Mark tumbuhkan bunga di hati karena Donghyuck tolak beri afeksi.
tags markhyuck, bxb, hanahaki disease, one sided love, mentioning death, slight angst (not heavy)
[ Mark akui dia itu bintang mati, sudah lepas dikemas resah dan bebas, tapi pijar dan suarnya masih silau di mata orang-orang.
Dan, Mark akui, Donghyuck punya mata yang kelewat kebal akan cahaya. Mau bersujud sampai tulang berserakan, Donghyuck tidak akan bagi cintanya buat Mark. ]
“Mark, kamar sebelah kenapa, ya? Berisik dari pagi. Aku takut mereka berantem?” Kamu tanya aku, aku harus tanya siapa, Donghyuck?
Waktu aku dengar kamu tanya banyak hal pada aku yang bukan apa-apa ini, aku belajar menyimpan kata lebih banyak dari yang aku punya sejak lahir ke dunia, aku belajar susun kata lebih rapi dari puisi-puisi berdebu di buku, aku belajar pilih diksi yang lebih cantik dari adorasi tanpa korelasi.
Aku belajar jadi sempurna seperti bintang tanpa konstelasi, semua aku lakukan cuma buat kamu.
“Nggak jadi, deh, aku tanya Jaemin saja. Oh, kamu mau titip makan? Aku mau pergi sama Jaemin sampai malam.”
Dan jawaban kamu atas semua usahaku, tetap sama. Na jaemin.
“Nggak, Hyuck. Aku mau pesan makan saja, kamu jangan lupa pakai jaket, udara dingin banget bulan ini, minta Jaemin peluk kamu sepanjang jalan!”
“Ah, apa, sih! Aku berangkat, ya!” kamu malu, aku tahu. Kamu cuma lemparkan tawa renyah sembari mendorong bahuku yang kelewat rapuh buat tangan halusmu. Aku relakan kamu melewati pintu, melangkah jauh menjemput cinta.
Aku relakan air sungai merendam aku sampai banjir, tanahku kelewat subur, bunga terlalu mekar sampai aku sesak nyaris mati. Buat kamu, Donghyuck, aku bangun sebuah taman pesakitan—
Bunganya banyak mekar, aku sekarat.
“Kamu sesak, hari ini sudah muntah berapa kelopak? Kamu mau mati? Tololmu bisa nggak, berhenti di sini?” Chenle suka mengoceh, dia buka pintu apartemenku dan Donghyuck, lalu masuk dengan wajah kelewat jengkel. Dia paksa aku gali kembali permakanan kelopak bunga yang aku simpan di kebun jendela.
Kamelia merah, persis hamparan rumput di tengah lapangan. Rimbun dan layu, karena Donghyuck nggak pernah mau beri aku sedikit cinta.
“Aku oke, cuma sesak sedikit, sudah minum obat, kok! Kenapa kamu marah-marah begitu? Ini masih pagi, Chenle.”
“Masih terlalu pagi buat muntah bunga. Masih terlalu pagi buat kamu mikir, Donghyuck itu suka kamu. Enggak, Kak Mark. Ayo operasi, kamu cuma bakal mati konyol kalau bertahan,” katanya. Menatap dalam aku yang sesak napas. Memberi aku pilihan hidup atau hilang arah.
Aku punya kebun bunga kamelia di dada, subur karena Donghyuck nggak akan pernah beri cintanya buatku, makin lama aku yakin, matiku karena taman bunga lebih subur tiap harinya.
“Cinta bertepuk sebelah tangan nggak seburuk itu, kok, Chenle. Aku suka dia kalau senyum dan cerita tentang Jaemin. Dia cantik kalau lagi bahagia.” Aku ini memang kelewat bebal, aku suka memuja Donghyuck dengan segala puji. Aku suka mengagungkan dia di mahligai setinggi anila, aku suka memewahkan dia seperti barang mahal mirip lazuardi.
Aku suka Donghyuck. Sangat suka walau dia nggak punya perasaan yang sama.
“Kamu pikir kamu ganteng kalau lagi sekarat? Kamu mikir nggak sih kalau hanahaki disease itu seberbahaya apa? Kamu punya pilihan buat angkat bunga-bunga itu, hidupmu lebih penting.
Donghyuck nggak akan pernah lihat kamu selain teman berbagi apartemen.”
Lumayan menohok. Kata demi kata yang Chenle berikan ke aku, sepenuhnya adalah fakta. Aku terlalu masokis karena terima semua sakit dengan lapang dada. Aku tahu Donghyuck nggak akan pernah peduli, tapi hatiku kelewat luas buat ditanami. Bunga aku ijinkan tumbuh, karena cintaku gagal lumpuh.
