litaaps

Lovely.

**

Senyum Hermione merekah ketika mobil yang Ia tumpangi sampai di halaman rumahnya.

“Muka aku gak pucet kan?” Tanya Hermione kepada Draco, sang suami.

“Enggak sayang.” Balas Draco tersenyum manis.

Hermione tidak menjawab, Ia langsung turun dari mobil dan bergegas masuk ke dalam rumahnya.

“Mommyy!!!” Teriak Lyra yang sudah menunggu sang Ibu di halaman depan rumahnya.

“Lyraaa!” Seru Hermione memeluk Lyra.

“Lyra kangen banget tau Mom, Mommy liburan tanpa kita terus ih gak seru.” Ucap Lyra bersedih.

“Lyra mau liburan?”

Lyra mengangguk dengan semangat. “Mau!!”

“Nanti kita liburan ya sayang.”

“Yeaay! Lyra pusing mom sekolah mulu, pengen liburan.”

“Hahaha iya sayang.”

Meninggalkan anak bungsu yang merindukan sang Ibu, di sisi lain ada Draco yang di sambut hangat oleh Cassie.

“Bawa kan baju Cassie?” Tanya Cassie sambil memeluk Draco.

“Bawa dong, nih 5 pasang buat Cassie.” Balas Draco dengan senyumnya yang merekah.

“Makasih Daddy!” Seru Cassie.

“Seru Dad liburan?” Tanya Scorpie kepada Draco.

Draco yang mengerti itu adalah pertanyaan yang basa basi hanya tersenyum dan mengusap lembut.

“Grandma kemarin nanya kabar Mommy, Scorp jawab baik-baik aja. Emang semua baik-baik aja kan Dad?” Tanya Scorpie sedikit berbisik.

Draco menggaruk kepalanya yang tak gatal, dari raut wajahnya saja sudah terjawab pertanyaan Scorpius bahwa semuanya tidak baik-baik saja.

“Dad?” Tanya Scorpie sekali lagi.

“Baik kok, ya semua nya baik baik aja, Scorp.” Balas Draco tersenyum dan pergi menuju kamarnya.

Scorpius yang tahu bahwa ayahnya berbohong itu hanya menghela nafasnya dan menatap Hermione dengan tatapan yang sedu.

“Tuhan, tolong jangan ambil sumber kebahagiaan kami.”


© urhufflegurl_

Pain

**

Hermione masuk ke dalam kelasnya dengan raut wajah yang entahlah Ia juga tidak bisa mendeskripsikannya sendiri.

Ia jalan dengan sedikit tak niat dan tak sengaja Ia menabrak Harry yang sedang berdiri didepan kelas.

“Ets, jalan yang bener dong Tuan Puteri.” ucap Harry.

Hermione menghela nafasnya dan mendecak kesal. “Sorry gak liat. Lagi pula, ngapain sih berdiri didepan pintu? Ngalangin jalan orang tau gak?”

Harry dan Ron tertawa mendengar Hermione.

“Dia ini termasuk orang jenis apa ya? Gue kira bukan orang.” ledek Ron.

“Mulut lo lemes banget jadi cowok.” ketus Hermione jalan menuju bangku nya, malas berurusan dengan orang yang tak penting.

“Gimana keadaan kakak lo? Enak gak jadi adik dari pecandu narkoba?”

Pertanyaan dari Harry itu berhasil membuat Hermione terdiam dan seisi kelas menjadi hening.

Hermione mengepalkan tangannya keras. “Maksudnya?”

“Oliver kakak lo kan? Gue dapet kabar katanya dia ditangkap sama polisi karena pakai narkoba. Malu maluin ya.”

Hermione menghampiri Harry dan menamparnya dengan keras.

“Jaga ya mulut lo. Lo cowok, harusnya lo bisa dan tau cara ngehargai cewek gimana.” ucap Hermione dengan emosi yang memuncak, dadanya naik turun tak beraturan dan matanya mulai berkaca-kaca.

“Cewek yang kayak gimana yang harus gue hargai? Kayak lo? Gue rasa bukan. Lo gak cocok untuk di hargai. Keluarga rusak kayak lo itu gak cocok untuk di hargai.”

