pridehyuck

Angin, apa kabar? Ini cerita pendek. Gadis remaja patah hati, sudah sembuh perlahan. Remaja mudah menyerah, perlahan disusun jadi buku mahal. Anak gadis yang banyak rapuhnya, perlahan teguh.

Angin, apa kabar? Anak ini, sudah punya rumah.

Pergi sebentar, nanti dia pulang. Baik-baik di sana, semoga tetap hangat.

| bersambung

Cinta datang karena mau.

Katanya begitu, Donghyuck iyakan. Dia taruh percaya di sana, tepat di depan pintu rumahnya. Dia biarian diterpa sinar baskara sampai orang yang dia mau.

Donghyuck titip hati di gerbang, supaya Mark datang dan bilang cinta dengan segera.

Tapi Mark cuma remaja yang takut dunia, dia cuma remaja yang tundur para dunia. Mark cuma remaja lain yang tahu kalau dunia punya aturannya sendiri. Dan Donghyuck, juga cuma remaja yang belum bisa apa-apa.

“Mark, kamu kenapa senyum-senyum terus?”

Pernah sekali, Donghyuck tanya kenapa Mark suka tersenyum ketika menatapnya. Donghyuck takut salah artikan cinta, siapa tahu Mark cuma suka dia disamakan dengan nabastala yang cerahnya nyala seperti lilin singgasana.

“Kamu kelihatan indah ditimpa sinar matahari.”

“Melankolis. Puitis. Dramatis, kamu anarkis.”

“Kok??” Mark pasang wajah kesal, Donghyuck nggak peduli. Dia tetap mengerti isyarat cinta yang Mark semai lewat tatapan matanya. Lewat senyum yang dia bagi cuma-cuma. Lewat rinai bahagia yang dia derai bersama harsa.

Waktu itu, Donghyuck paham kalau bentuk cinta ada banyak rupanya.

“Aku ini suka Donghyuck seorang, tahu!”

Donghyuck pernah ada pada situasi mati rasa. Mati kata, mati jiwa. Dia lewati kelas kosong di sore hari, lalu dapati Mark bercengkrama dengan teman-temannya.

“Kamu serius suka Haechan?”

“Serius! Aku mau bilang suka besok, doakan, ya!”

“Mark ... kenapa baru bilang sekarang, sih?” katanya. Kesal dan sesal dia jadikan satu lewat remasan kertas ulangan.

Ada banyak cinta di mata Mark, Donghyuck tidak buta. Tapi diamnya anak remaja, bisa apa?

“Kalau kamu juga suka, harusnya kamu bilang.”

“Kamu nggak tahu apa-apa, jangan ikut campur,” desisnya, Donghyuck lempar tatapan sinis pada perempuan muda yang cuma sekedar lewat itu—Lia. Kebetulan tahu kisah cinta dua remaja buta ini, kebetulan lewat saat drama dimulai.

Kebetulan saja Lia sedang sial.

“Ya kalau kamu begini terus, mau sampai kiamat juga nggak akan bisa bersatu. Apa masalahmu, sih?” tanyanya jengkel. Donghyuck makin kesal.

“Masalahmu denganku apa?”

“Kenapa kamu jadi sensi begini? Kalau suka, bilang! Berharap dia bilang duluan? Kamu keburu sekarat.”

Donghyuck abai, dia buang semua nasihat Lia. Donghyuck belajar tentang rasa, belajar juga tentang dusta. Tapi namanya cinta, jelas banyak maunya.

“Mama, aku mau punya pacarku sendiri-“

“Sayang, kita butuh keturunan.” Mama jawab pinta Donghyuck dengan senyum beribu maaf. Usapan tangannya dingin karena dia mohon maaf. Wajahnya pias karena Donghyuck ternyata nggak butuh maaf.

Kecewa, sakit hati, dan patah. Donghyuck adalah semuanya waktu itu.

“Aku mau sendirian, kalau Mark datang, suruh dia pulang saja,” katanya. Tapaki tangga dengan langkah berat, hati berantakan, pikiran macam kapal pecah.

Ada jiwa berkabung malam itu, sebelum kelulusan SMA, waktu Donghyuck dengar kata suka dari Mark.

Malamnya, pada indurasmi juga pada akara yang jauh lebih pekat dari gelap, Donghyuck mengadu.

“Harusnya Mark bilang cinta lebih dulu. Kenapa waktu aku jelas nggak bisa pilih cinta? Mark, kamu terlambat,” adunya pada nabastala. Pada payoda gelap. Pada anila suram. Pada lampu pinggir jalan yang temaram.

Pada jangkrik yang berisik. Juga pada desau dauh kering bersama ranting.

“Mark, aku juga suka, aku cinta. Tapi aku enggak bisa.”

Air mata belum pernah jadi saksi bisu patah hatinya. Perkara cinta dan belahan jiwa, Donghyuck paham betul kalau semua ada pada Mark.

“Mark, aku suka kamu. Aku cinta kamu, tapi enggak bisa. Semuanya terlambat,” katanya lagi. Rasa-rasanya Donghyuck mau teriakkan isi hati di depan rumah Mark.

Dia sudah titip hati dan ekspetasi dari awal, tapi Mark tidak pernah datang buat ambil keseriusan.

Kalau sudah berantakan, harus salahkan siapa?

“Maaf, ya, Mark? Aku nggak bisa pulang sama kamu,” tolaknya.

Remaja yang dulu buta tentang cinta, kini sudah beranjak dewasa. Jadi mahasiswa yang paham lika-liku hidup ada banyak jenis tikungannya.

Donghyuck paham kalau Mark makin giat gemakan cinta, lewat senyum manis dan tatapan yang seperti ditanami bunga cinta.

Tapi kata terlambat, sudah cukup buat jelaskan semua.

“Oh, enggak apa-apa, kok, hati-hati, ya!” Mark berseru, lalu menyaru dengan manusia yang memeluk buku.

“Kamu serius nggak apa-apa?” tanya seorang perempuan. Suaranya halus, dapati atensi Donghyuck dengan sekali ucap.

“Nggak apa-apa, yuk, pulang?” Tangan digandeng. Donghyuck menyerah pada takdir.

Dia masih percaya kalau tambatan hatinya adalah Mark seorang—tempatnya titipkan hati. Tapi sekali lagi, yang namanya terlambat, sudah tidak ada obat.

—-

“Mark, aku cinta. Aku sayang. Aku suka.”

“Haechan, jangan bicara. Aku nggak mau dengar.”

“Mark, dari semua rasa yang aku punya, buatmu yang paling besar.”

“Haechan sudah.”

“Mark, aku cinta.”

“Haechan diam.”

Donghyuck beri selembar surat bertulisakan namanya dan perempuan cantik yang duduk diam di seberang meja.

Mark datang dengan sebuket bunga, pulang dengan sekotak pecahan hati. Maksud hati mau ungkap rasa, tapi surat undangan pernikahan jadi jawaban.

“Kamu terlambat. Aku sudah diikat takdir kamu baru putuskan mau bagi sayang ke aku. Jadi bagaimana lagi?” katanya. Jemadi

karsa/kar·sa/ n 1 daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak; 2 kehendak; niat


tw // bxb, harsh words, profanities, smoking, kenakalan remaja, kekerasan


Dirgantara, nama paling megah yang ada di semesta. Yang paling luas menaungi dunia. Dirgantara, Namanya Aksara Dirgantara, paling sempurna dari sekian dosa yang kata orang; jangan dilakukan.

Psst, aman, nggak?” bisiknya. Jam akhir, anak smp yang siap menerima kelulusan itu mengawasi keadaan bak sedang di medan perang.

“Mau ngapain, anjir?”

