home.
***
“Hai!”
“Hai, cantik.”
Astoria tersenyum malu, dia mempersilakan Draco untuk masuk ke rumahnya.
“Ada makanan nih, Tor.” Draco memberikan tas berisi makanan kepada Astoria. Dan perempuan itu membawanya ke dapur untuk disiapkan.
“Makasih ya.”
“Sama-sama. Oh iya, liat..”
“Apa?”
Draco memperlihatkan kanvas kepada Astoria. Dia mencoba untuk melukis dengan tangannya sendiri.
“Bagus gak?”
“Bagus banget! Ini lo gambar sendiri?”
Draco mengangguk, “Googling sih, tutorial gitu, susah juga ternyata. Kok lo bisa sih ngegambar? Bahkan bagus banget?”
“Eh tapi ini keren tau, permainan warna lo berani banget tapi bener, bagus banget.”
“Thank you.”
Mata Astoria tidak dapat teralih dari lukisan hasil tangan Draco.
“Gue emang suka gambar dari kecil, jadi, waktu kecil, kata Mama gue sering nyoret tembok buat ngegambar.”
“Ohya?”
Astoria mengangguk.
“Terus kenapa gak ambil jurusan desain? Seni, dkv gitu?”
“Seni itu emang passion gue, tapi dia gak masuk top one impian gue.”
Draco mengangguk mengerti.
“Eh ada Draco.”
Draco tersenyum singkat saat Daphne menghampiri mereka berdua di ruang tamu.
“Bibik udah siapin tuh makanannya. Thanks ya Drake udah bawain ayam sebanyak itu.” Ucap Daphne.
“Sama-sama.”
“Yaudah yuk, makan.”
Draco dan Daphne mengangguk saat diajak oleh Astoria, mereka pun beranjak menuju meja makan.
Draco datang di jam makan siang, jadi sekalian dia membawakan makanan untuk mereka.
“Waah enak banget ini ayamnya. Lo beli dimana Drake?”
“Deket komplek rumah gue. Enak ya?”
Astoria mengangguk semangat, “Enak banget! Mau makan tiap hari rasanya.”
“Bisa kok makan tiap hari, apalagi kalau udah donor, makin bisa tau Tor.”
Suasana menjadi hening seketika. Draco melirik Daphne dengan perasaannya yang tak karuan, jantungnya berdebar cukup kencang.
“Apaan sih, gak lucu.”
Draco dapat melihat dengan jelas perubahan raut wajah Astoria. Asalnya senang, menjadi diam dan murung.
“Emang bener? Lo bisa makan ayam tiap hari, lebih lama malah kalau lo donor jantung. Iya gak Drake?”
“Maksud lo, kalau gue gak donor, hidup gue bakal singkat?”
“Bukan gitu, kalau lo donor, kualitas hidup lo lebih bagus, Tori. Lo jadi lebih leluasa menikmati hidup.”
“Iya kalau operasi nya berhasil. Kalau enggak?”
“Lo kenapa selalu negatif thinking sih? Sama diri lo sendiri loh.”
“Daph. Gue lagi gak mau bahas itu.”
Mood Astoria berantakan sudah karena Daphne, dan Draco bingung harus melakukan apa.
“Gue heran, gue cuman mau lo sembuh, Tori. Kenapa sih gak mau donor?”
“Harus banget ngomongin ini di meja makan?” Astoria menjauhkan piringnya yang masih lumayan penuh, lalu meminum air yang ada disampingnya dalam satu kali tegukan.
“Gue emang harus ngomongin ini ke lo Tor.”
“Lo kenapa gak pernah dengerin gue sih Daph? Gue gak mau. Gue gak mau donor, gue gak mau. Gue takut, Daph.”
“Kenapa lo selalu takut sama semua hal di dunia yang berhubungan sama diri lo sendiri? Waktu lo suka sama Draco, lo takut deketin dia karena lo takut bakal rusak persahabatan gue sama dia. Sekarang, lo takut donor jantung karena takut gak selamat. Terus lo juga takut maapin mama sama papa karena lo masih dendam kan sama mereka?”
“Daph..”
“Iya kan? Ini ada hubungannya sama mereka kan?”
