansy sayangi.

Jiwanya melebur bersamaan dengan hujan, bersatu dengan air hujan yang membawanya pergi, yang merebut paksa dirinya dari sekeliling orang-orang yang sayang kepadanya.

Hujan menang.

Hujan kini bukan hanya hal yang tidak Pansy sukai. Bahkan Pansy sangat membencinya.

Pansy sangat membenci hujan. Hujan yang membawanya pergi, hujan yang merebutnya. Hujan yang menghancurkan kehidupannya. Hujan yang mengubah total hidupnya menjadi gelap, dan suram.

Hujan yang mengubah segalanya.

Pansy membenci hujan.

Hujan yang telah membuat Theo kesayangannya pergi selamanya~🕊


© urhufflegurl_

Malam itu, semua berbeda.

***

Akhirnya, malam hari pun tiba. Theo memakai pakaian yang rapi, padahal bisa saja dia memakai pakaian yang biasa saja. Namun, karena ada hal yang ingin dia sampaikan kepada Pansy, jadi dia memakai pakaian rapi. Dia memakai kemeja berwarna navy, celana bahan berwarna coklat muda, dan menggulungkan lengan baju kemeja miliknya hingga tumit. Sangat tampan.

Sedangkan Pansy, wanita itu hanya memakai celana pendek dan baju apa adanya. Karena ini bukan acara formal, tapi sudah seperti acara acara biasa saja.

Keluarga mereka sering makan malam bersama seperti ini, sebulan ada 5 hingga 8 kali. Sudah seperti acara keluarga rutin.

“Rapi bener, mau kemana lo?” Tanya Pansy duduk di sebelah Theo.

“Kali kali.”

Pansy tak menjawab, dia mengambil nasi dan beberapa lauk yang sudah dihidangkan untuk dimakan.

Mata Theo tak bisa lepas dari wanita itu. Sangat cantik. Pansy sangat cantik. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya sangat cantik walaupun tidak diolesi make up.

“Kenapa bengong? Ayo makan.”

“Ayo makan The, jangan liatin Pansy aja.” Goda Bunda.

Pansy terkekeh pelan, “Dia rapi banget mau kemana sih Bund? Tumben? Keabisan stock kaos ya?”

“Iya, kasian ni kemeja meronta ronta pengen gue pake.” Balas Theo.

“Dasar!” Ucap Pansy menepuk lengan Theo.

“Theo itu ya kayak lo waktu zaman mau nembak Flora. Rapi begini nih, pake kemeja tumben.” Kata Papa Pansy, Papa Nata namanya.

Dan Flora, adalah nama Bunda.

“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.” Balas Ayah.

Pansy terdiam menoleh ke arah Theo, “tapi kan Theo gak kayak Papa. Ya kan The?”

Theo hanya mengedikan bahunya, lanjut makan.


Setelah selesai makan, Pansy diam di belakang rumah, sendirian. Dia sedang beristirahat sejenak setelah kenyang. Menatap langit penuh bintang, dengan kedua kaki dia masukkan ke dalam kolam renang. Baginya, itu sangat membuatnya tenang.

“Pans.”

Pansy menoleh, ada Theo disana. “Sini The.”

Theo duduk di sebelah Pansy. Oke ini saatnya.

“Tumben lo ganteng.”

Theo menoleh, pipinya memerah.

“Lo ganteng malem ini.”

Theo terkekeh pelan. “Thanks.”

Suasana menjadi hening sejenak, Theo mengambil nafas sebelum mengucapkan apa yang selama ini dia rasakan.

“Pans.”

“Hmm?”

“Gue mau ngomong sesuatu.”

“Apa? Ngomong aja, biasanya juga langsung ngomong kan?”

“Selama 20 tahun gue sahabatan sama lo, berdua, dan selalu berdua bareng lo. Gue—”

Pansy menoleh, menatap Theo dengan tatapan yang tak bisa Theo deskripsi kan.

Theo melanjutkan, “Rasanya, gue gak bisa jauh dari lo Pans. Kenal sama lo, ketawa, nangis, luka, sedih, semuanya bareng lo. Semua hal pertama di dunia ini yang gue lakuin, selalu bareng lo. Lo tau kan lo berharga buat gue Pans?”

Pansy terdiam. Masih menatap Theo dengan tatapan itu.

“Gue gak mau lo sama orang lain, gue gak rela.”

“Maksud lo?”

“Pans..”

“Jangan aneh aneh The.”

Pansy berdiri, diikuti oleh Theo.

“Gue belum selesai ngomong.”

“Oke, lanjut.”

“Gue suka sama lo Pans. Gue sayang sama lo, gue sayang sama lo, lebih dari sahabat. Gue gak tau kenapa gue ngerasain ini, gue gak tau kenapa gue punya perasaan ini. Tapi, 10 tahun gue mendem perasaan ini sendiri, gue kagum sama lo, gue cinta sama lo. Gue jatuh cinta sama lo, bener bener jatuh cinta sama lo Pans.”

Akhirnya, akhirnya Theo mengucapkan semuanya. Akhirnya perasaan Theo sedikit lega.

Pansy masih terdiam. Dia menggigit bibirnya, dan menghapus air matanya.

“Pans.. Maaf..”

“Gue pikir kita bisa sahabatan tanpa ada cinta didalamnya The. Ternyata gak bisa.”

Saat Pansy hendak pergi, Theo menahannya. “Pans, plis. Gue gak mau karna ini, gue jadi jauh sama lo.”

“Terus kenapa lo punya perasaan itu?”

“Gue— gue gak tau Pans.”

“Yaudah, diem.”

“Pans!”

Pansy pergi, dan Theo berdiri disana dengan segudang penyesalannya.

“Bangsat!” Umpat Theo.


© urhufflegurl_