pridehyuck

Munich, # tahun # berlalu.

Munich, sore hari. Senja jingga, matahari mau bilang sampai jumpa, ketemu esok pagi, ya.

Munich, sore hari. Menuju petang, Malvin mau pulang. Tapi enggak, dia pilih trotoar sepi di persimpangan jalan penuh nilai seni. Dia sandarkan tubuh pada pajangan sepeda milik insan yang duduk di tepian.

Munich, sore hari. Malvin merekam rindu buat Bunda, selagi menunggu Dirgantaranya kembali dari bekerja.

“Geser, bro,” kata seseorang. Bahu ditepuk, begitu Malvin mendongak, yang dia dapati adalah figur kokoh barang mati yang dulu sempat terjun bebas ke permukaan—Dirgantaranya yang sekarang kelewat cerah.

“Anak siapa?” tanyanya. Menggeser ruang, mempersilakan Aksara duduk di sebelahnya menyandarkan kepala lelah.

Bayi empat belas bulan di gendongan Aksara tidak berbicara atau bersuara. Cuma diam menikmati detak jantung baby sitternya yang kelewat ramah.

“Ini Michelle, dititipin Mutternya. Gue udah bilang sih gue di daycare cuma selingan tapi katanya Michelle suka gue, yaudah ini ekstra ngejagain sampai malem.

Gapapa, kan?” Tiap frasa yang Aksara lontarkan, Malvian suratkan di kertas-kertas usang dalam hatinya.

Pernah bilang, kalau Dirgantara adalah sebuah Aksara, makan dia akan ukir di tiap benda agar jadi prasasti. Pernah bilang juga, apapun yang Aksa katakan, Malvin akan dengarkan bahkan sampai kiamat.

“Enggak apa, lah, siniin dong mau gendong. Nanti kalau gue jadi Ayah, nggak keliatan begonya.”

Aksa tertawa, jingga Munich kalah oranye dari binar bahagia keduanya. Michelle pindah sandaran. Detak jantung Malvin lebih damai, bayi itu tertawa lalu tertidur lelap.

“Mau ngerokok?” tawar Aksa, tangannya siap merogoh saku jaket tapi Malvin malah menoyor kepalanya.

“Elu kata di kantin belakang sekolah? Bawa bayi ngajak sebat. Waras lo anjing.”

“Engga usah pake mukul bangsat.”

“Linguistik lo tolong disaring ini ada anak kecil,” kata Malvin mencibir. Menyisir rambut Michelle lalu Aksa sandarkan kepala pada bahunya lagi.

Munich terlalu ramah pada mereka yang duduk di pinggir jalan menyaksikan kota menyungsung gelap. Munich abai.

“Mau san miguel?” tawar Aksara, sebotol San Miguel Light disuguhkan, Malvin anggukkan kepala lalu tegukan pahit bir itu jadi jawaban.

Cuma sebotol bedua ditemani senja, Michelle nggak akan terusik karena sibuk menjahit selimut mimpi.

“Aksa, udah jauh banget, ya, kita?” katanya. Diam-diam jadi melankolis. Diam-diam puitis dan diam-diam menyembunyikan tangis.

“Iya, udah jauh banget. Kalau dulu lo beneran nyerah, kita nggak di sini, deh. Ngebir di pinggir jalan sambil ngasuh bayi,” jawabnya. Angin mampir, rambut Malvin disisir. Aksa usap kepala Pradiganya dengan penuh rasa.

Dunia nggak mengusik mereka. Sudah nggak perlu sembunyi-sembunyi, ya.

“Rumahnya, maaf kalau nggak nyaman, Sar. Gue beli murah banget dari elder. Cuma satu kamar, dapur, ruang tengah, sama loteng. Sisanya diisi kebun soalnya mereka suka berkebun. Nanti gue bangunin lagi ruangan yang lain.”

“Cerewet banget, bapak,” sahut Aksa. Dia peluk pinggang Malvian, dia bagi perasaan hangatnya.

Aksa masih mengumpulkan uang dari pekerjaannya; perawat jompo sekaligus baby sitter di daycare.

Malvin sudah belikan mereka rumah sederhana dengan kebun luas. Punya orang tua yang pindah. Sebuah rumah sederhana yang murah—

Rumah di mana keduanya bisa pulang kalau lelah menghadapi dunia.

“Takut lo nggak suka.”

“Apa yang sama lo, semua gue suka. Kang bengkel kaya lo gak cocok sok dramatis.” Kalimat jenaka Aksa disahuti sikuan pada pinggang. Ringisan Aksa jadi jawaban.

“Bengkel gue di bandara mohon maaf.”

“Sombong bener anak muda. Kang bengkel pinggir jalan tetep best boy di mata gue, sih,” sahutnya bercanda.

Mereka buka remaja lagi, bukan jamannya lagi buat berbagi kisah jenaka. Tapi Malvian dan Aksa, kalau keduanya bersama, dunia yang banyak mau jadi terasa sempurna.

Munich, sore hari. Ada dua adam yang sibuk berterimakasih pada luluhnya semesta.

“Aksara, gue sayang banget sama lo. Dirgantara muda, jangan pernah runtuh, ya?” katanya dengan tatapan dalam. Michelle terbangun, merangkak naik pada satu dekapan tangan—karena tangan lain memeluk entitas di sebelahnya.

Memeluk Aksa yang memejamkan mata menikmati senjakala yang hadir di sela-sela bangunan berseni Munich.

“Pradiga, gue selalu menduga-duga, akhir kita kaya apa.

Ternyata, bahagia dan sempurna juga, ya.”

Malviano, nggak bisa berkata apa-apa. Senyumnya dibungkam seteguk San Miguel Light, dipeluk hangat Michelle juga sapuan dingin Aksara pada kulitnya.

“Selamat berbahagia, ya, cinta.”

Kata mereka.

Matahari terbenam di Munich, ada kisah yang terbit setiap jamnya, ada Aksara dan Malvian yang hidup di atas kemenangan melawan dunia.

Munich, malam hari; Jangan terlalu dingin pada insan yang sedang kasmaran, ya.

Munich, sore hari. Senja jingga, matahari mau bilang sampai jumpa, ketemu esok pagi, ya.

Munich, sore hari. Menuju petang, Malvin mau pulang. Tapi enggak, dia pilih trotoar sepi di persimpangan jalan penuh nilai seni. Dia sandarkan tubuh pada pajangan sepeda milik insan yang duduk di tepian.

Munich, sore hari. Malvin merekam rindu buat Bunda, selagi menunggu Dirgantaranya kembali dari bekerja.

