pridehyuck

Rotterdam, Abad Dua Puluh

————————————————— [ tw // mentioning suicidal thought, bomb, world war ]

Rotterdam, abad ke-20

Hatimu biar aku tanamkan bunga, biar iblis dari sakitmu digali pergi. Noah, kamu indah.

—————————————————

“Noah, harimu indah?”

“Enggak. Mereka bilang rambut biruku aneh.”

Lelaki kuno itu merenggut kesal, hutan terdengar sepi dan detak jantung Noah terlampau stabil.

Emosi Noah tidak bisa Hans baca, terlalu datar tanpa liku. Hans tidak punya kemampuan merasa emosi.

Belum.

“Bagus, kok. Cocok. Noah, senyum sebentar.”

“Enggak mau, ini jelek. Kalau bukan Mama yang minta, aku juga nggak mau diwarna,” katanya. Bersandar pada pohon besar dengan napas lelah.

Rotterdam terlampau sepi buat Noah yang hari-harinya macam danau. Tenang tapi kelam.

“Noah, sedih?”

“Banget. Kamu memang nggak pernah sedih? Aku setiap hari sedih. Setiap hari mau menangis tapi nggak bisa.

Setiap mau nangis, kamu selalu di sini. Memang nggak punya rumah?” Ditanya begitu, Hans cuma bisa terdiam memandang langit biru.

Tahun dua ribu berlalu dengan kelabu, Hans ragu.

“Rumahku kan di sini? Rotterdam.”

“Rotterdam luas.”

Hans tidak menjawab. Dia biarkan Noah berbaring pada bunga-bunga liar di hutan. Bocah Belanda itu selalu datang kemari untuk berkeluh kesah. Kadang memaki, kadang (nyaris) menangis, kadang hanya diam.

Noah tidak punya sedikit warna atau bahagia. Noah selalu datang atas nama duka, selalu menatap suram ke sekelilingnya.

“Hans,” panggil Noah. Jari menyusur kulit madu yang dingin disapu angin. Suara hewan dan serangga mulai mendominasi.

“Iya?”

“Aku benci orang-orang. Mereka cuma bisa menyakiti. Mereka nggak baik, Hans. Menurutmu, aku harus mati saja?”

“Jangan!”

Hans memekik. Alis anak itu memekik dan segera bangun lalu menatap sengit Noah yang cuma diam. Tidak ada ekspresi berarti seolah yang tadi itu sarapan pagi hari.

“Kenapa? Setiap hari cuma dibully dan disakiti. Mama bilang aku penyebab Papa pergi, Mama nggak bisa melihat lagi jadi dia minta aku jadi biru langit.

Papa nggak dikebumikan, dia dihanguskan sampai asapnya pecah bersama awan,” kata Noah. Muram di wajahnya makin kentara. Lalau Hans perhatikan lagi lelaki itu. Remaja enam belas tahun yang kulitnya penuh luka.

Hatinya hitam direndam sakit dan wajahnya tidak punya senyum berarti.

Lalu Hans baru ingat, dia bertemu Noah sewaktu anak itu mau melompat ke danau. Hans baru ingat, ikatan mereka tidak biasa.

“Noah, kamu indah.”

“Jangan bercanda. Aku ini hina,” elaknya. Segera berdiri mau pergi, tapi Hans tahan tangannya sampai remaja itu terperosok. Keduanya terjatuh dengan tatapan berbeda.

Hans yang memuja, Noah yang biasa saja.

“Enggak. Kamu indah, rambut biru kamu, wajah kamu, suara kamu, sampai langkah kaki kamu. Semuanya sempurna.”

Kalimat Hans menghipnotis, tapi Noah menolak dihipnotis. Senyum kelewat manis Hans tidak mampu membangkitkan gairah Noah yang lama disimpan rapi.

“Rotterdam sepi, lebih sepi dari hatiku yang lama mati.” Keduanya lalu bangun. Duduk saling berhadapan dengan tangan saling menggenggam. Tatapan menyelam sampai dasar dan hati jatuh sejatuh-jatuhnya orang jatuh cinta.

“Rotterdammu dulu, bagaimana? Hans, ayo cerita,” pinta Noah. Dia pasang telinga, dia pandangi Hans yang binar di matanya menggelap.

“Luluh lantak. Rotterdam 1940, pemakaman masal buatku.

Kamu pernah dengar perihal Rotterdam Blitz?” tanyanya. Jemari menyisir biru rambut Noah, menyisipkan anak rambut yang menghalangi pandangan. Angin siang yang segar membuat suasana mendadak nyaman.

Tapi senyum di wajah Noah tak kunjung terbit.

“Pernah. Jerman membombardir Rotterdam waktu itu, kan?” jawabnya. Mengambil jemari di wajahnya lalu digenggam erat. Erat sekali sampai rasanya Hans tidak mau pergi.

