CerealBunny

-I still love you

“Gila ya, masih ingat Park Sunghoon? Sekarang udah jadi aktor terkenal cuyyy”

“Padahal dulu anaknya pendiam banget, siapa yang bakal tau coba si kulkas berjalan bisa punya bakat terpendam?”

Jay mendengus keras, menatap sinis beberapa teman alumni SMA mereka.

“Gue bawa lo kesini bukan buat nostalgia dia ya”

Jake mendongak, tersenyum tipis kearah Jay.

“Gapapa Jay, emang bener kan sekarang dia udah terkenal?”

“Percuma terkenal kalau nggak berperasaan” ujar Jay, telak.

Menutup mulutnya, Jake lalu kembali menunduk.

Seisi ruangan terus berbincang-bincang mengenai si bintang utama yang tak bisa hadir di acara alumni sekolah. Si Park Sunghoon.

“Sampai kapan lo bakal kayak gini?”

Jake menghela nafasnya. “Sampai gue puas nyiksa diri sama rasa bersalah”

“Jake. Dengerin gue, anak itu nggak pantas cinta lo. Dia yang milih pergi, lo udah berusaha keras buat bertahan.”

Ini bukan pertama kali Jay mewanti-wanti perihal Sunghoon kepadanya.

Tapi apa daya, Jake tak bisa menyembunyikan perasaannya.

“Jake kan?”

Menoleh, baik Jake dan Jay mendongak.

“Minhee?” tanya Jake, mencoba mengenali teman seangkatannya dulu jaman SMA.

Saling melemparkan senyum, Jake lalu berjabat tangan dengannya.

“Apa kabar lo?”

“Baik”

“Sunghoon gimana? Gue denger dia udah jadi terkenal, sahabat lo keren banget. Lain kali titip salam yaa”

Senyuman Jake lantas luntur perlahan, membuat Jay yang sedari tadi menonton mulai tak tahan.

“Lo pulang gih” bisik Jay.

Melirik Jay, Jake lalu berdiri. Tanpa sepatah kata berjalan menjauh dari sana.

Berjalan sendiri, Jake menatap kosong jalanan.

Dia kembali memikirkan sosok Sunghoon.

Jake begitu teramat mencintainya.

Kisah mereka berawal dari bangku SMA. Saat semua cerita cinta labil dimulai.

Hari itu Jake baru pindah sekolah, tepat hari fieldtrip sekolah. Cukup sial.

Dia tak punya teman, hanya memeluk erat tasnya di tengah kerumunan. Jake tak mau ikut, namun orang tuanya memaksa untuk Jake ikut fieldtrip.

Tepat di dalam bus, Jake menatap was-was sekitarnya. Tak tahu harus duduk dimana.

“Sini, duduk sini”

Jake membulatkan matanya, terkejut saat melihat seorang pemuda tinggi menariknya untuk duduk di sisinya.

Menoleh, Jake bisa mengetahui dengan langsung. Pemuda di sebelahnya bukanlah orang yang begitu easy going.

“Gue Jake, lo?”

Pemuda itu meliriknya sekali.

“Sunghoon”

Jake menipiskan bibirnya. Namun telinganya samar-samar bisa mendengarkan suara musik dari earphone Sunghoon.

Mengangkat kedua alisnya, Jake ragu-ragu membuka suara.

“Lo juga suka One ok rock?”

Sunghoon spontan menoleh, menatap Jake tak berkedip.

“Suka, lo juga?”

Jake mengangguk keras.

Tersenyum, keduanya lalu berhasil membuka percakapan ramah.

Itu awal mula.

Sejak saat itu Jake dan Sunghoon seakan-akan diciptakan untuk bersama.

Apa yang Sunghoon suka, Jake pun suka.

Dimana ada Jake disitu ada Sunghoon.

Mereka menyatu, begitu pas untuk satu sama lain.

Seakan-akan ada magnet di tengah-tengah keduanya.

Sampai suatu hari Sunghoon membuka hatinya. Menyatakan perasaannya.

Saat itu jaman kuliah. Sunghoon membawa Jake ke rumah makan terdekat, duduk berdua.

“Gue udah lama suka ama lo. Jadi pacar gue ya? Gue nggak nerima penolakan.”

Jake mengerjap, dia hanya tersenyum lebar dan mengangguk.

Ya karena dia pun sama, punya perasaan untuk sahabatnya.

Semuanya indah. Seperti skenario terindah untuk keduanya.

Sampai suatu hari Sunghoon, memberontak kepada kedua orangtuanya. Diusir karna dianggap durhaka.

“Gue mau jadi aktor Jake, itu cita-cita terpendam gue” ucapnya, menatap Jake serius.

Jake tentu saja mengerti.

Sejak hari itu Jake yang menampung Sunghoon, memberikan dukungan full kepadanya. Memberikan moral support kepadanya.

Sebesar itu cinta Jake kepadanya.

Kebahagiaan mereka bertambah saat tiba-tiba Sunghoon mendapat tawaran untuk berakting meningkat.

Namun hari-hari berikutnya Jake seperti menjadi pajangan.

Hanya menunggu Sunghoon pulang pagi lalu pergi pagi.

“Gue pulang lama Jake, jangan nunggu ya?” ucapnya, meraih tasnya lalu hilang dari balik pintu.

“Oke...” Jake memaksakan senyumannya.

Sampai, hari itu benar-benar datang.

“Kita putus aja”

Mata Jake berkaca-kaca, menggelengkan kepalanya.

“Gue sibuk Jake, nggak ada waktu buat lo. Gue sadar, selama ini gue cuma jadi benalu di kehidupan lo. Maaf.”

Menarik kaosnya, Jake menahan Sunghoon.

Tersenyum miris Sunghoon meraih tangan Jake.

“Jake... kita pisah ya? Terima kasih untuk semuanya, gue pergi”

Jake menangis sesegukan, luruh di lantai.

Sejak saat itu Sunghoon pergi dari kehidupannya.

“JAKE!”

Jake tersentak, menoleh dan mendapati Jay yang menatapnya panik.

Ia mendengar suara klakson keras.

Jake tak mengerti apa yang terjadi, namun ia tahu wajah Jay pucat semakin langkah Jay mendekat dengan cepat.

TIN TIN

BRAK!!!

Jake terhempas jauh sekali, sempat beberapa kali berguling di tanah aspal.

Terbentur keras, nafas Jake tak beraturan.

Ia tak bisa mendengar apapun, namun samar-samar wajah Sunghoon terlintas di kepalanya.

Semua memori indah maupun buruk, Jake ingat.

“G-gue m-mas-ih sa-yang lo Su-nghoon...” bisik Jake pelan sekali.

Untuk terakhir kalinya, sebelum menutup matanya.

-Cinta

“Lo mau kemana lagi?”

Sunghoon menoleh, mendapati Jake yang terbangun tengah malam.

Mendekat, Sunghoon hanya menggelengkan kepalanya.

“Nggak, gue cuma lagi penat”

“Mau jalan kaki keluar?” tanya Jake.

Sunghoon hanya mengangguk.

“Mau gue temenin? Pasti temen-temen yang lain masih tidur”

Bergumam, Sunghoon pun mengiyakan ajakan tersebut.

Berjalan di tengah malam, keduanya menatap langit hitam. Syukur ada bulannya, jadi terang.

Keduanya berjalan bersisian, pelan.