“Geser, bro,” kata seseorang. Bahu ditepuk, begitu Malvin mendongak, yang dia dapati adalah figur kokoh barang mati yang dulu sempat terjun bebas ke permukaan—Dirgantaranya yang sekarang kelewat cerah.

“Anak siapa?” tanyanya. Menggeser ruang, mempersilakan Aksara duduk di sebelahnya menyandarkan kepala lelah.

Bayi empat belas bulan di gendongan Aksara tidak berbicara atau bersuara. Cuma diam menikmati detak jantung baby sitternya yang kelewat ramah.

“Ini Michelle, dititipin Mutternya. Gue udah bilang sih gue di daycare cuma selingan tapi katanya Michelle suka gue, yaudah ini ekstra ngejagain sampai malem.

Gapapa, kan?” Tiap frasa yang Aksara lontarkan, Malvian suratkan di kertas-kertas usang dalam hatinya.

Pernah bilang, kalau Dirgantara adalah sebuah Aksara, makan dia akan ukir di tiap benda agar jadi prasasti. Pernah bilang juga, apapun yang Aksa katakan, Malvin akan dengarkan bahkan sampai kiamat.

“Enggak apa, lah, siniin dong mau gendong. Nanti kalau gue jadi Ayah, nggak keliatan begonya.”

Aksa tertawa, jingga Munich kalah oranye dari binar bahagia keduanya. Michelle pindah sandaran. Detak jantung Malvin lebih damai, bayi itu tertawa lalu tertidur lelap.

“Mau ngerokok?” tawar Aksa, tangannya siap merogoh saku jaket tapi Malvin malah menoyor kepalanya.

“Elu kata di kantin belakang sekolah? Bawa bayi ngajak sebat. Waras lo anjing.”

“Engga usah pake mukul bangsat.”

“Linguistik lo tolong disaring ini ada anak kecil,” kata Malvin mencibir. Menyisir rambut Michelle lalu Aksa sandarkan kepala pada bahunya lagi.

Munich terlalu ramah pada mereka yang duduk di pinggir jalan menyaksikan kota menyungsung gelap. Munich abai.

“Mau san miguel?” tawar Aksara, sebotol San Miguel Light disuguhkan, Malvin anggukkan kepala lalu tegukan pahit bir itu jadi jawaban.

Cuma sebotol bedua ditemani senja, Michelle nggak akan terusik karena sibuk menjahit selimut mimpi.

“Aksa, udah jauh banget, ya, kita?” katanya. Diam-diam jadi melankolis. Diam-diam puitis dan diam-diam menyembunyikan tangis.

“Iya, udah jauh banget. Kalau dulu lo beneran nyerah, kita nggak di sini, deh. Ngebir di pinggir jalan sambil ngasuh bayi,” jawabnya. Angin mampir, rambut Malvin disisir. Aksa usap kepala Pradiganya dengan penuh rasa.

Dunia nggak mengusik mereka. Sudah nggak perlu sembunyi-sembunyi, ya.

“Rumahnya, maaf kalau nggak nyaman, Sar. Gue beli murah banget dari elder. Cuma satu kamar, dapur, ruang tengah, sama loteng. Sisanya diisi kebun soalnya mereka suka berkebun. Nanti gue bangunin lagi ruangan yang lain.”

“Cerewet banget, bapak,” sahut Aksa. Dia peluk pinggang Malvian, dia bagi perasaan hangatnya.

Aksa masih mengumpulkan uang dari pekerjaannya; perawat jompo sekaligus baby sitter di daycare.

Malvin sudah belikan mereka rumah sederhana dengan kebun luas. Punya orang tua yang pindah. Sebuah rumah sederhana yang murah—

Rumah di mana keduanya bisa pulang kalau lelah menghadapi dunia.

“Takut lo nggak suka.”

“Apa yang sama lo, semua gue suka. Kang bengkel kaya lo gak cocok sok dramatis.” Kalimat jenaka Aksa disahuti sikuan pada pinggang. Ringisan Aksa jadi jawaban.

“Bengkel gue di bandara mohon maaf.”

“Sombong bener anak muda. Kang bengkel pinggir jalan tetep best boy di mata gue, sih,” sahutnya bercanda.

Mereka bukan remaja lagi, bukan jamannya lagi buat berbagi kisah jenaka. Tapi Malvian dan Aksa, kalau keduanya bersama, dunia yang banyak mau jadi terasa sempurna.

Munich, sore hari. Ada dua adam yang sibuk berterimakasih pada luluhnya semesta.

“Aksara, gue sayang banget sama lo. Dirgantara muda, jangan pernah runtuh, ya?” katanya dengan tatapan dalam. Michelle terbangun, merangkak naik pada satu dekapan tangan—karena tangan lain memeluk entitas di sebelahnya.

Memeluk Aksa yang memejamkan mata menikmati senjakala yang hadir di sela-sela bangunan berseni Munich.

“Pradiga, gue selalu menduga-duga, akhir kita kaya apa.

Ternyata, bahagia dan sempurna juga, ya.”

Malviano, nggak bisa berkata apa-apa. Senyumnya dibungkam seteguk San Miguel Light, dipeluk hangat Michelle juga sapuan dingin Aksara pada kulitnya.

“Selamat berbahagia, ya, cinta.”

Kata mereka.

Matahari terbenam di Munich, ada kisah yang terbit setiap jamnya, ada Aksara dan Malvian yang hidup di atas kemenangan melawan dunia.

Munich, malam hari; Jangan terlalu dingin pada insan yang sedang kasmaran, ya.

Apa yang mau kamu tukar? Dia bilang, surga dan neraka lewat mulut.

tw // implisit, not safe for work, kissing scene, dirty talk


“Hyuck, serius?”

“Serius, sayang.”

Tanggapan Renjun tentang jawaban pacarnya? Nggak ada. Sedikit was-was, banyak cemas.

“Tapi kamu ini mau main-main sama orang kasino, sayang,” katanya lagi. Mencegah Donghyuck berbuat petaka, mencegah cinta pergi ke depan pintu berbekal nekat.

“Renjun, percaya sama aku, okay? Donghyuckmu ini bukannya mau jual diri, aku mau trading,” jawabnya. Jemari yang lentiknya lebih molek dari untaian sutra di atas ranjang, perlahan turun menyapu luruh semua rasa yang Renjun simpan di lidah. Mata jelaga memandang—agak—ragu, tapi Donghyuck bilang,

“Kamu nggak percaya sama aku?”

“Memang apa yang mau kamu tukar, Hyuck?”

Nggak tahu. Aku nggak tahu dia itu saudagar kaya raya atau apa, yang aku tahu, dia nantang seorang Lee Donghyuck yang piawai main saham. Trading apanya, huh?”

