longlivecsy

“Daddy! Bangun!”

“Daddy!”

“Daddy udah natal ayo bangun!”

Seungwoo membuka matanya, mengerjap agar pandangannya fokus. Sepersekian detik kemudian ia lihat Dongpyo di sebelahnya, mengguncang-guncang bahunya. Ia tersenyum, memeluk anaknya itu.

“Daddy!” seru Dongpyo lagi, memeluknya balik. “Selamat natal!”

Kening anaknya itu Seungwoo cium lembut, tersenyum sumringah.

“Selamat natal, kesayangan Daddy,” ucapnya. Dongpyo tertawa senang, lalu turun dari tempat tidur. Seungwoo mengekor di belakangnya, berjalan menuju ruang tengah.

Ia gendong Dongpyo dan mendudukkannya di sofa depan televisi. “Oke, karena ini natal, Pyo boleh nonton kartun sepuasnya sampai nanti kita berangkat, ya,” ujarnya, disambut pekikan riang Dongpyo yang langsung mengalihkan pandangannya ke TV yang menyala.

Seungwoo terkekeh, lalu pergi ke dapur untuk memasak sarapan. Ia mengambil telur, tepung, susu, mentega dan baking powder, lalu mulai mencampurnya dalam mangkuk. Setelah itu ia menuangkannya ke teflon dan mulai membuat panekuk.

Setelah selesai, ia letakkan panekuk di piring, menambahkan potongan buah, whipped cream dan sirup mapel yang manis. Dibawanya piring itu ke ruang tengah, lalu duduk di sofa.

“Pyo, sarapan dulu ya, sayang?” katanya lembut, menyodorkan potongan panekuk.

“Iya, Daddy!” Dongpyo dengan patuh membuka mulutnya, mengalihkan perhatian dari layar televisi untuk melahap makanannya. Seungwoo dengan sabar menyuapi anaknya sambil memakan panekuknya sendiri, ikut menonton kartun. Ia tersenyum—liburan akhirnya datang, ia bisa sarapan bersama anaknya, dan ia mempunyai rencana manis untuk hari natal ini.

Makanan mereka pun habis. Seungwoo mengecup dahi anaknya yang sedang asyik meminum susu dari sippy cup yang dibuatnya tadi setelah mencuci piring. Diam-diam ia ambil bungkusan hadiah di bawah sofa yang telah ia letakkan dari malam.

“Pyo,” ucapnya sambil menyodorkan tiga kado, “Selamat natal, sayang. Ini kado dari Daddy.”

Dongpyo memekik senang, meletakkan sippy cup-nya dan memeluk ayahnya kencang. “Daddy! Hadiah buat Pyo?”

Seungwoo mengangguk. “Iya, sayang. Mau dibuka sekarang?”

Dongpyo balas mengangguk antusias, mengambil salah satu kado. Ia buka dengan hati-hati, mengeluarkan sebuah boneka Snoopy yang lucu.

“Daddy!” serunya, memeluk boneka itu. “Lucu banget, Snoopy, Daddy!”

“Buat nemenin kamu kalo Daddy lagi nggak bareng kamu, Pyo,” jelas Seungwoo, mengelus kepala anaknya dengan sayang. Dongpyo mengangguk, tersenyum sumringah. “Kamu nggak mau lihat kado yang lain, hm?” lanjutnya.

Dongpyo pun mengambil kado yang kedua, yang berisi onesie Iron Man lembut dan hangat. Ia memekik lagi, membentangkannya.

“Nanti kamu samaan sama Jinu, dia punya yang Captain America, kan?” ujar Seungwoo.

“Iya, Daddy! Pyo boleh pake ke rumah Jinu, ya? Boleh ya?” tanya Dongpyo dengan antusias.

Seungwoo tersenyum. “Boleh, sayang. Tapi nanti pas keluar dirangkap mantel, ya. Soalnya hari ini dingin.”

“Oke, Dad!”

Dongpyo pun meletakkan onesie-nya dan membuka kado yang terakhir, yang ukurannya paling kecil. Ia robek kertasnya perlahan sampai lepas semua, memperlihatkan album foto kecil yang manis. Dibukanya album itu, dan terlihat foto-foto ia dan Seungwoo, fotonya saat bayi, Seungwoo saat masih remaja—

—dan foto seorang wanita anggun dan cantik, berdua dengan Seungwoo menggunakan gaun pengantin yang indah dan tuksedo putih rapi. Ada juga fotonya sedang mengelus perutnya yang membesar, dan fotonya saat menimang Dongpyo.

“Mommy,” cicit Dongpyo, lalu terdiam sejenak.

Seungwoo merengkuh buah hatinya itu, mengecup puncak kepalanya. “Iya, sayang.”

“Kangen mommy, Dad,” ucap Dongpyo, suaranya nyaris tak terdengar.

“Daddy juga kangen, sayang,” Seungwoo tersenyum tipis. “Makanya nanti kita ke tempat Mommy, ya?”

“Iya...” Dongpyo melihat-lihat album foto itu sekali lagi, lalu menutupnya.

Seungwoo memeluk anaknya erat, membiarkan Dongpyo menenggelamkan diri di dadanya, terisak sedikit. “Daddy sayang banget sama kamu, Pyo.”

“Pyo juga sayaaaang banget. Makasih, Daddy,” sahut Dongpyo pelan, mengangkat kepalanya. Seungwoo mengusap air mata dari pipi anaknya itu, mencium keningnya.

“Sama-sama, sayang. Oh iya, habis ini kita mandi ya? Terus belanja dulu, ke tempat Mommy, baru ke rumah Jinu.”

Dongpyo mengangguk, memainkan bonekanya di sofa. Seungwoo pun pergi untuk menyelesaikan packing, kemudian menyiapkan baju Dongpyo untuk pergi nanti. Nampaknya hari ini akan cukup dingin, bahkan kabarnya akan turun salju, maka ia siapkan baju tebal dan mantel untuk ia dan anaknya. Setelah semuanya siap, ia membantu Dongpyo mandi dan memakaikan onesie yang telah disiapkan.

“Pyo, kamu pake mantel sini,” katanya. Dongpyo menghampirinya dan ia pun memakaikan mantel tebal itu. Saat selesai, ia gendong anaknya menuju kursi mobil. Seungwoo pun memasukkan tas berisi perlengkapan mereka, mengunci rumah dan berangkat ke supermarket.

Sesampainya di supermarket, Seungwoo mengambil troli dan mendudukkan Dongpyo di tempat duduk khusus anak. Sebelum berjalan ke rak-rak barang, ia membuka ponselnya dan mengirim pesan ke Wooseok.

Me 10.30 AM seok, aku udah di supermarket

mau beli apa aja?

Wooseok 10.30 AM beli bahan2 buat cranberry sauce, apple pie sama sayuran kak

[link attached]

itu resepnyaa, beli yang disitu aja semuanya

Me 10.31 AM oke seok

Ia pun mulai mengambil bahan-bahan yang dicantumkan Wooseok—apel segar, buah cranberry, gula merah, wortel, kubis, dan lain-lain—lalu mengantar Dongpyo ke tempat camilan.

“Boleh ambil apa aja Pyo, tapi nanti bagi-bagi sama Jinu ya,” pesannya.

Dongpyo mengangguk, lalu mulai menunjuk (dan mengambil) camilan-camilan yang banyak. Ada berbagai macam keripik, cokelat hingga permen. Seungwoo hanya mendengus geli, dulu ia dan kakaknya juga sering diam-diam mengambil permen untuk dimakan pada tengah malam.

Belanja mereka pun selesai, dan Seungwoo membawa troli ke kasir untuk membayar. Lalu ia pergi ke bakery kecil di dekat supermarket untuk membeli christmas cake, dan wine bar di sebelahnya untuk membeli sebotol champagne.

Setelah itu, ia membawa belanjaan ke parkiran dan mulai memasukkannya, kemudian masuk ke mobil bersama Dongpyo. Seraya menyalakan mesin, ia kembali mengabari Wooseok.

Me 11.43 AM seok, aku udah selesai belanja tp mau mampir tempat lain dulu

nanti aku kabarin kalo udah jalan ke rumah kamu ya

Wooseok 11.45 AM oke kak, aku juga masih masak

Me 11.49 AM oke, seok

Ia pun tancap gas keluar dari supermarket. Selama perjalanan ia dan Dongpyo bersenandung bersama, menyanyikan lagu natal yang diputar oleh stereo mobil.

It's beginning to look a lot like Christmas Toys in every store...”

But the prettiest sight to see is the holly that will be on your own front door!

Seungwoo tersenyum lembut, melihat anaknya yang tersenyum sumringah dari kaca spion. Ia pun berbelok ke toko bunga.

“Pyo, kita beli bunga dulu buat Mommy, yuk?” ajaknya.

“Oke Dad!” Dongpyo pun digendongnya turun, lalu mereka bergandengan memasuki toko bunga. Di dalam, mereka berkeliling mencari bunga yang pas. Dongpyo berjalan kesana kemari memilih bunga, mencium wanginya, dan melihat warnanya.