“Tawuran. Gue udah gagah begini, masa smp harus ditutup dengan aksi berani.” Sadeon nggak akan pernah bisa mengerti jalan pikiran seorang Aksara—tapi dia nggak akan protes, sih. Jiwa muda, harusnya dibebaskan di alam semesta yang suka bercanda.

“Lo yakin nggak akan ketauan guru? Ini kita lagi di acara kelulusan??” Deon bertanya sambil badan memasang kuda-kuda; jadi tumpuan Aksara buat melompat ke luar gerbang.

“Ijazah sama rapot udah dipegang lo takut apa lagi? Ini cuma acara makan biasa, gak usah banyak gaya.”

Gang empat, dari dulu sudah jadi tempat buat aksi remaja pamer kebebasan. Pertama kali Aksara kenal perkelahian, adalah waktu Ketika dia nggak tahu harus bersikap seperti apa sebagai seorang anak.

Nggak ada yang mengarahkan, nggak ada yang membimbing dan mengingatkan. Dia disayang, tapi dia nggak mengerti bagaimana harus bersikap. Waktu beranjak remaja, Aksara mulai mengerti satu hal; seorang anak memang harus tumbuh dengan dampingan dua orang tua.

Takut gagal seperti dia—liar di jalanan, kenal alkohol dan rokok lebih awal.

“Bang, kan ini wilayah kita? Kenapa main malak anak smp yang lewat? Umur doang gede akhlak kaga ada,” teriaknya dari ujung. Anak SMA yang sudah siap pasang badan menoleh remeh, cuma bocah baru lulus smp, bisa apa?

“Bocah SMP gak usah sok jagoan, kena pukul dikit udah kaya cewek, nangis terus ngadu ke mama, huuu!!”

Kening Aksa berkerut, topik ibu dan gender adalah topik sensitive baginya.

“Heh remaja nggak tau adab! Nggak semua lo bisa pukul rata ke gender, belajar lagi lo jelek!” Kalimat lantang barusan seolah pertanda tawuran dimulai. Aksa yang cuma bermodal nekat, bantuan Deon dan beberapa teman tongkrongannya, jelas kalah jumlah dengan anak SMA yang seperti mengajak satu Angkatan buat berkelahi.

“Letoy banget kaya cewek!”

Buagh!

Pernah dengar tentang pahlawan kesiangan? Kalau pernah, Aksa akan kenalkan. Seorang pemuda yang wajahnya datar, kelewat rata buat reaksi sebuah pukulan.

Namanya Malviano Pradiga, muncul tiba-tiba dengan nama sandangan Berandal Jalanan. Namanya Malviano Pradiga, waktu Aksa mau dihantam sepatu converse, Malvin muncul dan menarik tangan hina itu.

“Oh, hai, gue cuma lewat, kayanya seru. Anyways, lo anak smp mana? Gue baru pulang acara kelulusan sih. Mau ikut tawuran, dong?” katanya, sambil melemaskan buku-buku jari, mengibas rambut lepek, dan senyum remeh.

Dirgantara, punya tempat pulang.

“Jadi lo anak mana?”

Sore itu anak SMP yang sudah lulus menang tawuran. Mereka seolah cuma sedang main kejar-kejaran dan menang tanpa luka. Menang dengan singkat lalu nongkrong buat beli the poci rasa vanilla.

Jadi remaja itu, kadang menyenangkan.

“SMP U 27, udah lulus sih, tinggal MPLS doang di SMA N 127, lo lanjut ke mana?” jawabnya. Malvin lemaskan buku-buku jari sebelum menggenggam gelas plastik berembun itu, dia pandangi remaja yang namanya Panglima Jalanan.

“Lah, sama dong? Gue Aksara, bentar lagi jadi budak IPS di SMAN 127, temenan, mau?”

Aksara belum mengerti tentang rona remaja, tentang asmara juga rasa suka. Yang dia tahu, Malvian menciptakan sesuatu yang memercik nyalang di hatinya. Yang Aksa tahu, dia mau cepat-cepat pulang dan bertanya pada Tuhan; hambanya yang tampan itu, apa benar manusia? Karena rasa-rasanya, Aksa jatuh sampai ke dasar tidak berpendar.

“Mau lah, satu sekolah ini,” jawabnya. Tangan dijawab, hati ditambat. Sadeon cuma saksi diam dua orang adam yang detak jantungnya ternyata bertaut sampai di ujung.

“Oke temen, ngomong-ngomong, kenapa bisa muncul di tawuran, tadi?”

“Oh, iseng. Coba-coba aja.”

Aksara Dirgantara, di tengah kalutnya perasaan dan validasi dunia, mulai paham kalau bentuk cinta nggak melulu tentang laki-kaki dan perempuan. Bisa juga tentang dia dan Malvian.

Nanti, nanti dia mau tanya pada Fahresha, apa yang dia rasa, layak dinamakan suka;cinta;sayang.


“Resha, mau tanya.”

Fahresha dan Aksara baru tiba di gerbang sekolah, baru pakai seragam SMA dan baru tahu beratnya beban remaja usia enam belas tahun selama dua menit; Aksa sudah sematkan pertanyaan pada pundak rapuhnya.

“Apa?”

“Kalau deg-degan, rasanya semangat ketemu orang itu, dan rasanya mau disayang-sayang aja, artinya apa?” tanyanya. Tangan merogoh saku abu-abu, mencari bungkusan haram para remaja yang baru menaikkan usia, mata memandang ke depan pada pemuda Pradiga yang bersandar pada pilar kokoh sekolah.

“Suka. Lo suka orang.”

Suka, rasa, frasa; Aksara jatuh cinta. Suratkan takdir pada selembar puisi getir, ada Aksara yang titipkan dirgantaranya pada semesta sambil menduga-duga; jatuh cinta ternyata seindah dan semudah ini.

“Gue suka orang? Kalau gue niatin diri buat bangun hubungan, bisa?”

“Bisa. Kalau udah niat, mau apa aja bebas. Suka sama siapa, sih?” Fahresha nggak dapat jawaban, dia dapat tontonan. Aksa melambaikan tangan dari kejauhan, berlari menjemput tambatan hidup—tinggalkan Resha dalam tanda tanya pada dunia.

“HOI PRADIGA!!!”

Yang Namanya Pradiga, mendongak, dia dapati esensi manusia yang menyemat kedirgantaraan dalam eksistensinya, menyambanginya yang merasa sendiri dengan senyum seolah kanigara mekar di siang hari.

“Ya?”

“Ngerokok, mau?” Malvin tersentak. Dirgantara di depannya sinting.

“Gila lo? Ini hari pertama sekolah tolol, udah ngajak sebat aja, mau cepet mati lu?” Aksa nggak menjawab, dia kodekan frasa di belakang gudang lewat mata memandang.

Malvin yang mengaku juga jatuh, bisa apa selain iyakan?

“Ya kali gue nolak.”

Siang itu, Malviano ingat sebuah memoriam usang, di mana hari pertama beban remaja di bangku SMA dia habiskan dengan menghisap nikotin bersama Panglima Jalanan yang dia suka paras dan larasnya. Siang itu Mavin ingat, Aksa memandangnya penuh tanda tanya juga rasa yang pekat.

Malvin ingat sebuah pertanyaan.

“Kata Fahresha, ini namanya suka. Malvin, pacaran sama gue, mau?” katanya—tanyanya. Jepitan batang tembakau berfilter dilepas, puntung rokok diinjak, dipungut lalu dilempar pada bak sampah kotor di ujung.

“Mau, asal pas susah nggak ditinggal aja, sih. Aduh dunia, dua remaja lagi memupuk dosa, nih.” Tawa jenaka, Malvin tepuk kelabu celananya, dia jabat tangan Aksara, dia beri senyum hangat dan mulai titipkan rasa pada Sang Dirgantara.