“Kamu nggak akan tahu, rasanya mencintai orang sampai kamu rela mati. Kamu nggak akan tahu, indahnya Donghyuck ada buat dikagumi, bukan dimiliki.”
Pada indurasmi, aku sering mengadu, tentang Donghyuck, tentang indahnya dia. Tentang cantiknya dia, tentang tampannya dia. Tentang dia yang serupa nirwana disemat nirmala.
Dadaku sesak dengan kamelia, bukan masalah kalau setiap pagi Donghyuck selalu tanyakan tidurku.
“Terserah. Ini makanan, ini obat, kalau kamu sekarat, ya, salahmu. Aku udah nggak mau peduli lagi!” serunya jengkel.
“Iya makasih, ya, Chenle?”
Anak baik, sayang harus mengurusi aku yang bebal dan terlanjur dimonopoli cinta.
Mark tahu ada yang tidak beres dengan hidupnya. Tiap dia baitkan puisi cinta buat Donghyuck, hatinya memanas. Tiap dia puisikan sajak buat Donghyuck, napasnya memendek. Tiap dia yakinkan kalau cinta memang bersemi buat Donghyuck seorang—
Mark dapat jawaban. Cintanya bertepuk sebelah tangan, lalu dadanya digerogoti sesuatu yang menyesakkan. Ketika Mark tanya kenapa, dokter bilang, dadanya penuh bunga karena cintanya tidak pernah terbalaskan.
“Mark, kamu sakit? Aku lihat banyak bungkusan obat, kamu juga akhir-akhir ini sulit napas?” Donghyuck belum pernah tanya kabar kesehatanku. Sore ini dia pulang dengan segelas cokelat panas, dia beri aku, dia usap rambutku.
Donghyuck peduli. Tapi peduli, nggak berarti cinta.
Sial, rasanya sesak dan makin sakit tiap napas ditarik, fakta yang muncul kalau Donghyuck cuma peduli bukan suka, semakin menyadarkan aku, kalau aku ini memang siap mati ditanami bunga. Rasanya, tenggorokanku jadi wangi dan kelopak bunga sudah kelewat layu di sana.
“Aku oke, itu buatku, kan?”
“Iya buatmu. Sini, mau aku lap badanmu pakai air hangat, nggak? Aku batal keluar sama Jaemin, biar aku urus kamu, ya?” katanya. Ponsel ditaruh, syal disimpan. Dia sampirkan mantel ke gantungan pintu, dia hampiri aku yang tanpa tenaga menahan kelopak bunga keluar dari mulutku.
Ini makin berantakan, aku takut Donghyuck tahu aku penyakitan. Aku takut, Donghyuck tahu aku ini tukang kebun di hati sendiri. Konyol.
“Dari kapan kamu begini?”
Sejak aku sadar, aku suka kamu tapi kamu nggak punya perasaan yang sama.
“Kenapa bisa sampai gini, sih?”
Karena kamu tolak rasaku. Kamu simpan frasaku dan nggak mau bagi afeksimu. Aku ini fakir cinta, miskin rasa, pengemis afeksi. Tapi kamu, tolak semua yang aku mau.
“Siapa yang mau jaga kamu kalau nanti aku tinggal nikah, huh? Ngurus diri sendiri aja kesusahan, kamu jangan sakit-sakit, ah.”
Donghyuck cuma jelaskan dua kalimat, tapi rasanya mau kiamat. Merah muda kamelia, sepenuhnya jadi merah pekat dan aku buang lewat hembusan napas. Hati rasanya sudah kelewat sempit buat ditanami bunga. Donghyuck, aku mau menyerah saja, bisa?
“Kamu mau ninggalin aku nikah, ya?” tanyaku lewat suara yang mengais harapan di ujung jembatan. Samar dan ambigu mirip rinai hujan yang diderai malam-malam tanpa bintang.
Tapi kamu diam. Kamu genggam tanganku yang dingin, kamu sematkan senyum tipis karena paham kalau aku sudah ada di batas.
“Undangannya sudah jadi, besok mau disebar. Kamu nggak apa-apa hidup sendiri? Nggak ada aku yang masakin kamu, bangunin kamu, sama ngurus kamu kalau sakit.
Kamu sendirian, aku tinggal, apa kabar?”
Mati. Aku mati, Donghyuck. Dadaku sudah nggak berbentuk lagi karena tiap kalimat penolakan kamu, seperti menyirami tanah supaya makin subur. Aku nggak mengerti sejak kapan aku punya kamelia yang mekar di hati tiap sadar kalau cintamu buatku nol eksistensi.