Dongpyo akhirnya memutuskan untuk membeli bunga krisan dan lily putih, sedangkan Seungwoo membeli setangkai carnation berwarna pink. Mereka pun membayar, dan melanjutkan perjalanan.

Sepanjang jalan, mereka berdua lebih banyak terdiam—ia tenggelam dalam pikirannya, dan Dongpyo asyik memainkan boneka Snoopy barunya. Musik yang mengalun jadi satu-satunya suara yang memenuhi mobil.

“Pyo, kita udah sampe,” ucap Seungwoo. Anaknya itu mengangguk, dan ia pun mematikan mesin. Seungwoo mengeratkan mantel anaknya itu, memakaikan syal dan topi kupluk. Kemudian mereka keluar dan berjalan, buket bunga dipegang erat oleh Dongpyo.

Akhirnya mereka pun sampai di tujuan.

Tiba di makam rapi dengan pusara berwarna putih yang sedikit kusam.

Nisan yang tertanam berhias tulisan rapi:

Rest In Peace, our loving daughter, wife and mother. Shin Jihyun April 6, 1994 – December 25, 2017

Dalam diam, ia dan Dongpyo berlutut di samping makam itu, memanjatkan doa dalam hati.

“Halo, Mommy,” mulai Seungwoo, setelah mereka selesai berdoa. “Dongpyo sama Seungwoo datang lagi.”

Dongpyo terisak sedikit, mengusap air mata dari pipinya. Seungwoo dengan tenang merangkulnya erat, penuh kasih sayang, penuh cinta.

“Mo—Mommy, Pyo sama Daddy bawa bunga. B- buat Mommy c- cantik.” dengan gemetar, Dongpyo meletakkan buket yang dibawanya di depan nisan. “Selamat natal, Mommy.”

Seungwoo tersenyum, matanya berkilat pilu sambil meletakkan carnation-nya.

“Selamat natal, Jihyun,” katanya pelan. “Selamat bersenang-senang di surga.”

“Pyo kangen banget, Mom,” ucap Dongpyo lagi, menggenggam tangan Seungwoo. “Tapi Pyo udah besar sekarang, bisa jagain Daddy. Mommy gak perlu khawatir, ya.”

Mata Seungwoo berkaca-kaca, dan ia menahan setengah mati agar tidak mengalir ke pipi. Dongpyo-nya, malaikatnya. Harus tumbuh besar sebelum waktunya, bahkan sudah mau menjaganya.

Daddy yang bakal jaga kamu sampai badan ini jadi debu, Pyo.

Mereka pun terdiam beberapa saat lagi, lalu bangkit. Seungwoo mengangkat Dongpyo dalam gendongannya, menatap makam itu lekat-lekat. Menatap nama yang dulu bernyawa, mengenang memori yang ada.

Menguatkan diri untuk menjadi ayah dan ibu bagi semesta di rengkuhannya.

“Pamit sama Mommy, Pyo,” ujar Seungwoo.

Dongpyo menarik napas, alisnya berkerut, namun bibirnya membentuk senyuman tipis. Ia lambaikan tangannya yang berbalut sarung tangan wol.

“Dadah, Mommy.”

“Dadah Mommy, kita pamit ya,” ucap Seungwoo. “Kita balik ya Pyo?”

Anaknya mengangguk, dan ia pun melihat makam itu untuk sekali lagi, lalu berbalik dan berjalan pergi.

Seraya melangkah, butiran salju putih dan dingin mulai jatuh. Seungwoo menengadahkan kepalanya, mendekap Dongpyo erat agar tidak kedinginan.

“Salju, Daddy,” ucap Dongpyo yang juga melihat ke langit.

“Iya, sayang,” kata Seungwoo, “Mungkin ini Mommy yang turunin. Dia kan suka banget white christmas.”

Dongpyo tersenyum, menenggelamkan kepala di ceruk leher Seungwoo. “Makasih, Mommy,” ucapnya pelan. Seungwoo mengelus kepala anaknya, tersenyum lembut.

Mereka pun sampai di mobil. Seungwoo menyalakan mesin dan heater agar mereka tetap hangat, lalu berangkat dari pemakaman. Ia kirim pesan ke Wooseok, mengabarkan kalau ia sudah berangkat.

Me 1.58 PM seok aku otw rumah kamu

Wooseok 2.00 PM oke kak, nanti bantuin aku masak ya hihi

jinu udah gasabar mau ketemu pyo

Me 2.00 PM siaap

haha okee kita bakal sampe sekitaran 20 menit dari sekarang ya

Wooseok 2.00 PM okeey!

“Pyo siap berangkat ke rumah Jinu?” tanyanya, nyengir.

“Siap, Daddy!” sahut anaknya yang telah kembali semangat.

Seungwoo kembali berdendang bersama Dongpyo di mobil, tersenyum seraya ia menatap jalanan yang berhias salju dan orang-orang yang berlalu-lalang.

Selamat natal, Jihyun.

Tenang saja, aku akan berusaha jadi ayah dan ibu yang baik.

Kamu yang bahagia, ya.

Semoga aku dan Dongpyo akan terus bahagia pula.

Tubuh mereka bertubrukan ke dinding keras setelah pintu terbuka, menghadap satu sama lain. Seraya tangan menggerayangi tubuh lawan main, bibir mereka bercumbu panas—menjamah, memagut dan menjilat sudut dan celah yang bisa dicapai, membuat desahan penuh nikmat memenuhi ruangan.

“A—ah, Seonghwa-hyung,” pemuda yang memunggungi dinding mendesah, badannya bergerak sintal mencari sensasi dengan pria di depannya.

Pria di hadapannya menarik rambutnya dengan cukup keras, membuatnya merintih kesakitan (atau nikmat?) dan langsung menyerang lehernya yang jenjang, menjilat, menghisap lalu mengecup kulit pucat itu sampai muncul semburat kemerahan yang mencolok.

“Kenapa, Seungwoo-ah?” tanya Seonghwa pada pemuda yang bernama Seungwoo itu, matanya melirik tajam wajah tampan yang sekarang memejamkan mata, tenggelam dalam sentuhannya.

“P—ah,” Seungwoo melingkarkan tangan di lehernya, “Pindah ke kamar. Ayo, sebelum Jaebum-hyung datang,” pintanya.

Seonghwa mendengus geli. “Siapa kamu main perintah-perintah aja, hm?” tanyanya seraya mengangkat paha Seungwoo yang langsung melingkar di pinggangnya, lalu berjalan menuju kamar sambil tetap mencumbu pemuda dalam gendongannya.

Sesampainya di kamar ia hempaskan Seungwoo di kasur, lalu menindihnya dan mulai melucuti pakaiannya, yang sebetulnya hanya sebuah kaus tipis dan celana kain lebar—pemuda itu bahkan tidak mengenakan celana dalam, dasar jalang—seraya melumat bibirnya hingga merah, basah dan bengkak.

“Hng, hyung, ah—ah!” Seungwoo mendesah dengan keras kala tangan Seonghwa menyentuh puting merah mudanya, memilin, mencubit dan menariknya hingga tegang. Mulutnya pun langsung menempel ke pucuk yang mengeras itu, menjilat dan menyesapnya seperti bayi yang hendak menyusu.

Tangan Seungwoo memegang kepalanya, menekannya lebih dalam seraya dadanya membusung. Pinggul pemuda itu bergerak tanpa henti, menggesekkan penisnya yang mulai ereksi pada selangkangan Seonghwa yang masih terbalut celana jeans.

“Heh, nanti kotor celananya,” Seonghwa menampar paha Seungwoo dengan keras, membuat pemuda di bawahnya tersentak dan merintih kesakitan.

Hy—hyung. Sentuh aku, sentuh Woo, hng—tolong, please, nggak tahan,” rintih Seungwoo, matanya menatap penuh harap. Seonghwa pun mendengus, menampar pahanya sekali lagi, dan Seungwoo pun sekali lagi tersentak.

“Sentuh kamu?” desis Seonghwa, mulutnya tersenyum mengejek. “Kamu, Seungwoo? Yang datang ke showcase di klub pake kaos dan celana kain yang saking tipisnya semua orang bisa lihat outline penis kecil kamu dan pantat kamu yang disumbat butt plug? Nggak pake apapun di dalamnya pula? Dan kamu minta disentuh?”

Seungwoo mengangguk pelan, menggigit bibirnya. Mukanya merona, matanya kian sayu mendengar kata-kata yang merendahkan dirinya itu. “Y—yes, yes, please,” mohonnya sekali lagi.

You’re a brat, Seungwoo,” tukas Seonghwa, “A brat and a fucking slut, that is. Kamu suka ya semua orang ngeliatin kamu dengan nafsu gitu? Mau disetubuhi satu-satu, mau jadi cumdump, gitu ya?” ejeknya.