Keras kepala boleh jadi nama tengah Lee Donghyuck, Renjun nggak akan terkejut. Sebuah email masuk sore tadi, katanya Mark lee menantang pacarnya yang raja malam buat bermain tukar mata uang, katanya;

Mau trading dengan saya, sir?

Donghyuck, jelas ditekan ego, dibakar rasa tertantang, tenggelam dalam ambisi menang. Ini bukan pertama kali harga diri seorang Donghyuck disenggol jatuh, Renjun sudah sering lihat kekasihnya hancur dan menangis sedih. Melepas Donghyuck satu malam buat meninggikan derajat, bukan hal murah yang susah dia lepas.

“Aku antar, ya?”

“Uhm, tolong,” katanya. Sebelum keluar mobil, ada rasa yang dilebur lewat bibir, jembatan saliva yang beningnya kalah dengan gelas kaca. Ada juga genggaman hangat antar dua pria, seolah bilang; sayang aku pergi sebentar. Titip cinta di bahumu, kalau kembali, aku punyamu lagi.

Lalu pintu mobil ditutup. Kasino, menyambut.


Remang, gamang, kelam. Kasino malam bukan arena main anak remaja yang baru tahu nasi selama tujuh belas tahun.

Kartu berhamburan untuk tiap-tiap langkah kaki yang Donghyuck ambil di atas marmer mengkilap, jantung berdetak empat kali lebih cepat. Harga dirinya terasa lebih berat, egonya turun makin lambat.

“Mana yang mau trading dengan Lee Donghyuck?” tanyanya. Meja judi langsung hening, manusia bertopeng dengan setumpuk uang lempar atensi mereka padanya yang berdiri angkuh ditopang gemuruh. Kepalanya ribut minta dibawa pulang, hatinya kusut minta ditundukkan.

Donghyuck kalut.

Clap. Clap.

Terkesiap, gema tepuk tangan dua kali. Elegan menusuk hati, melodi mati yang membuat beku berdiri. Dua kali tepuk tangan, manusia penjudi angkat kaki dari ruangan.

Sir, sudah datang, ya? Saya di sini.”

Telinganya tangkap frekuensi rendah tanpa aturan, kelewat rendah sampai bulu halus di lehernya meremang. Donghyuck balik arahnya, putar pandangan dan lempar direksi pada esensi tegak di depan sana, menarik kurva tipis. Piawai menjilat pinggiran gelas sampanye berembun dengan gelembung air nyata naik turun.

Ya Tuhan.

“Tuhan,” bisik Donghyuck. Limbung jatuh ke atas marmer dingin. Bekunya lantai, lebih membunuh dari aura yang Tuan Sampanye itu suarkan lewat hembusan napas.

“Aduh, Donghyuck. Sir, kenapa menangis?” katanya dengan suara menghina goda. Waktu Mark Lee tanya tentang air mata, maksudnya benar Donghyuck menangisinya.

( Apa kamu pernah, melihat wujud nyata kesempurnaan, terkejut karena seseorang wujudnya kelewat tampan, lebih indah dari rembulan purnama, lebih cantik dari nirwana, dan lebih panas dari paras eros?

Apa kamu pernah, saking sempurnanya eksistensi hamba Tuhan yang dipandnag, sampai-sampai kamu menangis dibuatnya? )

Kelakarnya, di bawah lutut dia mengadu bingung.

“Aduh, Donghyuck, kemana harga diri poundsterlingmu, itu, sayang? Kenapa sesenggukan di bawahku yang baru bilang halo ini, hm?”

Donghyuck mati kata, mati rasa, mati posisi.

Tenggorokannya kering, matanya sembab dibasahi air mata. Nggak tahu, kelewat indah, kelewat sempurna sampai terisakpun rasanya kurang menghargai insan di depan.

“Raja malam, yang paling berkuasa di mercusuar dermaga uang. Yang katanya paling kaya dari intan di lautan, kamu, Lee Donghyuck, trading, semudah apa bagimu?”

“Mark Lee … “

“Iya?”

Pantofel Mark maju empat langkah, sampanye dia letakkan di atas meja judi, pinggang lemas yang dibalut kemeja mahal dia rengkuh dengan sentuhan paling lembut sejagat raya, dia lingkarkan pada lengan dan dia bawa terbang ke surga pintu delapan.

Meja judi jadi ranjang. Keras permukaanya tetap serupa kapuk ditumpuk sutra.

“Mau tukar apa … Mark?” tanya Donghyuck. Dia usap air mata yang tersisa, dia gigit bibirnya ragu karena perasaan semunya berubah jadi takut nggak berujung. Mata itu menyorot terlalu tepat, seperti lampu panggung yang silaunya mengalahkan arunika dan senjakala.

“Tukar mulut, mau?”

Ya Tuhan. Jika Donghyuck dilaknat karena menyebut nama Tuhan ketika batin terperosok jatuh ke sumur dosa, dan jika dia dicerca semesta karena tunduk di bawah kuasa raja malam yang sebenar-benarnya,

Maka terjadilah. Adakanlah. Donghyuck menyerah.

Sir, saya bukan orang yang bilang saham mudah dimainkan. Kalau maumu begitu, biar saya coba, mulutmu bisa ditukar apa?”

“Neraka. Aku tukar neraka tapi kamu bawa aku ke surga, sanggup?”

Dan—

Mark iyakan. Mark agungkan nama Donghyuck dalam semalam. Halusnya mulut yang berbicara, dia sapu asam kenyataan dengan lidah yang pandai berbicara, dia singkirkan manis dengan bibir yang bisa membuat Donghyuck menangis.

It’s silent as we trade mouths.

“Menangis lebih keras nggak akan buat harga dirimu merosot sampai minus dua belas,” bisik Mark. Celah keduanya terlalu sempit sampai hembusan napas buat tiap kata yang Mark lempar bisa dia rasa. Tangan-tangan hangat yang membuatnya dingin seperti beku musim dingin terlalu erat memeganginya.

Aduh, tolong. Kalau menangis bukan sebuah kejahatan, Donghyuck mau tangiskan keras-keras.

“Rambut.”

“Begini, Sir?”

“Iya begitu, Oh, God, please.”

Mark suka ini. Dia cuma tukarkan mulut dengan sentuhan kecil, dan Donhyuck bertekuk lutut sampai posisi paling surut. Dia cium Tuan Besar Kepala di bawahnya, dia pegangi supaya nggak makin hilang kendali. Dia pimpin ke surga, neraka, biar dia yang pinjami.

Bermain tukar menukar, nggak pernah seluarbiasa ini.