“Daph, kita ngomongnya jangan di meja makan kali ya?” Ucap Draco.
“Gak tau nih orang. Kita lagi makan, makanannya enak, Draco yang bawa malah bahas bahas begituan. Aneh.” Pekik Astoria marah.
Daphne melirik Draco dan mengangkat alisnya seolah berkata, “Kan, apa gue bilang, dia keras kepala Drake.”
Draco hanya menghela napasnya.
“Tapi, apa yang Daphne bilang itu bener, Tor. Gak salah kan coba buat donor?”
Astoria menatap Draco dengan tatapan tajam, “Kok lo belain dia?”
“Bukan belain, gue—”
“Draco udah ada disamping lo. Dia udah sayang sama lo. Terus lo mau apalagi Tor? Lo tinggal sembuh.”
“Lo gak ngerti, Daph.”
“Kalau gak ngerti ya jelasin.” Nada Daphne meninggi satu oktaf membuat Draco menoleh ke arahnya.
“Percuma juga gue jelasin, Daph. Udah deh, males gue.”
Saat Astoria hendak pergi, langkahnya terhenti ketika Daphne berkata, “Terus aja kabur dari semua masalah. Lo kabur dari orang tua lo yang selama ini selalu nanyain lo. Lo kabur dari penyakit lo, lo kabur dari semua masalah.”
Astoria mencoba tenang, dia memang selalu bertengkar dengan Daphne jika membicarakan 2 hal. Penyakit Astoria, dan orang tua mereka.
Daphne yang ingin Astoria gabung dengannya dan sang Papa, sedangkan Astoria sama sekali tidak ingin, dia memilih hidup sendiri.
“Sampe kapan Tor? Lo gak capek sakit dada terus? Lo gak capek demam terus? Lo gak capek minum obat terus?”
“Gue capek, Daphne.”
“Ya terus kenapa? Kenapa gak mau sembuh? Kenapa lo gak—”
Astoria memutarkan badannya dan menatap Daphne dengan matanya yang berkaca-kaca, “Lo gak ngerti jadi anak yang gak diharapkan, Daphne.”
Astoria menarik nafasnya, “Lo mau denger itu kan? Sengaja kan mancing gue ngomongin penyakit gue dan nyambung ke mama dan papa? Lo pasti udah muak kan sama semua jawaban gue yang selalu sama soal kenapa gue gak mau donor? Ini kan yang mau lo denger?”
Draco dan Daphne sama sama membatu disana. Sementara Astoria, dia mengusap wajahnya dan mengibaskan rambutnya, menahan agar air matanya tak keluar banyak.
“Maksud lo? Siapa yang gak mengharapkan lo? Gak ada yang gak mengharapkan lo Tori, lo—”
“Ada.” Astoria menghapus air matanya.
”.. Mama sama Papa.”
Daphne menggelengkan kepalanya, “Papa selalu nanyain lo Tori. Mama juga suka nanya keadaan lo.”
“Waktu itu lo lagi tidur. Kita masih 13 tahun, sebelum Mama Papa bener bener cerai. Gue denger dengan jelas, mereka ngerebutin lo, Daph. Mereka rebutan lo, Daphne ikut sama saya ke Swiss, Daphne ikut sama saya ke Australia. Daphne ini, Daphne itu. Gak ada satu kalimatpun mereka bilang, Astoria ikut saya. Gak ada Daph.”
Daphne sama sekali tidak tau soal ini. Selama ini, yang ia tau, kedua orang tuanya bercerai karena memang sudah tidak cocok, dan Daphne terima itu. Jadi Daphne berpikir Astoria terkadang terlalu berlebihan akan semua ini.
Tapi ternyata.. Semua dugaannya salah.
“Gue inget banget waktu Mama bilang, dia gak mau bawa gue karena gue sakit, Daph. Karena penyakit jantung ini. Mama bilang gue bakal nyusahin.”
“Tor..”
“Lo tau alasan gue berhenti minum obat kemarin, sampe gue koma berhari hari? Karena gue udah muak, Daph. Gue udah muak sama semua bayangan itu. Gue udah muak!” Astoria berteriak, membuat Draco mendekat ke arahnya.