Seungwoo mendesah, badannya merinding mendengar ejekan itu. Cairan precum keluar dari penisnya, mulai menggenang di atas abdomennya. Seonghwa perlahan menjauh, membuka kaus dan melemparnya ke sembarang arah. Ia pun duduk di tepi kasur, mengambil ponselnya yang berada di saku celana.

“Malah keenakan, lagi,” Seonghwa mendengus, mengarahkan kamera ponsel ke arah Seungwoo, “Touch yourself. Take that plug and use it. I’ll let Jay see how much of a slut you are tonight.” perintahnya.

“H—hng,” Seungwoo menelan ludah, melebarkan kakinya. Tangannya meraih butt plug yang tersemat rapi dalam analnya, merintih saat sedikit sentuhan yang diberinya membuat tubuhnya gemetar penuh nikmat. Digenggamnya ujung plug itu, mengeluarkannya sedikit, lalu menghujamkannya kembali ke dalam.

Ia mendesah tak putus-putus, mengulang-ulang gerakannya—plug itu terus mengenai prostatnya yang sensitif, membuat badannya menggelinjang nikmat. Tangannya yang bebas meraih penisnya yang terbengkalai, hendak menyentuhnya, namun tatapan tajam Seonghwa menyebabkan Seungwoo untuk berhenti.

Who said you can touch yourself?” tanya Seonghwa sinis. “Lebarin lagi kakinya, sayang. Kasih lihat Jaebum-hyung.”

Seungwoo pun menurut, melebarkan kakinya hingga ia bisa merasakan ototnya tertarik, tangannya semakin cepat menggerakkan butt plug-nya. Rengekan dan desahan keluar dari mulutnya tanpa henti.

What have you been today, Seungwoo-ah?” tanya Seonghwa, melanjutkan rekaman videonya.

“Aku—hhhng,” Seungwoo menelan ludahnya yang mulai tumpah ke dagu dan lehernya. “J—jalang, hyung. I’m a s—slut, hng, I’ve—ah, I’ve been b- bad, hyung.

“Betul. Haus mau disentuh, ya? Mau semua orang pake kamu, ya?”

“Iya, hhh, iya, hyung,” jawab Seungwoo lemah, tetap memainkan plug-nya.

Seonghwa menghentikan rekamannya, membuka kontak Jaebum di KakaoTalk dan mengirim videonya barusan. Selang beberapa detik setelah dikirim, tanda 1 di pinggir video menghilang—tanda Jaebum sudah menontonnya.

Benar saja, tak lama kemudian ponselnya berbunyi, menampilkan notifikasi dari Jaebum.

Park Jaebum fuck omw

Seonghwa mendengus geli, beranjak dari tempatnya dan menempatkan diri di atas Seungwoo, mengarahkan kameranya ke wajah pemuda itu.

“Seungwoo, ayo pose buat Jaebum-hyung,” perintahnya, dan Seungwoo langsung menurut—tersenyum lugu, matanya menyipit lucu dengan pipinya yang memerah dan liur yang membasahi dagunya.

Seonghwa pun memotret wajah yang sudah kacau itu, mengirimnya ke Jaebum dengan pesan “waiting” tersemat di bawahnya.

Ia meletakkan ponselnya di nightstand, lalu menghampiri Seungwoo dan memegang pinggangnya. “Balik badan, sayang. Present yourself for me, c’mon,” titahnya.

“Hng, hyung,” Seungwoo pun mengubah posisinya, menungging dengan pantatnya diangkat tinggi dan bagian atas tubuhnya menempel ke kasur. Plug-nya masih tertanam di lubangnya, penisnya menggantung menyedihkan dengan cairan precum yang menetes ke sprei.

Seonghwa terkekeh, menampar pantat kanan Seungwoo dengan keras. Yang ditampar sontak mengerang, badannya meronta ingin menghindar.

Pathetic little slut,” ucap Seonghwa, menepuk-nepuk butt plug dan perineum yang lebih muda, membuat Seungwoo merengek dan lubangnya yang sensitif berkedut. Ia menampar pantat kiri Seungwoo kali ini, membuat yang lebih muda tersentak lagi.

“S—Seonghwa-hyung, touch, hng, touch me, p- please,” rengek Seungwoo, menggoyangkan pantatnya. Seonghwa memegang ujung butt plug, mengeluarkannya dalam satu sentakan. Ia langsung mengisi anal Seungwoo lagi dengan jarinya, tak memberikan jeda sedikitpun.

Seungwoo mendesah saat dua jari Seonghwa menstimulasi dindingnya, meraba prostatnya seraya perineumnya ditekan oleh yang lebih tua dengan jempolnya. Lubangnya berkedut, melebar dan menyempit seakan menghisap jari di dalamnya itu.

Tiba-tiba pintu menjeblak terbuka, dan Jaebum melangkah masuk ke ruangan. Seonghwa menoleh selagi melanjutkan stimulasinya, sedangkan Seungwoo nampaknya tidak menyadari kedatangan CEO AOMG itu.

Slut’s a mess already, huh?” tanya Jaebum sambil membuka kausnya, memperlihatkan tato yang menghiasi leher, dada, dan lengannya. Ia lepas pula celananya hingga tersisa boxernya saja.

Seonghwa mengangguk, mengeluarkan jarinya dan menepuk lubang Seungwoo pelan. “Of course. Can’t help it,” sahutnya. Jaebum pun menaiki kasur, lalu duduk di depan Seungwoo.

“A—ah, kh!” Seungwoo tersentak kaget saat rahangnya dicengkeram Jaebum, dipaksa untuk mendongak. Ia melihat tubuh Jaebum yang terbentuk sempurna dan tatonya yang seksi, matanya berkilat nafsu. Seketika jempol pria di depannya itu mendesak ke mulutnya yang terbuka, dan ia langsung mengulum serta menjilatnya.

Slut,” ucap Jaebum, melesakkan jempolnya lebih dalam. “Suka ya godain orang? You want Kiseok to pound you until you scream, want to ride Minsik’s prick to no end, want Chacha’s big black cock to spread you open? Itu yang kamu mau?”

Mata Seungwoo berbalik ke belakang, bayangan akan kata-kata Jaebum melayang di otaknya. “Kh, hng—ah,” ia berusaha berbicara, namun terhalang oleh jari yang sekarang menelusuri rongga mulutnya.

“Apa? Mau menyangkal kalo kamu, in fact, emang jalang, hm? Kamu aja sekarang malah makin becek, makin basah denger perkataan hyung,” cecar Jaebum. Muka Seungwoo memerah karena malu, rengekan kecil keluar dari mulutnya.

Jaebum mengeluarkan jarinya, menarik rambut Seungwoo dan menurunkan celananya. “Seonghwa,” panggilnya, dan Seonghwa menoleh dari sisi lain kasur. “Let’s stuff him from both ends, shall we?

Seonghwa menyeringai, membuka celananya hingga tanggal semua, lalu bangkit dan berlutut di belakang kaki Seungwoo yang terbuka lebar dan gemetaran. “Sure. Boneka kita malam ini, ya?”

Fucktoy, malah,” balas Jaebum, mengeluarkan penisnya dari boxer yang ia pakai. Seungwoo langsung membuka mulut dan menjulurkan lidahnya keluar, tetap diam saat Jaebum meletakkan penisnya di atas lidahnya.

Suck, baby.”

Dengan perintah Jaebum itu pun Seungwoo mulai menjilati ujung ereksinya dahulu, lalu mengulumnya hingga masuk sebagian—karena ukurannya yang besar, ia kesulitan memasukkan seluruhnya ke mulut.

Jaebum berdecak, menampar pipinya dengan cukup keras. “Masukin semuanya, duh.” katanya jengkel.

Seungwoo menggumam, memajukan kepalanya dalam-dalam. Pipinya sakit, namun ada sensasi nikmat yang muncul bersamaan dengan kasarnya tekstur penis Jaebum yang sekarang menyentuh tenggorokannya.

Seonghwa di sisi lain memakai kondom, dan mulai memasukkan penisnya ke anal Seungwoo yang sudah regang karena butt plug tadi. Setelah masuk seutuhnya, ia bertatapan dengan Jaebum yang mengangguk, lalu menyentakkan pinggulnya ke depan. Badan Seungwoo pun ikut terdorong, menyebabkan pemuda itu tersedak karena penis Jaebum yang mendesak masuk.

“—kh!” Seungwoo berdeguk, salivanya mengalir ke dagunya dan air mata meleleh di pipinya. Seluruh tubuhnya gemetaran karena Seonghwa yang menusuknya tanpa ampun; menghujam prostatnya berulang-ulang.

Tiba-tiba, Jaebum mencengkeram rambutnya erat, lalu memajukan pinggulnya bersamaan dengan Seonghwa, menanam penis mereka jauh-jauh dalam lubang masing-masing.

