litaaps

That feeling, I hate the most.

***

Astoria sedang berada dikamar mandi saat mendapatkan pesan itu dari Millicent, teman satu kelasnya.

Ia tidak tau apa yang ia rasakan, marah, kecewa, sakit, patah, semua yang pernah ia rasakan kembali dengan seenaknya.

Melihat gambar itu, semakin Astoria lihat, semakin dia merasakan sakit.

Mengapa Astoria begitu denial untuk mendapatkan kenyataan bahwa, Draco dan Hermione pasti akan melakukan hal aneh disana? Mengapa ia terlalu percaya kepada Hermione? Mengapa ia terlalu mudah memaafkan Draco? Mengapa ia terlalu berlapang dada untuk menerima semuanya?

Draco, Astoria sangat menyayanginya. Astoria menyayanginya dari dulu. Draco adalah cinta pertama Astoria.

Hermione, sahabat terbaik dan terdekat Astoria, mengkhianatinya.

Astoria perlahan sudah memaafkan mereka berdua, namun setelah kabar ini, rasanya rasa kecewa yang ia kubur dalam dalam kembali tumbuh, bahkan lebih besar dibanding sebelumnya.

Dengan wajah sembab, Astoria keluar dari kamar mandi. Ia masih dikampus, dan akan pulang.

Saat ia keluar dari kamar mandi, semua orang menatapnya aneh, dan, kasihan.

“Tori?!”

Astoria menoleh, Millicent dan Evelyn disana.

“Tori are you okay? Oke, ini pertanyaan bodoh. Lo pasti gak kenapa-kenapa. Tori, lo harus dengerin gue, kalau cowok di dunia ini banyak. Jadi lo jangan mau sama bekasan sahabat lo.” Ucap Evelyn.

Astoria hanya diam saja, menahan amarah dan tangis yang ingin ia ledakkan.

“Eve bener Tor, lo harus jauhin Draco. Lagian kok mereka bisa tega gitu ya?” Tanya Millicent.

“Pacaran loh mereka, dan gak sekali dua kali juga ada yang liat mereka ciuman di tempat umum kayak gitu.” Tambah Evelyn.

“Tuh kan Tori, lo—”

“Ehhh ada apa ini?” Tanya Adrian, datang dari belakang.

Astoria secara tak sadar bersyukur atas kedatangan Adrian.

“Ini loh Yan! Si Draco ternyata pernah pacaran sama Hermione!” Seru Evelyn.

“Hah?!” Adrian terkejut, dia melihat ponsel Evelyn yang menunjukkan menfess yang sedang heboh itu.

“Eh—” Adrian menutup mulutnya, lalu menoleh ke arah Astoria.

Astoria melirik Adrian, air matanya kembali menetes, dan dia pergi darisana. Berlari, berharap tak ada yang mengejarnya.

Adrian ingin sekali mengejar, namun kakinya tertahan ketika mendengar suara Draco berlari ke arahnya.

“Yan!”

Ketika Draco datang, Millicent dan Evelyn pergi begitu saja.

“Tori mana? Liat Tori gak?” Tanya Draco panik.

“Baru aja balik. Itu naik taksi.” Tunjuk Adrian kepada taksi yang ditumpangi Astoria.

“Fuck.”

Dan Draco mengejar Astoria, namun Astoria sudah pergi.


Astoria merasakan kembali sesak ini, Astoria kembali merasakan rasa sakit yang membuatnya koma hingga berhari-hari.

Terkadang Astoria berharap, bahwa rasa sakit ini akan menghilang, entah setelah itu dia masih hidup atau tidak. Astoria tidak tahan dengan semua rasa sakit yang ia rasakan.

Didalam mobil, Astoria berusaha untuk menahan rasa sesak didadanya, dia terus menetralkan rasa sesak itu agar berkurang. Namun sial, semuanya semakin sesak, bahkan air matanya tak kunjung selesai.

“Mba, sepertinya ada yang ngikutin kita.”

Astoria menoleh ke belakang, itu mobil Draco.

“Jalan aja pak, abaikan mobil itu.”

Dan supir taksi pun berjalan dengan normal dan biasa. Astoria hanya meminta agar tidak memberikan kesempatan untuk mobil yang dikendarai Draco menyusulnya.

Sesampainya dirumah, Astoria segera turun dan masuk. Namun, Draco menahannya.

“Tori! Tori plis, dengerin gue oke? Kita ngobrol ya soal yang rame itu? Tori?”

Draco menahan tangan Astoria, namun Astoria menepisnya dengan kasar.

“Ngobrolin apa? Ngobrolin soal apa yang lo lakuin disana sama Hermione?”

Dan Draco, melihat kembali wajah kecewa itu.

“Sekali lagi lo nyakitin Astoria, gak akan ada kesempatan buat lo, Drake.”

“Apa?! Lo mau jelasin apa Draco?! Lo apain Hermione hah?! Lo apain sahabat gue selama disana, lo apain?!” Teriak Astoria marah. Dia menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan sesak.

Astoria menghapus air matanya yang mulai membasahi wajahnya.