“Kancingmu mau dibuka sampai berapa, Donghyuck?”

“Tujuh! Tujuh, Sir! Tolong, semua juga bisa,” teriaknya frustasi. Giginya Lelah menggilas jemari, sudah sampai batas menahan tangis, wajah acak-acakkan karena berantakan dimainkan Mark.

Donghyuck belum pernah memohon buat dikerjai. Mark yang pertama karena katanya mau bertukar surga neraka.

Donghyuck bisa apa selain mengeluarkan air mata dan suara?

“Tangismu itu, apa bisa lebih keras, Sir?” tanyanya lagi. Seolah tiap mili air mata, adalah energi buatnya bergerak. Dia kecup lagi persentimeter kulit Donghyuck, dia kecap madunya supaya nggak lupa pernah berbagi manis di atas meja judi yang keras.

“Bisa, bisa, Mark, bisa.”

“Tapi Mark Lee mau ini dilakukan berdua, karena sama-sama mau.”

“Aku mau!” Mark tarik seringai culas, menang di malam hari seperti berjudi.

Bertukar mulut, nggak pernah jadi sensual sampai Mark turun tangan, Donghyuck menyerah di peraduan.

Lewat lidah yang menitipkan panas di rongga mulut, lewat saliva yang turun meninggalkan basah, lewat decakan rasa dan suara berantakan, di atas meja judi—dua adam sedang main kartu. Main saham yang katanya mudah ditukar-tukarkan.

Katanya, orang sebut ini bercinta. Naik turun bersama dan bergantian, ada yang menahan suara ada yang meredam tangisan. Katanya, tukar mulut selalu berakhir dengan baju berserakan di atas marmer, dan hati acak-acakkan di masing-masing peraduan.

Katanya Lee Donghyuck itu raja malam, Mark Lee sambut di kasinonya. Tukar mulut, supaya harga diri melebur. Cium, cium, dan cium. Donghyuck lupa dunia, Mark punya surga dan neraka di lidahnya.


“Renjun aku kalah. Yang dia tukar bukan mata uang, yang dia tukar itu ludah bercampur keringat, Renjun, aku dipukul saja. Harga diriku dikikis habis.”

Donghyuck itu raja malam, kalah sekali sudah pasti patah hati. Renjun, nggak akan terkejut lagi.

“Di sebelah sini, ya? Selanjutnya, tukar tubuh denganku, mau?”

Malam belum berakhir. Habis dipermalukan Mark di atas meja judi, Donghyuck persembahkan diri buat Renjun di dalam mobil.

Surga, neraka, keduanya.

[ selesai ]

Makanan baru sesuap masuk ke mulut, Resha sudah kalang kabut menyeret Dean buat ke motor. Anak itu mau protes tapi waut wajah Resha luar biasa kalut.

“Anter ke rumah gue,” katanya. Dean langsung lajukan motor, dia susur jalanan sepi jam dua belas malam dengan pegangan Resha yang melemah di tiap tarikan gas.

Nyawanya kosong.

“Ara!” panggilnya. Berteriak di dalam rumah tanpa ada sahutan kata. Dean yang hanya bisa berdiri, memang bisa apa? Dia cuma ikuti Resha yang panik mengelilingi tempatnya pernah bernaung.

“Dean bantu gue dobrak pintu kamarnya,” pintanya. Resha gulung lengan jaket, dia raba gagang pintu dan pastikan Ara nggak ada di belakang sana.

Dalam hitungan ketiga, pintu didobrak, Aravia tergeletak di ranjang.

. . .

“Adek lo nggak apa-apa?”

Dean cuma mampu tanyakan satu hal usai kejadian yang memacu adrenalinnya terjadi. Wajah pucat Resha yang memangku kepala Aravia jelas tunjukkan bahwa adam itu tengah gelisah dan panik setengah mampus.

“Enggak, adek gue sesak napasnya parah dari dulu, ini kenapa kamarnya kekunci gue enggak tau. Dean, Dean adek gue gimana? Dean adek gue yang cantik ini kenapa begini-

“Fahresha, tenang.”

-Dean .... “ Manik kecil memandang Dean penuh luka dan asa. Tangan yang tadi dingin perlahan diselimuti hangat yang kelewat nyaman.

“Apa yang cantik, layak dijaga seperti barang antik.”

Kalimat Dean, membawa sadar ke sudut hati paling kelam kepunyaan Fahresha. Perihal cantik, susah buat dimengerti.

Tw// Orientation Struggle**

.

Jadi Dean juga nggak pernah mudah. Dari lahir, orang tuanya tekankan kalau pangeran akan naik ke singgasana bersama permaisurinya.

Pikiran Dean sejalan dengan norma. Selintas dengan tata krama dan sehari dengan aturan dunia berjalan.

Dean cuma hidup sebagaimana mestinya. Tapi ketika Dean tahu kalau temannya ada di luar jalan raya, Dean mohon pada dirinya sendiri untuk tetap jadi manusia.

Dean mau simpan Aksara di hatinya, sebagai teman yang memang teman di matanya. Jangan ada kata norma, Aksara tetap pemuda yang layak dipandang hebat.

“Jangan sampai ketauan Mama Papa lo masih temenan sama Aksara. Ini berita udah sampai ke mana-mana, lo kalau masih mau utuh, diem aja ya dek. Bukannya abang ngehina atau apa-apa. Aksara cukup disimpan diem-diem,” katanya. Abang Sean menepuk pundak Dean dua kali, dia katakan kalimat menyenangkan supaya Dean nggak termakan beban.

Norma di pundaknya, sepuluh kali lebih berat ketika sadar kalau dunia bukan cuma buat manusia seperti dia.

“Bang,” panggilnya.

“Apa?”

“Salah ya, jadi seperti Aksara? Lahirnya orang, bukan perkara orientasi seksual aja, kan? Bang, kemarin Dean liat Aksa nangis sendirian di gang sempit. Nangis tersedu-sedu karena dunia nggak mau memayungi dia yang kehujanan.

Bang, kemarin Dean liat Panglima Jalanan kita jatuh tersungkur disandung semesta, Abang, Dean mau tau apa yang salah dari menjadi seorang Aksara.”

Dean punya banyak rasa dan frasa buat Aksara. Mau dia rajut asanya dan dia ukir namanya di mana-mana. Dean butuh jawaban karena rasa pertemanan lebih agung dari cinta manapun.

Dean cuma mau tahu kenapa Aksara yang selalu terlihat keren amat rapuh sore itu.

