litaaps

Jakarta sore itu.

**

Hermione mengatur nafasnya dan mulai berjalan menuju gerbang sekolah. Ia gugup karena untuk pertama kali nya Ia akan pulang dengan lelaki yang Ia suka, Draco Malfoy.

“Beneran nunggu gue?” Tanya Hermione.

Draco tertawa kecil. “Iya. Tapi bis ya?”

“Iya, emangnya lo udah punya SIM buat naik motor?”

“Gak ada sih, tapi motor gue lagi ada masalah dan biasanya emang gue naik motor.”

Percayalah, itu hanya alasan Draco saja. Sebenarnya motornya ada, hanya saja Draco sengaja tidak membawa motornya dikarenakan Ia ingin naik bis bersama Hermione.

Hermione sama seperti siswa lain, pulang sekolah Ia kalau tidak dijemput ya naik bis, tapi lebih sering di jemput dikarenakan jarak sekolah dengan rumah nya cukup jauh.

Namun untuk kali ini, kebetulan Hermione tidak di jemput. Jadi Ia bisa pulang dengan Draco menaiki bis.

Bis yang akan mereka tumpangi datang dengan cepat. Mereka pun menaiki bis itu bersama sama.

“Yaah penuh Drake.” lirih Hermione. Sebenarnya tidak masalah bagi Hermione, akan tetapi Ia hanya takut Draco tak nyaman.

“Gapapa, berdiri aja. Lebih romantis.”

Hermione tersenyum salah tingkah, wangi Draco benar benar khas. Ia sangat suka wangi lelaki ini.

Tangan Hermione dan tangan Draco sama sama memegang pegangan bis. Dan tak sengaja, karena jarak yang terlalu dekat, tangan mereka bertemu dan saling menyentuh satu sama lain membuat sang pemilik saling menoleh.

Hermione dan Draco sama sama tersenyum.

“Drake, mau tanya deh.”

“Hmm?” Draco menoleh.

Walaupun hanya menoleh, namun berhasil membuat jantung Hermione berdetak tak karuan.

Hermione menelan ludahnya. “Lo tau darimana gue anak IPA 2?”

“Siapa yang gak kenal lo, osis, basket juga.”

“Banyak yang gak kenal gue. Gue nolep.”

“Tapi gue dan temen temen gue kenal lo.”

Hermione hanya tersenyum.

“Lo sendiri tau gue darimana?”

“Yaa kan basket, gimana sih.”

“Emm nyuri diem diem foto lembar absen ya?”

“Hah?! Apaan?! Enggak.” bantah Hermione gugup.

Draco tertawa melihat reaksi Hermione. “Gue tau kok, gue merhatiin lo juga, bukan cuman lo yang merhatiin gue, tapi gue juga merhatiin lo. Percaya sama gue.”

“Ah musyrik percaya sama lo mah.”

Draco tersenyum sambil menoleh ke arah Hermione. “Gue seneng bisa temenan sama lo, ya mudah mudahan bisa lebih.”

“Hah?”

“Enggak.”

Sore itu, menjadi sore yang indah untuk Hermione. Ia merasa rasa cinta nya akan terbalaskan. Ya, mencintai Draco adalah yang tepat.

Fikirnya.


© urhufflegurl

Semua karena Ginny.

**

Ginny tertawa lepas ketika mengejek Hermione. Ya bilang lah Hermione memakan ludah sendiri karena Ia sendiri yang bilang gak mau jatuh cinta sama anak basket, tapi nyatanya lagi lagi Ia terpikat kepada lelaki basket.

Kebiasaan.

Ya namanya suka, mau bagaimana lagi?

“Kenapa gak kak Oliver? Gue liat liat kak Oliver suka sama lo.”

“Enggak ah, Draco lebih ganteng.”

“Dih bener bener ya. Coba mana sini nomernya gue mau liat.”

“Ih gak mau!”

“Sinii.”

Ginny merebut ponsel Hermione dengan lancar. Ia menjauh dari Hermione sementara Hermione hanya mendecak kesal di bangku nya.

Mudah mudahan Ginny tidak melakukan hal gila.

Ya mudah mudahan. Tapi nyatanya, Ginny melakukan hal gila.

“Selesai!” Ginny memberikan ponsel Hermione kepada Hermione.

“GINNY WEASLEYY??! ANJIR? LO BERANI BERANINYA CHAT DIA?!”

Ginny tertawa puas sementara Hermione panik karena pesan itu sudah terbaca.


© urhufflegurl

Enchanted.

**

Sabtu ini, Hermione dan Ginny langsung mengunjungi lapangan basket SMA Hogwarts setelah selesai belajar. Di hari sabtu, biasanya SMA Hogwarts hanya memiliki jam pelajaran setengah hari, ya setengah hari nya untuk ekstrakulikuler.

“Hai, kalian mau ikut ekskul basket juga?” Tanya seorang lelaki.

Hermione dan Ginny mengangguk. “Daftar kemana ya kak?”

Lelaki itu tertawa. “Jangan panggil kakak, kita sama sama kelas 10 kok. Kenalin, gue Harry.”

“Ah kirain kakak kelas, gue Ginny. Ini temen gue, Hermione. Mau ikut juga.”

“Boleh boleh, siapa tadi namanya? Bisa di data disini aja ya, tulis nama dan kelas.”

“Siap kak!”

Setelah selesai menulis data, kini waktunya bermain basket. Awalnya diperkenalkan dulu siapa ketua, dan siapa saja kakak kelas yang akan mendampingi selama ekskul ini.