Noah begitu indah, Hans ragu kalau Noah adalah manusia. Remaja Belanda bernama Noah, terlalu sempurna.

“Iya. Di sini, di atas tempat kita duduk, kamu duduk di mana aku hangus dimakan api, Noah.”

Pegangan terlepas, Noah teteskan satu air mata samar di atas rerumputan. Jiwanya berkabung tanpa pematik, semakin suram karena Hans menceritakan masa lampau yang mengerikan.

“Rotterdam sekarang, sama suramnya buatku. Hans, jadi hantu, enak?”

Hans tertawa kencang. Perutnya melilit karena humor. Tapi Noah tidak menanggapi tawanya. Mata hitamnya fokus menuntut jawab.

Hans, kamu juga indah. Hans, Remaja Rotterdam 1940, kamu lebih indah dari Rotterdam 2000.

“Jadi hantu enggak enak, nggak ada yang mengajak bicara, nggak satupun yang bisa melihat. Kamu spesial, kamu satu-satunya. Cepat sembuh, Noah,” kata Hans. Tangan menangkup wajah Noah, menitipkan satu kecupan manis sedingin es di pipi porselen milik Noah yang membeku.

“Aku mau jadi kamu, boleh?” Kecupan tadi Noah kembalikan, tepat di telapak tangan milik Hans. Lalu pipi bersandar pada tangan-tangan dingin itu.

Noah yang lelah dengan rasa sakit, maunya kembali pada kekekalan abadi.

“Enggak boleh. Noah, hatimu biar aku tanamkan bunga, biar iblis dari sakitmu digali pergi. Noah, kamu indah,” bisik Hans. Kepala berat Noah dibawa bersandar pada dadanya yang kosong. Pada detak jantung mati yang Noah dengar alunkan melodi pemakaman.

Buat hati Noah yang gersang, mungkin sebentar lagi akan jadi taman bunga karena Hans berusaha.

“Kamu indah, Noah. Pakai ini, jadi makin indah.” Noah tidak sadar ketika dia memejamkan mata, mahkota bunga sudah tersemat di langitnya. Surai biru yang jernih itu dihias mahkota dari bunga.

Satu warna bertambah pada Noah, tapi Rotterdam masih terlihat sepi.

“Mau aku cium, enggak?”

“Mau,” jawabnya. Dia pejamkan mata lalu menerka-nerka, rasa apa yang sesosok hantu Belanda jaman perang dunia bisa hadirkan di bibirnya yang kering tanpa senyum.

“Noah, Rotterdam penuh cinta, kalau kamu tersenyum.”

Sedingin es, setipis kertas, semanis madu.

Hans Si Hantu Belanda ajarkan pada Noah, kalau Rotterdam yang suram bisa jadi riang kalau keduanya menabur cinta dan asmara.

“Hans, kamu lebih indah. Nanti aku susul, ya?”

Rotterdam Abad ke-20, Remaja Belanda beda dimensi berbagi afeksi dan rasa sakit. Noah tersenyum buat pertama kalinya, Hans menangis buat pertama kalinya.

Rotterdam, selesai.

Malvin sampai di rumah. Masih ada banyak hal yang harus disiapkan. Pakaian, perlengkapan.

Semuanya.

Koper masih berserakan dan Malvin nggak tahu harus apa.

“Bawa ini, Malvin. Ini peninggalan Papa, dia sayang sekali sama jaket ini. Nanti di Jerman dingin, kamu pakai ini ya?” Lalu Bunda tiba-tiba berdiri di sebelahnya, menyerahkan satu jaket tebal yang terlihat bersih.

Sibuk mondar-mandir menggeret kopernya.

“Bajumu harus dipisah. Jangan lupa mana dalaman, mana kaos kaki, mana seragam. Nanti di sana jangan makan mie aja, harus sehat. Kalau bisa sambil kerja karena hidup itu keras,” katanya. Nggak melihat Malvin sama sekali, suaranya bergetar tapi tangan cekatan memasukkan barang. Melipat dan mengoceh.

Wajah Malvin memucat. Dia terdiam kaku menatap Bunda, matanya mereflesikan cermin, pandangan kosong dan sedih yang lamat-lamat dia arahkan pada Bunda yang sibuk ke sana kemari.

Sampai pandangan keduanya bertemu, saling diam jadi jawaban. Mencoba menyelam dan merangkai frasa buat diutarakan. Meresapi rasa dan keduanya larut dalam asa juga kesedihan. Merangkum seluruh kenangan dan rasa sayang.

“Ini obat-obatan, ada makanan ringan bunda belikan. Harus disimpan semua. Surat-surat udah lengkap? Besok tinggal perpisahan sama teman.

Sama ... sama Aksara pacarmu. Semua harus siap ... semua harus siap ... Malvin.”

Bunda jatuh terduduk, di sebelah ranjang. Menangis tersedu-sedu karena separuh hidupnya mau pergi lagi. Tapi Malvin nggak tinggal diam, dia peluk Bunda erat-erat.

