That feeling, I hate the most.
***
Astoria sedang berada dikamar mandi saat mendapatkan pesan itu dari Millicent, teman satu kelasnya.
Ia tidak tau apa yang ia rasakan, marah, kecewa, sakit, patah, semua yang pernah ia rasakan kembali dengan seenaknya.
Melihat gambar itu, semakin Astoria lihat, semakin dia merasakan sakit.
Mengapa Astoria begitu denial untuk mendapatkan kenyataan bahwa, Draco dan Hermione pasti akan melakukan hal aneh disana? Mengapa ia terlalu percaya kepada Hermione? Mengapa ia terlalu mudah memaafkan Draco? Mengapa ia terlalu berlapang dada untuk menerima semuanya?
Draco, Astoria sangat menyayanginya. Astoria menyayanginya dari dulu. Draco adalah cinta pertama Astoria.
Hermione, sahabat terbaik dan terdekat Astoria, mengkhianatinya.
Astoria perlahan sudah memaafkan mereka berdua, namun setelah kabar ini, rasanya rasa kecewa yang ia kubur dalam dalam kembali tumbuh, bahkan lebih besar dibanding sebelumnya.
Dengan wajah sembab, Astoria keluar dari kamar mandi. Ia masih dikampus, dan akan pulang.
Saat ia keluar dari kamar mandi, semua orang menatapnya aneh, dan, kasihan.
“Tori?!”
Astoria menoleh, Millicent dan Evelyn disana.
“Tori are you okay? Oke, ini pertanyaan bodoh. Lo pasti gak kenapa-kenapa. Tori, lo harus dengerin gue, kalau cowok di dunia ini banyak. Jadi lo jangan mau sama bekasan sahabat lo.” Ucap Evelyn.
Astoria hanya diam saja, menahan amarah dan tangis yang ingin ia ledakkan.
“Eve bener Tor, lo harus jauhin Draco. Lagian kok mereka bisa tega gitu ya?” Tanya Millicent.
“Pacaran loh mereka, dan gak sekali dua kali juga ada yang liat mereka ciuman di tempat umum kayak gitu.” Tambah Evelyn.
“Tuh kan Tori, lo—”
“Ehhh ada apa ini?” Tanya Adrian, datang dari belakang.
Astoria secara tak sadar bersyukur atas kedatangan Adrian.
“Ini loh Yan! Si Draco ternyata pernah pacaran sama Hermione!” Seru Evelyn.
“Hah?!” Adrian terkejut, dia melihat ponsel Evelyn yang menunjukkan menfess yang sedang heboh itu.
“Eh—” Adrian menutup mulutnya, lalu menoleh ke arah Astoria.
Astoria melirik Adrian, air matanya kembali menetes, dan dia pergi darisana. Berlari, berharap tak ada yang mengejarnya.
Adrian ingin sekali mengejar, namun kakinya tertahan ketika mendengar suara Draco berlari ke arahnya.
“Yan!”
Ketika Draco datang, Millicent dan Evelyn pergi begitu saja.
“Tori mana? Liat Tori gak?” Tanya Draco panik.
“Baru aja balik. Itu naik taksi.” Tunjuk Adrian kepada taksi yang ditumpangi Astoria.
“Fuck.”
Dan Draco mengejar Astoria, namun Astoria sudah pergi.
Astoria merasakan kembali sesak ini, Astoria kembali merasakan rasa sakit yang membuatnya koma hingga berhari-hari.
Terkadang Astoria berharap, bahwa rasa sakit ini akan menghilang, entah setelah itu dia masih hidup atau tidak. Astoria tidak tahan dengan semua rasa sakit yang ia rasakan.
Didalam mobil, Astoria berusaha untuk menahan rasa sesak didadanya, dia terus menetralkan rasa sesak itu agar berkurang. Namun sial, semuanya semakin sesak, bahkan air matanya tak kunjung selesai.
“Mba, sepertinya ada yang ngikutin kita.”
Astoria menoleh ke belakang, itu mobil Draco.
“Jalan aja pak, abaikan mobil itu.”
Dan supir taksi pun berjalan dengan normal dan biasa. Astoria hanya meminta agar tidak memberikan kesempatan untuk mobil yang dikendarai Draco menyusulnya.
Sesampainya dirumah, Astoria segera turun dan masuk. Namun, Draco menahannya.
“Tori! Tori plis, dengerin gue oke? Kita ngobrol ya soal yang rame itu? Tori?”
Draco menahan tangan Astoria, namun Astoria menepisnya dengan kasar.
“Ngobrolin apa? Ngobrolin soal apa yang lo lakuin disana sama Hermione?”
Dan Draco, melihat kembali wajah kecewa itu.
“Sekali lagi lo nyakitin Astoria, gak akan ada kesempatan buat lo, Drake.”
“Apa?! Lo mau jelasin apa Draco?! Lo apain Hermione hah?! Lo apain sahabat gue selama disana, lo apain?!” Teriak Astoria marah. Dia menggigit bibirnya menahan rasa sakit dan sesak.
Astoria menghapus air matanya yang mulai membasahi wajahnya.
“Kadang gue gak ngerti sama diri gue sendiri. Gue tau Amerika itu negera bebas, gue tau apartemen kalian sebelahan disana Drake, gue tau. Tapi begonya, gue gak bisa mikir jelek tentang kalian, gue gak bisa.” Ucap Astoria dengan suaranya yang tercekit.
“Selama ini gue selalu menepis semua pikiran jelek gue, tentang semua kemungkinan yang terjadi di dunia ini, tentang semua hal menyakitkan selain orang tua gue di dunia ini. Gue selalu denial untuk itu. Tapi ternyata, semesta maksa gue untuk gak menepis semua itu sekarang, Drake.”
Astoria maju selangkah lebih dekat dengan Draco.
“Lo pikir gak sakit liat foto lo ciuman sama Hermione? Lo pikir gak sakit liat foto lo pelukan sama dia? Lo kenapa berani jatuh cinta sama gue disaat malu lalu aja itu gak bener Drake? Masa lalu itu sama sahabat gue. Kenapa Drake? Kenapa harus lo orangnya? Dan kenapa harus lo orang yang gue sayang sebegininya, kenapa Drake?”
“Tori—”
Draco ingin mendekatkan dirinya dengan Astoria, namun Astoria menghindari nya.
“Stop. Kita emang gak bisa, Drake. Sampe kapanpun kita gak bisa. Mereka bener, apa yang diomongin di base itu bener. Gue gak seharusnya sama cowok bekas sahabat gue sendiri. Gak seharusnya.”
Tidak sanggup lagi dengan semuanya, Astoria berlari menuju rumah dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Draco berdiri disana, mengetuk pintu dengan penuh harapan yang mulai sirna.
“Tori.. Gue sayang sama lo, gue mohon.. Jangan kayak gini, Tor.. Gue mohon..”
Namun Astoria telah kecewa. Dia tidak tau harus berbuat apa.
Bibik yang melihat Astoria terduduk lemah dilantai itu menghampirinya, bibik tau semua tentang Astoria. Bibik yang mengurus Astoria dari kecil. Bibik tau persis bagaimana perasaan Astoria kepada Draco.
Bibik memeluk Astoria dengan erat. Dan Astoria, menangis disana.
© urhufflegurl_