“Kadang gue gak ngerti sama diri gue sendiri. Gue tau Amerika itu negera bebas, gue tau apartemen kalian sebelahan disana Drake, gue tau. Tapi begonya, gue gak bisa mikir jelek tentang kalian, gue gak bisa.” Ucap Astoria dengan suaranya yang tercekit.

“Selama ini gue selalu menepis semua pikiran jelek gue, tentang semua kemungkinan yang terjadi di dunia ini, tentang semua hal menyakitkan selain orang tua gue di dunia ini. Gue selalu denial untuk itu. Tapi ternyata, semesta maksa gue untuk gak menepis semua itu sekarang, Drake.”

Astoria maju selangkah lebih dekat dengan Draco.

“Lo pikir gak sakit liat foto lo ciuman sama Hermione? Lo pikir gak sakit liat foto lo pelukan sama dia? Lo kenapa berani jatuh cinta sama gue disaat malu lalu aja itu gak bener Drake? Masa lalu itu sama sahabat gue. Kenapa Drake? Kenapa harus lo orangnya? Dan kenapa harus lo orang yang gue sayang sebegininya, kenapa Drake?”

“Tori—”

Draco ingin mendekatkan dirinya dengan Astoria, namun Astoria menghindari nya.

“Stop. Kita emang gak bisa, Drake. Sampe kapanpun kita gak bisa. Mereka bener, apa yang diomongin di base itu bener. Gue gak seharusnya sama cowok bekas sahabat gue sendiri. Gak seharusnya.”

Tidak sanggup lagi dengan semuanya, Astoria berlari menuju rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat.

Draco berdiri disana, mengetuk pintu dengan penuh harapan yang mulai sirna.

“Tori.. Gue sayang sama lo, gue mohon.. Jangan kayak gini, Tor.. Gue mohon..”

Namun Astoria telah kecewa. Dia tidak tau harus berbuat apa.

Bibik yang melihat Astoria terduduk lemah dilantai itu menghampirinya, bibik tau semua tentang Astoria. Bibik yang mengurus Astoria dari kecil. Bibik tau persis bagaimana perasaan Astoria kepada Draco.

Bibik memeluk Astoria dengan erat. Dan Astoria, menangis disana.


© urhufflegurl_

Bye, Daphne.

***

Hari ini, banyak sekali yang mengantar Daphne ke bandara, bahkan sampai Daphne rasanya ingin tertawa dan menangis saking banyaknya.

Ada Astoria, Draco, Pansy, Blaise, Theo dan juga Hermione. Semua mengantar Daphne.

“Daph, hati-hati flightnya ya?” Ucap Pansy.

“Harusnya lo hati-hatiin pilot. Kan bukan gue yang ngendarain pesawatnya.” Balas Daphne.

“Lo bisa gak sih, sekalii aja tuh terharu gitu kek sama apa yang gue omongin.” Balas Pansy mendecak sebal, dan Daphne tertawa.

“Iya iya, thanks ya Pans. Gue hati-hati kok, nanti kalau udah nyampe, gue kabarin lo.”

“Gitu dong!”

Blaise tersenyum kepada Daphne. Selama Daphne di Indonesia, Blaise juga sering main ke rumahnya, kangen katanya.

“Safe flight ya. Kabarin gue juga kalau udah sampe.” Ucap Blaise mengusap rambut Daphne.

“Iyaaa aman.”

“Ini harus banget ya lo balik lagi kesana? Apa gak bisa menetap disini?” Tanya Theo.

“Hmmm.. Gak mau ah, disini ada lo.”

“Sialan.”

“Makanya lo jangan nyebelin, Daphne gak betah deket lo!” Sarkas Pansy.

“Kurang ajar emang lo pada gue liat liat.”

Seperti yang kalian tau, Draco, Daphne, Pansy, Blaise dan Theo itu bersahabat dari zaman SMA. Jadi mereka sangat senang Daphne kembali ke Indonesia, itu artinya mereka kembali kumpul, lengkap.

“Hati-hati ya Daph, salam ke bokap lo kalau udah sampe.” Ucap Draco, Daphne mengangguk.

“Jagain Tori ya, sorry dia bakal ngerepotin lo.”

“Ih apaan, gue gak pernah ngerepotin ya!”

“Gapapa, gue seneng kok direpotin sama Tori.” Draco melirik Astoria yang membuat pipinya memerah.

“Gue percaya sama lo Drake, lo bisa jaga Tori. Tapi kalau sekali lagi lo nyakitin dia, restu gue bener bener ilang buat lo.”

“Anjaay restu.” Seru Blaise.

Draco terkekeh pelan, “Iya iya. Gue pegang kepercayaan lo.”

Setelah itu, Daphne berpamitan dengan Hermione dan Astoria. Dia memeluk Astoria lama.

“Jangan kolaps lagi ya? Jaga kesehatan lo Tori, gue gak mau lo sakit lagi.”

Astoria mengangguk, “Salam buat Papa ya?”

Daphne membeku seketika. Baru kali ini Astoria menitipkan salam untuk sang Papa. Apakah hatinya yang dingin sudah kembali hangat?

“Iya, nanti gue salamin.”

Setelah itu, Daphne pun berjalan menuju pesawat yang akan membawanya pulang, dia melambaikan tangannya kepada orang-orang yang menyayanginya.