“Hmp—!” Seungwoo hanya bisa menggumam, badannya langsung melemas dan akan ambruk jika saja Seonghwa tidak menahan pinggangnya. Napasnya tersengal, matanya berair, rahangnya terasa pegal karena mulutnya membuka sangat lebar, dan penisnya terus meneteskan precum. Seungwoo benar-benar merasa seperti boneka—hanya bisa diam tak berdaya, menerima perlakuan Seonghwa dan Jaebum terhadapnya.

Look at you, doll. Enak, ya? Suka kan dipake kayak gini? Enak kan jadi mainan?” ejek Seonghwa, disambut tawa Jaebum yang menohok.

“Enak pasti,” sahut Jaebum, menjambak rambutnya sambil menggerakkan pinggangnya begitu cepat hingga Seungwoo mengeluarkan suara tersedak, liurnya membanjiri dagu dan menetes ke kasur. “Tuh, matanya sampai tinggal bagian putihnya yang kelihatan. Apa tuh namanya? Ahegao?

“Kayak hentai dong, duh,” Seonghwa memutar bola matanya. Jaebum hanya nyengir mendengar reaksi temannya itu.

Beberapa lama kemudian Jaebum menarik penisnya keluar, benang saliva menghubungkan ujungnya dengan bibir Seungwoo, yang langsung terengah-engah karena bisa bernapas bebas kembali. Jaebum mengusap bibirnya lembut, lalu menatap ke Seonghwa di belakang, dan mengambil kondom di nightstand lalu memasangnya.

Seungwoo mengerjap, tidak sempat bereaksi karena tiba-tiba Seonghwa memasukkan jarinya yang dibalur lube entah dari mana di samping penisnya sendiri, melebarkan lubangnya lebih jauh lagi.

“Ah! Hy—ngh, ah, ah!” desahnya hingga melengking saat dua jari Seonghwa mengoyak dindingnya, bergerak bersamaan dengan tusukannya. Selang beberapa lama jari itu pun keluar, dan Seungwoo hanya bisa menurut saat Seonghwa menariknya sehingga posisinya menjadi tegak, dadanya agak membusung karena lengan Seonghwa menarik lehernya ke belakang. Ia mengeluarkan suara “ah, ah, ah” pelan, melihat nanar Jaebum yang pindah berbaring setengah duduk di bawahnya, bersandar di dipan.

“Rileks, Seungwoo. Otherwise it won’t fit. C’mon, slut, loosen up your hole,” titah Seonghwa.

Oh. Oh. Jadi jari Seonghwa tadi—untuk—

Pikiran Seungwoo langsung hilang begitu Seonghwa menurunkannya kembali, dada Seungwoo bersentuhan dengan dada Jaebum. Perlahan Seonghwa menarik penisnya sedikit hingga tersisa sebagian kecil di dalam, lalu Jaebum perlahan memasukkan penisnya juga di samping Seonghwa.

“Ah—ah, hng! Hyung, hyung,hhh, kepenuhan, hyuuung,” rengek Seungwoo, berusaha rileks sebisa mungkin. Lubangnya berkedut karena intrusi yang benar-benar belum pernah ia rasakan sebelumnya, meregang lebih lebar dari biasanya. Kakinya gemetar hebat, ditahan oleh Jaebum yang memegangi pahanya dan Seonghwa yang menahan pinggangnya.

“Turun, Seungwoo. Turun. Pelan-pelan,” ujar Jaebum, dan ia perlahan menurunkan badannya—terisak dan berusaha bernapas dengan stabil.

“Hng, ah, ah! Hyung, mau—“ tepat setelah sebagian besar penis mereka masuk (karena tidak muat jika seluruhnya masuk), Seungwoo orgasme, menumpahkan cairan spermanya ke abdomen Jaebum dan dirinya sendiri. Matanya tertutup sedikit dan alisnya mengerut, tangannya terkepal di atas dada Jaebum, napas tersengal-sengal.

Jaebum tertawa kecil di depannya, kedua tangannya meraih ke bawah dan menampar pantatnya dengan keras.

“Hng!” Ia tersentak, tak sengaja menyempitkan dinding analnya karena rasa panas dan terkejutnya.

“Malah keluar lho, dia,” kata Jaebum sambil mendengus geli, kedua tangannya menarik pantat Seungwoo ke arah luar, melebarkan lubangnya. Ia menatap Seonghwa yang menggeleng heran, tersenyum tipis.

“Pelacur emang gitu,” sahut rapper yang berada di belakang itu, mulai memaju-mundurkan pinggulnya lagi. Ia cium tengkuk Seungwoo seraya bergerak, menjilat dan menghisapnya untuk meninggalkan tanda. “Keenakan, nggak ada malunya. Apa harus dipasang cockring aja, hm?”

Seungwoo menggeleng, pinggulnya bergerak sedikit—ia mulai terbiasa dengan sensasi (terlalu) penuh di analnya, dan mulai merasa nikmat—matanya sayu menatap Jaebum.

“Ng- nggak,” jawabnya lemah, “Hng, ah, nggak perlu—cockring. B- bisa tahan, hhh, lain kali.”

“Lain kali?” Jaebum tersenyum mengejek, “Nggak usah belagu. Kalau gak tahan ya gak tahan aja. Namanya juga mainan, iya kan?” Ia pun mulai menghujamkan pinggangnya ke arah atas, penisnya masuk bergantian dengan Seonghwa. Yang satu masuk, satu lagi keluar.

Pikiran Seungwoo hilang. Kosong melompong, saat dindingnya terus bergesekan dengan dua penis yang besar, prostatnya terstimulasi terus menerus tanpa jeda.

“Hhhh,” hanya itu yang keluar dari mulutnya, hembusan napas dan desahan kecil. Air matanya mengalir sepanjang pipi, terus-terusan tanpa henti. “Hng—hhh, hyung.”

Jaebum tetap melebarkan pantat Seungwoo seraya membubuhkan tanda di leher putihnya, menghisap bagian jugularnya. Seonghwa sendiri beralih ke punggungnya, menyebarkan tanda kemerahan yang akan berubah menjadi ungu di pagi nanti.

“Gerak lebih cepat, Seungwoo-ah, masa yang kerja kita doang? Yang jalang di sini siapa?” perintah Seonghwa, menampar pantatnya keras. Sekarang pantatnya sudah penuh semburat merah muda karena terus ditampar dari tadi.

Pinggul Seungwoo terus bergerak, sebisa mungkin mempercepat ritmenya dan menemui tusukan Seonghwa dan Jaebum. Desahannya makin keras kala ia merasakan klimaksnya akan datang lagi, penisnya sudah tegang kembali.

“Ngh- ah, hng—hhh, ah!”

It feels good, slut? Feels good getting your pathetic hole pounded, yeah?

Jaebum bersuara di depannya, lalu memagutnya dalam ciuman panas. Seungwoo hanya melenguh dan pasrah saat lidah Jaebum memasuki mulutnya, menjelajah tiap sudut dan lekuk.

Setelah ciumannya terlepas, rambut Seungwoo langsung ditarik oleh Seonghwa yang ganti mencumbunya—melumat bibirnya yang sudah merah tersebut kembali. Ia mendesah di tengah ciumannya saat tangan Seonghwa menstimulasi putingnya dari belakang, mencubitnya di antara jemarinya dan memilinnya lembut.

“Yo, pull out,” ucap Jaebum beberapa saat kemudian, menatap Seonghwa tajam—merasakan ritme mereka berdua sudah tidak stabil, tanda puncak mereka sudah dekat. Seonghwa mengangguk, memegang pinggang Seungwoo.

Up, up, doll.” Seungwoo pun dengan lemas menurut, merengek saat lubangnya tiba-tiba terasa kosong karena kedua pria di depan dan belakangnya mengeluarkan penis mereka. Ia pun bersimpuh di kasur, menatap Jaebum dan Seonghwa yang berlutut di depannya, penis mereka tepat di depan mukanya.

Jaebum dan Seonghwa menarik lepas kondom mereka, mengocoknya sebentar, menatap mata Seungwoo.

Suck.

Hanya itu perintah yang diberikan padanya, maka Seungwoo langsung memegang penis mereka masing-masing di satu tangannya, dan mulai mengulum serta menjilatnya bergantian seperti anak kecil yang diberi lolipop.

“Hhhh, mmm,” ia mendesah sambil memasukkan kedua penis itu ke dalam mulutnya, hanya bisa menghisap bagian kepalanya saja. Salivanya sudah mengalir banyak melewati dagu dan lehernya, dihiasi precum yang keluar dari penis Jaebum dan Seonghwa. Tangannya mengocok pelan, merasakan urat dan pembuluh yang timbul.

Shit, ‘m gonna come, slut.” ucap Seonghwa, Jaebum mengangguk di sampingnya. Seungwoo langsung membuka mulutnya dan menjulurkan lidah, matanya menatap kedua pria di atasnya. Tangannya semakin cepat mengocok penis di pegangannya.

Fuck, ‘m coming!

Motherfucker—

Seketika Jaebum dan Seonghwa klimaks bersamaan, penis keduanya berkedut di genggaman Seungwoo. Cairan sperma mereka muncrat mengenai muka Seungwoo—bibirnya, lidahnya, pipi putihnya dan matanya yang terpejam, bahkan rambutnya.

