litaaps

Dia pulang.

**

Dia menggeliat menahan rasa sakit dikepalanya. Rasanya seperti seluruh bumi berputar dengan begitu kencang, bahkan sangat kencang hingga akhirnya dia terjatuh dan tak sadarkan diri.

Draco koma untuk yang entah ke sekian kalinya. Badannya sudah kurus karena terlalu banyak obat dan suntikan yang masuk ke dalam tubuhnya.

Ia sudah tidak tahan.

Ia tidak sekuat yang orang lain fikirkan.

“Drake, lo pasti bisa. Lo pasti bisa, Hermione otw kesini Drake. Lo mau ketemu dia kan? Lo harus kuat Drake, lo kuat.”

“Her—mione.”

“Iya, Hermione kesini Drake, Hermione kesini, dia lagi dijalan. Lo mau tidur di pangkuan dia kan? Lo mau dibelai rambutnya sama dia? Lo mau dibikinin susu hangat sama dia? Tahan Drake, lo bisa, lo bisa, lo cowok yang kuat, lo harus tahan Drake!”

“Her—mione.”

Theo menangis dipinggir ruangan, Ia tidak sanggup memberikan bisikan positif kepada Draco seperti apa yang dilakukan Blaise. Ia tidak sanggup.

“Her—mione.”

“Heh cowok aneh! Lo bisa gak sih jalan yang bener? Sepatu gue ke injek anjing!”

Draco menoleh, oh ternyata dia si rambut singa.

“Hahaha kenapa? Keinjek? Sorry, sengaja.” Draco mengatakannya sambil mengangkat halisnya.

“Dih, lo fikir lo keren kayak gitu? Enggak anjir, lo jelek sumpah!”

-

“DRACO MALFOY BAJINGAN! GUE JADI DIHUKUM GARA GARA LO BANGSAT!”

Draco menyeringai puas, Ia tertawa terbahak bahak melihat Hermione berdiri ditengah lapangan.

“Syukurin, makanya lo jangan rajin rajin amat jadi orang, lupa kan kalau udah jam masuk. Diem mulu diperpus sih lo.”

Hermione mendecak kesal. Awas aja lelaki ini.

-

“Heh Granger, pulang sendiri aja, jomblo ya? Kayak gue dong, ada boncengan.”

“Berisik lo ferret, gue lagi gak mau berantem sama lo.”

“Hati hati, awas lo diculik.”

“Bodo!”

-

“MALFOYY!!!”

“Apa sih?”

“Ini punya gue kenapa di makan.” Hermione menghentak – hentakkan kakinya ketika melihat bakso kesayangannya dimakan oleh Draco.

“Laper.”

“YA LO BELI ANJIRRR!!!”

“Bakso lo enak soalnya, gue suka.”

“Babi.” Umpat Hermione.

“Heh gak boleh ngomong kasar astaghfirullah Hermione Granger!”

“Gue manggil lo, bukan ngomong kasar.”

“Oh, baby maksudnya?”

“Najis.”

“Her—mione.”

Narcissa menggenggam tangan Draco dengan erat.

“Sayang, Mama ikhlas.. Mama ikhlas Draco, asal kamu gak sakit lagi. Mama ikhlas.”

Lucius hanya bisa berdiri, Ia memandang Draco dengan tatapan yang entah kesedihan sebesar apa lagi Ia turahkan.

Draco adalah anak satu satunya, Ia sangat dekat dengan kedua orang tuanya, terutama Lucius. Dan ini adalah titik terendah Lucius. Melihat anaknya sekarat.

“Draco, Papa ikhlas, nak.”

Nafas Draco tersenggal senggal, matanya mengerjap ngerjap seperti ingin membuka tapi susah.

“B—blaise.”

“Iya, kenapa Drake? Kenapa?”

“T—tolong, Her—hermione di—jaga.”

“Pasti Drake, pasti. Gue pasti jaga dia, pasti.”

“Her—hermione, j—jangan s—sampe d—drop.”

Blaise menenggelamkan wajahnya dengan kedua tangannya. Ia tidak tahan.

Theo sendiri, lelaki itu menangis cukup keras disudut ruangan, tidak tega.

“Ma—ma.”

“Kenapa sayang? Ini Mama nak.”

“M—makasih, maaf.”

“Draco gak salah sayang, Draco anak baik, Draco anak yang berguna untuk Mama dan Papa. Kita semua ikhlas sayang, pergi yang tenang ya? Draco ngantuk? Draco capek kan?”

Perlahan, Draco mengangguk.

“Istirahat sayang, istirahat.”

Draco tersenyum kecil.

“Pa.”

“Kenapa sayang? Ini Papa.”

“J—jaga Mama.”

“Pasti Drake, pasti. Papa pasti jaga Mama kamu.”

Setelah itu, dalam satu kali tarikan nafas, Ia memejamkan matanya. Matanya benar benar terpejam sempurna.

Ia bernafas untuk yang terakhir kalinya, matanya terpejam, dan tangannya yang sedang menggenggam foto Hermione perlahan melonggar.

Ia pergi. Pergi sangat jauh.

Tidak menunggu sang pujaan hati.

Ia terlalu sakit. Sangat sakit untuk melakukan hal itu.

Selamat jalan, Draco. Selamat bergabung dengan bidadara surga disana. Mudah mudahan, Hermione mengerti dengan keputusan yang telah engkau buat saat ini.

**

Hancur.