Malvin menangis, menemani Bunda menumpahkan emosi. Keduanya patah hati, tapi jawaban sudah didapatkan.

“Malvin ... Malvin hebat. Tapi bunda minta maaf, Bunda mungkin nggak bisa antar kamu ke bandara, nggak bisa datang kalau niatmu memang menikah.

Bunda takut ... Malvin bunda takut jadi jahat dan bawa kamu pulang. Bunda takut patah hati, kamu tolong jaga diri,” kata Bunda. Air mata basah di baju Malvin, rematan kuat pada kain yang melekat di baju Malvin cukup jadi bukti kalau Bunda sungguhan sedih.

Sebagai orang tua, melepaskan dan menerima terasa begitu berat. Ditinggal sendiri dengan pandangan menghakimi akan sangat menyiksa.

Tapi enggak, Bunda sayang Malvin lebih dari apapun. Karena kalau Malvin bisa berjuang sampai sejauh ini, kenapa Bunda harus menyerah? Kenapa Bunda harus takut?

Anaknya bisa, Bundapun, akan bisa.

“Bunda, Bunda tempat Malvin pulang, Malvin bakal selalu pulang dan kembali ke Bunda.”

Bunda, sosok perwujudan malaikat. Semesta Malvian, Bunda tersayang.

Philadelphia in Roll

|||||||||||||

Tw // plane crash, broken eng, remake

|||||||||||||

“Pagi, Kapten Suh.”

Johnny balas semua sapaan dengan kepala tertunduk, senyumnya tersemat kecil penuh wibawa. Ribuan jam terbang jadi penghargaan bagi seorang Kapten sepertinya.

“Kalau besar nanti, aku mau jadi pilot!”

“Minum susu yang banyak, ya.”

Johnny cuma tersenyum mendengar percakapan kecil Ibu dan Anak di depannya.

Jadi pilot.

“Saya terima 150 won, kembaliannya, Tuan.”

“Terima Kasih.”

Seoul punya langit yang cerah sekarang. Kurang lebih 500 ribu nyawa sedang mengudara di atas sana. Setiap harinya—terbang bersama awan dan harapan sampai tujuan.

Hey, Captain. Feeling good?

“Enggak, sayang.” Ten mengedikkan bahunya. Koper-koper di sudut dia singkirkan. Menyambut kaptennya dengan rutukan kecil.

You bought me nori?”

“Aku mampir di minimarket tadi. Nggak suka nori?” Ten diam sebentar. Lalu mengangguk sembari mengambil nori di tangan Johnny. Kepalanya berpikir sambil mengunyah.

Captain likes me, no?”

“Mau jadi suamiku memang?”

Get me Philadelphia first.” Kali ini Johnny yang mengedikkan bahu. Membuka pintu chiller dengan gerah ketika Ten melepas dasinya. Seoul yang panas membuatnya dua kali bekeringat lebih cepat.

“Mau liburan ke Pennsylavnia nggak? Katamu mau Philadelphia,” tanyanya. Pilot pesawat itu duduk sembari memainkan kakinya, merespon sambutan hangat anjing kecil milik Ten.

Nope. This household needs me 25/8; Said my lazy ass.”

“Caraku bawa Philadelphia gimana?”

Wrap it? Roll it? Bag it? I who knows, Captain. Ask your sexy brain, duh.”

Ten naik ke lantai atas, melukis banyak hal dan anjingnya mengikuti. Kapten tidur siang di meja makan. Menikmati handuk dingin di penghujung hari.

Lalu tengah malamnya, Ten tertidur di depan kanvas, berbantal akrilik berselimut bulu anjing. Johnny kepalang cinta, tapi Ten bilang tidak.

Captain, we can’t,” katanya setiap hari. Setiap Johnny tanya, setiap Johnny lamar. Ten cuma bilang begitu walau ciuman kecil turut memberi jawaban.

I really like Philadelphia. Tell me something about that city, pretty please? Johnny diam seribu bahasa. Dia nggak tahu.

Dia cuma sekedar tahu. Bukan benar-benar tahu.

“Philadelphia roll enak. Ada creamcheese, avocado, salmon, mayonaise, tobiko.”

You failed the test., aduh.” Ten memutar mata waktu itu, kesal dengan jawaban Johnny yang tidak memuaskan. Dia tinggalkan Sang Kapten untuk memesan Philadelphia Roll.

Semuanya Johnny ingat. Semua tentang Ten dia ingat. Malam itu Ten dia pindah ke atas ranjang empuk, dia peluk bersama peluh gelisah. Dia nyanyikan dengan napas pendek gundah. Dia elus dengan gerakan gemetar.

Malam itu anjing Ten berisik, menggonggong marah pada keduanya di atas ranjang.

Nggak ada yang tahu buat apa ... kenapa Berry menyalak galak dari empuknya sofa.

Bandara Internasional Incheon, paginya.