“Malv, gue titip hati.”

Kalau kanigara dunia sudah bilang sabdanya, norma dunia nggak nyata adanya. Ada, tapi mereka pura-pura buta. Yang Namanya jatuh cinta, ya jatuh, lalu cinta;kemudian.

Tentang karsa, apa yang diniatkan, maka terjadilah.

[ pridehyuck, melokalverse. ]

tw // mentions of death, violence, human trafficking, blood, and profanities Disclaimer: tidak ada hubungan dengan sejarah manapun, murni karya fiksi, era victoria hanya sebagai latar, bukan fiksi historial, bxb


Haechan as Harben Becker, Doyoung as Daniel, Johnny as Johnny Schneide.


Pelayaran 1840. Dari Jerman menuju Britania Raya, remaja sembilan belas tahun terombang-ambing di atas perahu kapal, sendirian dipeluk gelap dari sempitnya gudang penyimpanan barang. Peti kemas besar yang beratnya nggak lebih dari beban hidup, bahu Harben jelas lebih kokoh dari kapal ini.

Penyelundupan manusia, anak remaja korban egoisnya orang berkasta, Harben bahkan nggak bisa deskripsikan perjalanan hidupnya. Petinnggi-petinggi kaya raya ini jelas akan tukarkan banyak harta ke Inggris lewat perdagangan, tapi kenapa remaja jerman sepertinya harus diselundupkan petinggi kapal dagang dalam himpitan peti kemas di atas kapal?

Nggak tahu, Harben cuma butuh pegangan hidup.

“Kamu diam di sini, Muttermu sudah setuju untuk menjual kamu padaku, sekarang aku mau jual kamu pada bangsawan Britania Raya. Kerja yang benar, jangan sampai ketahuan kalau aku membawa bocah nggak berguna seperti kamu ke kapal elit ini,” katanya. Herr Müller, begitu Harben memanggilnya. Orang sinting yang menyeretnya dari rumah kecil di pinggiran kota.

Harben mau muntahkan serapah dan caci maki, tapi siapa dia di hadapan sepatu petinggi kapal dagang elit? Frederick punya darah bangsawan di nadinya.

“Ya, Sir.” Frederick Müller lantas berbalik, dia tinggalkan gema mengerikan dari hentakan sepatu di gudang pengap bau dosa. Cahaya diblokade, pintu ditendang dari luar seolah menghina eksistensinya yang total tanpa guna.

Harben masih remaja sembilan belas tahun yang mau hidup bebas, terbang di atas laut seperti burung camar. Dia nggak mau bernasib sama dengan teman sebayanya yang lebih dulu kecap pahitnya perlakuan semena-mena. Warna hitam di balik perdagangan yang dikemas apik.

Harben muak, dia mau lepas.

“Oh, aku mau tau, rayleigh scattering itu benar adanya atau cuma bualan belaka,” bisiknya pada bayangan samar. Pada dia yang sendirian, pada dia yang kesepian. Dia cuma mau tahu, kenapa langit bisa berwarna biru—

Sedang dia berjuang dengan sendu, warnanya nggak lebih terang dari gelap.


“Jangan tegang begitu,” kata Daniel. Awak kapal yang dekat dengan Kapten kapal bernama Johnny, nahkoda kapal senjata yang biasa putar haluan buat mengecoh sorot silau dari banyak mercusuar—atau mungkin cuma Menara dari Pelabuhan Maunsell.

“Ada orang sinting yang menyelundupkan bocah di kapalku. Kamu pikir aku harus bersikap apa?” katanya sinis. Kemudi dilepas, deck terasa lebih dingin di kabin kapal yang dipenuhi aura tegang.

“Lagi?” tanya Daniel. Dia nggak merasa asing dengan penyelundupan nakal dari onknum di kapal perdagangan, masalah adalah pada atasan yang seolah tutup mulut. Saling lempar peluru dan hunusan pedang bukan hal baru buat bertahan di atas kapal.

Kapten nggak akan biarkan kapalnya lebih kotor dengan transaksi ilegal, dan Daniel lebih tabu buat dengar berita pemburuan kaptennya.

“Kapten, jangan gila. Petinggi bisa menembak kamu di kepala buat semua rencana busukmu itu. Pura-pura tuli lagi, nggak bisa? Mereka sungguhan akan kejar kamu sampai ujung samudra kalau sampai mengadu.”

“Oh, aku masih punya sedikit kemanusiaan buat nggak membiarkan remaja kecil dijual ke Bangsawan Britania Raya secara ilegal oleh tikus tanah murahan. Dibanding mengoceh, lebih baik kamu di kabin.”

“Kapten brengsek!” maki Daniel. Biar begitu, dia tetap kendalikan kapal besar penuh muatan ini menuju Pelabuhan Maunsell. Dia panjatkan doa buat keteguhan hati kaptennya yang sekeras batu. Ada nyawa yang siap ditembus peluru, ada banyak duka yang siap disongsong lagu sendu.

“Dan kenapa aku mau membuang nyawa buat belas kasihan? Lucu,” bisiknya. Penuh duka, penuh doa. Kapten Johnny turun ke gudang penyimpanan, asisten Daniel doakan semuanya.


“Harben Becker,” panggil sebuah suara. Suara tegas yang lugas, lebih tenang dari ombak laut, lebih dalam dari palung surut.

“Ya … Sir?” Dari pada menyahut, Johnny lebih setuju itu disebut mencicit. Terlalu kecil dan sempit, gema sepatu bootsnya jauh lebih besar dari rintihan si remaja kecil.

“Oh, Becker, bisa pukul sesuatu? Aku mau tau kamu di mana.”

“Siapa?”

“Johnny Schneide, nahkoda kapal ini. Kaptenmu.”

Buat kalimat pendek barusan, Johnny bisa dengar ketukan besi lemah dari selatan. Ketukan kecil sarat ketakutan. Dia ikuti irama berantakan pada sudut terpencil yang terhimpit peti kemas raksasa. Di pojok, meringkuk Becker muda dalam takut dan gemetarnya.

Johnny nggak bisa terima rasa amarah dan kecewanya. Dia ingat anak ini, anak yang tangannya dengan takut pernah menggosok sepatunya sampai bersih mengkilap. Oh, Sudah tumbuh jadi remaja tampan. Tapi besar di gudang asing penuh senjata dan barang berdosa.

“Hormat saya buat kapten,” bisiknya lirih. Ringkukan pada lutut lemas yang jatuhnya tanpa tenaga, binar redup yang cerahnya kurang dari semesta. Kapten nggak terima, hatinya membara.

“Sudah makan?” Tanpa jawaban, dia rogoh saku baju nahkodanya, mencari bungkusan roti daging panggang. Tanpa kenal kasta, Johnny duduk di deck kapal berdebu yang usang. Dia pandangi wajah Harben yang muram.

“Ayo makan, bilang padaku, bajingan mana yang menyeretmu kemari? Mana Muttermu? Bukannya kamu ada di jalanan buat mengelap bersih sepatu manusia sibuk di Jerman?” Rentetan kalimat panjang, suapan roti daging, juga sisiran kusut pada rambut cokelat Harben.

“Saya dijual.” Dan jawaban Harben nggak lebih panjang dari perjalanan kapal ini menyusuri lautan, tapi cukup mendobrak rasa sabar Kapten Johnny yang batasnya setipis benang tenun.

“Brengsek satu itu. Namanya?”

Sir … Müller.”

Kapten terperosok dalam jurang gelap, emosinya meluap. Tikus got ada di kapalnya, dia marah. Nggak, nggak ada perlakuan kotor buat remaja baik hati yang dia kenal, nggak di atas kapalnya yang sudah kotor.