Saat itu juga air mata Hermione meleleh. Ia menangis. Rasanya seluruh harga dirinya telah di injak injak oleh Harry.

“Terserah lo ngomong apa. Tapi lo harus inget, orang yang gak bisa ngehargai orang lain itu lebih rendah dari sampah.” bisik Hermione kepada Harry sebelum dia pergi dari kelas.


© urhufflegurl_ & noturnoir

**

Hermione masuk ke dalam kelasnya dengan raut wajah yang entahlah Ia juga tidak bisa mendeskripsikannya sendiri.

Ia jalan dengan sedikit tak niat dan tak sengaja Ia menabrak Harry yang sedang berdiri didepan kelas.

“Ets, jalan yang bener dong Tuan Puteri.” ucap Harry.

Hermione menghela nafasnya dan mendecak kesal. “Sorry gak liat. Lagi pula, ngapain sih berdiri didepan pintu? Ngalangin jalan orang tau gak?”

Harry dan Ron tertawa mendengar Hermione.

“Dia ini termasuk orang jenis apa ya? Gue kira bukan orang.” ledek Ron.

“Mulut lo lemes banget jadi cowok.” ketus Hermione jalan menuju bangku nya, malas berurusan dengan orang yang tak penting.

“Gimana keadaan kakak lo? Enak gak jadi adik dari pecandu narkoba?”

Pertanyaan dari Harry itu berhasil membuat Hermione terdiam dan seisi kelas menjadi hening.

Hermione mengepalkan tangannya keras. “Maksudnya?”

“Oliver kakak lo kan? Gue dapet kabar katanya dia ditangkap sama polisi karena pakai narkoba. Malu maluin ya.”

Hermione menghampiri Harry dan menamparnya dengan keras.

“Jaga ya mulut lo. Lo cowok, harusnya lo bisa dan tau cara ngehargai cewek gimana.” ucap Hermione dengan emosi yang memuncak, dadanya naik turun tak beraturan dan matanya mulai berkaca-kaca.

“Cewek yang kayak gimana yang harus gue hargai? Kayak lo? Gue rasa bukan. Lo gak cocok untuk di hargai. Keluarga rusak kayak lo itu gak cocok untuk di hargai.”

Saat itu juga air mata Hermione meleleh. Ia menangis. Rasanya seluruh harga dirinya telah di injak injak oleh Harry.

“Terserah lo ngomong apa. Tapi lo harus inget, orang yang gak bisa ngehargai orang lain itu lebih rendah dari sampah.” bisik Hermione kepada Harry sebelum dia pergi dari kelas.


© urhufflegurl_ & noturnoir

Prolog.

**

Bangunan tinggi berwarna putih ini sudah melekat didalam kehidupannya. Hanya ruangan ini yang bisa Ia lihat dan Ia rasakan.

Dingin.

Sunyi

Sepi.

Hanya ketiga itu lah yang Ia rasakan. Rasanya dunia runtuh, hancur berantakan dalam sekejap. Dunia yang Ia coba rangkai seindah mungkin, benar benar terpecah belah seakan-akan semesta tak mengizinkan Ia untuk bahagia walaupun sekejap.

Kepada siapa Ia harus mengadu sekarang?

Tak ada yang peduli.

Tak ada yang sayang kepadanya.

Tak ada yang meliriknya bahkan untuk menyentuhnya saja mungkin mereka jijik.

Ia bukan seorang pendosa.

Tapi lingkungan di sekitar nya lah yang membuat Ia seolah-olah adalah seorang pendosa.

Siapa yang menginginkan kehidupan yang seperti ini? Tidak ada.

Tak ada sebesit pun bayangan kehidupannya akan segelap ini. Hanya tembok yang ada di hadapannya yang berwarna putih.

Ya, hanya itu.

Selebihnya, semua nya gelap.

Benar benar gelap.


© urhufflegurl_ & noturnoir

Sakit.

**

“Kemana? Drake?” tanya Daphne menyusul Draco.

“Rumah.” balas Draco.

“Ngapain?”

“Ada yang harus gue urus. Sebentar kok.”

“Yaudah, hati hati ya.” Daphne mengecup mesra pipi Draco.

Draco hanya tersenyum dan mengusap rambut Daphne, lalu Ia pergi dari kantor nya.

