WARNING AND DISCLAIMER
latar cerita ini berada di dunia yang berbeda—di mana istilah “suami” dan “istri” bukan merupakan label untuk pria dan wanita secara konkrit dan spesifik.
istilah tersebut menggambarkan peran “maskulin” dan “feminin” yang di-stereotypekan berdasarkan secondary gender (A/B/O). for instance, feminin berarti peran untuk jadi nurturer, child-bearer, sedangkan maskulin cenderung ke peran kepala keluarga dan pencari nafkah.
sama sekali tidak ada niat untuk misgendering di fanfiksi ini. semua istilah berbeda yang digunakan hanya berlaku untuk universe ini—untuk menggambarkan lebih nyata dinamik yang ada.
this story contains:
graphic description of sex, vulgar use of words (anal, penis, sperma), slick producing, marking, nipple stimulation, lactating kink, rimming, blowjob, bareback, mirror sex, slight degradation, praise kink, breeding kink, (kind of) subspace, knotting
this spin-off is based on @tteungyounie’s AU “someone who loves you”!! go give it a read and you’ll get new insights in life. thank you for giving me this chance, babe.
enjoy!
“...as the snowfall intensifies, snowstorm is ahead for the northern Alps, especially across southern Germany and east-central Switzerland. The authorities issued a warning effective from 6 a.m. this morning until Wednesday, two days ahead from now. Several inch of snow is predicted to be...”
Angkara menyesap kopi hangatnya, menatap lekat layar televisi yang menyiarkan berita pagi. Sial, rutuknya. Ia punya rencana untuk business meeting hari ini lalu berjalan-jalan dengan Rana ke Lucerne, namun apa daya—cuaca memang sedang tidak bersahabat, badai salju di mana-mana, semakin hari semakin ekstrim.
Sepertinya ia harus membatalkan semua jadwalnya hari ini.
Ia pun mengeluarkan ponselnya, mengabari bahwa meeting hari itu tidak bisa ia hadiri. Koleganya juga menanggapi dengan hal yang sama, semuanya terkena dampak dari hujan salju yang terus menimpa.
Menghela napas, ia menaruh ponselnya di meja depan televisinya dan kembali menonton berita, sesekali melihat keadaan di luar jendela rumah yang sudah putih dan berembun. Heater mereka sudah menyala dengan temperatur tinggi, namun ia masih merasa kedinginan.
“Mas Ara?”
“Y—Astaga!”
Angkara berbalik badan, menoleh ke arah sumber suara—lalu tersentak, tangan mencengkeram dadanya yang berdegup kencang karena kaget. Di hadapannya ada Rana, masih setengah tidur, mengenakan piyama satin dan terbungkus duvet putih tebal. Selimut besar itu membalut istrinya, menyeret ke lantai dan membuat Rana seperti tenggelam di dalamnya.
“Dek,” ucapnya setelah menenangkan diri.
“Ya?”
“....Kamu kayak Yeti.”
“Dingin, mas.”
“Ya ngapain turun dari tempat tidur?” tanya Angkara sambil menghampiri buntalan selimut di depannya.
“Kirain mas udah pergi, aku laper mau ambil makanan.” jawab Rana, matanya mengerjap sayu.
Angkara mendengus, menarik selimut itu untuk membalut istrinya lebih erat. “Mas nggak jadi pergi,” ujarnya, “di luar badai salju.”
“Oh...” Rana manggut-manggut, lalu matanya membelalak. “Lho kita nggak jadi ke Lucerne dong?”
Suaminya menggeleng. “Nggak, aksesnya ketutup semua.”
Rana merengut, kesal karena ia sudah merencanakan perjalanan ini dari jauh-jauh hari, ingin mengelilingi kota kecil itu, menjelajahi segala pertokoan sampai danaunya. Ia ingin membeli gelato yang terkenal dan memberi makan burung gereja yang sering mampir, lalu duduk di pinggir danau bersama Angkara ditemani angsa yang berlalu-lalang. Simpel dan romantis, tapi gagal karena badai salju. Cih.
Angkara mengelus rambut istrinya itu, tersenyum tipis. “Nanti kita atur lagi ke Lucerne-nya, ya? Hari ini santai-santai di villa.”
“Mana ada liburan santai-santai, mas,” tukas Rana sambil bersungut-sungut. Ia mendudukkan dirinya di sofa, meneguk kopi Angkara yang tergeletak di meja, lalu meringis karena pahit.
Suaminya hanya tersenyum gemas, pergi ke dapur dan membuat segelas cokelat hangat yang mengepul dan sepiring roti panggang, lalu kembali ke ruang tengah. “Nih,” ia menyodorkan mug yang dipegangnya.
“Kok bukan kopi?” tanya Rana skeptis, namun tangannya tetap mengambil mug itu. Angkara memutar bola matanya, menyenderkan diri ke bahu Rana yang tertutup duvet empuk.
“Kamu belum sarapan, kalo minum kopi nanti mules,” ujar Angkara. “Tuh, makan rotinya.”
Rana mengambil piring roti, memakannya dalam diam. Televisi terus menyiarkan berita tentang badai salju, dan jendela mereka sudah mulai berbunyi karena beradu dengan butiran salju yang menghantam.