“Dean, dunia punya aturan. Punya normanya sendiri, kalau menyalahi kodrat, yang marah jelas seisi alam semesta.” Abang duduk di sebelah Dean, kalut yang dia sulut berusaha dia buat surut. Pancaran gelisah dan resah yang dia tangkap di retinanya, makin menyeruak seolah Dean tengah terjebak di labirin jarum.

“Jadi Aksara itu kesalahan?”

Abang langsung terdiam. Jantungnya berhenti berdetak buat sesekon.

“Enggak. Nggak ada yang bilang begitu, Aksaramu itu, ya Aksara.”

Dean cuma remaja enam belas tahun yang sedang bingung. Dia cuma pemuda yang terjebak antara norma dan rasa.

“Kalau Dean yang begitu, abang reaksi kaya gimana?”

“Dean.”

“Maaf.”

Fahresha adalah panggilan cepatnya; Pelarian paling singkat.

Tw// Orientation Struggle**

.

Jadi Dean juga nggak pernah mudah. Dari lahir, orang tuanya tekankan kalau pangeran akan naik ke singgasana bersama permaisurinya.

Pikiran Dean sejalan dengan norma. Selintas dengan tata krama dan sehari dengan aturan dunia berjalan.

Dean cuma hidup sebagaimana mestinya. Tapi ketika Dean tahu kalau temannya ada di luar jalan raya, Dean mohon pada dirinya sendiri untuk tetap jadi manusia.

Dean mau simpan Aksara di hatinya, sebagai teman yang memang teman di matanya. Jangan ada kata norma, Aksara tetap pemuda yang layak dipandang hebat.

“Jangan sampai ketauan Mama Papa lo masih temenan sama Aksara. Ini berita udah sampai ke mana-mana, lo kalau masih mau utuh, diem aja ya dek. Bukannya abang ngehina atau apa-apa. Aksara cukup disimpan diem-diem,” katanya. Abang Sean menepuk pundak Dean dua kali, dia katakan kalimat menyenangkan supaya Dean nggak termakan beban.

Norma di pundaknya, sepuluh kali lebih berat ketika sadar kalau dunia bukan cuma buat manusia seperti dia.

“Bang,” panggilnya.

“Apa?”

“Salah ya, jadi seperti Aksara? Lahirnya orang, bukan perkara orientasi seksual aja, kan? Bang, kemarin Dean liat Aksa nangis sendirian di gang sempit. Nangis tersedu-sedu karena dunia nggak mau memayungi dia yang kehujanan.

Bang, kemarin Dean liat Panglima Jalanan kita jatuh tersungkur disandung semesta, Abang, Dean mau tau apa yang salah dari menjadi seorang Aksara.”

Dean punya banyak rasa dan frasa buat Aksara. Mau dia rajut asanya dan dia ukir namanya di mana-mana. Dean butuh jawaban karena rasa pertemanan lebih agung dari cinta manapun.

Dean cuma mau tahu kenapa Aksara yang selalu terlihat keren amat rapuh sore itu.

“Dean, dunia punya aturan. Punya normanya sendiri, kalau menyalahi kodrat, yang marah jelas seisi alam semesta.” Abang duduk di sebelah Dean, kalut yang dia sulut berusaha dia buat surut. Pancaran gelisah dan resah yang dia tangkap di retinanya, makin menyeruak seolah Dean tengah terjebak di labirin jarum.

“Jadi Aksara itu kesalahan?”

Abang langsung terdiam. Jantungnya berhenti berdetak buat sesekon.

“Enggak. Nggak ada yang bilang begitu, Aksaramu itu, ya Aksara.”

Dean cuma remaja enam belas tahun yang sedang bingung. Dia cuma pemuda yang terjebak antara norma dan rasa.

“Kalau Dean yang begitu, abang reaksi kaya gimana?”

“Dean.”

“Maaf.”

Fahresha adalah panggilan cepatnya; Pelarian paling singkat.

Tw// Orientation Struggle**

.

Jadi Dean juga nggak pernah mudah. Dari lahir, orang tuanya tekankan kalau pangeran akan naik ke singgasana bersama permaisurinya.

Pikiran Dean sejalan dengan norma. Selintas dengan tata krama dan sehari dengan aturan dunia berjalan.

Dean cuma hidup sebagaimana mestinya. Tapi ketika Dean tahu kalau temannya ada di luar jalan raya, Dean mohon pada dirinya sendiri untuk tetap jadi manusia.

Dean mau simpan Aksara di hatinya, sebagai teman yang memang teman di matanya. Jangan ada kata norma, Aksara tetap pemuda yang layak dipandang hebat.

“Jangan sampai ketauan Mama Papa lo masih temenan sama Aksara. Ini berita udah sampai ke mana-mana, lo kalau masih mau utuh, diem aja ya dek. Bukannya abang ngehina atau apa-apa. Aksara cukup disimpan diem-diem,” katanya. Abang Sean menepuk pundak Dean dua kali, dia katakan kalimat menyenangkan supaya Dean nggak termakan beban.

Norma di pundaknya, sepuluh kali lebih berat ketika sadar kalau dunia bukan cuma buat manusia seperti dia.

“Bang,” panggilnya.

“Apa?”

“Salah ya, jadi seperti Aksara? Lahirnya orang, bukan perkara orientasi seksual aja, kan? Bang, kemarin Dean liat Aksa nangis sendirian di gang sempit. Nangis tersedu-sedu karena dunia nggak mau memayungi dia yang kehujanan.

Bang, kemarin Dean liat Panglima Jalanan kita jatuh tersungkur disandung semesta, Abang, Dean mau tau apa yang salah dari menjadi seorang Aksara.”

Dean punya banyak rasa dan frasa buat Aksara. Mau dia rajut asanya dan dia ukir namanya di mana-mana. Dean butuh jawaban karena rasa pertemanan lebih agung dari cinta manapun.

Dean cuma mau tahu kenapa Aksara yang selalu terlihat keren amat rapuh sore itu.

“Dean, dunia punya aturan. Punya normanya sendiri, kalau menyalahi kodrat, yang marah jelas seisi alam semesta.” Abang duduk di sebelah Dean, kalut yang dia sulut berusaha dia buat surut. Pancaran gelisah dan resah yang dia tangkap di retinanya, makin menyeruak seolah Dean tengah terjebak di labirin jarum.

“Jadi Aksara itu kesalahan?”

Abang langsung terdiam. Jantungnya berhenti berdetak buat sesekon.

“Enggak. Nggak ada yang bilang begitu, Aksaramu itu, ya Aksara.”

Dean cuma remaja enam belas tahun yang sedang bingung. Dia cuma pemuda yang terjebak antara norma dan rasa.

