litaaps

Dia, Hermione.


“Jadi lo sakit?”

Aku mengangguk. Ginny memelukku dari samping, dan aku membalas pelukannya, begitu hangat.

“Keadaan lo sekarang gimana?” Tanya Pansy, aku bisa melihat tatapan iba melalui matanya.

“Ada jadwal operasi, tapi belum tau kapan. Lusa di cek lagi. Kalau emang perlu operasi, aku operasi. Tapi kalau udah baikan, aku gak usah operasi.”

“Tapi pacar lo itu, so sweet ya?”

Aku ingin mengangguk, namun tidak enak kepada Astoria. Bagaimana ini?

“Gue seneng liat pasangan yang saling support dan jaga gitu. Lo beruntung punya dia, Hermione.”

“Makasih, Astoria.”

Kita sudah saling mengenal, dan saling tau satu persatu cerita diantara kita berempat.

Ginny akan bersekolah di Hogwarts. Ya, Papa nya Draco adalah penyumbang terbesar disekolah itu, aku yakin dia pasti bisa membantu Ginny bersekolah di SMA Hogwarts.

Pansy, aku akan menjadi temannya. Aku ingin menjadi teman dekatnya. Walaupun susah, aku sangat ingin.

Astoria, aku ingin sekali menjadi orang terdekatnya. Aku yakin Daphne akan segera sadar dan kembali dengannya.

Aku yakin, kita akan baik-baik saja. Kita akan berteman.

Bersama mereka, mendengarkan cerita mereka, rasanya aku sudah terlalu disini. Pintu rumah sakit masih terkunci.

Ditengah diamnya kita, tiba-tiba lampu rumah sakit mati. Aku panik setengah mati, aku berusaha menggenggam tangan Ginny, namun kosong. Disana tidak ada siapa-siapa.

“Ginny? Tori? Pansy?”

Tidak ada yang menjawab satupun diantara mereka.

Jantungku berdebar tak karuan, keringat dingin mulai membanjiri dahiku.

“Gin—”

Rasanya sangat sesak. Ada di situasi macam apa aku ini? Mengapa mereka tiba-tiba menghilang?

Aku terdiam kaku disana, tidak bisa bergerak. Aku benar benar takut.

“Hermione?”

Aku mendengar suara itu. Aku memejamkan mataku, berharap saat aku membuka mata, mereka ada disisiku.

“Hermione? Sayang?”

Semakin aku memejamkan mata, rasanya badanku tertarik ke dunia lain, berputar dan—

“Hermione?”

Aku terbangun.

Dan aku, ada dikamarku.

“Draco?”

“Hei love, kamu mimpi buruk?”

Aku menoleh ke kanan, dan ke kiri.

“Drake— kamu, ngapain disini?”

“Mama tadi ngasih tau, kamu sendiri dirumah. Jadi aku kesini lebih pagi, sayang.”

Aku menoleh ke arah nakasku, disana ada kalender.

“2024?”

Aku melotot, Draco hanya mengerutkan keningnya bertanya-tanya.

“Kamu kenapa sayang? Mimpi buruk ya?”

“2024? Sekarang 2024?”

Draco mengangguk.

Aneh. Ini benar-benar aneh. Harusnya aku dirumah sakit, bukan dikamar. Harusnya aku bersama Ginny, Astoria, dan Pansy. Bukan bersama Draco.

Lalu kebakaran itu, bagaimana mereka bertiga? Kemana mereka?

“Drake—”

“Kenapa sayang? Ada apa? Kamu mimpi apa?”

“Aku operasi itu tahun berapa?”

“Operasi? 2017?”

“2017?”

Draco mengangguk lagi, menatapku heran dan aneh. “Mimpi apa hmm? Kenapa?”

“Drayy—”

Aku memeluk Draco dan menumpahkan tangisanku disana.

Aku takut. Siapa mereka? Mengapa aku bisa mimpi seram seperti itu? Mengapa aku bisa bermimpi dan kembali ke 7 tahun lalu? Mengapa?

Siapa Ginny? Siapa Astoria? Siapa Pansy? Aku tidak mengenal mereka. Tidak sama sekali.

“Minum sayang, nanti kamu cerita kamu mimpi apa ya?”

Aku menunduk, masih meneteskan air mata, shock ternyata semua ini hanya mimpiku. Aku duduk di ruangan putih, ngobrol dengan Ginny, Pansy, Astoria, kebakaran, itu semua hanya mimpi.

Aku menatap Draco, dan mulai menceritakan semua mimpiku.

Draco terpana, dia terpaku mendengar semua ceritaku yang terasa seperti nyata.

“Mereka siapa sayang?”

Aku menggelengkan kepalaku, “Aku gak tau Dray.. Aku gak tau.. Aku kaget banget ternyata ini 2024. Kejadian itu, mimpi itu, aku masih SMA. Aku harus operasi. Itu semua di tahun 2017 kan?”

Draco menggenggam tanganku, menarik kepalaku untuk bersandar dibahunya.

“Itu cuman mimpi, love. Gapapa.”

Tapi aku tidak bisa melupakannya. Aku tidak tenang.

Ada apa dengan mimpi itu? Apa arti dari semua ini?

7 tahun lalu. Apa yang terjadi 7 tahun lalu?


© urhufflegurl_

Dia, Ginny.


“Gin...” Aku memeluk Ginny.

Ginny tidak menangis, mereka bertiga tidak menangis ketika menceritakan kisah mereka. Justru aku lah yang menangis hingga mataku merah saat ini.

Bagaimana bisa ada kehidupan yang begitu perih diusia muda? Diusia kami yang masih 17 tahun.

Ginny 1 tahun lebih kecil daripada ku, dia masih berusia 16 tahun. Dan bulan depan dia uas.

“Gue gapapa. Gue kerja kok abis itu.”

“Biaya lo untuk berobat sama dokter Anin, gimana?” Tanya Pansy.

“Dokter Anin itu dokter yang baik bukan Pans?”

Pansy yang mengerti akan jawaban Ginny itu mengangguk.

“Ginny..”

“Iya?”

“Aku sekolah di Hogwarts.”

“Lo serius?! Gimana disana? Enak gak?!” Ginny begitu antusias mendengar aku bersekolah di Hogwarts.

Ya, SMA Hogwarts. SMA Favorit dan impian setiap orang. Mudah sekali untuk lulusan SMA Hogwarts kuliah di universitas ternama, bahkan sangat mudah mengajukan beasiswa.

“Enak, kamu mau gak aku daftarin sekolah disana? Setelah kamu uas nanti, kamu pindah.”

“Gimana bisa? Emang bisa?”

“Bisa, aku kenal sama yang punya Hogwarts. Maksudnya, dia penyumbang terbesar di SMA Hogwarts. Kamu mau?”

“Lo orang kaya?” Tanya Pansy.

Aku hanya mengangguk kecil, “tapi penyumbang terbesar ini Papa nya pacarku, bukan aku.”

“Cie banget lo punya pacar.”

Aku tersenyum malu mendengar ucapan Pansy.

“Jadi kamu mau kan Gin? Untuk ajuin beasiswa disana, gampang banget! Tenang, lewat orang dalam.”

“Mau, mau banget! Makasih banyak!”