Tidak ada yang aneh bagi Hermione hingga akhirnya pengenalan ketua basket.

Hermione merasa aneh karena Ia dari tadi merasa di perhatikan oleh ketua basket itu.

“Kenalin, gue Oliver, ketua basket disini. Untuk hari ini, para cewek di ajarin sama gue, dan cowok di ajarin sama Cormac.” Ucap Oliver tersenyum manis.

“Okee kak!” Sahut para wanita di sana.


Waktu bermain basket pun di mulai. Sesuai dengan apa yang di katakan oleh Oliver, para wanita di ajari oleh Oliver, sementara para lelaki di ajari oleh Cormac.

Awalnya berjalan dengan lancar, semua bersusun ke belakang untuk mendapatkan giliran memasukkan bola ke dalam ring basket.

Ya awalnya semua berjalan dengan lancar, hingga tiba saatnya Hermione lah yang mendapatkan giliran.

Satu kali, Ia gagal memasukkan bola itu.

Dua kali, Ia juga gagal.

“Sini, gue ajarin.” Ucap Oliver menghampiri Hermione.

Hermione terkejut, pasalnya perlakuan Oliver ini hanya kepada Hermione, bukan ke perempuan lain juga.

“Eh?” Gumam Hermione.

“Sini.”

Oliver berdiri di belakang Hermione. “Tangan lo kalau megang bola basket itu gini.”

Hermione merasakan jantungnya sedikit berbedar karena jarak diantara dirinya dengan Oliver cukup dekat. Oliver berdiri dibelakang Hermione dengan kedua tangannya menempel dengan tangan Hermione.

“Bungkukin badan lo, tangan lo yang kiri dibawah. Yang kanan di atas. Dan lempar.” Perintah Oliver mengambil alih tangan Hermione.

Dan yaap!

Bola itu masuk tepat kedalam ring basket. Hermione tersenyum, namun jantungnya masih berdebar.

“Gimana? Bisa kan?” tanya Oliver.

“Makasih kak.”

Hermione kembali ke barisan belakang dengan wajah memerah dan hawa badan cukup panas.


“Cieee, diajarin langsung sama ketua basket.” ejek Ginny menyenggol badan Hermione.

“Apa sih Gin, biasa aja kali. Lagian lo inget kan? Gue gak akan suka lagi sama anak basket. Cukup masa SMP aja dunia gue penuh dengan cowok cowok basket. SMA jangan.”

“Iya iyaa percaya.”

Hermione menggelengkan kepalanya perlahan, Ia melihat pemandangan lapangan basket ini dengan seksama hingga akhirnya mata hazel yang indah itu berhenti di satu titik.

Titik dimana semua pusat bumi nya kini berhenti.

Titik dimana Ia yakin bahwa Ia akan mengkhianati perkataannya sendiri.

Ia tersenyum ketika melihat lelaki itu, lelaki yang sedang asyik bermain bola basket sendiri.

Lelaki yang menyendiri di ujung lapangan.

Siapa dia?

“Gin.”

“Ya?”

“Cowok itu, siapa ya?” tanya Hermione menunjuk lelak itu.

“Gila! Lo suka? Katanya gak akan suka sama anak basket lagiii.”

“Tapi ganteng Gin..”

“Bener bener ya lo.”

“Siapa Gin?”

“Draco, Draco Malfoy anak IPA 4.”


© urhufflegurl

Enchanted.

**

[]!(https://i.imgur.com/Y3jD9KV.jpg)

Sabtu ini, Hermione dan Ginny langsung mengunjungi lapangan basket SMA Hogwarts setelah selesai belajar. Di hari sabtu, biasanya SMA Hogwarts hanya memiliki jam pelajaran setengah hari, ya setengah hari nya untuk ekstrakulikuler.

“Hai, kalian mau ikut ekskul basket juga?” Tanya seorang lelaki.

Hermione dan Ginny mengangguk. “Daftar kemana ya kak?”

Lelaki itu tertawa. “Jangan panggil kakak, kita sama sama kelas 10 kok. Kenalin, gue Harry.”

“Ah kirain kakak kelas, gue Ginny. Ini temen gue, Hermione. Mau ikut juga.”

“Boleh boleh, siapa tadi namanya? Bisa di data disini aja ya, tulis nama dan kelas.”

“Siap kak!”

Setelah selesai menulis data, kini waktunya bermain basket. Awalnya diperkenalkan dulu siapa ketua, dan siapa saja kakak kelas yang akan mendampingi selama ekskul ini.

Tidak ada yang aneh bagi Hermione hingga akhirnya pengenalan ketua basket.

Hermione merasa aneh karena Ia dari tadi merasa di perhatikan oleh ketua basket itu.

“Kenalin, gue Oliver, ketua basket disini. Untuk hari ini, para cewek di ajarin sama gue, dan cowok di ajarin sama Cormac.” Ucap Oliver tersenyum manis.

“Okee kak!” Sahut para wanita di sana.


Waktu bermain basket pun di mulai. Sesuai dengan apa yang di katakan oleh Oliver, para wanita di ajari oleh Oliver, sementara para lelaki di ajari oleh Cormac.

Awalnya berjalan dengan lancar, semua bersusun ke belakang untuk mendapatkan giliran memasukkan bola ke dalam ring basket.

Ya awalnya semua berjalan dengan lancar, hingga tiba saatnya Hermione lah yang mendapatkan giliran.

Satu kali, Ia gagal memasukkan bola itu.

Dua kali, Ia juga gagal.

