tw // mentions of death, violence, human trafficking, blood, and profanities
Disclaimer: tidak ada hubungan dengan sejarah manapun, murni karya fiksi, era victoria hanya sebagai latar, bukan fiksi historial, bxb
Haechan as Harben Becker, Doyoung as Daniel, Johnny as Johnny Schneide.
Pelayaran 1840. Dari Jerman menuju Britania Raya, remaja sembilan belas tahun terombang-ambing di atas perahu kapal, sendirian dipeluk gelap dari sempitnya gudang penyimpanan barang. Peti kemas besar yang beratnya nggak lebih dari beban hidup, bahu Harben jelas lebih kokoh dari kapal ini.
Penyelundupan manusia, anak remaja korban egoisnya orang berkasta, Harben bahkan nggak bisa deskripsikan perjalanan hidupnya. Petinnggi-petinggi kaya raya ini jelas akan tukarkan banyak harta ke Inggris lewat perdagangan, tapi kenapa remaja jerman sepertinya harus diselundupkan petinggi kapal dagang dalam himpitan peti kemas di atas kapal?
Nggak tahu, Harben cuma butuh pegangan hidup.
“Kamu diam di sini, Muttermu sudah setuju untuk menjual kamu padaku, sekarang aku mau jual kamu pada bangsawan Britania Raya. Kerja yang benar, jangan sampai ketahuan kalau aku membawa bocah nggak berguna seperti kamu ke kapal elit ini,” katanya. Herr Müller, begitu Harben memanggilnya. Orang sinting yang menyeretnya dari rumah kecil di pinggiran kota.
Harben mau muntahkan serapah dan caci maki, tapi siapa dia di hadapan sepatu petinggi kapal dagang elit? Frederick punya darah bangsawan di nadinya.
“Ya, Sir.” Frederick Müller lantas berbalik, dia tinggalkan gema mengerikan dari hentakan sepatu di gudang pengap bau dosa. Cahaya diblokade, pintu ditendang dari luar seolah menghina eksistensinya yang total tanpa guna.
Harben masih remaja sembilan belas tahun yang mau hidup bebas, terbang di atas laut seperti burung camar. Dia nggak mau bernasib sama dengan teman sebayanya yang lebih dulu kecap pahitnya perlakuan semena-mena. Warna hitam di balik perdagangan yang dikemas apik.
Harben muak, dia mau lepas.
“Oh, aku mau tau, rayleigh scattering itu benar adanya atau cuma bualan belaka,” bisiknya pada bayangan samar. Pada dia yang sendirian, pada dia yang kesepian. Dia cuma mau tahu, kenapa langit bisa berwarna biru—
Sedang dia berjuang dengan sendu, warnanya nggak lebih terang dari gelap.
“Jangan tegang begitu,” kata Daniel. Awak kapal yang dekat dengan Kapten kapal bernama Johnny, nahkoda kapal senjata yang biasa putar haluan buat mengecoh sorot silau dari banyak mercusuar—atau mungkin cuma Menara dari Pelabuhan Maunsell.
“Ada orang sinting yang menyelundupkan bocah di kapalku. Kamu pikir aku harus bersikap apa?” katanya sinis. Kemudi dilepas, deck terasa lebih dingin di kabin kapal yang dipenuhi aura tegang.
“Lagi?” tanya Daniel. Dia nggak merasa asing dengan penyelundupan nakal dari onknum di kapal perdagangan, masalah adalah pada atasan yang seolah tutup mulut. Saling lempar peluru dan hunusan pedang bukan hal baru buat bertahan di atas kapal.
Kapten nggak akan biarkan kapalnya lebih kotor dengan transaksi ilegal, dan Daniel lebih tabu buat dengar berita pemburuan kaptennya.
“Kapten, jangan gila. Petinggi bisa menembak kamu di kepala buat semua rencana busukmu itu. Pura-pura tuli lagi, nggak bisa? Mereka sungguhan akan kejar kamu sampai ujung samudra kalau sampai mengadu.”
“Oh, aku masih punya sedikit kemanusiaan buat nggak membiarkan remaja kecil dijual ke Bangsawan Britania Raya secara ilegal oleh tikus tanah murahan. Dibanding mengoceh, lebih baik kamu di kabin.”