“Kalau Dean yang begitu, abang reaksi kaya gimana?”

“Dean.”

“Maaf.”

Fahresha adalah panggilan cepatnya; Pelarian paling singkat.

Tw// Orientation Struggle**

.

Jadi Dean juga nggak pernah mudah. Dari lahir, orang tuanya tekankan kalau pangeran akan naik ke singgasana bersama permaisurinya.

Pikiran Dean sejalan dengan norma. Selintas dengan tata krama dan sehari dengan aturan dunia berjalan.

Dean cuma hidup sebagaimana mestinya. Tapi ketika Dean tahu kalau temannya ada di luar jalan raya, Dean mohon pada dirinya sendiri untuk tetap jadi manusia.

Dean mau simpan Aksara di hatinya, sebagai teman yang memang teman di matanya. Jangan ada kata norma, Aksara tetap pemuda yang layak dipandang hebat.

“Jangan sampai ketauan Mama Papa lo masih temenan sama Aksara. Ini berita udah sampai ke mana-mana, lo kalau masih mau utuh, diem aja ya dek. Bukannya abang ngehina atau apa-apa. Aksara cukup disimpan diem-diem,” katanya. Abang Sean menepuk pundak Dean dua kali, dia katakan kalimat menyenangkan supaya Dean nggak termakan beban.

Norma di pundaknya, sepuluh kali lebih berat ketika sadar kalau dunia bukan cuma buat manusia seperti dia.

“Bang,” panggilnya.

“Apa?”

“Salah ya, jadi seperti Aksara? Lahirnya orang, bukan perkara orientasi seksual aja, kan? Bang, kemarin Dean liat Aksa nangis sendirian di gang sempit. Nangis tersedu-sedu karena dunia nggak mau memayungi dia yang kehujanan.

Bang, kemarin Dean liat Panglima Jalanan kita jatuh tersungkur disandung semesta, Abang, Dean mau tau apa yang salah dari menjadi seorang Aksara.”

Dean punya banyak rasa dan frasa buat Aksara. Mau dia rajut asanya dan dia ukir namanya di mana-mana. Dean butuh jawaban karena rasa pertemanan lebih agung dari cinta manapun.

Dean cuma mau tahu kenapa Aksara yang selalu terlihat keren amat rapuh sore itu.

“Dean, dunia punya aturan. Punya normanya sendiri, kalau menyalahi kodrat, yang marah jelas seisi alam semesta.” Abang duduk di sebelah Dean, kalut yang dia sulut berusaha dia buat surut. Pancaran gelisah dan resah yang dia tangkap di retinanya, makin menyeruak seolah Dean tengah terjebak di labirin jarum.

“Jadi Aksara itu kesalahan?”

Abang langsung terdiam. Jantungnya berhenti berdetak buat sesekon.

“Enggak. Nggak ada yang bilang begitu, Aksaramu itu, ya Aksara.”

Dean cuma remaja enam belas tahun yang sedang bingung. Dia cuma pemuda yang terjebak antara norma dan rasa.

“Kalau Dean yang begitu, abang reaksi kaya gimana?”

“Dean.”

“Maaf.”

Fahresha adalah panggilan cepatnya; Pelarian paling singkat.

Tw// Orientation Struggle

.

Jadi Dean juga nggak pernah mudah. Dari lahir, orang tuanya tekankan kalau pangeran akan naik ke singgasana bersama permaisurinya.

Pikiran Dean sejalan dengan norma. Selintas dengan tata krama dan sehari dengan aturan dunia berjalan.

Dean cuma hidup sebagaimana mestinya. Tapi ketika Dean tahu kalau temannya ada di luar jalan raya, Dean mohon pada dirinya sendiri untuk tetap jadi manusia.

Dean mau simpan Aksara di hatinya, sebagai teman yang memang teman di matanya. Jangan ada kata norma, Aksara tetap pemuda yang layak dipandang hebat.

“Jangan sampai ketauan Mama Papa lo masih temenan sama Aksara. Ini berita udah sampai ke mana-mana, lo kalau masih mau utuh, diem aja ya dek. Bukannya abang ngehina atau apa-apa. Aksara cukup disimpan diem-diem,” katanya. Abang Sean menepuk pundak Dean dua kali, dia katakan kalimat menyenangkan supaya Dean nggak termakan beban.

Norma di pundaknya, sepuluh kali lebih berat ketika sadar kalau dunia bukan cuma buat manusia seperti dia.

“Bang,” panggilnya.

“Apa?”

“Salah ya, jadi seperti Aksara? Lahirnya orang, bukan perkara orientasi seksual aja, kan? Bang, kemarin Dean liat Aksa nangis sendirian di gang sempit. Nangis tersedu-sedu karena dunia nggak mau memayungi dia yang kehujanan.

Bang, kemarin Dean liat Panglima Jalanan kita jatuh tersungkur disandung semesta, Abang, Dean mau tau apa yang salah dari menjadi seorang Aksara.”

Dean punya banyak rasa dan frasa buat Aksara. Mau dia rajut asanya dan dia ukir namanya di mana-mana. Dean butuh jawaban karena rasa pertemanan lebih agung dari cinta manapun.

Dean cuma mau tahu kenapa Aksara yang selalu terlihat keren amat rapuh sore itu.

“Dean, dunia punya aturan. Punya normanya sendiri, kalau menyalahi kodrat, yang marah jelas seisi alam semesta.” Abang duduk di sebelah Dean, kalut yang dia sulut berusaha dia buat surut. Pancaran gelisah dan resah yang dia tangkap di retinanya, makin menyeruak seolah Dean tengah terjebak di labirin jarum.

“Jadi Aksara itu kesalahan?”

Abang langsung terdiam. Jantungnya berhenti berdetak buat sesekon.

“Enggak. Nggak ada yang bilang begitu, Aksaramu itu, ya Aksara.”

Dean cuma remaja enam belas tahun yang sedang bingung. Dia cuma pemuda yang terjebak antara norma dan rasa.

“Kalau Dean yang begitu, abang reaksi kaya gimana?”

“Dean.”

“Maaf.”

Fahresha adalah panggilan cepatnya; Pelarian paling singkat.

Mark tumbuhkan bunga di hati karena Donghyuck tolak beri afeksi.

tags markhyuck, bxb, hanahaki disease, one sided love, mentioning death, slight angst (not heavy)


[ Mark akui dia itu bintang mati, sudah lepas dikemas resah dan bebas, tapi pijar dan suarnya masih silau di mata orang-orang.