Sunghoon tiba-tiba menghela nafas, kedengeran lelah.

“Lo kenapa? Lagi stress?”

“Baru abis putus”

Jake menoleh, menatap Sunghoon terkejut.

“Ama kak Heeseung?!”

Sunghoon mengangguk pelan.

“Sejak kapan?” tanya Jake.

“Tiga hari yang lalu”

Jake menipiskan bibirnya seketika. “Mau cerita? Siapa tau lega”

Tersenyum miring, Sunghoon melirik Jake.

“Emang udah gitu ceritanya. Cinta bisa menghilang kapan aja, kayak warna, luntur. Kayak pelangi, bisa pergi.”

Tersentak, Sunghoon spontan ikut berhenti saat Jake memberhentikan langkahnya.

Jake mendengus. “Jadi lo nggak percaya ama cinta abadi?”

Menggelengkan kepalanya, Sunghoon lalu mengedikkan bahunya.

“Nggak ada yang abadi di dunia ini Jake, dan begitupun cinta manusia. Itu fana, cuma sementara”

Mengernyit, Jake melangkah lebih dekat kepada Sunghoon.

“Emang sih, bener. Tapi gue punya satu keyakinan”

Mengangkat kedua alisnya, Sunghoon menatap lamat wajah Jake yang terkena sinar bulan.

Cantik.

“Apa?”

“Does love change? Isn't a promise till die?”

Sunghoon spontan melebarkan matanya.

Jake pun tersenyum.

“Menurut gue, orang yang udah berani bilang cinta adalah orang yang udah berjanji, untuk mencintai orang tersebut sampai akhir hayat”

Mengerjap, Sunghoon menatap lekat Jake.

“Cinta itu bukan asal-asalan Hoon, saat lo udah yakin, lo bilang cinta. Dan cinta itu nggak akan berubah, karna itu adalah hutang.” ucap Jake, serius.

“Jadi yang gue rasain ama kak Heeseung bukan cinta dong?”

Jake mengangguk.

“Iya, kalau lo cinta palingan kalian nggak akan berpisah”

Jake memalingkan wajahnya, kini menatap bulan.

Sunghoon saat itu membeku, tak bisa melepaskan tatapannya dari Jake. Sesuatu bergetar di dalam hatinya, dan itu tak biasa.

“Jake”

“Hm?”

“Kalau gue bilang gue cinta sama lo, lo bakal trima?”

Menoleh, Jake mengerjap lama.

“Secepat itu?”

“Hm”

Tersenyum, Jake mengedikkan bahunya.

“Berarti lo punya hutang cinta seumur hidup ama gue”

Tertawa, Sunghoon mengangguk pelan.

“Seumur hidup gue abisin buat lo, gue nggak akan nyesel” bisiknya.

Tersenyum, Jake hanya diam saat Sunghoon menarik tangannya.

Menggenggamnya erat.

“Ayo balik”

Bergandengan tangan, Sunghoon dan Jake berjalan bersama.

“Gue tagih terus nih ya” ejek Jake.

Tersenyum, Sunghoon meraih Jake dalam pelukannya.

“Iya, ini udah janji seumur hidup soalnya”

Jake tertawa, memeluk Sunghoon erat. Diberikan kehangatan, lalu menerimanya dengan tangan terbuka.

-Janji

Jake melayangkan senyuman terbaiknya, menatap Sunghoon yang tersenyum kearahnya.

“Kamu sibuk?”

Jake menggelengkan kepalanya.

Berjalan mendekat, Sunghoon menarik Jake masuk ke dalam apartemennya.

Masuk ke dalam apartemen Sunghoon, Jake beralih duduk di sofa pacarnya.

“Maaf ya, aku bersih-bersih bentar dulu, kemarin anak-anak datang main.”

“Gapapa. Sini aku bantu bersih-bersih” tawar Jake, beralih untuk mengambil koran-koran yang berserakan di atas meja.

Sunghoon tersenyum, mengusak kepala Jake gemas.

“Nanti aku balik abis bersiin kamar” ujarnya sebelum berjalan ke kamarnya.

Jake melayangkan pandangan, mengambil beberapa koran. Sebelum matanya tertuju kepada tulisan di koran tersebut.

“Sejumlah mahasiswa yang hilang, tak ditemukan” gumam Jake.

“Sayang!” teriak Jake, langsung berjalan kearah kamar Sunghoon.

“Iya? Kenapa Jake?”

Jake menunjukkan koran tersebut ke hadapan Sunghoon.

“Apa nih?” tanya Sunghoon.

“Kamu hati-hati ya, mahasiswa dari kampus kita bertambah banyak yang hilang. Mana hilangnya di sekitaran persimpangan jalan rumah kamu lagi”

Mengangguk, Sunghoon tersenyum menenangkan.

“Kamu loh, seharusnya kamu yang aku bilang gitu ke kamu. Modelan gini gampang diculik” ucap Sunghoon sambil menggelitiki Jake.

“Ini serius!”

Sunghoon tersenyum, mengangguk. “Iyaa”

Tertawa, Jake lalu berlari ke ruang tamu. Membuat keduanya berlarian seisi apartemen.

“Dapet kamu! Nggak bisa lari lagi”

Jake memekik saat Sunghoon menariknya dalam pelukan, memeluknya ala koala.

“Mau kemana ha?”

Tertawa pelan, Jake memeluk leher Sunghoon erat.

Senang dengan perlakuan Jake, Sunghoon lalu mencium wajah Jake.

“Ini anak koala pacarnya siapa sih? Gemes banget, bawaannya pengen gigit” ujar Sunghoon, mengecup lama pipi gembil Jake.

Jake hanya bisa terkikik, merasa geli.

“Punya Sunghoon bukan?”

Tersenyum, Sunghoon lalu menghadiahi Jake kecupan di bibirnya.

***

“Kak, aku suka kak Jake”

Sunghoon menatap datar adik tingkatnya tersebut, darahnya mendidih. Gatal, pengen nonjok.

“Kita pergi aja, nggak usah didengerin.” bisik Jake, mencoba menenangkan Sunghoon.

Kantin kuliah sudah penuh dengan netizen, siap menonton peperangan.

“Ayo... “

Menarik tangan pacarnya, Sunghoon lalu dibawa paksa oleh Jake.

“Liat aja kak! Aku bakal ambil kak Jake dari kak Sunghoon!”

Sunghoon hampir kehilangan kendali, kalau saja Jake tidak menahannya sambil mengelus tangannya.

“Udah ya, udah... Ada aku disini, nggak usah emosi.”

Jake dan Sunghoon berjalan sampai ke dalam mobil bersama.

Brak!

Jake tersentak, menatap Sunghoon yang dikuasai amarah menutup keras pintu mobil.

“Brengsek” geramnya. Menggigit bibirnya keras, mengepalkan tangannya kuat.

Jake teetegun, melihat urat-urat leher Sunghoon mulai kelihatan.

'Sunghoon akan mulai kehilangan kendali' batin Jake.

Memukul setir mobil, Sunghoon lantas melampiaskan amarahnya dengan memukul kepalanya sendiri berkali-kali.

“Arghhh” geram Sunghoon, kini beralih memukul kepalanya di setir mobil.

Jake yang kalap langsung mencoba memberhentikan aksi nekat pacarnya tersebut.

“Sunghoon! Sunghoon! Berhenti! Liat aku, liat aku! Aku disini!” teriak Jake kesetanan, menarik tangan Sunghoon.

