longlivecsy

seungwoo melangkah ke belakang panggung, handuk tersampir di bahu lebarnya. badannya sudah panas dan lengket karena keringat. namun ia tak peduli, panggungnya kembali, siap mengangkatnya ke muka dunia. passion-nya kembali ia salurkan ke penonton yang telah menunggu dengan asa.

ia memasuki ruang riasnya. sepi. hanya ada alunan pelan lagu girl in red dan figur berpakaian hitam yang duduk di sofa. ah, pelipur laranya. walau jadwalnya padat, tetap menyelinap keluar untuk mendukungnya dari belakang tirai.

“joonie,” sapanya halus.

sosok itu—namjoon—menoleh, lalu berdiri dan menghampirinya. “wooya,” balasnya tak kalah lembut. “udah selesai?”

“udah. tadi aku foto sama anak-anak juga.”

namjoon tersenyum, membelai rambutnya yang basah oleh keringat. tak ada sedikitpun tanda ia jijik—malah mukanya hanya menunjukkan sayang yang amat sangat.

“oh ya? nanti kamu bakal post di instagram?”

ia menggeleng. “tadi wooseok yang mau post.”

“oalah.”

hope everyone’s happy with it, tho,” ucap seungwoo pelan, tersenyum tipis. “tadi ada yang protes tentang opening-nya. um, i think my dance has faltered juga karena berbulan-bulan vakum. aku juga nggak—“

cup.

perkataannya terhenti karena bibir namjoon yang menyentuh miliknya sendiri.

hey,” namjoon berbisik pelan, menempelkan kening mereka berdua. matanya menatap seungwoo lekat—berkilau, cantik, penuh cinta.

hey,” sahutnya, nyaris tak terdengar.

pup, are you listening to me?

“mm-hm.”

forget everything for a while,” namjoon mengecup bibirnya lagi. “hey, hey. listen to me, pup, you did so well tonight. you deserve this spotlight. semua ini hasil kerja keras kamu. apresiasi badan dan jiwa kamu, ya?”

ia terdiam, menghela napas. aroma parfum namjoon menyeruak ke indranya. dihirupnya dalam-dalam. wangi safe haven-nya. wangi rumah.

tangan seungwoo digenggam namjoon kencang, seakan tidak mau lepas. rasanya aman. erat. seperti jangkar yang menancap kuat.

okay.

i’m so proud of you, moonchild.”

namjoon berkata dengan sejujur-jujurnya. bukan validasi. hanya ucapan dari hati.

thank you, joonie.”

dan hanya itu yang seungwoo butuhkan.

Lip balm?

Check.

“Kaleng buat tip?”

Check.”

“Tisu basah, tisu kering, permen?”

Check.”

Seungyoun menunjuk tiap barang yang disebut oleh Sejin. Ia sudah menyiapkan semuanya dengan lengkap, sesuai saran dari teman-teman panitianya.

Ia akan membuka kissing booth untuk festival kampus tahun ini. Memang sudah jadi tradisi untuk departemen musik dari tahun ke tahun, dan sayangnya ia ditunjuk untuk menjadi tokoh utama dari booth ini, alias, mencium orang-orang yang membayar. Well, setelah banyak bujukan dari Byungchan dan Sejin (“ayolah, Youn, lo kan ganteng! pasti banyak yang mau ke booth ini.” “hasilnya di donasiin ke charity yang terpercaya kok, it’s for a good cause!” “nanti si itu bisa aja dateng lho, Youn!”), ia pun setuju.

(Kalimat terakhir yang diucapkan Byungchan itu adalah pemicu keputusan Seungyoun untuk setuju. Tapi jangan bilang-bilang, ya.)

Sejin tersenyum simpul. “Ya udah, all set. Tinggal nunggu pelanggan aja.”

“Ya udah. Tapi kalo ada yang aneh-aneh kabarin gue ya?” pinta Seungyoun, menepukkan kedua telapak tangannya.

Sahabatnya itu hanya memutar bola matanya. “Gak bakal ada apa-apa, Youn. Paling banter lo kena herpes.”

“Itu mah bukan ‘gak bakal ada apa-apa’ ya,” Seungyoun meringis, ngeri membayangkan kalau dirinya tertular herpes karena ciuman. Konyol banget.

“Udah, gak usah mikir macem-macem. Lo senyum, pastiin napas wangi, cium yang bener. Making out juga boleh tapi jangan kelamaan.”

“Iyaaa. Udah sana pergi!”

“Lah, malah ngusir.”

Sejin pun pergi dari booth itu setelah menepuk bahu Seungyoun untuk menyemangati. Booth ini hanyalah sebuah stand dengan papan bertuliskan KISSING BOOTH dihiasi tempelan hati merah muda di sekelilingnya. Hal ini berarti semua orang, secara harfiah, bisa melihat Seungyoun bercumbu dengan banyak orang.

Bukan soal jijik atau bagaimana, tapi reputasi Seungyoun dipertaruhkan di sini. Sophomore yang populer di departemennya, dengan banyak penggemar dan akademik yang cemerlang pula. Hancurlah harga dirinya kalau ternyata ia adalah bad kisser. Yuck.

His day has just started. And this is how it goes.


Pelanggan datang silih berganti, cukup ramai dari pagi. Jujur saja Seungyoun kaget karena bahkan ada antrian yang terbentuk di depan stand. Dari freshmen yang mengaguminya, teman-temannya sendiri sampai senior dari berbagai departemen.

Ciumannya juga macam-macam. Ada yang ia kecup seringan bulu di bibir, ada yang minta cium pipi, ada yang mau di kening.

Beberapa pelanggannya menarik perhatian Seungyoun—bukan hanya karena skill-nya, namun orangnya sendiri. Pertama ada Yohan, freshman departemen olahraga yang jadi juniornya di klub sepak bola. Selain itu ia juga merupakan atlet taekwondo—memang olahragawan sejati.

“Halo, kak,” sapa Yohan sambil menyerahkan beberapa lembar uang, yang langsung disambar Seungyoun.

“Hai,” ia balik menyapa, tersenyum simpul.

Yohan menggaruk kepalanya canggung. “Aku—aku disuruh Hangyul buat—“ ia melirik ke arah Hangyul, sohibnya yang mengacungkan jempol di bagian belakang. “—Ya gitu lah pokoknya.”

Seungyoun terkekeh. “Ngerti, kok. Sini.”

Ia pun mencondongkan badannya ke depan bersamaan dengan Yohan, menyentuhkan bibir mereka perlahan. Bibir anak itu lembap—mungkin dijilati karena gugup—dan halus, serta membawa sedikit rasa french fries. Ah, pasti anak ini dari kantin.

Beberapa detik kemudian ia melepas bibirnya, tersenyum manis pada Yohan yang merona merah.

“Makasih, Yohan.”

“M—makasih, kak,” Yohan nyengir canggung, lalu pergi dari tempat itu. Bisa dilihat ia tos dengan Hangyul saat sampai di belakang. Selamat, misinya berhasil.


Selanjutnya, ada Jinhyuk.

Seungyoun sering melihat anak dari departemen sastra itu hang out dengan Byungchan dan anak departemen arsitektur, Jungkook. Pernah juga sih ia bekerja dengan anak itu, saat ada proyek volunteer ke sebuah kota kecil. Jinhyuk memang suka melakukan kerja sosial, berinteraksi dengan orang-orang.

Ia melambaikan tangannya, menyapa Jinhyuk. “Hai, Hyuk. In need of a smooch?” tanyanya jahil.

Jinhyuk mengernyit. “Geli lo,” katanya sambil menyerahkan uang. “Tapi iya. Asal tujuannya baik, I’m down.”

Alright,” sahut Seungyoun. Ia pun mencondongkan badannya ke depan bersamaan dengan Jinhyuk.

Bibir mereka bersentuhan, dan Jinhyuk mengecup bagian atasnya dahulu, seringan bulu. Satu kali, dua kali, baru menempelkan cukup lama. Bibir Jinhyuk yang tipis terasa halus, sedikit kering. Mungkin karena hari ini panas.

Setelah menahan beberapa detik, bibir mereka pun berpisah. Jinhyuk menggigit bibir bawah Seungyoun pelan seraya menarik diri, menatap sedikit tajam. Seungyoun membuka mata pula, melihat lurus ke mata cokelat Jinhyuk.

Mereka terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Seungyoun nyengir canggung.

How’s the smooch?

Good,” jawab Jinhyuk, lalu ikut menyeringai. “Makasih, Youn.”

My pleasure.

Jinhyuk pun pergi dari booth, melambaikan tangannya. Seungyoun menatapnya pergi, kemudian mengambil permen mint yang telah disiapkan. Ia memakannya sambil menunggu pelanggan berikutnya—agar napasnya tetap wangi.


Setelah Jinhyuk, ada Wooseok.

Primadona sekolah, dari departemen tata busana. Pesonanya memang tak bisa dipungkiri lagi. Wajah yang rupawan dengan prestasi yang gemilang, belum lagi reputasinya sebagai kontingen gymnastic yang telah menjuarai berbagai olimpiade.

Seungyoun dan Wooseok sering bertemu, karena stadion sepak bola dekat dengan gymnasium. Mereka suka mengobrol saat istirahat latihan.

Wooseok tersenyum manis, matanya berkilau terkena sinar matahari. “Seungyoun!”

“Wooseok!” Seungyoun menyapa balik, menerima uang yang disodorkan. “Bukannya lo shift ya? Booth departemen lo apa sih?”

Photobooth,” jawab Wooseok, “And yes, gue lagi shift. But I heard a cutie’s opening chu-chu booth, so I have to drop by,” godanya.

Chu-chu? Vocab Sejin udah nular ke lo tuh ya.”

I guess.

Go chu-chu me, then.

Wooseok hanya mengangguk, kemudian mendekat. Tanpa basa-basi ia langsung mencium bibir Seungyoun, memiringkan kepalanya. Bibir Wooseok terasa lembut, dengan rasa stroberi artifisial dari lip balm yang melapisi.

Mereka diam untuk beberapa detik, kemudian melepasnya. Mata mereka bertatapan dalam diam, lalu tanpa kata-kata menyambungkan kembali bibir masing-masing. Kali ini Wooseok sedikit menggunakan lidah, menjilat bibir Seungyoun dengan ujungnya, kemudian mengecupnya lagi. Seungyoun sendiri membuka bibirnya sedikit, memberi akses pada Wooseok untuk menyapu bagian dalam bibirnya.

Saat mereka selesai, Wooseok menarik badannya, tersenyum manis seperti saat ia datang.

“Dua kali,” ucap Seungyoun, “Lo cium gue dua kali, bayarnya juga dua kali, Seok.”

Orang di depannya itu tertawa, menyerahkan lembaran uang lagi. “Pemerasan ini tau gak.”

“Enak kan tapi ciumnya.”

Yep, good chu-chu. See you, Youn, jangan lupa mampir ke photobooth gue ya!”

I’ll be there. Thank you, Seok!”

Wooseok pun pergi, meninggalkan Seungyoun yang masih nyengir sambil menggenggam uang di tangan. Lumayan, dua ciuman, dua kali penghasilan. Terlebih dengan Wooseok yang menciumnya dengan bibir selembut awan.


Lalu, ada Sungjoo.

Pemuda itu adalah seniornya di departemen musik. Banyak membantu Seungyoun saat tahun pertama masuk dan menjadi tutornya untuk beberapa pelajaran. Anaknya baik, favorit guru, tapi supel dan mudah akrab dengan orang-orang. Asyik pula untuk diajak cerita. Makanya Seungyoun senang curhat dengannya.

Sungjoo menghampirinya. “Hai, Youn. Tahun ini lo jadi korban, ya?”

“Iya, kak,” jawab Seungyoun, terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “I drew the shortest straw.”

“Ya udah, gak papa. Denger-denger sih ada anak DKV mau mampir sini nanti.”

“Ih, kak!”

“Hahaha, bercanda. Tapi semoga aja, ya.”

Ya ampun, semoga iya. Eh, tapi tidak, nanti Seungyoun meledak atau kabur. Hanya itu pilihan yang ia punya.

Tapi ia ingin. Tidak bisa dipungkiri, ia ingin.

Seungyoun menggelengkan kepala, membuyarkan pikirannya sendiri. “Ya udah, kak, sini,” ucapnya sambil tersenyum kecil.

Seniornya itu menyerahkan lembaran uang, lalu dengan cepat mencium bibirnya. Ringan, bersentuhan selagi sudutnya membentuk senyuman. Sungjoo mengecupnya singkat namun dengan yakin, tanpa sedikitpun malu atau ragu. Suara cup pelan terdengar di telinga mereka.

Ia melepas bibirnya. “Makasih, Kak.”

Sungjoo mengacak rambutnya, nyengir hingga gigi putihnya terlihat. “Sama-sama. Goodluck ya.”

One can only hope, kak.

“Bakal kejadian. Percaya sama gue,” ucap seniornya, tangan yang tadinya di kepala mampir ke pipinya dan mencubit pelan. “Lucu banget sih lo. Ya udah gue cabut ya.”

“Apasih,” Seungyoun tersenyum malu, “Oke, see you.

See you.

Sungjoo pun pergi, meninggalkan Seungyoun dengan secercah harapan kecil. Otaknya bilang tidak, tapi hatinya bilang iya. Duh, dilema.


Siapa lagi, ya? Oh, ada Hangyul!

Seungyoun mengernyit saat ia melihat sohib Yohan sekaligus teman sambatnya itu menghampiri booth. “Ngapain lo, Gyul?”

“Gue disuruh ngikut sama Yohan. Katanya masa dia doang yang cium,” katanya sambil memutar bola mata.

“Karma tuh,” ujar Seungyoun sambil mengulurkan tangannya, menggosok jempol dan empat jarinya—gestur meminta uang. “Sini bayar.”

Hangyul mengeluarkan uang dari kantung celananya, menyerahkan nominal yang diminta. Lembaran itu lantas diambil Seungyoun yang tersenyum lebar bagai rubah.

“Sini, sayang...” rayunya sambil mengerucutkan bibir.

Hangyul mengerutkan alisnya. “Jijik, Youn.”

Ia tergelak. “Servis tambahan khusus buat lo,” sahutnya di tengah tawa. “Sini, sini.”

Tanpa basa-basi lagi Hangyul langsung mencondongkan badannya ke depan, bertemu Seungyoun di tengah-tengah. Mereka menutup mata bersamaan, mencium satu sama lain dengan segan. Lama kelamaan Seungyoun pun mulai terbiasa, dan menghisap kecil bibir Hangyul yang padat. Hangyul sendiri tak mau kalah, mengecup bibir atas Seungyoun lalu menjilatnya sedikit. Seringaian muncul kala mereka membuka mata, kemudian menutupnya kembali. Bibir Hangyul terasa seperti bantal empuk dengan rasa permen white rabbit. Halus dan manis.

Ciuman mereka pun berakhir, memisahkan diri masing-masing. Seungyoun menjilat bibirnya, merasakan perisa vanila yang tersisa.

Hangyul menyeka bibirnya dengan jempol. Terlihat jelas warnanya yang memerah dengan sedikit kilau dari saliva. “Lumayan juga lo.”

Likewise,” sahut Seungyoun, “Permennya enak, Gyul.”

Pemuda di seberangnya terkekeh. “Gue nyolong dari booth tata boga tadi.”

Figures. Makasih udah mampir, lho.”

“Sama-sama, Youn. Gue cabut dulu ya. Nih tip,” pamit Hangyul sambil menyerahkan selembar uang, lalu berjalan pergi.

Seungyoun tersenyum simpul, menggenggam tip-nya. Hangyul baik juga.

Ia pun melayani pelanggan-pelanggan lain, dan kotak tempat uangnya mulai terisi penuh. Nampaknya kissing booth memang sangat menarik minat orang-orang. Entah itu karena kegiatannya yang seru, atau karena anak departemen musik selalu mempunyai visual yang menarik.


Pelanggan silih berganti. Kali ini, ada Ian.

Namanya Yu Barom, tapi orang-orang memanggilnya dengan Christian—atau Ian—yang mana adalah nama baptisnya. Senior populer yang sedang menjalani tahun terakhirnya di departemen film dan televisi sebelum lulus. Videografer yang handal dan produser banyak film untuk festival kampus.

Seungyoun mengenalnya saat mereka riset bersama, mengunjungi museum seni di pusat kota untuk inspirasi karya masing-masing. Di sana mereka banyak mengobrol tentang minat dalam musik dan videografi. So much fun.

“Kak Ian!” sapa Seungyoun, tersenyum lebar. “Lama nggak ketemu.”

Ian ikut tersenyum, mengacak rambut Seungyoun. “Iya, gue banyak persiapan buat proyek akhir. Jadinya jalan ke luar kota terus.”

“Ih, kok gak ngajak-ngajak?” tanyanya, pura-pura merajuk. Ian hanya mendengus geli melihat tingkahnya yang lucu.

“Lo kan banyak kegiatan di sini, Seungyoun. Nanti gue malah bikin lo keteteran.”

“Iya juga sih,” Seungyoun manggut-manggut. “So, anyways. A kiss?

Ian merogoh saku, lalu menyerahkan uang. “Right. Here you go, baby fox.”

Seungyoun tertawa kecil, lalu mendekatkan diri ke arah Ian. Ia bertumpu di meja stand-nya, menyentuhkan bibir mereka berdua. Ian memegang belakang tengkuknya, mengelus anak rambut di bagian belakang dengan lembut. Bibir Ian lembut, dan Seungyoun menikmati kecupan yang diberikan. Tindikan di sudut bibir seniornya itu ia jilat dengan ujung lidah, membuat Ian menghela napas panjang dan mencium balik Seungyoun menggunakan lidahnya yang cukup lihai. Wangi dan rasa cokelat menyeruak ke indra Seungyoun, asumsinya mengarah ke vape yang sering digunakan Ian. Enak, manis. Rasanya seperti sedang mencicipi kue cokelat di kafe kampus yang laris.

“Mmm,” ucap Seungyoun saat Ian melepas ciumannya. “Kali ini rasanya enak.”

“Emang yang dulu nggak?” tanya Ian sambil terkekeh. Seungyoun menggeleng, mukanya mengernyit mengingat saat ia mencoba vape dulu.

“Nggak,” jawabnya, “Yang dulu kan citrus. Aneh banget tau gak, asam kecut gitu.”

“Kamu aja yang gak kebiasa,” ejek Ian, mengacak rambutnya lagi dengan gemas. Senior yang satu ini memang paling jago menggoda dirinya. Tapi paling melindungi juga.

Seungyoun mengerucutkan bibirnya. “Terserah, deh.”

Ian hanya tertawa lebih keras. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, dan ia mengeluarkannya. “Ups, gue harus pergi sekarang. I’ll contact you again, okay?

Okay, kak. See you soon!

See you!


Setelah Ian pergi, Seungyoun mulai membereskan booth-nya. Hari sudah sore, dan pengunjung festival sudah mulai menipis. Pundi-pundi uangnya juga sudah terisi penuh, hasil kerja keras bibirnya hari ini.

Terima kasih, bibir Seungyoun. You’ve done a great job.

Sekarang waktunya istirahat... tunggu.

“Seungyoun.”

Tunggu.

Booth-nya masih buka, kan?”

Oh.

Dia datang.

Dia datang!

“M- masih, kak,” jawab Seungyoun canggung.

Orang itu, Han Seungwoo. Senior di departemen desain komunikasi visual. Pencapaian tak usah ditanya lagi—ranking teratas tiap semester, GPA selangit, juara lomba desain dan marketing sana sini. Intern di studio terkenal dan punya banyak kenalan di dunia seni. Tak lupa jabatannya sebagai kapten klub sepak bola, seorang midfielder yang handal dan selalu bekerjasama dengan baik.

Oh, iya. Dia crush-nya Seungyoun.

Sudah lama Seungyoun jatuh hati dengan seniornya itu. Setelah berbagai malam latihan yang dilalui dengan mengobrol ngalor-ngidul, topik yang bermacam dari ujung sampai ujung dan latihan tambahan berdua, Seungyoun menemukan bahwa Seungwoo adalah orang yang sangat baik. Antusias untuk berdiskusi, sarannya juga selalu membantu. Ia siap untuk menolong jika Seungyoun perlu bantuan apapun, mulai dari akademik sampai kegiatan klub.

Intinya, Seungyoun suka pada Seungwoo.

“Youn?” Seungwoo memanggilnya, tangannya melambai di depan muka junior yang sedang termangu itu.

“Eh, iya!” jawab Seungyoun gugup. “Masih buka, kak.”

Seungwoo tersenyum sambil menyerahkan uang. Duh, tampan sekali.

Seungyoun menerima uang itu dan meletakkannya di kotak. Pikirannya berkecamuk. Tadi ia sudah pakai lip balm, kan? Semoga tidak terhapus karena Kak Ian tadi. Permennya juga baru dimakan. Tangannya berkeringat, tapi semoga hand cream yang ia pinjam dari Sejin masih meninggalkan aroma.

“Kak, um,” ia menghela napas. Ayo Seungyoun, kamu bisa. Kamu bisa cium crush-mu!

“Seungyoun...” bisik Seungwoo, oktaf suaranya merendah seketika. Sebelum Seungyoun sempat menjawab, bibir Seungwoo telah menghantamnya duluan.

Seungwoo mengecup bibirnya lembut, dari belahan atas, lalu bawah. Lalu cupid’s bow-nya disentuh cukup lama. Seungyoun merinding saat pipinya ditangkup, tangan besar Seungwoo menenggelamkan mukanya.

Dengan sensual Seungwoo menjilat bibir Seungyoun, meminta akses masuk. Yang lebih muda pun otomatis membuka mulutnya, dan tanpa menunggu lebih lanjut Seungwoo langsung melesakkan lidahnya. Ia menjamah sudut dan celah mulut Seungyoun dengan lembut, lalu kembali fokus menghisap bibir bagian bawah.

“Mmh,” gumam Seungyoun, menikmati sensasi bibir Seungwoo yang beradu dengannya. Halus, basah. Tanpa sadar ia menggenggam pergelangan tangan Seungwoo, membalutkan jarinya di sekitar kulit putih itu.

Mereka bercumbu berkali-kali. Bibir Seungyoun dihisap berulang-ulang, menimbulkan suara kecipak yang keras.

Akhirnya pagutan itu pun terlepas, dan Seungyoun membuka matanya yang sedari tadi tertutup. Mereka bertatapan dengan intens, lalu tersenyum canggung.

“Seungyoun,” gumam Seungwoo, menjilat bibirnya.

“Kak Seung—mmm,” Seungyoun tak sempat berkata-kata lagi sebelum Seungwoo kembali menguncinya dalam cumbu; kali ini lebih panas dari sebelumnya. Bibirnya terasa lebih lembut lagi, dan tentunya bengkak karena stimulasi sedari tadi.

Selama beberapa menit kemudian mereka terus tenggelam dalam ciuman masing-masing. Hanya terdengar suara desah pelan dan kecupan sensual di sekitar booth itu. Tangan Seungwoo kini berpindah ke rambut Seungyoun, mengelus dan mengacaknya. Seungyoun sendiri menangkupkan tangan kecilnya di wajah Seungwoo, merasakan tulang pipi yang timbul dan rahang yang tajam.

Mereka terus berciuman sampai—

“Hoi, hoi! Time-out! Kelamaan make out-nya hoi!”

Seungwoo dan Seungyoun sontak memisahkan diri, menoleh ke sumber suara. Di sana terlihat Sejin, Byungchan dan Seungsik—teman Seungwoo—yang menyoraki sambil mengangkat ponsel masing-masing. Terang saja mereka merekam dari tadi.

“Eh—“ Seungyoun membuka-tutup mulutnya, suaranya hilang seketika. Pipinya merona dan badannya memanas karena malu.

Seungwoo, di sisi lain, membatu bagai patung. Tangannya masih berada di rambut Seungyoun, berdiam.

Byungchan nyengir. “Can’t believe it took a kissing booth for both of you to eat each other’s face out.

Kedua orang lainnya mengangguk. “Karena ini kalian, time out-nya gajadi guys,” tukas Sejin.

Seungsik melanjutkan. “Udah sana balik ciuman, kita mau publikasi. Bye!”

Dengan itu, mereka pun pergi meninggalkan dua orang yang masih terperangah di tempat. Seungyoun mengerlingkan matanya dan menatap Seungwoo yang menggigit bibirnya canggung.

Bibir yang baru diciumny—Seungyoun! Fokus!

“Um,” Seungwoo bergumam, menurunkan tangannya dari kepala Seungyoun.

“Um,” Seungyoun ikut bergumam, pikirannya berkecamuk. Ia menghela napas, lalu menbuka mulutnya. “Jadi... um. Aku... kak Seungwoo, um...”

“Aku suka kamu, Seungyoun.”

Apa?

Seungyoun terkesiap, mulutnya menganga. Ia mengerjap beberapa kali. “Uh—”

“Aku tau ini tiba-tiba, tapi—” Seungwoo menelan ludah, “—Tapi aku suka kamu, Youn. I have been for a long time. Fuck, maaf ini tiba-tiba banget, gak papa kalo mau jauhin atau gimana, aku cuma perlu nyatain—”

“Aku juga suka Kak Seungwoo,” potong Seungyoun. Mukanya merah padam seperti udang rebus. Tapi persetan—Seungwoo suka padanya! Sudah lama pula!

“Seungyoun...”

I wanna be your boyfriend, kak,” ucap Seungyoun malu-malu. “I really do. I’ve liked you for quite a while too.

“Ya ampun, aku gak tau mau ngomong apa,” Seungwoo mendengus, tertawa kecil. Ia menghela napas panjang. “I... I wanna be your boyfriend, too.

Seungyoun tersenyum lebar. Rasanya seperti mimpi, seperti khayalannya selama ini. Seungwoo, di depannya, bilang mau jadi pacarnya. Tolong tampar Seungyoun sekarang, tolong.

“Tampar kamu?”

Did he just said that out loud?

God, Seungyoun. Bodoh sekali.

“Eh maksudnya biar mastiin ini nyata atau nggak—”

“Dicium aja, gimana?” tanya Seungwoo pelan.

Seungyoun membatu. “Hah?”

“Mau aku cium biar kamu bisa tau ini nyata atau nggak?”