“Captain, oke.” Jempol di naikkan, co-pilotnya bilang oke dan semunya selesai. Seoul hari itu dia tinggalkan, menuju Philadelphia yang bersejarah tempat Ten ingin dibagikan cerita.

Kalau Ten bilang dia mau dibungkuskan Philadelphia, Johnny akan sanggupkan. Diminta membungkus bumi dan seribu dosa-dosanyapun, Johnny akan iakan.

—Ketinggian 8.000 kaki dan di kepalanya masih bersarang cara membungkus Philadelphia.

“Kun,” panggilnya. Co-pilot yang fokus itu menoleh, “ya, Kapten?”

“Cara bungkus Philadelphia bagaimana, ya?”

Kun tertawa. Lumayan keras sampai seorang pramugari datang menawarkan kopi. “Bicara apa sampai tertawa begitu?”

“Kamu tahu nggak cara bungkus Philadelphia bagaimana?” Shuhua diam sebentar, menghela napas lalu bilang oke dengan gerakan tangan naik ke atas.

Dia kembali dengan minuman untuk para kapten di kokpit yang pandangannya cuma awan dan awang-awang. Sebelum sampai di Philadelphia, laki-laki itu harus tetap waras.

Menuju Philadelphia, katanya. Mau dibungkus, katanya.

—Turbulensi pertama mereka di udara jadi kepanikan penumpang untuk sesaat.

Johnny bernapas normal. Hal biasa, makanan sehari-hari. Beberapa waktu terlewati dan pandangan makin terfokuskan. Masa depan seperti diprediksi dan Johnny nggak akan protes tentang visinya.

“Shuhua, tolong bungkuskan Philadelphia untuk Ten. Chittaphon Leechaiyapornkul, dia english speaker, tapi paham Bahasa Korea. Bicara dengan dia normal saja. Alamatnya saya bacakan. Write it down.

Oh ya, jangan bilang apapun soal Ten pada keluarga saya.”

Kun melirik pada Kapten Suh. Jemarinya mengukir di mesin kontrol, alat bantu pernapasan dipasang. Shuhua memejamkan mata dengan lapang.

Tabah, tenang, dan memasang senyum.

MAYDAY MAYDAY! MAYDAY MAYDAY!”

Atmosfer Philadelphia indah, pantas Ten suka.

“Selamat Siang, ini Kapten Kalian yang berbicara—Kapten Suh. Mengudara bersama anda semua adalah kehormatan bagi saya. Ke depannya, mungkin ada sedikit benturan dan guncangan. Saya mohon untuk percaya pada awak pesawat.

Anda semua akan pulang dengan selamat, untuk kerjasamanya saya ucapkan terima kasih. Dari Philadelphia, Selamat Siang, semoga bertemu di lain jaman.”

Philadelphia hari itu sunyi. Mungkin sedang mengheningkan cipta untuk Kapten Suh beserta Co-pilotnya yang baru mendarat di bandara.

Landing yang menegangkan dan penuh sejarah—kata mereka. Diukir dalam media koran juga sanjungan wartwan.

Philadelphia hari itu berubah jadi sedikit lebih berisik. Bandara mereka terdengar suara debuman dan api tanpa permisi bilang selamat datang. Kokpit jadi pemakaman.

Philadelphia hari itu menyedihkan. Para penumpang berlarian menjauh lewat sela-sela mobil pemadam dan ambulans. Awak pesawat berduka. Pesawat yang berangkat dari Seoul menuju Philadelphia gagal meledak di udara. Kapten Suh mengantar orang-orang pada keluarga dengan selamat.

“Pinjam ponsel, aku mau catat alamat,” kata Shuhua gemetar. Jemarinya membentuk simbol oke pada kobaran api. Penghormatan terakhir buat orang yang berkoban dalam kobaran panas. Air matanya ditahan sebab Kapten bilang dia harus membungkus Philadelphia untuk Ten—cintanya sehidup semati (nggak, cuma kapten yang pergi. Ironis.)

Berita hari itu penuh dengan aksi heroik Kapten Suh dan Co-pilotnya, Kun. Philadelphia yang bersejarah kembali menambah sejarah dalam duka, tapi Ten masih melukis di dalam kamar studionya.

Seoul, 17 September 2019.

Lukisan Ten setengah jadi. Nyaris seminggu mengurung diri di studio tanpa tahu dunia luar bagaimana bentukannya. Cuma mencoret kanvas dengan kuas dan tinta estetika, belajar jadi orang berharga yang menunggu bungkusan Philadelphia dari cintanya.

Lalu anjingnya menggonggong. Menyalak galak dan mengusik kedamaiannya.

Berry don’t bark at people, bad habit.”

Kunci diputar, pintu dibuka. Satu kantung makanan transparan menyambutnya dengan tulisan huruf Jepang.

Pardon?” reaksinya. Bingung—jelas.