“Sini, gue ajarin.” Ucap Oliver menghampiri Hermione.

Hermione terkejut, pasalnya perlakuan Oliver ini hanya kepada Hermione, bukan ke perempuan lain juga.

“Eh?” Gumam Hermione.

“Sini.”

Oliver berdiri di belakang Hermione. “Tangan lo kalau megang bola basket itu gini.”

Hermione merasakan jantungnya sedikit berbedar karena jarak diantara dirinya dengan Oliver cukup dekat. Oliver berdiri dibelakang Hermione dengan kedua tangannya menempel dengan tangan Hermione.

“Bungkukin badan lo, tangan lo yang kiri dibawah. Yang kanan di atas. Dan lempar.” Perintah Oliver mengambil alih tangan Hermione.

Dan yaap!

Bola itu masuk tepat kedalam ring basket. Hermione tersenyum, namun jantungnya masih berdebar.

“Gimana? Bisa kan?” tanya Oliver.

“Makasih kak.”

Hermione kembali ke barisan belakang dengan wajah memerah dan hawa badan cukup panas.


“Cieee, diajarin langsung sama ketua basket.” ejek Ginny menyenggol badan Hermione.

“Apa sih Gin, biasa aja kali. Lagian lo inget kan? Gue gak akan suka lagi sama anak basket. Cukup masa SMP aja dunia gue penuh dengan cowok cowok basket. SMA jangan.”

“Iya iyaa percaya.”

Hermione menggelengkan kepalanya perlahan, Ia melihat pemandangan lapangan basket ini dengan seksama hingga akhirnya mata hazel yang indah itu berhenti di satu titik.

Titik dimana semua pusat bumi nya kini berhenti.

Titik dimana Ia yakin bahwa Ia akan mengkhianati perkataannya sendiri.

Ia tersenyum ketika melihat lelaki itu, lelaki yang sedang asyik bermain bola basket sendiri.

Lelaki yang menyendiri di ujung lapangan.

Siapa dia?

“Gin.”

“Ya?”

“Cowok itu, siapa ya?” tanya Hermione menunjuk lelak itu.

“Gila! Lo suka? Katanya gak akan suka sama anak basket lagiii.”

“Tapi ganteng Gin..”

“Bener bener ya lo.”

“Siapa Gin?”

“Draco, Draco Malfoy anak IPA 4.”


© urhufflegurl

Jealousy

**

Hermione dan Draco sampai di rumah sakit. Draco membawa kan semua belanjaan Hermione yang lumayan banyak. Hermione sengaja membeli banyak cemilan karena Ia tahu Theo sangat tidak bisa diam mulutnya alias senang ngemil. Ditambah Theo sedang sakit seperti ini, pasti nafsu untuk ngemilnya semakin bertambah.

Hermione jalan berdampingan dengan Draco, Ia sesekali melirik lelaki berambut pirang itu dan tertawa kecil, cukup lucu melihat Draco yang keberatan membawa barang belanjaannya.

Sesampainya diruangan Theo, mereka pun masuk. Disana sudah ada Blaise dan Pansy yang sudah sampai duluan.

Percayalah, tadinya Theo akan menyambut Hermione penuh dengan kegembiraan karena bukan hanya Hermione yang datang, tapi makanan juga. Akan tetapi semua itu sirna ketika Theo melihat Draco di samping Hermione. Dan malah Draco lah yang membawa semua belanjaan titipannya.

“Hai The, gimana? Udah minum obat?” tanya Hermione menyimpan tas kecil miliknya di atas nakas milik Theo.

“Udah.” balas Theo singkat. Mood nya hari ini menjadi berantakan.

“Kenapa sih masih pagi udah bad mood aja. Eh gue bawain buah kesukaan lo nih biar lo cepet sehat, cepet lari!” seru Hermione mengeluarkan buah buahan kesukaan Theo dari kantung kresek.

“Suapin.” ucap Theo manja.

Hermione memutarkan bola matanya malas. “Udah gede, manja banget!”

Theo menyeringai melihat Hermione kesal. “Ya gapapa dong, kan ke lo manja nya, bukan ke cewek lain. Iya gak?”

Hermione hanya tersenyum tipis melihat kedipan mata Theo yang ditujukan kepadanya. Baginya, Theo sangat menggemaskan.

“Yaudah sini gue suapin.”

Sambil Hermione menyuapi Theo, sambil mereka mengobrol tentang banyak hal. Dimulai dari cerita random Theo kenapa dia bisa kecelakaan, lalu dilanjut dengan cerita suasana kampus yang sepi disaat Theo tidak ada, lalu dilanjut dengan obrolan obrolan lain mengenai dosen mereka yang killer dan terus menanyakan Theo si biang rusuh dan membuat onar.

Setelah panjang lebar bercerita dan tertawa, Theo merasa lelah. Kaki dan tangannya terasa linu.

“Eh Mi boleh minta tolong ambilin obat gak ya? Gue lupa, di suster yang kemarin itu. Inget kan?” tanya Theo.

“Inget inget. Yaudah gue ambilin dulu ya yo.”

“Thanks Mi.”

Hermione pun berdiri dan mulai berjalan menuju luar ruangan Theo. Namun, baru beberapa langkah, tidak sengaja kaki Hermione tersandung salah satu bangku disana membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan.

Bug!

Rasanya empuk. Hermione tidak merasakan Ia jatuh ke lantai. Dan benar saja, Ia bukan jatuh ke lantai, melainkan ke pelukan Draco. Pantas saja empuk.