**

Hermione menangis. Kakinya benar benar lemas saat membaca pesan dari Astoria. Ia kehilangan arah, entah apa yang harus Ia lakukan, Ia benar benar tak tahu. Ternyata semuanya bohong. Draco benar benar tidak mengkhianatinya, Draco tulus mencintainya. Draco hanya berpura-pura dan sengaja membuatnya benci kepadanya. Ya, lelaki itu hanya ingin Hermione membencinya.

Ginny masuk ke dalam kamar Hermione, dan saat itu Hermione langsung memeluknya, Ia menangis kencang dipelukan Ginny. Luna ada dibelakang Ginny, Ia memandang Hermione dengan tatapan kasihan.

“Draco sakit Gin, Draco sakit.” lirih Hermione.

Ginny ikut meneteskan air matanya, begitu juga dengan Luna.

“Mi..”

“Gue gak ada disisi dia saat di titik terendah dia Gin, gue gak ada. Gue gak ada disisi dia.”

“Gue sayang dia Gin, dari awal gue selalu yakin semua ucapan yang keluar dari mulut Draco itu bohong, tapi gue gak tau alasan dibelakangnya, orang orang nutupinnya dengan cara yang baik, dengan cara yang cantik. Gue ngerasa gak berguna Gin, gue— gue— gak tau Gin..”

Luna segera mengusap pundak Hermione, Ia tahu ini sangat berat untuk sahabatnya ini.

“Mi, Draco kan lagi berobat, kita doain semoga dia cepet sembuh ya? Kemanapun dia, pasti kedua orang tua nya mau yang terbaik untuk Draco. Draco pasti sembuh Mi.” bisik Luna.

Hermione melepaskan pelukannya, Ia menggusar rambutnya kasar.

“Harusnya gue bujuk dia, harusnya gue bisa bikin dia ngomong yang sesungguhnya, harusnya gue gak biarin dia lepas gitu aja. Harusnya gue bisa nemenin dia berobat.”

Kini semuanya telah berubah. Bahkan Hermione tahu dari orang lain, Ia tahu dari Astoria.

“Draco..” lirih Hermione kembali menangis.

“Draco, dimanapun kamu.. Aku mohon, aku mohon bertahan, semangat untuk sembuh, aku mohon..”

**

I Can't

**

Hermione terduduk lemas didepan kasurnya. Hatinya benar benar sakit dan berantakan. Kabar Draco dan Astoria yang akan bertunangan membuatnya tak karuan.

Tak bisa dipungkiri, Hermione masih sangat mencintai lelaki itu. Bahkan sampai saat ini, Ia masih belum bisa menghilangkan bayangannya didalam fikirannya. Susah.

Terdengar ketukan pintu kamar, dan Hermione yakin itu Ron. Ia pun mempersilakannya untuk masuk.

Dan ternyata benar, Ia Ron. Lelaki itu masuk ke dalam kamar Hermione dan membuat Hermione semakin menangis.

Ron adalah orang yang selalu ada untuknya semenjak Draco meninggalkannya. Ron selalu ada disampingnya dan menghiburnya.

“Ron..” Hermione menangis dipelukan Ron.

“Dia mau tunangan, dia mau tunangan Ron. Itu artinya udah gak ada harapan buat gue balikan sama dia..” Lanjutnya.

Ron mengusap dengan lembut pundak Hermione. “Nangis aja Mi gapapa, nangis kalau hal itu itu bikin lo seneng.”

Tangisan Hermione semakin kencang, Ia juga mempererat pelukannya kepada Ron.

“Gue— gue gak bisa Ron, gue sayang dia.. Gue— gue gak bisa.”

“Gue ngerti Mi, gue ngerti. Gue ngerti Draco orang pertama yang berhasil bikin lo jatuh cinta, dia juga orang berhasil bikin lo damai sama masa lalu, tapi dia jahat Mi. Dia udah nyakitin lo seperih dan sesakit ini.”

“Kenapa Ron..”

“Mi.. Udah ya? Gue akan selalu ada disisi lo.”

Hermione tidak menjawab, Ia terus menangis hingga akhirnya tangisannya reda dan Ia tertidur dipelukan Ron.

Ron menggendong Hermione dan menidurkannya diatas kasurnya yang kebetulan diatas kasurnya ada kucing kesayangan Hermione.

Ron mengusap rambut Hermione, dan berbisik,

“Gue sayang lo Mi, jangan hancur, karena gue akan lebih hancur. Bukan sebagai sahabat atau saudara, gue sayang lo lebih dari itu Mi.”

Seandainya Hermione mendengarnya, ya seandainya saat itu Hermione tidak sedang tidur, mungkin Hermione akan terkejut mendengar pengakuan dari Ron.

**

Sesak.

**

Karna bosan, Hermione memutuskan untuk pergi ke pantai, dia nekat pergi di jam 7 malam ini karna dia benar benar ingin menghirup udara segar. Dia izin ke Helena, dan untung dibolehkan asal diantar oleh Richard.

“Kamu udah enggak sama Draco?” Tanya Richard di perjalanan.

“Iya yah, udah enggak.” Balas Hermione memandang jendela.

“Kamu memang suka pantai ya?”

“Banget yah, saat Hermione lagi sedih, bosen, stress, pantai jawabannya yah. Hermione selalu mau ke pantai disaat titik terendah Hermione. Pantai selalu berhasil bikin Hermione tenang.”

Richard menoleh ke arah anak nya itu, Ia sangat paham betul bagaimana permasalah kisah cinta anak remaja karena Ia pun pernah mengalaminya. Dan Ia yakin bahwa kali ini adalah patah hati terbesar bagi Hermione.