Jake menahan kedua lengan Sunghoon, memeluknya erat. Susah payah karna Sunghoon mampu melepaskan diri.

“Please, berhenti ya? Hiks, please...” isak Jake masih mencoba menahan Sunghoon.

“Sunghoon!!” teriak Jake sekali lagi, menampar pipi Sunghoon karna sudah tak ada cara lain.

Tersadar, Sunghoon lalu menarik nafasnya panjang. Menoleh dan mendapati Jake yang menangis terisak.

”... Jake?”

Jake sesegukan, dengan tangan gemetar meraih tangan Sunghoon.

“Jangan gitu lagi, please... Hiks”

Hati Sunghoon serasa tercabik-cabik, menatap Jake yang kini mengecup kedua tangannya yang sakit.

“Maaf ya, maaf. Aku masih kambuh, aku masih belum sehat. Maaf”

Jake menggelengkan kepalanya kuat.

“Nggak Hoon, kamu cuma nggak tau cara ngelampiasin emosi kamu aja.” gumam Jake.

Menatap pacarnya miris, Sunghoon menaruh kepalanya di antara ceruk leher Jake.

Pasrah.

“Aku terlalu takut kalau kamu pergi, aku nggak sanggup. Kamu udah jadi segalanya, jadi jangan pernah pergi”

“Aku janji... Aku nggak bakal pergi” bisik Jake, memegang erat tangan Sunghoon.

Dia berjanji.

Dua hari setelah kejadian itu, di sore hari Jake berjalan menuju apartemen Sunghoon.

Dia ingin memberi kejutan kepada pacarnya, karna Sunghoon tau Jake sedang sibuk mengerjakan projek kuliah.

“Sayang?” Jake membuka pintu apartemen, karena dia tahu password.

Menatap sekeliling, Jake mengecek setiap sudut ruangan.

“Sunghoon?”

Mengernyit, Jake heran saat tak melihat sosok Sunghoon dimana-mana. Menyerah, Jake lalu duduk di sofa.

“Mungkin lagi keluar kali ya?” gumam Jake kepada dirinya sendiri.

Mengerjap, Jake lalu menyibukkan diri dengan membaca beberapa koran yang tergeletak di meja.

Jake dari dulu tahu, Sunghoon hobi membaca koran. Setiap pagi selalu ada koran baru yang tergeletak di mejanya.

Namun anehnya, Sunghoon tak pernah membuangnya.

“Ini... “

Jake kian mengernyitkan dahi.

Di koran itu kasus bertambahnya jumlah menghilangnya mahasiswa bertambah.

“Ini kok aneh” gumam Jake, semakin curiga.

“Bukannya mereka semua yang jadi korban, pernah dekat sama aku?”

Brak!!!

Jake tersentak, terkejut hebat saat mendengar suara aneh dari kamar.

Berlari, Jake membuka kamar Sunghoon. Mengangkat kedua alisnya, saat menemukan sebuah celah dari belakang bingkai foto besar.

“Sunghoon...” gumam Jake, segera membuka celah tersebut.

“Kok ada tangga disini?”

Jake menahan nafasnya, dengan berani mencoba turun kebawah. Langkahnya pelan namun pasti.

Hawa dingin langsung menyambut Jake setibanya dibawah.

Hanya ada satu penerangan. Remang-remang.

Bau busuk menguar, membuat Jake hampir mual. Matanya bergerak tak nyaman, benar-benar pusing.

Rasanya Jake sedang berputar-putar melihat sekelilingnya.

Ada beberapa bercak darah di lantai.

Namun bulu kuduk Jake meremang, saat melihat bayangan.

Matanya melebar, nafasnya tercekat. Dia sesak nafas.

”... Jake”

“Sunghoon...”

Sunghoon berjalan dari kegelapan, menampakkan wujudnya yang kini setengah terbalut oleh darah.

“Jake. Maaf”

Menahan perutnya, lutut Jake melemas saat melihat apa yang dibawa Sunghoon di tangannya.

Kepala manusia. Dan bukan sembarang kepala manusia, tapi kepala si adik tingkat yang pernah bersumpah akan memiliki Jake.

“Sunghoon, k-kamu”

Tersenyum miris, Sunghoon menutup matanya.

“Dalam hitungan ketiga, kamu harus lari Jake. Aku ini monster, dan selamanya akan begitu. Aku nggak akan pernah sembuh, dan aku mohon. Dalam hitungan ketiga, saat aku buka mata kamu sudah pergi dari sini”

Menutup mulutnya, Jake menatap Sunghoon dengan pandangan syok.

Sunghoon mulai berhitung. Pelan sekali.

“Satu...”

“Dua...”

“Tiga...”

Ia yakin, Jake sudah pergi.

Sunghoon sudah yakin 100% monster sepertinya lagi-lagi ditinggalkan.

Itu yang dia kira.

Sampai tangannya ditarik lembut.

“Kita keatas bareng”

Membuka matanya, Sunghoon terkejut.

“Aku bakal rebusin air panas, kamu mandi. Sekarang lepas itu, kita harus pergi dari sini” ujar Jake.

Ditarik, Sunghoon perlahan melepaskan kepala manusia di tangannya. Ia menatap punggung Jake, hampir menangis.

“Aku nggak bakal ninggalin kamu. Aku udah janji” ucap Jake, mengingatkan kembali janjinya.

Mengigit bibirnya, Sunghoon menahan tangisnya.

Dia kali ini yang akan berjanji.

“Aku bakal berubah Jake”

Tersenyum, Jake mengangguk kepalanya pelan.

“Iya Sunghoon. “

-You're my day one

Jay mendongak, menatap langit lama. Hari ini dia bolos kelas, biasa. Bosan kelamaan di kelas.

Biasanya rooftop hanya punyanya, karna tak ada satu pun orang yang berani masuk ke atas.

Pengaruh anak pemegang saham terbesar, Jay tak pernah dilarang kalau kesini.

Biasanya dia selalu sendiri disini, namun hari ini sepertinya akan berbeda.

“Jadi bener dugaan gue, lo biasa kesini kalau bolos.”

Jay menatap lama kearah seorang pemuda yang tiba-tiba mengusik waktu tenangnya.

“Kenapa Jake?” tanya Jay.

Jake tersenyum lebar, berlari mendekat. Jay tak sadar, Jake datang membawa sebuah keranjang di tangannya.

“Piknik yuk!”

Jay menggelengkan kepalanya, tak habis pikir.

“Lo tahu ini masih jam skolah kan?” tanya Jay.

“Iya” jawab Jake polos.

“Terus kenapa lo nekat gini?”

Jake tersenyum miring, semakin berjalan mendekat kearahnya.

“Kan pikniknya bareng lo, anaknya pemilik saham skolah. Jadi kalau kita ketauan nggak bakal jadi perkara besar.”

Terkekeh, Jay akhirnya pasrah saja.

Ikut tertawa, Jake lantas mulai membongkar isi keranjangnya. Menggelar tikar di lantai rooftop.

“Ini gimana ceritanya lo bisa lolos bawa keranjang besar gini?” tanya Jay heran.

“Nitip di cafetaria”

Jake menarik lengan Jay, mendudukkan keduanya di atas tikar tersebut.

Keduanya tiduran, menatap langit biru yang indah tersebut.