“Aduh sial, gue masih kangen sama itu anak.” Ucap Blaise.

“Lo mah kangen tiap hari!” Kata Pansy menyenggol lengan Blaise.

“Ketinggalan apa nih gue?” Tanya Theo.

Blaise menggelengkan kepalanya, “Kagak. Udah ah ayo balik.”

Theo hanya menatap Blaise dengan penuh pertanyaan, dan mencoba mengabaikan semua apa yang ia pikirkan.


© urhufflegurl_

Impian Astoria?

**

Pagi ini, Draco sudah di rumah Astoria. Dan sebentar lagi, Pansy dan Blaise akan menyusul kesana. Mereka ingin mengantar Daphne ke bandara.

“Daph.”

Daphne yang sedang memainkan ponselnya itu menoleh.

Astoria sedang di kamar mandi, jadi, di ruang tamu hanya ada Daphne dan Draco.

“Tori punya impian gitu gak? Dia pengen ditembak dimana gitu?”

“Hmm?”

“Iyaa, dia punya impian gak?”

Daphne berpikir keras, seingatnya, Astoria tidak pernah neko neko soal apapun. Astoria itu tipe orang yang tidak ribet, segala hal simple dia suka. Mungkin termasuk ketika lelaki menyatakan perasaannya.

Namun, disaat berpikir, Daphne terbesit ide yang cukup gila, namun dia yakin, jika Draco berhasil melakukannya, dia sangat percaya Draco benar-benar menyayangi Astoria 100℅

“Ada.”

Mata Draco berbinar, “Apa?”

“Tori itu pengen banget dibuatin pameran lukis, yang besaar banget.”

“Hah? Masa iya?”

“Serius. Dia itu pernah cerita, kalau dia pengen ditembak sama cowok dengan cara paling romantis. Yaitu, dengan dibuatkan pameran lukis, khusus buat dia sendiri. Tentang dirinya dan si cowok itu, tentang mereka.”

“Lo serius? Gak ngada ngada kan ini?”

“Astaga, gue kembarannya loh? Masa iya gue ngada ngada?”

“Tapi make sense juga sih, Tori kan suka lukis.”

“That's it. Dan dia itu pengen banget, ditembaknya ya melalui karya karya itu. Lo paham kan maksud gue?”

“Jadi, setiap karya ada maknanya?”

Daphne mengangguk antusias, “Iya bener!”

“Hmm... Boleh juga tuh.”

Daphne terkekeh pelan. Dasar Draco. Mau saja dibohongi olehnya.

Namun, bukan Draco namanya jika tidak melakukan hal diluar nalar hanya demi wanita yang ia cintai.

Selama ini, Draco belajar melukis, mati-matian walaupun dia sama sekali tidak bisa melukis. Itu semua hanya demi Astoria. Dia ingin dia bisa melukis bersama Astoria. Dia tidak ingin hanya melihat Astoria melukis, namun dia ingin ikut didalamnya.


© urhufflegurl_

Obrolan disaat hujan.

***

Hermione sedang menemani Astoria sore ini, karena Daphne sedang ada urusan diluar. Semenjak ada Daphne, Hermione semakin jarang juga bersama Astoria. Tidak, Daphne bukan penghalang, hanya saja, Hermione hanya ingin Astoria menghabiskan waktunya dengan kembarannya itu.

Sore ini, ditemani hujan yang cukup deras, serta minuman yang hangat, Hermione dan Astoria sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing dikamar Astoria.

“Bagus gak Tor?”

Astoria menoleh, melihat layar handphone milik Hermione. “Bagus, ciee jadi suka musik nih semenjak deket sama anak band?”

Hermione terkekeh pelan, “Main gitar seru juga, asik. Akhir akhir ini gue diajarin sama Theo, eh ketagihan.”

“Eh sama tau, Draco juga jadi seneng lukis.”

“Ohya?”

Astoria mengangguk, “Kemarin, dia bawa hasil lukisan dia, diliatin ke gue. Yaa abstrak sih, tapi bagus, lumayan.”

“Cowok apa emang gitu ya?”

“Entahlah.”

“Emm, Mi..”

“Ya?”

“Soal donor jantung.. Kemarin gue ngobrol lagi sama Daphne.”

“Terus gimana? Lo mau?”

“Menurut lo gimana?”

Hermione menyimpan ponselnya, begitupun Astoria.

“Lo siap gak? Pikirin dulu baik baik Tor, jangan langsung terima, jangan juga langsun nolak. Gue yakin, apapun keputusan yang lo ambil, itu yang terbaik buat lo, menurut lo.”

“Gue cuman takut, Mi..”

“Gue ngerti, semua orang pasti ada rasa takut buat donor donor begitu, apalagi donor jantung. Itu hal besar tau Tor. Gue donor darah aja hampir pingsan.”

Astoria hampir tertawa mengingat moment itu. Moment dimana saat Hermione ingin mendonorkan darahnya di acara amal, eh Hermione malah hampir pingsan sendiri melihat suntikannya.

“Jangan ketawa ya!”

Tawa Astoria semakin kencang, “Itu waktu kita masih SMA gak sih?”