Posisi Draco dan Hermione benar benar berpelukan. Kedua tangan Draco melingkar sempurna di pinggang Hermione, dan kedua tangan Hermione melingkar sempurna di pinggang Draco.

Dan itu tidak sengaja.

Theo tau itu tidak sengaja, namun entah mengapa Ia sangat tidak suka dengan suasana seperti ini. Mood nya yang berantakan ditambah berantakan lagi.

Apa Ia benar benar mencintai Hermione?

Gadis kecil berambut ikal yang memiliki mata hazel yang hangat. Gadis yang selalu riang dan selalu berada di sisi Theo.

Apa perasaan itu telah berkembang menjadi sebuah cinta dan kasih sayang?

Jawabannya iya. Theo mengakuinya bahwa Ia mencintai Hermione.

Bahkan jauh dari sebelum hari ini.

Ya, Theo mencintai Hermione maka dari itu Ia cemburu ketika Ia melihat Hermione dengan lelaki lain.

Terutama Draco.


© justcallmelit

Lost you.

**

“Draco mengalami amnesia ringan, Ia kehilangan setengah memorinya dan kemungkinan besar memori yang hilang sekitar 2 tahun kebelakang. Ia tidak mengingat apapun kejadian 2 tahun belakang.”

Penjelasan dari dokter barusan membungkam semua yang ada didalam ruangan VVIP itu, termasuk Hermione yang daritadi hanya diam tak bersuara sama sekali.

Hermione melirik Draco yang sedang tertidur, Ia diberi obat penenang karena kepalanya sangat sakit.

“So-sorry, lo siapa?”

Hermione menutup mulutnya seketika. “Draco, kamu gak inget aku? Aku Hermione, pacar kamu.”

Draco semakin mengerutkan keningnya. Pacar? Seingetnya Ia tidak memiliki pacar.

“Gue gak punya pacar, sorry gue gak kenal sama lo.”

Hermione menatap Draco dengan mata berkaca-kaca. Ia menangis, bagaimana bisa Draco melupakannya begitu saja? Ia melupakan seseorang yang membuatnya bertahan.

“Drake, masa lo gak inget sama Hermione?” tanya Pansy.

Draco menggelengkan kepalanya, “Enggak, gak inget.”

“Astoria mana Ma?” tanya Draco kepada Narcissa.

“Drake, lo bisa bisanya gak kenal Hermione dan malah nanya Astoria?” tanya Pansy.

“Gue bener bener gak kenal siapa Hermione, yang gue tau gue cinta sama Astoria, gue sayang sama dia. Jadi gak mungkin gue pacaran sama orang lain selain Astoria!” pekik Draco.

Tak mau ambil pusing, Draco memejamkan matanya. Tubuhnya masih sangat lemah, Ia hanya bisa menggerakannya sedikit demi sedikit.

Tak lama kemudian, Draco merasakan rasa yang sangat sakit dikepalanya.

Dokter datang, dan memberi nya obat penenang.

“Hermione, boleh tante bicara kepada kamu?”


Hermione dan Narcissa duduk di bangku taman. Narcissa menggenggam tangan Hermione dengan erat.

“Hermione, kamu lihat keadaan Draco kan?”

Hermione hanya diam menatap rerumputan dihadapannya.

“Kamu lihat bagaimana keadaan Draco kan? Dia kehilangan setengah memorinya karena kejadian itu, yang dia ingat hanya Astoria.”

“Tante boleh minta tolong sama kamu, Hermione?”

Hermione melirik Narcissa, Ia sudah tahu permintaan Narcissa ini apa.

“Tolong, tolong jauhin Draco, tolong lupakan Draco, tante hanya ingin kebahagiaan untuknya. Tadi saat dia berdebat dengan Pansy soal kamu aja kepalanya sudah sangat sakit. Bagaimana selanjutnya? Jadi tolong, tolong lupakan Draco, Hermione. Tante mohon.”

Hermione meneteskan air matanya.

“Hermione, kamu sayang Draco kan? Selama ini hidup Draco sudah penuh dengan kepedihan. Adrian sudah dicari, tante yakin sebentar lagi dia akan tertangkap. Tante tau bagaimana besar Draco mencintai Astoria. Dan sekarang adalah waktunya untuk Draco bahagia dengan Astoria. Wanita satu satunya yang Ia cintai. Tante mohon Hermione, tante mohon.”

Hermione memalingkan wajahnya tak mau menatap Narcissa. Apa yang terjadi kepadanya sangat tiba tiba.

Mau tidak mau, siap tidak siap, akhirnya Ia tetap akan kehilangan Draco kan?

“Hermione, tolong bantu tante, tante minta tolong jangan muncul lagi dihadapan Draco, sayang. Lepasin Draco, jauhin dan lupain Draco sebagaimana Draco melupakan kamu begitu saja. Tante mohon.”

“Draco, bagaimana bisa aku melupakanmu disaat seluruh hati dan jiwa ku untuk kamu? Tapi, aku pernah bilang, apapun, apapun akan aku lakukan untuk kamu, Draco. Meskipun dengan cara melepaskanmu.”


© justcallmelit

Who are you?

**

Sudah 2 minggu Draco tak sadarkan diri. 2 minggu Hermione selalu berada di sisinya.

Narcissa memaafkan Hermione, Narcissa tau bahwa semua ini bukan kesalahan Hermione. Malah Hermione juga korban.

Narcissa menyadari semuanya.

Dan kini, hanya tinggal menunggu Draco bangun dari koma nya.