Setelah selesai, Angkara meletakkan piring itu di bak cuci di dapur, kemudian kembali ke sofa dan bergelung di selimut tebal bersama Rana.
“Mas!” pekik Rana, berjengit menjauh.
Angkara mengerutkan alis, bingung. “Apa?”
“Kakinya dingin!”
“Ya makanya mas masuk selimut!”
Rana menghela napas, menyerah dan beringsut mendekat lagi. “Lagian kenapa kita di sini sih? Mendingan di kamar aja, gak dingin-dingin banget.”
“Bilang aja mau tiduran di kasur,” sahut Angkara, merengkuh istrinya yang menelusupkan kepala di ceruk lehernya. Kata-katanya hanya dibalas gumaman, yang sepertinya berbunyi “gendong.”
Angkara mendengus melihat Rana yang mulai menggelayut, tangannya melingkar di sekitar bahu alphanya. Ia pun mematikan televisi dan mulai mengangkat istrinya yang sudah menggantung bak koala di badannya menuju kamar, selimut mereka terseret sepanjang lantai.
Sesampainya di kamar mereka langsung membungkus diri di selimut lagi, menyalakan heater ruangan dan berbaring di kasur empuk. Rana segera memeluk Angkara lagi, menghangatkan diri dengan body heat suaminya. Angkara sendiri merangkul pinggang omeganya, menghirup aroma manis dari rambut Rana yang lembut—campuran shampoo dan wanginya sendiri.
Mereka hening untuk beberapa saat, sesekali mengobrol ringan—“Mas, kalo sabun jatoh ke lantai itu sabunnya kotor apa lantainya bersih?” “Hah? Apa sih dek...”—dan memainkan ponsel masing-masing.
“Mas,” celetuk Rana, membuat Angkara menatap ke arahnya.
“Apa?”
“Dingin.”
“Heater-nya udah full, Rana. Baju kamu kurang tebel kali.”
Rana terdiam, menggigit bibirnya. Angkara hanya mengernyit, kembali mengalihkan perhatian ke ponselnya—lalu tertegun saat ia merasakan sesuatu yang basah menembus celananya.
Ia menaruh ponselnya di nakas, melirik istrinya. Benar saja, pinggul Rana bergerak maju-mundur, bergesekan dengan pahanya sendiri.
“Dek?” ia mengelus tengkuk Rana lembut, membuat istrinya itu mendongak—menampilkan mukanya yang sudah merona dan bibirnya yang merah karena digigit, berkilau dengan saliva.
Duh. Cantik sekali.
Rana menyusup ke ceruk leher Angkara, menghirup dalam-dalam aroma bergamot segar dan pine yang tajam di baliknya, mendesah pelan seraya pinggulnya terus bergerak.
“Mas...” cicitnya pelan.
Angkara menaikkan pahanya sedikit, menghantam pelan selangkangan istrinya yang basah. Rana mendesah di pelukannya, napasnya terengah.
“Mau apa, dek, hm?” tanyanya lembut, menggerakkan pahanya seiring gerakan Rana. Ia rengkuh pinggang ramping omeganya itu, mengelusnya lembut di luar satin yang licin.
Rana mengangkat kepalanya, mendaratkan kecupan lembut di bibir suaminya, matanya berkabut dengan nafsu. “Touch me, please?” pintanya.
“Where, doll?” tanya Angkara lagi, memasukkan tangannya ke dalam piyama Rana. Ia telusuri kulit halus itu, membuat Rana merinding karena sentuhan yang seringan bulu.
“Hng,” gumam Rana, “Everywhere, please—angetin Rana, mas.”
Angkara menatap lurus ke mata istrinya, tersenyum kecil. “Give me a good kiss and I’ll consider.”
Tanpa basa-basi, Rana langsung memagut Angkara dalam ciuman sensual; mengecup bibir halusnya dan merasakan seisi mulutnya. Suaminya itu tak mau kalah—lidahnya melesak ke dalam, menjamah dan menjelajah. Bibir mereka memang sudah sering bertemu, tapi setiap kali rasanya seperti baru pertama kali bercumbu.
“Mas, ngh,” desah Rana saat kancing piyamanya dibuka. Tangan Angkara yang dingin menggerayangi dada hingga abdomennya, mencubit dan memilin putingnya yang sensitif hingga tegang dan merona pink.
Angkara akhirnya melepas pagutan bibir mereka, memindahkan kepalanya ke perpotongan leher dan bahu Rana. Ia hirup aroma perpaduan lilac dan citrus yang menguar dari gland omeganya, lalu menjilat dan mengisap di area jugularnya, memberi tanda cinta berwarna kemerahan. Rana sendiri memiringkan kepalanya dengan insting, mempermudah akses Angkara ke leher jenjangnya.
“Wangi banget, dek,” bisik Angkara, menghirup dalam-dalam. “Mas suka.”
Rana merengek, tangannya mencengkeram bahu Angkara hingga buku-buku jarinya memutih. “Mas, hng, mas—nggak tahan, Rana nggak tahan,” racaunya. Matanya berkabut, air mata mulai mengalir di pipinya.
“Hush, sayang,” Angkara mengecup lembut bibir istrinya itu. “Slowly, doll. Let me take care of you.”