Tidak terasa, mereka pun sampai di pantai. Hermione segera turun, Ia meminta Richard untuk tidak mengikutinya, dia ingin sendiri, jadi Richard memutuskan untuk diam di salah satu restoran disana dan membiarkan Hermione senduri.

Hermione jalan ditengah pasir yang gelap, dia memandang langit, bintang bertaburan sangat indah, bulan juga terang benderang, Ia jadi ingat terakhir kali Ia kesini itu bersams Draco. Saat itu, Hermione kabur dari Ayah dan Mamanya, dan disusul oleh Draco.

Draco. Lelaki yang sudah berhasil membuatnya jatuh cinta ternyata menjadi luka terdalam baginya. Ia selalu berharap bahwa Draco bukan luka ataupun duka. Tapi ya memang, tidak semua harapan akan berjalan dengan semestinya. Terkadang, harapan lah yang membuat diri kita sendiri hancur.

Ditengah kenikmatannya, Hermione menangkap salah satu pengunjung disana, Ia melihat lelaki berambut pirang. Ia melihat Draco disana.

Ia melihat Draco sedang berdua dengan Astoria. Draco terlihat sedang mengobrol serius dengan wanita itu, dan Astoria menggenggam tangannya. Lalu, Draco tersenyum manis kepada Astoria. Senyum manis yang sangat Ia rindukan, senyum manis yang dulu hanyalah untuknya. Namun senyuman itu kini bukan hanya untuknya, melainkan untuk orang lain.

Sesak.

Itu yang Hermione rasakan. Air matanya kembali mengalis dengan deras. Dadanya sakit, benar benar sakit. Suasana pantai menjadi lebih dingin, padahal Ia sudah memakai jaket.

Mereka berpelukan.

Draco dan Astoria berpelukan. Karna tidak tahan, Hermione pergi dari sana, Ia berlari sekencang mungkin menuju parkiran.

Richard melihat Hermione berlari. Ia pun segera menyusulnya.

“Hermione say—”

“Sakit yah, sakit.” Hermione memegang dadanya sambil terus menangis kencang.

“Sayang..” Richard memeluk Hermione.

“Sakit yah..”

Baru kali ini Hermione menangis dipelukan Richard.

Yang Hermione rasakan kini rasanya oksigen tak berfungsi untuknya, dadanya sangat sesak, hingga akhirnya Ia kehilangan kesadarannya.

Sesakit itu, sedalam itu, Hermione mencintainya. Namun mengapa Ia mengkhianatinya?

**

Ron

**

Hermione, Ginny dan Luna diam di pinggir jalan, Ginny dan Luna berusaha untuk menenangkan Hermione yang daritadi nangis tanpa henti.

“Sumpah, gue kira dia udah gak anjing, tapi malah makin menjadi jadi ke anjingan dia.”

Hermione hanya diam melamun dengan air matanya yang terus menetes.

“Gue sayang banget sama dia Gin..” Lirih Hermione. Daritadi, Ia terus berbicara seperti itu.

“Gue sayang dia, Gin..”

Ginny memeluk Hermione lagi, Luna memegang tangannya dan mengusap pundaknya. Mereka sangat mengerti, hal ini pasti sangat berat untuk Hermione.

Tak lama, akhirnya Ron dan Harry datang. Melihat Hermione bengkak, Ron emosi.

“Kenapa dia? Diapain sama Draco?”

“Sini sini gue jelasin..”

Ginny menarik tangan Ron dan menjelaskan semua yang sudah terjadi. Dan setelah cerita Ginny selesai, Ron memakai helmnya kembali dan pergi. Lalu, Ginny kembali ke Hermione.

“Udah mi, yuk pulang.”

“Gin, gue gak mau pisah sama dia Gin, gue sayang dia.” lirih Hermione.

“Iya Mi, gue ngerti, sekarang kita pulang dulu ya? Harry bawa mobil.”

“Ayo Mione.” bisik Luna.

Akhirnya, Hermione mau pulang bersama ketiga sahabatnya.


Ron turun dari motornya saat melihat Draco dengan Astoria. Ia berlari kecil dan saat sudah dekat dengan Draco, Ron tanpa segan langsung menonjok Draco tepat di pipinya. Astoria berteriak melihat tonjokkan Ron yang cepat itu.

“Anjing! Bangsat! Maksud lo apa nyakitin sahabat gue hah?!” teriak Ron. Wajahnya sudah memerah saking emosinya.

Draco mengusap sudut pipinya yang berdarah, Ia bangkit dan menghela nafasnya.

Ron menarik kerah baju Draco. “Lo, lo cowok brengsek yang pernah gue kenal.”

Ron mengeluarkan kunci motornya. “Gue balikin motor ini, gue gak sudi dapet motor dari bajingan kayak lo!”

Draco hanya diam, Ia tidak melawan dan tidak menghindar. Ia hanya pasrah.

“Jauhin Hermione, jangan pernah deketin dia lagi.”

Setelah itu, Ron mendorong Draco sangat kencang hingga lelaki itu tersungkur. Lalu, Ron melempar kunci motornya tepat di wajah Draco.

“Bangsat.” umpat Ron sebelum Ia pergi dari sana.


“Hermione gimana? Udah tidur?”

Ginny mendongkak ketika mendengar suara berat Ron.

“Udah, gimana? Udah dipukul?”

“Aman. Dia udah bonyok ditangan gue, dan motornya udah gue balikin.”