“Gue mau nanya sesuatu, kenapa sih lo suka ganggu gue?”

Melirik Jay, Jake lalu bergumam pelan.

“Ya karena lo kerjaannya menyendiri melulu sih”

Jay tertawa pelan. “Jadi lo kasian ama gue?”

“Bukan”

Menoleh, Jay kini menatap lekat Jake yang juga sedang menatapnya.

“Ada alasan lain?” bisik Jay.

Tersenyum, Jake mengangguk.

“Tau cinta dari pandangan pertama?” tanya Jake yang dibalas anggukan singkat Jay.

Menipiskan bibirnya, mata Jake berbinar saat fokus Jay hanya padanya seorang.

“Gue jatuh cinta pada pandangan pertama”

Jay mengernyitkan dahinya. “Sama siapa?”

“Lo” ucap Jake menunjuk Jay dengan dagunya.

Sedikit terkejut, tapi Jay pun ingin tahu alasan mengapa seorang Jake bisa menyukai Jay.

“Sejak kapan?” tanya Jay penasaran.

“Sejak hari pertama gue pindah, gue liat lo di kelas di pojokan. Sok cool, make headset terus mulut komat-kamit lagi ngerap. Lucu sih, tapi entah kenapa hati gue nggak tenang.”

Jay mendengus. “Itu namanya lo sakit”

Melotot, Jake lalu memukul Jay.

“Dibilangin serius. Pokoknya sejak saat itu gue gencar mau tau nama lo, kenalan, terus muncul dimana-mana”

Akhirnya, Jay tahu alasan kenapa dia selalu melihat sosok Jake dari hari pertama dia masuk ke sekolahnya.

“Owh gitu...”

Jake mengangguk, kini memalingkan wajahnya. Memerhatikan langit biru, menatap sekumpulan awan yang kini bergerak seiring dengan arah angin.

“Baguslah”

Menangkat kedua alisnya, Jake megerjap.

“Apanya?”

Jay tersenyum.

“Itu artinya bukan cuma gue yang jatuh cinta pada pandangan pertama.”

“Hm?”

Spontan, Jake langsung menoleh. Dia dikejutkan dengan senyuman Jay, menatapnya dengan tatapan yang tak bisa Jake baca.

“Gue juga Jake, jatuh cinta sama lo. Sejak lo datang dan kenalin nama lo ke gue, gue tau diri gue ini udah jatuh buat lo”

Jake membeku, wajahnya merah padam namun hatinya berdetak kencang layaknya sedang lari marathon.

Meraih tangan kanan Jake, Jay memegangnya erat.

“Sampai kapanpun you are my day one” bisiknya, begitu manis di telinga Jake.

Tertegun, Jake hampir meledak di tempat. Jake cepat-cepat beralih menyembunyikan wajahnya di dada Jay.

Menganggukkan kepalanya pelan.

“You are also my day one, Jay”

-Sakit

“Kak Jay nggak bisa makan makanan pedes kak, itu sebabnya dia mules-mules dari tadi pagi”

Wajah Jungwon kian memias saat mendengar ucapan adik dari pacarnya tersebut.

“Terus keadaan kak Jay gimana Daniel?” mengigit bibirnya, Jungwon tak sadar dirinya sudah ingin menangis saja mendengar berita tersebut.

Daniel tersenyum tipis, lalu menghela nafasnya.

“Tenang aja kak, palingan sakit perutnya nggak bakal lama... Palingan sorenya udah sembuh dia”

Jungwon kian makin bersalah, pasalnya kemarin Jungwon pengen banget makan bakso pedas di salah satu mall.

Jungwon tak tau, kalau Jay tak bisa makan pedas. Dan akhirnya dia menyuruhnya untuk makan.

“Bego banget sih lo Jungwon” seru Jungwon sambil memukul kepalanya.

Daniel membelalak, dengan segera menahan tangan Jungwon. “Nggak kok kak, salah kak Jay juga karena telat makan.”

Kalimat Daniel tak membuat kecemasan Jungwon berkurang, malah semakin bertambah.

Dirinya bertanya-tanya akan keadaan Jay, dirinya sangatlah cemas.

Lagian, ngapain sih Jay kemarin diem-diem aja! Malah nurutin apa yang dia bilang?! Jungwon malah jadi bersalah.

“Yaudah kak... Masuk aja dulu ya kak, temuin kak Jay di kamarnya.” ucap Daniel bisa merasakan kekhawatiran Jungwon.

Mengangguk pelan, Jungwon lalu beranjak masuk dan naik lift ke lantai 2 dimana kamar Jay berada.

Tepat di depan kamar Jungwon lalu mengetuk pelan. “Masuk...” suara Jay yang lemah terdengar di telinga Jungwon membuat ia mengigit bibirnya.

Membuka pintu, Jungwon dengan perlahan masuk ke dalam kamarnya.

Tatapannya mengedar ke sekitar kamar Jay. Kamar pemuda itu bersih, besar.

Cat kamarnya perpaduan warna abu-abu dan putih. Ada beberapa foto kecilnya, dan bingkai foto yang berisikan dia dan Jungwon.

Melangkah perlahan, dilihatnya Jay sedang bergelung di dalam selimutnya. Jungwon dapat melihat jelas wajah pucat Jay.

“Kak...” panggilnya pelan sambil mengusap pipi Jay lembut.

Jay dengan spontan membuka mata, matanya terbuka kian lebar saat melihat Jungwon.

“Loh? Kok kamu bisa disini?” tanyanya sebelum mencoba untuk duduk.

Jungwon menipiskan bibirnya, duduk di ujung kasur. Pemuda itu bukannya menjawab, hanya menatap wajah Jay lama.

Jay mengerjap pelan, tak percaya Jungwon datang menjenguknya.

“Tau darimana aku sakit?”

”... Kak Jay nggak jemput tadi pagi, aku khawatir terus nelfon adik kamu.” jawabnya tenang.

Jay meraih tangan Jungwon, memainkan tangannya. Pemuda itu mengangguk tanpa menatap kedua mata Jungwon.

Tanpa disadari, mata Jungwon berkaca-kaca.

“Hm?” Jay membelalak saat setetes air mata mengenai tangannya.

Mendongakkan kepalanya, dirinya dikejutkan Jungwon yang malah menangis.

Panik, Jay lalu meraih pipi Jungwon.

“Maafin aku kak... Aku nggak tau, kalau aja aku tau. Kakak pasti nggak bakal gini” ucap Jungwon disela-sela tangisannya.

“Shhttt, nggak kok. Nggak, ini bukan salah kamu. Aku aja yang nggak ngomong, maaf ya... Udah bikin kamu khawatir” kini tangan Jay bergerak, mengelus pipi bulat Jungwon, mengusap airmatanya.

Jungwon terisak pelan, menggigit bibirnya agar tak mengeluarkan suara.

Jay tanpa sadar menahan tawanya, menemukan betapa menggemaskannya Jungwon saat ini.

“Jangan ketawa!” seru Jungwon saat pemuda itu keliatan menahan senyumnya.

Jay mengangguk, melirik kecil Jungwon sebelum berucap.

“Aku bisa langsung sembuh loh, asal kamu lakuin satu hal buat aku.”

Mata Jungwon mengerjap, diam-diam mendengarkannya dengan serius.

“Peluk” ucapnya dan langsung merentangkan kedua lengannya lebar-lebar.