Fuck, fuck. So good, doll. Fuck.” Jaebum mengumpat, pinggulnya bergerak sedikit seraya ekstasi orgasmenya berakhir. Seonghwa tak jauh berbeda di sampingnya, terengah.

Seungwoo merengek pelan, melepaskan pegangan. Ia membuka matanya hati-hati, terasa agak lengket karena cairan yang mengenainya.

“Sebentar, sayang,” Seonghwa mengambil ponselnya dari nightstand, membuka kamera. “Yuk, pose yang cantik!” ucapnya, mengarahkan kamera ke muka Seungwoo.

Seungwoo pun tersenyum lemah, mukanya yang terlihat indah—dan penuh dosa—terpatri di foto yang diambil Seonghwa.

Setelah itu ia ambil cairan di mukanya sampai bersih dengan jari, lalu mengisap dan menelannya.

Badannya gemetar pelan, penisnya yang masih tegang terpampang di pandangan Jaebum dan Seonghwa. Jaebum pun berpindah ke belakang Seungwoo, tangannya meraih penis Seungwoo yang basah karena precum dan mulai mengocoknya.

Seungwoo menggelinjang, sensasinya antara nikmat dan sakit karena overstimulation setelah klimaks pertamanya. “J—Jaebum-hyung, hng, t- too much—ah!” ia terkejut saat tangan Seonghwa memainkan putingnya yang sudah bengkak, mulutnya menghisap pucuk dadanya bergantian.

“Seonghwa-hy—hhh, mau keluar, Jaebum-hyung, m- mau keluaar,” rintihnya.

Then come, baby.” bisik Jaebum di telinganya, rendah dan tenang, dan Seungwoo pun klimaks lagi—tidak sebanyak yang tadi, cairannya hanya mengalir sepanjang penisnya—namun tubuhnya gemetar seraya nikmat mengisi dirinya.

Seungwoo terengah, matanya sayu dan badannya lemas, bersandar di dada bidang Jaebum.

So good, doll. You did so well, pretty baby. Anak baik, sayang, paling baik,” puji Seonghwa yang mengecup bibirnya lembut, mengusap kepalanya penuh sayang. Jaebum membisikkan pujian juga di telinganya, memeluk pinggangnya dan membubuhkan ciuman ringan di leher dan tengkuknya.

Always the best for us, baby. Our baby, our good boy.” bisik Jaebum.

Seonghwa pun bangkit dari tempat tidur dan keluar ruangan, kembali dengan membawa beberapa handuk basah yang hangat. Jaebum yang sudah menidurkan Seungwoo mengambilnya dan mulai mengelap muka dan badan pemuda yang basah oleh saliva, cairan sperma dan air mata itu, membersihkannya sambil mendaratkan banyak kecupan ringan.

“Mmm, hyung,” Seungwoo perlahan kembali dari high-nya, tersenyum lembut.

Seonghwa mengecup dahinya dari sisi satunya. “Welcome back, sayang,” ucapnya, lalu menyodorkan gelas berisi air mineral. Seungwoo meminumnya pelan-pelan, lega saat mulut dan tenggorokannya yang kering dan kecut menerima air.

Setelah itu ia pun digendong Jaebum menuju kamar lain yang bersih—karena kamar tadi tidak akan sempat dibersihkan—mengenakan boxer baru, lalu berbaring dan menyelimuti dirinya dengan duvet tebal. Ia kemudian disusul oleh Seonghwa dan Jaebum yang telah bebersih dan masuk ke duvet, bertelanjang dada. Kedua pria itu berbaring di samping kanan dan kiri Seungwoo, memeluk perutnya.

“Seonghwa-hyung, Jaebum-hyung,” celetuknya, suaranya agak kabur karena kantuk. “Makasih banyak, ya.”

Jaebum mengecup pipinya. “Kita yang makasih, Seungwoo-ah.”

“Iya, makasih juga,” sahut Seonghwa, “Tapi...”

Seungwoo mengerjap. “Kenapa?”

“Ide kamu pake baju kayak gitu, dari mana sih?” tanya Seonghwa, tersenyum. “Don’t get me wrong, kamu cantik banget. Tapi ya, dari mana?”

Jaebum mengangguk. “I’m curious about that as well, baby. You like humiliation and, no offense, you’re a brat, tapi aku jarang lihat kamu begitu.”

Well...” Seungwoo tersenyum malu, “Kita kan udah lama nggak ketemu. Aku kangen. I want you both to wreck me after all these sexual frustrations I’ve got.” jawabnya pelan.

Jaebum dan Seonghwa tertawa kecil, menggeleng-geleng heran. Anak ini, luarnya terkesan kalem, tapi dalamnya begitu.

Kesayangan mereka berdua, memang.

Right,” ucap Seonghwa, merengkuh Seungwoo. “That’s all. Good night, doll. Oh, and Jaebum too.

Fuck you,” balas Jaebum, “Kidding. Good night to you too. Good night, Seungwoo.”

Seungwoo tersenyum, menutup matanya perlahan, menyamankan diri dalam pelukan kedua pria tersebut.

Good night, hyungs.”


(Paginya Seungwoo mematut dirinya di cermin, melihat badannya yang dihiasi hickeys berwarna merah keunguan di mana-mana. Ia tersenyum.

Nggak apa-apa, ia suka. Seksi. Rasanya seperti dimiliki.

Ya, memang ia milik kedua hyung-nya, sih.

Dan mereka milik Seungwoo.)


(“Seonghwa-hyung, fotonya jangan disebar ya?”

“Ya masa aku nyebar sih Woo, ini kan konsumsi pribadi aku sama Jaebum.”

“Iya sih... Beneran ya?”

“Beneran, sayang. Kalo ada yang nyebar palingan kita bunuh satu sama lain.”

“....Oke....”)

Malam hari, di sebuah ruangan di belakang panggung. Ruangan itu penuh dengan orang berlalu-lalang, menghapus riasan, berganti baju serta berkoordinasi.

“Sebentar lagi kita keluar, ya. Jangan lupa barang-barang kalian.” ujar Seungwoo setelah berbicara dengan manajer. Semua orang mengangguk tanda mengerti, dan langsung berberes-beres.

Seungyoun keluar dari ruang gantinya, telah menghapus make-up ala kadarnya dan mengenakan sweater serta jeans panjang.

Hyung,” ia mencolek Seungwoo, “Aku pisah ya? Mau berangkat sekarang.”

Seungwoo mengangkat alis. “Ngapain?”

“Itu, um,” Seungyoun nyengir, pipinya merona. “Aku, uh, diajak ke apartemen Ian-hyung.”

“Oh, sekarang manggilnya Ian ya, bukan Christian lagi?” goda Seungwoo, yang langsung mengaduh karena pukulan Seungyoun di bahunya. “Iya, iya. Udah sana berangkat! Hati-hati ya. Use a condom!” lanjutnya, mengacak rambut Seungyoun.

Seungyoun mengangguk, (setelah berseru “hyung!” sambil merona karena peringatam kakaknya itu) berpamitan sebentar lalu langsung keluar ruangan, melewati lorong-lorong ke belakang bangunan. Setelah sampai di luar, ia melihat sosok pria berkaus hitam, bercelana jeans dan mengenakan helm yang sedang duduk di atas motor MV Agusta berwarna hitam legam. Seungyoun menghampirinya, dan pria itu mengangkat kepalanya.

“Hey,” sapanya.

“Hey, Ian-hyung,” balas Seungyoun, berdiri di sebelahnya. Ian mengelus kepalanya, nyengir.

“Udah selesai?”

Seungyoun mengangguk. “Yep.”

Alright. Get on the bike then, vixen.” ujar Ian. Seungyoun memakai helm yang disodorkan lalu naik ke atas motor itu, memeluk pinggang Ian erat. Mesin dinyalakan, dan mereka pun berangkat—menggerung, membelah jalanan kota di malam hari.

Seungyoun menyandarkan kepalanya di punggung lebar Ian, melihat gedung-gedung pencakar langit yang menjulang dan lampu yang berkerlip terang. Ia mengencangkan pegangannya, merasakan otot perut Ian dari balik kausnya.

“Youn!” seru Ian, setengah berteriak di antara kerasnya angin yang berkelebat.

“Apa?!”

“Jangan raba-raba! Nanti aku nabrak!”

Fine!

———

Sesampainya di apartemen—atau lebih pantas disebut penthouse karena posisinya di lantai paling atas dengan pemandangan kota yang gemerlap—dan melepas sepatu, Ian langsung mengambil beberapa botol alkohol dan gelas, berbaring di sofa lalu menyalakan televisi, menonton Netflix. Sedangkan Seungyoun pergi mandi, menghapus segala debu dan sisa riasan dari tadi pagi.