“Syukurlah. Gue gak nyangka Draco ternyata se-brengsek itu. Gue bener bener gak nyangka.”

“Kenapa tiba tiba ya? Padahal Draco itu kayak bener bener sayang loh sama Hermione. Luna bisa liat, bahkan disaat Draco berantem tadi Hermione, Luna merhatiin gerak gerik Draco, dia gak berani liat matanya Hermione, dan Draco kayak ngepalin tangannya nahan emosi, tapi bukan emosi ke Hermione, tapi emosi ke dirinya sendiri. Bahkan, Luna bisa liat matanya, mata Draco seolah olah bilang kalau semua omongan yang keluar itu gak berbanding lurus sama apa yang ada didalam hatinya.”

Semua terdiam ketika mendengar Luna, Luna berbicara berdasarkan apa yang Ia lihat dan Ia rasakan. Dan itulah yang Ia rasakan.

“Udahlah, mungkin Luna cuman sok tau.”

**

Ron duduk disebelah Hermione, Ia menyangi Hermione melebihi apapun, baginya Hermione adalah seseorang yang cukup berharga untuknya, walaupun hanya sekedar sahabat.

“Draco..” guman Hermione dengan matanya yang tertutup.

“Draco, jangan tinggalin aku..”

Ron menahan nangis. Ia sangat tau bagaimana Hermione trauma kepada lelaki, bahkan Draco adalah yang pertama. Draco adalah lelaki yang berhasil membuat Hermione jatuh cinta.

“Draco, aku sayang kamu, jangan pergi..”

Tanpa Ron sadari, dalam tidurnya, Hermione meneteskan air matanya.

**

Pedihku saat merasa indah...

**

Hermione pulang terburu buru dari rumah sakit. Air matanya sudah tak terbendung lagi mengingat foto itu. Foto Draco dengan perempuan lain yang entah siapa, Ia selalu berfikir bahwa Draco telah berubah lewat semua sikap manis dia. Tapi apa benar lelaki itu sudah berubah?

Akhirnya Hermione sampai di cafe itu. Ia langsung masuk dan betapa terkejutnya ketika Ia melihat Draco, Ginny, Luna dan wanita itu sedang duduk bersama. Sepertinya Draco baru saja habis dimarahi oleh Ginny.

Hermione menghampiri mereka. Atensinya langsung tertuju kepada perempuan berambut panjang berwarna coklat disebelah Draco.

“Dia siapa?” Tanya Hermione langsung.

Draco diam, Ia malah menghela nafasnya.

Karna tidak sabar, Hermione lagi-lagi bertanya. “Dia siapa Draco?” Namun kali ini, nadanya lebih tinggi dari sebelumnya.

“Kenalin, dia Astoria.” Balas Draco. Lelaki itu berdiri diikuti oleh semua orang disana yang ikut berdiri.

“Temen kamu? Sepupu?” Tanya Hermione. Bahkan disaat seperti ini, Ia masih bisa berfikir positif.

“Bukan, dia orang spesial untuk aku.”

Deg.

Rasanya saat ini jantung Hermione lebih sakit dari biasanya. Semua orang menatap Draco dengan tatapan galak, termasuk wanita yang bernama Astoria.

“Draco..”

“Kenapa? Lo kaget? Kaget kan? Lo fikir gue udah berubah? Sampe kapanpun gue akan tetap menjadi Draco yang dulu. Draco yang mainin cewek semau dia, Draco yang selalu bikin nyaman dan akhirnya meninggalkan. Dan lo, adalah salah satu korbannya.”

“Bila cinta ini tak nyata.”

Hermione menggigit bibirnya menahan rasa sesak didada, air matanya terus mengalir bahkan wajahnya sudah basah dikarenakan air matanya. Ia memandang lelaki yang Ia sayang dengan penuh amarah.

“Lo tau kenapa gue deketin lo? Karna lo adalah wanita yang gue incer dari dulu, Hermione. Lo galak, lo jutek, bahkan lo gak pernah ragu mukul gue, lo gak pernah ragu untuk ngeluarin kata kasar dari mulut lo untuk gue. Dengan semua sifat lo, gue penasaran.. Dan akhirnya gue—”

Hermione mengepalkan tangannya keras selama Draco berbicara.

”— Gue sengaja bikin lo jatuh cinta.”

“Jangan engkau beri harapan.”

Hermione menutup kedua wajahnya, air matanya sudah tak terbendung lagi. Jadi ini tujuan Draco yang sebenarnya?

“Kenapa Drake? Kenapa?” Hermione memegang dadanya, sesak.

“Jadi lo sengaja bikin gue jatuh cinta?”

“Iya.”

“Terus disaat gue udah jatuh cinta, sayang sama lo, lo ninggalin gue dengan cara sadis kayak gini?”

“Iya. Dan andai lo tau, gue gak pernah bener bener jatuh cinta sama lo.”

“Sudah cukup kini ku sadari, terlalu cepat jatuhkan hati..”

“Gue janji sama diri gue sendiri. Kalau gue berhasil bikin lo jatuh cinta, gue akan ninggalin lo disaat lo lagi sayang-sayangnya.”

Kali ini Hermione tak kuasa menahan rasa sakitnya, Ia membalikkan badannya karna tak sanggup melihat wajah Draco. Pengakuan dari lelaki itu membuat hatinya sangat sakit.

Ginny dan Luna diam, mereka terlalu terkejut dengan apa yang dibicarakan oleh Draco.

“Sempat kau bersikap seolah sandaran jiwaku.”