“Harben, dengar aku. Pagi nanti kita tiba di Pelabuhan. Tapi malam ini, jangan pejamkan mata, cukup dengar aku bercerita. Bisa? Jangan terpejam, jangan tidur,” katanya. Tangan dingin milik Harben digenggam pelan. Pintu makin tertutup dan Harben khawatir kalau mereka terkunci di sini.

Herr Müller bisa saja memergoki dia, oh, kapten bisa ditembak petinggi kapal dagang yang nakal jika ketahuan membantunya, orang-orang busuk itu jelas lebih pertahankan posisi dibanding sisi manusiawi, dia bisa dibunuh dengan keji di sini. Apa lebih baik dari membusuk di Britania Raya?

Nggak. Keduanya sama suram, dan Harben mau dia dan kapten selamat. Setidaknya dia mau lihat langit biru di atas laut, apa benar karena rayleigh scattering atau cuma dongeng murah bibi di pasar.

Sir, Kapten,” panggilnya lirih. Roti sudah habis, air ditenggak tak bersisa. Kepala beratnya disandarkan pada bahu tegap Johnny.

“Ya?”

“Ceritakan tentang burung camar. Terbang di atas laut, saya mau dengar tentang birunya langit,” jelas Harben. Wajah dekil yang kotor karena debu juga derita, Johnny usap supaya lebih bersih dan cerah. Blokade cahaya masih jadi halangan, tapi bukan berarti suara dan tawa Harben kalah atraktif.

Kapten kapal pernah jatuh cinta, remaja sembilan belas tahun yang mengelap bersih sepatunya waktu itu, kini dia pangku bebannya.

“Burung camar? Mereka gemar terbang bebas, menggagahi laut, merekam laut dari udara. Birunya langit? Kamu pernah dengar perihal rayleigh scattering?” Harben menggeleng lemah, kapten tertawa renyah.

Oh, gudang mendadak cerah. Peti kemas seketika jadi padang rumput banyak hijau.

“Pernah. Saya penasaran.”

“Birunya langit, jelas nggak sejernih matamu yang bersih. Harben, sekarang boleh tidur yang nyenyak.” Usapan terakhir di surai cokelat yang kusut. Baju lusuh dibasuh keringatnya kini dibungkus baju nahkoda kapal dagang. Kapten tutup pintu gudang, dia menyelinap di gelapnya malam, menyusup pada mata-mata lengah di sepanjang kabin.

“Kapten-“

Shush. Daniel, dengar. Aku tulis sebuah surat, kamu kirim pada Harben di gudang penyimpanan. Pagi ini kita tiba di Pelabuhan Maunsell, waktu peti kemas diturunkan, aku mau kamu lari ke utara. Peti kemas warna merah, dua blok dari utara. Beri surat ini pada Harben.”

Daniel hela napas paling berat yang pernah dia punya. Dia tatap bulan setengah yang seakan menghina pendosa seperti dia. Memberi waktu buat Kapten menulis surat dalam sunyi.

Dia tahu ke mana ini berakhir. Pemakaman, katedral, atau bahkan laut lepas; sama saja. Kapten suka bercanda, Daniel berduka.

“Kapten! Sir, Dry Dock! Dry Dock! Bagaimana?!” Ah, sudah dimulai. Surat diselipkan dari jabatan tangan keduanya, awak kapal rusuh berteriak. Daniel menatap Johnny tanpa arti, lagi-lagi hela napas jadi jawaban.

“Aku repotkan, ya?”

“Setiap hari. Dasar cari mati,” katanya. Kemudi diambil alih, Daniel pejamkan mata, Dry Dock buatan, tenggelamnya kapal senjata Jerman malam ini mungkin akan bersejarah.

“Kapten mau ke mana? Kita harus tarik kapal ke Pelabuhan Maunsell malam ini juga!” Frederick memekik dari geladak depan, tapak sepatunya ribut. Johnny nggak tertarik buat mendengar tikus got itu protes.

“Mau ke Pelabuhan, kamu pikir kita harus apa selain menarik paksa kapal tua ini ke Maunsell?” jawabnya acuh.

“Dengan apa?”

Tender. Daniel ada di sini, nggak perlu syok begitu. Kamu mau mati tenggelam?” Johnny berkata tajam, menyenggol ego petinggi kapal dagang yang digantung tinggi-tinggi, tapi kapten seperti dia nggak kenal yang namanya takut mati.

Mati adalah kawan, Johnny ingat.

“Terserah! Dry Dock sialan, ada-ada saja!”

Johnny acuh pada geraman benci Frederick di belakang, dia berlari kencang bak pemacu kuda. Kapal krisis, berantakan dan kacau. Dry Dock buatannya membuyarkan malam sepi—

Kabur. Johnny mau kabur dengan remaja Jermannya.

“Harben, begitu bangun, lari ke arah utara. Ke tempat peti kemas warna merah, dua blok dari dermaga. Lari, jangan pernah menoleh ke belakang.” Bisikan samar Johnny dia dengar samar, Harben paham kalau dia tengah melayang, digendong seorang kapal menuju tender, kapal darurat untuk menyusuri lautan dan memecah ombak.

“Kita mau ke mana, Sir?”

“Pelabuhan Maunsell. Lebih cepat dari biadap yang menjualmu.” Satu kalimat, Harben nggak menjawab. Lelahnya makin bertambah, biru langit diganti gelap malam menuju pagi buta, dia tidur diselimuti awan mendung, dia pergi di antara Tender yang dikemudikan Kapten Kapal Dagang.

Pelarian, nggak pernah berakhir menyenangkan.


“Uangku, uangku bisa mati tenggelam.” Frederick berlari tunggang langgang, susuri deck kapal dan turun menuju gudang—

Cuma buat melihat ceceran darah segar milih Harben yang diseret menuju tender. Frederick murka, darahnya mendidih. Satu, kantung uangnya jelas dibawa kabur Johnny. Dua, jika Kapten itu buka mulut tentang pekerjaan kotornya, posisinya dalam bahaya. Nggak bisa dibiarkan, Frederick harus enyahkan Johnny agar semua aman terkendali.

Namanya penting. Biar rasa kemanusiaan mati, Frederick tidak peduli.

“KAPTEN BAJINGAN!!!”

Dan Daniel dengar semuanya, kekacauan yang sengaja dibuat Johnny agar kapal ditarik ke Pelabuhan Munsell lebih cepat, upayanya buat kabur membawa remaja Jerman itu lebih besar dari rasa tanggung jawab kerjanya.

“Dasar orang jatuh cinta, kalau mati, aku mau ikut,” katanya pada diri sendiri. Meremas surat di saku kemeja, mengemudi dengan jiwa berkabung karena Frederick akan memburu kaptennya. Kepala Johnny nggak akan utuh di tangan petinggi kapal dagang yang punya darah bangsawan.

Ah,” Adalah ringisan pertama yang Harben ucap ketika membuka mata. Hangat yang memeluk dia semalaman mendadak hilang, dia usap kepalanya. Darah mengering, dia berkaca pada air jernih—dia kotor. Tender menepi di dermaga Pelabuhan Maunsell. Dia bangun dengan ingatan lari.

“Peti kemas merah, dua blok dari utara,” bisiknya pada diri sendiri. Walau penuh luka juga sakit, dia tetap terobos orang bangsawan Britania Raya juga tentara dan orang bersenjata, dia kabur bersama perasaan takut dan baju nahkoda kapal milik Kapten Johnny.

Peti kemas merah, Kapten Johnny nggak ada bersamanya lagi.

Sir, kapten, saya sudah di sini. Lalu anda di mana?” tanyanya dengan takut-takut entah pada siapa. Sedih mendalam sambil bersandar pada container besar. Kenangan semalam dan bagaimana dia mengusap noda di sepatu milik Johnny di waktu silam.