“Hhh, mas, di sini,” Rana menggenggam satu tangan Angkara, menyentuhkannya ke celananya yang sudah basah oleh slick beraroma manis. “I’m so wet for you, mas, please.”
Angkara menghela napas, berusaha mengontrol dirinya. God, ia baru menyadari betapa tajamnya wangi slick tersebut, rasanya sesak dan memabukkan.
“Di sini, ya?” Angkara menekan bibir lubang Rana dari luar, merasakan aliran slick yang terus keluar hingga piyamanya basah dan lembap. Rana mengangguk, pinggulnya bergerak berusaha mencari sentuhan lebih dari telunjuk suaminya.
“Y—yes, ah, right there, hhh, can I, can I—ah!” kata-kata Rana terputus saat Angkara menggerakkan jarinya, membuat kain satin bergesekan dengan lubangnya yang sensitif.
Angkara menghentikan gerakannya, lalu dengan cepat mengubah posisi sehingga Rana berada di bawahnya.
“Off, doll. All of these,” dengan itu ia melepas piyama Rana, tidak menyisakan sehelai kain pun di tubuh istrinya yang molek. Ia tertegun saat melihat tak ada apapun di bawah celana piyama yang dikenakan Rana, sehingga ereksinya langsung terlihat.
Angkara mendengus. “You’ve gone commando?”
“Yes I did.”
“Anak nakal.”
“You like this naughty baby.”
Angkara hanya menyeringai, mengagumi badan yang indah dan halus—hanya untuknya, hanya miliknya. Geraman pelan keluar dari rongga dadanya, pikirannya yang lebih primal mengisi dirinya dengan rasa posesif.
Rana-nya, istrinya. Insan yang jadi pelipur laranya. Kesayangannya.
Angkara pun mencium Rana lagi, mencicip bibir ranum itu dengan intens. “Sayang, sayangnya mas,” ucapnya di tengah kecupan. “Rana, sayang.”
Rana menatapnya sayu, tersenyum lugu. “Mas Ara,” balasnya pelan. Angkara hanya balas tersenyum, ciumannya turun ke leher lalu ke dada. Mulutnya mendarat di pucuk dada istrinya, mengisap dan menjilatnya hingga semakin memerah.
“Look at your pretty nubs, doll,” ujarnya sambil menjilat salah satu pucuk dengan menggoda, mengulumnya lembut. “Wonder if you got milk somewhere in here, hm?”
“Ah—ah, there will be—hhh, Mas Ara-“ rintih Rana, tangannya menekan kepala Angkara lebih dalam seraya dadanya membusung. Pinggulnya bergerak maju mundur, penisnya yang tegang menggesek selangkangan Angkara yang masih terbalut celana piyama.
Setelah beberapa saat Angkara melepas mulutnya dari puting yang sekarang basah oleh saliva itu, menimbulkan bunyi pop pelan.
“Dek,” panggil Angkara, dan Rana meliriknya. “Kamu basah banget, liat,” lanjutnya, mundur dan memperlihatkan celananya sendiri yang sudah basah dengan slick dan precum Rana. Istrinya menggeliat lemah, rengekan kecil keluar dari mulutnya.
“Makanya cepetan, mas...” ucapnya sambil melebarkan kakinya—lubangnya yang terus mengeluarkan slick terpampang jelas di hadapan Angkara.
Angkara terkesiap, kepalanya pusing karena aroma yang tiba-tiba memenuhi indra penciumannya. Pekat, wangi, sangat manis, sangat mengundangnya.
Rana melebarkan kakinya lebih jauh lagi, tangannya meraih ke bawah dan memasukkan satu jari ke liangnya. “Ah, ah—“ desahnya tertahan, menggerakkan jarinya sebentar lalu mengeluarkannya, kemudian mengulum jari itu dalam mulutnya.
“Manis,” bisik Rana dengan sensual, menjilat jarinya sambil menatap tajam suaminya.
Angkara diam di tempat, napasnya mulai terengah.
“Manis lho, Mas Ara nggak mau cobain Rana?” rayu istrinya, tersenyum menggoda. Slick mengalir lebih banyak dari lubangnya, berkilau di atas kulit.
“Dek...”
“Ayo, mas...”
Alphanya itu mendekat ke lubangnya, mengendus dengan penuh nafsu. Dengan perlahan Angkara mencium bibir anal istrinya itu, menghisapnya sedikit. Rana memegang kepalanya, kakinya dilebarkan hingga lututnya menyentuh dada.
Angkara pun melesakkan lidahnya ke dalam, merasakan dinding yang ketat dan cairan slick yang, oh, manis sekali. Bukan manis madu, bukan juga seperti susu. Rasanya manis seperti Rana, manis karena ini Rana.
Ia terus mengeksplor liang yang sempit, menggerakkan lidahnya dan menelan cairan itu bagai orang kehausan hingga harumnya memenuhi kepala.
Rana terus menekan kepalanya, pinggulnya bergerak meminta lebih. “Mas, Mas Ara, hng—ah, mas, please,” desahnya.
Angkara melepas mulutnya, menoleh ke atas. “Please apa, dek?” tanyanya.
“P—please, sentuh Rana, mas,” sahut istrinya, menggenggam rambutnya lemah.
“Ini udah disentuh, Rana,” jawab Angkara, menyeringai sambil mengusap dagu dan sekitaran bibirnya yang basah oleh slick.