Ginny memelukku dengan hangat. Aku tersenyum senang, setidaknya, aku bisa membantunya menggapai cita-citanya menjadi dokter.

“Lo pasti sehat mental ya?” Tanya Astoria kepadaku.

“Aku—”

“Sekarang giliran lo. Ayo cerita. Lo ngapain kesini?”

“Kata mereka, hidupku sempurna.”


© urhufflegurl_

Dia, Pansy.


“Terus Laura gimana? Temen lo itu, dia masih peduli ke lo?”

Aku menoleh ketika wanita berambut panjang kemerahan itu bertenya kepada Pansy. Aku mengangguk, ingin menanyakan hal yang sama juga.

“Laura famous satu sekolah. Dia punya pacar yang baik, jago basket, pinter, anak osis. Dia juga punya circle baru di osis nya. Ya, gue sama dia jarang lagi bareng.”

“Terus hubungannya sama rambut pendek lo kenapa?” Tanya Astoria.

“Ya karena gue stress lah? Apalagi? Mau beli alkohol takut salah.”

“Tato di leher kamu...”

“Tato boongan. Gue gak ada duit buat bikin tato beneran, mahal.”

“Kalau gak ada duit, kenapa bisa berobat sama dokter Anin?” Tanya Astoria.

“3 bulan lalu, gue mau bunuh diri, nabrakin diri ke mobil. Tapi dokter Anin nyelamatin gue, dan ya, gue ada disini.”

“Kamu harus berterimakasih ke dokter Anin, Pansy.”

“Selalu.”

Pantas saja wanita ini galak dan sarkas. Setiap perkataannya, berhasil membuatku sakit hati. Ternyata, luka yang diderita Pansy begitu besar.

Bahkan setelah ini, dia masih harus berhadapan lagi dengan sang Mama.

“Terus, cowok yang dicerita kamu itu.. Dia kemana?” Tanyaku hati-hati.

Wajah Pansy berubah, dia tersenyum kecil, mungkin mengingat lelaki yang ada di ingatannya itu dengan manis.

“Dia nemenin gue semasa SD. Dia yang bikin SD gue ceria dan berwarna. Tapi, setelah lulus SD, dia pindah rumah, gak tau kemana. Sampe sekarang gue gak pernah ketemu dia.”

“Aku yakin, setelah ini.. Takdir pasti akan mempertemukan kalian berdua.”

Pansy hanya tersenyum.

“Sekarang giliran kamu. Ayo cerita.”

Perempuan berambut panjang itu tersenyum, “Kata mereka, jadi anak bungsu itu enak.”

Pansy mengangkat alisnya sebelah, “Lo punya kakak?”

Wanita mengangguk, “Ada, 3. Laki laki semua.”

“Seru dong! Kamu dijagain banget tuh sama mereka, pasti.”

Wanita itu terkekeh pelan, “Enggak. Kakak gue gagal semua.”


© urhufflegurl_

semasa kecil, tidak menyenangkan, hingga ada dia.


“Kamu anak kurang ajar! Kamu anak haram! Mama benci banget sama kamu! Sana kamu pergi!”

Wanita yang menyebut dirinya Mama itu menarik sang anak yang sedang menangis. Lalu dia melempar sang anak hingga terjatuh.

“Pergi kamu dari sini! Mama benci banget sama kamu, Pansy!”


“Kamu kenapa? Kamu nangis?”

Perempuan itu bernama Pansy. Rambutnya hitam lebat dan panjang, dan matanya indah.

Sekarang, usianya 7 tahun, masih SD.

“Aku gak nangis. Kamu salah liat.”

“Kamu kenapa? Mau ice cream?”

Pansy menggelengkan kepalanya, namun matanya tidak berhenti mengeluarkan air mata.

“Kamu jangan nangis.” Lelaki didepannya itu menangkup wajah Pansy dan menghapus air matanya.

“Aku tadi metik bunga. Buat Bunda sih, tapi bagus gak?”

Lelaki itu memperlihatkan satu tangkai bunga kecil berwarna ungu. Pansy tersenyum.

“Bagus. Bunda kamu suka bunga?”

Lelaki itu mengangguk, “Iya. Bunda suka banget sama bunga. Kamu suka bunga?”

Pansy menggelengkan kepalanya. Bagaimana suka dengan bunga? Selama ini, Pansy selalu dikurung dirumah. Baru kali ini dia diusir dari rumah.

“Ini buat kamu. Ayo beli ice cream. Aku dapet uang banyak, soalnya Ayah baru gajian.”

Lelaki itu terkekeh pelan, Pansy pun sama.

“Bagaimana rasanya punya Ayah?”

“Enak. Ayah baikk bangett sama aku, Ayah sayang banget sama aku. Kamu punya Ayah?”

Pansy menggelengkan kepalanya, “kata Mama, Ayah aku udah meninggal.”

“Maaf..”

“Gak apa-apa. Anak haram itu apa sih? Aku gak tau anak haram itu apa. Semacam anak nakal ya?” Dengan polosnya, Pansy bertanya demikian kepada lelaki yang ada didepannya.

“Anak haram itu, anak yang dilahirkan sebelum pernikahan. Aku pernah denger orang dewasa ngomong gitu. Kenapa kamu nanya gitu?”

Pansy menggelengkan kepalanya, “Gak apa-apa. Aku tadi nonton film, dan Mama nya ngomong gitu.”

“Oh... Ayo temenan.”

“Namaku Pansy.”

“Nama yang bagus, Pansy.”

Setelah berkenalan dengan anak lelaki itu, Pansy menjadi anak yang ceria. Dia kembali ke rumah karena tidak tau harus kemana, meskipun setiap hari, hanya pukulan yang dia terima.


© urhufflegurl_

Dia, Astoria.


“Terus sekarang gimana keadaan Daphne? Dia baik baik aja kan? Dia sembuh kan?”

Aku menangis mendengarkan kisah Astoria. Bukan hanya aku, tapi wanita disampingku juga. Sangat tragis.

Lelaki brengsek bernama Adrian itu benar benar jahat. Brengsek. Bajingan. Aku sangat membencinya.

“Daphne koma, dia belum sadar.”

Aku menutup mulutku. Kedua tanganku merasakan air mata menetes.

Astoria tersenyum, sangat manis dan cantik. Aku sangat menyukai Astoria. Parasnya benar benar menunjukkan ketenangan, matanya sayu, pipinya merah.

“Gue lega udah cerita ke kalian. Selama ini, gue cerita ke dokter Anin. Dokter Anin banyak ngasih masukan, dan obat. Tapi rasanya— gue gak bisa.”

“Gue ngerti. Lo gak sendiri disini.” Ucap wanita berambut pendek disampingnya.

Astoria tersenyum, “Sekarang giliran lo. Kalau lo gimana?”

“Gue?”

Aku menatap perempuan berambut pendek itu. Sejujurnya, aku masih sangat ingin menenangkan Astoria. Aku ingin bilang ke dia kalau semuanya akan baik baik saja. Adrian akan mendapatkan karmanya, dan Daphne akan segera sadar.

Namun sepertinya Astoria tidak ingin lagi kehidupannya dibahas, dia lebih ingin mendengar cerita perempuan disampingnya.

“Kalian pikir rambut gue pendek kenapa?” Tanya perempuan berambut pendek itu dengan terkekeh pelan.