“Kapten brengsek!” maki Daniel. Biar begitu, dia tetap kendalikan kapal besar penuh muatan ini menuju Pelabuhan Maunsell. Dia panjatkan doa buat keteguhan hati kaptennya yang sekeras batu. Ada nyawa yang siap ditembus peluru, ada banyak duka yang siap disongsong lagu sendu.
“Dan kenapa aku mau membuang nyawa buat belas kasihan? Lucu,” bisiknya. Penuh duka, penuh doa. Kapten Johnny turun ke gudang penyimpanan, asisten Daniel doakan semuanya.
“Harben Becker,” panggil sebuah suara. Suara tegas yang lugas, lebih tenang dari ombak laut, lebih dalam dari palung surut.
“Ya … Sir?” Dari pada menyahut, Johnny lebih setuju itu disebut mencicit. Terlalu kecil dan sempit, gema sepatu bootsnya jauh lebih besar dari rintihan si remaja kecil.
“Oh, Becker, bisa pukul sesuatu? Aku mau tau kamu di mana.”
“Siapa?”
“Johnny Schneide, nahkoda kapal ini. Kaptenmu.”
Buat kalimat pendek barusan, Johnny bisa dengar ketukan besi lemah dari selatan. Ketukan kecil sarat ketakutan. Dia ikuti irama berantakan pada sudut terpencil yang terhimpit peti kemas raksasa. Di pojok, meringkuk Becker muda dalam takut dan gemetarnya.
Johnny nggak bisa terima rasa amarah dan kecewanya. Dia ingat anak ini, anak yang tangannya dengan takut pernah menggosok sepatunya sampai bersih mengkilap. Oh, Sudah tumbuh jadi remaja tampan. Tapi besar di gudang asing penuh senjata dan barang berdosa.
“Hormat saya buat kapten,” bisiknya lirih. Ringkukan pada lutut lemas yang jatuhnya tanpa tenaga, binar redup yang cerahnya kurang dari semesta. Kapten nggak terima, hatinya membara.
“Sudah makan?” Tanpa jawaban, dia rogoh saku baju nahkodanya, mencari bungkusan roti daging panggang. Tanpa kenal kasta, Johnny duduk di deck kapal berdebu yang usang. Dia pandangi wajah Harben yang muram.
“Ayo makan, bilang padaku, bajingan mana yang menyeretmu kemari? Mana Muttermu? Bukannya kamu ada di jalanan buat mengelap bersih sepatu manusia sibuk di Jerman?” Rentetan kalimat panjang, suapan roti daging, juga sisiran kusut pada rambut cokelat Harben.
“Saya dijual.” Dan jawaban Harben nggak lebih panjang dari perjalanan kapal ini menyusuri lautan, tapi cukup mendobrak rasa sabar Kapten Johnny yang batasnya setipis benang tenun.
“Brengsek satu itu. Namanya?”
“Sir … Müller.”
Kapten terperosok dalam jurang gelap, emosinya meluap. Tikus got ada di kapalnya, dia marah. Nggak, nggak ada perlakuan kotor buat remaja baik hati yang dia kenal, nggak di atas kapalnya yang sudah kotor.
“Harben, dengar aku. Pagi nanti kita tiba di Pelabuhan. Tapi malam ini, jangan pejamkan mata, cukup dengar aku bercerita. Bisa? Jangan terpejam, jangan tidur,” katanya. Tangan dingin milik Harben digenggam pelan. Pintu makin tertutup dan Harben khawatir kalau mereka terkunci di sini.
Herr Müller bisa saja memergoki dia, oh, kapten bisa ditembak petinggi kapal dagang yang nakal jika ketahuan membantunya, orang-orang busuk itu jelas lebih pertahankan posisi dibanding sisi manusiawi, dia bisa dibunuh dengan keji di sini. Apa lebih baik dari membusuk di Britania Raya?
Nggak. Keduanya sama suram, dan Harben mau dia dan kapten selamat. Setidaknya dia mau lihat langit biru di atas laut, apa benar karena rayleigh scattering atau cuma dongeng murah bibi di pasar.