Dan, Mark akui, Donghyuck punya mata yang kelewat kebal akan cahaya. Mau bersujud sampai tulang berserakan, Donghyuck tidak akan bagi cintanya buat Mark. ]

“Mark, kamar sebelah kenapa, ya? Berisik dari pagi. Aku takut mereka berantem?” Kamu tanya aku, aku harus tanya siapa, Donghyuck?

Waktu aku dengar kamu tanya banyak hal pada aku yang bukan apa-apa ini, aku belajar menyimpan kata lebih banyak dari yang aku punya sejak lahir ke dunia, aku belajar susun kata lebih rapi dari puisi-puisi berdebu di buku, aku belajar pilih diksi yang lebih cantik dari adorasi tanpa korelasi.

Aku belajar jadi sempurna seperti bintang tanpa konstelasi, semua aku lakukan cuma buat kamu.

“Nggak jadi, deh, aku tanya Jaemin saja. Oh, kamu mau titip makan? Aku mau pergi sama Jaemin sampai malam.”

Dan jawaban kamu atas semua usahaku, tetap sama. Na jaemin.

“Nggak, Hyuck. Aku mau pesan makan saja, kamu jangan lupa pakai jaket, udara dingin banget bulan ini, minta Jaemin peluk kamu sepanjang jalan!”

“Ah, apa, sih! Aku berangkat, ya!” kamu malu, aku tahu. Kamu cuma lemparkan tawa renyah sembari mendorong bahuku yang kelewat rapuh buat tangan halusmu. Aku relakan kamu melewati pintu, melangkah jauh menjemput cinta.

Aku relakan air sungai merendam aku sampai banjir, tanahku kelewat subur, bunga terlalu mekar sampai aku sesak nyaris mati. Buat kamu, Donghyuck, aku bangun sebuah taman pesakitan—

Bunganya banyak mekar, aku sekarat.

“Kamu sesak, hari ini sudah muntah berapa kelopak? Kamu mau mati? Tololmu bisa nggak, berhenti di sini?” Chenle suka mengoceh, dia buka pintu apartemenku dan Donghyuck, lalu masuk dengan wajah kelewat jengkel. Dia paksa aku gali kembali permakanan kelopak bunga yang aku simpan di kebun jendela.

Kamelia merah, persis hamparan rumput di tengah lapangan. Rimbun dan layu, karena Donghyuck nggak pernah mau beri aku sedikit cinta.

“Aku oke, cuma sesak sedikit, sudah minum obat, kok! Kenapa kamu marah-marah begitu? Ini masih pagi, Chenle.”

“Masih terlalu pagi buat muntah bunga. Masih terlalu pagi buat kamu mikir, Donghyuck itu suka kamu. Enggak, Kak Mark. Ayo operasi, kamu cuma bakal mati konyol kalau bertahan,” katanya. Menatap dalam aku yang sesak napas. Memberi aku pilihan hidup atau hilang arah.

Aku punya kebun bunga kamelia di dada, subur karena Donghyuck nggak akan pernah beri cintanya buatku, makin lama aku yakin, matiku karena taman bunga lebih subur tiap harinya.

“Cinta bertepuk sebelah tangan nggak seburuk itu, kok, Chenle. Aku suka dia kalau senyum dan cerita tentang Jaemin. Dia cantik kalau lagi bahagia.” Aku ini memang kelewat bebal, aku suka memuja Donghyuck dengan segala puji. Aku suka mengagungkan dia di mahligai setinggi anila, aku suka memewahkan dia seperti barang mahal mirip lazuardi.

Aku suka Donghyuck. Sangat suka walau dia nggak punya perasaan yang sama.

“Kamu pikir kamu ganteng kalau lagi sekarat? Kamu mikir nggak sih kalau hanahaki disease itu seberbahaya apa? Kamu punya pilihan buat angkat bunga-bunga itu, hidupmu lebih penting.

Donghyuck nggak akan pernah lihat kamu selain teman berbagi apartemen.”

Lumayan menohok. Kata demi kata yang Chenle berikan ke aku, sepenuhnya adalah fakta. Aku terlalu masokis karena terima semua sakit dengan lapang dada. Aku tahu Donghyuck nggak akan pernah peduli, tapi hatiku kelewat luas buat ditanami. Bunga aku ijinkan tumbuh, karena cintaku gagal lumpuh.

“Kamu nggak akan tahu, rasanya mencintai orang sampai kamu rela mati. Kamu nggak akan tahu, indahnya Donghyuck ada buat dikagumi, bukan dimiliki.”

Pada indurasmi, aku sering mengadu, tentang Donghyuck, tentang indahnya dia. Tentang cantiknya dia, tentang tampannya dia. Tentang dia yang serupa nirwana disemat nirmala.

Dadaku sesak dengan kamelia, bukan masalah kalau setiap pagi Donghyuck selalu tanyakan tidurku.

“Terserah. Ini makanan, ini obat, kalau kamu sekarat, ya, salahmu. Aku udah nggak mau peduli lagi!” serunya jengkel.

“Iya makasih, ya, Chenle?”

Anak baik, sayang harus mengurusi aku yang bebal dan terlanjur dimonopoli cinta.


Mark tahu ada yang tidak beres dengan hidupnya. Tiap dia baitkan puisi cinta buat Donghyuck, hatinya memanas. Tiap dia puisikan sajak buat Donghyuck, napasnya memendek. Tiap dia yakinkan kalau cinta memang bersemi buat Donghyuck seorang—

Mark dapat jawaban. Cintanya bertepuk sebelah tangan, lalu dadanya digerogoti sesuatu yang menyesakkan. Ketika Mark tanya kenapa, dokter bilang, dadanya penuh bunga karena cintanya tidak pernah terbalaskan.


“Mark, kamu sakit? Aku lihat banyak bungkusan obat, kamu juga akhir-akhir ini sulit napas?” Donghyuck belum pernah tanya kabar kesehatanku. Sore ini dia pulang dengan segelas cokelat panas, dia beri aku, dia usap rambutku.

Donghyuck peduli. Tapi peduli, nggak berarti cinta.

Sial, rasanya sesak dan makin sakit tiap napas ditarik, fakta yang muncul kalau Donghyuck cuma peduli bukan suka, semakin menyadarkan aku, kalau aku ini memang siap mati ditanami bunga. Rasanya, tenggorokanku jadi wangi dan kelopak bunga sudah kelewat layu di sana.

“Aku oke, itu buatku, kan?”

“Iya buatmu. Sini, mau aku lap badanmu pakai air hangat, nggak? Aku batal keluar sama Jaemin, biar aku urus kamu, ya?” katanya. Ponsel ditaruh, syal disimpan. Dia sampirkan mantel ke gantungan pintu, dia hampiri aku yang tanpa tenaga menahan kelopak bunga keluar dari mulutku.