Hermione menghela nafasnya, Ia kembali membalikkan badannya. “Terus maksud lo tau semua jadwal gue apa? Lo nemenin gue setiap hari, lo bahkan rela beliin Ron motor karna dia berjasa dalam kisah cinta yang lo rangkai sendiri, lo beliin gue banyak bunga mawar, lo selalu nenangin gue. Bahkan— bahkan lo udah berhasil bikin trauma gue sembuh, Draco. Lo berhasil. Tapi— tapi kenapa?”

Karna tidak sanggup, Hermione terduduk. Ginny dan Luna segera merangkul kedua tangan Hermione dan mengusap pundak Hermione.

“Setelah 7 bulan hubungan ini, gue fikir semua ini spesial, Draco.”

Dari tadi, Draco sama sekali tidak melihat wajah Hermione, Ia lebih memilih objek lain sebagai tujuan pandangannya.

“Dari dulu, gue cuman sayang dan cinta sama Astoria.” Ucap Draco membuat Hermione semakin keras menangis.

“Pedih ku saat merasa indah..”

Hermione berdiri, Ia menghadap ke arah Draco, dan—

Plak!

Hermione menampar Draco dengan keras hingga wajah lelaki itu tertoleh ke sebelah kiri.

“Gue kecewa sama lo. Selamat, lo berhasil, Draco. Lo udah berhasil. Lo udah bikin gue sayang, cinta bangett sama lo, bahkan melebihi apapun, tapi ternyata— semua hancur. Semua berantakan, makasih. Makasih lo udah ngebuktiin ke gue, kalau semua cowok itu brengsek. Gak lo, gak ayah, semua orang yang gue sayang lebih memilih pergi dari hidup gue dan mengkhianati gue. Makasih Draco, makasih.”

Hermione menghapus air matanya, membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan.

“Makasih sekali lagi, semoga lo bahagia sama dia. Orang yang lo sayang, makasih Draco. Udah, selesai semuanya.”

Hermione pergi dari hadapan Draco, Ia berlari sekencang mungkin dan disusul oleh Ginny dan Luna.

“Semua hilang dan usai..”

**

Lekas sembuh, Draco.

**

Malam ini, Draco menjemput Hermione dirumahnya. Padahal, Hermione bisa bareng dengan Harry dan Ron, tapi Draco tidak mau, Ia ingin Ia lah yang menjemput Hermione dan mereka berangkat bersama menuju lapangan basket.

Sesampainya dilapangan, Draco segera mengganti pakaiannya.

Baru kali ini Hermione melihat permainan basket diluar sekolahnya, terlebih lagi Ia melihat kekasihnya.

“Aku main dulu, kamu disini sama Pansy ya?” Ucap Draco kepada Hermione.

Hermione mengangguk. “Oke siap!”

Setelah itu, Draco pun mulai bermain basket dengan yang lainnya.

Hermione menonton permainan itu di pinggir lapangan, Draco benar benar tampan saat bermain basket! Pantas saja Ia banyak disukai pada saat SMA, pantas saja banyak wanita yang tergila-gila kepadanya, bahkan tak sedikit dari mereka yang menyatakan cinta duluan, itu lah yang membuat Draco banyak mantannya.

Setelah selesai, Draco pun menghampiri Hermione dan duduk disebelahnya.

“Nih minum. Kamu keren banget mainnya!” Hermione mengacungkan kedua jempolnya.

Draco menerima minuman itu dan meminumnya. “Makasih sayang.”

Setelah minum, Draco menunduk agak lama, Hermione yang merasa aneh pun memegang pundaknya.

“Kenapa? Capek ya?”

“Hah? Enggak.”

“Draco! Muka kamu pucet banget? Hei, kenapa?!” ucap Hermione heboh yang membuat semua menoleh ke arahnya.

“Enggak, gapapa sayang.”

“Enggak, muka kamu pucet.”

Draco merasakan sakit kepala luar biasa malam itu, dan dihadapan Hermione, Ia menjadi lelaki yang lemah karna tak bisa menahan semuanya. Yang terakhir, hanya suara teriakan Hermione yang terdengar sebelum akhirnya Ia kehilangan kesadarannya.


Hermione duduk lemah di salah satu kursi dirumah sakit, Ia ditemani Pansy, Blaise, Theo, dan ada kedua orang tua Draco disana. Saat Draco pingsan tadi, Hermione langsung membawanya ke rumah sakit, dan Pansy langsung menghubungi kedua orang tua Draco.

Setelah beberapa menit diperiksa, akhirnya Dokter pun keluar, Ia hanya bilang bahwa Draco hanya kelelahan dan Ia ingin mengobrol serius dengan kedua orang tua Draco. Tak lupa, Dokter itu juga memberitahu bahwa Draco sudah sadar.

“Draco.” Hermione menangis disebelah Draco. Ia menggenggam tangan Draco sangat erat.

“Hei, jangan nangis.”

Baru kali ini Hermione mendengar Draco dengan suara yang sangat lemah.

“Aku gak apa-apa.” lanjutnya.

Hermione semakin menangis mendengar suara Draco. “Kamu sakit? Kenapa kamu bisa pingsan? Draco aku— aku gak mau liat kamu sakit gini, jangan sakit.”

“Hei hei, sini.”

Draco berusaha untuk bangun dan menghapus air mata Hermione.

“Jangan nangis, tadi kata dokter apa?”

“Kamu katanya kecapean.”

Draco tersenyum. “Nah itu tau, aku cuman terlalu capek sayang, aku gapapa.”