Harben rindu semua, dia nggak mau dijual. Dia mau hidup dan nikmati langit biru bersama Kapten Johnny yang semalam membawanya kabur ke Britania Raya lebih dulu dari tikus got bernama Frederick.

Tap. Tap. Tap.

Telinganya sensitif, badan bergetar, tubuh gemetar, napas memendek, putus dan tremor. Harben ketakutan.

“Harben Becker. Kamu di sana?” Kata suara asing itu, Bahasa Jerman yang mana membuat Harben makin lemas. Sosok lelaki dengan tudung cokelat mendekati, Harben tahan semua takutnya dan mendongak sok berani.

“Ya …. ?”

“Pergi ke utara, beri surat ini pada Earl Grey, lari dan jangan pernah kembali. Kapten Johnny yang bilang begitu, lari, Harben,” katanya—Daniel. Wajah suram juga penuh duka, jiwa berkabung yang dengan lemas menyerahkan surat Johnny semalam, mendorong Harben buat terus berlari dengan bingung dan penuh tanda tanya.

“Tapi saya nggak bisa berbahasa Inggris,” elaknya. Daniel tepuk kepala cokelat Harben dengan perlahan.

“Cukup lari ke utara dan tunjukkan lencana Kapten pada penjaga di depan mansion merah. Jangan bicara dan kamu akan tetap hidup.”

“Tapi Kapten Joh-“

“Lari, Harben!” Daniel berteriak, Harben terpaksa berlari, dia dengar kekacauan dari Pelabuhan, dia lihat Daniel lepas jubahnya dan lari ke selatan. Kalut dan takut, Harben peluk baju Johnny, dia sematkan doa buat tiap langkahnya yang menyakitkan.

Lari. Lari. Dan lari. Harben menuju utara. Dia tabrak semua manusia di jalanan yang melihatnya dengan bingung. Pikir mereka, gelandang jalanan, huh?

Harben nggak mengerti apapun perihal Britania Raya, bahasa mereka, atau semuanya, dia cuma terjang keramaian dengan harapan dan perintah yang samar. Cuma berlari menuju mansion merah—tempat Earl Grey yang disebut tinggal. Abai pada suara rusuh di Pelabuhan juga kenangan lusuh Kapten Johnny.

“Kapten Johnny, saya masih menunggu, saya masih berlari dan masih mau nikmati langit biru bersama anda,” katanya sembari tercekik oksigen. Menahan napas lelah di depan mansion merah. Tertekan oleh sesak dan sakitnya kehilangan. Harben nggak mengerti apapun, dia cuma serahkan lencana pada penjaga dan langkahnya dengan berat dibawa masuk.

Pada butler tinggi dia mengadu, dia hidup susah dan kini harus menunggu Kapten Johnny dengan resah.

“Saya nggak mengerti Bahasa Inggris,” katanya pada Sang Butler. Tawa sopan mengudara, lelaki paruh baya itu tersenyum. “Saya mengerti Bahasa Jerman. Earl Grey besar di Jerman, dia punya teman baik, namanya Johnny.”

Sir Johnny?”

“Ya.”

Lompatan kecil Harben nampak lucu dan lugu, dia sampai pada bangsawan muda yang duduk menikmati teh sorenya, seolah nggak mendengar kerusuhan apapun di Pelabuhan Maunsell.

Sir, sebuah surat untuk anda.”

Earl, I entrust Harben, my dearest husband, to you, I will not return I can not return as death is right in front of my eyes. Meet me at my grave; the sea.

- Captain Johnny, a friend of yours.

Surat dilipat, topi kebangsawanan Earl Grey diturunkan, Harben nggak mengerti gelagat Bangsawan Britania Raya di depannya, dia cuma paham kalau kesedihan adalah oksigen yang mereka hirup sore itu.

“Tuan Butler, tolong bilang pada Earl Grey kalau saya nggak mengerti apapun, saya mohon ijin buat menunggu Kapten Johnny kembali di sini,” kata Harben dengan suara kecil dan ragu. Butler itu menunduk penuh hormat dan wajah damai, dia mengangguk.

“Tuan Harben, menunggu itu melelahkan,” katanya dengan Bahasa Inggris. Harben nggak mengerti, suasana makin mendingin, baju Kapten Johnny gagal menghangatkan dia.


Pelabuhan Maunsell, 1847

“Kapten, masih lama pulangnya? Saya masih di sini,” kata Harben pada entah apa yang lewat. Duduk di dermaga menatap laut lepas yang biru. Dia lihat burung camar, dia lihat birunya langit, dia paham kalau kapten sudah dimakamkan di laut lepas.

Harben sudah bisa berbahasa Inggris, dia sudah paham kalau menunggu itu melelahkan.

Dan, oh! Earl Grey bilang, dirinya adalah suami Kapten Johnny. Harben Becker adalah suami Johnny Schneide.

[ end. ]

Dry Dock: Keadaan dimana kapal ditarik ke daratan untuk diadakan perbaikan kapal. Biasanya ada masalah yang dimungkinkan mengandung resiko sehingga harus melakukan perbaikan di darat. Tender: Sebuah kapal kecil yang digunakan untuk transportasi tamu dan crew atau bahan supplies dari dan ke pelabuhan, dapat juga di fungsikan sebagai lifeboat saat keadaan darurat. Mutter: Ibu (Bahasa Jerman) Earl: Gelar Bangsawan Inggris I did some research, kalau ada yang salah, mohon dimaklumi dan tegur saya dengan sopan.

[ mensive gift ] suratan singkat buat remaja yang rayakan hari jadinya cinta.

tags fluff, commision

Hari ada buat dihabiskan.

Malvin baca lagi pesan singkat dari Angkasa, dia pandangi dan sesapi maknanya.

“Alay anjing.” Walau mengumpat kasar, Malvin nggak berbohong kalau di dalam dada kirinya, ada debaran asing.

Debaran menyenangkan yang belakangan sering dia rasa karena seorang Angkasa.

“Bengong mulu kaya orang tolol,” kata Angkasa. Datang sambil menenteng satu packs sosis ayam beku sebelum dibawa pada sink dapur. Malvin merenggut.

“Protes mulu kaya dagang sayur.”

“Banyak bacot.”

Keduanya nggak pernah akur. Nggak pernah tenang atau damai, tapi selalu, selalu berdua. Selalu bersama sampai rasanya semesta bosan melihat mereka adu mulut.

Nggak apa-apa. Baru beberapa bulan, semesta pasti akan terbiasa karena dua anak remaja ini nggak berencana buat memisahkan rasa.

Nggak dulu. Nanti saja kalau dunia sungguhan menyerah. Karena mereka nggak akan pernah menyerah menyatukan cinta.

Kan?

“Lo kalau gabisa masak nggak usah ganggu gue anjing,” seru Angkasa jengkel. Frustrasi melihat Malvin yang berusaha setengah mati menggoreng telur. Bukannya jadi, hancur.

Angkasa yang merasa ambil bagian paling banyak jelas jengkel.

“Nggak usah banyak protes gue mau berkontribusi.”

“Alay banget bangsat.”

“Kata orang yang nulis note lebay di kulkas.” Angkasa tahan jeritan kesalnya, dia tarik napas dalam seolah pasrah dengan pacarnya yang suka menghinanya.

Tetap sayang, Angkasa sayang Malvin. Selalu dan harusnya, selamanya.

“Masak banyak begini padahal cuma ngerayain bulan jadian, menurut gue lo lebay, sih.” Malvin tarik kursi ketika Angkasa selesai tata hidangan dengan rapi.

“Cuma dua piring nasi goreng, bisa nggak lo gak usah hiperbola sama dramatis? Lagian, tiap bulan berharga, gue colok mata lo, ya!” Tatapan datar jadi jawaban. Malvin tarik tangan Angkasa sampai remaja banyak bicara itu jatuh di pangkuan dinginnya. Pandangan saling mengunci, bibir tutup rapat afeksi.