“Tori, hei.. Jangan teriak, nanti dada lo sakit oke? Daph..” Draco menggelengkan kepalanya perlahan mengisyaratkan kepada Daphne bahwa dia harus berhenti.
“Kenapa lo gak bilang Tor? Itu juga alasannya lo gak mau tinggal sama salah satu diantara mereka?”
“Ya terus apa alasannya Daph? Kita berdua kembar. Lo pernah gak sih ngebayangin, kenapa lo bisa maafin mereka dan damai, sedangkan gue enggak? Lo pikir gue gak dewasa kan? Enggak, Daph. Gue sakit hati karena yang mereka mau itu lo. Bukan gue. Bukan, Daph..” Astoria sudah mulai merasa dadanya sesak.
“Tor.. Udah ya? Kita duduk di ruang tamu oke? Udah..” Draco mencoba menuntun Astoria untuk duduk di ruang tamu.
Sementara Daphne, masih berdiri disana tidak percaya akan apa yang Astoria katakan.
“Itu juga alasan lo lebih deket sama Hermione, Tor?”
Astoria dan Draco berhenti.
“Enggak, Daph.. Gue gak sedeket itu sama Hermione dibanding sama lo.”
“Hermione tau soal ini?”
Astoria menggelengkan kepalanya, “Gue gak pernah cerita tentang ini kedia.”
“Gue sayang sama lo, Tor. Gue itu saudara lo, kakak lo, kenapa gak cerita dari awal?”
“Karena gue gak mau merusak sosok orang tua yang baik di otak lo, Daph. Gue gak mau merusak itu. Cukup gue Daph, lo jangan.”
“Apapun yang lo rasain, gue juga harus ngerasain, Tori. Semua cerita lo itu harus lo ceritain ke gue. Ini masalah penting.”
“Maaf, Daph..”
Daphne berjalan dengan langkahnya yang cepat dan memeluk Astoria. Dia pun menumpahkan semua tangisannya dipelukan kembarannya itu.
“Maaf Tor, maaf.. Gue gak tau apa-apa, maaf.. Gue gak berguna ya jadi saudara lo? So sorry..”
Astoria menghapus air mata Daphne, “You don't need to say sorry, Daph. Semua udah terjadi. Gue udah maafin Mama sama Papa, udah lama bahkan. Tapi semua percakapan mereka malam itu yang buat gue jadi marah lagi. Gue belum bisa kalau soal mereka, Daph..”
“Gue ngerti. Gapapa Tor, gue ngerti banget. Gue gak maksa lo untuk tinggal sama mereka. Toh, mereka juga masih ngirim uang kan? Manfaatin aja duitnya, iya gak?”
Astoria terkekeh pelan, “Iya. Mana dibeliin mobil lagi.”
“Sialan.”
“Soal donor.. Gue pikir pikir lagi ya. Resikonya besar banget. Gue belum siap kalau untuk sekarang.”
“Kita gak maksa kok Tor, kita gak—”
“Kita? Kan yang mau lo Daph? Kenapa kita?” Tanya Astoria melirik Daphne dan Draco bergantian.
Draco melirik Daphne dan melotot.
“Maksud gue—”
Astoria mengangkat kedua alisnya.
“Oh... Jadi kalian kerjasama ya?? Iya kan? Ngaku lo pada!”
“Enggak, Daphne ini mah. Ide dia. Gue cuman ikut doang, katanya buat nenangin lo, serius.”
“Ih anjing! Kenapa dibongkar semua?!”
“Ya, emang bener.”
Astoria tertawa melihat reaksi Draco dan Daphne. “Yaudah gapapa, makasih ya udah nawarin gue buat donor. Tapi sorry, gue belum siap.”
“That's okey, kita gak akan maksa lagi. Kapanpun lo siap, bilang aja ya?” Tanya Draco dengan lembut.
Astoria tersipu malu, “Yaudah, makan lagi yuk? Masih laper tau, sayang ayamnya enak.”
“Ayo! Eh, jalan yuk abis ini? Bertiga aja. Gapapa gue jadi kambing conge juga, gue gabut dirumah mulu.”
“Iya iya ayo!”
Rumah. Akhirnya Astoria menemukan rumahnya.
© urhufflegurl_