Setelah selesai, ia membuka lemari di kamar Ian dan mengambil salah satu kaus berwarna putih milik Ian yang besar (satu sisi sampai melorot di bahunya) serta celana boxer pendek miliknya yang ia sengaja simpan di lemari, berjaga-jaga jika ingin menginap seperti ini.

Sesampainya di ruang tengah, Seungyoun langsung menghambur ke sofa, memeluk pinggang Ian dan menyandarkan kepala di dada bidang yang lebih tua.

Hey, cutie,” sapa Ian dengan logat Australia-nya yang kental. Dielusnya kepala Seungyoun, di mana sang empunya langsung menggumam keenakan.

“Mmmm,” sahut Seungyoun, melirik ke arah televisi, “Nonton apa?”

Full House.

Seungyoun mengernyit. “Apa tuh?”

A comedy classic, Seungyoun, kamu nggak pernah nonton ya? Nonton Friends terus sih.” Ian tertawa mengejek.

“Heh!” Seungyoun mengangkat kepalanya, merengut. “Friends is the best show ever, I’ll let you know.

Whatever,” Ian memutar bola matanya. Seungyoun mendengus, melepas pelukannya dan bangkit dari sofa. Ia menuang segelas scotch, lalu duduk kembali di pangkuan Ian yang menegakkan posisi duduknya.

Selama beberapa saat mereka duduk dalam diam, Seungyoun menyesap scotch-nya dan Ian sesekali meminum brandy yang ia letakkan di meja. Tangan Ian yang bebas tanpa sadar mengelus-elus perut Seungyoun dari luar kausnya seraya mata mereka lekat menonton televisi.

Alkohol yang diminumnya membuat Seungyoun merasa lebih lega namun tidak cukup untuk membuatnya mabuk. Letih yang sedari tadi menempel di badannya seakan meregang dan hilang. Pikirannya lebih ringan, dan tubuhnya jadi sensitif—dan sekarang ia sangat merasakan tangan Ian yang hangat di atas perutnya, hanya terhalang kain kaus yang tipis. Ian pun tak jauh berbeda, duduknya lebih rileks dan posisi kakinya melebar, sehingga Seungyoun lebih leluasa di pangkuannya.

Entah sejak kapan, Ian mulai mencium ringan leher Seungyoun, napasnya yang hangat menyebabkan sekujur tubuh yang lebih muda merinding. Sebagai respon, Seungyoun menggerakkan pinggulnya sedikit, pantatnya bersentuhan dengan selangkangan Ian yang terbalut celana pendek—ia telah berganti celana saat Seungyoun mandi tadi.

“Iaaaaan.” rengek Seungyoun, suffix hyung-nya hilang seketika. Ia genggam tangan Ian yang berada di perutnya, membuat gerakannya berhenti.

“Hm? Kenapa, sayang?” tanya Ian yang sedang sibuk menghisap bagian samping leher yang lebih muda, menjilat lalu menggigitnya pelan. Seungyoun memiringkan kepalanya, mempermudah akses yang lebih tua dalam menjamah leher jenjangnya.

Seungyoun merengut, menengok ke belakang. “Aku masih ada gig dua hari lagi, jangan- ah- jangan ditandain.” Sial, pikirannya mulai kusut dan badannya lemas. Untungnya gelas kaca mereka berdua sudah aman di atas meja.

Ian mengangkat alisnya. “Bilang kayak gitu tapi barusan malah ngasih akses, gimana sih?”

“Itu—“ Seungyoun terdiam, mukanya memerah. “Tau ah, berisik.” lanjutnya, merajuk.

D’ ya wan’ it or nay, li’l vixen?” tanya Ian, aksennya kian kental karena alkohol yang merilekskan lidahnya. “Don’t ya wanna show who ya belong to?

Seungyoun menggerakkan pinggulnya lagi, boxernya mulai terasa sesak karena penisnya yang mulai ereksi. “Ngh,” desahnya pelan, “Alright. I want it.

Pria yang lebih tua di belakangnya tersenyum, menelusupkan tangannya yang digenggam Seungyoun ke dalam kaus dan mulai meraba perutnya.

Wha’ else d’ ya want, hm?” tanya Ian.

I want—ah, wan’ you to fuck me,” jawab Seungyoun, membalik posisinya sehingga ia menghadap Ian. “Wan’ you to fuck me good, wreck me til I can’t walk.” ia tersenyum menggoda, memegang tangan Ian untuk masuk ke kausnya lagi.

Ian terkekeh, tangannya yang satu meraba-raba perut dan punggung Seungyoun, sedangkan yang satu lagi mengelus paha yang lebih muda. “Naughty li’l fox, aren’t ya? Gon’ drive me crazy wit all your antics.” Ian menengadah untuk mencium bibir Seungyoun dengan ganas, melesakkan lidahnya ke dalam dan memainkannya dengan lihai.

“Hng—ngh,” Seungyoun membalas ciuman itu, berusaha mengimbangi permainan yang lebih tua. Pinggulnya bergerak, menggesekkan diri ke selangkangan Ian, mencari sensasi untuk ereksinya yang membasahi boxernya.

Tangan Ian berpindah dari paha ke boxernya, menangkup penisnya dari luar. Seungyoun menghela napas dalam, badannya semerta-merta maju ke depan—mengejar sentuhan dari Ian.

Got s’ wet for me already, babe? Look at ya leakin’,” goda Ian, menggesekkan tangannya dan membuat Seungyoun mendesah nikmat.

“Hmm, just for you, baby. Jus’—ah, jus’ for you.” balas Seungyoun. Ia lalu menarik kaus yang dikenakan Ian, melepas dan melemparnya ke lantai. Di depannya terpampang tubuh atletis Ian dengan bahu lebar, dada bidang dan tato yang menghiasinya. Seungyoun lantas meletakkan tangannya di dada Ian, bergerak turun hingga abs-nya, lalu berakhir di V-line-nya yang terbentuk sempurna.

Like what ya see?” tanya Ian, menatap mata pemuda di depannya.

Seungyoun mengangguk, menjilat bibirnya. “Mhm, so much. Kinda wanna blow you,

Kedua tangan Ian berpindah ke belakang, menelusup ke balik boxer Seungyoun dan meremas pantat montoknya. “Yeah, you’d do that for me? Get down then, babe.

Seungyoun mencium bibir Ian sejenak, lalu langsung turun ke lantai dan berlutut di depan kaki Ian yang terbuka. Ia membuka celana yang lebih tua, menariknya hingga lepas sepenuhnya. Lalu ia mengecup penis Ian yang terbalut kain boxer, matanya menatap nakal ke atas.

“Mmm. Can’t wait to feel this inside me.

Ian menyeringai, “Your mouth, or your ass?

Seungyoun mengedipkan sebelah matanya. “Both.”

You’re so gon’ be the death of me, babe.

Kepala Seungyoun terkulai saat tangan Ian memegangnya, mengarahkan untuk membuka boxer dengan mulutnya. Penis Ian yang telah ereksi dan berukuran cukup besar itu kemudian terpampang di hadapannya.

Tanpa basa-basi, Seungyoun memegang penis itu dan mengisap ujungnya, memaju-mundurkan kepalanya sambil menggunakan tangannya untuk melakukan handjob. Tangan Ian menekan kepalanya untuk memasukkan ereksi itu lebih dalam ke mulutnya, dan Seungyoun pun terus maju hingga hidungnya menyentuh pelvis Ian, napasnya terengah. Ia berdeguk seraya mulai bergerak maju-mundur lagi, matanya berbalik ke atas kala ia merasakan ujung penis itu menyentuh tenggorokannya.

Fuck, ah, Seungyoun, you ‘nd your sinful mouth. Ah, shit.” Ian mengumpat, merasakan hangatnya mulut Seungyoun dan sensasi yang memabukkan saat yang lebih muda menggumam, membuat getaran di sekitar ereksinya. Lidah Seungyoun dengan lihai menekan pembuluh sensitif yang berada di bawah penisnya, membuatnya mengerang karena nikmat.

“—kh!” Seungyoun akhirnya melepaskan penis itu dari mulutnya, saliva dan precum menghubungkan ujungnya dengan bibirnya yang basah. Matanya berair, sayu, dan mukanya merona merah. Lidahnya agak menjulur keluar, dan napasnya memburu seakan habis berlarian. Tangannya mencengkeram paha Ian dengan erat, buku-buku jarinya memutih.

Cantik, pikir Ian. Paling cantik.

Ya look so fuckin’ pretty, babe. Get up here,” Ian menepuk pahanya, “And take off my t-shirt. Kamu seksi pake itu, sayang, but I wanna see you naked.

Right, you just don’ wanna get cum on this.” sahut Seungyoun.

That too.

Seungyoun melepas kausnya dan melemparnya, lagi, ke lantai. Ian pun menariknya kembali ke pangkuannya. Dicumbunya bibir Seungyoun, merasakan dirinya sendiri dalam mulut sintal itu. Seraya mereka berciuman, tangan Ian melepas boxer Seungyoun, meremas pantatnya lagi dan menamparnya sesekali—yang membuat Seungyoun tersentak dan mendesah keras.