Anak buahnya berhasil menghabisi keluarga Granger. Itu artinya, rencananya berhasil. Kedua orang tua Hermione telah meninggal. Kini tinggal Hermione.

Harusnya Ia senang, tapi mengapa Ia gelisah? Mengapa hatinya tak tenang. Rasanya hatinya mengatakan bahwa semua yang lakukan ini salah. Ada apa dengannya?

Fikiran itu terus menyerbu hingga tak terasa akhirnya Ia sampai rumahnya. Ia segera menuju sayap kanan manor dimana ruangan Hermione berada.

Draco membuka pintu kamar Hermione, tidak bisa terbuka, pintunya terkunci. Ia pun meminta salah satu ART nya untuk membawakan kunci cadangan. Dan Draco berusaha untuk membukanya dengan kunci itu.

Saat Ia membuka pintu kamar, yang langsung Ia temukan adalah Hermione yang terkapar lemah di lantai. Gadis itu tidak sadarkan diri. Wajahnya benar benar pucat.

Draco terkejut melihat itu, saat Ia hendak menolongnya, terlintas fikiran yang membuat kakinya berhenti bergerak.

“Kita harus cari keluarga Granger! Kita gak bisa biarin mereka bebas gitu aja.”

“Uang di bayar uang, nyawa pun di bayar sama nyawa. Iya kan?”

“Drake, semakin cepet lo bunuh semua keluarga Granger, semakin cepet kita nikah. Lo mau kan nikah sama gue? Iya kan?”

Draco memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya.

“Dengan cara ini, perlahan dia pasti mati.” bisiknya kepada dirinya sendiri.

Perlahan Draco mundur dan kembali keluar dari kamar Hermione, Ia menutup kembali pintu Hermione dan menguncinya.

Ia pergi dari kamar Hermione perlahan dengan langkahnya yang gusar.

Apa yang harus Ia lakukan?

Didalam sana, Hermione sedang sekarat. Apa yang harus Ia lakukan?

Draco menghentikan langkahnya dan menghela nafasnya berat. Ia menggusar kasar wajahnya.

Harusnya Ia senang.

Namun mengapa Ia merasa gelisah dan berat melakukan semua ini?

Apa yang harus Ia lakukan?

Membiarkan Hermione mati didalam ruangan sana, dan dendamnya selesai.

Atau menolongnya dan menganggap dendamnya selesai karena kedua orang tua Hermione mati karena rencananya?


© urhufflegurl_

Ice Cream.

**

“Gimana dokter?” tanya Draco kepada dokter Poppy.

Dokter Poppy yang sebelumnya sudah di ajak kerja sama oleh Hermione pun terdiam, Ia menghela nafasnya.

“Gak sehat kan? Gak boleh kan dok pergi jauh jauh?” tanya Draco dihadiahi pukulan dari Hermione.

“Boleh kok..” balas dokter Poppy yang membuat Hermione tersenyum bahagia.

Draco mengerutkan keningnya. Bagaimana bisa dokter Poppy bilang boleh?

“Bener dok? Gak salah cek?” tanya Draco.

“Ih dray udah sih iya aja!” ketus Hermione.

“Sayang.. Aku cuman gak mau terjadi apa apa sama kamunya nanti.”

“Gak akan ih!”

“Yaudah..” bisik Draco menggenggam tangan Hermione.


Setelah melakukan tes, mereka memutuskan untuk memakan ice cream karena Hermione meminta nya.

Jujur, dari tadi pagi kepala Hermione sangat sakit. Namun Ia menahannya. Ia memoleskan make up ke wajahnya agar Ia terlihat fresh dan sehat.

Namun tetap saja, Draco bisa melihatnya.

Hermione terdiam menikmati rasa sakit di kepalanya. Draco yang mengerti keadaan Hermione pun pindah duduk ke sebelahnya dan menyenderkan kepala Hermione di bahunya.

“Lusa kita berangkat ya sayang?” bisik Draco.

“Yang bener?” tanya Hermione heboh.

Draco tersenyum, “Bener sayang. Sekarang abisin ice cream nya ya?”

“Yeaay makasi drayy!”

“Sama sama, love.”

Didalam hati nya, Draco sebenarnya tak ingin membiarkan Hermione pergi, namun Ia tidak ingin membuat Hermione kecewa.