Keadaan Draco semakin hari semakin membaik, dokter bilang keadaannya sangat stabil dan luka ditubuhnya mulai membaik, hanya tinggal pemulihan saja.

Ya, hanya tinggal menunggu Draco sadar.

Hermione mendongkak ketika mendengar suara pintu terbuka, Ia menghela nafasnya yang ternyata itu Blaise yang masuk.

“Kata Pansy lo belum makan. Makan dulu ya?”

Hermione menggelengkan kepalanya. Sudah 2 minggu ini Ia memiliki nafsu makan yang buruk.

“Makan dulu. Gak lucu kalau Draco sadar tapi lo nya sakit. Masa iya orang sakit ngerawat orang sakit.”

Hermione tersenyum tipis. “Simpen disitu aja, nanti gue makan.”

“Bener ya lo makan? Gue trust issue sama lo.”

“Sialan.”

“Eh serius, lo selalu—”

“Blaise!” Hermione berdiri, Ia terkejut ketika melihat jari jari Draco bergerak satu persatu.

“Blaise, Draco sadar!!” pekik Hermione senang membuat Narcissa terbangun dari tidurnya.

“Hermione? Ada apa?”

“Tante, Draco sadar tante.. Draco, kamu denger aku kan? Kamu bisa denger aku kan?”

Narcissa menghampiri Draco dan menggenggam tangan anaknya itu dengan erat.

“Hei sayang, my son, bangun ya? Bangun sayang, ayo..”

Perlahan, mata Draco mulai terbuka. Hermione menangis bahagia akan hal itu.

“Draco..”

“Ma-ma.” lirih Draco.

“Astaga, akhirnya.. Draco, makasih sayang, makasih sudah sadar..”

Narcissa mencium kening Draco lama.

“Blaise.”

Hermione merasa aneh, mengapa Draco tidak melirik ke arahnya.

“H—hai, Draco.”

Akhirnya, Draco melirik ke arahnya, lelaki itu mengerutkan keningnya dan menatap Hermione dengan penuh tanda tanya.

“So-sorry, lo siapa?”


© justcallmelit

Pain.

**

Plak!

Suara tamparan keras terdengar sangat jelas. Hermione meringis ketika mendapatkanya. Ia pantas mendapatkan tamparan itu, karena memang karena dirinya lah Draco menjadi celaka seperti ini. Andai saat itu Ia tidak ke kamar mandi, mungkin semua nya akan baik baik saja.

“Kamu yang membuat anak saya menjadi seperti ini?! Iya kan? Kamu?!” teriak Narcissa, Ibu dari Draco.

Hermione menangis tak henti henti dari tadi. Ia juga sangat khawatir, takut dan cemas. Apalagi Ia yang melihat langsung bagaimana Draco dihantam berkali kali oleh Adrian.

“M—maaf tante.”

“Gak ada kata maaf buat kamu! Draco anak saya satu satunya! Dia harapan saya satu satunya. Kalau dia sampe kenapa napa, kamu yang akan saya salahkan.”

Pansy yang mendengar itu segera merangkul Hermione.

“Tante maaf, tapi semua ini perbuatan Adrian. Hermione juga korban disini.”

“Tetap saja! Dia yang membuat Draco seperti ini! Kalau saja dia nggak macem-macem, Draco pasti baik baik aja! Saya gak mau liat wajah kamu disini! Pergi dari kehidupan Draco, karna Draco gak butuh kamu!”

Hermione menatap Narcissa dengan sedu, bagaimana bisa Ia menjauhi Draco? Bahkan untuk tidak melihatnya saja Ia tidak pernah membayangkannya.

Ia ingin selalu berada didekat Draco, apapun keadaannya.

“Tante, saya mohon saya mohon maaf, saya benar benar mohon maaf tante. Saya mohon, jangan larang saya untuk bertemu Draco, saya mohon.” lirih Hermione.

“Saya gak peduli! Pokoknya kamu jauhin anak saya. Dari awal dia ketemu kamu aja udah gak bener! Dan semua kekacauan ini kamu yang buat! Ini semua gara gara kamu!!”

Hermione menggelengkan kepalanya. Ia berlutut di kaki Narcissa.

“Tante, saya mohon.. Izinkan saya terus berada di sisi Draco, saya mohon.. Saya sayang sama Draco, saya gak mungkin jauhin Draco, tante. Saya gak mungkin jauhin pacar saya sendiri, enggak tante. Saya mohon.”

Narcissa tidak mendengarkan apa kata Hermione, Ia masuk ke dalam ruangan Draco tanpa berkata apa-apa lagi.

Pansy yang melihat Hermione merasa kasian, Ia merangkul Hermione dan memeluknya.

“Mi..”

“Bukan karna gue Pans, gue gak tau, tiba tiba gelap semuanya, bangun bangun Draco udah dipukulin. Gue mau bantu tapi gak bisa Pans, gak bisa.” lirih Hermione dengan suaranya yang tercekat.

Pansy mengerti, Ia sangat mengerti bagaimana kondisi Hermione. Ia sangat terkejut ketika mendengar kabar itu, dan ketika Hermione menyebutkan Adrian lah yang menyebabkan Draco seperti ini, Ia yakin bukan Hermione lah yang salah. Karna Hermione juga korban.

“Mi, gue ngerti.. Udah ya? Sekarang lo tenang, tante Narcissa cuman terlalu syok aja sama semuanya.”

“Tapi gue mau selalu di sisi Draco Pans, gue mau selalua ada disisi Draco, gue gak mau ninggalin dia.”