Ada ledakan kembang api. Bukan di luar. Di hati Seungyoun, bersama kupu-kupu yang beterbangan di perut.

“M—mau,” jawab Seungyoun, suaranya nyaris tidak terdengar.

Seungwoo terkekeh. “Alright, boyfriend.

Seungwoo menciumnya lagi. Rasanya berbagai macam—polos seperti saat bersama Yohan, playful dan menantang seperti kecupan Jinhyuk, Wooseok dan Hangyul, halus seperti Sungjoo, lihai seperti Ian. Tapi yang paling terasa adalah Seungwoo. Sensasinya tak seperti yang lain. Ini Seungwoo.

Pacarnya!


Kissing booth yang merupakan makcomblang terselubung. Seungyoun dan Seungwoo menganggapnya begitu. Tapi seraya mereka berjalan-jalan di sekitaran sekolah, berkendara keliling kota, dan berbaring di lapangan stadion sambil menatap langit malam, mereka memutuskan bahwa hal itu tidak terlalu buruk.

Mereka menatap gugusan bintang, lalu mata satu sama lain.

Hm. Tak ada beda. Sama berkelip dan indahnya. Sama-sama mengandung semesta hanya untuk berdua.

Memang sudah takdirnya kissing booth gadungan itu ada.

(Takdir diatur Sejin, Byungchan dan Seungsik yang merupakan otak dari segalanya. Mereka capek melihat heart eyes yang dilontarkan dua sejoli itu. Maka suatu hari Seungsik meminta Sejin dan Byungchan untuk mencurangi undian agar Seungyoun menarik tangkai paling pendek.

Tidak, Seungwoo dan Seungyoun tak perlu tahu.

Tapi jika mereka tahu pun, tak ada bedanya. Ketiga mastermind ini hanya mempercepat takdir untuk mempertemukan cinta.)

fin.

(noun) a person’s fate or destiny.


“Seungwoo, udah siap belum?”

Dasinya yang agak miring ia luruskan. Kemudian ia pakai jas hitamnya yang telah disetrika serta sepatu loafers legam yang disemir hingga mengkilat.

Ia mematut-matut dirinya di depan cermin. Semua sudah lengkap, ia siap untuk berangkat.

“Seungwoo! Udah siap belum?!”

“Udah, ini aku turun!” sahutnya, mengancingkan jas seraya keluar kamar. Ia menuruni tangga marmer yang megah, menghadap seorang perempuan yang berkacak pinggang di bawah.

“Lama banget,” ucap perempuan itu, “udah ditungguin papa mama di mobil.”

Seungwoo meringis bersalah. “Maaf, Kak Sunhwa. Tadi aku nyetrika jas dulu.”

Sunhwa hanya memutar bola matanya, berjalan beriringan dengan adiknya ke pintu. Mereka pun sampai di mobil 2019 Genesis G70 yang menunggu di halaman depan.

Dua figur terlihat telah duduk di kursi belakang mobil yang mesinnya telah menyala itu. Seungwoo pun menempati kursi pengemudi, sedangkan Sunhwa duduk di kursi penumpang.

“Papa, mama, maaf lama,” kata Seungwoo sambil menengok ke belakang.

“Lain kali lebih cepat, Seungwoo,” balas ayahnya, “Kamu nggak mau telat ke acara perjodohanmu sendiri, kan.”

Seungwoo mengangguk, menghela napas.

Perjodohan.

Di usianya yang sudah kepala tiga, tidak heran jika orang tuanya bersikeras untuk mencarikannya pendamping hidup. Apalagi dengan level fokusnya yang tinggi pada pekerjaannya sebagai wirausahawan, tentunya ia tidak punya waktu untuk mencari tambatan hati.

Maka dari itu, saat orang tuanya menawarkan pada dirinya untuk bertemu dengan anak dari kolega ayahnya, ia mengiyakan.

Well, kalau tidak cocok kan ia bisa menolak.

Setelah memasukkan gigi dan melepas rem tangan, mobil itu pun berangkat.

Setelah beberapa lama, mereka pun sampai di hotel megah yang berada di pusat kota. Mobil itu diserahkan pada petugas valet, lalu keluarga itu menaiki lift menuju restoran yang berada di lantai tengah. Di restoran mereka menuju ke ruangan yang sudah dipesan, di mana beberapa orang sudah menunggu.

“Ah, Tuan Lee. Ini keluarga saya,” ayah Seungwoo menyalami pria separuh baya yang berdiri dari duduknya, diikuti sang ibu, Sunhwa, serta Seungwoo.

“Silakan duduk, Tuan Han, santai saja,” Tuan Lee terkekeh, mempersilakan mereka untuk duduk. Setelah menempati kursi, Seungwoo menyadari kehadiran seorang pemuda yang duduk di hadapannya.

Pemuda itu berperawakan tegap, dengan rambut cokelat yang ditata sehingga dahinya terlihat. Fiturnya tegas, dengan mata besar yang manis dan bibir merah muda yang membentuk senyum malu-malu saat bertatapan dengan Seungwoo.

Ah, pasti ini orangnya.

Makanan pun mulai disajikan—dimulai dari appetizer, main course, hingga dessert.

Sambil menyantap makanan, masing-masing keluarga mulai bercakap satu sama lain. Tak terkecuali memperkenalkan anak masing-masing.

“Seungwoo, ini anak saya, Hangyul,” ujar Tuan Lee, mengangguk ke arah anaknya yang mengangguk canggung. Seungwoo membalas anggukan itu, tersenyum lembut.

Manis sekali.

Anak itu mengulurkan tangannya. “Lee Hangyul,” ucapnya pelan. Suaranya rendah dan tenang, walau ada sedikit gugup di baliknya.

“Han Seungwoo,” sambut Seungwoo, menjabat tangan mulus milik Hangyul.

“Nah, karena kalian sudah kenalan,” ayah Seungwoo berdeham, “Mungkin kita semua sudah tahu alasan makan malam ini. Tuan Lee, jika berkenan, kami berencana untuk menjodohkan mereka berdua.”

Tuan Lee mengangguk, tersenyum bijak. “Saya juga berpikir begitu. Hangyul, kamu kan sudah mau umur 30. Karirmu bagus, pendidikan juga tinggal menjejak S3. Nggak ada salahnya nikah dulu, kan?”

“Eh,” Hangyul menatap ayahnya, lalu ke Seungwoo, lalu ke ayahnya lagi. “Um, iya sih, selama kerjaan aku gak keganggu...”

Giliran Tuan Han yang angkat bicara. “Seungwoo juga sudah kepala 3, kok. Terlalu sibuk sama pekerjaannya, ya, nak? Papa sama mama cuma mau paling nggak kamu ada yang menemani. Kasihan sendiri terus, dia.”

Seungwoo cengengesan. “Ah, iya,” ia tersenyum lembut ke arah Hangyul, “saya sih asal semua setuju aja.”

“Kalian masih punya waktu untuk memikirkan ini, kok. Tidak ada paksaan, hanya tawaran saja,” ucap ibu Seungwoo lembut, mengelus bahu anaknya.

Hangyul dan Seungwoo mengangguk, bertatapan lagi. Mereka melempar senyum tipis, lalu kembali memakan makanan penutup mereka.

Obrolan di meja makan itu pun berlangsung lagi, menanyakan pekerjaan Seungwoo dan rencana akademik Hangyul, hingga ke topik politik saat ini dan keadaan ekonomi.

Setelah beberapa lama makanan akhirnya habis dan percakapan sudah bercabang ke mana-mana. Seungwoo meneguk wine-nya, sambil mengobrol dengan Hangyul tentang kota Reykjavik yang menjadi bucket list mereka berdua.

“Eh sebentar, izin ke toilet ya, Gyul?” izinnya sambil nyengir, bangkit dari kursi.

Hangyul mengangguk. “Iya, kak.”

Seungwoo pun bangkit dari kursinya, berjalan ke toilet di luar restoran. Setelah selesai ia tidak langsung kembali ke ruang makan, namun berjalan ke arah balkon di luar.

Tangannya merogoh saku celana, mengeluarkan rokok dan pemantik. Disulutnya selintingan itu, kemudian menghisapnya dalam-dalam. Asap yang ia hembuskan melarut dalam udara malam.

Ia menghela napas. Setelah dipikir-pikir, ini komitmen yang besar juga. Terlebih, ia dan Hangyul mempunyai kesibukan masing-masing, dan ia mengerti mengapa mereka berdua tenggelam sedemikian rupa dalam pekerjaan. Mengerti mengapa mereka berdua tidak berpikir untuk mencari pendamping hidup—karena karir sudah menjadi fokus hingga nyawa meredup.

Tetapi, memang sudah lama sejak Seungwoo menjalin kasih. Bukannya ia atau para mantan kekasihnya brengsek, tidak. Ia hanya tidak mau membuang waktu untuk perselisihan yang tidak perlu. Dahulu ia penuh tekad untuk sukses. Penuh ambisi untuk mendaki sampai beres. Itu dulu. Sekarang ia telah tumbuh. Sudah mapan dan mampu menjamin masa depan.

Hangyul juga menarik perhatiannya. Anak yang manis, dengan talenta selangit dibarengi etos kerja yang mumpuni. Cerdas dan baik hati. Fisik yang bagai adonis, diisi jiwa yang begitu hidup, begitu magis.

Seungwoo menghembuskan asapnya, menerawang pada gugusan bintang. Mungkin waktunya telah datang. Mungkin kesempatannya telah hadir. Mungkin Hangyul dan dirinya bisa berakhir bersama.

“Kak Seungwoo.”

Ia membalik badannya, dan melihat Hangyul berdiri di belakangnya dengan canggung.

Rokoknya ia matikan di tempat sampah yang berasbak. “Hangyul,” balasnya sambil tersenyum.

Hangyul berjalan mendekat, mengerjapkan matanya. Anak itu ikut tersenyum lembut. “Kalo mau ngerokok gak papa lho, kak,” katanya saat sampai di sebelahnya.

“Ah, nggak,” Seungwoo nyengir, “Nggak enak.”

It’s okay, seriously. People smoke around me all the time.”

Well, it ain’t gonna be me, Gyul.”

Hangyul menghela napas. Mereka terdiam untuk beberapa saat, sesekali mencuri pandang satu sama lain setelah melihat langit malam. Tawa kecil muncul kala mereka ketahuan.

“Kak,” ucap Hangyul setelah beberapa saat.

“Hm?” sahut Seungwoo, menoleh ke arah pemuda itu.

Hangyul menggigit bibirnya, menatap malu-malu. “Udah kenyang belom?”

Seungwoo mengangkat alisnya. “Biasa aja, sih. Kenapa?”

“Um,” Hangyul mengedikkan kepalanya, bergumam sejenak. “Jujur, fine dining gak begitu ngenyangin buat aku, dan, um... aduh jadi nggak enak.”

Shoot.”

“Uh... jadi, di blok deket sini ada festival gitu... Aku tau kita baru kenal, tapi, uh, di sana ada makanan, jajanan street food gitu, terus aku mikir kalo kita, uh...”

“Ayo,” jawab Seungwoo, memotong perkataan Hangyul.

Pemuda itu menganga, seakan tidak percaya Seungwoo mengiyakan ajakannya. “Kak, sumpah gak papa kalo gak mau—“

“Kakak mau, Gyul. Ayo kabur, cari makan, kakak juga pengen makan lagi,” ujar Seungwoo, tersenyum lebar.

Hangyul mengangguk, pipinya merona. “O-oke, kalo gitu aku bilang dulu ke ayah.”

“Nggak usah,” Seungwoo mulai berjalan ke arah pintu, mengulurkan tangannya. “Kakak aja yang urus. Nanti pulangnya dianterin.”

“Gak usah kak, aku udah gede kali,” sahut pemuda itu, tapi tangannya menyambut uluran yang lebih tua. “Nanti aku balik sendiri.”

“Maksa lho ini.”

“...Ya udah.”

Mereka pun berjalan ke dalam, menemui Sunhwa yang baru keluar dari restoran.

“Eh, kak,” Seungwoo menghampiri kakaknya itu, menyerahkan kunci mobil. “Aku sama Hangyul cabut duluan. Ini kunci mobilnya, nanti kakak supirin papa mama ya.”

“Hah?!” Sunhwa mengerjapkan matanya bingung. “Kamu mau ke mana?”

“Makan.”

Sunhwa menggeleng-geleng tak percaya. Adiknya ini, sudah tua, tetap saja masih menyusahkan. Setidaknya mungkin perjodohan ini berhasil.

“Ya udah. Pergi kasmaran sana, nanti aku sama papa mama naik taksi aja,” katanya sambil mengembalikan kunci itu ke tangan adiknya.

Seungwoo hanya memutar bola matanya. “Makasih, kak. Kabar-kabar ya,” ujarnya, lalu bergandengan dengan Hangyul keluar kompleks hotel.

“Festivalnya ke arah mana, Gyul?” tanya Seungwoo saat mereka menyusuri blok.

Hangyul menunjuk arah depan dengan tangannya yang bebas. “Dua blok dari sini, kak. Di depan ada lampion, sih, jadi harusnya itu.”

Alright.”

Seiring perjalanan Seungwoo melihat sekeliling—gedung-gedung tinggi, ruko tua, toko yang masih buka. Ada juga orang-orang yang membawa bermacan barang, bercengkrama selagi menyusuri trotoar. Mungkin ada yang bertujuan sama dengan dirinya, atau mempunyai rute berbeda.

Ia menatap Hangyul yang berjalan beriringan, matanya menatap ke depan. Pipi anak itu memerah. Musim gugur memang akan segera berakhir dan udara sudah mulai dingin.

Atau anak itu hanya malu, bisa dirasakan dari tangannya yang meremat ragu.

“Hangyul,” celetuknya, membuat yang dipanggil menengok.

“Ya, kak?”

“Kakak panggil kamu pake dek boleh nggak?”

Muka Hangyul seketika makin merona, mulutnya membuka tutup tanpa suara untuk sesaat. “B—boleh, kak, kalo nggak keberatan.”

“Kan kakak yang nawarin,” Seungwoo terkekeh. “Gak kedengeran incest kan?”

Hangyul mengernyit. “Nggak sih... well now that I think about it... Ah biarin kak, aku mau kok dipanggil gitu.”

“Haha, ya udah.”

Seungwoo tersenyum simpul, menarik Hangyul seraya berjalan lebih cepat. “Entrance festivalnya udah kelihatan tuh. Yuk?”

“Yuk!”

Sesampainya mereka pun langsung memasuki area festival. Terlihat stand-stand makanan yang berjejer rapi, wahana yang beragam, serta berbagai permainan yang menarik.

Hangyul menyunggingkan senyum lebar, matanya berkilau penuh semangat. “Kak Seungwoo, ayo!” serunya girang, menarik Seungwoo ke arah tempat permainan. Yang ditarik hanya mengikuti dengan patuh, menahan rasa gemas yang menggelitik. Tadi di restoran rasanya anak ini berwibawa dan dewasa, tapi begitu melihat festival yang berkelap-kelip langsung menjadi anak-anak yang antusias.

Mereka menghampiri stand shooting gallery, di mana Hangyul langsung membayar untuk satu kali main.

“Katanya mau makan, dek?” tanya Seungwoo geli.

Hangyul nyengir, mengambil senapan mainan yang diberi penjaga stand. “Ternyata permainannya menggoda juga.”

Hangyul pun membidik sasarannya, dan berhasil menembak lima dari total tujuh peluru dengan tepat. Ia bersorak senang saat melihat hasil tembakannya.

“Selamat, kamu bisa memilih antara topi boneka, atau kaus festival,” ucap penjaga stand sambil menunjuk hadiah yang dimaksud.

“Topi boneka aja,” jawab Hangyul, menerima topi yang berkepala Snoopy itu. Ia kemudian memakaikannya ke kepala Seungwoo, yang langsung terperangah.

“Hah, apaan?”

Hangyul tersenyum manis, memencet bagian bawah topi itu sehingga telinganya bergerak-gerak. “Buat kakak, soalnya lucu.”

Seungwoo mengangkat alisnya, tertawa kecil. “Topinya lucu?”

“Ih,” Hangyul merengut, pipinya merona. “Kakak yang lucu.”

“Oh?” Seungwoo mengelus rambut Hangyul lembut, matanya menyipit karena tersenyum lebar. Hangyul hanya menatapnya karena tersipu.

Seungwoo menoleh, melihat boneka harimau lucu yang berukuran besar dengan papan bertuliskan ‘GRAND PRIZE’ di sampingnya. Tiba-tiba ia mendapat ide, tangan mengeluarkan dompet dari sakunya.

“Satu kali, ya,” pintanya seraya menyerahkan uang, lalu mengambil senapan yang diberikan.

Hangyul mengernyit. “Kok tiba-tiba mau main?”

Seungwoo mengedipkan satu matanya, lalu secepat kilat menembak semua sasaran dengan tepat. 7 out of 7.

“Kak—“

“Soalnya,” Seungwoo mengangkat boneka lembut itu dan menyodorkannya pada Hangyul. “Kakak mau kasih ini buat kamu.”

Dengan ragu-ragu Hangyul menerima boneka itu, pipinya kembali merona merah. Ia memeluknya erat, sudut bibirnya membentuk senyum yang manis.

“Makasih, kak,” ucapnya pelan.

Seungwoo terkekeh, mukanya ikut memanas. “Sama-sama.”

Mereka mencoba beberapa permainan lain seperti ring the bell (Seungwoo kaget karena Hangyul kuat sekali—memecahkan rekor sebelumnya), whack-a-mole (kali ini Seungwoo yang menang, refleksnya sangat bagus) dan rumah hantu (tidak ada yang takut, tapi mereka mencuri kesempatan untuk bergandengan lagi).

Kadang-kadang Seungwoo geli sendiri melihat pantulan mereka berdua di permukaan kaca atau cermin sambil lewat. Dua pria, memakai jas lengkap dengan dasi serta sepatu formal—tapi yang satu menggunakan topi kartun, dan yang satu lagi memeluk erat boneka jumbo.

Lucu. Gemas. Rasanya seperti jadi remaja lagi. Segan tapi mesra, malu tapi dimabuk cinta.

Ia tidak keberatan. Kak Sunhwa benar, mereka kasmaran. Ya sudah.

Setelah puas bermain, makanan pun jadi pilihan berikutnya bagi keduanya. Hangyul (yang sudah lapar) langsung menerjang stand tempat corn dogs, french fries, dan pretzel sekaligus, sedangkan Seungwoo memilih untuk membeli hot dog dan funnel cake.

Hangyul langsung melahap makanannya bagai vacuum cleaner yang dinyalakan. Boneka harimaunya dengan lekat bertengger di bahu anak itu. Sepertinya ia benar-benar lapar, makanan fancy di restoran mewah tidak berbekas baginya.

Seungwoo meringis melihat Hangyul yang begitu cepat mengunyah dan menelan—apa benar makanannya dikunyah?—dalam waktu singkat makanan yang tersisa hanya pretzel-nya, itu pun langsung dimakan. Seungwoo sendiri belum menghabiskan hot dog-nya, sedangkan funnel cake masih aman di kemasan.

“Dek,” Seungwoo menghela napas, mengusap sudut bibir Hangyul yang belepotan dengan jempolnya. “Jangan cepet-cepet makannya, nanti keselek.”

“Hmp—uhuk!” Hangyul yang terkejut malah benar-benar tersedak, terbatuk hingga badannya membungkuk.

“Eh? Nah kan beneran keselek, ya ampun. Nih,” Seungwoo menyerahkan sebotol air yang tadi ia beli. Hangyul menyambarnya, dan langsung meneguk air itu banyak-banyak. Ia menyeka mulutnya dengan punggung tangan, terengah setelah batuknya selesai.

Seungwoo menepuk-nepuk punggung Hangyul pelan. “Udah mendingan?” tanyanya.

“Udah,” jawab Hangyul, lalu menegakkan tubuhnya. “Tadi aku bukan keselek gara-gara makan cepet, tau.”

“Terus kenapa?”

“Y—ya, gara-gara kakak tadi tiba-tiba nyentuh gitu!”

Seungwoo terbahak. “Seriously?

“Beneran!” seru Hangyul, “Nih, kan kaget kalo tiba-tiba diginiin.”

Seungwoo membuka mulut hendak menjawab, namun suaranya berhenti di tenggorokan saat ia merasakan bibir Hangyul mendarat di pipinya. Ia membatu, matanya membelalak kaget.

Sepersekian detik kemudian badannya bereaksi, tangannya menangkup pipi sendiri. Tubuhnya terhuyung sedikit, kakinya terasa seperti jeli. Apa-apaan? Tiba-tiba mencium seperti itu! Bukannya ia tak mau, tapi, yah, tetap saja tidak terduga!

“Apaan sih, dek?!” pekik Seungwoo, alisnya menukik tajam.

Kini ganti Hangyul yang tergelak. Geli sekali kedengarannya, begitu puas akan apa yang telah diperbuat olehnya. Tidak tahu saja dia kalau orang di depannya mau meleleh.

“Kakak lucu banget sumpah,” ujarnya di tengah tawa.

“Gyul, berhenti ketawa!” perintah Seungwoo, yang tidak diindahkan oleh pemuda di depannya itu.

Setelah tawanya mereda, Hangyul tersenyum simpul pada Seungwoo, ekspresi kemenangan jelas di mukanya. “Rasain tuh tadi aku kaget gimana,” katanya.

“Kakak kan cuma ngusap bibir kamu!” bantah Seungwoo tidak terima.

“Ya tetep aja aku kaget! La—lagian,” Hangyul berdeham, “Aku kan belum siap, kak.”

“Belum siap gimana?”

“Ya... buat afeksi kayak gitu.”

Mereka berdua terdiam sejenak, melirik satu sama lain. Hangyul menggigit bibirnya, telinganya telah memerah sampai terlihat mencolok. Ramainya festival itu teredam di telinga, rasanya dunia jadi milik berdua.

“Oh,” ucap Seungwoo pelan, “Kalo gitu, lain kali harus siap ya?”

Hangyul mengangkat alisnya. “Hah?”

“Soalnya kakak bakal sering kasih kamu afeksi.”

Kalau tadi Seungwoo yang mematung, sekarang giliran Hangyul. Pemuda itu diam di tempat, mulutnya membuka-menutup layaknya ikan koi. Asap nyaris terlihat keluar dari telinganya.

“...Aku mau beli makanan lagi,” tanpa menunggu tanggapan, Hangyul langsung melangkah pergi, menghampiri stand makanan tak jauh dari situ.

Seungwoo hanya melihatnya seraya mendengus geli. Waktu baru berlalu beberapa jam setelah ia bertemu Hangyul untuk pertama kalinya. Tapi semesta bekerja dengan caranya sendiri, dan terkadang apa yang datang sama sekali tidak terduga. Seperti sekarang—rasanya Seungwoo tidak pernah tertarik secepat ini pada seseorang. Butuh waktu lama baginya untuk membuka hati, terlebih untuk mencintai. Lagi-lagi, itu dulu. Sekarang ada Hangyul yang membuat kembang api menyala di kalbu dan kupu-kupu beterbangan di perutnya.

Semoga apa yang dirasakannya bukan halusinasi belaka.

Firasatnya sih bilang bukan.

Hangyul pun kembali dengan gulali di tangan saat Seungwoo menghabiskan funnel cake-nya. Kembang gula berukuran besar itu dicuilnya kemudian dimakannya dengan nikmat.

“Udah lama aku gak makan ginian,” ujar Hangyul.

Seungwoo hanya nyengir mendengar itu, mengelus kepala yang lebih muda dengan gemas. “Nanti diabetes lho, masih muda masa kena gula.”

“Berisik,” Hangyul mencebik, menyodorkan secuil gulali ke mulut Seungwoo. “Nih, makan.”

Seungwoo langsung melahap awan manis itu. “Kamu mau ngajak aku sakit bareng ya?”

“Mau lagi gak?”

“...Mau.”


Malam itu akhirnya ditutup dengan menaiki bianglala yang berada di pusat wahana festival. Mereka duduk berseberangan, boneka dan topi diletakkan di samping. Dari atas terlihat kerumunan di berbagai area, konser musik yang berlangsung, dan kembang api yang terkadang ditembakkan pengunjung. Kedua pemuda itu terdiam beberapa lama, memandang sekeliling.

Seungwoo menatap wajah Hangyul yang ditimpa cahaya malam. Mata yang lebih muda berkilau di kegelapan, bagai kristal yang gemerlapan.

Cantik. Indah. Seperti melihat bentangan bintang di atas, tapi bedanya ia tidak harus mendongak. Hanya perlu melirik, dan tepat di depannya sudah ada seluruh galaksi.

Hangyul mengerling ke arahnya, menatap balik. Mata mereka berbicara dalam sunyi, menyampaikan seribu rasa tanpa harus bersuara.

Ia meraih tangan Hangyul, merematnya lembut. Hangat dan halus, begitu pas di genggamannya yang dingin. Jempolnya mengelus punggung tangan yang lebih muda, sentuhannya seringan bulu.

“Hangyul,” mulainya, “Makasih ya buat hari ini.”

Pemuda di depannya tersenyum. “Aku yang makasih, kak. I had so much fun today.

Plus you’re stuffed.

Hangyul mendengus geli. “Yeah,” ia menelan ludah, lalu berbicara lagi seraya mengeratkan genggamannya sendiri. “Kak Seungwoo?”

“Hm?”

“Um, aku tau ini baru pertama kali kita ketemu, hangout and stuff... tapi jujur, jujur banget, ehm—aku—uh—“

It’s okay, dek,” kata Seungwoo menenangkan.

“Aku—“ Hangyul menghela napas. “Aku suka. Sama kakak. We’re—we’re adults. I can sense it when I like someone for real or just.. heat of the moment thing. And I feel the former with you, kak. I really do.

Oh, Tuhan.

Mungkin di kehidupan sebelumnya Seungwoo telah menyelamatkan dunia, ya?

“Dek, kakak juga sama,” Seungwoo menatap Hangyul dengan lekat, berucap sungguh-sungguh. Sejujur-jujurnya. “Kita emang dijodohin, dan biasanya perjodohan itu gak happy ending. Tapi gatau ya, kamu suka ngerasa gak sih kalo sesuatu itu udah ditakdirkan? That’s exactly how I feel. Kakak mau sama kamu. For fucking real.