© urhufflegurl_

kehancuran.

tw // sexual abuse.


Daphne menelusuri jalanan yang gelap, bersama Pak Supri, supirnya yang baru pulang tadi siang.

“Non, bener ini kesini jalannya?”

“Gak tau pak, mapsnya ngarah kesini.”

“Ini menuju hutan non?”

“Anjing, lo apain Tori, bangsat.”

Daphne tidak tenang, seluruh jarinya gemetar, nafasnya sesak tak beraturan.

Daphne dan Astoria itu kembar. Daphne lahir lebih dulu, 3 menit lebih dulu dari Astoria. Jadi, Daphne sangat menjaga Astoria.

Astoria dan Daphne itu 2 orang yang sifatnya bertolak belakang. Daphne yang bodo amat, cuek, dan galak. Astoria yang ramah, periang, dan ceria, semua orang dia sapa bahkan tetangga yang sedang nyapu sekalipun.

Astoria berpacaran dengan Adrian baru 6 bulan. Ya, masih mesra-mesranya. Namun, Adrian ini anggota geng motor yang cukup besar di kota Jakarta. Itu yang membuat Daphne kurang suka kepada Adrian.

“Non, kita gak bisa masuk lagi.”

Daphne menangis. Dia pun segera turun dari mobil, diikuti oleh Pak Supri.

“Saya di depan non.”

Daphne berjalan dibelakang, mengarahkan jalan menuju dimana Astoria berada. Untung sinyal di ponselnya sudah ada.

“Main apa sampe ke hutan anjing? Gila kali.”

“Nyonya sudah tau non?”

“Enggak lah Pak. Kalau Mama tau, dia bisa pulang.”

kresek

Terdengar suara bunyi daun yang membuat Daphne dan Pak Supri mengarahkan pandangan mereka.

“Siapa disana?!” Teriak Daphne.

“Daph..”

Daphne mendengar suara lirihan dan tangisan Astoria. Dia pun segera berlari menuju arah suara.

Sesampainya disana, betapa mengejutkannya, Astoria terkapar lemah, rambut dan bajunya berantakan.

“Tori lo kenapa? Kenapa?!” Tangis Daphne pecah. Dia langsung meneluk Astoria dan memakaikannya jaket.

Astoria menangis di pelukan Daphne, dia benar benar lemah.

“Pak, tolong bawa ke mobil!”


“Tolong jangan kasih tau Mama, gue mohon Daph..”

“Lo tau Mama bakal sehancur apa kalau dia tau semua ini?”

Astoria menggelengkan kepalanya, “Tolong.. Tolong Daph...”

“Kenap— kenapa, anjing, Adrian..”

“Tolong Daph...”

Malam itu, Adrian membawa Astoria ke tempat yang tidak dikenal oleh Astoria. Lelaki itu menikmati badan Astoria, bahkan tanpa sisa. Astoria sampai luka dan berdarah.

Saat Astoria memberontak, Adrian menamparnya, bahkan membentaknya, sampai Astoria benar benar lemah.

Setelah kejadian itu, Astoria menjadi pribadi yang murung dan selalu berteriak sendiri. Menangis, dan melemparkan barang disekitarnya ketika ingatan tentang hal pahit itu muncul dengan kurang ajarnya di pikirannya.


© urhufflegurl_

— ruang putih.


“Kamu tunggu disini ya? Mama mau antri obat sebentar.”

Aku hanya mengangguk seraya mencari tempat duduk yang kosong. Namun sayang sekali, disana tidak ada satupun tempat duduk yang kosong.

Terkadang aku bertanya-tanya, berapa banyak jumlah manusia di bumi ini? Apakah memang sebanyak ini? Rumah sakit ini sangat luas, bahkan sangat sangat luas. Ada 7 lantai, dan ratusan kamar inap. Dan dilantai 3 ini, dipenuhi oleh manusia. Seperti lautan manusia.

Apa karena lantai ini khusus untuk pengambilan obat, makanya begitu penuh?

Aku berjalan mencari tempat duduk, karena aku juga tidak ingin berdiri menunggu Mama. Aku tau, Mama pasti akan sangat lama, karena bukan hanya sekali aku ke tempat ini.

Tak terasa, aku berdiri di sebuah pintu yang terbuka lebar, didalamnya ada ruangan berwarna putih, dan aku sangat bersyukur disana ada satu kursi kosong!

Tanpa berpikir panjang, akupun segera duduk disana.

Jaraknya cukup jauh dengan Mama, namun, tenang saja aku membawa ponsel. Jadi, jika Mama bertanya keberadaanku, tinggal aku jawab saja aku disini, dengan 3 wanita yang kini menatapku aneh.

Aku tidak memperdulikan mereka, aku duduk, dan berusaha melihat sekeliling.

Sudah 20 menit aku menunggu. Namun Mama belum juga memberikan pesan. Biasanya tidak selama ini.

Di menit ke 22, tiba tiba semua orang diluar sana riuh, berisik, sangat berisik. Semua orang berlarian kesana kesini, seperti mencari perlindungan.

“Kebakaran! Kebakaran!”

Aku mendengar alarm kebakaran yang sangat nyaring itu. Spontan, aku berdiri. Namun saat aku hendak berlari, tiba tiba pintu ruangan itu tertutup.

Sial. Aku terjebak di dalam ruangan ini. Aku berusaha untuk menggedor, membuka, namun pintu ini benar benar terkunci.

“Kalian kok tenang aja sih?! Ini ada kebakaran!” Teriakku, kepada 3 wanita yang hanya menatapku dengan tatapan polos, innocent.

“Kalian gak denger alarm kebakaran itu?!”

Aku mulai menangis. Aku mencoba menghubungi Mama, namun Mama tidak menjawab telfonku. Aku mencoba mengirimkan pesan, namun tidak ada satupun pesan yang Mama balas.

Aku benar benar frustasi. Bagaimana ini? Aku tidak ini mati disini, terbakar api dan hangus. Aku tidak ingin. Masih banyak harapan dan cita-cita yang ingin aku gapai.

“Kenapa pake nangis segala sih? Tenang aja, rumah sakit ini luas, paling kebakarannya di belakang.”

Aku melotot terkejut ketika salah satu dari ketiga wanita itu berbicara.

“Tenang aja?! Kamu bilang tenang aja?! Kamu mau mati disini? Kebakar? Hangus? Jadi abu? Kamu mau?!”

Aku benar-benar marah. Marah akan keadaan dimana aku terjebak. Aku benci.

“Duduk aja, tenang.” Kata yang satunya.

Tentu saja aku tidak bisa tenang. Gila saja di keadaan seperti ini, aku tenang. Aku masih berusaha membuka pintu itu. Namun sayang sekali, semua usaha ku nihil. Benar benar nihil.

“Pintunya gak akan kebuka, di rumah sakit ini, kalau ada kebakaran, semua pintu emang bakal kekunci.”

“Hah?! Teori darimana itu?!” Bentakku marah.

“Bukan teori, ya emang gitu. Biar apinya gak nyebar kemana mana.”

“Emang api gak bisa lewatin pintu kekunci? Maksud kamu kita gak akan kebakar disini karena pintu kekunci? Gila kamu?!”