“Selamat Pagi, Tuan Ten. Philadelphia Roll dari Kapten Suh. Salmon, avocado, creamcheese, mayonaise, dan tobiko. Sent by our Captain, he said; Philadelphia in roll, my dear.

We are really sorry about our Captain. Katanya, untung saja kamu menolak ajakan menikahnya. Selamat Pagi, Sir, have a great life. Sempatkan menonton berita, ya, saya mau temani tangis anda.”

Berry duduk di depan pintu. Mengantar Shuhua yang bahunya bergetar dalam diam seolah paham atmosfer.

Philadelphia in roll, John? So close, captain.”

Berry masih di luar, tidur meringkuk dalam kesedihan. Mendengar hentakan barang di dalam juga seruan patah hati, dia pikir di dalam sana sedang banjir air mata. Dia pikir lukisan Ten mungkin jadi suram disiram cat warna.

Berry malam itu bukannya nggak paham, tuannya akan pergi dan dia nggak bisa menahan bahkan dengan amarah. Berry cuma anjing yang bisa menggonggong kalau gelisah—Philadelphia mendingin lagi.

|||||||

I blame The Captain 2019 for this.

Ini remake dari oneshot sebelumnya.

Bandara.

Aksara nggak pernah tahu kalau melepas seseorang pergi akan terasa seberat ini. Dadanya sesak, antara bahagia dan sedih, Aksa nggak bisa bedakan.

“Udah mau berangkat?” tanyanya. Dia lihat Malvin berdiri dengan koper-koper. Wajah tertutup maskernya seolah bilang—gue nggak siap pergi.

“Udah.”

Hening. Aksa nggak punya banyak kata buat diungkapkan. Dia cuma mau memeluk Malvin erat-erat, maunya bilang pada dunia kalau mereka berhasil dan mereka punya satu sama lain.

Semesta, lihat. Yang kalian larang, hampir sampai pada ujung berjuang.

“Baik-baik di sana. Yang bener lo belajar jangan malu-maluin. Udah keren begini nentang semesta masa drop out.” Aksa tertawa. Dia pasang wajah jenaka walau muramnya nggak bisa ditutup mata.

Malvin tahu. Lebih dari tahu kalau sedihnya Aksa sudah nggak terkira. Dia juga.

“Kalau gue buatin rumah yang bagus, lo menetap, ya?” kata Malvin penuh harap dan tanya. Tangannya menarik kepunyaan putra Dirgantara. Menggenggamnya hangat lalu dibawa pada kecupan ringan yang maknanya perpisahan.

Biar, biar semua orang lihat. Mereka nggak akan bersembunyi lagi. Mereka hebat.

“Pasti, lah. Gue bakal susul dan tinggal di rumah yang lo buat ... cuma ya nggak tau kapan,” jawabnya. Pipi disandarkan pada telapak tangan Malvin. Menitip hangat supaya malam-malam Malvin enggak kesepian. Supaya hari-hari Malvin nggak sepi karena Aksa masih di sini.

“Ditunggu, Aksa. Semoga enggak lupa ada gue di Jerman. Jaga diri baik-baik, bye.”

Sandaran di lepas, koper ditarik. Roda yang menggilas lantai jadi satu-satunya melodi yang Aksa ingat.

Aduh, sedih. Sedih sekali, mau menangis. Tapi dia janji akan segera susul Malviannya di sana.

Maka ponsel diambil, dia ketik pesan lalu pergi menghampiri Resha yang jadi saksi bisu patah hatinya harapan remaja.

Nggak tahu, kalau Malvin hentikan langkah sebentar untuk membaca pesannya.

Rindu. Rindu. Rindu.

Sudah dua bulan, Jerman nggak seindah bayangannya karena Aksara jelas nggak ada di sini. Hari-harinya sebagai mahasiswa teknik kedirgantaraan lumayan monoton.

Enggak.

Sangat monoton

Guten morgen,” sapanya. Bibi tua penjual boneka kayu adalah sedikit dari teman yang bisa Malvin buat. Jalinan yang Malvin harap bisa membuat Aksaranya nyaman berada di rumah.

Hast du gefrühstückt?” Satu pertanyaan, Malvin jawab dengan anggukan—sudah sore, jelas dia sudah sarapan—Dia kantongi satu bunga matahari dari Si Bibi Tua. Katanya, semoga senantiasa berseri.

Tentu, Malvin pegang Dirgantara bersamanya, matahari kecilnya ada di saku jaket ke mana-mana.

“Aksa tolol punya hp gak guna,” umpatnya. Terlalu sore buat minum-minum bir, menghisap nikotin di tumpukan kardus depan toko barang antik.

Malvin khawatir. Aksa nggak berkabar sejak kemarin. Malvin khawatir, dia sedang usahakan rumah di sini, Aksa mungkin menyerah di sana.

“Kata lo, tulis nama lo seribu kali, niscaya lo yang cakep bakal muncul di muka gue.” Malvin bicara sendiri, pada buku biru kecil yang Aksa beri sebagai hadiah perpisahaan.