Hangyul mendengus, tertawa kecil. “Aku gak tau mau ngomong apa, sumpah, um I’m just,” Ia menarik dan menghembuskan napas untuk beberapa kali, membuka mulut lalu menutupnya lagi. “Just... marriage is such a big deal, you know? It’s a chapter, hell, a whole new book. It’s so—so huge.

Jempol kanan Seungwoo perlahan mengelus jari manis di tangan kiri Hangyul. Kosong, polos. Mungkin perlu disemati cincin.

Ia berbisik, pelan hanya untuk didengar mereka berdua.

“Gyul, I want this to work so bad.

Hangyul mengamati tangannya, kemudian tatapannya naik, lurus ke arah yang lebih tua. Ia berbisik pula, sama pelannya.

I do, too.

“Tapi kamu takut.”

“Mm-hm.”

Seungwoo melihat ke luar. Ini putaran terakhir. Sebentar lagi mereka harus turun.

“Kakak juga takut,” ucapnya perlahan, “Kita hilangin rasa takut itu sama-sama, ya?”

Hangyul tersenyum manis, menghela napas dalam. “Bareng ya, kak,” jawabnya.

Seungwoo mengangguk.

“Bareng.”


Setelah putaran bianglala itu selesai, mereka pun turun, bergandengan dalam diam seraya berjalan keluar area festival. Di trotoar pun mereka hanya bertatapan sambil tersenyum kecil, menikmati pemandangan hiruk pikuk orang-orang di sekitar mereka.

Tak lama kemudian mereka sampai di hotel, menerima mobil yang diantarkan oleh petugas valet. Seungwoo menyetir seperti saat berangkat dan Hangyul berada di kursi penumpang. Mereka mulai bercengkrama lagi selama perjalanan, beralih dari topik satu ke yang lain diiringi lagu-lagu Incognito yang mengalun dari stereo mobil. Tangan kiri Hangyul berada di tuas persneling, ditangkup hangat oleh Seungwoo yang dengan lihai mengganti gigi.

“Dek, kamu suka film nggak?” celetuk Seungwoo di tengah perjalanan.

Hangyul menoleh ke arahnya. “Suka, kak.”

“Besok kan masih weekend... You fancy a second date?” tanya Seungwoo. “Ada bioskop kecil yang muterin film-film jadul gitu, I’d like to go there with you.

I’d love to.” yang lebih muda mengangguk antusias.

“Ya udah, kamu save nomor aku ya? Misscall aku abis itu.”

“Siap!”


Mereka akhirnya sampai di rumah Hangyul, setelah kembali mengobrol panjang diselingi pekikan yang lebih muda saat sang pengemudi menekan mode sport, menancap gigi 6 dan mengebut sepanjang tol.

(“Serem banget sih! Kalo nabrak gimana?!”

“Kamu gak percaya sama kakak?!”)

Seungwoo pun memarkirkan mobil di depan pagar rumah, lalu mengantarkan Hangyul ke pintu masuk. Pintu itu dibuka oleh ayah Hangyul, yang langsung tersenyum saat melihat anaknya.

“Hangyul, Seungwoo,” sapanya.

“Tuan Lee,” balas Seungwoo, membungkukkan badannya dengan sopan.

“Papa,” Hangyul ikut membungkuk, kemudian menegak lagi bersamaan dengan Seungwoo. “Maaf baru pulang.”

Tuan Lee terkekeh. “Nggak apa-apa. Kamu dianterin Seungwoo ini. Ayo, kalian masuk dulu. Bawa boneka gedenya juga.”

Hangyul terkesiap, baru ingat ia membawa boneka harimau di tangan. Ia pun meletakkan boneka itu di kursi terdekat.

“Ah, tidak perlu, Tuan Lee. Saya hanya mengantarkan Hangyul saja,” tolak Seungwoo lembut.

“Oh, baik kalau begitu. Papa masuk duluan ya, Gyul? Nanti kamu nyusul.”

Hangyul mengangguk. “Iya, Pa.”

Dengan itu pun Tuan Lee meninggalkan mereka di depan pintu. Suasana hening sesaat, sebelum secepat kilat Seungwoo mendaratkan kecupan lembut di pipi Hangyul—yang langsung terkejut lagi.

“Kak!”

Seungwoo nyengir tak bersalah. “Balesan yang tadi.”

“Curi-curi kesempatan ya.” Hangyul mendengus, memutar bola matanya. Ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantung celana, menyerahkannya pada Seungwoo.

“Nih, buat kakak.”

Seungwoo mengambil barang itu. “Candy cigarettes?

“Yep,” ujar Hangyul, “Biar gak ngerokok lagi. Aku gak mau punya suami mati muda.”

“Suami—” Seungwoo menggelengkan kepalanya, tersipu malu. Suami lho, katanya. Dadanya berdegup kencang seperti saat mendengar kerasnya ledakan kembang api di festival tadi.

“Makasih banyak, dek.”

No problem.”

“Kamu juga jangan ngikut kakak ngerokok ya.”

“Ya kali.”

Seungwoo mengantungi permen itu di sakunya, menghela napas. “Ya udah, kakak pulang dulu ya?”

Hangyul kini tersenyum, begitu lebar hingga matanya menyipit. Ia meraih pipi Seungwoo, mengelusnya lembut. “Hati-hati, ya? Text me when you get home, you have my number.”

Will do,” ucap Seungwoo lembut, mengecup telapak tangan Hangyul. Mereka terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Hangyul melepas tangannya.

Seungwoo pun berjalan keluar, memasuki mobilnya. “See you tomorrow, Gyul.”

See you, kak.

Mobil itu pun berangkat, menyusuri jalan ke rumah Seungwoo. Sepanjang jalan ia bersenandung ria, pikirannya sudah membayangkan kencan esok hari.

He’s smitten. And so what.

Setelah sampai dan memarkirkan mobilnya, ia pun masuk ke rumah. Di ruang tengah ia bertemu dengan ayah dan ibunya yang sedang menikmati kopi dan teh di sofa depan televisi.

“Papa, mama.”

“Eh, sudah pulang,” ujar ibunya, “Mana Hangyul?”

“Udah aku anterin, ma,” jawab Seungwoo.

Ayahnya menyesap kopi, lalu menatapnya penuh tanya. “Jadi gimana?”

“Gimana apanya?”

“Sampe kabur gitu tadi, harusnya kamu ada keputusan dong?”

Pemuda itu tersenyum lembut.

“Seungwoo mau sama Hangyul, pa.”


Me aku udah sampe rumah

hangyul alright. anyways, besok jam berapa?

Me does 5pm sound good?

hangyul absolutely

hangyul see u, fiance-to-be.

Me can’t wait.

Me sampai ketemu, cantik

fin.

WARNING

ok. here we go.

  1. Karena promptnya “begitu”, yang awalnya mau gue bikin pwp jadi ada backgroundnya sedikit. Karena ini prison AU, beberapa hal emang borderline gak sesuai sama nilai2 di masyarakat. Gue bikin di sini walau di dunia luar udah ada keadilan, di dalem penjaranya masih ada hukum rimba.
  2. Some things bisa di depict agak manipulatif dan dubious, tapi gue berusaha sebisa mungkin bikin consentnya tetep verbal dan karakternya berpikir jernih.
  3. Tadinya gue mau pake kata2 yg lebih vulgar lagi e.g. kontol dan peju tp ternyata gue belom kuat. hiks.
  4. Gue juga bikin pembicaraannya lebih ke bhs indonesia—tadinya mau gue campur inggris, tapi gue mikir swoo itu kan illiterate dan kehidupannya doesnt really accomodate him to learn things, jd gue mikir kalo dual language aneh gitu.

Anyhow, this has been one of the most risky content I’ve ever written, jadi kalo ada yang kurang pas, DM atau mention gue akan selalu terbuka buat diskusi :)

THIS STORY CONTAINS: graphic description of vulgar words (penis, anal, sperma), rounds and rounds and rounds of sex, slick producing, bareback, public sex (LITERALLY public), marking, kind of helplessness, nipple play, humiliation, degradation, choking, dirty talk, squirting, “titit mentok perut sampe timbul” aka gue gatau nama kinknya, breeding/pregnancy kink, lactating kink, coming untouched, no refractory period for swoo, exhibition, voyeurism, knotting, creampie (kind of).

if i left anything out, please tell me. thank you for reading!


Nomor 5977, Han Seungwoo. Ini selmu.

Ia memasuki ruangan kecil yang berdinding beton campur semen itu. Di pojok kiri terdapat tempat tidur yang cukup untuk satu orang, wastafel di seberang, dan sebuah kloset di ujung belakang. Hanya itu, tak ada apa-apa lagi.

Seungwoo menghela napas, mendudukkan diri di kasur yang keras. Mulutnya membentuk senyum miris. Setelah bertahun-tahun di jalanan, tanpa status, bertahan hidup dengan mencuri dan menipu, setidaknya sekarang ia punya atap di atasnya. Ada makanan yang bisa diambil tanpa harus mengais sampah orang kaya.

Tapi, satu masalah.

Dunia ini berjalan dengan hierarki, dengan kasta—alpha, beta, omega. Memang, di dunia luar keadilan sudah ditegakkan. Tapi ingat, ini penjara. Semuanya tergantung siapa yang bisa jadi dominan.

Jumpsuit yang berwarna oranye itu ia cengkeram. Di bagian dada tertempel patch kotak berwarna putih dengan nomor tahanan hitam. Seungwoo menggigit bibirnya. Ia belum tahu stratanya, jadi ia ditempatkan di penjara untuk alpha dan beta.

Kalau ia tidak menjadi salah satu di antara dua itu, habislah.


Nasi, ikan, sup lobak dan kacang merah, serta air putih.

Seungwoo berjalan ke meja di pojok ruangan. Kebanyakan orang berkumpul dalam satu grup, sepertinya tergantung geng masing-masing.

Seraya berjalan, ia berpapasan dengan seseorang—tingginya sepantaran, figurnya lembut namun tegas, disertai rambut hitam yang berantakan. Mata mereka bertemu, dan Seungwoo terdiam sesaat. Badannya seperti membeku, seperti berhadapan dengan predator. Napasnya mulai memburu.

Sepersekian detik kemudian rasa itu hilang saat tatapan mereka terputus. Seungwoo mengedipkan matanya beberapa kali, mengerutkan alis seraya menuju ke mejanya.

Siapa itu? batinnya. Memang orang-orang telah melihatnya dengan tatapan yang sulit diartikan, tapi mungkin itu hal yang biasa di penjara. Namun yang barusan, rasanya berbeda.

Rasanya seperti... ditekan. Dipaksa tunduk, begitu.

Ia meletakkan baki dan mulai mengunyah nasi. Sesekali menoleh, melihat orang yang tadi. Orang itu duduk bersama empat orang lainnya, di meja paling besar dengan makanan yang lebih lengkap dari porsinya. Huh, dapat dari mana?

“Itu Seungyoun.”

Seungwoo tersentak, pikirannya buyar. Ia menengok ke samping, melihat sosok yang kini duduk di sebelahnya. Orang itu berperawakan kecil, bermata besar dengan surai cokelat yang berponi. Cantik, cantik sekali. Kalau ia tidak tahu ini rutan khusus alpha dan beta, orang ini akan disangkanya sebagai omega.

Orang itu tersenyum, meletakkan bakinya. “Boleh duduk di sini, kan?”

“Boleh,” Seungwoo mengangguk.

Pria cantik itu menyuap makanannya, terdiam sejenak, lalu bicara lagi. “Kim Wooseok, alpha.”

“Han Seungwoo, unrevealed,” sahut Seungwoo.

Wooseok mengerutkan alis. “Unrevealed? Lo belom punya status?”

“Belom.”

“Hm,” Wooseok manggut-manggut, “Kecuali lo omega, harusnya nggak ada masalah sih.”

“Beta?”

“Alpha nggak peduli sama beta.”

Seungwoo menghela napas. “Bener, sih. Seungyoun... kenapa dia?”

“Seungyoun itu pemimpin disini. The big boss, you could say. Nggak ada yang lewatin dia, bahkan sipir dan kepala rutan sekalipun.”

“Segitu kuatnya? Apa spesialnya dia?”

Wooseok mengedikkan bahu. “Dia kuat. Itu aja.”

“Udah?”

“Yep.”

“Kalo sekelilingnya?” tanya Seungwoo.

“Yang jumpsuit-nya nggak berlengan itu Minsik. Sebelahnya, yang lagi ngomong, itu Namjoon... dan yang perempuan itu Hwasa. Mereka bukan anak buahnya juga sih, lebih ke kawannya Seungyoun, tapi tunduk ke dia juga. Semuanya alpha.” jelas Wooseok.

Seungwoo mendengus. Jika benar Seungyoun se-berkuasa itu, ia tidak boleh macam-macam dengannya.

Matanya bertemu lagi dengan yang pegang kuasa, dan kali ini, ia memilih untuk menunduk.


“Gue duluan ya,” ucap Wooseok setelah selesai makan, bangkit dari duduknya.

“Mau ke mana?” tanya Seungwoo.

Wooseok tersenyum. “Ketemu omega gue di bangunan sebelah.”

“Bukannya dilarang?”

“Oh, iya,” Wooseok mengangkat bakinya. “Bener kok, dilarang. Tapi gue lupa ngasih tau lo satu hal.”

“Apa?”

Seungwoo merinding ketika ia mendengar jawaban Wooseok.

“Gue juga jajarannya Seungyoun.”

Dengan itu, Wooseok pun pergi, meninggalkan Seungwoo yang terpaku. Jadi dari tadi ia mengobrol dengan salah satu dari kawan dekat Seungyoun?! Ah, semua ini tidak bisa jadi lebih buruk.

Namun, inilah lucunya dunia, Seungwoo. Semua bisa jadi lebih buruk.


Seungwoo sedang menyelesaikan tugas mencuci baju tahanan saat ia mendengar suara bantingan yang sangat keras di ujung lorong. Badannya tersentak kaget, tangannya sontak menjatuhkan baju yang sedang ia lipat.

Teriakan-teriakan teredam dan bunyi sesuatu yang terbentur dinding terdengar makin keras, berulang-ulang tanpa henti. Ia bergegas mengangkat keranjang laundry berisi baju bersih dan keluar ruangan.

Seraya ia berjalan cepat, suara-suara di lorong itu berangsur memelan. Sayangnya, tepat saat Seungwoo berbelok menuju ruang sortir, ia melihat apa yang sebetulnya terjadi.

Seorang pria separuh baya meringkuk di pinggir lantai, bajunya robek dan badannya lebam penuh luka. Tubuhnya gemetar dan lemah, efek dihajar oleh orang-orang di depannya.

Orang-orang itu adalah Seungyoun bersama dua sosok lainnya yang tidak Seungwoo kenal. Mereka menertawakan korban yang tergeletak itu sambil merokok.

Seungwoo mengalihkan pandangannya, namun sial—matanya bertemu Seungyoun, lagi, dan kali ini pria itu langsung menghampirinya.

“Mau lapor, ya?” ucap Seungyoun sambil terkekeh ketika wajahnya tepat di depan Seungwoo, lalu menghembuskan asap rokoknya.

Seungwoo hanya terdiam, ia biasa menghirup asap di jalanan. Bukan, bukan itu yang membuatnya kaku, melainkan Seungyoun. Persis seperti di ruang makan tadi, ia berdiri kaku bagai patung, terdiam di bawah tatapan itu.

“Kalo mau lapor, lapor aja, anak baru,” lanjut Seungyoun, “Gue gak masalah.”

“Ng-nggak,” Seungwoo terbata-bata, “Nggak akan gue laporin.”

Seungyoun tersenyum. “Asal lo tau aja, si anjing ini,” dia menunjuk korbannya, “Dia ini pemerkosa. Masih mending cuma gue gebukin. Orang kayak dia nggak pantes hidup.”

Seungwoo mengernyit. Orang jahat menghajar orang jahat? Maling teriak maling?

Ah, sudahlah.

Ia mengangguk, menggenggam keranjangnya. “Ya udah, gue pergi dulu,” ucapnya pelan. Kakinya menjejak hendak lanjut berjalan, namun tangan Seungyoun menahan lengannya—dan tiba-tiba ia mendekatkan diri ke leher Seungwoo, mengendus.

Seungwoo mengelak. “Ngapain lo?!” gertaknya sambil mendorong Seungyoun menjauh dengan keranjang.

“Lo wangi banget,” ujar Seungyoun. “Gue gak sabar lihat lo mekar.”

Oh, iya. Wooseok pasti telah memberitahu Seungyoun perihal dirinya yang belum mempunyai status. Sial.

“Jijik lo. Kalo gue jadi alpha atau beta gimana?” balas Seungwoo.

Seungyoun kembali menegakkan tubuhnya. “Han Seungwoo, right? Gue kasih tau ya. Alpha nggak ada yang sewangi itu, dan beta bahkan nggak punya aroma. Jadi ya... Kalo lo butuh bantuan, gue ada di sini.”

Ia menghisap rokok dan menghembuskan asap di depan muka Seungwoo lagi, mengedipkan satu matanya sambil menyeringai. “Terserah lo sih mau ngapain. Tapi jangan lupa, ini penjara, bukan istana,” lanjutnya kemudian pergi bersama temannya, meninggalkan Seungwoo yang terdiam seribu bahasa.

Seungwoo menelan ludah. Apakah yang dibilang Seungyoun benar? Ia mulai kehilangan keyakinan akan statusnya.

Duh.


Beberapa hari berikutnya berlalu cepat. Seungwoo mendapat berbagai pekerjaan dan kegiatan seperti melayani narapidana saat jam makan, mencuci piring dan memasak. Selain itu ada juga kelas-kelas yang dapat dihadiri oleh tahanan, seperti kelas bahasa Inggris, membaca, menulis, serta konseling. Semuanya ia lalui tanpa masalah—Seungyoun masih suka menatapnya tajam, namun tidak ia hiraukan. Yah, setidaknya ia berusaha.

Namun, hari ini saat bangun tidur Seungwoo merasa tidak enak badan. Tubuhnya terasa panas dan ruangan terasa pengap, padahal ada angin yang masuk. Keadaan semakin aneh saat jam makan dan semua orang menatapnya saat ia berjalan menuju mejanya. Semuanya melihat dengan tatapan yang agak nanar dan berkabut. Seperti predator yang mengintai mangsa. Tak terkecuali Seungyoun di meja seberang.

Seungwoo memakan makanannya dalam diam, lalu bergegas untuk melaksanakan tugasnya hari ini—mengepel lorong dalam, sekalian menghindari orang-orang.

Di tengah-tengah kegiatan mengepelnya ia merasa semakin demam, pandangannya mulai berbayang. Ia terengah, bersandar pada tembok dan berusaha menguatkan diri. Ada apa ini? Tidak biasanya ia sakit seperti ini.

“Seungwoo, lo kenapa?” tanya Wooseok yang baru memasuki lorong, menenteng lap dan ember berisi karbol. Ia mendekat, lalu tersentak dan menjauh sedikit. “Gila. Lo wangi banget, and not in a good way. Gue saranin lo ke klinik deh.”

Seungwoo menggeleng. “Gue mau tiduran di sel dulu aja. Gue tau lo ada dugaan... tapi sekarang gue mau istirahat dulu.”

Wooseok mengerutkan alis, lalu mengangguk ragu. “Ya udah.”

Dengan itu Seungwoo melangkah dengan lunglai, meletakkan peralatannya di lemari penyimpanan lalu pergi ke selnya. Hal yang sama pun terulang lagi—semua orang melihatnya dengan aneh seraya ia berjalan, mata mereka mengunci ke dirinya diiringi suara napas berat.

Tapi Seungwoo tidak peduli, ia langsung memasuki sel dan berbaring di atas kasur, memaksa dirinya untuk tidur agar demamnya turun. Selnya langsung dikunci oleh sipir terdekat setelah ia melapor sakit.

Semoga demamnya benar-benar turun.


Panas. Badannya terasa seperti terbakar, namun dingin di saat yang bersamaan. Bagian bawah torsonya seperti tertekan. Rasanya aneh.

Ia meringkuk, bergelung dalam selimut yang tipis. Berbalik posisi kesana kemari, berusaha melenyapkan sensasi yang tak habis-habis. Rasanya gelisah dan tak nyaman.

“Hhh,” napasnya tersengal. Mulutnya kering dan kecut. Ia membuka matanya, dan pandangannya kabur. Badannya menggeliat, dan desahan mulai keluar dari bibirnya.

“Ngh, ah,” tanpa sadar ia menggesekkan selangkangannya ke kasur dan selimut, berusaha mencari sedikit lega di antara rasa yang membara. Kakinya bergesek satu sama lain, celananya basah—bagian bawahnya kini terasa pekat dan lengket, sesuatu mengalir ke paha dan betisnya, menetes ke kasur.

Pinggulnya semakin cepat bergerak, mencari sensasi yang lebih. “Hng, ah—ah!” ia mendesah tertahan saat akhirnya mencapai ejakulasi, namun enaknya hanya sesaat. Ia kembali merasa tak nyaman.

Seungwoo mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba fokus, mencoba mengerti apa yang sedang terjadi. Ia membelalak saat ia akhirnya sadar.

Heat.

Ia adalah seorang omega.

Sial!

Ia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menyumpal desahan yang ingin tumpah keluar. Berapa lama ini akan berlangsung? Satu hari? Seminggu? Lebih? Ia tak tahu.

“Wah, ternyata ini biangnya. Tengah malem bikin ribut aja.”

Seungwoo berjengit mundur, melirik pintu selnya. Seseorang berdiri di depan selnya, memegang besi yang memisahkan dirinya dengan bagian luar.

Ia menggigit bibir. Sialan, itu Seungyoun.

“Hhh—pergi!” usirnya, merutuk dalam hati saat mendengar suaranya yang serak dan lemah.

Seungyoun terkekeh, lalu berucap, “Sini, jalan ke gue.”

“Nggak,” balas Seungwoo singkat.

“Ayo, Seungwoo,” bujuk Seungyoun, “Gue juga nggak bisa nyentuh lo. Sel ini terkunci.”

Seungwoo menghela napas dalam, lalu dengan susah payah bangkit dari kasurnya. Kepalanya pusing sekali, dan saat ia lihat, oh, kasurnya telah basah oleh slick yang ia keluarkan. Kelihatannya seperti ia telah mengompol.

Dengan terseok-seok ia berjalan ke arah pintu sel, bahkan sudah tidak peduli dengan kondisi bajunya yang basah oleh keringat dan cairan lain. Kakinya yang telanjang menginjak lantai yang dingin.

“Apa?” tanyanya lemah.

Seungyoun menyeringai, lalu menggeser badannya sedikit. “Liat tuh, ulah lo.”

Seungwoo pun melihat, dan oh Tuhan, semua tahanan berada di dalam sel, namun mereka semua mencengkeram besi sel masing-masing—dan semuanya menatap ke arah sel Seungwoo.

Menatap dirinya.

Tatapan mereka seperti binatang yang lapar, yang melihat mangsanya digantung sangat dekat dengan gapaian. Seruan kadang terdengar diiringi besi yang gemerincing karena diguncang.

Buka pintunya! Ada jalang lagi heat!

Ayo kita gilir!

Pakai dia sampai rusak!

Seungwoo gemetar. Ia takut. Apa itu? Semua orang terlihat seperti mabuk dan gila.

“Udah lihat?” Seungyoun menggeser badannya lagi sehingga pandangan Seungwoo tertutup. “Mereka kayak gitu karena lo, Seungwoo. Kalo lo bisa cium, seluruh kompleks sel ini wangi banget sama aroma lo. Enak banget sih, jujur.”

Seungwoo masih terdiam, tangannya mencengkeram selimut di genggamannya.

“Yang misahin mereka dari menerjang dan merkosa lo detik ini juga, Seungwoo, cuma jeruji ini,” lanjut Seungyoun pelan, tangannya menggenggam besi pintu selnya. Ia menatap tajam ke arah Seungwoo. Matanya tidak seperti yang lain, jelas dan sadar.

“K- kenapa lo nggak kayak mereka? Kenapa lo ada di- di luar?” tanya Seungwoo, berbicara pelan-pelan agar stabil.

Seungyoun mendengus. “Gue punya cara sendiri. Anyways, gue ke sini bukan buat ngobrol, tapi nawarin lo sesuatu.”

“Gue nggak butuh bantuan lo,” tukas Seungwoo, hendak berbalik ke kasurnya.

“Ya udah, tapi asal lo tau, treatment buat heat di sini nggak seenak itu,” ujar Seungyoun, yang membuat langkah Seungwoo terhenti. “Tau nggak di penjara omega lo bakal diapain? Ada dua cara, pertama lo dikasih fucking machine di tengah ruangan, ditonton semua orang, dan yang kedua, lo dikasih ke salah satu alpha di sini. Nggak ada kebebasan untuk milih, lo bakal dilempar seenaknya ke salah satu sel.”

Seungwoo menoleh, menggigit bibirnya. Jadi tidak ada jalan keluar yang menguntungkan dari keadaan ini? Terlebih di penjara omega yang ia kira lebih manusiawi, namun ternyata tidak. Mau di bagian dunia manapun, ia tetaplah mangsa.

Ia berjalan mendekat ke arah pintu, berusaha keras untuk tidak berlutut dan memohon saat aroma Seungyoun yang memabukkan tercium olehnya. Ia mendekat ke wajah Seungyoun, menatapnya tajam.

“Ngomong.”

“Gue ada offer buat lo. Kalo lo mengizinkan gue ngerawat lo selama di sini—alias, frontal aja, setubuhin lo dan nandain lo—mereka bakal tau kalo lo itu milik gue, dan mereka nggak akan berani nyentuh lo. Ingat, gue yang pegang kuasa di sini. Ya, itu kalo lo nerima sih, gue gak maksa. Gue gak oportunis kok.” jelas Seungyoun dengan tenang.

Seungwoo mengalihkan pandangannya, melihat orang-orang yang melihat dirinya dari sel masing-masing, lalu menatap Seungyoun lagi. “Kenapa lo mau bantuin gue?”

“Gue tertarik sama lo,” jawab Seungyoun sambil nyengir.