Jangan salahkan aku jika aku mengatakan hal yang pedas, karena aku benar benar panik saat ini.

“Lo bisa diem gak sih? Bacot.”

Aku ingin keluar, aku ingin pulang. Aku tidak ingin disini. Situasi disini sangat menjebak, aku benci.

Aku terduduk di lantai dan tangisanku semakin mengeras.

Aku menangis, hingga semua kebisingan diluar mendadak hilang, sepi, dan lenyap. Hanya ada suara tangisanku yang terdengar. Suara tangisan dengan rintihan yang begitu pedih.

“Kita gak akan mati disini. Tenang aja.”

Tangan pucat itu mengarah ke arahku, menawarkan genggaman yang hangat.

Aku menggenggamnya, aku kembali duduk disampingnya.

“Lo ngapain kesini? Diluar penuh ya?”

Aku hanya mengangguk, masih tersedu-sedu akibat tangisanku.

“Tuhan lagi ngurangin jumlah manusia, dunia sumpek.”

“Maksud kamu?!”

Wanita itu hanya mengedikan bahunya, tak peduli.

“K—kalian siapa? Ngapain disini?”

Wanita disampingku melirik ke arah ruangan yang ada dibelakangku. Aku mengikutinya.

Ruangan psikiater.

“K—kalian—”

“Gila? Enggak, kita gak gila.”

“Hampir.”

Aku meneguk saliva ku yang mengering, mencoba tenang. Aku tidak tau situasi macam apa ini.

“Lo kesini ngapain?”

Aku menggelengkan kepalaku, tidak ingin menjawab, karena itu ranah pribadiku.

“Gue mau berobat kesini. Nunggu dokter Anin.”

“Dokter Anin?”

Dia mengangguk, wanita berambut kemerahan disebelahku, tersenyum sedikit manis.

“Dokter psikiater kita.”

Aku menatap satu persatu dari ketiga wanita disana.

Disampingku, wanita berambut panjang, lurus, rapi, berwarna kemerahan. Di pipi dan batang hidungnya, terdapat bercak hitam yang membuatnya semakin manis.

Di depanku, ada wanita yang daritadi tidak berbicara. Dia sangat cantik, memiliki mata berwarna kehijauan, berambut panjang dan hitam lebat.

Disampingnya, yang daritadi membuatku kesal, wanita berambut pendek dengan tato di lehernya. Matanya merah, entah karena kurang tidur atau kebanyakan tidur, aku tidak ingin tahu.

“Kalian, saling kenal?”

Mereka saling menatap, lalu mengangguk singkat.

“Kita bertiga pasiennya dokter Anin. Daritadi nunggu tapi dokter Anin gak dateng.” Jawab perempuan berambut kemerahan itu.

“Janjiannya jam berapa emang?”

“Jam 9.”

Aku melihat kearah jam dinding, sekarang sudah pukul 1 siang.

“Kalian nunggu lama banget.”

Wanita itu hanya tersenyum, “pasien dokter Anin banyak, bukan cuman kita.”

“Maksudnya?”

“Orang gila di dunia ini banyak, bukan cuman kita.” Sarkas wanita berambut pendek itu.

“Aku gak ngatain kalian gila. Aku cuman— cuman-”

Aku tau, psikiater adalah tempat dimana orang yang memiliki gangguan kejiwaan berada. Tapi bukan gila, aku tau itu bukan gila. Aku paham. Hanya saja, mereka pasti memiliki masalah yang sangat berat bukan? Sampai-sampai, alarm kebakaran yang begitu nyaring saja mereka tidak memperdulikannya seolah-olah mereka siap jika dilahap api.

“Lo— kesini, ngapain?” Tanya wanita yang ada di depanku.

“Anter Mama.”

“Sehat?”

“Siapa?”

“Lo.”

Aku terdiam.

“Jiwa lo, sehat?” Tanya nya lebih jelas.

Aku terdiam, rasanya sangat enggan untuk mengangguk.

Wanita itu tersenyum, “Baguslah, lo gak kayak kita, lo gak gila.”

“Gak ada yang bilang kalian gila.”

“Orang-orang diluar bilang kita gila.”

“Siapa?”

“Ada, banyak.”

Aku masih ingin berbicara, namun rasanya sudah cukup, aku tidak ingin ikut campur lebih banyak lagi.

“Kalau kalian ada masalah, kalian bisa cerita sama aku.”

Wanita berambut pendek itu tertawa kecil, seperti tertawa meremehkan.

“Kok ketawa?” Tanyaku.

“Emang lo sehebat apa sampe sampe kita bisa cerita ke lo? Bisa bikin hidup kita lebih baik?”

“Tapi kan, dengan cerita bisa membuat semuanya lebih baik?”

Mereka terdiam, entah memikirkan apa.

“Iya, cerita yuk. Mumpung masih kekunci juga. Selama ini, gue cuman cerita ke dokter Anin.” Kata perempuan disebelahku.

Kedua wanita yang ada didepanku saling menatap.

“Ayo, siapa dulu? Aku terakhir deh, aku cerita semua yang ada dihidupku.”

Seperti sebuah tawaran, dan entah mengapa aku berkata demikian. Entah mengapa rasanya aku ingin mendengarkan semua keluh kesah mereka.

Aku ingin mendengarkan cerita mereka.

“Kamu dulu deh, daritadi kamu selalu jawab omongan aku, berarti kamu pemberani.”

Aku berbicara kepada wanita berambut pendek itu.

“Ogah.”

“Ih kok—”

“Gue dulu gimana?”

Dan, aku mendengarkan cerita mereka satu persatu, yang membuatku mengerti betapa berharganya arti hidup.


© urhufflegurl_

home.

***

“Hai!”

“Hai, cantik.”

Astoria tersenyum malu, dia mempersilakan Draco untuk masuk ke rumahnya.

“Ada makanan nih, Tor.” Draco memberikan tas berisi makanan kepada Astoria. Dan perempuan itu membawanya ke dapur untuk disiapkan.

“Makasih ya.”

“Sama-sama. Oh iya, liat..”

“Apa?”

Draco memperlihatkan kanvas kepada Astoria. Dia mencoba untuk melukis dengan tangannya sendiri.

“Bagus gak?”

“Bagus banget! Ini lo gambar sendiri?”

Draco mengangguk, “Googling sih, tutorial gitu, susah juga ternyata. Kok lo bisa sih ngegambar? Bahkan bagus banget?”

“Eh tapi ini keren tau, permainan warna lo berani banget tapi bener, bagus banget.”

“Thank you.”

Mata Astoria tidak dapat teralih dari lukisan hasil tangan Draco.

“Gue emang suka gambar dari kecil, jadi, waktu kecil, kata Mama gue sering nyoret tembok buat ngegambar.”

“Ohya?”

Astoria mengangguk.

“Terus kenapa gak ambil jurusan desain? Seni, dkv gitu?”

“Seni itu emang passion gue, tapi dia gak masuk top one impian gue.”

Draco mengangguk mengerti.

“Eh ada Draco.”

Draco tersenyum singkat saat Daphne menghampiri mereka berdua di ruang tamu.

“Bibik udah siapin tuh makanannya. Thanks ya Drake udah bawain ayam sebanyak itu.” Ucap Daphne.

“Sama-sama.”