Rana mengerutkan alisnya, mulutnya membuka-tutup tanpa suara, berusaha membentuk balasan. Kepalanya begitu kosong, tapi penuh—seakan ada kabut yang menghalanginya untuk berpikir jernih. Seluruh indra dipenuhi Angkara-nya.
Alphanya.
“Hhh,” ucapnya pelan, menggeliat seraya aliran slick baru keluar dari lubangnya. “Hhng, mas,” ucapnya pendek.
“Mau disentuh di mana, hm? Di sini?” tanya Angkara lagi, menjilat bibir lubang dan perineum istrinya. “Atau di sini?” lanjutnya, mengecup penis Rana yang telah ereksi dengan semburat pink di ujungnya.
“Di—hng, semuanya,” jawab Rana, kakinya gemetar.
“Semua? Serakah banget kamu, dek,” balas Angkara, tertawa kecil.
“Hhh, please, mas.”
“Since you beg so nicely.”
Ia pun bergerak ke atas, mencium Rana lagi—membiarkan istrinya mencicipi rasanya sendiri. Saat dilepas, ia sodorkan jari tengah dan telunjuknya, mendorongnya masuk ke mulut Rana yang masih terbuka.
“Suck,” perintah Angkara.
Rana mengulum jari itu, menjilat sela-selanya hingga basah dengan saliva, sesekali menggumam penuh nikmat. Angkara kemudian mengeluarkan jarinya dan kembali beringsut ke bawah, perlahan memasukkan telunjuknya ke lubang Rana yang berkedut menggoda.
Jarinya segera basah dengan slick yang terus keluar dalam jumlah banyak, menjadi pelumas baginya. Ia gerakkan jarinya masuk dan keluar, menambahkan jari tengahnya setelah beberapa saat, sedangkan mulutnya menstimulasi penis Rana yang terbengkalai—mengulumnya hingga ujung dan menghisapnya.
“Mas—hng, ah!” Rana mencengkeram erat-erat rambut Angkara sekarang, kepalanya terkulai ke samping dan saliva mengalir dari bibirnya yang terbuka. Jari Angkara yang panjang menyentuh setiap sudut dari rektumnya, menstimulasi prostatnya setiap kali bergerak—membuat Rana merasa seperti melayang, lalu jatuh, lalu melayang dan jatuh lagi.
“Ah, ah—mas, hhh—“
“Hush, one more, doll. You’re doing so well,” Angkara menambahkan jari manisnya, melebarkan lagi lubang yang sudah cukup regang itu. Tangannya yang satu lagi mengocok penis Rana, memainkan jempol di puncaknya.
“Mas Ara, m—“ Rana tercekat, badannya meronta. “Mas, Rana—ah, Rana mau k- keluar,”
Angkara mempercepat gerakan jarinya. “Come, doll. Come for me,” ucapnya singkat.
“Ngh, h—hhah, Mas Ara—“
Dengan itu Rana pun klimaks, menumpahkan cairannya di tangan Angkara, abdomennya sendiri, bahkan ada yang mengenai dadanya. Matanya terpejam erat, badannya kaku dan membusur ke arah atas.
Angkara memelankan temponya, mengeluarkan jarinya perlahan. Ia menjilat tiga jarinya yang basah seluruhnya karena slick yang keluar dalam jumlah banyak saat Rana klimaks tadi, merasakan manis yang menyebar di mulutnya.
“Rana, sayang,” ia beringsut untuk merengkuh istrinya, mengusap pipinya yang basah oleh air mata dan mendaratkan kecupan di bibirnya. “You did so well, dek, so good, came so pretty for me. My pretty doll, pretty baby.” pujinya, tersenyum lembut.
Rana menatapnya sayu, hanya berfokus pada suaminya, napasnya yang terengah berangsur stabil. “Mas Ara,” ucapnya, menangkup pipi suaminya di tangan, melihatnya lekat-lekat.
“Rana,” balas Angkara, “Sayangnya mas.”
“Mmm,” gumam Rana, menurunkan tangannya dan membuka piyama Angkara yang masih melekat sedari tadi. Kakinya menyentuh ereksi suaminya yang terbalut celana, menggesek gundukan besar itu. Angkara menggeram rendah, melepas pakaiannya hingga hanya boxernya yang tersisa.
Rana menatap suaminya itu, beranjak dari posisinya dan mendorong Angkara hingga sekarang ia yang berada di atas.
“Mas,” ucap Rana pelan, matanya berkilat nafsu, “Rana mau cobain Mas Ara juga.”
Angkara menatapnya datar. “What are you waiting for, then?” balasnya.
Rana tersenyum nakal, mencium leher suaminya dan meninggalkan beberapa tanda—mengklaim alphanya, miliknya. Kemudian ia bergerak ke bawah, mendaratkan kecupan seringan bulu ke dada dan abdomen Angkara.
Akhirnya ia turun lagi ke pelvis suaminya itu, menyandarkan pipinya ke penis Angkara yang masih tertutup kain boxer. Ia mengecupnya dari luar, matanya melirik ke atas, bertemu dengan tatapan alphanya.
“Buka, Rana,” perintah Angkara lagi, singkat dan tegas.