“Lo gak bisa manipulasi gue, Seungyoun,” balas Seungwoo, napasnya mulai terengah lagi dan slick keluar dari lubangnya—membasahi bagian bawah jumpsuit-nya.

“Terserah lo mau nganggep ini apa. Di sini, gue nawarin lo win-win solution. Lo untung, gue juga untung. Lo dapet perlindungan dan gue dapet omega. Clear kan? Lagipula di penjara omega lo akan susah bertahan hidup, di sana semua merasa jadi ratu karena nggak ada alpha sama sekali.”

Seungwoo terdiam. Seungyoun memelankan suaranya, sehingga apa yang ia katakan selanjutnya seperti rahasia di antara mereka berdua.

“Tapi kalo lo terima tawaran gue, lo bisa jadi satu-satunya ratu di sini, Seungwoo.”

Satu-satunya?

Seungwoo tidak pernah jadi satu-satunya. Ia harus mengambil porsi sendiri di jalanan. Harus memikirkan diri sendiri. Tidak pernah mulia, tidak pernah dilindungi.

Terlebih lagi, ia sangat butuh disentuh.

Sudahlah, ia memang murah.

Ia mengangkat kepalanya, dan mengangguk lemah. “Oke, gue terima tawaran lo.”

Seungyoun tersenyum, mengangkat kunci yang dipegangnya.

“Gue buka, ya?”

Ia mengangguk, dan pintu sel itu pun terbuka.

next part: ausgang —>

Seungyoun memasuki sel, menghela napas panjang seraya mengunci sel itu kembali. Sang alpha mengernyit saat aroma mawar bercampur madu Seungwoo yang menguar semakin pekat tercium olehnya.

Seungwoo sendiri tidak lebih baik—presensi seorang alpha yang sangat dekat membuat dirinya semakin bergairah—napasnya tersengal dan badannya terasa semakin panas. Wangi Seungyoun seperti cemara dan tanah setelah hujan, segar, namun pekat.

“Seungyoun,” ucap Seungwoo putus asa, “Tolong.”

Secepat kilat badannya direngkuh; tangan Seungyoun meraba punggungnya, naik dan turun. Badannya merinding kala sensasi sentuhan itu menjalar ke seluruh tubuhnya, desahan pelan terdengar di sel itu. Seungwoo memegang lengan Seungyoun, merematnya.

Seungyoun menempelkan kening mereka, menatap Seungwoo seraya bernapas berat. “Wangi banget,” katanya, lalu memagut bibir Seungwoo, mencumbunya dengan lihai.

Seungwoo refleks membuka mulutnya, mendesah saat ia merasakan lidah Seungyoun memasuki rongga mulutnya, menjelajah tiap sudut dan celah. Liur mengalir ke dagunya dan matanya mulai sayu, melihat kilatan mata Seungyoun. Pinggulnya bergerak, menggesek penisnya dengan paha Seungyoun yang menyelip di antara dua kakinya.

“Cepetan, gue ngg—ah, nggak tahan,” desah Seungwoo, melepas ciumannya lalu segera membuka jumpsuit-nya hingga melorot ke lantai. Seungyoun hanya tertawa kecil, mengangkat tank top yang dikenakan Seungwoo di dalam jumpsuit hingga lepas pula.

Setelah itu Seungyoun langsung menyusup ke ceruk leher Seungwoo, menjilat dan menandai lehernya dengan berbagai tanda serta menghirup feromon yang menguar. Kemudian ia turun ke dadanya, mengulum puting susu yang mencuat dan merona, menghisapnya bak bayi yang mau menyusu.

“Hhh, ah—ah! Seu—Seungyoun, di sini- ngh,” Seungwoo membusungkan dada seraya melepas seluruh bajunya, termasuk boxer yang sudah lembab. Seungyoun lalu mendorong dan menidurkannya di kasur, melebarkan kakinya.

“Kasurnya basah banget,” ucap Seungyoun, lalu jarinya menepuk bibir anal Seungwoo yang terus mengalirkan slick. “Lubang lo apalagi, ya ampun, becek.”

Seungwoo membuka kakinya lebih lebar, pinggulnya berjengit maju. “M—masukin, tolong. Cepetan.”

“Ckck, kasihan,” Seungyoun memasukkan dua jari sekaligus, tersenyum saat melihat muka Seungwoo yang terbasuh nikmat. Dengan cepat ia gerakkan jari itu, kemudian menambah satu jari lagi, melebarkan lubang Seungwoo yang licin. Beberapa saat kemudian omega itu mengejang, klimaks dan menumpahkan cairan di torso putihnya. Alih-alih lemas, ia malah makin liar—penisnya tetap tegak walau sudah orgasme.

“Ah- ah, lagi, tambah, hhh—tolong,” Seungwoo memaju-mundurkan pinggulnya, memasukkan jari Seungyoun lebih dalam lagi. “Udah, hng, udah jarinya—“

“Maunya apa dong?” goda Seungyoun, membuka jumpsuit-nya sendiri dan mengeluarkan penisnya sendiri yang sudah tegang sedari tadi. Ia gesekkan ujungnya dengan permukaan lubang Seungwoo yang berkedut menggoda, membalur penis itu dengan slick bening yang terus keluar.

“M—mau, a- ah,” Seungwoo mendesah saat merasakan penis Seungyoun beradu dengan bibir analnya lagi, “Mau itu—ah—penisnya, masukin. Masukin sekarang!”

“Gak sabar amat. Nih.”

Seungyoun pun tanpa basa-basi langsung memasukkan penisnya ke dalam lubang Seungwoo, menanamnya dalam-dalam.

“Ng—haah!” seketika Seungwoo mengerang, dinding rektumnya menjepit ereksi Seungyoun erat. Napasnya berat dan desahan menggema di ruang sempit itu seraya badan mereka beradu.

Kasur itu berderit karena gerakan yang cepat di atasnya. Seungyoun menggempur tanpa ampun, lubang Seungwoo dihujamnya begitu keras hingga suara tamparan kulit mereka yang bertemu berbunyi nyaring.

“Ah, hhng, Seungy—ah, a- ah,” desah Seungwoo, kepalanya terkulai ke samping. Tangannya mencengkeram bahu Seungyoun sampai buku-buku jarinya memutih. Penis Seungyoun berdenyut di dalamnya, bergesekan dengan dinding dan menekan prostatnya tiap kali menusuk. Penuh, rasanya sangat penuh dan nikmat.

Seungyoun sendiri menyeringai, menikmati sensasi hangat dan basah yang menyelimuti penisnya. Lubang Seungwoo sangat nikmat dan sempit, menjepit seakan ukurannya khusus agar hanya Seungyoun yang bisa muat.

Mulut Seungwoo tak henti-hentinya mengeluarkan desahan yang semakin keras, matanya menatap Seungyoun sayu dan liur mengalir ke dagu dan lehernya.

“Hhh, ah, ah—hhah, Seungyoun—ah!”

“Berisik banget lo,” ejek Seungyoun sambil mempercepat ritmenya, “Yakin lo perawan, hm? Desahan lo kayak lacur.”

Dengan itu Seungwoo orgasme lagi—lubangnya mengencang seketika dan cairannya menyembur lagi, kali ini bukan hanya dari penisnya, namun slick dari lubangnya juga.

Seungyoun tergelak. Ia menoleh ke bawah, melihat penisnya yang basah dan kasur yang ikut terkena slick Seungwoo tadi. “Lo squirt dari dua arah nih? Gara-gara gue katain?” tanyanya geli.

“Hhhng,” rengek Seungwoo, merona malu dan membuang muka. Namun Seungyoun tiba-tiba menangkup pipinya dengan satu tangan, memaksanya untuk menatap sang alpha.

Seungyoun mempercepat ritmenya lagi hingga tubuh Seungwoo terdorong karena tekanan yang begitu besar. Penis alpha itu masuk lebih dalam, dan lebih dalam lagi hingga pelvis Seungyoun menempel dengan perineumnya.

Tangan Seungyoun berpindah dari pipinya, menggenggam tangan Seungwoo dan memindahkannya dari bahu ke atas perut sang omega di bagian bawah. Ia gerakkan tangan itu naik dan turun.

Seungwoo mengerutkan alis, heran akan perbuatan Seungyoun. Tapi tak lama kemudian ia merasakannya—sesuatu di dalam abdomennya, timbul, menghilang, timbul lagi, berulang-ulang seperti itu—jauh melewati analnya.

“Kerasa, kan?” ujar Seungyoun, menekan tangannya sehingga rasa itu semakin jelas. “Itu penis gue, di dalem rahim lo, Seungwoo.”

Napas Seungwoo memburu. Ia menggoyangkan pinggulnya. Benar, penis Seungyoun membuka dan melesak ke dalam rahimnya. Kenyataan ini membuatnya semakin nafsu, semakin panas, ingin lebih.

“B- balik,” ucap Seungwoo serak, dan dalam diam Seungyoun membalik posisi mereka sehingga sekarang omega itu berada di atas. Tanpa menunggu lama Seungwoo langsung melebarkan kakinya ke samping, berjongkok seraya tangannya bertumpu ke belakang, di atas paha Seungyoun.

Ia menggerakkan pinggulnya naik dan turun, menusuk dirinya sendiri dengan penis sang alpha. “Ah- hng, ah, ah!” desahnya sambil tersengal, makin tak terkendali saat Seungyoun menghujam ke atas, mempertemukan gerakannya dengan Seungwoo di tengah-tengah. Kepalanya mendongak ke atas, memperlihatkan lehernya yang penuh tanda gigitan karya Seungyoun tadi.

Setelah beberapa lama Seungyoun menyentuh paha Seungwoo, membuat sang omega memelan dan hanya bergerak melingkar.

“Ap—apa?!”

“Berdiri,” perintah Seungyoun.

Seungwoo mengernyit heran, ia tak mengerti. Tiba-tiba memintanya berhenti, lalu berdiri? Aneh.

“Hah?”

“Berdiri, Seungwoo. Jalan ke pintu sekarang,” ulang Seungyoun, tatapannya tajam dan tidak menyisakan ruang untuk membantah. Maka Seungwoo pun menurut, mendesah saat ia melepaskan diri dari penis Seungyoun, kemudian berjalan ke arah pintu sel.

Ia kembali membelalak saat melihat semua tahanan masih dalam posisi mereka yang tadi, namun dengan keadaan yang sedikit berbeda: ada yang sedang masturbasi, ada yang melihat dirinya dengan penuh nafsu, dan ada yang menyorakinya.

Gila, Seungyoun! Bagi-bagi dong!

Kapan nih giliran kita!

Masa lo doang yang dapet perawan!

Seungwoo gemetar. Benar kata Seungyoun, yang memisahkan predator-predator ini dari dirinya hanyalah pintu besi.

Seungyoun memeluk dirinya dari belakang, berbisik di telinganya. “Masih pada pengen lo, tuh. Mau layanin mereka aja?”

“Nggak,” Seungwoo menggeleng.

“Kalo gue tunjukin ke mereka, gimana?” tanya Seungyoun, menggigit daun telinganya lembut, lalu mengecupnya.

Seungwoo merinding, menelan ludah. “Maksud lo?”

“Yah...” Seungyoun mengecup leher, lalu tengkuknya. Jari tengahnya menyusup ke lubang Seungwoo dan bergerak di dalam, membuat sang omega mendesah pelan. “Gue setubuhin lo di sini. Biar mereka liat kalo lo udah gue klaim, gitu.”

“Hah—gila lo,” jawab Seungwoo, namun pinggulnya berkontradiksi—mengikuti stimulasi jari di dalam, mencari sensasi.

Seungyoun meremas dadanya dengan tangannya yang bebas, mencubit putingnya. “Ah- Seungyoun, hhng,” Seungwoo mendesah nikmat, tangannya sendiri menggenggam erat besi sel.

“Mau nggak?” tanya Seungyoun lagi, suaranya rendah.

Seungwoo menggigit bibirnya, menimbang-nimbang. Jujur, ide itu terdengar menggoda di telinganya—pikiran bahwa ia akan diklaim dan dilihat semua orang sangatlah merangsang.

Udah deal, mendingan bablasin aja sekalian, kan?

“Mau,” jawabnya.

“Bagus.”

Jari di analnya keluar dan digantikan dengan penis Seungyoun lagi, yang masuk dalam sekali sentakan dengan lancar. Tubuh Seungwoo terdorong maju, membuat dada dan pipinya menempel ke jeruji yang dingin.

Slick mengalir bebas ke tungkainya dan membasahi lantai, menetes seiring gerakan Seungyoun di belakangnya. Suara tamparan kulit yang bertemu kulit kembali terdengar.

Seungyoun menekan Seungwoo ke depan. Ia mencekik omega itu dengan satu tangan, sedangkan satu lagi berada di pinggulnya.

“Ah, ah! S, Seung—ahk—hhk—“ Seungwoo tercekat, napasnya tersumbat karena jugularnya yang ditekan. Kakinya gemetar berusaha tetap berdiri, menahan dorongan penis Seungyoun yang terus memasuki analnya dengan beringas.

Seungyoun sibuk menandai bahu dan leher Seungwoo, membubuhkan lebih banyak bekas hisapan dan gigitan yang akan terlihat semua orang. Pinggulnya terus bergerak maju mundur, desahan rendah keluar dari mulutnya seraya penisnya merasakan sensasi lubang sempit, hangat dan licin milik Seungwoo.

Pandangan Seungwoo mulai mengabur, air mata yang menggenang kini meleleh ke pipinya yang menempel di besi. Dadanya membusung, bergerak naik turun berusaha mengambil napas dalam-dalam.

“Seungwoo, liat depan,” perintah Seungyoun, memindahkan tangan dari pinggul ke dagu Seungwoo, mendongakkan kepala omega itu.

Seungwoo hanya merengek pelan, napasnya bagai orang mengi, berdecit nyaring. “Hhh—ng,” matanya mengerjap nikmat kala dorongan yang kuat mengenai prostatnya.

Tangan Seungyoun menekan dagunya hingga sakit. “Liat depan,” ulang sang alpha.

Dengan susah payah Seungwoo pun melirik ke depan, memaksa pengelihatannya untuk fokus. Sontak matanya membelalak, melihat semua orang berfokus ke dirinya yang sedang digempur Seungyoun. Kebanyakan dari mereka sudah menyentuh diri sendiri, bahkan ada yang meneteskan liur dengan tatapan berkabut nafsu.

“A—ah,” suara Seungwoo perlahan menghilang, terperangah oleh pemandangan di depannya. Kakinya bergetar hebat saat ia kembali klimaks untuk kesekian kali, cairannya mengenai tiang besi dan menetes ke lantai. Slick-nya meluruh keluar pula, mengalir dalam jumlah banyak.

Seungyoun menggeram posesif, menjambak rambut Seungwoo. Omega itu dipaksanya menoleh ke samping, dan Seungyoun langsung menciumnya penuh hasrat.

Mereka bercumbu di hadapan semua orang. Seungyoun membuka mata, melirik tajam ke sekeliling. Mengirimkan pesan pada audiens mereka—Seungwoo miliknya, dan yang berani menyentuh akan menghadapi murkanya.

Mau ambil dia? Langkahin gue dulu.

“Seungwoo, semuanya pengen lo,” tukasnya, melepas pagutan bibir mereka. “Semua pengen lo, tapi lo cuma punya gue seorang, ya? Ngerti gak?”

Seungwoo menatap sang alpha dengan sayu, pinggulnya bergerak mempertemukan gerakan mereka berdua. “Ngerti—ngh, ngert—i,” jawabnya pelan.

Seungyoun menyeringai. “Pintar.”

Ia mengecup bibir Seungwoo sekali lagi, lalu meletakkan tangannya di atas tangan Seungwoo, berpegangan di atas tiang besi. Pinggulnya ia hentakkan dengan kencang.

Seungwoo berjengit, punggungnya menempel dengan dada Seungyoun. Desahan tak henti keluar dari mulutnya, nikmat yang memenuhi otak rasanya seperti menenggelamkan dirinya.

“Ah, ah, al—alpha, hhah! Alpha, alp—ha!” jerit Seungwoo, melengking dan serak dan pecah. Lidahnya menjulur keluar, saliva menetes dan mengalir melewati dagu, leher hingga jatuh ke lantai.

Seungyoun melepas tangannya, ganti meremas dada Seungwoo—tak lupa mencubit dan memilin putingnya yang sudah membengkak karena stimulasinya tadi.

“Lo tau lo keliatan kayak apa?” tanyanya, tersenyum saat tangan Seungwoo berpindah ke dada, menangkup tangan Seungyoun.

Sambil memijat dada Seungwoo, ia melanjutkan ucapannya. “Lo keliatan kayak anjing mau kawin. Persis, malah.”

“Hhah—ah, ah, ah,” Seungwoo mendesah keras-keras, slick-nya muncrat lagi dan menggenang di bawah kaki mereka.

Seungyoun menyandarkan dagunya di bahu omega itu. “Apa gue hamilin lo aja ya? Hm? Mau punya anak gue?”

“—Kh,” jawab Seungwoo parau, kepalanya lunglai.

“Lo mau?” ulang Seungyoun, “Nanti rahim lo gue isi sampe penuh, sampe gak mungkin lo gak hamil. Terus nanti dada lo ini bakal banyak susunya, kendor kayak punya cewek, sampe harus gue pijetin tiap hari. Enak kan?”

Seungwoo merengek, memundurkan pinggulnya seraya lubangnya mengerat di sekitar Seungyoun yang sudah mulai melambat karena knotnya muncul. Bayangan akan perkataan Seungyoun berputar di otaknya, membuat dirinya merinding. “M—mau, enak, mau h—hamil anak lo, mau,” ucapnya, sedikit tak jelas karena liur yang berkumpul di mulut.

Seungyoun tertawa kecil. “Nanti ya, nanti,” ucapnya. Geraman keluar dari mulutnya saat ia rasakan knot mulai menyangkut di lubang Seungwoo, menahannya untuk bergerak lebih lanjut. “Fuck, lubang lo enak banget sih.”

“Alpha, hhhh,” desah Seungwoo lemah, “Knot, ah, mau knotnya.”

Gerakan Seungyoun melambat. “Kebiasaan ya, gak sabar,” katanya, lalu mengerang saat knotnya benar-benar tertanam dan spermanya mulai tumpah ke dalam.

Fuck, Seungwoo, lo bisa rasain itu kan?”

“K—kerasa, hhh, a—ah,” Seungwoo pun klimaks lagi, refractory period-nya lenyap karena pengaruh heat. Cairan hanya mengalir dari penisnya kali ini, menetes ke lantai, sedangkan slick-nya keluar dari sela-sela di antara bibir analnya dan penis Seungyoun. Ia bisa merasakan sperma yang memenuhi rahimnya, mengisi dirinya sampai berasa hangat.

Seungyoun menjejak ke belakang, melirik orang-orang di luar untuk terakhir kali dengan congkak, lalu menjatuhkan dirinya dan Seungwoo ke kasur di sebelah mereka.

“Udah tenang?” tanyanya.

Seungwoo mengangguk lemah.

“Tidur dulu, nanti pasti lo nafsu lagi soalnya. Hahaha!”

“Berisik,” sahut Seungwoo, akhirnya merasakan panas di badannya mulai hilang. Pikirannya juga tidak lagi berkabut, efek knot yang mengisi rongganya.

Seungyoun nyengir. “Bener kan? Tenang, gue masih kuat kok.”

“Diam, Seungyoun.”

“Lah ya bener kan! Palingan berapa jam lagi lo bangun terus teriak ‘alpha! alpha!’ ke gue.”

“Tau ah.”

Tak lama kemudian Seungwoo pun tertidur, merasa puas untuk sementara. Seungyoun memeluknya dari belakang seperti benteng antara dirinya dan dunia luar.

Benar saja, beberapa jam kemudian Seungwoo terbangun, merengek karena rasa panas di badannya kembali lagi. Kasur yang tadinya sempat mengering kembali basah oleh slick yang wangi, membangunkan Seungyoun dari tidurnya juga.

Malam itu pun dihabiskan dengan Seungwoo menggerakkan pinggangnya naik-turun, menumpahkan slick-nya di selangkangan Seungyoun hingga licin. Seungyoun sendiri hanya berbaring, membiarkan Seungwoo bekerja di atasnya.

Kemudian setelah beberapa saat mereka berganti posisi lagi, kali ini Seungyoun memindahkan mereka dari tempat tidur, mengangkat Seungwoo sampai kakinya melingkar di paha sang alpha. Punggung Seungwoo bersentuhan dengan dinding, suaranya mendayu seraya Seungyoun menusukkan penisnya dalam-dalam. Setelah beberapa lama mereka berpindah ke lantai, kaki Seungwoo terbuka lebar, lutut menyentuh dada. Matanya berbalik ke atas saat Seungyoun lagi-lagi memanjakannya tanpa menahan diri.

Sepanjang tiga hari tanpa jeda mereka bersetubuh, hanya berhenti untuk tidur dan makan makanan yang dibawakan kawan-kawan Seungyoun. Suara desahan melengking Seungwoo dan geraman Seungyoun tidak pernah hilang—tentunya menyiksa semua tahanan dan sipir di situ, tapi memangnya mereka peduli?

Selama tiga hari itu pula para tahanan mendapat tontonan porno gratis—pada suatu titik Seungwoo bahkan tidak lagi malu. Terkadang Seungyoun membawa mereka keluar dari sel yang sesak itu, menyetubuhinya dari belakang seraya omega itu menyandarkan dada di pagar balkon, menatap ke bawah di mana semua orang mendongak menonton mereka.

Ada juga saat di mana Seungyoun membaringkannya di lantai sel, membiarkan pintunya terbuka. Alpha itu menggerakkan penisnya keluar dan masuk sambil menghujani lehernya dengan gigitan serta jilatan yang memabukkan. Terkadang putingnya yang kena serangan—dihisap dan dimainkan Seungyoun hingga memerah saat Seungwoo sibuk bergerak di pangkuannya.

Kadang jika Seungyoun lelah, ia membiarkan Seungwoo duduk di atas wajahnya dan menggesekkan pinggulnya sampai klimaks berkali-kali. Seungwoo tak akan bohong—lidah Seungyoun sangat lihai bermain di dalam analnya, menyapu spermanya sendiri (sang alpha terlihat menikmati alih-alih jijik). Atau kalau tidak dengan mulut, Seungyoun akan menggunakan jarinya. Ia menjamah dinding Seungwoo yang hangat dan basah selagi kaki sang omega membuka lebar atau bahkan berlutut dan mengangkang. Sudah tak terhitung berapa kali Seungwoo squirting dari analnya karena stimulasi yang sensasi nikmatnya selangit itu.

Heat Seungwoo pun perlahan-lahan berangsur hilang, nafsunya menurun dan dirinya puas karena terisi penuh dengan sperma dari seorang alpha. Akhirnya ia pun benar-benar menyelesaikan siklus pertamanya.

“Gue mau mandi,” ujar Seungwoo, meringis saat penis Seungyoun keluar dari lubangnya—sperma mengalir sangat banyak ke pahanya, tungkainya sampai kasur yang sudah lembab dan menguarkan aroma mereka berdua.

Seungyoun mengangguk. “Ikut. Lengket banget gue sama slick lo, kalo orang nyium gue pasti dia nyangka gue omega.”

“Feromon lo juga gak kalah kuat ya, tolong,” Seungwoo memutar bola matanya sambil duduk di kasur. “Ini... di perut gue kayak genangan.”

“Bagus dong, udah pasti hamil kan,” ujar Seungyoun, lalu mengaduh karena ditempeleng Seungwoo.

“Gue gak mau beranak di penjara,” tukas sang omega.

Seungyoun mengangguk. “Ya udah, nanti gue colong pil dari klinik.”

Seungwoo tersenyum untuk pertama kalinya yang tidak dibutakan nafsu, dan untuk sesaat mungkin—mungkin Seungyoun terpana.

Namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya, memakai baju kemudian menyusul Seungwoo yang sudah berpakaian dan mulai berjalan pincang keluar.

Ia pun akhirnya menggendong Seungwoo ke kamar mandi komunal yang luas, memilih shower di pojok dan memandikan mereka berdua.

“Seungyoun,” celetuk Seungwoo di bawah derasnya air, menggigit bibirnya.

“Apa?”

Seungwoo menatapnya, tersenyum canggung. “Sekali lagi boleh?”

“Mau lagi? Udah selesai heat belom sih?” tanya Seungyoun geli.

“Udah!” Seungwoo merengut, “Tapi mau terakhir.”

Seungyoun tersenyum lembut. “Ya udah, gue nurut aja sama yang mulia ratu.”

“Heh!”

Mereka pun bersetubuh lagi, sekali lagi—kali ini Seungyoun mengangkat Seungwoo ke dinding seperti beberapa hari lalu, memasukkan penisnya pelan-pelan, melenguh saat dinding Seungwoo yang hangat dan masih menampung cairan mengapitnya.

Seungwoo melingkarkan lengannya di leher sang alpha, menerima ciuman dan bisikan kata-kata gue gak akan bosen sama wangi lo dan lo cantik banget dan lo bakal bikin gue gila yang jarang diucapkan. Mereka klimaks bersamaan, tak banyak yang keluar, namun badan tetap gemetar dengan desahan yang tertelan suara air.

Terakhir kali, lebih lembut.

Seungwoo tersenyum. Ternyata Seungyoun bisa gentle juga.

Setelah mengeringkan badan dan berpakaian mereka pun pergi ke klinik di mana Seungwoo meminum pilnya—semoga benar-benar manjur—kemudian ke ruang makan.


Wah penguasa akhirnya keluar sarang!”

Selamat Seungyoun akhirnya dapet yang cantik!”

Akhirnya gue gak tersiksa lagi dengerin kalian kawin!

Sorakan-sorakan menyambut Seungyoun dan Seungwoo saat mereka memasuki ruang makan. Mereka berdua bertatapan, tangan Seungyoun melingkar di pinggang Seungwoo dengan protektif.

Seungyoun pun menuntun Seungwoo ke tengah ruangan, mendiamkan kerusuhan yang membuat telinganya pekak, lalu mulai berbicara.

“Makasih semua. Gue harap nggak ada yang berani nyentuh omega gue ya. Ada yang berani sama Seungwoo, urusannya langsung sama gue. Gue harap kalian nikmatin jug—ADUH!”