“Iya, berharga, tiap bulannya sama lo, berharga, Angkasa.” Malvin bisikkan kalimat yang sukses buat Angkasa bisu dibungkam adrenalin menyenangkan.

“Selamat, lo masih waras meski nemenin gue sampai di satu bulan lainnya. Lo hebat banget, Tuhan,” bisiknya. Malvin salurkan rasa lewat lisan sehalus sutra. Tangan belai halus pipi Angkasa yang merah padam dalam sapuan rona malu-malu remaja.

“Duh, geli. Tapi selamat lo bertahan sama gue di satu bulan lainnya ini. Gila, keren. Pacar siapa, sih?”

Dibanding menjawab, Malvin pilih labuhkan bibir tipisnya pada hangat kepunyaan Angkasa. Salurkan banyak emosi dan rasa seolah satu bulan lain yang terlewat terasa sepuluh tahun.

Saling tukar saliva dan isi meja makan dengan decak halus.

Semoga, ya, semoga satu bulan mereka terus bertahan sampai nanti-nanti. Sekarang biar mereka rayakan bulan jadi penuh hati-hati.

Semoga, ya.

[___________________]

Remaja, satu bulan selalu berarti. Cuma tiga puluh hari, tapi dua hati yang jadi satu, jelas simpan banyak kenangan dan pengalaman.

Bulan ini, biar berakhir di bahagia, selamat hari jadi. Indah dan manisnya hubungan, semoga selalu memberkati. Kalian insan muda banyak cinta, mohon tetap bagi afeksi sampai entah kapan, ya?

Selamat, satu bulan sudah terlewati. Ayo lewati yang lainnya?

@litaniraya.

Jaehyun dan bagaimana bumantara bersaksi mati.

tags JaeDo, BxB, angst, drabble


Sayangku, senja masih jingga.

Doyoung sobek kertas memo berwarna kelabu di pintu kulkas. Dia pandangi sumbu lilin aromaterapi yang makin memendek seperti napasnya. Dua ribu helas napas berat lainnya, dia rasa.

“Pagi menyebalkan lainnya buat dijalani,” umpatnya tanpa tenaga. Tapak kaki berat jauhi pekarangan. Jaehyun amati esensi manusia paling sepi yang pergi. Biar, Jaehyun akan menunggu lagi.


Sayangku, pagi masih muncul lagi.

“Berhenti memenuhi pintu kulkasku dengan kertas bodoh begini bisa, nggak?!” Seruan jengkel dari Doyoung menyeruak di rumah sepi tanpa rasa di jam enam pagi. Jaehyun duduk di kursi makan tanpa bilang sepatah kata, pun sepenggal frasa.

Jaehyun amati Doyoung membanting pintu dengan keras, dengar teriakan sarat emosi yang pekakkan telinga di pagi-pagi buta.


Sayangku, siang masih berjalan, sayang.

Robekan kertas memo lainnya. Ribut-ribut di ruang makan lainnya. Doyoung lempar lilin setengah nyala, tabrak jendela hingga retak, dia lempar semua sisi rumah dengan tas kerjanya.

“Bisa diem, nggak?!” Jaehyun nggak menyahut. Dia punguti tiap ceceran kekacauan yang Doyoung buat—termasuk hatinya yang remuk redam. Jaehyun hirap semua ambu putus asa dan kecewa. Ditinggalkan lagi dengan luka menganga, Jaehyun mengerti waktu orang dulu berkata;

Waktu kamu jatuh cinta, kamu nggak tau, entah jatuh atau cintanya yang kamu dapat.

Jaehyun pikir, dia dapat keduanya.


“Aku nggak gila. Orang-orang saja yang hiperbola,” gumaman kedua puluh lima selama Doyoung mendudukkan diri di halte bus. Helaan napas berat kesekian dengan uap panas mengepul bak pergumulan orang putus asa.

Doyoung kedinginan, jiwanya terlalu beku. Hatinya mati seperti barang keramat. Doyoung manekin tanpa tulang. Dia cuma eksistensi samar penuh ambigu.

“Aku normal, mereka saja yang banyak omong.” Punggung rapuhnya disandarkan, suara musik di telinga dibuat lebih besar dari rintik hujan yang kian menggila. Mata jelaga Doyoung pandangi genangan air, memahami refleksi diri yang berantakan kurang afeksi.

“Aku rindu kamu,” bisiknya. Genangan menciprat jaket denim, umpatan kasar dari Doyoung jadi saksi kalau dia manusia paling sendiri di tengah bumantara yang sendu penuh serayu.

“Jaehyun. Aku rindu kamu. Bisa nggak, kamu kembali? Bersikap normal dan seolah aku manusia paling bahagia? Bisa, nggak?” katanya. Earphone dilepas, dia buang ke tengah jalan sampai hancur digilas kendaraan. Sesak. Buram. Berat.

Doyoung bahkan nggak sadar dia diperdom hujan hingga basah kuyup di atas trotoar. Tas kerjanya tergeletak begitu saja, jadi barang mati, jadi saksi kalau Doyoung dirundung segala duka juga derita sendirian di bawah kuasa langit.

“Jangan jatuh cinta, sekali jatuh, kamu meluruh.” Serak suara Doyoung kalah berisik dari nyaringnya air merundung aspal. Pembatas jalanan jadi sandaraan karena Doyoung nggak punya tembok buat disandarkan. Dirinya hancur diguyur hujan, lebur disiram kenangan.

Doyoung cuma rindu cintanya.

“Doyoung, malam masih kelam. Kamu mau pulang saja ke rumah? Aku ada di rumah. Aku sudah buatkan kamu sup hangat, sudah ada air hangat buat mandi. Doyoung, pulang, ya?” Mata jelaga yang tadi terpejam menolak kilas balik ingatan, terpaksa dibuka melawan derasnya hujan. Doyoung bisa lihat sosok Jaehyun berdiri di depannya. Payungi daksanya yang babak belur dimakan malam. Pamerkan senyum paling menenangkan yang dia selalu mau kenang.

“Jaehyun,” panggilnya kecil-kecil. Tarik ujung kemeja putih kepunyaan Jaehyun.

“Ya, sayangku?”

“Aku mau pulang.” Jaehyun sanggupi permintaan Doyoung, cintanya. Dia pungut tiap serpihan raga Doyoung di depan halte bus. Tas kerja diambil, tangan digenggam.

“Jaehyun, aku sayang kamu. Selalu.” Jaehyun juga iyakan tiap kalimat duka dari napas putus Doyoung.

Lampu jalan padam, tenggelamkan dua adam dalam rindu yang dipendam.

“Ibu, kakak itu berbicara sendiri lagi. Apa dia baik-baik saja?”

“Ssh, abaikan saja. Kakak itu lelah bekerja.” Lampu toko kue di seberang halte dimatikan seketika.


Sayangku, dua belas dini hari masih sepi, aku mau lari.

Jaehyun tulis pesan lainnya di kertas memo. Gelapnya malam di meja makan bukan penghalang. Rumah masih sepi mirip permakaman mati. Jaehyun belum mau pergi.

[ litaniraya. ]

Surat

tags markhyuck, bxb, drabble, slight angst.

| | |

Haechan, aku rindu.

Kalau saja dulu aku lahir sebagai petani, dan kamu adalah pemuda desa yang lugu dan berani, kita nggak akan bersembunyi di balik panggung dan lampu sorot yang menyesakkan.

Atau, kalau saja aku lahir sebagai gadis penjual bunga dan kamu perempuan baik hati di desa terpencil, kita nggak akan harus berpura-pura berjarak di depan kamera.