Katanya, tulis nama Aksa sampai seribu, nggak sampai hitungan ketiga, Aksa akan datang.

“Kaga jelas lu anjing, mistis, jelek—

—gue hitung, deh.”

Lembaran dia buka. Sudah nyaris penuh satu buku, dia hitung tiap kata Aksa yang dia tulis—Malvin cuma terlalu rindu. Tolong jangan lihat dia sebagai remaja depresi karena enggak, Malvin cuma terlalu rindu Aksara.

Aksaranya, yang jauh di sana. Masih mengejar kesempatan di saat Malvin berusaha membuat rumah.

“Sembilan ratus sembilan puluh sembilan.”

Senyum terbit, jari mencoret. Kurang satu kata, maka Malvin tulis nama Aksara.

Genap seribu. “Mana anjing enggak ada lo di depan gue, dasar lelaki ingkar janji.”

Muram di muka Malvin, biar cuma kucing-kucing liar yang tau. Padangannya jauh ke belakang.

Waktu dia dan Aksa kali pertama bersua; tawuran. Aksa yang memang panglima jalanan dan dia yang cuma ikut-ikutan.

“Cringe juga diinget-inget.” Malvin bungkus lagi bukunya, disimpan rapi sebagai mantra memulangkan Aksara.

Malvin nyalakan rokoknya, rokok menthol yang dia benci tapi Aksara suka. Malvin tutup telinganya, dengan lagu indie yang baginya terlalu cengeng tapi Aksara gemari.

Malvin pejamkan matanya, membayangkan Aksa ada di sebelahnya meminum sekaleng bir. Lalu, Malvin tahan air matanya—supaya nggak kelihatan terlalu lemah.

Dan Malvin buka lagi pandangannya, satu pesan masuk di bawah jingganya lembayung Jerman.

Malvin sampai di bandara, napas ditahan keras-keras. Punggung ditegakkan tapi kaki rasanya lemas mau mati.

Takut. Malvin takut yang tadi cuma guyonan. Takut sihir buku yang Aksa tawarkan sebenarnya cuma ilusi dia yang kesepian.

Rumah yang Malvin bangun baru setengah jadi, semoga nyamannya Aksa nggak memandang tempat.

“Bengong kaya orang bego, keren lu begitu? Engga anjir bikin malu.”

Sampai suara mencemooh yang berbulan-bulan Malvin nggak dengar, memenuhi gendang telinganya. Sampai sosok yang sejauh rekaman Malvin simpan, berdiri di sebelahnya dengan senyum kelewat cerah.

Aduh, Tuhan. Mau pingsan, mau jatuh. Aksaranya di depan sana. Punya banyak sekali bawaan tapi yang penting, hatinya tetap di bawa.

Aduh, Tuhan. Malvin bahagia bukan kepalang.

“Lo ... di sini,” katanya. Maju berlangkah-langkah. Ujung sepatu saling bertemu, pandangan saling menyatu. Dada makin berisik karena atmoser semakin panas.

Bahagia dan cinta, cuma itu yang dibagi lewat keduanya. Malvin selipkan jemarinya pada kantung tempat matahari kecilnya selalu mengikuti. Dia cari eksistensinya sementara tangan lain menggenggam jemari yang seingatnya hangat dan berat, saling menggenggam erat di antara jarak yang menipis. Setipis kemungkinan mereka yang mau jadi sempurna.

Bunga matahari kecil dia naikkan, dia letakkan di antara dia dan Aksa.

“Lo dateng, lo di sini,” katanya lagi. Aksa mengangguk, ketika bunga matahari sudah di tengah mereka, kedua bibir yang lama nggak rasakan hangat dan manis asmara, singgah di kelopaknya.

Ciuman yang mereka titipkan pada bunga matahari di tengah, semoga senantiasa berseri, ya, cinta.

Oh, nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi, dunia sudah menyerah, semesta sudah pasrah. Keduanya menang taklukkan marahnya takdir.

“Malviano, Aksara pulang.”

“Selamat pulang, Dirgantara.”

Ya Tuhan. Malvin belum percaya. Aduh, Tuhan. Aksara di depannya, berselimut putih yang bersih.

Aduh, demi Tuhan. Sumpah, Malvin nggak menyangka. Mereka sampai di sini, berdiri berhadapan di atas altar.

Ya Tuhan, Malvin mau dengar kejujuran. Peluh dan sakit yang dia perjuangkan, kalau sungguhan sampai pada pernikahan, tolong jangan dipisahkan.

Tuhan ... ya ampun, Demi Tuhan. Aksaranya menaungi dunia dengan gagah. Berkilauan dan indah sebagai megah yang mewah. Aksaranya mau habiskan sisa nyawa dengannya.

Ya Tuhan, mereka sungguhan ada di sini?