“Kelas 3, mau UN.”

“Hahaha iya iya gue inget.”

Mereka terdiam sejenak, lalu saling menatap. Rasa bersalah kembali menghantui Hermione, dia kembali ingat moment dimana dia dan Draco masih di Amerika.

“Tor, maaf ya..”

“Kenapa minta maaf?”

“Enggak, maaf aja..”

“That's okey. Gue udah maafin lo! Udah ah gue gak mau inget inget yang kemarin lagi, sekarang, gue mau ngelukis.” Ucap Astoria berdiri dan memakai sandal rumah miliknya.

“Yaudah gue baca novel ya?”

“Iyaaa!”


© urhufflegurl_

Obrolan disaat hujan.

***

Hermione sedang menemani Astoria sore ini, karena Daphne sedang ada urusan diluar. Semenjak ada Daphne, Hermione semakin jarang juga bersama Astoria. Tidak, Daphne bukan penghalang, hanya saja, Hermione hanya ingin Astoria menghabiskan waktunya dengan kembarannya itu.

Sore ini, ditemani hujan yang cukup deras, serta minuman yang hangat, Hermione dan Astoria sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing dikamar Astoria.

“Bagus gak Tor?”

Astoria menoleh, melihat layar handphone milik Hermione. “Bagus, ciee jadi suka musik nih semenjak deket sama anak band?”

Hermione terkekeh pelan, “Main gitar seru juga, asik. Akhir akhir ini gue diajarin sama Theo, eh ketagihan.”

“Eh sama tau, Draco juga jadi seneng lukis.”

“Ohya?”

Astoria mengangguk, “Kemarin, dia bawa hasil lukisan dia, diliatin ke gue. Yaa abstrak sih, tapi bagus, lumayan.”

“Cowok apa emang gitu ya?”

“Entahlah.”

“Emm, Mi..”

“Ya?”

“Soal donor jantung.. Kemarin gue ngobrol lagi sama Daphne.”

“Terus gimana? Lo mau?”

“Menurut lo gimana?”

Hermione menyimpan ponselnya, begitupun Astoria.

“Lo siap gak? Pikirin dulu baik baik Tor, jangan langsung terima, jangan juga langsun nolak. Gue yakin, apapun keputusan yang lo ambil, itu yang terbaik buat lo, menurut lo.”

“Gue cuman takut, Mi..”

“Gue ngerti, semua orang pasti ada rasa takut buat donor donor begitu, apalagi donor jantung. Itu hal besar tau Tor. Gue donor darah aja hampir pingsan.”

Astoria hampir tertawa mengingat moment itu. Moment dimana saat Hermione ingin mendonorkan darahnya di acara amal, eh Hermione malah hampir pingsan sendiri melihat suntikannya.

“Jangan ketawa ya!”

Tawa Astoria semakin kencang, “Itu waktu kita masih SMA gak sih?”

“Kelas 3, mau UN.”

“Hahaha iya iya gue inget.”

Mereka terdiam sejenak, lalu saling menatap. Rasa bersalah kembali menghantui Hermione, dia kembali ingat moment dimana dia dan Draco masih di Amerika.

“Tor, maaf ya..”

“Kenapa minta maaf?”

“Enggak, maaf aja..”

“That's okey. Gue udah maafin lo! Udah ah gue gak mau inget inget yang kemarin lagi, sekarang, gue mau ngelukis.” Ucap Astoria berdiri dan memakai sandal rumah miliknya.

“Yaudah gue baca novel ya?”

“Iyaaa!”


© urhufflegurl_

Terimakasih, katanya.


Aku membuka mataku.

Ini rumah sakit.

Di ruang putih, dengan tiga wanita yang—

“K-kalian—”

Aku berdiri, penuh dengan ketakutan. Mereka ada didepanku, berdiri dan tersenyum. Mereka saling menggenggamkan tangan mereka.

Aku tau semua ini mimpi. Dan aku tau, ini juga adalah bagian dari mimpiku.

“Theo ganteng banget. Akhirnya gue ketemu dia. Makasih ya Hermione.”

Aku menatap Pansy, penuh dengan ketakutan. Diruangan putih itu, aku benar benar takut. Aku ingin segera bangun dari mimpiku. Tolong aku.

“Daphne ternyata sehat dan sembuh, gue seneng banget. Gapapa dia gak inget tentang gue. Seenggaknya gue tau dia baik-baik aja, gue seneng. Makasih Hermione.”

“Kemarin, keluarga gue dateng ke makam, full, lengkap sama keponakan gue juga. Makasih banyak Hermione udah bantu gue.”

“Makasih udah bantu kita, maaf kita ganggu lo. Kita udah gak ada, kita udah beda alam sama lo. Tapi lo tenang aja, kita gak akan ganggu lo lagi.” Kata Pansy.”

“Makasih karena Draco udah jadi atasan yang baik buat Daphne.”

“Makasih karena lo dan Draco, jadi sahabat yang baik buat Theo, Mione.”

“Makasih juga karena lo udah jadi temen yang baik buat Ron.”