Seungwoo merengut jengkel, tangannya mengepal bekas memukul bahu Seungyoun.

“Nggak. Kalian semua mau perkosa gue kan kemarin? Awas ya kalo keulang lagi, gue potong penis lo semua.” tukasnya bengis. Semua orang terkesiap, lalu mengangguk ragu.

“Iya, Seungwoo, sori banget padahal kita gak tolerir pemerkosa di sini.”

“Gak keulang lagi deh.”

“Tapi masih boleh nonton kan?”

BRAK!

Seungwoo membuka mulut untuk marah, tapi bantingan pintu ruang makan yang menjeblak terbuka membuatnya berhenti.

Sekumpulan sipir dan polisi dari luar memasuki ruangan, membelah kerumunan.

“Mana Han Seungwoo?!” tanya salah satu petugas, matanya melirik kesana kemari.

Seungyoun mengerutkan alisnya. “Di sini. Sama saya.”

Petugas-petugas itu menoleh, lalu maju. Salah satu dari mereka berbicara lagi. “Seungyoun. Dia harus dipindah dari sini, karena statusnya yang ternyata omega.”

“Oh?” Seungyoun mengeratkan rengkuhannya di pinggang Seungwoo. “Kalo dia nggak mau gimana?”

“Nggak bisa gitu.”

“Oh, bisa dong.”

Seungyoun melirik ke arah para tahanan, dan sedetik kemudian semua orang maju membentuk barikade yang menghalangi dan mendorong petugas-petugas itu menjauh. Semua bermuka masam dan mengancam, postur tubuh siap untuk menyerang.

Seungwoo menarik napas panjang. Jadi Seungyoun sekuat ini?

“Seungyoun, kalau menolak kita harus pakai cara represif,” ancam seorang petugas, namun nadanya ragu.

“Coba aja,” seru Seungyoun, lalu menarik Seungwoo maju agar terlihat oleh para petugas itu. Para tahanan memberi ruang untuk mereka, namun masih mengelilingi.

“Ini kewajiban—“

“Cukup,” ucap Seungyoun lagi dengan tenang, melirik Seungwoo yang tersenyum tipis, kemudian kembali menatap petugas-petugas di depannya. Tangannya tetap merengkuh Seungwoo. “Cukup, gue bilang. Nggak ada gunanya kalian lawan gue dan orang-orang di sini.”

“Ini melanggar hukum, Seungyoun.”

“Ironis ya,” cibir Seungyoun, “Gue gak peduli, tempat Seungwoo di sini. Gak di tempat lain—mau penjara omega kek, pusat pembinaan kek, apapun. Mau coba macem-macem sama gue, silakan. Kalian nggak bisa ngusir ratu dari istananya sendiri.”

Ratu, ya?

Seungwoo tersenyum. Seungyoun salah tentang satu hal.

Ini penjara, tapi juga istana.

Istananya.

fin.

mas woo ☀️ dek, nanti aku jemput jam 8 ya

mas woo ☀️ udah siap kan?

Me udah mas, tiati yaa

mas woo ☀️ siaap

Seungyoun meletakkan ponselnya di meja makan kos, kakinya bersila di atas kursi. Ia telah siap untuk kencan malam minggu ini, mengenakan tracksuit abu-abu favoritnya—hasil mengubek-ubek barang diskonan di Pasar Senen bersama teman sekamarnya, Hangyul. Kalau kata sang sohib sih thrift shopping. Memang sih ia berkecukupan, tapi siapa sih yang tidak mau barang murah?

Jam tujuh lewat empat puluh dua. Kurang lebih masih ada delapan belas menit sampai Seungwoo datang menjemputnya. Oh iya, Seungwoo ini pacar slash kating Seungyoun yang sudah menjalin hubungan selama dua tahun dengannya. Dua-duanya kuliah di universitas di daerah Jakarta. Katingnya itu satu tahun di atas Seungyoun. Seungwoo awalnya merupakan mentor Seungyoun untuk magang di senat, lalu mereka jadi dekat. Sekarang Seungwoo adalah kepala departemen pengabdian masyarakat dengan Seungyoun sebagai wakilnya. Bukan nepotisme, kok. Memang mereka cocok. Mungkin sudah jodoh.

Sambil menunggu, Seungyoun mengitari ruang makan menuju dapur yang terhubung. Ia membuka kulkas untuk mencari makanan—setelah ini ia mau berlari malam di sekitar GBK, tak ada salahnya mengganjal perut.

Kulkas itu kosong, hanya ada botol-botol air dingin dan anggur merah yang bertengger di pojok rak. Biasanya itu barang kating teknik yang sering nongkrong di depan seperti Minsik dan Kiseok, jadi ia tidak mau mengambil resiko. Duh, kenapa nggak ada makanan, sih?

Eh, tunggu. Ada sebatang cokelat yang terbungkus rapi di rak bawah, kelihatannya masih baru. Di kemasannya tertempel label bertuliskan “PUNYA HANGYUL.”

Seungyoun mengambil cokelat itu, menutup kulkas dan berjalan ke kamarnya dan Hangyul yang dekat ruang makan. Ia mengetuk pintu.

“Gyul?” panggilnya.

Hangyul menyahut, suaranya tidak jelas karena tadi ia sedang tidur. “Ya?”

“Gue makan cokelat lo ya? Nanti gue gantiin. Laper.”

“Oke.”

Seungyoun pun tanpa basa-basi membuka bungkusan cokelat itu, mematahkan dua bar, meletakkan sisanya di kulkas. Digigitnya cokelat itu sambil berjalan ke teras, karena Seungwoo sudah sampai.

Rasa cokelat itu agak aneh, aftertaste-nya asam dan sedikit pahit. Mungkin autentik? Atau sudah tidak baik?

Ah, sudahlah.

Ia menelan cokelat itu lalu mengenakan sepatunya, mengantongi kunci dan menutup pagar. Vespa berwarna biru muda mejeng di depan pagar kosan. Seungwoo duduk di atas motor, mengenakan tracksuit hitam dan sepatu olahraga.

Seungwoo menoleh, tersenyum simpul saat kekasihnya itu menghampiri. “Hai,” sapanya.

“Hai juga,” sahut Seungyoun, mengecup pipi Seungwoo lembut, lalu naik ke jok motor dan mengalungkan tangannya di pinggang pacarnya. “Yuk, cabut.”

“Pake helm dulu atuh,” Seungwoo terkekeh, menyerahkan helm dari depan vespanya.

Seungyoun nyengir, menerima helm itu dan memakainya.

“Udah?”

“Udah.”

“Oke.”

Mereka pun berangkat, keluar perumahan dan menyusuri jalanan menuju GBK. Seungyoun memeluk Seungwoo erat, memandangi gedung pencakar langit yang menjulang dan berkilat. Jalanan Senayan memang tak pernah sepi, apalagi di malam minggu di mana semua orang pergi.

Sesampainya di kompleks GBK, Seungwoo memarkirkan motornya di tempat parkirdan mereka pun mulai berlari sekitar kompleks. Sembari jogging obrolan ringan terus mengalir dari mulut Seungwoo dan Seungyoun, mulai dari program organisasi sampai makanan tadi pagi.

“Mas,” celetuk Seungyoun, sedikit terengah. “Aku pengen jadi mentor buat maba nanti deh.”

Seungwoo bergumam di sebelahnya. “Udah ada pasangan emang?”

“Udah, si Seulgi mau katanya.”

“Yaudah gih, aku juga kayaknya mau apply buat komisi tugas, diajak Byungchan.”

“Ih,” Seungyoun mengernyit, “Ribet tau komisi tugas.”

“Masih mending daripada bikin kajian,” balas Seungwoo.

“Salah sendiri mau jadi pembantu kastrat.”

Seungwoo berdecak. “Suruh pacarnya Hangyul tuh, jangan babuin aku melulu.”

“Mana bisa. Bang Taehyung babuin Hangyul. Nah- Hangyulnya sendiri aja baby-in, eh, babuin aku. Kasta sudra aku tuh, babu dari segala babu,” sahut Seungyoun, yang disambut tawa kecil Seungwoo sembari membelai rambut pacarnya yang lepek.

Baby-in mah aku ke kamu, dek.”

“Bukannya kebalikan ya, mas?”

“Setirin aku dulu pake BMW-mu, baru bisa bilang gitu.”

“Gak mau. Boros bensin. Mending bonceng vespa kamu, walau tepos tetep mesra.”

“Jiwa pengmas banget emang,” Seungwoo menghela napas, tersenyum sugestif. “Tapi car sex sekali-kali boleh dong?”

Seungyoun kontan memukul bahu Seungwoo, membuat yang lebih tua terdorong dan larinya terhambat karena berusaha agar tidak jatuh. “Mobil aku bukan Fake Taxi, mas!”

“Ya masa mau di vespa aku? Mending kalo diliatin, kalo itu motor ambruk gimana? Udah butut tau,” balas Seungwoo, mengelus bahunya yang nyut-nyutan. Tenaga Seungyoun tidak main-main.

“Tau ah, mas gajelas,” Seungyoun menjulurkan lidahnya dengan mengejek, lalu berlari meninggalkan Seungwoo.

“Eh, tungguin!”

—————

Beberapa saat kemudian, Seungyoun merasakan rasa tidak enak di perutnya. Bergemuruh dan meraung seperti lapar, tapi perutnya terasa begah. Ia hanya makan nasi goreng buatan Jungkook tadi sore, dan... cokelat Hangyul.

Perutnya semakin mulas. Lari Seungyoun melambat, tangannya mencengkeram perut yang bergejolak bak gunung mau meledak. Rasa panas menjalar dari torso hingga bagian rektumnya.

Tunggu.

Oke, tenang, Seungyoun, mungkin kamu masuk angin karena lari—

Tidak, tidak. Ia bukan masuk angin. Oh, mungkin dia mau mens—

Ya nggak lah, terakhir kali kamu cek masih ada burung bertengger, kan, Youn?

Mungkin—

Tunggu. TUNGGU.

Ini mah namanya mau number two alias setoran ke Pak Lurah alias ngising alias pupi alias buang air besar, tolong!

Oh tidak!

“Dek, kamu gapapa?” Seungwoo menghampiri dari belakang, memegang bahunya. Alisnya berkerut khawatir.

“Ng, mas,” Seungyoun bernapas dengan berat, keringat dingin yang bukan hasil berlari mengalir dari kening ke pipinya. “Aku cari toilet dulu ya. Kebelet.”

“Oh? Yaudah, aku temenin,” Seungwoo menepuk bahunya, lalu mereka langsung menyusuri koridor GBK, menuju ke dalam stadion.

Seungyoun berjalan cepat dengan setiap tapak kaki langsung menyentuh tanah seperti robot yang terlalu banyak akselerasi. Seungwoo mengikuti di sebelahnya, lalu tersentak saat Seungyoun berhenti dan membungkuk.

“Youn, ngapain? Ayo lari, katanya kebelet!” ujar Seungwoo, menggoyangkan pundak kekasihnya.

Seungyoun menggeleng. “Gabisa, mas! Nanti kalo keluar gimana?!”

“JOROK IH!” seru Seungwoo, memegang tangan Seungyoun dan menariknya. “Itu di depan toiletnya, ayo buruan!”

“MAS!”

“APA?!”

“NGANTRI PANJANG BANGET ITU, AKU GAKUAAAT!”

“YA TOILET LAIN JUGA GINI SEMUA KALI, KAN LAGI RAME!”

Seungyoun menghela napas panjang. Tarik. Hembus. Tarik. Hembus. Oke, kalo dulu ia bisa tahan pup 5 hari saat bela negara sama Angkatan Darat, berarti sekarang ia juga harus bisa.

Kamu bisa, Seungyoun!

Ia memaksa dirinya untuk berdiri, tapi apa daya, badannya hanya bisa membungkuk. Duh, mules banget, sumpah!

“Mas, cari toilet lain deh,” ujarnya lemas, disambut anggukan Seungwoo.

Mereka pun kembali menyusuri sekitaran GBK, mencari-cari toilet yang kosong. Tapi apa daya—ingat, ini malam minggu yang ramai. Banyak orang yang mau ke toilet.

Jadi semuanya mengantri.

Seungyoun menidurkan dirinya, tengkurap di pinggir dekat tanggul sambil meratapi nasib. “MAS, AKU GAK BISA.”

“Bisa, dek, ayo bangun kamu diliatin orang nanti dikira teler ih!” Seungwoo berusaha menariknya lagi, yang hanya disambut erangan pilu. “Kita ke pom bensin deh! Ayolah deeek.”

“YAUDAH, AYO POM BENSIN! POM BENSIN!”

Dengan wajah yang kusut Seungyoun pun menurut, terseok-seok menuju tempat parkir. Sesampainya mereka langsung menaiki motor dan meluncur keluar kompleks GBK.

“MAS WOO BURUAN PLIS,” ratap Seungyoun, menempelkan dahinya di punggung Seungwoo. Kekasihnya itu hanya menghela napas, berusaha mempercepat motornya—tapi mau gimana, vespanya kan butut. Salah dikit nanti malah mogok. Kalo mogok di tengah-tengah emergency gini kan berabe!

Seungwoo menyunggingkan senyum saat akhirnya ia melihat plang SPBU di pinggir jalan. “Dek, Youn, udah nih! Tuh pom bensin!”

“MAS, DI KOSAN AJA DEH!” seru Seungyoun sekitar satu meter sebelum mereka bisa masuk.

Seungwoo terperangah. “DIH GIMANA JING?!”

“BURUUU!”

“SAKIT DEK! YAUDAH AWAS JANGAN BERAKIN JOK AKU!”

“MAMBU, SU! BURUAN!”

“IYA ELAH!”

Motor itu pun melaju kencang, membelah jalanan dan menyalip banyak kendaraan. Seungwoo berfokus ke depan, sedangkan Seungyoun belingsatan di belakang dan berusaha setengah mati mengendalikan gejolak di perutnya.

“Dek.”

“APA MAS?!”

“Gak pa-pa, aku cuman ngerasa kayak suami lagi nganterin istrinya yang mau lahiran.”

“AKU MAU BOKER BUKAN BERANAK!”

“Iya, iya!”

“HUHUHU PANTAT AKU PANAAAAS,”

“ASTAGA TAHAN DEK BENTAR LAGI NYAMPE!”

Seungyoun menutup mata, berkonsentrasi bagaikan ninja mau mengendalikan chakra. Hatinya merana. Duh, malam minggu jadi dihabiskan dengan ngebut-ngebutan pake vespa.

—————

Setelah beberapa menit siksaan diiringi teriakan penuh derita dari Seungyoun dan deru vespa kesayangan Seungwoo yang ia namakan Yekaterina Petrovna Zamolodchikova alias Katya itu, mereka akhirnya sampai di kosan.

Tanpa ba-bi-bu Seungyoun langsung turun dan berlari ke dalam, menuju ke kamarnya dan Hangyul. Untungnya pintu tidak ditutup,

Tapi kamar mandinya terkunci.

DOK! DOK! DOK!

“GYUL, BUKA PINTUNYA!” jerit Seungyoun seraya menggedor pintu kamar mandi.

Suara Hangyul terdengar dari dalam. “BENTAR! GUE LAGI URUSAN!”

NYAPO SU?! COLI?! MENGKO WAE, AKU ATE NGISING!” (ngapain su?! coli?! ntar aja woi gue mau boker!)

Nah kan, ngoko-nya keluar.

ONOK-ONOK AE AWAKMU! SEK MARINGENE MARI!” (ngada-ngada lo! bentar lagi kelar ini!)

DOK! DOK! DOK!

Seungyoun menggedornya lagi. “NDANG COK! MENGKO AKU NGISING NANG SEMPAK!” (cepet cok! nanti gue boker di celana!)

“Dek, jarene mak-ku, kalo nahan ngising sikile dikareti (dek, kata ibuku, kalo nahan boker kakinya dikaretin),” ujar Seungwoo yang entah sejak kapan masuk kamar dan sedang duduk di kasur.

SILITMU KUWI SING DIKARETI! (pantatmu itu yang dikaretin!)” semprot Seungyoun ganas.

Seungwoo bergidik. Emang kalo udah terdesak orang itu jadi bengis, tak terkecuali pacar tersayangnya itu.

DOK! DOK! DOK!

“LEE HANGYUL BUKAK EN LAWANGE! LAK GA GELEM TAK AMBRUKNO YO!!” (Lee Hangyul buka pintunya! Kalo nggak gue ambrukin ya!)

“YA AMPUN GUALAK ASU, WES AKU METU IKI!” (Ya ampun galak anjing, yaudah gue keluar ini!)

Hangyul pun keluar kamar mandi dan langsung didesak Seungyoun yang menghambur masuk dan menguncinya. Sejenak hening, lalu terdengar suara lagu American Idiot yang disetel keras-keras serta suara erangan nelangsa yang samar.

“Eh, Bang Seung—“

AAAARGH!

Seungwoo dan Hangyul bertatapan satu sama lain, meringis saat rintihan Seungyoun kembali terdengar.

“Um, kenapa dia, bang?” tanya Hangyul sambil duduk di kasurnya sendiri, alisnya mengerut.

Seungwoo mengangkat bahu. “Tadi pas lari tiba-tiba mules.”

“Oh, itu,” Hangyul menggaruk kepalanya, tersenyum malu, “Kayaknya itu gara-gara gue deh, bang.”

“Hah kenapa?”

“Tadi pas gue tidur, kayaknya dia bilang mau makan coklat gue di kulkas. Gue masih teler jadi iyain aja kan...”

“Iya, terus?”

“...Gue lupa itu broklak.”

“...”

Hangyul menghela napas. “Gue baru nyadar pas gue mau makan juga soalnya belakangan gue sembelit... terus ya... gitu.”

“Oalah...” jawab Seungwoo sambil memeluk bantal miniso kesayangan pacarnya. “Tapi dia gak ekstrim banget gitu kan, Gyul?”

“Gak sih bang, palingan bentar lagi kelar.”

“Okelah.”

Beberapa menit lagi berlalu. Sembari menunggu mereka terdiam lagi, sesekali mengobrol ringan. Lagu dari kamar mandi tetap berbunyi kencang sampai ke luar ruangan.

Tiba-tiba pintu kamar mandi menjeblak terbuka, dan Seungyoun pun keluar. Ia sangat berantakan—rambutnya menempel karena gobyos oleh keringat, mukanya pucat dan postur badannya sangat lemas.

Seungwoo menghampiri kekasihnya itu, menuntunnya ke kasur untuk berbaring. Hangyul memutuskan untuk keluar kamar dan membuat teh hangat.

“Masih gak enak perutnya?” tanya Seungwoo khawatir, menyibakkan rambut Seungyoun yang menempel di kening.

Seungyoun menggeleng. “‘dah lega.”

“Baguslah. Mas olesin minyak kayu putih, ya?” setelah pacarnya mengangguk, Seungwoo pun langsung membalurkan minyak kayu putih ke tangannya dan mengoleskannya ke perut Seungyoun dengan lembut. Ia kemudian menggelitiki perut empuk itu. Gak tahan, woy. Gemes banget!

“Ucucucucu bayiku!!!”

“MAAAS APAAN SIH!” Seungyoun mengelak dari serangan Seungwoo, beringsut ke ujung kasur.

Lah ket mau manyun ae, ngko diambung genderuwo gelem ta? (abisnya kamu cemberut mulu, nanti dicium genderuwo lho?)” goda Seungwoo, lalu tergelak saat melihat ekspresi ketakutan Seungyoun.

MAS, MBOTEN PARENG MEDENI! (mas, gausah nakut-nakutin!)” seru Seungyoun, tapi ia tersenyum kecil.

Hangyul memasuki kamar, membawa segelas teh yang mengepul. Ia menyodorkan teh itu ke arah Seungyoun. “Nih Youn, gue bikinin teh anget.”

“Makasih, Gyul,” Seungyoun mengambil gelas itu lalu menyesapnya pelan-pelan. Tenggorokan dan perutnya yang sedari tadi tidak nyaman langsung menghangat, dan badannya jadi rileks.

“Sori ya, bro. Tadi yang lo makan itu sebetulnya broklak,” ujar Hangyul, meringis.

Seungyoun mengangkat alis. “Broklak apaan?”

“...coklat pencahar, dek,” jawab Seungwoo.

“Oh... HAH?!” Seungyoun tersedak tehnya, terbatuk-batuk. Punggungnya ditepuk-tepuk oleh Seungwoo sampai mereda. “UHUK! JADI TADI YANG GUE MAKAN ITU LAKSATIF?!”

Hangyul mengangguk.

“Ya gusti...” Seungyoun memijat dahinya. “Asu kowe, Gyul.”

“Tadi gue teler, hehe, maap.”

“Haha hehe haha hehe! Tadi gue berasa jadi gunung meletus numpahin lava tau gak!” omel Seungyoun. “Gamau tau, lo traktir gue ayam krispi ya besok!”

“INI AKHIR BULAN, YOUN! LO GAK PEDULI SAMA GUE?!” ratap Hangyul.

“LO GAK PEDULI SAMA USUS GUE?!” balas Seungyoun. Ia menghela napas. “Kalo lo ga traktir, malem ini gue vcs sama Mas Woo sampe lo gabisa melupakan desahan gue.”

Hangyul mendesis jijik. “Najis. Ya udah, besok deh.”

“Nah gitu dong.”

Seungwoo hanya menyunggingkan senyum melihat tingkah pacarnya itu. Ada-ada aja sih antiknya. Emang tiada dua.

“Ya udah, dek, aku pulang dulu ya?” ucapnya sambil mengelus kepala Seungyoun.

“Iya, mas... sini aku anterin.”

Seungyoun hendak beranjak dari tempat tidur, namun ditahan oleh Seungwoo. “Udah, nggak usah. Mas bisa sendiri, lagian tadi ada Namjoon lagi nongkrong di luar jadi dia bisa kunci pintu.”

“Oh, ya udah... sun dulu ya?” Seungyoun mengerucutkan bibirnya, yang langsung disambut oleh Seungwoo yang mendaratkan mulutnya sendiri di bibir itu, mengecup lembut.

Hangyul meringis lagi. Ya ampun, kangen mas Taehyung, euy. Orangnya lagi kaderisasi di Ciracas jadi gak bisa malmingan.

Seungwoo melepas pagutannya, mendaratkan satu kecupan lagi di kening Seungyoun, kemudian berdiri. “Dadah, dek. Gue cabut ya, Gyul.”

“Dadah, mas.”

“Oke bang.”

Dengan itu Seungwoo pun keluar, menuju motornya dan pulang ke rumahnya di daerah Pondok Indah.

“Gyul,” panggil Seungyoun, membuat temannya menoleh. “Bikinin teh lagi dong.”

Hangyul mendecak, mengambil gelas yang kosong dan berdiri. “Berasa babu gitu ya, gue.”

“Ya gara-gara coklat lo gue gak bisa malmingan! Sekali-sekali jadi sudra lo,” balas Seungyoun tanpa belas kasihan.

“Iyeeee.”

Hangyul pun pergi ke dapur untuk membuat teh tambahan. Seungyoun bersungut-sungut, bangkit untuk mengganti bajunya yang basah oleh keringat, lalu berbaring lagi.

Tak akan lagi ia makan sembarangan. Lesson: learned. Pencahar itu nggak enak! Ia bersumpah akan minum lebih banyak susu dan makan pepaya yang banyak, seperti saran mama.

“Duh,” keluhnya. Malam minggu gagal, olahraga gagal, pantatnya tersiksa pula.

Semua gara-gara broklak!

fin.


glossary (buat yang gaada transletnya di atas)

mambu: jijik asu kowe: anjing lo

One fine day in a hospital ward.

Seungwoo is chatting with Hangyul and Wooseok on the sofa, talking about various things. They’re waiting for Seungyoun to wake up from a surgery he went through a few hours ago. It’s nothing big—just an appendictomy because he’s been hurting for a few weeks.

“So when will he get to leave?” Wooseok asks.

Seungwoo hummed. “I think it’s gonna be a week or so from today. It depends on his recovery speed, though, but I’m sure he’s gonna leave soon.”

“Glad to hear that. I got my appendix removed a few years ago, and I left hospital in no time as well,” said Hangyul, responded with Seungwoo and Wooseok’s nods.

They all turned their head as a grumble is heard from the hospital bed. Seungyoun stirs as he starts to wake up, and Seungwoo immediately leapt into the bedside, seated himself on a chair.

“Hey, love,” Seungwoo half-whispered, smiling widely. “You finally woke up. I’ve missed you already.”

Seungyoun frowned, his eyes skimmed Seungwoo’s face in confusion. He opened his mouth, then closed it again.

“Youn-ie? Are you alright?” Seungwoo asked, his eyebrows furrowing.

“Did I—“ Seungyoun gulped, his eyes now widening. “Did I die?”

“What?”

“Did I die? Am I in heaven?”

Seungwoo blinked his eyes. “No? You’re alive.”

“What?” Seungyoun squeaked, shifting a bit closer to his husband. “Then why am I seeing an angel? You’re an angel, right?”

He stared right into Seungwoo’s brown orbs. Seungwoo smiled, then chuckled while his hand moved to hold Seungyoun’s.

“No, I am not an angel,” he stated bemusingly, “I’m your husband.”

Seungyoun gasped, his eyes widening in disbelief. He shakes his head. “No way. No fucking way you’re my husband.”

“I am!”

“For real?!”

“Yeah!”

“What’s your name?”

“Seungwoo.”

“Seungwoo... what a beautiful name.”

Seungwoo grins affectionately when Seungyoun lifted his other hand and caresses his cheek softly.

“We’re married?” Seungyoun whispered, as if they’re having a secret conversation.

“Yes, we are.”

“Holy shit.”

They’re quiet for a few moments, staring into each other’s eyes. Seungyoun trails his thumb slowly over Seungwoo’s eyebrows, cheeks, and then his soft lips.

“Have we...” he licked his own lips, “Have we kissed?”

Seungwoo nodded, smiling from ear to ear.

Holy shit, I hit the jackpot.” he repeated, and his husband laughed in response.

The hand on his cheek dropped, moving to grasp his forearms instead. Seungyoun opened and closed his mouth for several times again, then continued. “Do we have kids?”

“No, not yet,” Seungwoo chuckled.

“Oh, okay.”

Seungyoun looked behind him, glanced at Hangyul and Wooseok—who are both recording the scene in front of them with their phones.