“Yaudah yuk, makan.”

Draco dan Daphne mengangguk saat diajak oleh Astoria, mereka pun beranjak menuju meja makan.

Draco datang di jam makan siang, jadi sekalian dia membawakan makanan untuk mereka.

“Waah enak banget ini ayamnya. Lo beli dimana Drake?”

“Deket komplek rumah gue. Enak ya?”

Astoria mengangguk semangat, “Enak banget! Mau makan tiap hari rasanya.”

“Bisa kok makan tiap hari, apalagi kalau udah donor, makin bisa tau Tor.”

Suasana menjadi hening seketika. Draco melirik Daphne dengan perasaannya yang tak karuan, jantungnya berdebar cukup kencang.

“Apaan sih, gak lucu.”

Draco dapat melihat dengan jelas perubahan raut wajah Astoria. Asalnya senang, menjadi diam dan murung.

“Emang bener? Lo bisa makan ayam tiap hari, lebih lama malah kalau lo donor jantung. Iya gak Drake?”

“Maksud lo, kalau gue gak donor, hidup gue bakal singkat?”

“Bukan gitu, kalau lo donor, kualitas hidup lo lebih bagus, Tori. Lo jadi lebih leluasa menikmati hidup.”

“Iya kalau operasi nya berhasil. Kalau enggak?”

“Lo kenapa selalu negatif thinking sih? Sama diri lo sendiri loh.”

“Daph. Gue lagi gak mau bahas itu.”

Mood Astoria berantakan sudah karena Daphne, dan Draco bingung harus melakukan apa.

“Gue heran, gue cuman mau lo sembuh, Tori. Kenapa sih gak mau donor?”

“Harus banget ngomongin ini di meja makan?” Astoria menjauhkan piringnya yang masih lumayan penuh, lalu meminum air yang ada disampingnya dalam satu kali tegukan.

“Gue emang harus ngomongin ini ke lo Tor.”

“Lo kenapa gak pernah dengerin gue sih Daph? Gue gak mau. Gue gak mau donor, gue gak mau. Gue takut, Daph.”

“Kenapa lo selalu takut sama semua hal di dunia yang berhubungan sama diri lo sendiri? Waktu lo suka sama Draco, lo takut deketin dia karena lo takut bakal rusak persahabatan gue sama dia. Sekarang, lo takut donor jantung karena takut gak selamat. Terus lo juga takut maapin mama sama papa karena lo masih dendam kan sama mereka?”

“Daph..”

“Iya kan? Ini ada hubungannya sama mereka kan?”

“Daph, kita ngomongnya jangan di meja makan kali ya?” Ucap Draco.

“Gak tau nih orang. Kita lagi makan, makanannya enak, Draco yang bawa malah bahas bahas begituan. Aneh.” Pekik Astoria marah.

Daphne melirik Draco dan mengangkat alisnya seolah berkata, “Kan, apa gue bilang, dia keras kepala Drake.”

Draco hanya menghela napasnya.

“Tapi, apa yang Daphne bilang itu bener, Tor. Gak salah kan coba buat donor?”

Astoria menatap Draco dengan tatapan tajam, “Kok lo belain dia?”

“Bukan belain, gue—”

“Draco udah ada disamping lo. Dia udah sayang sama lo. Terus lo mau apalagi Tor? Lo tinggal sembuh.”

“Lo gak ngerti, Daph.”

“Kalau gak ngerti ya jelasin.” Nada Daphne meninggi satu oktaf membuat Draco menoleh ke arahnya.

“Percuma juga gue jelasin, Daph. Udah deh, males gue.”

Saat Astoria hendak pergi, langkahnya terhenti ketika Daphne berkata, “Terus aja kabur dari semua masalah. Lo kabur dari orang tua lo yang selama ini selalu nanyain lo. Lo kabur dari penyakit lo, lo kabur dari semua masalah.”

Astoria mencoba tenang, dia memang selalu bertengkar dengan Daphne jika membicarakan 2 hal. Penyakit Astoria, dan orang tua mereka.

Daphne yang ingin Astoria gabung dengannya dan sang Papa, sedangkan Astoria sama sekali tidak ingin, dia memilih hidup sendiri.

“Sampe kapan Tor? Lo gak capek sakit dada terus? Lo gak capek demam terus? Lo gak capek minum obat terus?”

“Gue capek, Daphne.”

“Ya terus kenapa? Kenapa gak mau sembuh? Kenapa lo gak—”

Astoria memutarkan badannya dan menatap Daphne dengan matanya yang berkaca-kaca, “Lo gak ngerti jadi anak yang gak diharapkan, Daphne.”

Astoria menarik nafasnya, “Lo mau denger itu kan? Sengaja kan mancing gue ngomongin penyakit gue dan nyambung ke mama dan papa? Lo pasti udah muak kan sama semua jawaban gue yang selalu sama soal kenapa gue gak mau donor? Ini kan yang mau lo denger?”

Draco dan Daphne sama sama membatu disana. Sementara Astoria, dia mengusap wajahnya dan mengibaskan rambutnya, menahan agar air matanya tak keluar banyak.

“Maksud lo? Siapa yang gak mengharapkan lo? Gak ada yang gak mengharapkan lo Tori, lo—”

“Ada.” Astoria menghapus air matanya.

”.. Mama sama Papa.”

Daphne menggelengkan kepalanya, “Papa selalu nanyain lo Tori. Mama juga suka nanya keadaan lo.”

“Waktu itu lo lagi tidur. Kita masih 13 tahun, sebelum Mama Papa bener bener cerai. Gue denger dengan jelas, mereka ngerebutin lo, Daph. Mereka rebutan lo, Daphne ikut sama saya ke Swiss, Daphne ikut sama saya ke Australia. Daphne ini, Daphne itu. Gak ada satu kalimatpun mereka bilang, Astoria ikut saya. Gak ada Daph.”

Daphne sama sekali tidak tau soal ini. Selama ini, yang ia tau, kedua orang tuanya bercerai karena memang sudah tidak cocok, dan Daphne terima itu. Jadi Daphne berpikir Astoria terkadang terlalu berlebihan akan semua ini.

Tapi ternyata.. Semua dugaannya salah.

“Gue inget banget waktu Mama bilang, dia gak mau bawa gue karena gue sakit, Daph. Karena penyakit jantung ini. Mama bilang gue bakal nyusahin.”

“Tor..”

“Lo tau alasan gue berhenti minum obat kemarin, sampe gue koma berhari hari? Karena gue udah muak, Daph. Gue udah muak sama semua bayangan itu. Gue udah muak!” Astoria berteriak, membuat Draco mendekat ke arahnya.

“Tori, hei.. Jangan teriak, nanti dada lo sakit oke? Daph..” Draco menggelengkan kepalanya perlahan mengisyaratkan kepada Daphne bahwa dia harus berhenti.

“Kenapa lo gak bilang Tor? Itu juga alasannya lo gak mau tinggal sama salah satu diantara mereka?”

“Ya terus apa alasannya Daph? Kita berdua kembar. Lo pernah gak sih ngebayangin, kenapa lo bisa maafin mereka dan damai, sedangkan gue enggak? Lo pikir gue gak dewasa kan? Enggak, Daph. Gue sakit hati karena yang mereka mau itu lo. Bukan gue. Bukan, Daph..” Astoria sudah mulai merasa dadanya sesak.