“Saat kebakaran itu terjadi, kita emang sengaja gak pergi dan lari. Karena memang ini lah yang kita mau, Hermione. Kita mau kematian, bukan kehidupan yang sangat pahit.”

“Kamu hidup dengan bahagia ya, kita disini akan jaga kamu.”

Setelah itu, aku tidak ingat pasti. Yang pasti, rasanya tubuhku kembali terlempar, dan semua menjadi sangat terang.

“Hermione? Kamu udah sadar sayang?”

Aku terbangun dirumah sakit, dengan infus di tanganku.

“Dray? Mama? Papa?”

“Syukurlah kamu sadar. Kamu gak sadar udah 3 hari nak, Mama khawatir..”

3 hari? Aku ingat, terakhir aku sedang demam, dan aku mengalami kejang karena demamku yang sangat tinggi.

Aku memeluk Mama dan menangis disana. Semua ini berjalan dengan sangat cepat. Aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diriku sendiri.


Setelah benar-benar sembuh, aku berkunjung ke makam Ginny, Pansy, dan Astoria bersama Draco. Aku memberikan mereka masing-masing satu bunga yang indah dan cantik.

Aku mengusap batu nisan mereka, dan tersenyum.

“Makasih ya udah dateng ke mimpiku? Kalian tenang ya, semua yang kalian tinggalkan, aku yakin akan baik-baik saja. Kalian bahagia disana ya?”

Draco mengusap pundakku, dan tersenyum ke arahku.

Ternyata, semua mimpiku ada artinya.

Dan aku telah membantu mereka.

Aku berteman baik dengan orang-orang yang mereka sayang.

Ron, Theo, dan Daphne. Aku akan selalu berteman baik dengan mereka.


© urhufflegurl_

Daphne.

/ ini bukan pov Hermione.


Pagi ini, Draco sudah stay di ruangannya. Draco bekerja di perusahaan properti milik keluarganya, yang diwariskan untuknya. Saat ini, dia sedang menjalani program S2 nya sambil bekerja.

Tak lama Draco menunggu, akhirnya Daphne pun datang.

“Mohon maaf Pak, ada apa ya?”

Daphne dan Draco itu seumuran. Hanya saja, posisi Draco disini membuat Daphne harus menyebutnya dengan sebutan “Pak” Walaupun sebenarnya Draco tidak ingin.

“Duduk, Daphne.”

Daphne duduk didepan Draco.

“Saya ingin menanyakan beberapa hal rentang kamu.”

“Tentang saya?”

Draco mengangguk. “Kamu punya kembaran?”

“I—iya. Ada apa ya pak?”

“Kembaran kamu namanya Astoria?”

Daphne mengangguk. Dia menatap Draco dengan tatapan aneh, namun dia berusaha menyembunyikannya.

“Jadi begini, 2 minggu yang lalu, pacar saya, mimpi sesuatu..”

Dan Draco kembali menceritakan semua mimpi Hermione kepada Daphne.

“Kembaran saya memang sudah meninggal dunia. Tapi bukan karena kebakaran.”

“Maksud kamu?”

“Orang tua sayang bilang, kembaran saya meninggal karena kecelakaan.”

“Orang tua kamu yang bilang?”

“I—iya..”

“Kamu sendiri tidak tau bahwa ada kebakaran dirumah sakit, 7 tahun lalu?”

Daphne menggelengkan kepalanya. “Saya koma saat itu, karena sebuah kecelakaan.”

“Koma?”

“Saya koma selama 1 tahun penuh, dan ketika saya sadar, saya melupakan semuanya. Saya lupa bahwa saya memiliki kembaran, dan saya lupa nama saya, dimana saya tinggal, orang tua saya. Saya lupa. Yang saya tau, saat saya menanyakan siapa kembaran saya, orang tua saya bilang, dia Astoria, tapi sudah meninggal karena sebuah kecelakaan.”

What the hell?


© urhufflegurl_

Ternyata lo..


Aku tidak tahu maksud dari Theo ingin bertemu denganku. Aku tau Draco sudah menceritakan semuanya kepada Theo, dan aku tidak marah.

Theo dan Draco bersahabat sudah lama, dari masa mahasiswa baru, mereka sudah saling mengenal, hingga sekarang.

Kita bertemu di kantor dimana Theo bekerja. Karna jadwal kerjaku sedang sedikit, begitupun dengan Draco, jadi kita berdua yang menemui mereka.

Selama 2 hari ini, aku demam. Lebih tepatnya, setelah aku mengetahui fakta bahwa dokter Anin meninggal dunia karena bunuh diri. Ya, aku demam hebat malamnya, dan membuat Draco panik setengah mati.

Aku dibawa kerumah sakit, namun, dokter bilang bahwa keadaanku sudah baik-baik saja. Jadi aku dirawat dirumah.

Dan aku cukup lemas hari ini. Namun ada Draco yang membuatku kuat.

“Lama banget anjir!” Pekik Draco ketika Theo datang.

“Ya sorry, gue baru boleh keluar.”

“Iya gapapa.”

“Mi, sebelumnya sorry, gue udah tau soal mimpi lo itu dari Draco.. Tapi, gue mau tanya. Cewek di mimpi lo itu Pansy?”

Aku mengangguk, “Lo kenal?”