“Bener? Yaudah kamu banyak banyakin istirahat jangan capek capek!”

“Iya sayang.”

Mereka pun menikmati waktu bersama didalam ruangan dingin ini, Hermione menemani Draco, mengobrol, bercerita, dan banyak lagi.


“Blaise, anter Hermione pulang ya?”

“Ih! Apaan! Enggak enggak, aku kan mau nginep disini. Gak mau pulang.” bantah Hermione.

“Pulang Mione, udah malem, dianter Blaise ya? Maaf aku gak bisa anter.”

“Kamu harus banyak istirahat! Jangan minta maaf. Bener ya kamu bakalan sehat, janji ya?”

Draco tersenyum gemas, Ia mengangguk dan mengelus lembut puncak kepala Hermione.

“Janji sayang, sekarang kamu pulang ya?”

Hermione mengangguk. “Lekas sembuh, Draco. Jangan sakit sakit, aku sayang kamu.”

Draco hanya tersenyum, kemudian Hermione pulang bersama Blaise dan Pansy.

“Maaf Hermione.”

**

Lekas sembuh, Draco.

**

Malam ini, Draco menjemput Hermione dirumah Ginny. Padahal, Hermione bisa bareng dengan Harry dan Ron, tapi Draco tidak mau, Ia ingin Ia lah yang menjemput Hermione dan mereka berangkat bersama menuju lapangan basket.

Sesampainya dilapangan, Draco segera mengganti pakaiannya.

Baru kali ini Hermione melihat permainan basket diluar sekolahnya, terlebih lagi Ia melihat kekasihnya.

“Aku main dulu, kamu disini sama Pansy ya?” Ucap Draco kepada Hermione.

Hermione mengangguk. “Oke siap!”

Setelah itu, Draco pun mulai bermain basket dengan yang lainnya.

Hermione menonton permainan itu di pinggir lapangan, Draco benar benar tampan saat bermain basket! Pantas saja Ia banyak disukai pada saat SMA, pantas saja banyak wanita yang tergila-gila kepadanya, bahkan tak sedikit dari mereka yang menyatakan cinta duluan, itu lah yang membuat Draco banyak mantannya.

Setelah selesai, Draco pun menghampiri Hermione dan duduk disebelahnya.

“Nih minum. Kamu keren banget mainnya!” Hermione mengacungkan kedua jempolnya.

Draco menerima minuman itu dan meminumnya. “Makasih sayang.”

Setelah minum, Draco menunduk agak lama, Hermione yang merasa aneh pun memegang pundaknya.

“Kenapa? Capek ya?”

“Hah? Enggak.”

“Draco! Muka kamu pucet banget? Hei, kenapa?!” ucap Hermione heboh yang membuat semua menoleh ke arahnya.

“Enggak, gapapa sayang.”

“Enggak, muka kamu pucet.”

Draco merasakan sakit kepala luar biasa malam itu, dan dihadapan Hermione, Ia menjadi lelaki yang lemah karna tak bisa menahan semuanya. Yang terakhir, hanya suara teriakan Hermione yang terdengar sebelum akhirnya Ia kehilangan kesadarannya.


Hermione duduk lemah di salah satu kursi dirumah sakit, Ia ditemani Pansy, Blaise, Theo, dan ada kedua orang tua Draco disana. Saat Draco pingsan tadi, Hermione langsung membawanya ke rumah sakit, dan Pansy langsung menghubungi kedua orang tua Draco.

Setelah beberapa menit diperiksa, akhirnya Dokter pun keluar, Ia hanya bilang bahwa Draco hanya kelelahan dan Ia ingin mengobrol serius dengan kedua orang tua Draco. Tak lupa, Dokter itu juga memberitahu bahwa Draco sudah sadar.

“Draco.” Hermione menangis disebelah Draco. Ia menggenggam tangan Draco sangat erat.

“Hei, jangan nangis.”

Baru kali ini Hermione mendengar Draco dengan suara yang sangat lemah.

“Aku gak apa-apa.” lanjutnya.

Hermione semakin menangis mendengar suara Draco. “Kamu sakit? Kenapa kamu bisa pingsan? Draco aku— aku gak mau liat kamu sakit gini, jangan sakit.”

“Hei hei, sini.”

Draco berusaha untuk bangun dan menghapus air mata Hermione.

“Jangan nangis, tadi kata dokter apa?”

“Kamu katanya kecapean.”

Draco tersenyum. “Nah itu tau, aku cuman terlalu capek sayang, aku gapapa.”

“Bener? Yaudah kamu banyak banyakin istirahat jangan capek capek!”

“Iya sayang.”

Mereka pun menikmati waktu bersama didalam ruangan dingin ini, Hermione menemani Draco, mengobrol, bercerita, dan banyak lagi.


“Blaise, anter Hermione pulang ya?”

“Ih! Apaan! Enggak enggak, aku kan mau nginep disini. Gak mau pulang.” bantah Hermione.

“Pulang Mione, udah malem, dianter Blaise ya? Maaf aku gak bisa anter.”

“Kamu harus banyak istirahat! Jangan minta maaf. Bener ya kamu bakalan sehat, janji ya?”

Draco tersenyum gemas, Ia mengangguk dan mengelus lembut puncak kepala Hermione.

“Janji sayang, sekarang kamu pulang ya?”

Hermione mengangguk. “Lekas sembuh, Draco. Jangan sakit sakit, aku sayang kamu.”

Draco hanya tersenyum, kemudian Hermione pulang bersama Blaise dan Pansy.

“Maaf Hermione.”