Pansy memeluk Hermione. Pansy ikut menangis melihat Hermione yang tak henti menangis hingga matanya bengkak dan suaranya serak.

Blaise dan Theo hanya bisa melihat nya kasian, mereka tidak bisa membantu banyak.

Mereka hanya bisa mengerahkan seluruh suruhannya untuk mencari Adrian dan menghukumnya.

Keadaan Draco sangat parah, Ia harus dioperasi dibeberapa bagian didalam tubuhnya. Ada beberapa tulangnya yang patah. Yang paling parah adalah di bagian kepalanya, Draco mengalami geger otak dikarenakan pukulan yang cukup keras menghantam belakang kepalanya.

Draco masih kritis. Bahkan dokter menyatakan kalau Ia koma dan entah kapan akan sadar.

Saat operasi juga jantung sempat berhenti, namun untung saja dokter bisa menanganinya dan jantungnya kembali berdetak.

“Bagaimana bisa aku jauh dari kamu, Draco? Aku mohon, bertahan.. Aku mohon Draco, aku mohon.”


© justcallmelit

For you.

**

“ADRIAN BANGSAT!! KELUAR LO ANJING!!”

Draco terus berusaha mendobrak pintu tua itu. Dengan semua emosi yang sudah memuncak, Ia akhirnya bisa membuka pintu itu.

Matanya membulat sempurna ketika Ia melihat Hermione pingsan dengan kaki dan tangan yang diikat.

“Hermione.”

Draco segera berlari menghampiri Hermione. Ia melepas tali yang mengikat di tangan dan kakinya.

“Hei, hei bangun. Hermione..” bisik Draco menepuk nepuk pelan pipi Hermione.

“No, no.. Hermione.”

Draco sangat panik karena Hermione tak kunjung bangun, bahkan kini badannya cukup dingin.

“Draco Malfoy. Setelah 2 tahun akhirnya kita bertemu kembali, sahabat.”

Draco menggretakan gigi nya geram. Ia melepaskan Hermione dan menidurkannya di tempat yang menurutnya aman. Lalu Ia menghadapi Adrian.

“Masih nganggap sahabat lo?” Tanya Draco.

Adrian tertawa dan melangkah satu langkah mendekati Draco. “Dari dulu lo nggak pernah berubah. Selalu dan akan tetap menjadi Draco Malfoy.”

“Ya, dan lo akan selalu dan tetap menjadi pecundang.”

Adrian berhenti mengeluarkan seringainya. Ia menatap Draco dengan geram.

“Gimana cewek lo? Cantik juga dia, tapi lo tenang aja. Belum gue pake.”

Draco mengepalkan tangannya cukup keras. “Bangsat. Gak cukup Astoria? Atau udah berapa banyak cewek yang lo tidurin dan lo bikin hamil?”

Tak terima dengan perkataan Draco, Adrian mendaratkan satu pukulannya kepada Draco.

Adrian mencengkram kerah baju Draco.

“Gue mau lo mati hari ini, anjing!”

Berbarengan dengan itu, 9 orang lelaki termasuk Tom muncul dari segala arah. Mereka menatap Draco seperti harimau yang siap memangsa mangsanya.

“A-adrian?”

Adrian tertawa. “Hahaha Draco Malfoy. Lo kesini untuk mati kan?”

“Maksud lo?”

“Cewek lo ternyata berhasil gue jadiin umpan. Karna sasaran sebenernya itu adalah lo, Draco Malfoy.”

Draco melirik Hermione yang masih tak sadarkan diri. Demi Hermione. Ya, demi Hermione Ia rela melakukan apapun, yang penting Hermione selamat.

“Lakuin apapun yang mau lo lakuin ke gue, tapi lo janji setelah ini, jangan pernah sentuh Hermione sedikitpun.” ucap Draco menatap Adrian dengan tatapan tajam.

“Deal.”

Setelah itu, pertarungan pun dimulai. Satu persatu orang orang itu memukul Draco. Draco tidak diam saja, Ia melawan dengan sekuat tenaga. Draco jago dalam bela diri, jadi mudah mudahan Ia bisa melawan orang orang ini.

Di tengah pertarungan Draco melawan 10 orang itu, Hermione terbangun. Ia sangat terkejut melihat Draco melawan 10 orang sekaligus.

“Draco..”

Mendengar lirihan itu, Draco terdiam, Ia menghentikkan pertarungannya dan melirik Hermione.

“Hermione..”

“Draco.”

“Hermione, lari.”

Hermione menggelengkan kepalanya. “Enggak.”

“Hermione, lari.”

Hermione menangis melihat Draco babak belur. Sudut pipinya mengeluarkan darah dan kepalanya memar.

Hermione menutup mulutnya dan nangis sekencang mungkin tanpa mengeluarkan suara.

Draco melanjutkan pertarungannya. Ia mendapatkan serangan di kepalanya yang membuatnya terjatuh dan matanya berkunang kunang.

Adrian yang melihat Draco mulai melemah langsung menghampirinya.

“Akhirnya, setelah sekian lama, gua bisa bunuh lo, Draco Malfoy.”

“NO!! DRACO!!” Hermione mengambil salah satu kotak besar disampingnya. Ia ingin memukul kepala Adrian. Namun, baru saja Ia melangkah, 2 orang langsung menahannya.

“LEPAS!! LEPASIN GUE! DRACOO!!”

Draco mengedip ngedip lemah, Ia ingin sekali berdiri namun kepalanya sangat sakit.

Dengan sekuat tenaga, Draco berdiri.