“Ada satu temen semasa kecil gue, waktu gue SD, namanya juga Pansy. Lo inget gak mukanya gimana?”

Aku sangat ingat cerita Pansy. Semasa kecilnya tidak pernah semenyeramkan itu ketika anak lelaki datang dan membuatnya ceria kembali.

Apakah lelaki itu— Theo?

Aku ingat, Theo itu pindah rumah saat kuliah. Dia dari Jogjakarta, dan pindah ke Jakarta. Theo bilang, Jakarta itu kota kelahirannya, namun dia harus pindah saat memasuki masa SMP. Apakah Theo??

“Dia rambutnya pendek, matanya kehijauan tapi gak terlalu hijau. Gue cuman bisa deskripsiin dia ketika gue liat dia The, gue gak tau dia di semasa kecil.”

Aku bisa melihat Theo begitu terkejut dan menahan teriakannya.

“Gue nunggu dia selama bertahun-tahun. Gue nunggu dia. Ceritain dia di mimpi lo, Mi.”

“Dia dibilang—”

“Sorry, anak haram?”

Aku mengangguk, dan Theo mulai menangis.

“Lo kenal?” Tanya Draco kepada Theo.

“Gue ketemu sama Pansy, rambut dia panjang, waktu kita sama sama 7 tahun. Gue ketemu dia di taman, dia lagi nangis, sendirian, dan gue inget banget dia pernah nanya soal anak haram ke gue. Gue tau dia selalu dipukul sama Mama nya, dia selalu nangis dan ngadu ke gue soal itu. Tapi waktu SMP, gue harus pindah karena bokap gue ditugasin ke Jogja. Dan selama itu, gue berusaha nyari tau tentang Pansy, tapi gue gak pernah ketemu sama dia, Mi, Drake.”

Theo terdiam sejenak, berusaha menyangkal bahwa Pansy yang dimaksud olehnya dan oleh Hermione itu berbeda.

“Pansy juga nunggu lo, The. Dia selalu cari lo kemana-mana, dia cari sosmed lo tapi dia gak pernah nemu.”

Theo menggelengkan kepalanya, menepis paksa kenyataan bahwa, wanita yang selama ini ia rindukan telah tiada.

“Enggak, gak mungkin...”

“Lo ada foto semasa kecilnya gak? Mungkin lo nyimpen atau..”

“Ada, selalu ada di dompet gue.”

Theo mengeluarkan foto yang kecil itu. Foto yang menunjukkan wajahnya dan wajah perempuan yang Hermione kenal. Wajah Pansy tidak banyak berubah dari semasa kecil hingga dewasa, jadi Hermione bisa mengenalnya.

“I—ini—”

“Plis bilang itu bukan dia, Mi. Gue mohon.”

Aku menatap Theo dengan mataku yang berlinang. Dengan ragu aku mengangguk, “Ini dia, The. Ini Pansy.”

Theo menangis, dia menutup wajahnya dan menahan tangisannya disana. Sedangkan aku, aku sangat bingung sekaligus bersyukur disini.

Pansy dan Theo, ternyata mereka saling mengenal. Ternyata, lelaki yang ada dicerita Pansy adalah Theo, sahabatku sendiri, sahabat Draco kekasihku.

“Gue selalu nyari dia, berharap ketemu sama dia dimanapun. Tapi gue gak pernah ketemu. Semesta gak pernah izinin gue ketemu sama dia, ternyata, dia udah gak ada..”


Aku tau makam Pansy. Ternyata bersebelahan dengan makam Astoria. Aku tau makam mereka dari penjaga makam disini, dan aku tau pemakaman ini dari Ron.

Kata Ron, pemakaman disini, adalah pemakaman dimana pemakaman yang digunakan untuk memakamkan korban kebakaran 7 tahun lalu.

Aku menangis disana, begitupun dengan Theo dan Draco.

Theo, dia sangat sedih atas kenyataan ini. Perempuan yang selama ini ia cari, dan sangat berharap untuk ia temui, ternyata telah tiada.

“Pans... Sorry, sorry gue harus telat tau semua ini. Maaf..”

Theo mencengkeram dengan erat batu nisan bertuliskan nama sahabatnya itu.

“Gue selama ini nyariin lo. Gue gak pernah tenang mikirin lo. Kabar lo gimana, Nyokap lo masih jahat atau enggak sama lo, gue bener bener nyariin lo.”

Aku menangis dipelukan Draco.

“Sekarang, gue udah ketemu sama lo. Kita udah ketemu Pans. Lo tenang disana ya? Gue gak tau kabar nyokap lo, gue gak tau kabar keluarga lo, gue gak tau mereka dimana. Tapi kita udah ketemu. Kita udah ketemu Pans.”

Apa mungkin ini maksud Pansy berkunjung ke mimpi ku? Yaitu, dia ingin sekali bertemu dengan Theo. Karena aku ingat, Pansy juga sudah mencari Theo kemana-mana, namun tidak menemukannya.

“Tenang disana ya? Pasti berat ya untuk semuanya Pans? Maaf karna gue terlambat untuk tau semua ini, maaf..”


© urhufflegurl_

Dokter Anin.