Tak lupa dengan senyuman lebarnya, seakan-akan menjemput Jungwon ke dalam pelukannya.

Jungwon melotot kecil, “Kita lagi di kamar kamu, jangan macam-macam nanti mama kamu mikirnya apaan.” ancamnya.

Wajah Jay spontan merengut. “Mama nggak bakal marah kok, lagian aku cuma peluk kan?” tanyanya lalu merentangkan kembali kedua lengannya.

Menatap tajam Jay, Jungwon lalu pelan-pelan masuk ke dalam kedua lengan Jay, bersandar di dadanya.

Jay tersenyum lebar.

“Kamu khawatir ya?”

“Hm.”

“Khawatir banget ya?”

“Tadi aku nangis, jadi itu maksud kamu apaan?” Jungwon menatapnya sinis.

Terkekeh pelan, Jay lalu mengeratkan pelukannya. Sedangkan Jungwon telah memejamkan matanya menikmati kehangatan pelukan dari Jay.

“Aku sayang kamu, cepat sembuh.” gumamnya pelan.

“Kamu bilang apa tadi?! ” seru Jay tak tertahan, terkejut mendengar ucapan Jungwon.

“Diem! Nanti mama denger kak Jay! ” gemes Jungwon.

“Jay! Itu Jungwon jangan dikurung! Kasian anak orang! “

Jungwon membelalak, terkejut mendengar teriakan mamanya Jay.

Jay melirik Jungwon yang menengang di pelukannya, pemuda itu lalu tersenyum miring.

“Mama mau cucu berapa?!”

“KAK JAYYYY”

-Bosan jadi sahabat

Pukul 11 malam, Jake berjalan mengitari komplek rumahnya.

Sebenarnya tak dikasih untuk berkeliaran, tapi ia bisa keluar dengan alasan ingin melihat petasan lebih jelas.

Mengusap tangannya, Jake mempererat jaketnya untuk melawan hawa dingin.

“Gue kira lo nggak bakal datang”

Jake tersenyum, menatap Sunghoon yang berdiri di persimpangan jalan.

Mengangkat kedua tangannya, Sunghoon tersenyum kearahnya.

Berlari, Jake mempercepat langkahnya untuk menyeberangi jalan yang sepi.

Jake tertawa saat badannya bertubrukan dengan dada Sunghoon.

“Ah, hangattt” serunya memeluk erat Sunghoon. Tak lupa mendusel dada bidangnya.

Begitu menggemaskan.

Terkekeh, Sunghoon kian mempererat pelukan keduanya.

“Lo kok betah sih jadi sahabat gue?” tanya Sunghoon.

Jake mengadah, menatap wajah Sunghoon.

“Ya karna gue suka lo”

Mendengus, Sunghoon lalu melerai pelukan keduanya. Kini, tangannya terangkat untuk mengelus kedua tangan Jake dan menempelkannya di pipinya.

Berpindah, ke bibirnya. Sunghoon mengecup kedua punggung tangan Jake.

Jake bingung menatapnya.

“Kenapa emangnya?”

“Tapi lo serius masih mau jadi sahabat gue?”

Jake mengangguk yakin. Tersenyum miris, Sunghoon lalu menggelengkan kepalanya.

“Gue nggak mau Jake”

Melebarkan kedua matanya, Jake menggelengkan kepalanya keras.

“Loh kenapa? Gue bikin salah? Atau bikin lo nggak nyaman?”

Kalap, Jake hampir dibuat menangis oleh Sunghoon.

Bisa-bisanya sahabat satu-satunya di dunia tidak ingin menjadi sahabatnya lagi.

Sunghoon menggelengkan kepalanya.

“Gue bosan Jake”

Habis sudah, Jake rasanya ingin menangis saja.

“Sunghoonnn” rengeknya, mencoba untuk tak menangis.

Tersenyum tipis, Sunghoon kini gantian mengecup hidung Jake.

“Jangan nangis, bukan itu maksud gue”

Bingung, Jake mengernyit.

“Gimana maksudnya?”

“Gue bosan jadi sahabat, karna gue mau jadi pacar lo.”

Mengerjap lucu, Jake bergumam pelan.

“Apa bedanya kalau kita pacaran?”

Peryanyaan bagus, Sunghoon saja dibuat berpikir. Selama menjadi sahabat keduanya lebih mirip orang pacaran.

“Bedanya, gue milik lo. Lo milik gue”

Tertawa, Jake memiringkan wajahnya.

“Bukannya dari dulu emang begitu?”

Ada tembakan tak kasat mata kena tepat di hati Sunghoon.

”... Dan selamanya akan tetap begitu”

Jake mengangguk, meraih kedua tangan Sunghoon, gantian menaruhnya di wajahnya lalu tersenyum.

“Yaudah deh kalau lo memang mau gitu, kita boleh pacaran.”

Terkekeh, Sunghoon tiba-tiba mengangkat Jake di udara, merasa inilah yang di tunggu-tunggunya sejak dulu.

Sebuah kejelasan, sebuah ikatan yang lebih pasti untuk keduanya.

Memekik, Jake tertawa saat Sunghoon berganti menghujaninya dengan ciuman.

“Gue sayang banget lo Jake”

Mengangguk, Jake menempatkan dahinya dengan dahi Sunghoon.

“Gue juga, sayang banget Sunghoon”

-Tahanan Hati

Jake mengeluh saat membuka matanya, menatap sekitarnya lalu mengaduh saat berusaha untuk bangun.

“Argh” geramnya saat merasakan pinggangnya yang sakit karena kebas.

“Dah bangun?”

Jake mengadah, menatap sosok Sunghoon yang berjalan membawa segelas air.

“Pagi” ucap Jake serak, menarik selimut untuk menutupi bagian atasnya yang polos.

Sunghoon tersenyum. “Pagi juga, ayo minum”

Memberikan gelas tersebut, Sunghoon dengan telaten membantu Jake untuk minum.

“Makasih”

Mengerjap, Jake menatap Sunghoon yang tersenyum kearahnya.

“Kenapa?”

“Lo cantik”

Pipi Jake spontan merona. “Gue laki bukan cewek”

Sunghoon terkekeh, lalu mengusak sayang rambut Jake.

Tersenyum, Jake dengan berani maju untuk mengecup bibir Sunghoon singkat.

Sunghoon tersenyum miring, gantian mengecup bibirnya beberapa kali.

“Udah udah”

Jake mundur, takut-takut membangunkan sisi liar Sunghoon.

“Gue mau ke kerja dulu, lo bisa nunggu disini?”

Jake tersenyum miris. “Emangnya gue bisa pergi dari sini?”

Tersenyum misterius, Sunghoon menggelengkan kepalanya pelan.

“Nggak ada jalan keluar dari sini” ucapnya pelan.

Jake dibuat tertegun mendengar itu.

Mengelus pipi Jake, Sunghoon menatapnya lekat.

“Tempat lo cuma disini Jake, di sisi gue. Ngerti?”

Jake mengangguk.

“Sekali lagi gue liat lo coba lari, nggak ada kata ampun buat lo.” wajah Jake pucat mendengar itu, tak bisa membayangkan jika Sunghoon menghukumnya.

Mendekat, Sunghoon mengecup dahi Jake lama, mengabaikan fakta bahwa Jake gemetaran ketakutan.

“Jangan pergi ya... Gue sayang banget lo”

Memaksakan senyuman, Jake mengangguk. Terlalu takut untuk membantah.