“Lepasin Hermione. Lo janji gak akan sentuh dia.”

“Lo tenang aja, gue gak akan celakain dia. Karna cuman nyawa lo yang gue mau.”

“Anjing.” Draco memukul rahang Adrian.

Adrian segera memberi kode kepada teman temannya untuk memegang tangan Draco.

“Anjing! Adrian bangsat! Gue dari dulu anggap lo sahabat tapi lo khianatin gue!”

“Lo yang anjing! Dari dulu hidup lo selalu enak! Lo punya keluarga harmonis, lo selalu dapet juara satu, nilai lo sempurna, lo banyak uang, lo selalu dimanja oleh kedua orang tua lo. Lo dicintai sama Astoria, orang yang gue sayang. Lo yang populer, lo yang selalu dikelilingi orang orang yang disayang, lo yang sempurna!! Dan gue benci akan hal itu, anjing!” pekik Adrian.

Adrian menendang keras perut Draco sampai Draco terbaruk dan mengeluarkan darah dari mulutnya.

“NO!!” Hermione berteriak sambil terus menangis. Sangat sakit melihat Draco dalam keadaan sangat parah.

“Dan ini waktunya buat gue bunuh lo, anjing!”

Adrian mengambil satu balok kayu yang besar, dan tanpa tega Ia memukul belakang kepala Draco hingga lelaki itu tersungkur.

“Bangun anjing!”

“ADRIAN STOPP!! STOPP!”

“Lo diem! Lo diem anjing! Lo gak ada urusannya didalam masalah ini. Lo gak tau gimana sakitnya gue selalu dibanding bandingin sama dia, bahkan setelah gue memutuskan pindah ke luar negeri. Mama gue lebih sayang sama dia dibanding gue, mama gue lebih perhatian sama dia dibanding gue, lo gak tau rasanya gimana anjing!”

“Tapi semuanya bisa dibicarain baik baik, dengan lo begini, itu artinya lo menjerumuskan hidup lo ke masa yang kelam lagi.”

“Jangan sok tau jadi cewek, anjing! Kepuasan gue adalah gue bisa bunuh dia dengan tangan gue sendiri.”

Hermione menggelengkan kepalanya. “Enggak, kalau lo bunuh Draco, rasa bersalah akan selalu menghantui lo. Dan orang tua lo akan semakin benci sama lo, bukan hanya orang tua lo, tapi semua dunia akan benci sama lo, Adrian. Dan lo akan menjadi pembunuh. Seumur hidup, lo akan di cap sebagai pembunuh.”

Adrian terdiam mendengar itu, namun Ia tak peduli.

“Tutup mulut dia, gue gak mau lagi denger omongan cewek itu.”

“ADRIANN!! LEPA—mmpphh”

Adrian menatap Draco, Ia menangis namun entah tangisan apa yang Ia keluarkan.

Keadaan Draco benar benar parah sekarang. Bahkan tatapannya sudah blur. Obrolan Adrian dan Hermione tadi tak lebih hanya sekedar degungan yang Ia dengar.

Adrian mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya.

Itu sebuah pisau.

“Sorry Drake, gue bener bener gak mau lo hidup.”

Dalam sekejap dan tanpa rasa tega, Ia menancapkan pisau itu ke perut Draco.

“DRACOOO!!!” teriak Hermione histeris.

Draco terjatuh dan tak sadarkan diri saat itu juga.

Melihat Draco sudah tak sadarkan diri, Adrian melempar pisau itu dan mengambil satu balok kayu. Ia belum puas.

Adrian kembali memukul kepala Draco.

“ADRIAN ANJING!! CUKUP!!”

Adrian tertawa puas melihat Draco penuh dengan darah.

“Akhirnya, hahaha.”

Adrian memberi kode kepada seluruh teman temannya untuk pergi.

Kini, diruangan gelap itu hanya ada Hermione dan Draco.

Hermione segera menghampiri Draco yang sudah tak sadarkan diri.

“Draco, hei, Draco bangun.. Aku mohon, Draco..”

Hermione merobek baju nya dan Ia menekan perut Draco agar tidak terus mengeluarkan darah.

“Plis plis plis Draco, bertahan, aku mohon.. Draco bangun, Draco!!”

Hermione memeluk Draco. Sesingkat itu kah cerita mereka? Mengapa semua ini terjadi begitu saja? Mengapa?

Ia hanya ingin bahagia. Apa itu salah? Ia telah menemukan kebahagiaannya, namun mengapa Tuhan merampas semuanya seolah olah Ia tak berhak untuk bahagia?

Mengapa?

“Draco, aku mohon.. Bertahan..”


© justcallmelit

Will you?

**

Hermione tersenyum ketika melihat Draco ada dihadapannya. Ia menyambut lelaki itu dengan penuh suka cita. Kebetulan kedua orang tua Hermione sedang tidak ada dirumah, hanya ada pembantu nya saja. Jadi Hermione boleh menerima tamu di jam malam seperti ini.

“Hai.” Sapa Draco tersenyum.

“Draco.” Balas Hermione.

Draco menarik tubuh Hermione ke dalam pelukannya.

“Gue sayang lo, Mi. 3 bulan adalah waktu yang cukup buat gue sayang sama lo. Makasih, makasih karena telah menjadi takdir dimana kita menjadi saling menjadi obat untuk satu sama lain.” bisik Draco didalam pelukannya.

Hermione tersenyum, kata tiap kata yang dikeluarkan Draco kepadanya membuatnya senang. Akhirnya setelah 3 bulan Ia mengenal Draco Malfoy, Ia akan lebih mengenal lelaki itu malam ini.