**

**

Siang ini, tepatnya pukul 2 siang, mereka sudah berkumpul disalah satu caffee ternyaman langganan mereka. Hermione lah yang paling akhir datang karena Ia sebelumnya ada urusan dengan kekasihnya, Draco.

Dan setelah semuanya kumpul, mereka pun mulai mengobrol.

“Bosen gak sih kalau bengong doang? ToD gimana?” Usul Hermione.

“Baru setengah jam lo duduk, gue dari jam 1 ya disini.” Ucap Ginny.

“Beda satu jam doang sensi amat lo, udah ayo ToD!” Hermione sangat bersemangat mengambil botol kosong yang disediakan disana.

“Oke, simpen semua ponselnya.” Perintah Hermione.

Hermione mulai memutarkan botol ditangannya, dan bot itu berhenti di Ron.

“Hahaha lo pertama!” Hermione tertawa diikuti oleh Ginny dan Luna.

“Cepet, truth or dare?”

Tanpa berfikir panjang, Ron menjawab. “Dare.”

“Gue mau ngasih tantangan gue mau!” Ucap Ginny dengan semangat.

“Awas aja lo kalau aneh aneh gue gibeg ya.”

“Santuy, gue mah gak aneh aneh. Ini nih tantangannya, gue mau lo chat mantan lo dan bilang ayang kangen.”

Semua tertawa mendengar dare dari Ginny. Sedangkan Ron berubah menjadi masam mukanya.

“Panjang Gin kalau itu, truth aja deh.” keluh Ron.

“Enggak ada, gak ada, cepet Ron lakuin!”

Ron menghela nafasnya, mau tak mau, Ia menjalankan dare itu walaupun ragu, bahkan sangat ragu. Dan setelah melakukan dare itu Ia langsung menutup ponselnya berharap mantannya masih memblokir nomornya.

“Udah! Awas aja lo ade laknat.”

Ginny hanya tertawa mendengar itu, dan botol kembali berputar. Kali ini, botol itu berhenti di Luna.

“Truth or dare?” tanya Ginny.

“Truth.”

“Aduh gak seru ah, dare harusnya, gue mau denger lo nyanyi dangdut.” ucap Ron diakhiri dengan tawa.

Luna menjulurkan lidahnya. “Enggak, Luna tau tipu muslihat kamu ya, Ronald. Apa truth apa?”

“Gue mau tanya, sebenernya lo suka gak sih sama Theo? Dan ada gak lo suka sama orang, tapi kita gak tau? Soalnya lo tertutup banget soal itu, gue mau tau.” tanya Ginny.

“Emm.. Theo asik sih orangnya, tapi Luna belum suka karna Luna belum nemu titik nyaman di diri Theo yang bikin Luna betah. Jujur, gak ada, bukannya Luna gak mau buka hati, tapi gak tertarik aja suka sama orang, ribet.”

Jawaban Luna hanya dijawab oleh anggukan. Luna memang seperti itu orangnya, simple dan tak ingin ambil pusing. Apapun yang membuatnya bahagia dan nyaman, Ia akan pertahankan, sementara yang membuatnya sakit, Ia tak akan segan segan untuk menjauhi hal itu.

Setelah itu, botol kembali berputar dan berhenti Hermione.

“Dare aja udah!” ucap Ron.

“Heh gue belum pilih!”

“Dare aja, gue mau lo chat Draco dan ngomong alay, apapun itu cepet.”

“Gak ada yang lain apa? Bahkan gue belum milih loh?”

“Gak ada, cepet, gue mau tau tanggapan Draco.”

Hermione pun mengeluarkan ponselnya, dan Ia memberi pesan kepada Draco atas perintah Ron.

Lanjut, botol kembali berputar dan kini berhenti di Harry.

“Truth or dare?” tanya Hermione.

“Truth.”

Oke, kini saatnya..

“Ada yang mau disampein gak ke salah satu orang disini?”

Pertanyaan dari Hermione membuat suasana disini menjadi tegang, terutama Harry tentunya.

“Emm, Gin..”

Ginny mengangkat halisnya, percayalah, sekarang hati Ginny sedang deg degan tak karuan.

Harry menatap Hermione, lalu Hermione mengangguk pelan.

“G—gue sebenernya lama su—suka sama lo.” Harry mengatakannya dengan penuh ketegangan.

“Dari SMA, gue gak berani bilang karena gue takut ngerusak persahabatan kita, gue takut kita jadi canggung. Aduh, gimana ya..”

“Gue juga suka sama lo.” ucap Ginny yang membuat Harry melotot ke arahnya.

“Hah?”

“Gue juga suka sama lo, pacaran aja gimana?” ucap Ginny dengan cepat.

“HEH!” Hermione, Luna dan Ron sama sama berteriak.

“Lo cewek, jangan gitu dong, dimana harga diri keluarga Weasley.” ucap Ron sedikit berbisik kepada Ginny.

“Abis Harry confess nya kelamaan, gue bosen nunggu. Jadi, lo suka gue, gue suka lo, yaudah kita pacaran aja. Ya?”

Harry meneguk lidahnya dengan susah payah, semudah ini? Tau gitu Ia confess dari 2 tahun yang lalu.

“Bener Gin? Maksudnya, gue aja yang nembak lo.”

“Yaudah, ayo tembak gue.”

“Gin, lo mau kan jadi pacar gue? Ah anjing jadi gak romantis, lo sih ah.”

“Mau! Udah gak usah so soan romantis, jijik.”