Istrinya itu menurut, lantas membuka boxernya. Penisnya pun terpampang di depan muka Rana, hampir ereksi penuh, tegang dan besar.
Rana memegang penis itu dengan tangannya yang kecil, membelalak saat akhirnya sadar dengan ukuran Angkara yang lumayan berbeda dengannya.
“Mas Ara,” cicitnya, menjilat ujung ereksi di genggamannya, “gede banget...”
Angkara menarik napas memburu, menumpukan badannya di siku dan membelai surai Rana yang halus. “Pelan-pelan, dek.”
Perlahan, Rana pun menjilat lagi ujung penis itu, mengulum bagian kepalanya terlebih dahulu. Kemudian ia coba memasukkannya ke dalam mulut, rahangnya terbuka lebar hingga terasa sakit, hanya mencapai tiga perempat saat ujungnya menyentuh tenggorokan.
“Hhk—“ Rana berdeguk, saliva mengalir dari mulutnya seraya ia bergerak naik turun. Kepalanya dipegang Angkara, dielus dengan lembut, menenangkannya. Ia menghisap hingga pipinya cekung ke dalam, menyebabkan Angkara mengerang di atasnya. Tangan Rana berada di bagian bawah, menstimulasi yang tidak tercapai oleh mulutnya.
Angkara mengelus pipi istrinya, merasakan penisnya yang timbul dari luar. “Ah, you’re so good to me, Rana,” pujinya. Rana melepas mulutnya, menjilat bagian samping, tangannya tetap bergerak di penis yang kini berkilau karena salivanya.
“Mas Ara, mmm,” ujar Rana di sela-sela kegiatannya, “mmh, mas—hhng,”
“Dek,” sahut suaminya, “Enak ya, hm?”
Rana tersenyum lugu. “Enak, mas.”
Ia kembali melanjutkan stimulasinya, mengulum dan meratakan lidahnya di bawah pembuluh yang timbul. Setelah beberapa saat, rambutnya ditarik pelan oleh Angkara, membuat Rana mendongak.
“That’s enough, doll,” ujar Angkara, mendudukkan dirinya. “Now be good and lay down for me, alright?”
Rana mengangguk, berbaring di kasur, kakinya otomatis dilebarkan. Angkara memegang bagian bawah lutut istrinya, meletakkannya di bahu.
“Wait, I’m gonna put on a condom,” Angkara hendak beringsut ke nakas, namun tungkai Rana menahannya. Ia melirik istrinya heran.
“Kenapa, dek?”
“Mas, um,” Rana menjilat bibirnya, pipinya merona. “Nggak usah pake kondom.”
Angkara mengerutkan alisnya. “Did you bring your pills?”
“Yes, I brought it,” Rana mengangguk.
“Alright, feisty baby,” Angkara tersenyum lembut, mengecup bibir istrinya dalam-dalam. “Can’t believe I took you for granted.”
“Well,” Rana balas tersenyum tulus, “I’m here now, mas. All yours.”
“I’m yours as well.”
Angkara pun mulai memasukkan penisnya ke dalam liang Rana, mendorongnya lewat cincin yang erat. Istrinya itu menatap sayu, mencengkeram sprei dan seluruh tubuhnya gemetar.
“Mas—ngh, b- besar banget, ah, ah!” rintih Rana, meringis kala Angkara masuk semakin dalam. Liangnya memang sudah licin, slicknya terus mengalir untuk menjadi pelumas, tapi dindingnya masih harus melebar sampai ada rasa sakit yang membara.
Angkara menciumi wajah Rana, mengecup pipinya yang berhias air mata dan matanya yang berkilau indah. “Hush, Rana. It’s okay, dek, I’m here. It’s okay,” bisiknya penuh sayang, menempelkan kening mereka berdua. “Rana, sayang, Mas disini.”
Rana menggapai dirinya, melingkarkan tangan di leher suaminya. “Mas Ara, hng,” ucapnya pelan, terisak-isak. “Rana, hhh, ah, Mas Ara,” ia mengulang-ulang nama mereka berdua bagai mantra, tenggelam dalam ekstasi dan kasih sayang dari Angkara.
Mereka berdua menghembuskan napas lega saat seluruh penis Angkara akhirnya masuk, pelvisnya menempel dengan perineum Rana. Selama beberapa saat mereka terdiam, menunggu Rana beradaptasi dengan sensasi Angkara di dalamnya.
Rana menjengitkan pinggulnya, mengetes. Ia mendesah pelan, menatap suaminya lekat-lekat. “Hng, gerak sekarang, m- mas,” pintanya. Angkara pun mulai bergerak, mengeluarkan penisnya hingga setengah, lalu menghujamkannya kembali ke dalam. Rana merintih, badannya tersentak saat prostatnya terkena.
Angkara terus mempercepat temponya, menimbulkan suara kecipak di ruangan itu karena slick Rana yang membasahi kulit mereka masing-masing. Wangi mereka bercampur, menguar memenuhi indra penciuman, membuat keduanya mendesah bersahutan dan pikiran mereka penuh satu sama lain.
“Mas Ara—ah! ah, ngh, mas—ah, ahk—“ Rana mendesah pendek-pendek, napasnya terengah. Matanya menutup setengah dan liur mengalir ke dagu dan lehernya, suaranya melengking dan serak. Angkara terus menghujamnya tanpa ampun, memastikan setiap tusukan menyentuh prostat istrinya itu, melenguh tiap kali penisnya dijepit dinding ketat yang hangat.