“Who are they? Are you both gonna take my husband away?”

“What—no! He’s my husband,” Hangyul rebuked, pointing at Wooseok. “No one’s going to take your husband from you, Seungyoun.”

Seungyoun sighed in relief, then laid his head back on the pillow. He stared at Seungwoo, squeezing his hand. “I’m gonna sleep again... will you still be here when I wake up, Seungwoo?”

Seungwoo nodded. “I will, Youn-ie.”

“Mmm, great,” Seungyoun closes his eyes, drifting back to sleep. “See you soon, then.”

“See you soon, baby.”

With that Seungyoun immediately dozed off in peace, leaving Seungwoo smiling widely. Hangyul and Wooseok walked closer, ending their video. They looked at their friend’s sleeping face and their other friend’s head over heels in love face, then stared at each other amusingly.

“You two,” Hangyul chortled, “Are lovebirds. I ain’t taking no objections.”

“Same here. Bet Gyullie won’t be like that if he’s in Seungyoun’s place. He would be like ‘who are you bitch face motherfucker sittin’ here?! I want my husband back!’ when I, in fact, is his husband.” Wooseok rolled his eyes, but holding Hangyul’s hand in contradiction.

Hangyul shrugged. “Vice versa.”

“Well,” Seungwoo stared at them both, then turned back to watch Seungyoun. “I guess we are.”


An hour later, Seungyoun wakes up perfectly conscious and smiley. His face flushed red when he saw a video of him being lovestruck, blabbering like a fool.

“Why am I like this, and god, why did you have to film it?!” he complained.

“I can’t help it! You’re so dumb and experiencing love at first sight with your husband!” Wooseok responded, folding his arms.

Hangyul played the video over and over again, hollering on the sofa. “Not to mention you slurred through it all like you’re drunk!”

I am drunk, asshole.”

Seungwoo grasped his husband’s hand, his mouth forming a smile. He stared at Seungyoun tenderly, his eyes full of love and warmth.

“It’s okay, Youn-ie,” he reassured, “I’m happy you love me even though you didn’t recognize me.”

Seungyoun blushed, grinning until his cheeks hurt. “I guess I’ve fallen to deep, nothing will pull me back from this pit.”

“And I never want you to.”

“Period.”

Hangyul and Wooseok smiled from the sofa, glancing at their friends while leaning on each other.

“Lovebirds, Gyul.”

“Lovebirds. Just like us.”


WARNING AND DISCLAIMER

  1. latar cerita ini berada di dunia yang berbeda—di mana istilah “suami” dan “istri” bukan merupakan label untuk pria dan wanita secara konkrit dan spesifik. istilah tersebut menggambarkan peran “maskulin” dan “feminin” yang di-stereotypekan berdasarkan secondary gender (A/B/O). for instance, feminin berarti peran untuk jadi nurturer, child-bearer, sedangkan maskulin cenderung ke peran kepala keluarga dan pencari nafkah. sama sekali tidak ada niat untuk misgendering di fanfiksi ini. semua istilah berbeda yang digunakan hanya berlaku untuk universe ini—untuk menggambarkan lebih nyata dinamik yang ada.

  2. this story contains: graphic description of sex, vulgar use of words (anal, penis, sperma), slick producing, marking, nipple stimulation, lactating kink, rimming, blowjob, bareback, mirror sex, slight degradation, praise kink, breeding kink, (kind of) subspace, knotting

  3. this spin-off is based on @tteungyounie’s AU “someone who loves you”!! go give it a read and you’ll get new insights in life. thank you for giving me this chance, babe.

enjoy!


...as the snowfall intensifies, snowstorm is ahead for the northern Alps, especially across southern Germany and east-central Switzerland. The authorities issued a warning effective from 6 a.m. this morning until Wednesday, two days ahead from now. Several inch of snow is predicted to be...

Angkara menyesap kopi hangatnya, menatap lekat layar televisi yang menyiarkan berita pagi. Sial, rutuknya. Ia punya rencana untuk business meeting hari ini lalu berjalan-jalan dengan Rana ke Lucerne, namun apa daya—cuaca memang sedang tidak bersahabat, badai salju di mana-mana, semakin hari semakin ekstrim.

Sepertinya ia harus membatalkan semua jadwalnya hari ini.

Ia pun mengeluarkan ponselnya, mengabari bahwa meeting hari itu tidak bisa ia hadiri. Koleganya juga menanggapi dengan hal yang sama, semuanya terkena dampak dari hujan salju yang terus menimpa.

Menghela napas, ia menaruh ponselnya di meja depan televisinya dan kembali menonton berita, sesekali melihat keadaan di luar jendela rumah yang sudah putih dan berembun. Heater mereka sudah menyala dengan temperatur tinggi, namun ia masih merasa kedinginan.

“Mas Ara?”

“Y—Astaga!”

Angkara berbalik badan, menoleh ke arah sumber suara—lalu tersentak, tangan mencengkeram dadanya yang berdegup kencang karena kaget. Di hadapannya ada Rana, masih setengah tidur, mengenakan piyama satin dan terbungkus duvet putih tebal. Selimut besar itu membalut istrinya, menyeret ke lantai dan membuat Rana seperti tenggelam di dalamnya.

“Dek,” ucapnya setelah menenangkan diri.

“Ya?”

“....Kamu kayak Yeti.”

“Dingin, mas.”

“Ya ngapain turun dari tempat tidur?” tanya Angkara sambil menghampiri buntalan selimut di depannya.

“Kirain mas udah pergi, aku laper mau ambil makanan.” jawab Rana, matanya mengerjap sayu.

Angkara mendengus, menarik selimut itu untuk membalut istrinya lebih erat. “Mas nggak jadi pergi,” ujarnya, “di luar badai salju.”

“Oh...” Rana manggut-manggut, lalu matanya membelalak. “Lho kita nggak jadi ke Lucerne dong?”

Suaminya menggeleng. “Nggak, aksesnya ketutup semua.”

Rana merengut, kesal karena ia sudah merencanakan perjalanan ini dari jauh-jauh hari, ingin mengelilingi kota kecil itu, menjelajahi segala pertokoan sampai danaunya. Ia ingin membeli gelato yang terkenal dan memberi makan burung gereja yang sering mampir, lalu duduk di pinggir danau bersama Angkara ditemani angsa yang berlalu-lalang. Simpel dan romantis, tapi gagal karena badai salju. Cih.

Angkara mengelus rambut istrinya itu, tersenyum tipis. “Nanti kita atur lagi ke Lucerne-nya, ya? Hari ini santai-santai di villa.”

“Mana ada liburan santai-santai, mas,” tukas Rana sambil bersungut-sungut. Ia mendudukkan dirinya di sofa, meneguk kopi Angkara yang tergeletak di meja, lalu meringis karena pahit.

Suaminya hanya tersenyum gemas, pergi ke dapur dan membuat segelas cokelat hangat yang mengepul dan sepiring roti panggang, lalu kembali ke ruang tengah. “Nih,” ia menyodorkan mug yang dipegangnya.

“Kok bukan kopi?” tanya Rana skeptis, namun tangannya tetap mengambil mug itu. Angkara memutar bola matanya, menyenderkan diri ke bahu Rana yang tertutup duvet empuk.

“Kamu belum sarapan, kalo minum kopi nanti mules,” ujar Angkara. “Tuh, makan rotinya.”

Rana mengambil piring roti, memakannya dalam diam. Televisi terus menyiarkan berita tentang badai salju, dan jendela mereka sudah mulai berbunyi karena beradu dengan butiran salju yang menghantam.

Setelah selesai, Angkara meletakkan piring itu di bak cuci di dapur, kemudian kembali ke sofa dan bergelung di selimut tebal bersama Rana.

“Mas!” pekik Rana, berjengit menjauh.

Angkara mengerutkan alis, bingung. “Apa?”

“Kakinya dingin!”

“Ya makanya mas masuk selimut!”

Rana menghela napas, menyerah dan beringsut mendekat lagi. “Lagian kenapa kita di sini sih? Mendingan di kamar aja, gak dingin-dingin banget.”

“Bilang aja mau tiduran di kasur,” sahut Angkara, merengkuh istrinya yang menelusupkan kepala di ceruk lehernya. Kata-katanya hanya dibalas gumaman, yang sepertinya berbunyi “gendong.”

Angkara mendengus melihat Rana yang mulai menggelayut, tangannya melingkar di sekitar bahu alphanya. Ia pun mematikan televisi dan mulai mengangkat istrinya yang sudah menggantung bak koala di badannya menuju kamar, selimut mereka terseret sepanjang lantai.

Sesampainya di kamar mereka langsung membungkus diri di selimut lagi, menyalakan heater ruangan dan berbaring di kasur empuk. Rana segera memeluk Angkara lagi, menghangatkan diri dengan body heat suaminya. Angkara sendiri merangkul pinggang omeganya, menghirup aroma manis dari rambut Rana yang lembut—campuran shampoo dan wanginya sendiri.

Mereka hening untuk beberapa saat, sesekali mengobrol ringan—“Mas, kalo sabun jatoh ke lantai itu sabunnya kotor apa lantainya bersih?” “Hah? Apa sih dek...”—dan memainkan ponsel masing-masing.

“Mas,” celetuk Rana, membuat Angkara menatap ke arahnya.

“Apa?”

“Dingin.”

Heater-nya udah full, Rana. Baju kamu kurang tebel kali.”

Rana terdiam, menggigit bibirnya. Angkara hanya mengernyit, kembali mengalihkan perhatian ke ponselnya—lalu tertegun saat ia merasakan sesuatu yang basah menembus celananya.

Ia menaruh ponselnya di nakas, melirik istrinya. Benar saja, pinggul Rana bergerak maju-mundur, bergesekan dengan pahanya sendiri.

“Dek?” ia mengelus tengkuk Rana lembut, membuat istrinya itu mendongak—menampilkan mukanya yang sudah merona dan bibirnya yang merah karena digigit, berkilau dengan saliva.

Duh. Cantik sekali.

Rana menyusup ke ceruk leher Angkara, menghirup dalam-dalam aroma bergamot segar dan pine yang tajam di baliknya, mendesah pelan seraya pinggulnya terus bergerak.

“Mas...” cicitnya pelan.

Angkara menaikkan pahanya sedikit, menghantam pelan selangkangan istrinya yang basah. Rana mendesah di pelukannya, napasnya terengah.

“Mau apa, dek, hm?” tanyanya lembut, menggerakkan pahanya seiring gerakan Rana. Ia rengkuh pinggang ramping omeganya itu, mengelusnya lembut di luar satin yang licin.

Rana mengangkat kepalanya, mendaratkan kecupan lembut di bibir suaminya, matanya berkabut dengan nafsu. “Touch me, please?” pintanya.

Where, doll?” tanya Angkara lagi, memasukkan tangannya ke dalam piyama Rana. Ia telusuri kulit halus itu, membuat Rana merinding karena sentuhan yang seringan bulu.

“Hng,” gumam Rana, “Everywhere, please—angetin Rana, mas.”

Angkara menatap lurus ke mata istrinya, tersenyum kecil. “Give me a good kiss and I’ll consider.

Tanpa basa-basi, Rana langsung memagut Angkara dalam ciuman sensual; mengecup bibir halusnya dan merasakan seisi mulutnya. Suaminya itu tak mau kalah—lidahnya melesak ke dalam, menjamah dan menjelajah. Bibir mereka memang sudah sering bertemu, tapi setiap kali rasanya seperti baru pertama kali bercumbu.

“Mas, ngh,” desah Rana saat kancing piyamanya dibuka. Tangan Angkara yang dingin menggerayangi dada hingga abdomennya, mencubit dan memilin putingnya yang sensitif hingga tegang dan merona pink.

Angkara akhirnya melepas pagutan bibir mereka, memindahkan kepalanya ke perpotongan leher dan bahu Rana. Ia hirup aroma perpaduan lilac dan citrus yang menguar dari gland omeganya, lalu menjilat dan mengisap di area jugularnya, memberi tanda cinta berwarna kemerahan. Rana sendiri memiringkan kepalanya dengan insting, mempermudah akses Angkara ke leher jenjangnya.

“Wangi banget, dek,” bisik Angkara, menghirup dalam-dalam. “Mas suka.”

Rana merengek, tangannya mencengkeram bahu Angkara hingga buku-buku jarinya memutih. “Mas, hng, mas—nggak tahan, Rana nggak tahan,” racaunya. Matanya berkabut, air mata mulai mengalir di pipinya.

“Hush, sayang,” Angkara mengecup lembut bibir istrinya itu. “Slowly, doll. Let me take care of you.

“Hhh, mas, di sini,” Rana menggenggam satu tangan Angkara, menyentuhkannya ke celananya yang sudah basah oleh slick beraroma manis. “I’m so wet for you, mas, please.”

Angkara menghela napas, berusaha mengontrol dirinya. God, ia baru menyadari betapa tajamnya wangi slick tersebut, rasanya sesak dan memabukkan.

“Di sini, ya?” Angkara menekan bibir lubang Rana dari luar, merasakan aliran slick yang terus keluar hingga piyamanya basah dan lembap. Rana mengangguk, pinggulnya bergerak berusaha mencari sentuhan lebih dari telunjuk suaminya.

Y—yes, ah, right there, hhh, can I, can I—ah!” kata-kata Rana terputus saat Angkara menggerakkan jarinya, membuat kain satin bergesekan dengan lubangnya yang sensitif.

Angkara menghentikan gerakannya, lalu dengan cepat mengubah posisi sehingga Rana berada di bawahnya.

Off, doll. All of these,” dengan itu ia melepas piyama Rana, tidak menyisakan sehelai kain pun di tubuh istrinya yang molek. Ia tertegun saat melihat tak ada apapun di bawah celana piyama yang dikenakan Rana, sehingga ereksinya langsung terlihat.

Angkara mendengus. “You’ve gone commando?”

Yes I did.

“Anak nakal.”

You like this naughty baby.

Angkara hanya menyeringai, mengagumi badan yang indah dan halus—hanya untuknya, hanya miliknya. Geraman pelan keluar dari rongga dadanya, pikirannya yang lebih primal mengisi dirinya dengan rasa posesif.

Rana-nya, istrinya. Insan yang jadi pelipur laranya. Kesayangannya.

Angkara pun mencium Rana lagi, mencicip bibir ranum itu dengan intens. “Sayang, sayangnya mas,” ucapnya di tengah kecupan. “Rana, sayang.”

Rana menatapnya sayu, tersenyum lugu. “Mas Ara,” balasnya pelan. Angkara hanya balas tersenyum, ciumannya turun ke leher lalu ke dada. Mulutnya mendarat di pucuk dada istrinya, mengisap dan menjilatnya hingga semakin memerah.

Look at your pretty nubs, doll,” ujarnya sambil menjilat salah satu pucuk dengan menggoda, mengulumnya lembut. “Wonder if you got milk somewhere in here, hm?

“Ah—ah, there will be—hhh, Mas Ara-“ rintih Rana, tangannya menekan kepala Angkara lebih dalam seraya dadanya membusung. Pinggulnya bergerak maju mundur, penisnya yang tegang menggesek selangkangan Angkara yang masih terbalut celana piyama.

Setelah beberapa saat Angkara melepas mulutnya dari puting yang sekarang basah oleh saliva itu, menimbulkan bunyi pop pelan.

“Dek,” panggil Angkara, dan Rana meliriknya. “Kamu basah banget, liat,” lanjutnya, mundur dan memperlihatkan celananya sendiri yang sudah basah dengan slick dan precum Rana. Istrinya menggeliat lemah, rengekan kecil keluar dari mulutnya.

“Makanya cepetan, mas...” ucapnya sambil melebarkan kakinya—lubangnya yang terus mengeluarkan slick terpampang jelas di hadapan Angkara.

Angkara terkesiap, kepalanya pusing karena aroma yang tiba-tiba memenuhi indra penciumannya. Pekat, wangi, sangat manis, sangat mengundangnya.

Rana melebarkan kakinya lebih jauh lagi, tangannya meraih ke bawah dan memasukkan satu jari ke liangnya. “Ah, ah—“ desahnya tertahan, menggerakkan jarinya sebentar lalu mengeluarkannya, kemudian mengulum jari itu dalam mulutnya.

“Manis,” bisik Rana dengan sensual, menjilat jarinya sambil menatap tajam suaminya.

Angkara diam di tempat, napasnya mulai terengah.

“Manis lho, Mas Ara nggak mau cobain Rana?” rayu istrinya, tersenyum menggoda. Slick mengalir lebih banyak dari lubangnya, berkilau di atas kulit.

“Dek...”

“Ayo, mas...”

Alphanya itu mendekat ke lubangnya, mengendus dengan penuh nafsu. Dengan perlahan Angkara mencium bibir anal istrinya itu, menghisapnya sedikit. Rana memegang kepalanya, kakinya dilebarkan hingga lututnya menyentuh dada.

Angkara pun melesakkan lidahnya ke dalam, merasakan dinding yang ketat dan cairan slick yang, oh, manis sekali. Bukan manis madu, bukan juga seperti susu. Rasanya manis seperti Rana, manis karena ini Rana.

Ia terus mengeksplor liang yang sempit, menggerakkan lidahnya dan menelan cairan itu bagai orang kehausan hingga harumnya memenuhi kepala.

Rana terus menekan kepalanya, pinggulnya bergerak meminta lebih. “Mas, Mas Ara, hng—ah, mas, please,” desahnya.

Angkara melepas mulutnya, menoleh ke atas. “Please apa, dek?” tanyanya.

P—please, sentuh Rana, mas,” sahut istrinya, menggenggam rambutnya lemah.

“Ini udah disentuh, Rana,” jawab Angkara, menyeringai sambil mengusap dagu dan sekitaran bibirnya yang basah oleh slick.

Rana mengerutkan alisnya, mulutnya membuka-tutup tanpa suara, berusaha membentuk balasan. Kepalanya begitu kosong, tapi penuh—seakan ada kabut yang menghalanginya untuk berpikir jernih. Seluruh indra dipenuhi Angkara-nya.

Alphanya.

“Hhh,” ucapnya pelan, menggeliat seraya aliran slick baru keluar dari lubangnya. “Hhng, mas,” ucapnya pendek.

“Mau disentuh di mana, hm? Di sini?” tanya Angkara lagi, menjilat bibir lubang dan perineum istrinya. “Atau di sini?” lanjutnya, mengecup penis Rana yang telah ereksi dengan semburat pink di ujungnya.

“Di—hng, semuanya,” jawab Rana, kakinya gemetar.

“Semua? Serakah banget kamu, dek,” balas Angkara, tertawa kecil.

“Hhh, please, mas.”

Since you beg so nicely.

Ia pun bergerak ke atas, mencium Rana lagi—membiarkan istrinya mencicipi rasanya sendiri. Saat dilepas, ia sodorkan jari tengah dan telunjuknya, mendorongnya masuk ke mulut Rana yang masih terbuka.

Suck,” perintah Angkara.

Rana mengulum jari itu, menjilat sela-selanya hingga basah dengan saliva, sesekali menggumam penuh nikmat. Angkara kemudian mengeluarkan jarinya dan kembali beringsut ke bawah, perlahan memasukkan telunjuknya ke lubang Rana yang berkedut menggoda.

Jarinya segera basah dengan slick yang terus keluar dalam jumlah banyak, menjadi pelumas baginya. Ia gerakkan jarinya masuk dan keluar, menambahkan jari tengahnya setelah beberapa saat, sedangkan mulutnya menstimulasi penis Rana yang terbengkalai—mengulumnya hingga ujung dan menghisapnya.

“Mas—hng, ah!” Rana mencengkeram erat-erat rambut Angkara sekarang, kepalanya terkulai ke samping dan saliva mengalir dari bibirnya yang terbuka. Jari Angkara yang panjang menyentuh setiap sudut dari rektumnya, menstimulasi prostatnya setiap kali bergerak—membuat Rana merasa seperti melayang, lalu jatuh, lalu melayang dan jatuh lagi.

“Ah, ah—mas, hhh—“

Hush, one more, doll. You’re doing so well,” Angkara menambahkan jari manisnya, melebarkan lagi lubang yang sudah cukup regang itu. Tangannya yang satu lagi mengocok penis Rana, memainkan jempol di puncaknya.

“Mas Ara, m—“ Rana tercekat, badannya meronta. “Mas, Rana—ah, Rana mau k- keluar,”

Angkara mempercepat gerakan jarinya. “Come, doll. Come for me,” ucapnya singkat.

“Ngh, h—hhah, Mas Ara—“

Dengan itu Rana pun klimaks, menumpahkan cairannya di tangan Angkara, abdomennya sendiri, bahkan ada yang mengenai dadanya. Matanya terpejam erat, badannya kaku dan membusur ke arah atas.

Angkara memelankan temponya, mengeluarkan jarinya perlahan. Ia menjilat tiga jarinya yang basah seluruhnya karena slick yang keluar dalam jumlah banyak saat Rana klimaks tadi, merasakan manis yang menyebar di mulutnya.

“Rana, sayang,” ia beringsut untuk merengkuh istrinya, mengusap pipinya yang basah oleh air mata dan mendaratkan kecupan di bibirnya. “You did so well, dek, so good, came so pretty for me. My pretty doll, pretty baby.” pujinya, tersenyum lembut.

Rana menatapnya sayu, hanya berfokus pada suaminya, napasnya yang terengah berangsur stabil. “Mas Ara,” ucapnya, menangkup pipi suaminya di tangan, melihatnya lekat-lekat.

“Rana,” balas Angkara, “Sayangnya mas.”

“Mmm,” gumam Rana, menurunkan tangannya dan membuka piyama Angkara yang masih melekat sedari tadi. Kakinya menyentuh ereksi suaminya yang terbalut celana, menggesek gundukan besar itu. Angkara menggeram rendah, melepas pakaiannya hingga hanya boxernya yang tersisa.

Rana menatap suaminya itu, beranjak dari posisinya dan mendorong Angkara hingga sekarang ia yang berada di atas.

“Mas,” ucap Rana pelan, matanya berkilat nafsu, “Rana mau cobain Mas Ara juga.”

Angkara menatapnya datar. “What are you waiting for, then?” balasnya.

Rana tersenyum nakal, mencium leher suaminya dan meninggalkan beberapa tanda—mengklaim alphanya, miliknya. Kemudian ia bergerak ke bawah, mendaratkan kecupan seringan bulu ke dada dan abdomen Angkara.

Akhirnya ia turun lagi ke pelvis suaminya itu, menyandarkan pipinya ke penis Angkara yang masih tertutup kain boxer. Ia mengecupnya dari luar, matanya melirik ke atas, bertemu dengan tatapan alphanya.

“Buka, Rana,” perintah Angkara lagi, singkat dan tegas.

Istrinya itu menurut, lantas membuka boxernya. Penisnya pun terpampang di depan muka Rana, hampir ereksi penuh, tegang dan besar.

Rana memegang penis itu dengan tangannya yang kecil, membelalak saat akhirnya sadar dengan ukuran Angkara yang lumayan berbeda dengannya.

“Mas Ara,” cicitnya, menjilat ujung ereksi di genggamannya, “gede banget...”

Angkara menarik napas memburu, menumpukan badannya di siku dan membelai surai Rana yang halus. “Pelan-pelan, dek.”

Perlahan, Rana pun menjilat lagi ujung penis itu, mengulum bagian kepalanya terlebih dahulu. Kemudian ia coba memasukkannya ke dalam mulut, rahangnya terbuka lebar hingga terasa sakit, hanya mencapai tiga perempat saat ujungnya menyentuh tenggorokan.

“Hhk—“ Rana berdeguk, saliva mengalir dari mulutnya seraya ia bergerak naik turun. Kepalanya dipegang Angkara, dielus dengan lembut, menenangkannya. Ia menghisap hingga pipinya cekung ke dalam, menyebabkan Angkara mengerang di atasnya. Tangan Rana berada di bagian bawah, menstimulasi yang tidak tercapai oleh mulutnya.

Angkara mengelus pipi istrinya, merasakan penisnya yang timbul dari luar. “Ah, you’re so good to me, Rana,” pujinya. Rana melepas mulutnya, menjilat bagian samping, tangannya tetap bergerak di penis yang kini berkilau karena salivanya.

“Mas Ara, mmm,” ujar Rana di sela-sela kegiatannya, “mmh, mas—hhng,”

“Dek,” sahut suaminya, “Enak ya, hm?”

Rana tersenyum lugu. “Enak, mas.”

Ia kembali melanjutkan stimulasinya, mengulum dan meratakan lidahnya di bawah pembuluh yang timbul. Setelah beberapa saat, rambutnya ditarik pelan oleh Angkara, membuat Rana mendongak.

That’s enough, doll,” ujar Angkara, mendudukkan dirinya. “Now be good and lay down for me, alright?

Rana mengangguk, berbaring di kasur, kakinya otomatis dilebarkan. Angkara memegang bagian bawah lutut istrinya, meletakkannya di bahu.

Wait, I’m gonna put on a condom,” Angkara hendak beringsut ke nakas, namun tungkai Rana menahannya. Ia melirik istrinya heran.

“Kenapa, dek?”

“Mas, um,” Rana menjilat bibirnya, pipinya merona. “Nggak usah pake kondom.”

Angkara mengerutkan alisnya. “Did you bring your pills?

Yes, I brought it,” Rana mengangguk.

Alright, feisty baby,” Angkara tersenyum lembut, mengecup bibir istrinya dalam-dalam. “Can’t believe I took you for granted.”

Well,” Rana balas tersenyum tulus, “I’m here now, mas. All yours.

I’m yours as well.

Angkara pun mulai memasukkan penisnya ke dalam liang Rana, mendorongnya lewat cincin yang erat. Istrinya itu menatap sayu, mencengkeram sprei dan seluruh tubuhnya gemetar.

“Mas—ngh, b- besar banget, ah, ah!” rintih Rana, meringis kala Angkara masuk semakin dalam. Liangnya memang sudah licin, slicknya terus mengalir untuk menjadi pelumas, tapi dindingnya masih harus melebar sampai ada rasa sakit yang membara.

Angkara menciumi wajah Rana, mengecup pipinya yang berhias air mata dan matanya yang berkilau indah. “Hush, Rana. It’s okay, dek, I’m here. It’s okay,” bisiknya penuh sayang, menempelkan kening mereka berdua. “Rana, sayang, Mas disini.”