© urhufflegurl_

Please..

**

“Hai!” Sapa Daphne memeluk Draco dan tersenyum ketika Ia mendapatkan kecupan manis dari Draco.

“Ayo, manor nungguin lo.” Bisik Draco.

Daphne tertawa, “Dasar.”

Mereka sama sama menuju manor menaiki mobil milik Draco.

Tak butuh waktu lama, akhirnya mereka sampai si Manor.

“Gue mau ke ruangan Hermione dulu ya.” Ucap Draco kepada Daphne.

“Ikuut.”

“Ayo.”

Mereka sama sama menuju sayap kanan Manor, dimana ruangan Hermione berada. Disana, dia melihat Hermione sedang berdiri bersama salah satu pegawainya.

Saat melihat ada Draco disana, Hermione segera berlari dan sujud di hadapan Draco.

“Saya tau.. Saya tau alasan anda nyulik saya, saya tau. Saya minta maaf.. Saya mohon, jangan apa-apain orang tua saya, saya mohon Mr. Malfoy.. Saya mohon.. Anda boleh suruh saya apapun, saya siap jadi pembantu anda, atau apapun itu, saya siap. Tapi saya mohon, jangan sentuh orang tua saya, jangan ganggu mereka..”

Draco yang terkejut akan sikap Hermione yang tiba tiba itu terdiam mematung melihat Hermione memohon mohon kepadanya.

“Kamu tau?” Tanya Draco dengan suaranya yang berat.

“Saya tau. Saya minta maaf atas kesalahan orang tua saya, saya minta maaf.. Maaf..”

Draco jongkok memposisikan diri sejajar dengan Hermione. Ia memicingkan senyumnya. Tangannya memegang dagu Hermione dan mengangkatnya sehingga mata Hermione menatap matanya.

“Bahkan, nyawa kamu saja itu tidak cukup untuk menebus dosa kedua orang tua kamu.” Bisik Draco menepis kasar wajah Hermione dan menendang badan Hermione sehingga gadis itu tersungkur.

Setelah itu, Draco menarik tangan Daphne untuk pergi dari sana meninggalkan Hermione sendirian.

“Maaf.. Maaf..” Lirih Hermione dalam tangisannya.


© urhufflegurl_

Malfoy?

**

“Miss Granger, Tuan Muda menyuruhku untuk menuntun mu bekerja disini.”

Hermione menoleh, apa ini tujuan Ia di culik? Untuk dipergunakan sebagai pembantu?

Hermione hanya mengangguk tanpa berbicara sedikitpun.

“Siapkan dirimu dan segera menuju dapur, ya.”

Setelah itu, Hermione berdiri dan mencuci mukanya. Ia benar benar tidak mengerti mengapa Ia disini, mengapa Ia disuruh bekerja, mengapa Ia disuruh menjadi pembantu. Ia benar benar tidak mengerti.

Hermione menarik nafasnya panjang, menghapus air matanya yang menetes, dan menggigit bibir bawahnya menahan rasa sesak.

Ia menoleh ke arah meja, disana hanya ada 7 buku dan obat asma nya. Tidak ada yang lain.

Ia merindukan rumahnya.

Benar benar merindukannya.


Bangunan ini tidak bisa dikatakan sebagai rumah. Ini istana. Benar benar istana. Bangunannya sangat besar, luas, sepi dan tenang.

Nuansa gelap memang menyelimuti rumah ini, namun ruangan ini tetap terang. Tidak segelap ruangan Hermione.

Ia jalan menuju dapur atas petunjuk salah satu pegawai disana. Sesampainya didapur, langkahnya terhenti ketika Ia mendengar beberap orang disana sedang mengobrol.

“Kasian ya Miss Granger. Dia harus nebus dosa kedua orang tuanya.”

“Iya, tapi lebih kasian Mr. Malfoy. Dia jadi anak sebatang kara dari umur 6 tahun.”

Hermione mengerutkan keningnya. Malfoy? Sepertinya nama itu tidak asing.

“Kita tidak bisa bebas sebelum Malfoy satu itu mati, Helena.”

“Bagaimana bisa caranya? Semua ini karenamu! Andai kamu dulu gak gegabah, kita gak akan kayak gini. Kita gak akan pindah pindah rumah kayak gini!”