Mobil Draco berhenti disebuah rumah yang sangat sepi, bagaikan tidak berpenghuni. Bahkan aku sendiri tidak yakin bahwa, di dalam rumah ini ada orang. Sangat sepi.

Aku dan Draco turun, memastikan bahwa ini adalah alamat yang kita maksud.

Draco mencoba untuk menekan bel, aku berdiri di belakangnya, karena entah mengapa aku merasa takut dan ragu.

Tak lama kemudian, seorang lelaki keluar dari rumah.

“Cari siapa?”

Aku meneguk salivaku yang mengering, lalu melirik Draco.

“Apa benar disini rumah dokter Anindia?”

“Kalian siapa?”

“Saya Draco, dan ini calon istri saya, Hermione Granger. Kami teman dari tiga pasien dokter Anindia.”

Aku meremas tangan Draco, dan mencoba tenang. Walaupun sebenarnya aku sangat takut.

“Untuk apa mencari istri saya?”

“Saya hanya ingin menanyakan tentang tiga teman kami.”

Aku benar-benar berharap dokter Anin keluar dari rumahnya. Namun, isi rumah ini cukup gelap, seperti hanya lelaki ini lah yang tinggal disana.

“Duduk.”

Kita berdua saling melirik, lalu duduk di bangku yang ada dihalaman rumahnya. Lelaki itu duduk didepan kita, dengan tatapannya yang kosong, dan mulai meneteskan air matanya.

“M—maaf, kami—”

“Istri saya sudah meninggal dunia, 7 tahun lalu.”

Aku menutup mulutku, terkejut dengan apa yang lelaki ini sampaikan. Mengapa semua orang meninggal dunia?

“Karena kebakaran?” Tanya Draco, membuat suami dari mendiang dokter Anin melirik ke arahnya.

“Kalian teman dari Ginny, Pansy, dan Astoria?”

Mengapa dia bisa tau?

“Iya..” Jawab Draco dengan ragu.

Aku diam, aku tidak bisa berbicara apa apa selain menangis dan merasakan kegelisahan dalam hatiku.

“7 tahun lalu, istri saya ada jadwal bertemu dengan ketiga pasien itu. Jadwal mereka jam 9 pagi. Namun, mobil istri saya ada gangguan, yang mengharuskan ia mengurusnya lebih dulu. Hingga pukul 1 siang, istri saya belum juga selesai dengan urusan mobilnya, dan melupakan janji bersama 3 pasiennya itu.”

“Kita bertiga pasiennya dokter Anin. Daritadi nunggu tapi dokter Anin gak dateng.” Jawab perempuan berambut kemerahan itu.

“Janjiannya jam berapa emang?”

“Jam 9.”

Aku melihat kearah jam dinding, sekarang sudah pukul 1 siang.

“Kalian nunggu lama banget.”

Wanita itu hanya tersenyum, “pasien dokter Anin banyak, bukan cuman kita.”

Aku tidak bisa menahan air mataku untuk keluar. Ini benar-benar diluar apa yang aku prediksikan. Aku pikir, aku bisa bertemu dengan dokter Anin dan mengetahui semua cerita tentang Ginny, Astoria dan Pansy dari beliau. Tapi ternyata..

“Dan di pukul 1 siang itu, saat istri saya hendak pergi ke rumah sakit, kebakaran itu terjadi. Kebakaran hebat, yang melenyapkan lantai 3, 70 korban, dan diantara 70 korban itu, ada 3 orang pasien istri saya yang ditemukan jasadnya di dekat ruangan psikiater.”

3 orang? Itu artinya...

Pansy dan Astoria juga..

“Lalu istri saya merasa bersalah karena membuat mereka bertiga menunggu. Istri saya dipenuhi dengan rasa salah, hidupnya tidak pernah tenang. Dia pun—”

Lelaki itu menahan dadanya yang sesak, dan menutup wajahnya yang dipenuhi air mata.

”— rasa bersalah yang dia rasakan itu membuatnya membunuh dirinya sendiri, dan meninggal ketika saya mengantarkannya ke rumah sakit.”

Aku menutup mulutku. Tangisanku semakin terdengar. Aku tidak tahan, aku pergi dari sana.

Aku masuk ke dalam mobil, dan menumpahkan tangisanku.

Tak lama kemudian, Draco juga masuk, dan memelukku.

Draco tidak berbicara apa-apa, dia hanya memelukku, dan mengusap punggungku.


© urhufflegurl_

7 tahun lalu.


Aku dan Draco datang lebih dulu di Cafe M. Kita pesan minuman dan cemilan.

Dan Ron datang 15 menit setelah kita.

Ron bekerja disalah satu perusahaan dibidang pembangunan. Ya, dia berkuliah di jurusan Teknik Sipil.

“Mi, Drake, sorry lama nih.. Macet tadi.”

“Santai santai, kerjaan lagi banyak sekarang?” Balas Draco.

“Banyak banget anjir. Gue harus ke kalimantan bulan depan, biasa, lapangan.”

“Mantep banget teknik sipil kita.”

“Biasa aja.”

Ron menatapku, aku juga menatapnya.

“Gimana Mi? Ada obrolan apa?”