“Ian, sayang. Aku mau, ngh,” ucapan Seungyoun terhenti karena bibir Ian yang terus memagut dirinya, menjelajah mulutnya tanpa akhir. “Aku, mmh, m-mau kamu masuk—ah, mmph—masuk sekarang, please– ngh.”

Yeah?” sahut Ian, tetap dalam kegiatannya menciumi bibir Seungyoun—sumpah, rasanya bagaikan adiksi. “Okay, sayang, angkat pinggang kamu sedikit ya?”

Ian pun mengeluarkan dua kemasan plastik kecil dari sela-sela sofa, merobek salah satu dengan gigi dan mengeluarkan lube, membalurnya ke jemarinya.

“Kamu nyimpen itu di sofa? Nakal ih, main sama siapa lagi?” tuduh Seungyoun, tersenyum geli.

“Main sama kamu, kamu, dan kamu, Seungyoun. I saved it jus’ in case ya come over like this.” jelas Ian, nyengir.

“Ha—hng, ah!”

Seungyoun hendak membalas, tapi malah mendesah karena jari Ian yang menyentuh bibir analnya. Jari telunjuk itu menekan-nekan cincinnya, mengelus perineum dan menyentuh testikelnya sedikit.

“Ngh, masukin,” rengek Seungyoun, menggoyangkan pinggulnya. Mendengar itu, Ian kontan menampar pantatnya, membuat Seungyoun tersentak di tempat.

“Ah! What’s that for?!

Be patient, Cho Seungyoun, or we ain’t gon do nothin’,” ancam Ian, menatap tajam mata Seungyoun.

Seungyoun memutar bola matanya, mendengus. “Whatever. I jus’ cleaned up, by the way. Ain’t no need to use gloves.

Prepared, aren’t ya? My eager li’l foxy.” goda Ian, sambil akhirnya memasukkan jari tengahnya ke dalam lubang Seungyoun. Pemuda di depannya mendesah, penisnya mengeluarkan cairan precum yang menetes ke abdomen Ian. Hot. So hot.

Ian pun memaju-mundurkan jarinya, menggerakkannya di sekitar dinding anal Seungyoun. Tak lama kemudian ia tambahkan jari telunjuknya, membuat gerakan menggunting untuk meregangkan liang sempit itu, dan melesakkannya lebih dalam—mencari titik kenikmatan Seungyoun. Mulut Ian sendiri sibuk menghisap dan menjilat puting Seungyoun yang sedari tadi sudah menegang, kepalanya direngkuh yang lebih muda mendekati dadanya.

Come on, where is it... where is it... ah!

“Ngh—aaahn!” seketika Seungyoun mendesah panjang, suaranya pecah dan seluruh tubuhnya gemetar. Badannya membusung ke depan, pinggulnya bergerak meminta lebih.

Found it,” Ian pun menghujamkan jarinya berulang-ulang ke prostat Seungyoun, membuat yang lebih muda terus tersentak dan mendesah pendek-pendek, napasnya terengah-engah.

Keep going, hng, right there, please—“ desah Seungyoun, menikmati stimulasi itu.

Tiba-tiba, Ian menghentikan gerakannya. Seungyoun sontak membelalak, alisnya mengerut. Namun, sebelum ia dapat membuka mulut untuk protes, Ian telah berbicara duluan.

Do it yourself, baby. Ride my fingers.” Ian pun mendiamkan jarinya yang masih ada di dalam anal Seungyoun, menambahkan jari manisnya.

Seungyoun mendengus kesal, napasnya masih memburu. Tangannya ia letakkan di bahu Ian, dan ia pun mulai menggerakkan pinggulnya naik dan turun. Desahan nikmat keluar dari mulutnya tak henti-henti.

“Oh, fuck, your—hhhng, your fingers, babe. Fuck.” desah Seungyoun, kepalanya lunglai dan matanya setengah terpejam.

Ian tertawa dari tempatnya di leher Seungyoun, menciumi dan meninggalkan tanda lagi sedari tadi. “Feels good, yeah? Wanna ride it ‘til you come?” tanyanya jahil.

“Mmm, nope,” jawab Seungyoun, memelankan ritmenya, “Want your cock. Please? Now? Need it so bad, babe.

Ian pun mengeluarkan jarinya, dan mengambil plastik yang kedua, merobeknya lagi dan mengeluarkan sebuah kondom, memberikannya pada Seungyoun. Yang lebih muda pun menerimanya, memasangnya di penis Ian yang telah ereksi penuh. Tangan Ian memegang pinggang ramping Seungyoun, merengkuhnya seraya Seungyoun memegang ereksi itu dan mengarahkannya untuk masuk ke analnya.

“Hh- hng, ah, oh fuuuuck.” Seungyoun mendesah selagi ia menurunkan pinggulnya perlahan, meringis saat bagian ujung penis yang lebar serasa membelah dirinya jadi dua. Ian mengelus pinggangnya, berbisik menenangkan di telinganya dan mengecup pipinya.

“Pelan-pelan, sayang. Hush, it’s okay. Slowly.

“Mmh, fuck, why—ah—why are you so big, Mr. Yu?” ucap Seungyoun kesal, terengah saat akhirnya ia menduduki pelvis Ian—seluruh bagiannya telah masuk. Ia terdiam, menyesuaikan diri dengan rasa penuh dan sedikit perih di rektumnya.

Shut up,” Ian tertawa kecil, “Kamu suka ini, kan.”

“Bener sih,” Seungyoun mencoba menggerakkan pinggulnya sedikit, mendesah saat ujung penis Ian langsung mengenai prostatnya. “Okay, shit, I feel like I can feel it if I press my stomach right now.

“Halah. Udah ayo gerak,” Ian mendecak, tiba-tiba menggerakkan pinggulnya, menusuk ke atas. Seungyoun membelalak, tangannya mencengkeram bahu Ian dengan kuat.

Alright. Okay, hng, here we go.” Seungyoun mengangkat pinggulnya perlahan, lalu menghujamkan dirinya ke bawah dalam satu sentakan. Ia mendesah, lama-lama mempercepat ritmenya dan memperkuat sentakannya saat turun. Ian pun ikut bergerak menusuk ke atas, bertemu dengan Seungyoun yang menggerakkan pinggulnya ke bawah.

Oh damn, Youn, kamu sempit banget. Sesempit itu—ah,” Ian memegang pantat Seungyoun lagi, menariknya sehingga lubang yang lebih muda lebih meregang lagi.

“Ah—hng, you’re the one—ngh, w- with too big of a cock, y-you fuck.” balas Seungyoun, kata-katanya agak kabur karena saliva yang terkumpul di mulutnya dan otaknya yang sulit berpikir jernih.

Seungyoun melingkarkan tangannya di leher Ian, mengangkat pinggulnya sedikit sehingga Ian dapat menusuk ke atas dengan lebih cepat. Ia tempelkan keningnya dengan Ian, bernapas di hadapan wajah masing-masing.

F—fuck, ah, feels s’ good, s’ full, Ian, ak—aku penuh. Hhh—hng, p- penuh banget,”

Ian hanya menggumam, mencium Seungyoun lagi, menjamah seluruh sudut dan celah mulut yang telah dikenalnya dengan baik itu. Mereka terus beradu, terus bercumbu seakan tidak ingin melepaskan.

Setelah beberapa lama, Seungyoun mulai gemetar karena menahan posisinya. Ia menurunkan pinggulnya, napasnya memburu.

“Ian, sayang, a—aku nggak kuat.” katanya pelan.

Ian mengerjap, lalu mengangkat Seungyoun dan menidurkannya di sofa. “Alright. My turn.” katanya sambil nyengir, memposisikan kaki Seungyoun ke atas sehingga lututnya hampir menyentuh dada. Tanpa basa-basi, ia langsung bergerak maju-mundur dengan cepat, menusuk tanpa ampun.

Mata Seungyoun berbalik sehingga bola matanya hanya terlihat sedikit, sclera putihnya mendominasi. Saliva mulai mengalir turun ke dagunya, kepalanya lunglai kesana-kemari mengikuti gerakan Ian.

“Ah, ah—ngh, hng, s’ good, fuck, y- you fuck me s—hhh, s’ good, babe, ah,” racau Seungyoun, tersenyum penuh nikmat. Tangannya terkulai di sampingnya, telapaknya membuka dan menutup. Ian ikut tersenyum melihatnya, fokus mengenai prostat Seungyoun terus menerus, mengerang sesekali karena dinding Seungyoun yang, entah kenapa, masih begitu sempit.

Ian meletakkan tangan kanannya di leher Seungyoun, tangan kirinya menumpu badannya di sofa. Perlahan ia menekan leher Seungyoun dengan jempol dan telunjuknya, mencekiknya di area dekat arteri jugular yang lebih muda sambil tetap menusuk tanpa ampun.