Rana menggapai dirinya, melingkarkan tangan di leher suaminya. “Mas Ara, hng,” ucapnya pelan, terisak-isak. “Rana, hhh, ah, Mas Ara,” ia mengulang-ulang nama mereka berdua bagai mantra, tenggelam dalam ekstasi dan kasih sayang dari Angkara.

Mereka berdua menghembuskan napas lega saat seluruh penis Angkara akhirnya masuk, pelvisnya menempel dengan perineum Rana. Selama beberapa saat mereka terdiam, menunggu Rana beradaptasi dengan sensasi Angkara di dalamnya.

Rana menjengitkan pinggulnya, mengetes. Ia mendesah pelan, menatap suaminya lekat-lekat. “Hng, gerak sekarang, m- mas,” pintanya. Angkara pun mulai bergerak, mengeluarkan penisnya hingga setengah, lalu menghujamkannya kembali ke dalam. Rana merintih, badannya tersentak saat prostatnya terkena.

Angkara terus mempercepat temponya, menimbulkan suara kecipak di ruangan itu karena slick Rana yang membasahi kulit mereka masing-masing. Wangi mereka bercampur, menguar memenuhi indra penciuman, membuat keduanya mendesah bersahutan dan pikiran mereka penuh satu sama lain.

“Mas Ara—ah! ah, ngh, mas—ah, ahk—“ Rana mendesah pendek-pendek, napasnya terengah. Matanya menutup setengah dan liur mengalir ke dagu dan lehernya, suaranya melengking dan serak. Angkara terus menghujamnya tanpa ampun, memastikan setiap tusukan menyentuh prostat istrinya itu, melenguh tiap kali penisnya dijepit dinding ketat yang hangat.

Angkara meletakkan kepalanya di leher Rana, membubuhkan tanda gigitan lagi, sesekali menggeram posesif saat ia menghirup feromon omeganya yang memabukkan.

“Rana,” bisiknya, napasnya mengenai telinga istrinya. “Rana, Rana, Rana.”

“Mas Ara,” balas Rana, memegang kepala suaminya. “Rana, hng, sayang mas, s- ah, sayang b- banget, mas.”

“Mas juga sayang Rana.”

Rana menoleh ke samping, menikmati mulut Angkara yang terus membuatnya merinding. Ia mengerjapkan matanya, melirik ke cermin yang ada di samping tempat tidur.

Ia tertegun, melihat dirinya dan Angkara. Ia melihat badan mereka bersatu bagai kepingan puzzle, kulit putihnya yang dihiasi tanda merah keunguan karya sang suami, serta bagian selangkangannya yang basah dengan slick. Ia melihat penis Angkara yang besar—bahkan tanpa knot—terus menusuk lubangnya, melihat penisnya sendiri yang mulai tegang lagi. Ia melihat wajahnya, sayu dan merona, melihat bibirnya yang merah menggoda, jejak air mata membingkai pipinya.

Ia melihat Angkara, tenggelam di ceruk lehernya, asyik menjilat dan menggigit tiap inci kulit Rana, napasnya berat karena terus menghirup feromonnya bagai terkena adiksi.

Ia melihat mereka berdua, berpadu dan beradu dalam cinta dan nafsu. Indah, bagai lukisan Renaissance yang sering ia kagumi. Begitu selaras, bergerak dalam irama yang serasi.

Ia melihat mata Angkara di cermin—tunggu.

Oh, so you’ve been watching yourself get fucked, hm?” tanya Angkara, tersenyum mengejek.

Mereka bertatapan melalui cermin sekarang, mata Rana membuka lebih lebar, menatap nanar. Mukanya memanas saat Angkara terkekeh, ritmenya melambat.

You like seeing yourself like—this, Rana?” lanjut Angkara, menghujamkan penisnya dalam sekali sentak, membuat Rana merintih tertahan, suaranya pecah dan hilang. “You like watching me wrecking you, hm?

Rana merengek saat Angkara mengeluarkan penisnya, dengan cepat mengarahkannya untuk berlutut di depan cermin, lalu masuk lagi dari belakang. Punggung lebarnya bersentuhan dengan dada Angkara yang kokoh.

“Mas—hhh,” desahnya, samar-samar mendengar suara kulit mereka yang bertemu disertai rasa sakit karena intensitas yang begitu tinggi.

Kepalanya terkulai ke bawah, matanya hendak menutup—namun tangan Angkara memegang dagunya, memaksa Rana untuk melihat cermin.

“Lihat, dek,” ucap Angkara, “Lihat ke cermin. Lihat kita. Buka mata kamu.”

Rana memaksa matanya untuk membuka, dan segera dilihatnya mereka berdua, Angkara menyandarkan dagu di bahu istrinya, pinggulnya tak berhenti bergerak. Angkara dengan mukanya yang tegas, badannya yang tegap dan desahan rendahnya. Angkara-nya, alphanya, suaminya.

Rana melihat dirinya sendiri, dadanya yang agak membusung, penisnya yang terbengkalai memantul seiring hantaman Angkara di analnya.

Ia lihat dirinya. Gemetar, lemah dan kepayahan. Segala sesuatu yang ia tolak, karena ia selalu mendorong diri untuk jadi kuat.

Ia lihat mulutnya yang terbuka mengeluarkan desahan sintal, putingnya yang tegang dan mencuat, serta lututnya yang terbuka lebar. Menggoda, memikat, mempesona.

“Kamu cantik, Rana.”

Angkara berbisik di telinganya, tulus dan jujur. Mereka bertatapan lewat cermin dengan intens, menyalurkan perasaan yang tidak bisa diekspresikan lewat kata-kata.

“Cantik banget, dek, look at you.”

Ia melirik dirinya.

Cantik, Rana.

Rupawan, jelita, elok menawan.

Rana tersenyum lugu, matanya menyipit. “Rana cantik, m-mas.”

“Betul. Rana cantik.” balas Angkara.

Suaminya melingkarkan satu tangan di sekitar pinggangnya, dan satu lagi di sekeliling bahu. Ia mengecup pipi Rana, mempercepat gerakan pinggangnya.

“Ah, ah, ah—mas!” pekik Rana, seluruh saraf di tubuhnya menjerit karena nikmat yang tiba-tiba meningkat beratus kali lipat. Kedua tangan Angkara menyelip di antara lengannya, mencubit putingnya yang sensitif, memilin dan merabanya.

Dada Rana membusung ke depan, kakinya gemetar hebat. Ia menyaksikan sendiri mukanya terbasuh oleh ekstasi, berusaha keras menjaga matanya tetap terbuka. Slick terus mengaliri paha hingga ia bisa merasakan betapa licinnya kulit mereka saat bergesekan.

Angkara tetap menstimulasi putingnya seraya menjaga ritme pinggangnya, bibirnya mengecup bahu istrinya.

Such a pert, pretty nipple,” ujar suaminya seraya meremas dadanya, “Gonna have you flowing with milk, doll, when you’re full with my pups.

“Hng, soon, mas, so soon—ah,” Rana melihat tangan Angkara di cermin, putingnya yang telah bengkak dan merah terjepit oleh jari suaminya yang panjang. Pinggulnya bergerak ke belakang, bertemu dengan dorongan Angkara.

Rana menangkup tangan Angkara di atas dadanya, merematnya. “Mas Ara, aah, ah—“

“Rana, sayang.”

“Mas—“

“Dek—“

“A- alpha, ah, alpha—“

Angkara terbelalak, menatap istrinya yang sudah merona, mata tertutup setengah, air mata tumpah ke pipi dan mulutnya terbuka, tersengal dengan saliva yang mengalir turun ke dagu, leher dan dada.

Rana meracau, pikirannya sudah berkabut dan rasanya seperti melayang—nikmat, nikmat sekali, tubuhnya kebas dan sensitif di saat yang bersamaan. “Alp—ha, please, hhhng, alpha—“

“Omega.” geram Angkara rendah, membalik posisi mereka lagi, punggung Rana menyentuh kasur yang empuk. Alisnya berkerut penuh determinasi, lutut Rana ditekuk sedemikian rupa hingga badannya seperti terlipat dua. Penisnya terus menusuk lubang Rana dengan bengis, instingnya mengambil alih.

“Alpha—alpha, hhh, fill me, alpha,” Rana menggapai ke atas, meraih leher Angkara, menariknya lebih dekat. Suaminya itu menempelkan kening mereka, menatapnya lekat-lekat. Satu tangannya mengocok penis Rana yang sudah menumpahkan precum sedari tadi.

Angkara menyentuhkan bibir mereka, bernapas di depan satu sama lain. Aroma mereka sudah menyatu. Manis, serasi, rasanya seperti adiksi. “Rana—omega, my omega—gon’ fill you, baby, gon’ breed you so good,” tuturnya, merasakan tubuh Rana mulai bergerak tak teratur, dekat dengan puncaknya.

“Ngh—ah, alpha, ah, alph—“ Rana pun klimaks; tubuhnya menggelinjang hebat, tangannya mencengkeram bahu Angkara begitu erat hingga kukunya mengoyak kulit suaminya itu. Ia menatap lurus ke arah Angkara, pandangannya fokus namun berkabut. Suaranya pecah dan hilang. Cairannya tumpah di tangan Angkara dan abdomennya lagi, kali ini tak se-intens sebelumnya, namun sensasinya jauh lebih terasa. Slick-nya sendiri keluar dalam jumlah banyak, membasahi penis Angkara, pahanya, hingga menetes ke kasur.

Pinggul Angkara bergerak lebih cepat lagi, kali ini benar-benar mengejar puncaknya. Ia berbisik pada Rana yang sekarang lemas, badannya bergerak mengikuti Angkara.

So pretty, Rana. I’m so proud of you, so in love, oh, so so in love.”

“Hhh,” Rana hanya bisa menghembuskan napas, matanya melirik sayu.

You did so well, Rana, so good, so pretty and pliant for me, ah, always the best for me, doll, fuck—“ gerakan Angkara melambat seraya knotnya mengisi lubang Rana hingga rim-nya mengatup dengan sempurna di sekitar penisnya. Ia menyusupkan kepalanya di leher Rana lagi, mengendus sambil berusaha menstabilkan napas saat spermanya mulai tumpah ke liang istrinya, bercampur dengan slick yang ada. Rana mendesah pelan, merasakan cairan hangat yang memenuhinya—penuh, sangat penuh sampai terasa menggenang di dalam.

Mereka terdiam, ruangan hanya diisi oleh hembusan napas dan suara salju yang masih ribut menabrak jendela. Angkara mengubah posisi mereka jadi menyamping, merengkuh Rana di pelukannya, mencium bibir, hidung, dan keningnya penuh cinta. Ia hujani istrinya itu dengan pujian dan kata-kata lembut, tak pernah melepas pelukannya.

“Dek, I’m so proud of you, you did so well,” bisik Angkara lembut, membelai rambut halus istrinya. “My baby, so good for me, so pretty. Mas sayang banget, cinta banget sama kamu, Rana, I can’t even say it enough times.

Rana mengerjap beberapa kali, menatap Angkara dengan polos. Ia tertawa kecil, meracau tentang musim dingin dan boneka salju dan selimut hangat, tangannya mengelus pipi suaminya. Angkara hanya mengangguk, tersenyum lebar—senyum paling tulus, hanya untuk Rana-nya.

“Mas Ara,” ucap Rana, matanya bagai semesta, penuh cinta dan renjana. “Mas Araaa,” ulangnya manja.

“Iya, dek,” Angkara menjawab, suaranya rendah, seakan ingin merahasiakan pembicaraan mereka. “Kenapa, hm?”

Rana bergumam, jemarinya menelusuri wajah Angkara, menyentuh kening, tulang pipinya yang tegas, hingga rahangnya yang tajam. “Makasih,” cicitnya, merona malu.

My utmost pleasure, Rana,” Angkara mengecup ujung hidung istrinya, “Thank you as well, doll. We did become warm after all.”

Rana mengangguk. “Mm-hmm.”

Kamar itu hening lagi, Rana asyik mengelus pipi Angkara, sedangkan suaminya itu merapikan rambut istrinya yang berantakan, menyeka poninya yang mengenai mata.

“Mas,” celetuk Rana lagi.

“Hm?”

“Knot-nya lama banget kempesnya.”

Angkara terbatuk. “Y—ya, emang biasanya lima belas menitan kan?”

“Iya, sih...” Rana manggut-manggut. “Tapi penuh banget...”

“Ya... Enak, kan?”

“Enak...”

“Kamu jangan lupa minum pilnya ya, nanti.” kata Angkara mengingatkan.

Rana mengangguk. “Iya,” Ia menangkup pipi Angkara dalam dua tangannya, menatap dalam-dalam. “Sabar sedikit lagi ya, mas? Sebentar lagi.”

Angkara tersenyum. “Tenang aja, dek. Mas selalu di sini, kok.”

Bibirnya dikecup lembut, seringan bulu, namun dalamnya sampai kalbu.

Lima belas menit kemudian Angkara akhirnya mengeluarkan penisnya, mengerang saat udara dingin menerpa. Rana sendiri meringis kala lubangnya yang sedari tadi penuh kini kosong, cairan yang merupakan campuran antara slick dan sperma mengalir ke pahanya.

“Ow,” ia mengaduh saat mencoba mengubah posisi. “Mas, aku pengen bubble bath.”

Angkara mengangkat alis, tangannya yang sedang membersihkan abdomen Rana dengan handuk kecil berhenti. “Apa?”

Bubble bath, mas. Oh, kalo nggak kita pake bath bomb aja, kemarin aku baru beli.” ujar Rana, tersenyum simpul.

“Oalah,” Angkara meletakkan handuk itu kembali di nakas, lalu merentangkan tangannya. “Ya udah, sini.”

Rana terkekeh. “Tau aja mau digendong.”

“Tau lah, kamu kan koala.”

“Yep. Mas pohonnya aku.”

“....That’s weird, but okay.

Angkara pun membawa mereka ke kamar mandi, memakaikan Rana dan dirinya bathrobe sebelum menyalakan air hangat di bathtub. Sambil menunggu ia memeluk Rana agar hangat, sesekali mencumbunya mesra. Setelah itu mereka masuk ke bathtub dengan air bersemburat merah muda dan oranye karena bath bomb yang dicelupkan Rana.

Rana langsung bersandar ke dada bidang Angkara, terkantuk-kantuk saat rambutnya dibersihkan oleh suaminya. Ia sudah setengah tertidur saat Angkara selesai membersihkan seluruh tubuhnya, melingkarkan tangan di sekitar leher suaminya saat ia kembali digendong ke kamar, sudah mengenakan piyama baru.

Ia didudukkan di sofa sebelah kasur, hendak tidur setelah meminum pil. Namun, ia bangkit dan melawan rasa kantuknya saat melihat Angkara membuka lemari berisi sprei baru.

“Mas, sini aku bantuin,” kata Rana sambil menghampiri suaminya.

Angkara menoleh, lalu menggeleng. “Nggak usah, mas bisa ganti spreinya kok.”

“Ih aku mau bantuin.”

“Nggak usah, dek.”

“Mas.”

Okay what do I get from you helping me?

Rana memutar bola matanya. Typical.Cuddle monster-me, duh.

“...Ya udah, sini.”

Mereka akhirnya mengganti sprei berdua, tak lupa sarung bantal dan duvet. Angkara menaruh yang kotor di keranjang laundry besar, kemudian kembali lagi ke kamar, bergabung dengan Rana yang sudah bergelung dalam selimut baru yang berbau linen lembut.

Rana merengkuhnya dengan erat, menyandarkan kepala di dada Angkara.

“...Ini kapan badai saljunya selesai ya?” tanya Rana, melirik jendela yang putih oleh salju.

“Dua hari lagi, kayaknya.”

“Duh,” Rana merengut. “Lama banget.”

Angkara mengecup keningnya. “Harusnya besok udah nggak seekstrim ini sih. Palingan jalanan aja yang masih ditutup.”

Rana menggumam, lalu mengangkat kepalanya—Angkara nyaris bisa melihat bohlam imajiner muncul saat ia menengadah. “Oh! Kita besok main salju aja, mas.”

“Hah?”

“Iya, bikin boneka salju! Terus sledding, terus perang bola salju.”

Angkara mendengus. “Anak-anak banget.”

Said someone who ate snow twice cos he’s curious about the taste.”

“...Okay, it’s on.”

Rana tergelak, matanya menyipit seperti bulan sabit karena geli. Ia menatap lembut suaminya itu, yang balas menatapnya balik sambil mengeratkan pelukannya.

“Rana sayang Mas Ara.”

“Mas juga sayang Rana.”

Mereka pun akhirnya terlelap, diiringi desir angin, salju yang menerpa, dan suara Rana yang menyenandungkan lagu la chanson de la mer.

Badai memang membuat mereka jadi mendekam di villa.

Tapi paling tidak, Rana dan Angkara jadi punya waktu untuk menganggap dunia hanya milik berdua.

“Kak yaampun sini aku bantuin!” Wooseok buru-buru keluar rumah, sedikit terkejut saat kaki telanjangnya menyentuh teras yang dingin karena salju. Ia hanya memakai kaus lengan panjang, celemek dan celana training, namun melihat Seungwoo di garasi yang harus menurunkan belanjaan, ia tak peduli.

Seungwoo menoleh seraya mengangkat kantung belanjaan, matanya membelalak kala melihat Wooseok yang menghampirinya.

“Eh Seok gausah! Sumpah jangan ini dingin banget, kamu di situ aja!” serunya.

Wooseok menggeleng, tetap berjalan mendekat. “Belanjaannya banyak banget Kak, masa mau bawa sendiri?” sahutnya sambil mencoba merebut kantung-kantung yang digenggam Seungwoo.

“Nggak usah Seok, beneran!” Seungwoo menahan pegangannya di kantung belanjaan.

“Aku bawain, Kak!”

“Nggak berat ini, kamu masuk sana!”

“Daddy, lama! Om Wooseok gendong Pyo aja!” tiba-tiba terdengar suara Dongpyo yang masih terduduk di kursi tengah.

Wooseok dan Seungwoo bertatapan satu sama lain, terperangah.

“Kok nggak sama Daddy aja?” tanya Seungwoo, menahan tawa. Wooseok di sebelahnya juga sudah menggigit bibir, mati-matian untuk tetap diam.

Dongpyo berseru lagi, “Ya kan Daddy mau bawa belanjaan?!”

Seungwoo akhirnya tergelak, menarik belanjaannya dari tangan Wooseok yang masih bertahan. “Tuh, kamu denger anak aku.”

Who am I to refuse, huh?” kata Wooseok sambil nyengir, lalu membuka pintu tengah dan menggendong Dongpyo. “Yuk Pyo, kita ke dalem. Jinu udah nggak sabar banget tuh.“

Dongpyo mengangguk, tangannya merangkul leher Wooseok. Mereka pun masuk ke dalam rumah, Seungwoo mengekor di belakang dengan belanjaannya. Sesampainya di dalam, Wooseok segera menyalakan heater, lalu mengantar Dongpyo ke ruang tengah.

“Pyo, mantelnya dilepas ya? Biar gak kedinginan. Jinu, kamu ambil selimut gih di sofa, terus kalian berdua selimutan ya,” pinta Wooseok sambil melepas mantel Dongpyo. “Kak Seungwoo, belanjaannya langsung taro dapur aja, di lantai.”

Jinwoo mendekati Dongpyo sambil membentangkan selimut hangat. “Pyo, sini! Jinu punya buku gambar baru!”

“Pyo juga bawa Snoopy! Liat!”

Dongpyo pun bergelung dalam selimut bersama Jinwoo, berceloteh tentang hadiah yang mereka terima. Wooseok tersenyum simpul, bangkit dari karpet dan menyusul Seungwoo ke dapur setelah menggantung mantel Dongpyo.

Seungwoo meletakkan belanjaan di lantai, mantelnya telah digantung di dekat pintu. Diletakkannya bahan-bahan yang diminta Wooseok ke meja dapur, lalu menaruh kue di kulkas, dan terakhir champagne di meja makan.

“Seok, aku bantu apa nih?” tanyanya saat Wooseok memasuki dapur.

“Bikin saus sama pie, Kak. Eh, bentar,” model itu mendekati Seungwoo, lalu mengusap kepalanya. Pria yang lebih tua mengernyit, pipinya sedikit memerah.

“Seok?” ucapnya pelan, mata mereka bertatapan.

Wooseok berdeham canggung. “Um, ini, banyak salju di kepala kakak. Tadi nggak pake penutup apa-apa, ya?”

“Nggak...”

“Pantesan,” Wooseok menurunkan tangannya, lalu memberi Seungwoo celemek dari laci dapur. “Nih, pake celemeknya, terus buah cranberry-nya dihancurin di mangkuk.”

Direktur muda itu mengangguk, memasang celemek dan segera melaksanakan apa yang diminta Wooseok. Setelah buahnya sudah tertumbuk, ia mencampurnya dengan gula dan sedikit perasan jeruk, lalu membalurkannya ke ayam yang sudah dimarinasi. Selain membuat saus, ia juga ditugaskan Wooseok untuk merebus pasta dan memotong apel untuk pai.

“Kamu emang suka masak, Seok?” tanya Seungwoo sambil menaburkan gula di mangkuk berisi potongan apel.

Wooseok bergumam, berjongkok di depan oven berisi ayam yang sedang dipanggang. “Dulu cuma yang biasa aja sih, tapi sejak ada Pyo, aku belajar karena satu dan lain hal,” jawabnya, tersenyum tipis.

Seungwoo melirik Wooseok, melihat senyuman yang tidak mencapai matanya yang berkilat getir. Ia menghela napas, menyingkirkan mangkuk dan mengangkat pasta yang sudah matang.

“Nggak apa-apa, Seok,” ucapnya, dan Wooseok menoleh ke arahnya. “Itu namanya bertahan hidup. Mungkin ada pahitnya, tapi kan paling nggak kamu bisa bikin pasta dari awal sama bikin pai apel yang enak.”

Bibir yang lebih muda tertarik lebih jauh, matanya sekarang ikut mengerling lembut. “Bener, sih. Kak Seungwoo sendiri suka masak nggak?”

“Suka-suka aja, tapi nggak seahli itu. Paling banter aku masak dessert.”

“Oalah, suka bangetnya apa dong?”

“Main bola sih, biar aku gak kaku gegara kerja kantoran,” Seungwoo terkekeh.

Wooseok menengok. “Oh, ya? Aku mau lihat dong kapan-kapan.”

“Malu ah, ga jago-jago banget.”

“Ya kata siapa harus jago?”

Seungwoo mendengus, mengedikkan kepalanya. “Ya udah, kapan-kapan ya.” Wooseok hanya membalasnya dengan cengiran.

Mereka pun melanjutkan memasak hingga sore. Wooseok mengambil ayam yang sudah berkilau dengan saus, menaruhnya di meja makan, lalu mengaduk pasta dengan saus tomat dan basil. Seungwoo sibuk menyusun apel yang sudah cokelat karena gula yang meresap di loyang, meletakkan puff pastry di atasnya, lalu memasukkan pai itu ke oven. Kemudian mereka berdua membuat sayuran yang ditumis sebagai side dish.

“Kak Woo,” panggil Wooseok, yang lebih tua menoleh. “Sisanya biar aku aja, di bawah sofa ada kardus isinya hiasan pohon natal. Temenin anak-anak hias pohon dulu ya nanti aku nyusul.”

Seungwoo mengangguk, lalu mengambil kardus yang berisi ornamen-ornamen lucu khas natal. “Anak-anak, kita hias pohon yuk?”

Jinwoo dan Dongpyo segera menghampirinya dengan antusias, mengambil gantungan dalam berbagai bentuk dan rumbai-rumbai yang mencolok. Seungwoo menggendong mereka bergantian untuk menggantung hiasan di pohon natal yang besar.

Beberapa menit kemudian Wooseok menyusul, baru selesai meletakkan semua makanan di meja makan. Hari sudah petang, maka ia menyalakan lampu tengah agar terang.

“Udah selesai hias pohonnya?” tanya model itu, melangkah mendekat.

Jinwoo mengangguk, “Udah, Pa! Tapi bintang di atasnya belom.”

“Siapa yang mau pasang?” tanya Seungwoo, memegang hiasan bintang sambil menatap anak-anak di sebelahnya. Dongpyo melihat Jinwoo, lalu keduanya mengangguk.

“Daddy atau Om Wooseok aja!” ujar Dongpyo. Seungwoo menoleh ke arah Wooseok, dan memberikan bintang di tangannya.

“Kok aku?”

“Kamu kan belum hias dari tadi,” ucap direktur muda itu, “Jadi kamu yang pasang aja.”

Wooseok tersenyum simpul, meletakkan bintang itu di puncak pohon. “Nah, selesai. Sekarang siapa yang mau makan?”

Semua orang di hadapannya mengangkat tangan.

Ia tertawa kecil. “Yaudah, yuk!”

Mereka duduk di meja makan, piring di hadapan dengan champagne untuk para ayah serta jus jeruk untuk anak-anak. Wooseok mengiris ayam yang matang sempurna, meletakkannya di piring masing-masing. Seungwoo sendiri mengambilkan sayuran dan pasta. Seraya makan mereka bercengkrama, menikmati santapan dan suasana hangat yang ada.

“Seok.”

Wooseok menoleh seraya mengunyah makanannya. “Ya?”

“Enak. Makasih ya,” ucap Seungwoo, tersenyum lembut. Ia mengambil ayam lagi, lalu memakannya dengan penne yang lezat.

Pipi Wooseok merona merah, senyuman manis nan tulus tersungging di wajahnya. “Sama-sama, Kak.”

Selesai makan, Wooseok mengambil kue dan pai apel yang masih hangat. “Jinu, Pyo, kalian mau kue atau pai?”

Kedua anak itu menatapnya dengan alis berkerut, berpikir keras.

“Atau mau dua-duanya aja?” tawarnya.

“Mau!” keduanya langsung menyambar, mata membulat antusias. Ia terkekeh, lalu menoleh ke Seungwoo yang mengangguk, dan memotongkan kue serta pai untuk mereka. Ia dan Seungwoo juga menikmati potongan masing-masing, merasakan enaknya pai yang asam-manis serta kue yang pekat.