Aku mengerjap, berusaha menenangkan diriku. Entah mengapa rasanya aku sangat tidak nyaman dengan semua ini. Dengan diriku, dan sengan situasi yang sedang aku jalani.

“Pesen dulu lah Ron. Gapapa kan sayang?”

Aku mengangguk, membiarkan Ron memesan kopi.

Setelah kopi milik Ron datang, akupun memulai pertanyaanku.

“Ron, lo— punya adik?”

Ron yang sedang meniup kopi itu berhenti. Apa pertanyaanku terlalu to the point? Aku bisa melihat dengan jelas perubahan raut wajah Ron.

“Adik?”

Aku mengangguk.

“Punya.”

Mataku berbinar. Akhirnya, aku bisa bertemu dengan Ginny.

“Tapi udah meninggal.”

“Hah?”

Ron mengangguk, “kenapa lo tiba-tiba nanya adik gue? Dikampus gak ada yang tau gue punya adik. Udah lama juga dia meninggal.”

“Sorry bro kalau obrolan ini ngungkit luka lama lo.” Ucap Draco, merasa tidak enak.

Meninggal? Maksudnya apa meninggal? Orang jelas jelas Ginny ada kok. Walau di mimpiku.

“Meninggal?”

Ron mengangguk.

“Kalau boleh tau.. Meninggal kenapa?”

Ron menghela napasnya berat, seolah ingin sekali menghindari obrolan ini.

“Kalau lo gak bisa jawab gapapa bro.” Ucap Draco, aku mengangguk.

“Gapapa, cuman kaget aja kenapa Hermione nanya soal adek gue.”

“Ceritain sayang.” Ucap Draco kepadaku.

Dan aku menceritakan semua yang ada didalam mimpiku kepada Ron. Semua, tanpa ada yang hilang satupun.

“Lo ketemu dia di mimpi?”

“Ginny. Adik lo namanya Ginny kan Ron?”

Ron mengangguk, “Ginevra Wesley, atau Ginny. Dia meninggal 7 tahun lalu karena kebakaran.”

“HAH?! KEBAKARAN?!”

“Okeyy.. Ini agak serem sih, tapi— kebakaran apa?” Tanya Draco.

Dan aku mengakui, ini semua benar-benar menyeramkan.

Ginny, meninggal, kebakaran.

“Rumah sakit. Kalian tau kan kebakaran hebat yang ngabisin lantai 3, 7 tahun lalu?”

Rumah sakit?

Tidak, aku bukan indigo. Aku tidak pernah merasakan hal aneh semacam ini sebelumnya.

“Adek gue kejebak disitu, dan ya— dia meninggal.”

“Di lantai 3?”

Ron mengangguk.

“Deket ruang psikiater?”

Ron mengangguk lagi. “Dimimpi lo jelas banget ruangan dan lantainya?”

“Jelas banget Ron. Maksud dia apa dateng ke mimpi gue? Ron?”

“Gue gak tau Mi..”

Draco dan Ron menatapku aneh. Jika ada cermin didepanku, aku pun akan melakukan hal yang sama. Aku akan menatap diriku sendiri aneh.

Bagaimana bisa seseorang yang telah meninggal 7 tahun lalu, datang ke mimpiku menceritakan semua kisah hidupnya? Apa tujuannya?

Draco yang merasakan kecanggungan diantara kita pun mencoba untuk bertanya kepada Ron,

“Lo udah ikhlas? Adek lo..”

“Sebenernya belum. Dia adek yang paling gue sayang. Kalau dia masih hidup, gue yakin, dia jadi dokter sekarang.”

Dokter. Cita-cita Ginny menjadi dokter.


Setelah banyak mengobrol dengan Ron, aku mendapatkan satu kesimpulan. Bahwa keluarga Ron mengikhlaskan kepergian Ginny. Namun mereka tidak harmonis seperti sebelum Ginny pergi.

Anak pertama dari keluarga Weasley menetap di luar negeri, bersama sang istri. Dia jarang pulang ke rumah.

Anak kedua, juga kerja di luar kota.

Dan Ron, dia memang tinggal dirumah, namun tak jarang dia ditugaskan untuk bekerja ke luar kota dan jarang pulang.

“Sayang..”

Aku menoleh ke Draco yang ada disampingku.

“Aku gak tau tujuan Ginny apa Drake.. Aku bahkan gak kenal sama dia, kenapa dia dateng ke mimpi aku?”

Aku meneteskan air mataku. Setelah mimpi itu muncul, aku menjadi gelisah dan tidak pernah tenang. Pikiranku penuh, namun tatapanku kosong. Dan air mataku lebih sering keluar.

“Nanti kita pikirin bareng-bareng ya? Sekarang, kamu tenang dulu sayang. Kita pasti bisa memuin jalan keluarnya. Oke?”

Draco selalu bisa menenangkanku. Ya, aku berpacaran dengan Draco sudah 8 tahun, dan tahun depan kami berencana akan melangsungkan pernikahan, tepat diusia kami ke 25.

Aku ingin menyelesaikan semua ini, tanpa berlarut-larut. Aku ingin pikiranku tentang hal ini menghilang.


© urhufflegurl_