Mulai hari itu, Ginny dan Harry menjalani status baru, bukan lagi sahabat, melainkan lebih dari itu. Harry sangat berterima kasih kepada Hermione yang sudah memberinya kesempatan. Mudah mudahan mereka selalu bahagia.

Sepeda

**

Hari ini, Hermione bangun lebih pagi dari biasanya. Ia tidak sabar untuk bermain sepeda dengan kekasihnya, Draco Malfoy. Sampai sekarang, Ia masih tidak menyangka berpacaran dan jatuh cinta kepada lelaki yang Ia benci semasa SMA, lelaki yang selalu membuatnya risih dan kesal. Tapi sekarang, lelaki itu adalah lelaki yang Ia cintai, bahkan Ia sama sekali tidak ingin jauh darinya.

Hermione menyiapkan dirinya, Ia berolahraga kecil dulu sebelum bersepeda dengan Draco, Ia tidak mau cepat lelah, apalagi sampai menyusahkan Draco. Jantungnya memang lemah, dan juga bermasalah, tapi tetap saja Ia tidak ingin hal itu mengganggu kebahagiaannya.

Draco bilang, Ia akan menjemputnya pukul 6 pagi. Dan Ia tidak sabar untuk itu.

Sudah pukul 6 pagi. Hermione sudah siap untuk bersepeda hari ini.

Dan yang ditunggu pun tiba, akhirnya Draco datang dengan mobil hitam miliknya. Mereka hanya akan bersepeda di daerah rumah Hermione saja, tidak kemana mana, tidak jauh.

“Hai!” sapa Hermione sangat semangat.

Melihat Hermione bersemangat, membuat Draco terkekeh pelan. Ia gemas, saking gemasnya, Ia mengacak ngacak rambut Hermione.

“Selamat pagi, udah cantik aja. Padahal cuman mau sepedahan loh?”

Pipi Hermione memerah. “Yaa kan mau ketemu kamu.”

“Haha bisa aja. Udah siap?”

“Udah! Kita sepedahan dikomplek rumah ku aja kan? Oh iya setiap minggu pagi, disana ada taman, bagus banget banyak jajanan juga.”

“Aku ngajakin kamu olahraga itu bukan untuk jajan sayang.” ucap Draco diakhiri dengan tawa.

“Iyaa sih, tapi kan biasanya abis sepedahan itu laper, jadi siapa tau mau beli apa gitu.”

“Iya iya aku ngerti maksud kamu. Yaudah ayo?”

“Let's go!!”

Mereka pun memulai pagi mereka dengan bersepeda, Hermione jalan lebih dulu dan disusul oleh Draco dibelakangnya.

“Draco ayo susul aku!” teriak Hermione menoleh ke belakang.

“Hei, jangan noleh ke belakang! Nanti jatoh!” balas Draco teriak.

Hermione hanya terkekeh pelan dan melanjutkan bersepeda. Sudah lama rasanya Ia tidak bersepeda seperti ini, ya semua ini karena penyakit sialannya yang membuatnya lebih cepat lelah.

Draco menyusul Hermione dan bersepeda disebelahnya.

“Kalau capek, berhenti ya?”

Hermione mengangguk dengan semangat. “Oke! Draco ayo susul aku ya!”

Hermione mempercepat kecepatan sepedanya. Draco terkejut melihat itu, Ia hanya tak ingin Hermione terlalu lelah dan drop, itu akan membahayakan kesehatannya. Draco juga mempercepat kecepatan sepedanya.

“HEI JANGAN CEPET CEPET!” Teriak Draco.

Hermione tertawa, Ia pun memperlambat kecepatan sepedanya.

“Hahaha iya deh iya. Khawatir ya?” tanya Hermione dengan wajah seolah sedang menggoda Draco.

“Ya iya, aku khawatir. Jangan cepet cepet ya? Santai aja.”

“Oke!”

Setelah 1 jam mereka mengelilingi komplek dengan banyak istirahat, akhirnya mereka memutuskan untuk berhenti.

“Nih, minum.” Draco menyodorkan botol minum yang sudah Ia buka tutupnya. Sengaja, agar Hermione tidak kesusahan membukakan tutup botolnya.

“Makasih.” balas Hermione menerima botol minum itu.

“Capek?”

“Enggak, kamu tau? Dada aku bahkan gak sakit atau sesek. Aneh.”

“Bagus lah.”

“Sering sering kayak gini ya? Aku seneng!”

“Kayak gini gimana maksudnya?”

“Sepedahan! Kalau perlu, tiap minggu kita sepedahan, atau tiap sabtu, minggu pagi. Gimana?”

Draco diam, Ia tidak menjawab, Ia hanya tersenyum dan mengalihkan pandangannya ke objek lain disekitarnya.


“Aku pulang ya? Kamu mandi, nanti siang kan katanya mau main.”

Hermione tersenyum senang. Mereka sudah selesai untuk pagi ini.

“Iyaa, kamu nanti malem ada basket kan?”

“Yap. Mau ikut? Eh tapi jangan, nanti siang kan kamu mau main, takutnya capek.”

“Mauu ih, kan ada Ron, Harry juga nanti aku bareng mereka kelapangan basketnya gimana?”

“Yaudah aku jemput kamu.”

Hermione tertawa. “Dasar! Yaudah sana pulang.”

“Byee, aku pulang ya.” Draco mengelus lembut puncak kepala Hermione.

“Iyaa Draco, byee!”

Setelah itu, Draco masuk ke dalam mobilnya dan perlahan mobil itu pergi menjauh dari rumah Hermione.

**