Berjalan pergi, Sunghoon lalu menghilang dari dari pandangan Jake.

Jake menghela nafas, berusaha bangun, kini menjalani hari seperti bisanya.

Mandi, makan dan tidur siang. Kalau bosan, Jake biasanya mengelilingi mansion besar milik Sunghoon.

Setiap sudut ruangan ada CCTV, dan setiap kamar selalu berbeda-beda.

Seakan-akan mansion ini sudah punya segalanya.

Tau mengapa Jake bisa disini?

“Tuan Jake”

Jake memalingkan wajahnya, menemukan bibi yang sering melayaninya.

“Kenapa Bi?”

Bibi tersebut tersenyum ramah. “Waktunya minum teh.”

Wajah Jake memias saat mendengar itu. Dia tersenyum kaku, melirik CCTV di sudut ruangan perpustakaan.

Berjalan kearah meja, Jake duduk nyaman.

“Tehnya... ” ujar Bibi tersebut, menyodorkan cangkir teh.

“Bi...” bisik Jake saat bibi tersebut menuangkan teh.

“Saya sudah punya cara untuk nak Jake keluar dari sini... ” bisiknya pelan sekali, namun wajahnya masih fokus menatap cangkir teh.

“Bi, pake gula jangan kebanyakan ya” ujarnya keras.

Bibi tersenyum, mengangguk. Beralih, menaruh gula ke dalam cangkir teh.

“Bi, Jake tidak bisa. Maaf”

Menatap Jake, bibi tersebut hanya menatapnya miris. Menaruh beberapa kue ke hadapan Jake.

“Tidak apa-apa nak Jake, jika suatu saat nanti nak Jake sudah tak kuat, bibi punya jalan keluar. Tinggal bilang, nak Jake mau minum teh.”

Jake menipiskan bibirnya.

Alasan mengapa dia bisa disini, ialah karena Sunghoon yang menculiknya.

Jake hanya pernah sekali bertemu Sunghoon di sebuah kafe. Saat itu Jake baru pulang dari kuliah, tak sengaja bertubrukan dengan Sunghoon.

Pada dasarnya Jake adalah anak yang ramah, jadi dia bersikap baik kepada Sunghoon.

Ia tidak tahu, bahwa pertemuan itu adalah awal dari segalanya.

Sunghoon tergila-gila dengannya dan dengan nekat menculiknya saat Jake tidur.

Kini Jake hanyalah tahanan mansion besar ini. Sudah 1 tahun lamanya.

Namun Jake bukan cuma tahanan di rumah ini.

“Mikir apa?” bisik seseorang tepat di telinganya.

Jake dapat pelukan dari belakang, melirik Sunghoon yang menariknya lebih dekat.

Udara dingin kini tak lagi mengusik, karena Sunghoon sudah membungkusnya.

Jake beralih memutar badannya menghadap Sunghoon.

“Nggak, cuma natap bulan”

Sunghoon tersenyum miring. “Gue lebih suka natap lo daripada bulan”

Ikut tersenyum, Jake berjinjit memeluk leher Sunghoon.

“Kenapa?”

Mengerucutkan bibirnya, Jake berbisik. “Cium”

“My pleasure babe”

Terkekeh, Sunghoon tanpa aba-aba meraup bibir Jake, melumatnya habis-habisan.

Tak ada yang tahu, Jake bukan hanyalah tahanan rumah.

Karena Jake kini telah menjadi tahanan hati Sunghoon.

Dia mencintai sosok Sunghoon, yang notabenenya adalah penculiknya.

“I love you Jake, dan nggak ada satu pun orang yang bisa bawa lo jauh dari gue.” bisik Sunghoon tepat di telinga Jake.

Menatap si pemuda cantik dari atas.

Tersenyum tipis, Jake menutup matanya.

“H-mmm, I love you too.”

-Kalah taruhan

“AKU SUKA KAMU KAK JAY”

Jay terlonjak di tempat, hampir latahan tapi nahan diri supaya tetap cool. Dirinya mengerjap, langsung mencari si pemilik suara tersebut.

“Itu Jake bukan? Anak futsal?” Sunghoon bertanya, menunjuk pemuda yang berdiri dari ujung lapangan basket.

Mengangguk, Heeseung menatap tak percaya kearah Jay dan Jake.

Jay masih membeku, menatap Jake yang kini dengan gencar berlari karena malu.

“Eh? Kok lari?”

Sunghoon tertawa, merasa kejadian tadi begitu lucu. Begitu pun Heeseung yang kini terpingkal-pingkal saat merasa pemuda itu lucu.

“Jake kelas berapa dia?” tanya Jay langsung kepada kedua sahabatnya.

***

“HAHAHAHA”

Jake berdecak, rasanya ingin menabok Sunoo yang kini tertawa puas menikmati Jake yang sengsara.

“Yang sabar ya Jake” ucap Jungwon berusaha untuk menghibur.

Mengusak rambutnya kasar, Jake mengutuk dirinya sendiri. Rasanya dia tuh pengen berguling, melompat, mengubur diri sendiri.

Jake malu sangat!

“Sunoo tau darimana kalau lo suka sama kak Jay?” tanya Jungwon yang duduk di depannya.

Melemparkan tatapan sinis kearah Sunoo, Jake lalu mendecih. “Nggak tahu, dia langsung tahu aja.”

Sunoo menepuk dadanya, bangga. “Lo lupa siapa pacar gue?”

“Bangke, si Ni-ki?!” teriak Jake siap-siap akan meledak.

“Bukan salah gue lo kalah taruhan, coba aja lo menang main monopoli tadi, pasti lo bakal nggak confess ama mas crush.” ujar Sunoo.

Mengangguk pasrah, Jake lalu memukul kepalanya sendiri di meja.

“Gue rasanya mau berenang di lautan pasifik, lari dari sekolah ini” gumamnya.

Jungwon menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

“Dahlah, udah terjadi juga.”

Sunoo mengangguk keras. “Huum, mana sempat keburu terjadi.”

Jake menghela nafasnya keras.

“Mungkin dia nggak tahu gue kan? Kan tadi gue confessnya jauh banget. Dia ada di ujung lapangan, gue teriaknya dari ujung lapangan juga.” ucapnya berpikir positif.

Jungwon mengangguk, merasa tak ada salahnya untuk berpikir demikian.

“Iyaa bisa aja dia nggak liat, trus nggak kenal lo!”

Mengangkat kepalanya, Jake mengepalkan tangannya ke udara.

“Iya! Bisa aja dia nggak kenal gue!”

Tok tok

“Jake! Kak Jay nyari nih!”

Jake membeku di tempat, masih mengepalkan tangannya di udara.

Sunoo dan Jungwon spontan saling melemparkan tatapan.

“Jake, g-gue ke kelas Ni-ki ya” bangkit dari duduknya, Sunoo menjauh agar tak dibawa-bawa dalam masalah.

Menatap kepergian Sunoo, Jungwon perlahan-lahan ikut berdiri dan berjalan keluar kelas.

“Gue ke kak Heeseung aja deh” ucapnya lalu sedetik kemudian menghilang.

Jay di sisi lain mengerjap, saling berpandangan dengan Jake yang sudah seperti tiang.

Tak bergerak.

“Ayo bicara diluar” ajak Jay.