“Kalau lo sayang gue, kenapa lo gak tembak gue?” Tanya Hermione dengan polosnya.

“Emang lo mau jadi pacar gue?”

“Ya menurut lo?”

Draco tertawa, lalu memperat pelukannya. “Gue ceritain dulu tentang gue, lalu setelah itu gue tanya lo masih mau nggak jadi pacar gue.”

Mereka berdua masuk ke dalam rumah. Dan Hermione siap mendengarkan cerita Draco.

“Dulu, gue sahabatan bertiga. Gue, Adrian dan Astoria. Adrian suka sama Astoria, sedangkan Astoria suka sama gue. Ya gue juga suka balik sama Astoria, saat itu gue tau Adrian sayang sama Astoria, maka dari itu gue buang jauh jauh perasaan gue kepada Astoria, karena gue gak mau rusakin persahabatan kita bertiga.”

“Adrian selalu iri dengan semua pencapain di hidup gue, gue yang selalu nomer satu, gue yang selalu diatas dia, dan gue yang selalu di sayang sama orang yang Adrian sayang. Dia iri sama gue.”

“Singkat cerita, Adrian tau Astoria suka sama gue, dia marah. Dia bener bener marah saat itu karena dia ngerasa orang yang dia punya cuman Astoria dan gue. Dia broken home, orang tuanya selalu ngebandingin gue sama dia.”

Hermione mengusap tangan Draco dan menatap Draco dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ya akhirnya Adrian tidurin Astoria dan gila gak sih Astoria hamil anak Adrian saat itu. Adrian bener bener ngebuktiin kalau Astoria cuman punya dia, bukan punya gue. Gue sakit banget saat itu, gue kecewa, gue pukul Adrian, gue bener bener pukul dia sampe akhirnya dia punya dendam ke gue, dendam yang gak ada habis habisnya.”

“Karena kejadian itu, persahabatan kita bertiga pecah. Astoria ke luar negeri tinggal sama Daphne, kakaknya. Adrian juga ke luar negeri karena ikut sama Papa nya.”

“Masalah lo sama mereka kelar?” Tanya Hermione.

“Awalnya gue mikir kayak gitu, tapi ternyata enggak. Gak kelar, lo pasti tau Tom kan? Gue tau Pansy udah cerita ke lo. Makanya gue yakin buat cerita tentang ini ke lo.”

Hermione hanya menganggukan kepalanya.

“Ternyata Tom adalah suruhan Adrian. Dan gue kemarin malem itu karena ulah Tom. Gue juga baru tau semalem, ternyata setelah 2 tahun pisah, Adrian masih dendam ke gue. Makanya gue takut Mi, gue takut lo kenapa napa.”

Draco menatap Hermione dengan mata yang memerah, air matanya mengalir begitu saja. Matanya sangat menggambarkan kekhawatiran. Dia hanya takut dendam Adrian tersalurkan lewat Hermione, bukan lewat dirinya.

“Gue cinta sama lo, gue sayang sama lo. Lo pernah bilang kalau kita adalah luka yang bertemu dan saling menyembuhkan. Tapi bukan Mi, menurut gue kita bukanlah luka yang bertemu dan saling menyembuhkan. Tapi, kita adalah luka yang bertemu dan membuat luka itu semakin membesar. Gue sayang sama lo, tapi di posisi gue gak aman mi, gue gak mau lo kenapa napa. Gue gak mau lo semakin terluka setelah kenal gue, apalagi sampe lo luka fisik, gue gak mau Mi, enggak.”

Draco menggelengkan kepalanya dan memegang tangan Hermione dengan erat. Rasa sayang didalam hatinya cukup besar untuk Hermione, akan tetapi rasa khawatirnya lebih besar. Ia takut, Ia khawatir dan cemas dalam satu waktu.

“Untuk sementara, kita jauh dulu ya Mi? Gue mohon.. Ini semua demi kebahagiaan lo, demi keamanan lo, Hermione.”

Dengan segera Hermione menggelengkan kepalanya. “Enggak, gue gak mau jauh dari lo. Apapun, apapun akan gue lakukan asal gue gak jauh dari lo. Gue sayang lo, Draco. Gue mohon, gue mohon lo jangan minta gue jauh sama lo.”

“Tapi sama gue, lo akan semakin terluka, Hermione.”

“Lo bisa jagain gue kan, Drake? Lo bisa jaga gue, lo bisa meyakinkan kalau gue aman. Iya kan?”

“Mi..”

“Draco, dengan lo selalu ada di sisi gue, gue yakin gue nggak akan kenapa-napa. Gue yakin.”

“Lo gak takut Mi?”

Dengan mantap Hermione menggelengkan kepalanya. “Enggak, gue gak takut. Asal itu sama lo.”

Saat itu juga, Draco memeluk Hermione dengan erat. Ia dilema sekarang. Apakah Ia harus melepaskan Hermione begitu saja? Atau harus menjaganya?

“Mi, setelah lo tau semuanya, apa lo masih mau berada di sisi gue?”

“Mau, dan itu akan selalu, Drake. Gue akan selalu ada di sisi lo.”

“Gue akan selalu jaga lo, Hermione. Apapun, meskipun nyawa sekalipun akan gue taruhkan buat lo. Adrian bukan apa apa sekarang, dendamnya nggak seberapa. Yang penting lo selalu selamat Hermione. Walaupun nyawa gue taruhannya.”


© justcallmelit