“Lo kenapa nangis anjir, malu-maluin,” bisik Aksa. Matanya merah menahan tangis tapi bisa dibanggakan dibanding Malvin yang sungguhan banjir air mata. Bahu bergetar dan terisak keras-keras.

Malvin menangisi Aksaranya. Menangisi perjuangan yang usai sampai di sini, menangisi mereka dan sempurna yang tersusun.

Entschuldigung, er ist dramatisch,” kata Aksa pada Pastor, tersenyum memaksa tapi hati jelas terharu luar biasa.

Ibu yang berdiri jauh sebagai saksi dengan Kirana, cuma mampu ukirkan senyum luar biasa.

“Suami, apa kabar?”

“Jangan tanya anjing gue mau nangis.” Malvin peluk dunianya, sempurna yang dia perjuangkan sampai mau mati, didekap erat-erat.

Dunia, terima kasih sudah mau berbaik hati, ya?

“Malvin putra Bunda, selamat, ya?”

Hening gereja yang sepi, menggemakan suara yang bertahun lamanya Malvin nggak dengar. Suara yang tiap hari dia rindukan ketika berkelit dengan mesin.

Ketika Aksa sibuk dengan lansia di panti jompo dan bayi-bayi di daycare, Malvin selalu sempatkan bilang dia rindu Bunda.

Bunda yang nggak mau melihatnya menikah. Kini di depannya dengan senyum cantik. Kelewat cantik sampai Malvin mau terjatuh minta ampun.

“Maaf ya, bunda telat.”

Ada yang sudah berpisah, ada yang baru menyatu, ada yang sendirian. Tetap, semuanya terasa sempurna.

Aksa lihat Ayah, melambaikan tangan seolah bilang, pejuang, berjuangnya sampai sini saja, ya, harus rehat.

Test

Walk You Home

Aduh, mulutmu itu ... disimpan madu, ya?

[ —— ]

Donghyuck melaporkan dari tempatnya sekarang;

Dia jatuh cinta.

“Kak, mau enggak pulang bareng aku?”

Namanya Mark, pulang sekolah ditawari tangan untuk digandeng, pulang sekolah ditawari waktu untuk dihabiskan bersama.

Siapa, tadi?

“Tapi kamu siapa, ya?” tanyanya. Nggak punya ide apapun tentang sosok makhluk kelewat cerah di depannya.

“Aduh, enggak penting deh aku siapa. Gimana kalau panggil aku pacar saja? Lebih mempersingkat waktu.”

Sinting.

Mark dapati senyum menawan di wajah yang juga rupawan, silaunya mentari sore kalah jingga dengan sinar dan binar di mata jelaga itu.

“Aku enggak ngerti, deh,” balas Mark. Tapi dia sambut tawaran tangan itu, dia ambil ragu tapi hatinya bilang; coba dulu.

Cuma pulang, kan?

“Pacar.”

“Iya, pacar?” Mark enggak tahu kalau kata-kata isengnya keluar dari mulut secepat itu, balasan orang di sebelah membuatnya makin malu. Mark malu, malu sekali.

“Pacar, mau ngomong apa?

Oh, lupa. Pacar, kamu ganteng banget hari ini,” katanya. Menggoyang genggaman tangan lalu bersenandung riang. Mengiringi langkah dengan suara kecil yang dibagi sore lewat desau angin.

“Namamu siapa, sih, pacar?” Sekali lagi Mark bertanya, sekali lagi senandung merdu jadi jawaban. Mark dapati dirinya sedikit tersinggung, tapi nggak mampu merasa kesal.

Lumayan indah. Profil samping orang ini terlampau indah.

“Donghyuck. Pacar, jangan putusin aku habis ini, ya!” Mata itu menyipit persis bulan sabit, konstelasi bintang di wajahnya makin bersinar terang.

Curiga, Tuhan dulu terlampau bahagia dan jatuh cinta ketika Donghyuck dilahirkan.

“Memang kita pacaran?”

Rumah Mark terlihat di ujung sana, sebentar lagi berpisah tapi rasanya makin resah.

Nanti dulu, ya.

“Tergantung, aku mau enggak sih, jadi pacarmu?

Iya, mau banget,” kata Donghyuck—dia jawab juga. Langkah berhenti. Tas sekolah disampirkan di bahu, wajah berhadapan seperti disorot lampu panggung.

Jalanan berwarna merah muda asmara untuk sementara, jingga sore hari menggelap tapi suasanya memanas.

Jiwa muda, sedang bahagia, ya?

“Bukannya kebalik?”

“Loh yang mau pacaran kan aku? Memang kamu enggak mau? Aku ganteng begini, loh? Bisa masak juga. Aku paket komplit, deh. Bisa banget dipamerin di instastory atau twitter, bisa-

“Sst. Berisik banget, tau nggak, sih?”

-kan lagi promosi.” Donghyuck merenggut. Mark makin menuntut—dia mau Donghyuck nggak mundur dari pandangannya. Rumah sudah di depan mata, tapi Donghyuck lebih hangat menyambut pulang.

