Malam yang berbeda, malam yang baru.
***
Malam ini, Pansy akhirnya kembali duduk di belakang Theo, diatas motor milik lelaki berambut coklat itu. Akhirnya Pansy kembali bisa mencium bau Theo, bau yang sangat dia rindukan.
Dan akhirnya, Theo kembali bisa dekat dengan wanita yang selama dua minggu ini, memenuhi pikirannya.
“Mau kemana The?”
“Kemana aja asal sama lo, gue seneng.”
“Dih, belajar gombal darimana?”
Theo terkekeh pelan, memandang wajah Pansy dari pantulan spion. Tak pernah berubah, Pansy selalu cantik.
Theo mengajak Pansy ke salah satu pedagang kaki lima, mereka memesan kopi dan roti bakar. Tadinya Theo ingin makan nasi, tapi Pansy bilang dia sudah makan dan belum terlalu lapar. Jadi Theo memilih roti bakar saja, karena Theo tidak ingin makan sendiri.
“Makasih ya Pa.” Ucap Pansy tersenyum kepada bapak pedagang, setelah beliau selesai menyiapkan pesanannya.
“Apa kabar Pans?” Tanya Theo.
Pansy tersenyum kecil, “Ya gini gini aja. Kayak yang lo liat. Lo apa kabar?”
“Gak pernah baik-baik aja.”
“Gimana kemarin main golf sama Ayah sama Papa?”
“Mereka mah jago golfnya, gue kayak lebih ke belajar dibanding main.”
“Ya mereka main golf udah lama, lo kan baru.”
“Iya, melenceng mulu pukulan gue.”
“Tapi lo juga gak kalah keren kok.”
“Pans. Kita harus ngomong.”
Suasana menjadi serius seketika. Pansy yang tadinya sedang memakan roti bakar dengan santai, kini menyimpan roti bakar itu dan fokus kepada Theo.
“Gue minta maaf soal kejadian malam itu, bener bener minta maaf Pans. Gue tau, gak seharusnya gue jujur soal perasaan gue, bahkan, gak seharusnya gue punya perasaan ini. Maaf Pans.. Gue cuman mau lega, gue cuman mau lo tau, kalau sejauh apapun gue cari, kalau gue mau nya itu lo, ya cuman lo Pans. Cuman lo yang gue mau, cuman lo yang bisa nerima semua sisi baik dan buruk gue, cuman lo.”
Pansy menarik nafas, dia memalingkan wajahnya, kedua tangannya saling menggenggam, dan kembali menatap Theo dengan serius.
“Maaf Pans.. Dan soal Adrian, jujur gue panik banget karena liat muka lo pucet banget, dan lo megang perut. Gue khawatir, takut lo kenapa-kenapa. Terlebih, ngeliat lo dirangkul sama Adrian, itu bikin gue cemburu Pans. He likes you.” Ucap Theo mengangguk.
“But I don't like him.” Balas Pansy.
“I know.. Gue cemburu hari itu, maaf Pans.”
“Udah?”
Theo mengangguk. Kini, giliran Pansy yang berbicara.
“Pertama, soal malam itu. Gue juga minta maaf karna udah minta kita jauh, gue bener bener kaget sama pernyataan cinta lo. Gue pikir, kita bisa temenan tanpa ada perasaan cinta. Gue minta maaf The.. Kedua, soal Adrian, dia udah bilang kalau lo udah minta maaf ke dia, dan dia pun gak mempermasalahkan hal itu, jadi gue udah lupain. Dan ketiga—”
Theo menoleh, dan menatap Pansy dengan hangat.
“The..”
Pansy menggenggam tangan Theo.
“Selama dua minggu tanpa lo, gue nyari jawaban. Gue nyari yang selama ini gue rasain setiap gue deket lo. Gue nyari jawaban apakah perasaan ini hanya perasaan semacam perasaan biasa atau enggak. Gue nyari semua jawaban itu The.”
Theo terus menatap Pansy, dengan tangan yang menggenggam Pansy lebih kuat dan erat.
“Selama ini, setelah liat lo tumbuh dewasa, setelah liat lo jadi lelaki yang dewasa, semua perasaan gue berubah The. Gue gak tau semenjak kapan perasaan ini muncul, tapi yang pasti, gue selalu seneng deket lo. Jujur, gue gak suka sama Luna, gue gak rela kalau iya akhirnya lo sama dia. Gue juga gak suka sama Daphne, gue gak suka kalau iya lo jadian sama dia, gue gak rela The—”
”—selama ini, gue cari semua jawaban itu. Tapi yang gue rasain, gue selalu deg degan tiap deket lo. Gue selalu ngerasa, beda The. Dan setelah malam itu, malam dimana lo jujur soal perasaan lo, gue kaget. Karena gue pikir lo anti sama cinta dalam persahabatan, gue pikir lo gak suka sama gue, gue pikir lo suka sama cewek cewek modelan Luna dan Daphne.”
“Pans..”
“Gue pernah denger, lo ngomong ke Blaise, kalau Luna dan Daphne itu tipe lo. Darisitu, gue mundur perlahan, gue ilangin perasaan gue ke lo. Tapi sialnya, gue malah semakin terjebak The. Gue gak bisa, gue gak bisa setiap harinya gak jatuh cinta sama lo. Gue gak bisa.”
Tak terasa, air mata mengalir di pipi mereka berdua. Genggaman Theo semakin erat.
“Selama dua minggu ini, gue ngerasa hancur banget. Gue kangen banget sama lo The. Gue seolah kehilangan orang yang berharga, gue kehilangan separuh jiwa gue, The. Gue kehilangan lo. Gue kangen banget sama lo. Selama ini juga, gue nemu jawabannya.”
“Gue cinta sama lo, The. Gue sayang sama lo.”
Theo tersenyum senang, dia hampir melompat kalau tidak ingat ini di tukang roti bakar. Dia duduk di sebelah Pansy dan memeluk wanita itu, memeluknya dengan erat, dan mencium rambutnya berkali-kali.
“Gue juga kangen banget sama lo Pans. Gue juga cinta sama lo, gue sayang sama lo. Gue mau lo, Pans. Gue cuman mau lo.”
Malam itu, semuanya berbeda. Diantara Pansy dan Theo, kini berbeda.
Mereka menjalin hubungan, namun tidak merubah kebiasaan diantara keduanya, hanya saja lebih romantis sekarang.
Sepanjang jalan, hanya tawa yang terdengar. Pansy memeluk Theo, dan Theo menggenggam tangannya.
Sesampainya dirumah—
“Cieee pelukaaan!” Seru Ayah, Bunda, Mama dan Papa yang ternyata menunggu diluar rumah.
“Ih kalian ngapain? Ngerumpi ya?” Tanya Pansy.
Theo memakirkan motor, dan merangkul Pansy.
“Theo punya pacar sekarang.”
“Ih!”
Bug!
“Sakit Pans!”
“Langsung jadian ini? Serius?” Tanya Ayah tak percaya.
“Nikah besok gimana?” Susul Mama.
“Mamaa belum skripsiii.” Balas Pansy.
“Yaudah, lulus kuliah aja langsung halal ini mah.” Ucap Papa.
“Ya ampun, kita beneran jadi besan guys!” Ucap Bunda, membuat semuanya tertawa senang.
Theo memeluk Pansy, dan mengecup kepalanya.
“I love you.” Bisik Theo.
Pansy tersenyum, “I love you more, The.”
© urhufflegurl_