MAMA! JAKE MAU LARIIII

Pasrah, Jake lalu mengekor dari belakang Jay keluar dari kelas, berjalan ke rooftop sekolah.

“Jadi, bisa jelasin tadi kenapa?”

Jake menunduk, tak berani menatap wajah Jay.

“Ya gitu kak...”

Jay mengernyit. “Gitu apa?”

Mencebik, Jake lalu kesal sendiri.

“Ya gitu kak! Aku suka kak, masa tadi nggak denger?!”

Jay gagal menutupi senyumnya.

“Set dah, baru gini aja udah galak. Apalagi kalau dijadiin pacar”

Melotot, Jake langsung menutup wajahnya. Takut kalau wajahnya memerah, kan nggak lucu!

“Kenapa nutup wajahnya gitu?” tanya Jay, menahan tawanya.

Ucapan tersebut langsung dihadiahi dengan gelengan kepala Jake.

“Panas!”

Tertawa, tangan Jay lalu terangkat dan menarik lengan Jake agar tak menutupi wajahnya.

“Nah gini aja, lebih bagus. Gue bisa lebih jelas liatnya”

“Jelas apanya kak?”

“Lebih jelas natap wajah calon pacar”

“Kak! Jangan ngadi-ngadi yaaa” gemas Jake.

Jay mengernyit. “Yaudah, maunya sekarang gimana?”

Mengerjap, Jake lalu saling berpandangan lama dengan Jay. Mengerucutkan bibirnya, Jake mencicit pelan.

“Maunya kak Jay jadi pacar Jake...”

Tersenyum miring, Jay dengan gemas mengusak rambut Jake pelan. Menatapnya lekat, sama skali tak melunturkan senyumannya.

“Yaudah ayo, kita pacaran.”

-Pelangi

[ Ada adegan kekerasan !!! ]

“Sunghoon, papa udah bilang berapa kali ke kamu soal nilai kamu? Hm?”

Sunghoon menatap datar ayahnya yang kini sedang menyidangnya di ruang tamu. Di sebelahnya, sang ibu justru diam tak melakukan apa-apa.

Mereka sama. Monster di mata Sunghoon.

“Kamu ini anak papa, apa ini? Kenapa nilai Bahasa Inggris kamu cuma 99? Cuma ini saja kamu tidak becus, mau sampai kapan papa ulang hah?! Jangan jadi anak bodoh, malu-maluin keluarga” menunjuk kertas tersebut, ayah Sunghoon melempar kertas tersebut ke wajahnya dengan keras, menamparnya beberapa kali.

Ayah Sunghoon marah besar saat Sunghoon tiba-tiba menutup wajahnya, mengambil benda-benda yang berada di meja secara acak lalu melemparnya.

Ibu Sunghoon masih diam, hanya menonton semuanya.

“ANAK TAK TAU UNTUNG!”

BUGH!

BUGH!

BUGH!

“Arghhhh” rintih Sunghoon saat ayahnya menarik rambutnya dengan brutal.

Sunghoon pasrah saat badannya ditendang, rambutnya ditarik secara paksa bahkan kepalanya dibentur keras di dinding.

Berulang-ulang, hingga dirinya tak kuat untuk terus sadar.

Mati saja dia. Itu yang dia pikir saat itu.

Namun seakan-akan Tuhan punya rencana lain, mansion besar itu seketika dikepung. Ada suara ricuh yang terdengar.

“Tuan muda Sunghoon!”

Sunghoon samar-samar melihat bibi yang bekerja pada keluarganya berteriak namanya, dan tiba-tiba semuanya gelap. Sunghoon kira dia sudah bisa pergi dari dunia, namun perkiraannya salah saat matanya kembali terbuka.

Kamar putih, besar. Sunghoon mengerjap, menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam netra matanya.

“Sudah sadar?”

Sunghoon menatap kearah kanannya, menemukan sosok pamannya yang sedang menatapnya.

“Dimana?” gumam Sunghoon pelan.

Pamannya menipiskan bibirnya.

“Rumah sakit, kamu sempat koma selama sebulan.”

Dirinya tak bergerak, tak mampu dan tak ingin. Sunghoon kira dia seharusnya sudah mati, mengapa dia masih hidup?

“Aku mau mati saja.”

Paman Sunghoon mendesah, tak bisa mengucapkan apapun.

“Orangtua kamu sudah ditangkap, ayah kamu terjerat kasus korupsi, sedangkan ibumu ketahuan menyusup obat-obat terlarang, keduanya sudah diamankan dan perusahaan ayah kamu bangkrut. Kamu sekarang berada di atas tanggung jawab saya, dan saya harap kamu bisa terbiasa mulai sekarang.”

Sunghoon diam.

“Anak saya akan menemani kamu selama di rumah sakit. Masih ingat kan? Jungwon”

Masih tak menjawab, Sunghoon hanya menatap kekosongan. Dia sedang sibuk memikirkan nasib kedua orangtuanya.

Bukan merasa kasihan, bukan. Sunghoon justru merasa itulah yang pantas mereka dapatkan. Sekarang dia bebas, tapi Sunghoon sudah tak punya gairah untuk kembali menjalani hidup.

Merasa lagi-lagi diabaikan, paman Sunghoon lalu berdiri dari kursinya. “Saya pergi dulu, sedikit lagi Jungwon akan tiba.”

Brak

Sunghoon mengedarkan pandangannya, melihat infus yang berada di tangannya. Menarik paksa, Sunghoon melepas jarum yang menancap di tangannya, sebelum akhirnya berdiri dari bangsalnya.

Susah payah Sunghoon mencoba untuk berdiri. Saraf-sarafnya sudah kaku, akhirnya dia terus terjatuh.

Tapi ini belum seberapa dengan yang ia terima di rumahnya.

Neraka.

“Arggghh” berusaha untuk berdiri, tangan Sunghoon menarik ujung bangsal. Hingga ia bisa berdiri lagi, dan berjalan tertatih-tatih.

Meraih gagang pintu, Sunghoon menatap sekitarnya. Dia berada di daerah VVIP, dan sekitarnya justru sepi.

Berjalan tanpa arah, Sunghoon menaiki tangga. Ia punya satu tujuan.

Dan tujuannya itu adalah rooftoop.

Susah payah ia menaiki tangga.

Krrttt

Sunghoon merasakan hawa dingin saat membuka pintu.

“Hujan” gumam Sunghoon, memegang perutnya yang seketika nyeri saat mengingat kenangan pahit.

Ia ingin muntah, kepalanya berputar-putar dan seolah-olah sakit itu menyebar ke seluruh tubuhnya.

Nafasnya tersenggal-senggal. Hujan adalah malapetaka baginya.

Karena setiap hujan, ibunya akan datang ke kamarnya dan memukulnya dengan kayu lalu melemparnya di bawah guyuran hujan setelah dipukul sampai berdarah.

Ayahnya akan menendangnya dan mengurungnya di gudang kosong bocor, membuatnya trauma dengan hujan.

“ARGHHHHH” Menarik rambutnya, Sunghoon berteriak di tengah-tengah suara hujan. Tersungkur di lantai.

“Shhhhh”

Sunghoon menegang, seseorang menepuk pundaknya lembut sekali. Membuat seluruh atensi tubuh Sunghoon ikut rileks.

Perlahan, Sunghoon bisa merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pelukan hangat.

Benar-benar hangat, karena tubuh Sunghoon selalu dingin. Seumur hidupnya, Sunghoon tak pernah merasakan kehangatan seperti ini sebelumnya.