Kalau saja aku lahir sebagai saudagar kaya raya dan kamu anak manis di negeri antah berantah, kita nggak akan harus repot berakting. Nggak harus menari di atas panggung dengan ekspetasi palsu.

Kalau saja ... kalau saja dunia berbaik hati sedikit pada takdir kita .... kita nggak akan sesak di tengah lautan manusia ini, kan, Haechan? Saling sapa seolah sahabat padahal kita saling cinta ....

Haechan, aku rindu takdir di kepalaku. Haechan, aku rindu.

“Mark, ayo naik ke panggung, lima menit lagi.”

“Oh, Haechan, tunggu, duluan saja!”

Surat dari Mark untuk Haechan, disimpan lagi di saku jaket musim dingin.

[ litaniraya ]

Cermin

TW // mentions of gender dysphoria, identity struggle

|

Resha bukannya nggak tau kalau Aksa akan lakukan segala hal buat dirinya. Resha jauh dari mengerti kalau hati remaja keras kepala itu sepenuhnya didedikasikan buat cinta dan teman.

Siapapun, siapapun yang bilang kalau Aksa adalah Panglima Jalanan nggak berhati, Resha akan lempar kepala mereka dengan botol bir besar.

“Aksa, semoga cepet punya rumah, ya,” monolognya di bawah langit-langit kosan dingin. Berangan-angan kalau rumah yang dia punya akan berdiri di sebelah kepunyaan Aksa.

Siang mulai datang dan Resha masih berpikir, sukanya buat Putra Naritama, apa nggak bisa dikurangi saja?

“Gue juga mau jadi cantik, cantik kaya Aravia, cantik seperti yang Dean suka. Gue mau jadi cantik.”

Langkah gemetar yang Resha punya dia lawan, dia tarik paksa laci berdebu tempat dia simpan elegi. Pandangi satu-satu bungkusan plastik yang melindungi gaun-gaun usang.

“Cantik,” bisiknya ragu. Tangan Resha gemetar, lebih rapuh dari hatinya yang lama nggak tersentuh. Selintas bayangan cermin di mana dia memakai gaun lewat seperti kereta api nggak bertuan.

Kepala berkabut, tapi bungkam di mulut.

“Gue juga mau jadi cantik, supaya bisa lo jaga seperti barang antik. Dean, apa sesusah ini buat jalin cinta?

Aksa, lo hebat.”

Terperosok di jurang gelap, Resha nggak pernah mengira kalau yang akan menyeretnya ke suramnya kehidupan adalah cinta. Cermin besar dia pandangi lamat, gaun diremat.

Gaun biru jadi benda yang Resha percayai selama ini.

“Cantik ... cantik banget. Perempuan kenapa cantik banget ... gue cantik.” Cantik jadi kata kesukaan Fahresha. Buat tiap helai kain yang dia lepas bebas dari badannya, ada satu tetes air mata yang ikut terbuang. Badannya tremor. Pasang gaun biru cantik di tubuh kecilnya, kembali bertanya pada cermin apa dia kelihatan bagus ... atau konyol dengan gaun biru?

Cermin nggak menjawab. Dia menunjukkan realita. Cermin nggak bisa berbohong;

Fahresha cantik.

“Mama, mama, maafin Resha, mama,” katanya penuh sesak. Gambar diri di depan cermin sudah ditangkap, Resha lempar ponselnya ke ranjang sebelum jatuh runtuh di atas lantai.

“Papa, Resha nggak harusnya begini, papa, gelap, papa, Resha ini apa?”

Resha terus serukan pertanyaan pilu, berseru penuh sedih karena Resha nggak mengerti dia ada di mana. Resha yang cantik dengan gaun biru, Resha yang mau jadi cantik buat Dean.

Resha yang bingung, Resha yang malu pada cermin.

Gaun ini mencekiknya. Resha muak.

“Brengsek, anjing, baju jelek, musnah lo setan!” Gunting sudah di genggaman, kain biru siap dikoyak. Begitu tangan diayun, pesan masuk dari Aksara.

“Aksa ... Aksa tolongin gue, Aksa jangan suruh Dean ke sini, Aksa, gue bingung.”

Nggak diketik, apa yang Resha mau teriakkan nggak sampai pada telinga Aksa, Resha lemas, lepas gaun birunya dan dia simpan lagi di laci dengan rapi.

Nanti, nanti Resha mau pakai lagi.

[ litaniraya ]

tw // mentions of suicidal thoughts, mental ilness, anxiety.

| | |

Sambungan telepon jam tiga pagi, dan bagaimana ramen instan seven eleven jadi alasan bertahan di bumi.

| | |

Tarik napas dan hembuskan. Ten ulangi tiap detak jantung yang dia punya. Tubuh kecilnya nggak menerima beban terjaga sampai jam tiga pagi.

Tapi pikiran Ten, tolak istirahat.

“Banyak ... Kebanyakan. Buram. Nggak bisa mikir,” racaunya. Badan bersandar pada ranjang, kaki sentuh dinginnya lantai, lidah cecap asinnya air mata. Panik mendera, hatinya cidera.

Dibanding kamar berantakan, hidup Ten jauh lebih acak-acakan.

“Mau nyanyi, mau teriak di pinggir jalan.

Mau Johnny,” katanya. Serak suara diredam putus asa, aroma gelisah memerangkap. Ten dorong diri buat tetap bernapas walau rasanya sudah di ambang batas.

Buram, Ten butuh seseorang.

“Halo ... halo. Johnny, halo, Johnny.” Racauan lepas begitu panggilannya tersambung. Musik jazz samar mengalun, deru napas stabil jadi sahutan.

“Iya? Kenapa mm?”

jawab Johnny. Langkah kaki jadi suara asing bagi Ten. Suara chiller yang dibuka tutup juga tegukan air mineral, semua asing bagi Ten yang kepalanya bising.

“Buram, Johnny, semua buram. Nanti, di pemakamanku, putar billie eilish i love you, yeah? Bawa kopi.”

Johnny tarik kursi di meja makan. Duduk diam dengar napas putus di seberang. Nadinya bersahutan dialiri cemas, tapi Johnny pandai dalam mengatur napas.

Resah cukup sampai pada Ten, warasnya Johnny, sudah paten.

“Tangannya, sayang. Gigit yang lain, okay, bukannya kamu beli permen, semalam? Mmm? Ayo dikunyah dulu?”

Bagai sihir, kalimat Johnny terdengar magis. Jari jauh dari mulut yang bergetar, gilasan gigi berhenti, rasa manis yang sempat asing kini berhasil dikenali.

Otak Ten bekerja, mulai paham situasi. Mulai kenal sakit dan cemas berlebih.

“Sedih, Johnny. Sedih banget, aku nggak ngerti, sedih banget. Semuanya sesek. Dadaku penuh, kepalaku berisik, aku jenuh, badanku rusak.” Ten paksa tenggorokannya basah oleh liur, tiga kali tersedak, empat kali beku mendadak.

Semua cuma terlalu menyakitkan dan menyedihkan buat dialami. Ten nggak mengerti apa yang terjadi. Semua di luar garis, Ten sampai pada batas.

“Sedihnya hari ini dikeluarin semua, ya? Nggak apa-apa. Nangis, aku di sini. Kamu mau apa? Mm? Pelan-pelan, ya, sayangku? Bisa. Kamu bisa.

Napas dulu, yuk? Hitung sampai sepuluh sudah?”

Kata demi kata yang Johnny keluarkan, sampai pada Ten lewan lisan. Pria kecil raih sisa kewarasan dan oksigen bersamaan, lempar kepala pada lembutnya ranjang kosong.

Hatinya kosong. Air matanya terkuras.