“Sir, Kapten,” panggilnya lirih. Roti sudah habis, air ditenggak tak bersisa. Kepala beratnya disandarkan pada bahu tegap Johnny.
“Ya?”
“Ceritakan tentang burung camar. Terbang di atas laut, saya mau dengar tentang birunya langit,” jelas Harben. Wajah dekil yang kotor karena debu juga derita, Johnny usap supaya lebih bersih dan cerah. Blokade cahaya masih jadi halangan, tapi bukan berarti suara dan tawa Harben kalah atraktif.
Kapten kapal pernah jatuh cinta, remaja sembilan belas tahun yang mengelap bersih sepatunya waktu itu, kini dia pangku bebannya.
“Burung camar? Mereka gemar terbang bebas, menggagahi laut, merekam laut dari udara. Birunya langit? Kamu pernah dengar perihal rayleigh scattering?” Harben menggeleng lemah, kapten tertawa renyah.
Oh, gudang mendadak cerah. Peti kemas seketika jadi padang rumput banyak hijau.
“Pernah. Saya penasaran.”
“Birunya langit, jelas nggak sejernih matamu yang bersih. Harben, sekarang boleh tidur yang nyenyak.” Usapan terakhir di surai cokelat yang kusut. Baju lusuh dibasuh keringatnya kini dibungkus baju nahkoda kapal dagang. Kapten tutup pintu gudang, dia menyelinap di gelapnya malam, menyusup pada mata-mata lengah di sepanjang kabin.
“Kapten-“
“Shush. Daniel, dengar. Aku tulis sebuah surat, kamu kirim pada Harben di gudang penyimpanan. Pagi ini kita tiba di Pelabuhan Maunsell, waktu peti kemas diturunkan, aku mau kamu lari ke utara. Peti kemas warna merah, dua blok dari utara. Beri surat ini pada Harben.”
Daniel hela napas paling berat yang pernah dia punya. Dia tatap bulan setengah yang seakan menghina pendosa seperti dia. Memberi waktu buat Kapten menulis surat dalam sunyi.
Dia tahu ke mana ini berakhir. Pemakaman, katedral, atau bahkan laut lepas; sama saja. Kapten suka bercanda, Daniel berduka.
“Kapten! Sir, Dry Dock! Dry Dock! Bagaimana?!” Ah, sudah dimulai. Surat diselipkan dari jabatan tangan keduanya, awak kapal rusuh berteriak. Daniel menatap Johnny tanpa arti, lagi-lagi hela napas jadi jawaban.
“Aku repotkan, ya?”
“Setiap hari. Dasar cari mati,” katanya. Kemudi diambil alih, Daniel pejamkan mata, Dry Dock buatan, tenggelamnya kapal senjata Jerman malam ini mungkin akan bersejarah.
“Kapten mau ke mana? Kita harus tarik kapal ke Pelabuhan Maunsell malam ini juga!” Frederick memekik dari geladak depan, tapak sepatunya ribut. Johnny nggak tertarik buat mendengar tikus got itu protes.
“Mau ke Pelabuhan, kamu pikir kita harus apa selain menarik paksa kapal tua ini ke Maunsell?” jawabnya acuh.
“Dengan apa?”
“Tender. Daniel ada di sini, nggak perlu syok begitu. Kamu mau mati tenggelam?” Johnny berkata tajam, menyenggol ego petinggi kapal dagang yang digantung tinggi-tinggi, tapi kapten seperti dia nggak kenal yang namanya takut mati.
Mati adalah kawan, Johnny ingat.
“Terserah! Dry Dock sialan, ada-ada saja!”
Johnny acuh pada geraman benci Frederick di belakang, dia berlari kencang bak pemacu kuda. Kapal krisis, berantakan dan kacau. Dry Dock buatannya membuyarkan malam sepi—
Kabur. Johnny mau kabur dengan remaja Jermannya.
“Harben, begitu bangun, lari ke arah utara. Ke tempat peti kemas warna merah, dua blok dari dermaga. Lari, jangan pernah menoleh ke belakang.” Bisikan samar Johnny dia dengar samar, Harben paham kalau dia tengah melayang, digendong seorang kapal menuju tender, kapal darurat untuk menyusuri lautan dan memecah ombak.