Rambut diselipkan ke belakang telinga, Donghyuck merona.

“Bisa aku pamerin ke keluarga, nggak?” tanyanya. Mata yang semula bulat, makin bulat membelalak, rona di wajah nampak sumringah, tepuk tangan menggema di heningnya petang hari.

“Bisa banget! Aduh, sumpah, bisa banget, serius! Pamerin yang bagus-bagus nanti aku nggak bakal malu-maluin, deh!

Modelan Mark Lee yang sempurna, masa punya pacar nggak sepadan?”

Lampu depan rumah dinyalakan, bunga di hati Mark bermekaran. Jangan bilang-bilang, Mark malu setengah mampus.

Donghyuck tahu kalau dia harus pulang, usahanya hari ini, biar selesai di sini. Besok, dia coba bicara lagi. Siapa tahu Mark Lee mau dilamar pakai hati.

Siapa tahu, Mark Lee mau terima rasa sukanya yang dia harap berubah jadi cinta orang dewasa.

“Aduh, mulutmu itu, disimpan madu, ya?” tanya Mark kikuk. Menggaruk tengkuknya canggung, nggak menyangka kalimat cringe dan memalukan meluncur dari tenggorokannya.

Pita suara, please, deh. Kuno banget!

“Kamu jangan begitu, kan aku makin suka!”

Pipi Mark makin hangat kala tepukan gemas dia terima, pipi ditarik-tarik lalu kepala ikut ditepuk bak anak anjing.

Donghyuck, jangan begitu, ah. Mark jadi suka.

“Pertanyaanya, aku mau enggak jadi pacarmu?” tanya Mark—lagi. Tangan disingkirkan dari wajah, pagar rumah digeser. Tubuh sudah pulang setengahnya, tapi kepala masih belum rela—apalagi hatinya.

“Mau, lah! Masa Mark Lee enggak mau sama Donghyuck? Nanti aku pamerin ke guru-guru, deh! Janji mati!”

Jari kelingking naik. Pagar ditutup, jantung berdegup. Lewat tapak kaki yang makin jauh, Mark Lee dapati hati makin jatuh.

Lapor, Mark Lee juga jatuh cinta. Aduh.

| fin. Markhyuck mnkh. |

Dean mendorong bahu Resha masuk ke restoran kecil pinggir jalan. Bukan fancy restaurant tempat menghamburkan uang—

Cuma tempat makan berbagi kehangatan.

“Ayo pesen deh gue laper,” katanya. Membuka lembaran buku menu dan Resha cuma sahuti dengan jari berbentuk oke.

“Yang paling mahal karena gue matrealistis iya bener realistis.”

“Banyak bacot orang miskin,” cerca Dean. Resha nggak ambil pusing karena ya—dia memang nggak punya uang sekarang.

Tapi matrealistis itu sungguhan realistis.

Kepulan uap teh panas di tengah malam minggu berhujan jadi peneman di antara keduanya. Dean dengan kata-kata di ujung lidahnya, Resha dengan kalimat di pikirannya.

“Sha, tentang Aksa,” kata Dean. Akhirnya buka suara dan wajah saling berhadapan.

“Kenapa?”

“Dia sama Malvian ... apa bisa bertahan? Maksud gue ... apa bisa mereka mati saling genggam tangan atau dipaksa lepas di kuburan.

Apa mereka bisa dikebumiin sebagai nama pasangan? Bukan sebagai Aksa dan Malvian.”

Kalimat ragu Dean panjang dan dingin, menyentuh hati Resha dengan amat beku.

Dean dan risaunya, meresahkan Resha yang maunya hidup dengan damai. Perihal cinta dan semesta, terlalu rumit buat dia yang nggak mau sulit.

“Kenapa? Lo ragu sama temen lo sendiri?” jawabnya. Melempar pertanyaan sambil tangan sibuk mengukir syair di hati. Kata-kata mati kelewat sedih yang di simpan di laci.

“Enggak. Gue ragu sama semesta. Tempat buat yang kaya Aksa, nyaris enggak ada.”

Satu dialog, tiga kalimat, satu tarikan napas. Langsung menampar Resha yang sedang mengambil jeda. Mengambil rehat sejenak dari dunia yanh suka bilang enggak secara tiba-tiba.

Dean baru saja bilang kalau dia dan Aksa nggak punya tempat dan bukan sebuah kewajaran.

“Lo mandang Aksa itu kaya apa, sih?” tanyanya. Terselip marah dan emosi. Dean yang cuma berbagi opini jadi terpojok di sudut atmosfer.

Sebenarnya, Dean, kamu pandang Resha seperti apa?

“Enggak, maksudnya ... gue khawatir. Gue mau Aksa bahagia, itu aja cukup, kok.”

Lalu bahagia Resha, bukan sebuah kecukupan, ya?

Oh, tersier.