Hermione melotot dan menutup mulutnya. MALFOY?!

Ia ingat.

Malfoy.

Malfoy adalah keluarga yang telah dihancurkan oleh kedua orang tuanya.

Ia tahu, kedua orang tuanya telah menghabiskan keluarga Malfoy. Tapi Ia tidak mengerti mengapa karena Ia tidak berani untuk bertanya lebih.

Keluarga Malfoy adalah keluarga yang membuat keluarganya pindah kemana mana seperti buronan.

Jadi ini alasan mengapa Ia disini?

Hermione menangis dan berlari kembali menuju kamarnya.

Ia membanting pintu dan duduk dilantai, memeluk lututnya sendiri.

“Gue tau... Gue disini untuk nebus dosa orang tua gue...”


© urhufflegurl_

Books.

**

Hermione terdiam ketika 4 buah buku yang Ia minta datang kepadanya.

Ia menangis terus menerus, matanya benar benar bengkak dan merah. Bahkan sampai saat ini, Ia tidak juga berhenti menangis.

“Tuan Malfoy mengizinkan kami untuk membawa buku buku ini untuk kamu.”

Hermione tidak menjawab, Ia memalingkan wajahnya seraya menghapus air matanya.

Ia memeluk lututnya sendiri dan menangis sekencang mungkin disana.

Tempat ini gelap, dingin dan usang.

Ia tidak ingin berada disini.

Dosa apa yang telah Ia buat sehingga Ia harus berada disini? Mengapa Ia harus terjebak didalam penjara ini?

Mengapa?

Hermione meraih salah satu buku kosong disana dan pulpen. Ia menuliskan curhatan hatinya disana.

Memang seperti itu lah Hermione, Ia menaruhkan seluruh kesedihan dan kebahagiaannya lewat buku. Buku apapun itu.

“Ma.. Pa.. Hermione disini..” lirih Hermione kembali menangis.


© urhufflegurl_

Sesak.

**

Draco terburu-buru pergi dari bar yang sedang Ia nikmati kenikmatannya hanya karna seorang Hermione Granger.

Ia memasuki kamar dan mendapati Hermione sedang terduduk di lantai memegangi dadanya.

“Saya sudah bilang sama kamu. Diam disini.” ucap Draco dengan ketus.

“G—gue, m—mau pulang.” balas Hermione seperti orang sesak nafas.

Tidak, tidak seperti orang sesak nafas. Ia memang sedang sesak nafas.

“Tuan, sepertinya dia sedang sesak nafas.” ucap salah satu karyawan disana.

“Kamu punya asma? Dan berani-beraninya bertingkah seolah olah kamu orang sehat? Gila kamu?”

Hermione tak mendengarkannya, dadanya benar benar sesak.

“Tolong bawakan obat asma.” perintah Draco kepada karyawannya.

“Baik, Tuan.”

Draco menuntun Hermione untuk kembali ke kasurnya.

“Kalau sakit itu jangan so soan bertingkah seolah olah kamu sehat.”

“Berisik.”

“Saya kasih tau kamu. Saya disini bukan mau macam macam, saya hanya—”

“Hanya apa?!” teriak Hermione menangis.

“Lo mau apa hah? Lo mau bunuh gue kan?! Iya kan?! Lo siapa sebenernya? Kenapa lo culik dan kurung gue ditempat gelap ini, kenapa?! Apa salah gue?!” teriak Hermione tepat di hadapan Draco.

“Gue gak punya musuh selama ini. Kenapa lo dateng seolah olah gue punya musuh hah?!”

“Sepertinya kamu sudah sehat.” Draco berdiri dan menjauh dari Hermione.

Namun, baru beberapa langkah saja, Draco merasakan sesuatu memukul punggunya.

“JAWAB GUE! LO SIAPA SEBENERNYA!” Teriak Hermione.

Draco mengepalkan tangannya dengan keras. Ia jalan begitu saja meninggalkan Hermione sendirian.

“Plis.. Mama Papa.. Hermione dimana... Hermione dimana..”

Hermione terus menangis merasakan dadanya semakin sakit dan sesak hingga Ia kehilangan kesadarannya.


© urhufflegurl_