Angkara meletakkan kepalanya di leher Rana, membubuhkan tanda gigitan lagi, sesekali menggeram posesif saat ia menghirup feromon omeganya yang memabukkan.
“Rana,” bisiknya, napasnya mengenai telinga istrinya. “Rana, Rana, Rana.”
“Mas Ara,” balas Rana, memegang kepala suaminya. “Rana, hng, sayang mas, s- ah, sayang b- banget, mas.”
“Mas juga sayang Rana.”
Rana menoleh ke samping, menikmati mulut Angkara yang terus membuatnya merinding. Ia mengerjapkan matanya, melirik ke cermin yang ada di samping tempat tidur.
Ia tertegun, melihat dirinya dan Angkara. Ia melihat badan mereka bersatu bagai kepingan puzzle, kulit putihnya yang dihiasi tanda merah keunguan karya sang suami, serta bagian selangkangannya yang basah dengan slick. Ia melihat penis Angkara yang besar—bahkan tanpa knot—terus menusuk lubangnya, melihat penisnya sendiri yang mulai tegang lagi. Ia melihat wajahnya, sayu dan merona, melihat bibirnya yang merah menggoda, jejak air mata membingkai pipinya.
Ia melihat Angkara, tenggelam di ceruk lehernya, asyik menjilat dan menggigit tiap inci kulit Rana, napasnya berat karena terus menghirup feromonnya bagai terkena adiksi.
Ia melihat mereka berdua, berpadu dan beradu dalam cinta dan nafsu. Indah, bagai lukisan Renaissance yang sering ia kagumi. Begitu selaras, bergerak dalam irama yang serasi.
Ia melihat mata Angkara di cermin—tunggu.
“Oh, so you’ve been watching yourself get fucked, hm?” tanya Angkara, tersenyum mengejek.
Mereka bertatapan melalui cermin sekarang, mata Rana membuka lebih lebar, menatap nanar. Mukanya memanas saat Angkara terkekeh, ritmenya melambat.
“You like seeing yourself like—this, Rana?” lanjut Angkara, menghujamkan penisnya dalam sekali sentak, membuat Rana merintih tertahan, suaranya pecah dan hilang. “You like watching me wrecking you, hm?”
Rana merengek saat Angkara mengeluarkan penisnya, dengan cepat mengarahkannya untuk berlutut di depan cermin, lalu masuk lagi dari belakang. Punggung lebarnya bersentuhan dengan dada Angkara yang kokoh.
“Mas—hhh,” desahnya, samar-samar mendengar suara kulit mereka yang bertemu disertai rasa sakit karena intensitas yang begitu tinggi.
Kepalanya terkulai ke bawah, matanya hendak menutup—namun tangan Angkara memegang dagunya, memaksa Rana untuk melihat cermin.
“Lihat, dek,” ucap Angkara, “Lihat ke cermin. Lihat kita. Buka mata kamu.”
Rana memaksa matanya untuk membuka, dan segera dilihatnya mereka berdua, Angkara menyandarkan dagu di bahu istrinya, pinggulnya tak berhenti bergerak. Angkara dengan mukanya yang tegas, badannya yang tegap dan desahan rendahnya. Angkara-nya, alphanya, suaminya.
Rana melihat dirinya sendiri, dadanya yang agak membusung, penisnya yang terbengkalai memantul seiring hantaman Angkara di analnya.
Ia lihat dirinya. Gemetar, lemah dan kepayahan. Segala sesuatu yang ia tolak, karena ia selalu mendorong diri untuk jadi kuat.
Ia lihat mulutnya yang terbuka mengeluarkan desahan sintal, putingnya yang tegang dan mencuat, serta lututnya yang terbuka lebar. Menggoda, memikat, mempesona.
“Kamu cantik, Rana.”
Angkara berbisik di telinganya, tulus dan jujur. Mereka bertatapan lewat cermin dengan intens, menyalurkan perasaan yang tidak bisa diekspresikan lewat kata-kata.
“Cantik banget, dek, look at you.”
Ia melirik dirinya.
Cantik, Rana.
Rupawan, jelita, elok menawan.
Rana tersenyum lugu, matanya menyipit. “Rana cantik, m-mas.”
“Betul. Rana cantik.” balas Angkara.
Suaminya melingkarkan satu tangan di sekitar pinggangnya, dan satu lagi di sekeliling bahu. Ia mengecup pipi Rana, mempercepat gerakan pinggangnya.
“Ah, ah, ah—mas!” pekik Rana, seluruh saraf di tubuhnya menjerit karena nikmat yang tiba-tiba meningkat beratus kali lipat. Kedua tangan Angkara menyelip di antara lengannya, mencubit putingnya yang sensitif, memilin dan merabanya.
Dada Rana membusung ke depan, kakinya gemetar hebat. Ia menyaksikan sendiri mukanya terbasuh oleh ekstasi, berusaha keras menjaga matanya tetap terbuka. Slick terus mengaliri paha hingga ia bisa merasakan betapa licinnya kulit mereka saat bergesekan.
Angkara tetap menstimulasi putingnya seraya menjaga ritme pinggangnya, bibirnya mengecup bahu istrinya.