“Tor.. Udah ya? Kita duduk di ruang tamu oke? Udah..” Draco mencoba menuntun Astoria untuk duduk di ruang tamu.

Sementara Daphne, masih berdiri disana tidak percaya akan apa yang Astoria katakan.

“Itu juga alasan lo lebih deket sama Hermione, Tor?”

Astoria dan Draco berhenti.

“Enggak, Daph.. Gue gak sedeket itu sama Hermione dibanding sama lo.”

“Hermione tau soal ini?”

Astoria menggelengkan kepalanya, “Gue gak pernah cerita tentang ini kedia.”

“Gue sayang sama lo, Tor. Gue itu saudara lo, kakak lo, kenapa gak cerita dari awal?”

“Karena gue gak mau merusak sosok orang tua yang baik di otak lo, Daph. Gue gak mau merusak itu. Cukup gue Daph, lo jangan.”

“Apapun yang lo rasain, gue juga harus ngerasain, Tori. Semua cerita lo itu harus lo ceritain ke gue. Ini masalah penting.”

“Maaf, Daph..”

Daphne berjalan dengan langkahnya yang cepat dan memeluk Astoria. Dia pun menumpahkan semua tangisannya dipelukan kembarannya itu.

“Maaf Tor, maaf.. Gue gak tau apa-apa, maaf.. Gue gak berguna ya jadi saudara lo? So sorry..”

Astoria menghapus air mata Daphne, “You don't need to say sorry, Daph. Semua udah terjadi. Gue udah maafin Mama sama Papa, udah lama bahkan. Tapi semua percakapan mereka malam itu yang buat gue jadi marah lagi. Gue belum bisa kalau soal mereka, Daph..”

“Gue ngerti. Gapapa Tor, gue ngerti banget. Gue gak maksa lo untuk tinggal sama mereka. Toh, mereka juga masih ngirim uang kan? Manfaatin aja duitnya, iya gak?”

Astoria terkekeh pelan, “Iya. Mana dibeliin mobil lagi.”

“Sialan.”

“Soal donor.. Gue pikir pikir lagi ya. Resikonya besar banget. Gue belum siap kalau untuk sekarang.”

“Kita gak maksa kok Tor, kita gak—”

“Kita? Kan yang mau lo Daph? Kenapa kita?” Tanya Astoria melirik Daphne dan Draco bergantian.

Draco melirik Daphne dan melotot.

“Maksud gue—”

Astoria mengangkat kedua alisnya.

“Oh... Jadi kalian kerjasama ya?? Iya kan? Ngaku lo pada!”

“Enggak, Daphne ini mah. Ide dia. Gue cuman ikut doang, katanya buat nenangin lo, serius.”

“Ih anjing! Kenapa dibongkar semua?!”

“Ya, emang bener.”

Astoria tertawa melihat reaksi Draco dan Daphne. “Yaudah gapapa, makasih ya udah nawarin gue buat donor. Tapi sorry, gue belum siap.”

“That's okey, kita gak akan maksa lagi. Kapanpun lo siap, bilang aja ya?” Tanya Draco dengan lembut.

Astoria tersipu malu, “Yaudah, makan lagi yuk? Masih laper tau, sayang ayamnya enak.”

“Ayo! Eh, jalan yuk abis ini? Bertiga aja. Gapapa gue jadi kambing conge juga, gue gabut dirumah mulu.”

“Iya iya ayo!”

Rumah. Akhirnya Astoria menemukan rumahnya.


© urhufflegurl_

Thank you, Drake.

***

Setelah menerima pesan dari Daphne, Draco segera membawa kunci mobilnya dan bergegas menuju cafe yang dituju. Dia tau Astoria sedang mengerjakan tugas disana, dia tau dari Adrian.

Tapi, saat pukul 7 malam, memang Adrian bilang bahwa Astoria sudah pulang. Jadi dia pikir semua aman, namun ternyata tidak.

Draco melewati jalanan menuju cafe, lalu balik lagi melewati jalanan menuju rumah Astoria.

Dia mencari dengan hati-hati, hingga akhirnya dia menemukan mobil berwarna putih itu parkir di pinggir jalan.

Dengan segera Draco menghampirinya.

“Tori! Hei!”

Draco mengetuk pintu kaca mobil Astoria yang tertutup.

Dengan lemah, Astoria membuka pintu mobilnya yang masih terkunci.

“Drake—”

“Hei, sini sini, keluar dulu ya dari mobil?”

Astoria menurut, dia dituntun oleh Draco dibawa keluar dari mobilnya agar bisa menghirup udara lebih banyak.

Astoria terlihat sangat kesakitan, sambil memegang dadanya bagian kiri. Tadi, dia sudah meminum obat, namun rasa sakitnya belum berkurang.

Draco berjongkok didepan Astoria, “Tarik nafas oke? Atur nafas lo pelan pelan ya? Lo bisa, Tori.”

Astoria mulai meneteskan air matanya karena rasa sakit yang tak kunjung hilang. Ditambah, dia merindukan lelaki yang ada dihadapannya ini.

“Drake..”

Draco mengusap lembut rambut Astoria, serta mengelap keringat dingin didahinya. Dia juga sangat merindukan perempuan yang ada di hadapannya ini. Berjauhan dengan Astoria, membuatnya merasa tersiksa.

“Atur nafasnya ya? Tarik nafas.. Buang..”

Astoria menurut, dia menggenggam lengan baju Draco sambil menetralkan rasa sakitnya.

“Udah diminum kan obatnya?”

Astoria mengangguk.

“Lepasin rasa sakitnya, lo mau nyubit atau mukul gue gapapa, lepasin Tor.”

Astoria kembali meneteskan air matanya, dan dia memeluk Draco. Wanita itu tidak tahan. Dia sangat merindukan Draco Malfoy.

Begitu juga dengan Draco, dia merindukan Astoria. Pelukan hangat dan erat yang menjadi buktinya.

“Makasih Drake..”

“Masih sakit?”

“Sedikit..”

Draco mengusap punggung Astoria perlahan, berharap wanita itu segera mereda.

Akhirnya, 30 menit yang sangat menyakitkan untuk Astoria itu telah berakhir. Rasa sakitnya mulai mereda, dan menghilang.

“Lo tau darimana gue disini?”

“Daphne. Dia bentar lagi kesini.”

“Tunggu disini, gue bawa jaket dulu ya.”

Astoria mengangguk, matanya mengikuti pergerakan Draco yang sedang mengambil jaket dimobilnya.

Selain jaket, Draco juga membawakan air mineral untuk Astoria.

“Pake ya? Dingin..” Draco memakaikan jaket miliknya di tubuh Astoria.

Perlakuan manis seperti ini yang Astoria rindukan, dan selalu dia butuhkan.

“Minum dulu, pelan pelan..”

Draco membukakan botol minum itu, dan perlahan memberikannya kepada Astoria. Draco melarang tangan Astoria untuk memegang botol minum itu, dia sendiri yang mendekatkannya ke mulut Astoria.

“Drake, tumpah airnya!”

“Maaf maaf, terlalu atas ya?”

Astoria terkekeh pelan, “Udah, sakitnya udah berkurang.”