Tapi, siapa aku buat menahan kamu berbahagia? Aku tahu Jaemin kelewat sempurna buat kamu yang memang anindita. Mengorbankan diri, lebih berat dari mempersiapkan peti mati.
Kalau aku sang adorasi, aku juga si persistensi. Donghyuck, tolong hati-hati.
“Aku oke, kamu nggak perlu khawatir begitu, duh? Aku ini laki-laki keren. Kamu kalau mau menikah, tolong ajak aku buat berfoto, ya! Anakmu harus tau sekeren apa pamannya ini.” Donghyuck tertawa. Dia reflesikan keindahan semu tapi abadi. Donghyuck kekal dalam ingatan walau semakin lama terhapuskan kelopak kamelia—tiap hari menuntut mau keluar karena cinta gugur lebih cepat dari perkiraan.
Donghyuck, kalau aku menyerah, tolong kubur semua harapan dan kelopak kamelia merah di kebun belakang.
Aku mau kamu ingat pernah berjuang; buat cinta yang nggak pernah terbalaskan.
“Kamu laki-laki paling keren, Mark, seandainya kita berjodoh, aku mau kamu buat jadi langit dari aku yang kecil.”
Dan aku gagal menetapkan hati. cuma disentuh frasa singkat dan sederhana—kamu beri lagi aku harapan ketika aku putuskan aku siap mati.
Mark adalah pemupuk persistensi. Dia tidak kenal kata menyerah, dia gigih memupuk cinta dan patah hati. Dia kukuh tanamkan cinta di sebelah hamparan bunga kamelia di dadanya. Dia tekun gemakan doa agar diberi afeksi ketika yang dia punya cuma sakit hati.
Terus menerus, Mark beri rasa pada Donghyuck yang kenal Mark sebagai teman habiskan umur di apartemen.
Tapi menyerah, pernah jadi nama tengahnya. Dibanding mati membawa keluh kesah dan cinta, Mark lebih rela tetap bernapas di sebelah Donghyuck dengan lupa pada semua rasa.
Donghyuck indah kalau bahagia, Mark masih mau lihat sampai dunia berhenti berputar.
“Kamu yakin? Seingatku kamu keras kepala sama bebal nggak mau operasi. Kamu cinta mati sampai rela-rela saja sakit karena bunga-bunga itu tumbuh makin liar. Kamu serius mau ini? Kamu bakal lupa kalau kamu cinta sama Donghyuck. Semuanya hilang bersamaan sama taman bunga kamu yang dicabut,” kata Chenle.
Pagi ini aku menangisi Donghyuck lagi. Aku pernah berjanji buat selesai jadi pesimis dan jadi laki-laki lemah yang mudah putus asa. Aku kelewat sesak karena sakit sudah nggak terbendung lagi. Bunga kamelia tumbuh makin liar karena aku semakin paham kalau Donghyuck nggak suka padaku.
Ini bukan cinta satu sisi lagi, ini sudah jadi berita duka paling menyedihkan.
“Muntah bunga udah makin menjijikkan buat aku. Dia mau menikah, Chenle. Aku masih mau lihat dia bahagia sampai akhir hayat; walau resiko aku lupa semua rasa, aku masih ada di sisinya juga cukup.”
“Hatimu itu terbuat dari apa, sih, kak Mark?”
“Dari bunga. Aku ini kamelia merah yang gugur setiap cinta ditolak.”
Mark pernah jadi Si Persistensi, dia Sang Adorasi. Dia mohon diberi afeksi tapi Donghyuck jelas tolak semua rasanya. Ketika menyerah jadi pilihan, di altar ada Donghyuck yang berdiri penuh tanya.
“Hatimu jauh lebih dingin, kamu tetap Mark punyaku yang dulu, kan?” Donghyuck tanya begitu. Mark yang buta keadaan dan lupa perasaan cuma layangkan wajah bertanya;
“Loh, kamu kan punya Jaemin? Aku mau kamu berbahagia saja.”
Kamelia merah layu lebih parah. Mark relakan cinta, dia juga relakan segalanya. Mencintai sendirian belum pernah setragis ini.
[ selesai; dibuat untuk @/wintsoul ]
Rangkuman Diksi
Adorasi: Pengorbanan
Anila: Angin
Anindita: Sempurna
Indurasmi: Sinar rembulan
Korelasi: Hubungan Timbal Balik
Lazuardi: permata berwarna biru kemerahan, warna biru muda langit.
Mahligai: istana
Nirmala: Tanpa cacat, Suci
Nirwana: surga
Persistensi: Gigih, Kukuh, Tekun, Terus menerus