“Kita mau ke mana, Sir?”
“Pelabuhan Maunsell. Lebih cepat dari biadap yang menjualmu.” Satu kalimat, Harben nggak menjawab. Lelahnya makin bertambah, biru langit diganti gelap malam menuju pagi buta, dia tidur diselimuti awan mendung, dia pergi di antara Tender yang dikemudikan Kapten Kapal Dagang.
Pelarian, nggak pernah berakhir menyenangkan.
“Uangku, uangku bisa mati tenggelam.” Frederick berlari tunggang langgang, susuri deck kapal dan turun menuju gudang—
Cuma buat melihat ceceran darah segar milih Harben yang diseret menuju tender. Frederick murka, darahnya mendidih. Satu, kantung uangnya jelas dibawa kabur Johnny. Dua, jika Kapten itu buka mulut tentang pekerjaan kotornya, posisinya dalam bahaya. Nggak bisa dibiarkan, Frederick harus enyahkan Johnny agar semua aman terkendali.
Namanya penting. Biar rasa kemanusiaan mati, Frederick tidak peduli.
“KAPTEN BAJINGAN!!!”
Dan Daniel dengar semuanya, kekacauan yang sengaja dibuat Johnny agar kapal ditarik ke Pelabuhan Munsell lebih cepat, upayanya buat kabur membawa remaja Jerman itu lebih besar dari rasa tanggung jawab kerjanya.
“Dasar orang jatuh cinta, kalau mati, aku mau ikut,” katanya pada diri sendiri. Meremas surat di saku kemeja, mengemudi dengan jiwa berkabung karena Frederick akan memburu kaptennya. Kepala Johnny nggak akan utuh di tangan petinggi kapal dagang yang punya darah bangsawan.
“Ah,” Adalah ringisan pertama yang Harben ucap ketika membuka mata. Hangat yang memeluk dia semalaman mendadak hilang, dia usap kepalanya. Darah mengering, dia berkaca pada air jernih—dia kotor. Tender menepi di dermaga Pelabuhan Maunsell. Dia bangun dengan ingatan lari.
“Peti kemas merah, dua blok dari utara,” bisiknya pada diri sendiri. Walau penuh luka juga sakit, dia tetap terobos orang bangsawan Britania Raya juga tentara dan orang bersenjata, dia kabur bersama perasaan takut dan baju nahkoda kapal milik Kapten Johnny.
Peti kemas merah, Kapten Johnny nggak ada bersamanya lagi.
“Sir, kapten, saya sudah di sini. Lalu anda di mana?” tanyanya dengan takut-takut entah pada siapa. Sedih mendalam sambil bersandar pada container besar. Kenangan semalam dan bagaimana dia mengusap noda di sepatu milik Johnny di waktu silam.
Harben rindu semua, dia nggak mau dijual. Dia mau hidup dan nikmati langit biru bersama Kapten Johnny yang semalam membawanya kabur ke Britania Raya lebih dulu dari tikus got bernama Frederick.
Tap.
Tap.
Tap.
Telinganya sensitif, badan bergetar, tubuh gemetar, napas memendek, putus dan tremor. Harben ketakutan.
“Harben Becker. Kamu di sana?” Kata suara asing itu, Bahasa Jerman yang mana membuat Harben makin lemas. Sosok lelaki dengan tudung cokelat mendekati, Harben tahan semua takutnya dan mendongak sok berani.
“Ya …. ?”
“Pergi ke utara, beri surat ini pada Earl Grey, lari dan jangan pernah kembali. Kapten Johnny yang bilang begitu, lari, Harben,” katanya—Daniel. Wajah suram juga penuh duka, jiwa berkabung yang dengan lemas menyerahkan surat Johnny semalam, mendorong Harben buat terus berlari dengan bingung dan penuh tanda tanya.
“Tapi saya nggak bisa berbahasa Inggris,” elaknya. Daniel tepuk kepala cokelat Harben dengan perlahan.
“Cukup lari ke utara dan tunjukkan lencana Kapten pada penjaga di depan mansion merah. Jangan bicara dan kamu akan tetap hidup.”