Kedua tangan orang itu menutup kedua telinganya, membuatnya kini hanya mendengar samar-samar suara rintikan hujan.

Menarik tangan tersebut, Sunghoon seketika mendapat dorongan untuk memeluk orang tersebut erat.

Berlindung di bawah kungkungan kehangatan itu. Memejamkan matanya, merasakan tubuh mungil itu.

“Jangan lepas, jangan pergi... Aku mohon” gumam Sunghoon tanpa sadar.

Hingga hujan berhenti dengan sendirinya.

Sunghoon mengerjap, dia menarik tubuhnya dari orang yang berada di hadapannya.

“Hai” Sebuah senyuman tercekat di wajah orang itu. Seorang pemuda berambut coklat tua, dengan sepasang mata coklat yang indah sedang menatapnya.

Nafas Sunghoon tercekat, pemuda itu begitu indah di matanya.

“Aku Jake, nama kamu siapa?” tanyanya.

Tersentak, Sunghoon lalu berdiri. Diikuti Jake.

“Sunghoon” ucapnya.

Jake lagi-lagi tersenyum lebar.

“Sunghoon, bisa bantu aku?”

Sunghoon spontan mengerutkan dahinya.

“Iya”

Jake memalingkan wajahnya, menunjuk langit.

“Apa disana ada pelangi?”

Sunghoon menatap langit, benar. Disana ada pelangi, tapi mengapa Jake malah bertanya?

“Iya...”

Jake mengangguk, tangannya kini bergerak, meraba tangan Sunghoon yang berada di sebelahnya.

“Bisa jelasin ke aku gimana indahnya pelangi?”

Sunghoon tersentak di tempat, menyadari sesuatu.

“Aku nggak bisa lihat soalnya, hehe” ucap Jake, tertawa pelan.

Mengadah, Sunghoon memperhatikan lamat pelangi tersebut.

“Aku lihat spektrum warna yang cantik, bentuknya melengkung ke bawah. Aku nggak bisa jelasin lebih jelas, tapi yang pasti pelangi itu lebih indah kalau nggak cuma satu warnanya” jelas Sunghoon panjang lebar.

Mengangguk, Jake keliatan senang dengan penjelasan Sunghoon.

“Kayak manusia dong, nggak bakal indah kalau cuma sendiri.”

Sunghoon terdiam, menikmati senyuman Jake yang berdiri di sebelahnya.

“Kamu udah lama disini?”

“Baru bangun” jawab Sunghoon seadanya sesuai informasi yang ia dengar.

“Aku dah lama disini soalnya kakak aku kerja disini, setiap hari aku kesini. Mau nunggu ada orang datang kesini, cuma buat jelasin ke aku gimana indahnya pelangi.”

“Kakak kamu?”

Jake menghela nafas. “Sibuk, dia dokter jadi dia cuma bisa nitip aku disini karena katanya nggak ada yang bakal jaga. Padahal aku buta, bukan pengidap penyakit kronis.”

Sunghoon menipiskan bibirnya, melirik tangannya yang masih dipegang Jake.

”... Aku bisa jaga kamu”

Senyuman terbit di wajah Jake. “Aku bisa jaga diri aku sendiri”

Sunghoon mendengus. “Aku bisa jadi mata kamu”

“Boleh, asal kamu selalu di sisiku”

Untuk pertama kalinya dalam hidup Sunghoon, dia tersenyum begitu tulus. Tangan Jake yang berada di tangannya, kini berpindah ke mulutnya.

“Kenapa?” Jake tersentak saat merasakan bibir Sunghoon.

“Aku senyum”

“Senyum?'

“Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku senyum. Dan itu karena kamu.”

Tertawa, Jake lagi-lagi membuat Sunghoon terbawa dengan suasana.

Siapa yang tahu? Selama 18 tahun hidup di dalam badai, Sunghoon akhirnya menemukan pelanginya.

Pelanginya, dalam wujud Jake.

-Malarindu

Sunoo menghabiskan liburan dengan istirahat di rumah.

Kakinya benar-benar parah, plus faktor Sunoo yang manja kalau sakit, jadi cocok.

Terbukti sudah seminggu lamanya Ni-ki dan Sunoo tak bertemu. Kaki Sunoo masih perlu banyak istirahat.

Kegiatannya cuma bolak balik kamar.

Ni-ki tak bisa jenguk, soalnya dia udah mulai sibuk ama try out. Nasib pacaran ama anak kelas 9 SMP.

MIRIS.

Malam itu, Sunoo tiba-tiba kepikiran sama Ni-ki.

Di tempat tidurnya Sunoo tak habis bolak balik. Dia gelisah.

Sepertinya dia kena penyakit malarindu.

“Heh, kena mala rindu beneran nih ceritanyaaaaa” rengek Sunoo, mengusak rambutnya kesal.

Meraih handphonenya, Sunoo ragu-ragu menatap kontak Ni-ki.

Namun lagi-lagi Sunoo terkejut saat handphonenya bergetar.

Ada panggilan masuk, dari Ni-ki.

“AHEM! AHEM! Cek satu dua, satu dua, suara merduku, datanglah!” ujar Sunoo untuk menjernihkan suaranya, lalu akhirnya mengangkat panggilan masuk tersebut.

“Halo?”

“Hey”

Sunoo mengigit bibirnya sendiri, gemes.

“Kenapa?”

Suara tawa Ni-ki terdengar. Sunoo hampir ambyar, ganteng suaranya.

“Kangen.”

SUNOO AMBYAR

Menarik nafasnya dalam-dalam, Sunoo mengelus dadanya agar tenang.

“Ohh, terus?”

“Mau denger suara kamu, lagi penat soalnya.”

“Capek ya belajar?”

“Capek nyari strategi buat nyontek”

“HEH!”

Lagi, tawa Ni-ki kembali terdengar.

Sunoo tak henti-hentinya tersenyum, ternyata efek Ni-ki cukup besar ya.

Cuma dengar suaranya aja, serasa penyakit mala rindunya sembuh seketika.

“Belajar yang bener”

“Iya”

“Mau masuk SMA mana?”

“Maunya bareng kamu”

Sunoo nahan senyum.

“Yaudah, harus lebih berusaha berarti. Susah soalnya mau masuk ke sekolah aku”

“Dah tau, bang Heeseung dah bilang”

Kali ini Sunoo yang tertawa.

“Sering-sering telfon ya”

“Kenapa?”

“Energi aku cuma terisi kalau denger suara kamu.”

Brak!

“Sunoo?”

”...”

“Sunoo? Kamu gapapa? Kok ada suara gitu?”

Sunoo mengaduh, mengelus pantatnya yang tadi dengan keras terjatuh di lantai.

Keterusan jatuh dari tempat tidur dia.

“Nggak, gapapa. Hpnya jatuh tadi.”

“Owhh gitu”

“Yaudah, kamu lanjut belajar. Aku mau tidur”

“Hmmm, sweet dreams”

“Byee”

“Bye sayang”

Tut!

“HEH ANAK ESEMPE JANGAN GODA-GODA AKU LAGI YA”

“Sunoo dah malam!”

“Ups”

Sunoo menutup mulutnya. Kini tangannya terulur, meraih selimut merah mudanya sampai dadanya.

“Hehe”

Sunoo sepertinya akan bermimpi indah malam ini.