Draco akhirnya bisa bernapas dengan lega. “Lagi capek banget ya akhir akhir ini?”

Astoria mengangguk.

“Gak bisa dipangkas waktu buat belajarnya? Lo butuh istirahat, Tor.”

“Gue ketinggalan pelajaran banyak banget, Drake. Bisa bisa gue gak lulus kalau gak gue kejar.”

“Kan bisa ambil semester depan.”

Astoria menggelengkan kepalanya, “Kalau bisa gue kejar, kenapa harus gue tinggalin?”

“Kayak lo ya?”

“Maksudnya?”

“Kalau bisa gue kejar, kenapa harus gue tinggalin?”

Astoria yang mengerti maksud dari omongan Draco itu tersenyum singkat.

“Gue kangen banget sama lo Tor. Mau sampe kapan kita jauhan kayak gini?”

“Sampe lo minta maaf ke Adrian, dan bilang ke temen temen gue kalau lo nyuruh yang Adrian buat paparazzi-in gue.”

Draco terkekeh pelan, “Gue telfon Adrian sekarang. Mereka masih di cafe kan?”

“Ih! Lo serius mau?”

“Ya mau lah, gue telfon ya.”

“Jangan! Gue cuman bercanda sumpah.”

“Gak, lagian gue juga gak mau ada gosip soal lo sama cowok lain dikampus. Kalaupun ada, cowok itu harus gue.”

“Draco, gue cuman bercanda.”

Draco mengangkat telfonnya, dan menempelkannya ke telinga.

“Halo yan.”

“Draco!”

Draco terkekeh saat melihat wajah panik Astoria.

“Kenapa Drake?”

“Masih di cafe lo? Balik, belajar mulu.”

“Anjing, gak penting bangsat!”

Dan Adrian pun menutup telfonnya.

“Draco ih! Bikin jantungan aja. Udah tau baru kambuh.”

“Muka lo lucu banget kalau lagi panik.”

“Abisnya...”

“Jadi?”

“Jadi apa?”

“Kita udahan ya jauhannya Tor? Gue gak bisa jauhan dengan waktu yang lama sama lo.”

Astoria tersenyum, lalu mengangguk membuat Draco senyum sumringah.

“Akhirnyaaa yeay!”

Baru saja Draco akan memeluk Astoria sebelum—

“HEH ANJING! LO KENAPA SAKIT LAGI HAH? BAWA OBAT GAK?”

“Daphne lo sama siapa kesini?” Tanya Astoria.

“SAMA ABANG OJOL GILA! Gimana keadaan lo, masih sakit gak?”

Astoria menggeleng, “Udah enggak.”

“Drake, thanks ya lo udah mau gercep kesini. Tadi gue nunggu ojol lama banget.”

“Kenapa gak chat Theo?”

“Dia lagi sama Hermione, gue gak mau ganggu.”

Draco hanya ber-oh ria saja.

“Gue aja yang bawa mobil sini.” Daphne merebut kunci mobil milik Astoria.

“Gue ikutin dari belakang ya?” Tanya Draco, Astoria mengangguk.

“Makasih ya Drake..”

“Sama-sama, udah ayo pulang. Hati-hati, sini, gue tuntun.”

Astoria tertawa kecil, “Gue bisa jalan ya!”

“Masih lemes, udah nurut aja.”

“Idih, gemes juga kalian berdua.”


© urhufflegurl_

Sekilas tentang Amerika.

***

/ ini flashback ya, tapi gak di miringin tulisannya.


“Anjay Amerika nih, pinter bahasa Inggris kan lo? Awas aja nyusahin gue.”

Hermione hanya memutarkan kedua bola matanya malas, lalu berlalu begitu saja meninggalkan lelaki blonde itu.

Hermione dan Draco diberangkatkan oleh kampus, atas program pertukaran mahasiswa. Hanya 2 orang perwakilan, hanya mereka. Mereka mendapatkan fasilitas berupa apartemen, bersebelahan, serta satu kelas dalam semua pelajaran sehingga mereka sangat intens berkomunikasi.

3 bulan pertama, semua biasa aja. Hermione terus memarahi Draco karena Draco selalu terlambat, dan sangat susah dibangunkan. Selain itu, Draco juga terlalu sering main dengan teman barunya disana. Dan tidak lupa dengan wanita yang menempel dengan Draco.

Pada bulan ke-empat, Draco memberikan akses apartemen miliknya kepada Hermione. Dia sudah 3 kali dimarahi dosen karena terlambat. Jadi Draco mau Hermione yang selalu membangunkannya.

“Draco bangun! Kebo banget ya lo. Abis ngapain sih semalem?”

“Ngantuk banget ah, nanti aja.”

“Draco bangun gak?! Lo mau di stop hah?! Lo mau dipulangin ke Indo?!”

Karena kesal, Hermione menarik selimut Draco yang tebal itu. Dan kebetulan saat itu sedang musim dingin, jadi saat Hermione menarik selimut Draco, Draco refleks menarik selimutnya kembali, dan sialnya Hermione oleng sehingga tubuhnya menabrak tubuh Draco yang sedang tertidur.

“Anget ya meluk gue?”

Hermione langsung terbangun, “Cepet bangun! Dalam itungan tiga, kalau gak bangun, lo gue tinggal.”

“Satu...”

“Iyaa ini bangun!”

“Duaaa...”

“Berisik!”

“Tiiii—”

“Iya bangun ini bangun.”

“Ga. Oke.”

Semenjak itu, Hermione merasakan perasaan yang beda. Perasaan aneh, yang membuatnya tersenyum sendiri.


“Makan gak? Gue beli nih.”

“Kebetulan. Sakit banget perut gue.”

“Kenapa? Sakit?”

“Maag gue kambuh kayaknya.”

“Kenapa gak bilang? Gue beliin obat ya?”

“Gak usah Drake, gapapa.”

“Lo tunggu sini, jangan dulu makan nanti lo muntah, mual. Minum obat dulu. Bentar, gue beliin dulu.”

Hermione tersenyum sendiri melihat Draco cekatan disaat dirinya sakit. Draco selalu langsung membelikannya obat, dan membuatnya merasa aman.


“Cardigan lo gak tebel, nih pake jaket gue.”

“Thanks.”

Saat Hermione memakai jaket itu, aroma khas milik Draco menyeruak masuk ke dalam hidungnya, dan lanjut ke dalam hatinya.


“Draco! Itu punya gue! Balikin gak?!”

“Mau juga maskeraan!”

“Nanti abis Dracoo!!”

“Bagi napa? Ayo maskeran bareng, kering juga muka gue nih, kena salju mulu.”

“Yaa sini, itu lo pake nya gak rapi! Sini.”

Hermione memakaikan masker di wajah Draco. Mereka saling bertatapan, dan saling tertawa saat itu.

“Rambut lo potong deh, agak panjang depannya.”

“Gitu ya?”

Hermione mengangguk, dia sangat serius memakaikan masker di wajah Draco.

“Lo cantik.”

Tangan Hermione terhenti saat itu juga.

“Wajar kan kalau gue suka sama lo?”

Dada Hermione berdebar sangat kencang, dan rasanya sesak.

Sedangkan sang pembuat onar perasaan itu hanya tersenyum geli, lalu mengacak ngacak rambut Hermione.