“Such a pert, pretty nipple,” ujar suaminya seraya meremas dadanya, “Gonna have you flowing with milk, doll, when you’re full with my pups.”
“Hng, soon, mas, so soon—ah,” Rana melihat tangan Angkara di cermin, putingnya yang telah bengkak dan merah terjepit oleh jari suaminya yang panjang. Pinggulnya bergerak ke belakang, bertemu dengan dorongan Angkara.
Rana menangkup tangan Angkara di atas dadanya, merematnya. “Mas Ara, aah, ah—“
“Rana, sayang.”
“Mas—“
“Dek—“
“A- alpha, ah, alpha—“
Angkara terbelalak, menatap istrinya yang sudah merona, mata tertutup setengah, air mata tumpah ke pipi dan mulutnya terbuka, tersengal dengan saliva yang mengalir turun ke dagu, leher dan dada.
Rana meracau, pikirannya sudah berkabut dan rasanya seperti melayang—nikmat, nikmat sekali, tubuhnya kebas dan sensitif di saat yang bersamaan. “Alp—ha, please, hhhng, alpha—“
“Omega.” geram Angkara rendah, membalik posisi mereka lagi, punggung Rana menyentuh kasur yang empuk. Alisnya berkerut penuh determinasi, lutut Rana ditekuk sedemikian rupa hingga badannya seperti terlipat dua. Penisnya terus menusuk lubang Rana dengan bengis, instingnya mengambil alih.
“Alpha—alpha, hhh, fill me, alpha,” Rana menggapai ke atas, meraih leher Angkara, menariknya lebih dekat. Suaminya itu menempelkan kening mereka, menatapnya lekat-lekat. Satu tangannya mengocok penis Rana yang sudah menumpahkan precum sedari tadi.
Angkara menyentuhkan bibir mereka, bernapas di depan satu sama lain. Aroma mereka sudah menyatu. Manis, serasi, rasanya seperti adiksi. “Rana—omega, my omega—gon’ fill you, baby, gon’ breed you so good,” tuturnya, merasakan tubuh Rana mulai bergerak tak teratur, dekat dengan puncaknya.
“Ngh—ah, alpha, ah, alph—“ Rana pun klimaks; tubuhnya menggelinjang hebat, tangannya mencengkeram bahu Angkara begitu erat hingga kukunya mengoyak kulit suaminya itu. Ia menatap lurus ke arah Angkara, pandangannya fokus namun berkabut. Suaranya pecah dan hilang. Cairannya tumpah di tangan Angkara dan abdomennya lagi, kali ini tak se-intens sebelumnya, namun sensasinya jauh lebih terasa. Slick-nya sendiri keluar dalam jumlah banyak, membasahi penis Angkara, pahanya, hingga menetes ke kasur.
Pinggul Angkara bergerak lebih cepat lagi, kali ini benar-benar mengejar puncaknya. Ia berbisik pada Rana yang sekarang lemas, badannya bergerak mengikuti Angkara.
“So pretty, Rana. I’m so proud of you, so in love, oh, so so in love.”
“Hhh,” Rana hanya bisa menghembuskan napas, matanya melirik sayu.
“You did so well, Rana, so good, so pretty and pliant for me, ah, always the best for me, doll, fuck—“ gerakan Angkara melambat seraya knotnya mengisi lubang Rana hingga rim-nya mengatup dengan sempurna di sekitar penisnya. Ia menyusupkan kepalanya di leher Rana lagi, mengendus sambil berusaha menstabilkan napas saat spermanya mulai tumpah ke liang istrinya, bercampur dengan slick yang ada. Rana mendesah pelan, merasakan cairan hangat yang memenuhinya—penuh, sangat penuh sampai terasa menggenang di dalam.
Mereka terdiam, ruangan hanya diisi oleh hembusan napas dan suara salju yang masih ribut menabrak jendela. Angkara mengubah posisi mereka jadi menyamping, merengkuh Rana di pelukannya, mencium bibir, hidung, dan keningnya penuh cinta. Ia hujani istrinya itu dengan pujian dan kata-kata lembut, tak pernah melepas pelukannya.
“Dek, I’m so proud of you, you did so well,” bisik Angkara lembut, membelai rambut halus istrinya. “My baby, so good for me, so pretty. Mas sayang banget, cinta banget sama kamu, Rana, I can’t even say it enough times.”
Rana mengerjap beberapa kali, menatap Angkara dengan polos. Ia tertawa kecil, meracau tentang musim dingin dan boneka salju dan selimut hangat, tangannya mengelus pipi suaminya. Angkara hanya mengangguk, tersenyum lebar—senyum paling tulus, hanya untuk Rana-nya.
“Mas Ara,” ucap Rana, matanya bagai semesta, penuh cinta dan renjana. “Mas Araaa,” ulangnya manja.
“Iya, dek,” Angkara menjawab, suaranya rendah, seakan ingin merahasiakan pembicaraan mereka. “Kenapa, hm?”
Rana bergumam, jemarinya menelusuri wajah Angkara, menyentuh kening, tulang pipinya yang tegas, hingga rahangnya yang tajam. “Makasih,” cicitnya, merona malu.
“My utmost pleasure, Rana,” Angkara mengecup ujung hidung istrinya, “Thank you as well, doll. We did become warm after all.”