Setelah semuanya licin tandas, Wooseok beranjak dari duduknya, hendak mencuci piring. Namun tangannya ditahan oleh Seungwoo. “Aku aja yang cuci piring, Seok. Kamu bawa anak-anak nonton gih.”

Wooseok membuka mulutnya untuk membantah, namun tatapan tajam Seungwoo tidak menyisakan ruang padanya untuk menolak. Maka ia menggiring Jinwoo dan Dongpyo ke depan televisi, menyetel The Avengers di DVD player—Bukannya memilih film natal, Jinwoo malah memilih film superhero favoritnya itu—Kemudian dibalutnya kedua anak itu dengan selimut agar tetap hangat. Tak lama kemudian Seungwoo datang dengan membawa cokelat hangat. Anak-anak ditempatkan di tengah, Wooseok dan Seungwoo duduk di pinggir kiri-kanan.

Sepanjang film Dongpyo dan Jinwoo berceloteh, diiringi tanggapan orang tua masing-masing—“Om Wooseok mirip Black Widow!” “Kalo Om Seungwoo mirip Thor!” “Mirip dari mana itu?” “Om Wooseok cantik terus keren! Kalo Daddy gede!” “Ini gede maksudnya gendut apa gimana?!!?”—dan sesekali menyesap cokelat hangat serta memakan camilan mereka. Wooseok dan Seungwoo tak berhenti tergelak karena tingkah lucu anak-anak itu.

Saat end credits akhirnya muncul di layar, Dongpyo dan Jinwoo beranjak dari duduk mereka dan kembali dengan kertas yang terlipat di tangan masing-masing.

“Ini hadiah buat Papa,” kata Jinwoo sambil memberi kertasnya pada Wooseok. Di samping mereka, Dongpyo juga melakukan hal yang sama pada Seungwoo.

Wooseok membuka kertas itu, dan melihat gambar dirinya, dan sebuah figur Captain America yang berada di depannya.

“Itu Jinu, Pa!” Jinwoo menunjuk sosok Steve Rogers yang berambut hitam alih-alih pirang. Wooseok tertawa kecil, mengacak rambut anaknya itu. “Jinu jadi pahlawan Papa?”

“Iya! Jinu bakal lindungin Papa dari penjahat!”

Mata Wooseok mengerjap berulang kali, menahan air mata yang ingin jatuh. Ia rengkuh Jinwoo dalam pelukannya dengan erat.

“Jinu lindungin Papa terus ya, Papa nggak bisa kalo nggak ada kamu.”

Anaknya itu balik memeluknya dengan sayang. “Pasti, Pa.”

Mereka berpelukan selama beberapa saat, dengan kecupan-kecupan manis yang mendarat. Saat melepas dekapannya, Wooseok dapat melihat Seungwoo yang juga menenggelamkan diri di puncak rambut Dongpyo, air mata mengalir di pipinya. Ruangan itu senyap, semua orang berada di pikiran masing-masing.

Seungwoo akhirnya mengangkat kepalanya, mengecup kening Dongpyo. “Ya udah, Pyo sama Jinu mau di sini, atau di kamar?”

“Di kamar Jinu aja, nanti kita mau gambar lagi!” ujar Dongpyo.

“Oke, tapi jam 10 udah tidur ya? Nanti Daddy sama Wooseok tengokin.”

“Siap!”

Dua anak itu pun melangkah pergi ke kamar di sudut lorong, kicauan mereka terdengar semakin samar.

Wooseok bangun dari duduknya, mengambil botol champagne dan gelas, lalu kembali ke ruang tengah. Ia isi gelas itu, memberikan satu kepada Seungwoo di sebelahnya. Direktur muda itu menerima gelasnya tanpa kata-kata, menyesap minumannya sedikit.

You okay?” tanya Wooseok, suaranya pelan dan lembut.

Seungwoo mengangguk. “Yep. Cuma agak emosional aja.”

“Dongpyo ngasih apa?”

Kertas yang serupa dari Dongpyo dibuka Seungwoo, menampilkan figur Iron Man, laki-laki yang sepertinya adalah Seungwoo, serta seorang malaikat berambut panjang dengan setangkai bunga pink di tangannya.

Wooseok tersenyum lembut. “Dia bikin dirinya jadi pahlawan juga? Kayaknya mereka janjian deh.”

“Tadi Jinu juga gambar Iron Man?”

“Captain America.”

“Oalah.”

Mereka terdiam lagi, merenung.

“Malaikat ini, siapa?” tanya Wooseok lagi. “Kalo kamu nggak mau cerita, nggak apa-apa Kak.”

Seungwoo beringsut mendekat, matanya menerawang. “Nggak apa-apa, Seok. Itu istri aku, or should I say, mantan istri.”

“Oh...”

“Dia udah nggak ada.”

Wooseok tercenung. “Oh... I’m sorry.”

“Makasih, Seok—um, can I tell you a story?” Wooseok mengangguk, tersenyum tipis.

“Boleh, Kak.”

Seungwoo menghela napas. “Dulu aku bukan ayah yang baik. Aku sama Jihyun—itu namanya—dijodohin, dan kita sepakat buat jalanin itu. Along the way, we conceived Dongpyo.

“Kita seneng banget, jujur. Tapi waktu itu kerjaan aku lagi naik banget, jadi aku sibuk, dan Jihyun harus jalanin semuanya sendiri. Setahun kemudian, dia divonis kanker payudara—stadium 4, nggak ada harapan.”

Seungwoo mendengus, champagne-nya ia minum lagi. Wooseok meletakkan tangannya di lengan yang lebih tua, terdiam seribu bahasa.

We did everything, pengobatan ini, perawatan itu. Tapi ya gimana, mungkin udah takdirnya, kan?

“Aku udah kalang kabut rawat Dongpyo pas masih bayi waktu itu. Bahkan aku kena baby blues, Seok, nangis terus, sering serangan panik dan rasanya susah buat sayang sama malaikat aku itu. Bahkan suatu saat aku teriak, marah ke Dongpyo karena tangisan dia berisik banget. God, he was a baby!

“Terus one day Jihyun minta cerai. Aku kaget banget, terus katanya dia mau pisahin hartanya dari harta aku, mau dimasukin tabungan buat Dongpyo. Karena kalo harta kita gabung, jumlah yang bisa ditabung lebih sedikit. Ya udah, aku setuju. Kita cerai, aku urus berkas-berkas. Terus ya... udah. Pengobatan terus jalan, aku terus dampingi. Tapi kurang lebih satu tahun kemudian, pas natal, dia udah nggak ada.”

Wooseok mengusap pipinya yang basah oleh air mata, menatap Seungwoo dengan matanya yang bulat.

“Kak Seungwoo—makasih udah cerita ini ke aku. Kakak kuat banget, kak, sekarang kakak ayah dan ibu yang baik buat Pyo. Baik banget.”

Seungwoo menoleh, tersenyum tulus. “Makasih, Seok. What I’m trying to tell you is we’re together in this single father mess. Apapun yang terjadi, kamu punya aku, aku siap bantu kapanpun. Kita sama-sama lewatin.”

“Iya, Kak. Makasih banyak.”

“Sama-sama.” jawab Seungwoo, mengelus kepala Wooseok dengan lembut.

Mereka terdiam lagi selama beberapa menit, melihat layar televisi yang mengulang film The Avengers.

“Kak Seungwoo,” cicit Wooseok, membuka suara.

“Iya, Seok?”

“Aku boleh cerita juga?”

“Boleh banget.”

“Tapi, um,” Wooseok menelan ludah, “Aku kayaknya bakal nangis. Natal juga... nggak terlalu baik buat aku.”

Seungwoo mengelus bahunya. “It’s perfectly okay, kalo dengan cerita bisa bikin beban pikiran kamu hilang mau sementara atau nggak, I’d be glad to listen.”

Wooseok mengangguk. “Okay, um, jadi... aku udah cerai dua tahun, Kak. Had Jinu one year before. Aku nikah sama temen kuliah, namanya Sujin. Kita nikah setelah wisuda, dengan tekad buat bangun hidup bersama.

“Tapi ya nggak semudah itu. Aku kerja serabutan dulu, membangun karir model aku dengan jadi freelance model di majalah dan iklan. Bayarannya nggak seberapa, dan dia juga susah dengan pekerjaannya sebagai pegawai kantor kecil.

“Di tengah kekacauan itu, satu keajaiban yang dulu aku anggap malapetaka datang: Sujin hamil. Kita belum siap secara finansial, masih tinggal di apartemen, dan Sujin sendiri... ya, nggak punya niat untuk punya anak di umur segitu.”

Wooseok menggenggam tangan Seungwoo erat, menghela napas panjang.

“Singkat cerita, Jinwoo lahir. Segala tenaga aku kerahkan buat bagi waktu antara kerja sama rawat dia. Aku sering nggak tidur karena habis kerja, aku harus timang Jinwoo sampai tidur, terus bangun malam-malam buat tenangin dia pas nangis.

“Sujin tadinya tetap ngasih dia ASI dan ngerawat bareng aku, tapi pas Jinwoo umur satu tahun, dia dipecat dari pekerjaannya karena kantornya pailit. Sejak itu dia mulai berubah—“

Suara Wooseok tercekat. Ia menelan ludah, menenangkan dirinya yang mulai gemetar. Seungwoo menatapnya sendu, jempolnya mengelus tangan Wooseok yang dingin.

“Sejak itu, dia mulai kasar, Kak. Aku sibuk banget waktu itu, dan Jinwoo lagi rewel-rewelnya. Dia—dia marah-marah, Kak, dan dia suka tampar atau pukul aku.

“Aku dulu terima aja, karena lagi kalut juga, nggak bisa berpikir jernih. Kepala aku isinya cuma menghidupi Jinwoo, harus ngasih makan Jinwoo, harus bawa pulang uang buat Jinwoo.

“Tapi Sujin nggak mau kooperatif, Kak. Dia malah mulai hambur-hamburin tabungan, dan sering minum-minum. Suatu saat dia pulang, maksa aku minum Everclear bergelas-gelas, terus—terus aku mabuk, kan. Terus dia—“

Seungwoo menggenggam kedua tangan Wooseok. “Seok, kalo kamu nggak mau lanjut, nggak apa-apa. Aku ngerti.”

“Terus aku dipaksa seks sama dia, Kak,” bisik Wooseok, isakan keluar dari mulutnya.

“Seok—“

“Aku mikir, Kak, harusnya aku nikmatin, kan? Itu istri aku sendiri, terus kenapa aku ngerasa kotor? Kenapa aku ngerasa... bahwa hal itu bikin aku ternoda?

“Hampir tiap malam dia pulang dalam keadaan mabuk dan marah, terus aku sampai harus berhenti kerja dulu karena aku takut Jinwoo kenapa-napa. Ada saatnya kita keluar, cari makan, terus aku malah dimarahin dan ditampar karena nggak becus. Aku dipukul di tengah jalan, Kak, dan nggak ada yang peduli. Semua orang cuma ngeliatin aja.

“Puncaknya, waktu itu aku lagi nenangin Jinwoo yang nangis pas tengah malam, christmas eve. Dia sakit, Kak. Terus tiba-tiba pintu ngejeblak terbuka, dan Sujin maksa ngerebut Jinwoo dari aku. Anak sialan, katanya. Gara-gara anak ini, semuanya berantakan, katanya.

“Aku cuma bisa nangis sambil peluk Jinwoo. Aku takut. Akhirnya aku maksa lari, keluar kamar. Jinhyuk, manajer aku, dulu dia tinggal di lantai bawah, sering aku titipin Jinwoo juga. Jadi aku ke bawah, serahin Jinwoo ke dia, terus ke atas lagi buat nenangin Sujin. Pas keatas, dia malah ngamuk, ngayunin botol kaca sampe pecah, terus gebukin aku pake itu.”

Wooseok tertawa getir.

“Aku nahan dia, tenangin dia. Sambil ditendang dan dipukul aku tahan dia. Terus akhirnya aku bilang, kita cerai. Udah, kita pisah, aku bawa Jinwoo dan kamu bisa hidup tenang.

“Aku langsung keluar kamar, ke tempat Jinhyuk, timang-timang anakku. Setelah beberapa hari aku urus surat cerai, tinggal di rumah orang tua aku. Terus ya udah, sidang, dan dengan segala perlakuan dia yang memberatkan, aku yang dapet hak asuh. Ya udah aku kerja serabutan dibantu Jinhyuk, dia baik banget Kak, dia rela jadi manajer aku. Aku nabung, nabung dan nabung, and here we are.”

Mereka bertatapan, terdiam. Wooseok hanya tersenyum sambil mengelap air matanya, sedikit terisak.

“Wooseok,” mulai Seungwoo, nadanya selembut sutra. “Makasih udah bangkit, ya. Makasih udah jadi ayah dan ibu yang sangat baik juga. You made it.”

Wooseok terkekeh. “Iya, Kak. Aku masih belum sembuh, tapi lagi berusaha kok.”

“Jalan pelan-pelan aja, Seok. Nggak usah buru-buru.”

“Iya, Kak. Makasih udah dengerin ya, aku cerita banyak banget padahal kita belum lama kenal.”

“Nggak apa-apa Seok, aku juga. Makasih udah percaya sama aku buat cerita ya.”

“Kakak juga.”

Wooseok merentangkan tangannya.

“Kak,” ia tersenyum tipis, “Hug?”

Seungwoo tersenyum.

Hug.”

Ia pun menyambut rentangan tangan itu, mendekap Wooseok dalam pelukan hangat—melepaskan satu atau dua tetes air mata lagi, mengapresiasi pencapaian mereka sejauh ini.

Setelah beberapa saat mereka melepas pelukan, hati lebih lapang setelah mengeluarkan gundah.

“Tengokin anak-anak, yuk? It’s 10.” ajak Seungwoo, bangkit dari duduknya. Wooseok mengangguk setuju, mengikuti yang lebih tua menuju kamar anaknya.

Saat pintunya dibuka perlahan, terlihat Dongpyo dan Jinwoo yang tertidur lelap di atas kasur, krayon dan kertas bertebaran di sekitar mereka. Wooseok hanya tersenyum lembut, membiarkan Seungwoo merapikan buku dan krayon itu seraya ia menyelimuti bocah-bocah itu dengan selimut tebal.

“Seok,” bisik Seungwoo, dan ia menoleh. “Lihat.”

Direktur muda itu memegang sebuah kertas gambar, dengan goresan krayon membentuk empat orang bergandengan—dua ditengah berukuran kecil dan dua di pinggir besar. Di sekitarnya terdapat padang rumput dengan bunga, awan, dan matahari. Ada panah yang menunjuk orang-orang itu dengan tulisan “Papa”, “Daddy”, “Jinu” dan “Pyo.”

Wooseok tersenyum simpul, melihat lekat-lekat gambar itu.

“Sama-sama berjuang jadi ayah dan ibu ya, Kak.” bisiknya. Seungwoo mengangguk.

“Selalu.”

Mereka pun meletakkan kertas itu di nakas, kemudian keluar diam-diam. Setibanya di ruang tengah mereka berdua duduk di sofa, bergelung dalam selimut dan mengobrol hingga tengah malam.

Dan ketika omongan mereka sudah kabur dan mata sudah sayu, mereka mendekap satu sama lain—sebagai dua insan yang saling berbagi kehangatan.

“Kak Seungwoo,” bisik Wooseok, menatap Seungwoo.

“Hm?”

“Selamat natal, Kak. Paling nggak natal tahun ini baik sama kita.”

Seungwoo tertawa kecil. “Selamat natal, Wooseok.”

Mereka terlelap di depan televisi yang masih menyala, dengan lampu pohon natal yang berkelip bagai bintang dan salju yang turun di luar.

Natal tidak selalu baik untuk Seungwoo dan Wooseok.

Namun setidaknya, kali ini mereka dapat melewati natal itu bersama, dan itu lebih dari cukup.

Wooseok membuka matanya saat sinar matahari pagi menimpa. Ia mengerjap sekali, dua kali, lalu meregangkan tubuhnya yang kaku. Ditatapnya Jinwoo yang terlelap di pelukannya—tadi malam anak itu meminta untuk tidur bersamanya, dan siapa Wooseok untuk menolak? Maka mereka pun tidur lelap tadi malam, setelah Wooseok membacakan cerita dari buku Franklin favorit Jinwoo.

Ia merengkuh anaknya yang mulai terbangun juga, mengecup puncak kepalanya. Jinwoo perlahan membuka mata pula, menatapnya namun belum benar-benar sadar.

“Papa?” cicit Jinwoo pelan.

“Pagi, sayangnya Papa,” jawab Wooseok, tersenyum sumringah. “Selamat natal.”

“Mmm, selamat natal...” Jinwoo terdiam sejenak, lalu membelalak. “Natal?!” serunya.

Wooseok mengangguk. “Iya, ini hari natal.”

“Natal!” seru Jinwoo lagi. Ia bangkit dari posisinya, lalu melompat turun dari tempat tidur. “Natal, Papa! Ayo siap-siap nanti Pyo sama Om Seungwoo kan mau dateng!”

Wooseok terkekeh, lalu ikut bangkit. “Oke, sayang. Tapi kita sarapan dulu ya?”

“Oke!”

Mereka pun berjalan ke ruang makan, bersiap untuk sarapan. Wooseok membuat french toast dengan butter yang meleleh, dilengkapi gula tabur yang manis. Ia pun makan berdua dengan Jinwoo, menikmati sarapan ringan pagi itu. Sambil makan, ia membalas pesan Seungwoo yang ternyata sudah berada di supermarket, mengirimkan link berisi bahan-bahan yang perlu dibeli.

“Jinu, nanti bantuin Papa siapin rumah buat Kak Seungwoo sama Dongpyo ya? Temen-temen kamu kan bertebaran di sofa tuh, nanti dibarisin oke?” tanya Wooseok sambil mengunyah rotinya.

Jinwoo mengangguk. “Oke, Papa! Nanti pas Papa masak aku ngapain?”

Wooseok bergumam sejenak, lalu menjawab. “Kamu jadi tester masakan Papa aja sayang, biar nggak ada yang nggak enak. Sama kamu pilih film buat nanti malem kita tonton.”

“Siap, Pa!”

Setelah makan, Jinwoo pun pergi ke ruang tamu dan mulai membariskan teman-temannya, yang merupakan banyak boneka dalam berbagai rupa dan bentuk.

Wooseok pun bangkit juga, pergi ke kamarnya dan mengeluarkan bingkisan hadiah dari lemari. Ia berjalan kembali ke ruang tamu, menghampiri Jinwoo yang telah menata bonekanya dengan rapi.

“Wah, udah rapi,” ujarnya senang. Jinwoo menoleh, nyengir bangga.

“Iya dong, Pa!”

“Yaudah, sini dulu,” Wooseok pun duduk di karpet, meminta Jinwoo untuk menghampirinya. Anaknya itu langsung duduk di sebelahnya, matanya membulat penasaran.

“Nih, Papa punya hadiah buat kamu,” ucap Wooseok. “Selamat natal ya, sayang.”

“Wah! Makasih, Papa!”

Jinwoo tersenyum lebar, mengambil bingkisan besarnya. Ia pun dengan antusias langsung membuka kertas kado yang membalut hadiahnya, sesekali dibantu Wooseok.

Saat kertasnya telah terbuka, terlihat kado-kado yang Wooseok siapkan—onesie Captain America yang lucu, satu set buku gambar dan krayon, serta sebuah sweater tebal berwarna merah marun.

“Papa! Kok tau Jinu pengen yang punya Captain America?!” pekik Jinwoo takjub, mengangkat piyama barunya itu.

“Tau dong, Papa sama Kak Seungwoo kan suka cerita-cerita,” jelas Wooseok. Jinwoo dengan sigap memakai onesie itu, lalu mengambil buku gambar dan krayonnya. Ia menatapnya dengan mata berbinar, melihat kertas putih bersih di setiap lembar dan krayon baru yang mengilap.

“Nanti Jinu mau gambar Papa, ah!” ujarnya riang, disambut anggukan Wooseok. Selanjutnya ia mengambil sweater kecil yang terbuat dari rajutan wol, terasa lembut dan sedikit usang di tangannya.

“Ini apa, Pa?” tanyanya.

Wooseok tersenyum, mengusap sweater itu. “Ini dulu dikasih sama kakek buat Papa. Sekarang ini buat kamu, jadi dijaga baik-baik ya.”

Jinwoo menatap sweater itu lekat-lekat. “Pasti, Pa!” serunya dengan penuh tekad. Wooseok hanya tertawa kecil, mengelus kepala anaknya. “Iya, Papa yakin Jinu bakal jaga kok.”

Setelah beberapa saat, Wooseok beranjak dari duduknya, hendak membuang kertas kado lalu mulai memasak. Namun, langkahnya terhenti saat Jinwoo bersuara lagi.

“Papa, Mama gak ngucapin natal ke kita?” tanyanya polos.

Deg.

Seketika tubuh Wooseok menegang, rasa panas dingin terasa di dadanya. Napasnya mulai sesak, dan tangannya gemetar. Ia memejamkan mata, berusaha mati-matian untuk menahan serangan paniknya.

Tenang, Wooseok, tenang. Nanti Jinwoo lihat.

Perlahan, ia berbalik badan dan tersenyum (ia bahkan tidak tahu senyumnya benar atau tidak). “Jinu mau telepon Mama?” balasnya.

“Mau, Pa.”

Wooseok mengangguk, menelan ludah. Ia berbalik badan lagi—membelakangi Jinwoo—mengambil ponselnya dan mencari satu kontak yang telah diblokirnya, hanya ia unblock saat Jinwoo ingin bicara seperti ini.

Tangannya yang dingin menyusuri daftar kontak, hingga menemukan yang dia cari. Dengan gemetar ia tekan tombol call berwarna hijau, sedetik kemudian layar menunjukkan tanda tersambung. Ponselnya ia letakkan di telinga, menunggu.

Moon Sujin Dialing...

Klik.

Halo?

Oh tidak. Suara itu, tidak, tidak!

Tapi Jinwoo mau bicara, Wooseok. Ayo kuat sebentar.

Ia menghela napas, lalu menjawab.

“Sujin, ini Wooseok.” katanya pelan.

Iya, gue tau. Kenapa?” jawab mantan istrinya itu dengan tidak acuh.

Wooseok melirik Jinwoo yang menunggu sambil menggambar di buku barunya. Sujin tidak berubah—masih acuh, masih tidak sadar. Rasanya ingin menutup telepon, tapi ia harus mengabulkan permintaan anaknya.

“Jinwoo mau ngomong, lo- lo ucapin natal, ya?” pintanya ragu.

Hah?” wanita di sisi lain telepon itu memekik, nadanya tidak senang. “Ngapain? Bukannya lo udah bikin dia lupa sama gue?

Wooseok terkesiap, mendesis dengan suara pelan. “Ya nggak lah, gue gapernah kayak gitu! Lo jangan membual gitu. Udahlah cuma ucapan natal aja susah banget, masa lo gak bisa baik barang sedetik aja?”

Mantan istrinya mendecak kesal. “Yaudah, sini anaknya.

“Jangan macem-macem, Sujin.”

Nggak! Yaelah lo mau apa nggak?

“Iya, iya.”

Wooseok pun menghampiri Jinwoo, menyodorkan ponselnya. “Nih, sayang. Ngomong sama Mama.”

Jinwoo mengambil ponsel dari tangan Wooseok. “Halo, Mama! Selamat natal!” ujarnya riang. Ia mengangguk-angguk, menanggapi entah apa yang diucapkan Sujin.

“Iya Ma, Jinu dikasih banyaak hadiah sama Papa! Nggak papa nanti Jinu sama temen! Iya, Jinu sayang Mama! Daaah Mama!”

Beberapa saat kemudian Jinwoo menyerahkan ponsel itu lagi ke Wooseok, dan saat dilihat ternyata Sujin sudah mematikan teleponnya. Wooseok hanya menghela napas, bersyukur ia tidak perlu berbicara lagi dengan wanita itu.

“Mama bilang apa, sayang?” tanyanya.

Jinwoo menjawab seraya lanjut menggambar di buku barunya. “Mama bilang maaf nggak bisa ketemu. Terus nanya Jinu natal sama siapa.”

“Oalah oke, kalo gitu Papa masak dulu, ya? Jinu main di sini aja, panggil Papa kalo ada apa-apa.”

“Iya, Pa!”

Wooseok pun beranjak dan memasuki dapur. Ponselnya diletakkan di atas salah satu kabinet, kemudian ia memasang celemek agar bajunya tidak kotor. Tangannya masih agak gemetar, dan kepalanya masih kusut dengan memori yang tidak ingin ia ingat.

Sudah, Wooseok. Itu dulu, bukan sekarang. Ayo kuat.

Namanya saja yang Mama, tapi di sini, kamulah ibu yang sebenarnya.

Kuat, Wooseok. Kuat.

Ia menghela napas berulang-ulang, menenangkan diri, lalu membuka kulkas untuk memulai masak. Ia keluarkan ayam utuh, garam dan lada, jeruk sunkist, rempah-rempah dan herba untuk ayam panggang. Dibalurnya ayam itu dengan bahan-bahan untuk dimarinasi, lalu didiamkan agar menyerap. Ia juga menyiapkan campuran untuk saus cranberry dan kulit pai untuk apple pie nanti.

Selama menunggu, ia berkirim pesan dengan teman-teman satu circle-nya yang sedang natalan dengan keluarga (dan kekasih) masing-masing, bercengkrama tentang pekerjaan dan liburan. Ia juga menceritakan tentang Sujin tadi, berhubung hanya teman-temannya yang tahu.

Setelah menunggu beberapa menit, ia memasukkan ayam itu ke oven, dan mulai membuat pasta penne. Dicampurnya tepung, telur, gula dan garam, lalu diuleni sampai padat dan dibentuk jadi silinder.

Di tengah-tengah membentuk pasta, ponselnya menyala, menampilkan notifikasi. Ia cuci tangannya, lalu melihat pesan yang masuk.

Seungwoo 2.17 PM seok aku didepaan

Me 2.17 PM oke bentar kak

Natal tidak selalu memberi kenangan baik bagi Wooseok.

Tapi mungkin—mungkin, tahun ini natal bisa sedikit berbaik hati.

Semoga seperti itu.