“Ini ditunggu berapa menit?”

Tidak ada jawaban dari Hermione, dia masih terdiam terpaku disana.

“Hellooo??? Mba?? Saya nanya nihhh.”

“15 menit.”

“Oke.”


“You are a bastard! Fuck you. Don't bother my girl!”

“Draco cukup, udah.”

“Once again I see you disturbing her, you die in my hands, bitch.”

Saat ada yang mengganggu Hermione, Draco menjadi orang terdepan yang menghajar orang itu, orang yang menggangu Hermione.


“Lo kenapa? Kenapa nangis? Ada yang sakit? Kenapa?”

“Kangen Mama..”

“Astaga.. Kirain kenapa. Sini sini.”

Draco selalu memeluk Hermione disaat Hermione menangis karena merindukan sang Mama.


Semua itu terus terulang hingga akhirnya—

“Mi, mau pakein cabe gak masakannya?”

“Boleh.”

“Banyak gak?”

“Banyak aja.”

Hermione sedang memasak saat itu, fokus menggoreng ayam. Lalu tiba tiba Draco memeluknya dari belakang yang membuatnya membeku.

Draco mematikan kompor yang sedang menyala lalu memeluk Hermione, dan menenggelamkan wajahnya di tengkuk leher Hermione.

Sialnya, Hermione terdiam, tidak melawan.

“I love you, Mi.”

Hanya sekedar bisikan, namun sangat sampai dihati Hermione.

Draco membalikan badan Hermione, lalu menatap mata Hermione dengan hangat.

“Gue sayang lo, Mi. I love you. Will you be my girlfriend?”

“Drake, gue..”

“Kenapa? 5 bulan sama lo disini, gue bener bener seneng banget. Ternyata, lo nyenengin, lo bikin gue nyaman. Gue sayang lo, Mi.”

Hermione meneteskan air matanya, lalu dihapus oleh Draco.

“I love you, Mi.”

Hermione memeluk Draco dengan erat. “I love you too, Drake.”

Malam itu, Hermione seolah kehilangan dirinya. Dikuasai oleh perasaan cinta yang Ia miliki, dia menikmati malam bersama Draco, berpelukan, berciuman, dan menikmati masakan mereka yang telah jadi.


“Pagi sayang.” Draco mengecup pipi Hermione.

“Pagii Drake. Mau makan apa? Laper nih.”

“Beli aja yuk keluar, gak sempet kalau masak.”

“Ayo.”

Hermione menikmati hari demi hari menjadi kekasih Draco Malfoy disana.


“Kamu denger aku gak sih Drake? Aku udah bilang, kalau tidur itu jangan terlalu malam. Liat sendiri kan kamu telat? Sampe kapan? Sampe kamu di pulangin ke Indo?”

“Bisa stop salahin aku gak? Aku semalem itu dijebak, Hermione. Aku dikasih alkohol, aku bener bener mabuk.”

“Aku udah larang kamu deket sama mereka Drake!”

“Aku minta maaf, aku gak tau bakal kayak gini.”

Draco selalu mengalah disaat mereka bertengkar, dan memeluk Hermione untuk menenangkannya.


“Kemarin aku liat rokok di balkon kamu.”

“Iya, pusing.”

“Pusing kenapa?”

“Gapapa, cuman ada yang lagi dipikirin aja.”

“Kamu kenapa Drake? Kamu berubah.”

“Aku cuman pusing, Hermione.”

“Tapi jangan ngerokok, kan bisa.”

Draco menggelengkan kepalanya, “Kamu gak ngerti.”

“Aku gak ngerti ya karena kamu gak pernah cerita, Drake. Kamu pendem semuanya sendiri.”

“Kamu bisa diem gak? Aku dapet nilai pas banget sama batas.”

“Kok bisa?”

“Karena aku bukan kamu, aku gak sepinter kamu.”

“Tapi Drake—”

“Aku lagi males debat, aku pusing Mione.”

“Drake—”

“Kamu bisa diem gak?! Aku pusing. Kamu mending balik ke apart kamu daripada aku kasar kekamu.”

“Sorry..”

Malam itu semuanya kacau, Draco mendapatkan nilai pas dengan batas nilai yang diberikan oleh pihak kampus, untuk mempertahankan beasiswanya disana. Bukan hanya satu matkul, namun tiga.

Keesokannya, Hermione bertemu dengan salah satu kawannya, lelaki, di cafe untuk membicarakan tugasnya.

Kesalahan Hermione, dia tidak bilang lebih dulu kepada Draco. Sehingga saat Draco melihat dirinya berdua dengan lelaki itu di cafe, dia sangat marah besar.

“Kamu ngapain sama dia di cafe? Mana deket banget jaraknya.”

“Aku ngomongin tugas, Drake.”

“Kenapa gak ada ngomong dulu? Aku tau, Hermione. Kamu gak ada hubungan kelompok sama dia.”

“Tugas individu, Drake.”

“Jangan bohong.”

“Drake—”

“Aku diancam beasiswa aku dicabut, Hermione. Kamu peduli gak soal itu? Tanya atau enggak? Kamu sebenernya pacar aku atau bukan sih? Kamu sibuk sama dunia kamu, kamu sibuk sama temen temen kamu, kamu selalu sibuk. Aku selalu minta belajar bareng, kamu selalu ada alasan.”

“Drake, gak gitu.. Kita sama sama tau, kalau akhir akhir ini kita lagi chaos Drake, maaf.”

Saat itu, karena kepintaran Hermione diatas Draco, wanita itu selalu sibuk ditanya tugas serta belajar bersama oleh teman-temannya, sehingga tidak ada waktu bersama Draco.

Dan keegoisan Draco pun muncul, dia tidak ingin kalah dengan Hermione. Dia merasa bahwa dirinya benar, jadi apapun yang dia lakukan selanjutnya, itu benar menurutnya.

Dengan sengaja, Draco memeluk dan mencium wanita lain didepan Hermione, membuat Hermione marah besar hingga meminta putus.

“Aku gak akan pernah lepasin kamu.”

“Gue gak peduli. Kita putus.”

“Kamu gak bisa lepas dari aku, Hermione. Kamu bakalan nyesel, dan aku pastiin, kamu selalu butuh aku.”

“Ohya? Sorry, gue gak butuh lo. Kalaupun lo jalan sama cewek lain, lo cium banyak cewek, gue udah gak sakit. Gue gak peduli.”

Draco menatap Hermione lekat, “Kamu yakin?”

“Ya, yakin. Bulan depan kita balik ke Indonesia. Besok kita ujian. Jadi nikmatin waktu lo sama cewek lo disini.”

“Saat pulang ke Indonesia nanti, kalau kamu masih gak mau sama aku, aku pastiin kamu nyesel, Hermione.”

“Ohya? Buktiin. Lo mau ngelakuin apa hah? Ngetes gue dengan jalan sama cewek lain? Pelukan? Ciuman? Gue bener-bener gak peduli.”

“Siapapun ceweknya?”

“Ya. Siapapun ceweknya. Gak akan ada yang bikin gue nyesel karna udah lepas lo.”

“Fine. Let's try.”

Nama Astoria yang terbesit di kepala Draco saat itu. Satu nama yang selama ini bersarang dikepalanya.


© urhufflegurl_