Rana mengangguk. “Mm-hmm.”
Kamar itu hening lagi, Rana asyik mengelus pipi Angkara, sedangkan suaminya itu merapikan rambut istrinya yang berantakan, menyeka poninya yang mengenai mata.
“Mas,” celetuk Rana lagi.
“Hm?”
“Knot-nya lama banget kempesnya.”
Angkara terbatuk. “Y—ya, emang biasanya lima belas menitan kan?”
“Iya, sih...” Rana manggut-manggut. “Tapi penuh banget...”
“Ya... Enak, kan?”
“Enak...”
“Kamu jangan lupa minum pilnya ya, nanti.” kata Angkara mengingatkan.
Rana mengangguk. “Iya,” Ia menangkup pipi Angkara dalam dua tangannya, menatap dalam-dalam. “Sabar sedikit lagi ya, mas? Sebentar lagi.”
Angkara tersenyum. “Tenang aja, dek. Mas selalu di sini, kok.”
Bibirnya dikecup lembut, seringan bulu, namun dalamnya sampai kalbu.
Lima belas menit kemudian Angkara akhirnya mengeluarkan penisnya, mengerang saat udara dingin menerpa. Rana sendiri meringis kala lubangnya yang sedari tadi penuh kini kosong, cairan yang merupakan campuran antara slick dan sperma mengalir ke pahanya.
“Ow,” ia mengaduh saat mencoba mengubah posisi. “Mas, aku pengen bubble bath.”
Angkara mengangkat alis, tangannya yang sedang membersihkan abdomen Rana dengan handuk kecil berhenti. “Apa?”
“Bubble bath, mas. Oh, kalo nggak kita pake bath bomb aja, kemarin aku baru beli.” ujar Rana, tersenyum simpul.
“Oalah,” Angkara meletakkan handuk itu kembali di nakas, lalu merentangkan tangannya. “Ya udah, sini.”
Rana terkekeh. “Tau aja mau digendong.”
“Tau lah, kamu kan koala.”
“Yep. Mas pohonnya aku.”
“....That’s weird, but okay.”
Angkara pun membawa mereka ke kamar mandi, memakaikan Rana dan dirinya bathrobe sebelum menyalakan air hangat di bathtub. Sambil menunggu ia memeluk Rana agar hangat, sesekali mencumbunya mesra. Setelah itu mereka masuk ke bathtub dengan air bersemburat merah muda dan oranye karena bath bomb yang dicelupkan Rana.
Rana langsung bersandar ke dada bidang Angkara, terkantuk-kantuk saat rambutnya dibersihkan oleh suaminya. Ia sudah setengah tertidur saat Angkara selesai membersihkan seluruh tubuhnya, melingkarkan tangan di sekitar leher suaminya saat ia kembali digendong ke kamar, sudah mengenakan piyama baru.
Ia didudukkan di sofa sebelah kasur, hendak tidur setelah meminum pil. Namun, ia bangkit dan melawan rasa kantuknya saat melihat Angkara membuka lemari berisi sprei baru.
“Mas, sini aku bantuin,” kata Rana sambil menghampiri suaminya.
Angkara menoleh, lalu menggeleng. “Nggak usah, mas bisa ganti spreinya kok.”
“Ih aku mau bantuin.”
“Nggak usah, dek.”
“Mas.”
“Okay what do I get from you helping me?”
Rana memutar bola matanya. Typical. “Cuddle monster-me, duh.”
“...Ya udah, sini.”
Mereka akhirnya mengganti sprei berdua, tak lupa sarung bantal dan duvet. Angkara menaruh yang kotor di keranjang laundry besar, kemudian kembali lagi ke kamar, bergabung dengan Rana yang sudah bergelung dalam selimut baru yang berbau linen lembut.
Rana merengkuhnya dengan erat, menyandarkan kepala di dada Angkara.
“...Ini kapan badai saljunya selesai ya?” tanya Rana, melirik jendela yang putih oleh salju.
“Dua hari lagi, kayaknya.”
“Duh,” Rana merengut. “Lama banget.”
Angkara mengecup keningnya. “Harusnya besok udah nggak seekstrim ini sih. Palingan jalanan aja yang masih ditutup.”
Rana menggumam, lalu mengangkat kepalanya—Angkara nyaris bisa melihat bohlam imajiner muncul saat ia menengadah. “Oh! Kita besok main salju aja, mas.”
“Hah?”
“Iya, bikin boneka salju! Terus sledding, terus perang bola salju.”
Angkara mendengus. “Anak-anak banget.”
“Said someone who ate snow twice cos he’s curious about the taste.”
“...Okay, it’s on.”
Rana tergelak, matanya menyipit seperti bulan sabit karena geli. Ia menatap lembut suaminya itu, yang balas menatapnya balik sambil mengeratkan pelukannya.
“Rana sayang Mas Ara.”
“Mas juga sayang Rana.”
Mereka pun akhirnya terlelap, diiringi desir angin, salju yang menerpa, dan suara Rana yang menyenandungkan lagu la chanson de la mer.
Badai memang membuat mereka jadi mendekam di villa.
Tapi paling tidak, Rana dan Angkara jadi punya waktu untuk menganggap dunia hanya milik berdua.