“Aku kayak orang depresi, aku ini kenapa? Johnny kalau aku pergi, jawabannya ketemu? Aku mau mati aja. Aku nggak sanggup mikir, tolongin,” seru Ten. Tangisnya membuncah, kepalanya mau pecah. Nyeri dan sesak dicampur keringat dingin.

Jam tiga pagi terlalu kasar pada dia yang rapuh kelewat kecil.

“Enggak, kamu ini masih Ten kecilku yang manis, yang kuat dan sehat. Napasnya sudah, sayangku?”

“Sudah ... sudah, aku nggak bisa, Johnny, aku ... aku nggak bisa mikir. Aku mau selesai, beneran.”

Pecahan gelas jadi pengisi keheningan. Johnny remas jemarinya, dia atur napas sebelum pasang kembali senyum menenangkan.

“Jangan pergi. Di sini aja sama aku. Kalau kamu pergi, siapa yang aku ajak makan es krim jam dua belas malam di seven eleven?

Yakin mau pergi? Ramen jam satu pagi terlalu hangat buat dilewatin, loh?”

Belum ada jawaban. Cuma isak tangis dan suara napas putus yang berat.

“ .... mau. Mau, Johnny. Aku mau.”

“Sayangku, pelan-pelan. Kamu enggak sendirian. Beratmu itu, dipindah ke aku setiap jam tiga pagi, nggak apa-apa, ya?

Aku pegang kamu. I’ll kiss you in the morning. Sekarang tidur, mau?”

“Nggak ... jangan tinggalin aku. Aku nggak tau ini di mana, asing, aku nggak nemu jawabannya.”

Waktu Ten buka matanya, cuma gelap dan hampa. Mati rasa jadi kawan paling setia di jam tiga pagi. Nggak ada kenangan baik yang dia punya.

Buram, suram, menyesakkan. Orang nggak bisa mengerti apa yang dia rasa, resah dan gelisahnya, semua takut dan kalutnya. Malam jadi waktu paling menyeramkan.

“Aku nggak ke mana-mana. Tidur, ya? Nggak semua harus ada jawabannya sekarang. Jalanin dulu, ya? Jangan buru-buru.”

Sambungan telepon di jam tiga, jadi alasan napas Ten masih disambung setiap harinya. Johnny gumamkan kalimat cinta dan senandung dukacita buat badan hampa yang penuh kekhawatiran di atas ranjang.

Patah hatinya seseorang, nggak melulu tentang cinta. Hidup, bisa jadi yang paling bajingan.

“Kecewamu sama dunia, cukup selesai di kepala. Bahagia, biar aku yang carikan. Tidur yang nyenyak, orang hebat. Aku sayang kamu, selalu.”

Johnny genggam tangan abstrak di kepalanya, bawa Ten pulang ke mimpi nirwana. Pagi ini, supaya lebih nyenyak dari sebelumnya.

[ Jangan pergi, mie dini hari rasanya nggak akan sama lagi tanpa kamu. ]

@ litaniraya.

Afeksi; rasa yang dipaksa ada, ujungnya terpaksa hilang


“Kakak, sudah makan?” Doyoung boleh jadi manusia paling bahagia waktu seorang Joanne datang menyambanginya di tempatnya bekerja. Joanne, model papan atas yang wajahnya ada di tiap-tiap majalah.

Kapan kamu jatuh cinta? Doyoung jawab, waktu dunia menciptakan Joanne di dunia. Pada semesta, Doyoung bilang terima kasih.

“Sudah, kamu gimana? Kerjaan banyak, ya?” Ditariknya tangan kecil Joanne menuju tempat istirahat para Chef. Esensi Joanne bukan hal baru lagi di ruangan ber-AC itu. Semua sudah hapal, kalau Head Chef mereka menjalin benang romansa dengan model berkelas.

Terkejut? Jelas. Keduanya berbeda, beda tempat berpijak. Beda tempat bernapas, pun, beda usia. Doyoung terlalu dewasa buat Joanne yang umurnya baru menginjak angka dua puluh dua.

Apa mereka peduli? Enggak. Cinta, ya cinta. Perihal dapur orang lain, nanti saja.


“Ann, sudah pulang? Biar kakak yang jemput.” Tiga puluh enam tahun dihabiskan Doyoung buat mengerti kalau tujuannya hidup adalah cinta. Panggil Doyoung budak cinta atau sumpah serapahi dan perdom dia dengan ejekan. Doyoung nggak akan mengelak. Umurnya dewasa, hidupnya sempurna. Joanne segalanya.

“Sudah! Boo! Lama nunggunya?” Terkejut jadi respon pertama Doyoung ketika Joanne muncul dari balik mobil di basement. Langsung melemparkan diri pada Doyoung seolah bilang kalau lelahnya hari itu mau dihilangkan. Titip beban sebentar.

“Bikin kaget aja. Enggak, kok!”


Joanne nggak mengerti kenapa hubungan manisnya dengan Sang Chef berpengalaman mendingin di tiap langkah kaki mereka. Obrolan jadi hilang rasa, pun perasaan perlahan hambar. Joanne hanya nggak mengerti kenapa panggilan telepon di jam tiga pagi jadi terasa membosankan dan memuakkan.

“Kamu kaya pacaran sama om-om, tau. Kalau penggemarmu tau, habis, deh, kamu. Agensi juga diam saja karena masih aman.” Ocehan nggak menyenangkan teman-teman modelnya boleh jadi pemicu utama hatinya mulai korosif dan sensitif perihal cinta.

“Jangan banyak omong, deh,” kesalnya. Banting pintu latihan dan pergi begitu saja. Tatapan remeh dia dapat sejak mereka tahu kalau umur Doyoung jauh di atasnya, nggak seprofesi dan hidup Doyoung terlihat nggak semapan itu buat disandingkan dengan dia yang wajahnya dipajang di mana-mana.

Joanne … mulai sadar kalau semua nggak berjalan dengan baik.

“Gimana kerjaan?”

“Gini-gini aja.”

Tiap keduanya bertemu, Doyoung hapal kalau dua kalimat tadi adalah pembuka dan penutup. Nggak ada lagi kupu-kupu yang terbang di perut, nggak ada afeksi tumpah ruah yang tinggal di hatinya. Nggak ada emosi merah muda, nggak ada rasa berdebar.

Nggak ada cinta di antara keduanya.

“Kamu bosen?” tanya Doyoung. Lampu merah hentikan laju mobil, kalimat Doyoung hentikan fantasi abu-abu Joanne. Semua terasa hambar, Doyoung memudar. Eksistensi keduanya jadi asing dan kepala makin bising.

“Sama kamu, kak? Nggak. Cuma nggak ada rasanya aja.”

Doyoung nggak menjawab. Dia tahu keduanya nggak berada di batas hubungan sehat lagi, sama-sama kehilangan rasa, sama-sama memisahkan diri dari cinta.

Tapi Doyoung tetap lelaki dewasa yang sudah menjaga Joanne selama tiga tahun, kehilangan sumbu afeksi nggak bisa hentikan dia buat perlakukan Joanne layaknya putri kerajaan, Doyoung harus lakukan hal yang seorang lelaki dewasa lakukan pada perempuan.

Pun, Joanne harus bersikap sok tersentuh karena berpisah bukan jawaban. Saling lempar atensi tanpa afeksi, keduanya cuma terpaksa saling ada.

“Hati-hati, besok kakak jemput.”

“Selamat malam, kak.”

Eksistensinya ada, rasanya hambar. Cinta hilang, afeksi memudar. Keduanya cuma kehilangan alasan buat tetap pertahankan hubungan yang manis penuh cinta. Keduanya kosong, hilang tujuan.

Kalau ditanya, kapan Doyoung kehilangan cinta, maka dia akan jawab; waktu afeksi luruh perlahan.