Ini makin berantakan, aku takut Donghyuck tahu aku penyakitan. Aku takut, Donghyuck tahu aku ini tukang kebun di hati sendiri. Konyol.

“Dari kapan kamu begini?”

Sejak aku sadar, aku suka kamu tapi kamu nggak punya perasaan yang sama.

“Kenapa bisa sampai gini, sih?”

Karena kamu tolak rasaku. Kamu simpan frasaku dan nggak mau bagi afeksimu. Aku ini fakir cinta, miskin rasa, pengemis afeksi. Tapi kamu, tolak semua yang aku mau.

“Siapa yang mau jaga kamu kalau nanti aku tinggal nikah, huh? Ngurus diri sendiri aja kesusahan, kamu jangan sakit-sakit, ah.”

Donghyuck cuma jelaskan dua kalimat, tapi rasanya mau kiamat. Merah muda kamelia, sepenuhnya jadi merah pekat dan aku buang lewat hembusan napas. Hati rasanya sudah kelewat sempit buat ditanami bunga. Donghyuck, aku mau menyerah saja, bisa?

“Kamu mau ninggalin aku nikah, ya?” tanyaku lewat suara yang mengais harapan di ujung jembatan. Samar dan ambigu mirip rinai hujan yang diderai malam-malam tanpa bintang.

Tapi kamu diam. Kamu genggam tanganku yang dingin, kamu sematkan senyum tipis karena paham kalau aku sudah ada di batas.

“Undangannya sudah jadi, besok mau disebar. Kamu nggak apa-apa hidup sendiri? Nggak ada aku yang masakin kamu, bangunin kamu, sama ngurus kamu kalau sakit.

Kamu sendirian, aku tinggal, apa kabar?”

Mati. Aku mati, Donghyuck. Dadaku sudah nggak berbentuk lagi karena tiap kalimat penolakan kamu, seperti menyirami tanah supaya makin subur. Aku nggak mengerti sejak kapan aku punya kamelia yang mekar di hati tiap sadar kalau cintamu buatku nol eksistensi.

Tapi, siapa aku buat menahan kamu berbahagia? Aku tahu Jaemin kelewat sempurna buat kamu yang memang anindita. Mengorbankan diri, lebih berat dari mempersiapkan peti mati.

Kalau aku sang adorasi, aku juga si persistensi. Donghyuck, tolong hati-hati.

“Aku oke, kamu nggak perlu khawatir begitu, duh? Aku ini laki-laki keren. Kamu kalau mau menikah, tolong ajak aku buat berfoto, ya! Anakmu harus tau sekeren apa pamannya ini.” Donghyuck tertawa. Dia reflesikan keindahan semu tapi abadi. Donghyuck kekal dalam ingatan walau semakin lama terhapuskan kelopak kamelia—tiap hari menuntut mau keluar karena cinta gugur lebih cepat dari perkiraan.

Donghyuck, kalau aku menyerah, tolong kubur semua harapan dan kelopak kamelia merah di kebun belakang.

Aku mau kamu ingat pernah berjuang; buat cinta yang nggak pernah terbalaskan.

“Kamu laki-laki paling keren, Mark, seandainya kita berjodoh, aku mau kamu buat jadi langit dari aku yang kecil.”

Dan aku gagal menetapkan hati. cuma disentuh frasa singkat dan sederhana—kamu beri lagi aku harapan ketika aku putuskan aku siap mati.


Mark adalah pemupuk persistensi. Dia tidak kenal kata menyerah, dia gigih memupuk cinta dan patah hati. Dia kukuh tanamkan cinta di sebelah hamparan bunga kamelia di dadanya. Dia tekun gemakan doa agar diberi afeksi ketika yang dia punya cuma sakit hati.

Terus menerus, Mark beri rasa pada Donghyuck yang kenal Mark sebagai teman habiskan umur di apartemen.

Tapi menyerah, pernah jadi nama tengahnya. Dibanding mati membawa keluh kesah dan cinta, Mark lebih rela tetap bernapas di sebelah Donghyuck dengan lupa pada semua rasa.

Donghyuck indah kalau bahagia, Mark masih mau lihat sampai dunia berhenti berputar.

“Kamu yakin? Seingatku kamu keras kepala sama bebal nggak mau operasi. Kamu cinta mati sampai rela-rela saja sakit karena bunga-bunga itu tumbuh makin liar. Kamu serius mau ini? Kamu bakal lupa kalau kamu cinta sama Donghyuck. Semuanya hilang bersamaan sama taman bunga kamu yang dicabut,” kata Chenle.

Pagi ini aku menangisi Donghyuck lagi. Aku pernah berjanji buat selesai jadi pesimis dan jadi laki-laki lemah yang mudah putus asa. Aku kelewat sesak karena sakit sudah nggak terbendung lagi. Bunga kamelia tumbuh makin liar karena aku semakin paham kalau Donghyuck nggak suka padaku.

Ini bukan cinta satu sisi lagi, ini sudah jadi berita duka paling menyedihkan.

“Muntah bunga udah makin menjijikkan buat aku. Dia mau menikah, Chenle. Aku masih mau lihat dia bahagia sampai akhir hayat; walau resiko aku lupa semua rasa, aku masih ada di sisinya juga cukup.”

“Hatimu itu terbuat dari apa, sih, kak Mark?”

“Dari bunga. Aku ini kamelia merah yang gugur setiap cinta ditolak.”


Mark pernah jadi Si Persistensi, dia Sang Adorasi. Dia mohon diberi afeksi tapi Donghyuck jelas tolak semua rasanya. Ketika menyerah jadi pilihan, di altar ada Donghyuck yang berdiri penuh tanya.

“Hatimu jauh lebih dingin, kamu tetap Mark punyaku yang dulu, kan?” Donghyuck tanya begitu. Mark yang buta keadaan dan lupa perasaan cuma layangkan wajah bertanya;

“Loh, kamu kan punya Jaemin? Aku mau kamu berbahagia saja.”

Kamelia merah layu lebih parah. Mark relakan cinta, dia juga relakan segalanya. Mencintai sendirian belum pernah setragis ini.

[ selesai; dibuat untuk @/wintsoul ]

Rangkuman Diksi Adorasi: Pengorbanan Anila: Angin Anindita: Sempurna Indurasmi: Sinar rembulan Korelasi: Hubungan Timbal Balik Lazuardi: permata berwarna biru kemerahan, warna biru muda langit. Mahligai: istana Nirmala: Tanpa cacat, Suci Nirwana: surga Persistensi: Gigih, Kukuh, Tekun, Terus menerus