“Tapi Kapten Joh-“
“Lari, Harben!” Daniel berteriak, Harben terpaksa berlari, dia dengar kekacauan dari Pelabuhan, dia lihat Daniel lepas jubahnya dan lari ke selatan. Kalut dan takut, Harben peluk baju Johnny, dia sematkan doa buat tiap langkahnya yang menyakitkan.
Lari. Lari. Dan lari. Harben menuju utara. Dia tabrak semua manusia di jalanan yang melihatnya dengan bingung. Pikir mereka, gelandang jalanan, huh?
Harben nggak mengerti apapun perihal Britania Raya, bahasa mereka, atau semuanya, dia cuma terjang keramaian dengan harapan dan perintah yang samar. Cuma berlari menuju mansion merah—tempat Earl Grey yang disebut tinggal. Abai pada suara rusuh di Pelabuhan juga kenangan lusuh Kapten Johnny.
“Kapten Johnny, saya masih menunggu, saya masih berlari dan masih mau nikmati langit biru bersama anda,” katanya sembari tercekik oksigen. Menahan napas lelah di depan mansion merah. Tertekan oleh sesak dan sakitnya kehilangan. Harben nggak mengerti apapun, dia cuma serahkan lencana pada penjaga dan langkahnya dengan berat dibawa masuk.
Pada butler tinggi dia mengadu, dia hidup susah dan kini harus menunggu Kapten Johnny dengan resah.
“Saya nggak mengerti Bahasa Inggris,” katanya pada Sang Butler. Tawa sopan mengudara, lelaki paruh baya itu tersenyum. “Saya mengerti Bahasa Jerman. Earl Grey besar di Jerman, dia punya teman baik, namanya Johnny.”
“Sir Johnny?”
“Ya.”
Lompatan kecil Harben nampak lucu dan lugu, dia sampai pada bangsawan muda yang duduk menikmati teh sorenya, seolah nggak mendengar kerusuhan apapun di Pelabuhan Maunsell.
“Sir, sebuah surat untuk anda.”
Earl, I entrust Harben, my dearest husband, to you, I will not return … I can not return as death is right in front of my eyes. Meet me at my grave; the sea.
- Captain Johnny, a friend of yours.
Surat dilipat, topi kebangsawanan Earl Grey diturunkan, Harben nggak mengerti gelagat Bangsawan Britania Raya di depannya, dia cuma paham kalau kesedihan adalah oksigen yang mereka hirup sore itu.
“Tuan Butler, tolong bilang pada Earl Grey kalau saya nggak mengerti apapun, saya mohon ijin buat menunggu Kapten Johnny kembali di sini,” kata Harben dengan suara kecil dan ragu. Butler itu menunduk penuh hormat dan wajah damai, dia mengangguk.
“Tuan Harben, menunggu itu melelahkan,” katanya dengan Bahasa Inggris. Harben nggak mengerti, suasana makin mendingin, baju Kapten Johnny gagal menghangatkan dia.
Pelabuhan Maunsell, 1847
“Kapten, masih lama pulangnya? Saya masih di sini,” kata Harben pada entah apa yang lewat. Duduk di dermaga menatap laut lepas yang biru. Dia lihat burung camar, dia lihat birunya langit, dia paham kalau kapten sudah dimakamkan di laut lepas.
Harben sudah bisa berbahasa Inggris, dia sudah paham kalau menunggu itu melelahkan.
Dan, oh! Earl Grey bilang, dirinya adalah suami Kapten Johnny. Harben Becker adalah suami Johnny Schneide.
[ end. ]
Dry Dock: Keadaan dimana kapal ditarik ke daratan untuk diadakan perbaikan kapal. Biasanya ada masalah yang dimungkinkan mengandung resiko sehingga harus melakukan perbaikan di darat.
Tender: Sebuah kapal kecil yang digunakan untuk transportasi tamu dan crew atau bahan supplies dari dan ke pelabuhan, dapat juga di fungsikan sebagai lifeboat saat keadaan darurat.
Mutter: Ibu (Bahasa Jerman)
Earl: Gelar Bangsawan Inggris
I did some research, kalau ada yang salah, mohon dimaklumi dan tegur saya dengan sopan.