“Ahk—ngh—“ suara Seungyoun perlahan menghilang, mulutnya terbuka dan matanya menatap lurus ke arah Ian. Dadanya naik turun berusaha mengambil napas dan kakinya meronta kesana-kemari, respon fight or flight-nya berkecamuk di otaknya yang berkabut.

Ian kemudian melepaskan genggamannya setelah dua detik, membuat Seungyoun menarik napas dalam-dalam dan mendesah karena rasa nikmat yang datang dari tusukan Ian dan udara yang mengisi paru-parunya kembali. Hal ini diulang Ian selama beberapa kali, dan Seungyoun menggelinjang penuh nikmat.

How are you, baby? Good?” tanya Ian setelah ia selesai, menatap mata Seungyoun dengan intens.

Seungyoun mengangguk, menghela napas beberapa kali sebelum menjawab. “Hng, yes. S’good, babe, hhhh, think ‘m gon’ come,

Yeah? Gon’ come untouched for me, vixen? Can you do that for me?” pintanya, menunduk untuk mengecup—atau lebih tepatnya menyentuhkan bibirnya dengan bibir Seungyoun. Air mata Seungyoun meleleh mengaliri pipinya, dan Ian pun mengecup jejak air mata yang ada.

Seungyoun mengangguk pelan, “Y—yeah, um, I can,” jawabnya singkat. Ian pun melepas pegangannya di bawah lutut Seungyoun, memilih untuk menggenggam kedua tangan yang lebih muda di samping kiri dan kanan kepalanya. Jemari mereka mengunci satu sama lain dengan erat.

Tak lama kemudian, Seungyoun sudah gemetar hebat di seluruh badannya, kakinya lunglai ke samping pinggang Ian. “’m, ‘m gon’—hhh. Gon’ come, b—babe. Ian, hng, gon’ come.” desahnya lemah.

Come now, then. Ayo, sayang, lepasin aja.” ujar Ian, mempercepat ritmenya, menghentakkan pinggangnya dengan keras.

“Ngh, ah- ah—“ suara Seungyoun yang sudah serak itu pecah dan hilang seraya ia mencapai klimaks, badannya membusung ke atas hingga punggungnya terangkat dari sofa. Ia genggam erat tangan Ian hingga buku-buku jarinya memutih. Cairan spermanya tumpah mengenai abdomennya dan Ian, dan beberapa mengenai dadanya.

Shit, you came so pretty for me, li’l fox. Cantik banget kamu, sayang. Cantiknya cuma buat aku. Ah, fuck, gon’ come too.” ucap Ian, ritmenya mulai tidak stabil. Ia pun akhirnya menyusul klimaks tak lama kemudian, menumpahkan spermanya di kondom yang ia kenakan.

Keduanya terengah, Ian perlahan memelankan gerakannya hingga benar-benar berhenti. Perlahan ia keluarkan penisnya, mengerang saat kehangatan yang mengelilinginya menghilang. Seungyoun sendiri mendesah pelan, analnya terasa kosong. Ian pun melepas kondomnya, diikat, lalu dilemparnya ke tempat sampah.

Seungyoun tersenyum saat Ian berbaring di sampingnya. Mereka saling menyamping, menatap wajah masing-masing. Seungyoun meletakkan satu tangannya di lengan Ian, mengelus tato di bisepnya. Tangan Ian sendiri merengkuh pinggangnya, menariknya lebih dekat.

’t was good.” ucap Seungyoun, tersenyum lebar.

Ian mencium bibirnya lembut, menahannya beberapa lama. Saat lepas mereka menempelkan kening, mengatur napas sambil bertatapan.

It is,” jawab Ian akhirnya, “Kamu nikmatin, kan?”

“Yep,” Seungyoun mengangguk, “Tapi...”

“Tapi?” Ian mengernyit.

“Tapi bakal lebih enak kalo abis ini kita lazy sex di bathtub, with city lights and all. Oh, and wine.

Halah, tadi siapa yang ngomel gara-gara ada gig dua hari lagi?

Ian tertawa, menggelengkan kepalanya. “I can’t get enough of you,” katanya geli, “But we ain’t gon’ get drunk, babe. Listen, we’ll eat, cos ‘m hungry as fuck and not even your ass gon’ satisfy me—

“Heh!”

“Dengerin dulu,” Ian menyentuhkan telunjuknya ke bibir Seungyoun, “We’ll eat, and then lazy sex. And maybe a few more rounds if we have energy, cos fuck your gig, you’ve got a day to rest.

Seungyoun nyengir, tangannya meremat bisep Ian. “Right. Fuck my gig, aku bakal pincang seharian.” katanya sambil tertawa.

Right. Oke, sekarang kamu pake kaus aku lagi—kamu seksi banget, sumpah kausnya buat kamu aja, aku suka liatnya—terus kita makan, ya.”

“Oke.” Seungyoun mengangguk, lalu memakai kaus Ian lagi. Boxernya ia taruh di keranjang laundry karena, duh, he got wet in it, goddammit.

Malam itu pun berakhir dengan Seungyoun di pangkuan Ian lagi, bercinta di bathtub dengan segelas champagne dan pemandangan gedung kota yang gemerlap.

Dan mungkin beberapa ronde lagi.

Oh, well.

Anyhow, Seungyoun pulang dengan hoodie milik Ian, kaus putih yang kini miliknya dan celana kebesaran.

Dua hari kemudian pincangnya belum hilang, dan ia harus memaksa Seungwoo meminjamkan concealer-nya untuk menutupi semua tanda keunguan yang tersebar di leher jenjangnya.

Dan walaupun semua orang sadar ia diantar ke tempat acara dengan motor balap oleh Ian yang mengenakan serba hitam dan memakai helm gelap agar tidak ketahuan, lalu berjalan pincang seharian—tak ada yang membicarakannya.

Tak ada.

It’s all good, and Seungyoun got the best fuck of his life.

And along the way, he fell in love, too—If he hasn’t already.


(“Nggak lupa pake kondom, kan?”

“Jujur, at some point, kayaknya kita lupa. Kalo nggak salah pas di dapur, deh.”

“Jesus H. Christ, Youn, TMI.”

“Eh, maaf, Woo-hyung. Anyways, di balkon—“

“SEUNGYOUN, I SWEAR—“

“IYA MAAF TURUNIN DULU ITU SEPATUNYA!”)

Wooseok melihat sekeliling lobby, melihat tamu hotel dan pegawai yang berlalu-lalang dengan segala koper bawaan dan kereta barang. Ini hari yang cukup sibuk, dan ia harus berangkat bersama Seungyoun karena parkir di hotel ini terbatas. Jinwoo ia bawa saat berangkat tadi, dititipkan ke daycare seperti biasa.

“Wooseok!” seseorang menepuk bahunya, dan ia menengok—ternyata itu Seungwoo, menggunakan setelan kemeja berwarna baby blue yang lengannya digulung hingga siku dan celana panjang hitam.

Untuk sepersekian detik Wooseok terpana—god, what does he look so good for—namun ia cepat sadar dan sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman.

“Hai kak,” sapanya balik, “kita makan di mana, nih?”

Seungwoo terdiam—sebetulnya ia berusaha mengalihkan pandangannya dari Wooseok yang hari ini sangat manis dengan turtleneck hitam berlengan pendek dan celana high-waist tartan—berpikir sejenak.

“Mau ke Olivier aja gak?” tanyanya.

“Boleh, kak.”

“Oke deh, yuk. Kita jalan aja, deket kok restorannya,” Seungwoo pun mulai berjalan, diikuti Wooseok. Selama perjalanan mereka bercengkrama seraya menyusuri blok demi blok kota yang sibuk.

“Kamu lagi photoshoot buat apa, Seok?” tanya Seungwoo.

Wooseok menoleh, tersenyum simpul. “Clothing line, kak, punya desainer lokal. Bulan depan bakal ada fashion show-nya.”

“Oalaah,” Seungwoo manggut-manggut, “udah dari pagi?”

“Iya, kak. Pagi banget, aku sampe ga sempet sarapan. Kakak juga pagi kan? Udah sarapan belom?”

“Iya, kayaknya saya malah lebih pagi lagi. Tadi cuma ganjel pake snack yang dikasih pas training, tapi ya buat orang kayak saya mah mana cukup.”

Wooseok terkekeh. “Orang kayak gimana tuh, kak?”

“Perut karet, Seok,” jawab Seungwoo, nyengir. Wooseok tertawa geli di sampingnya, mengangguk-angguk.

“Iya, ya. Enak kali kak, nggak perlu diet kayak aku.” sahutnya.

“Ya bener, nggak diet. Tapi saya jadi takut kolesterol ketinggian terus kena diabetes gegara makan mulu.”

“Ya jangan, kak!” sambar Wooseok. “Makan yang sehat juga dong.”

“Hehe, iya iya, Seok,” Seungwoo tergelak, mengelus kepala pria yang lebih muda itu. “Saya tetep hati-hati kok. Nanti kalo saya mati Dongpyo sama siapa? Kamu?”

“Eh—“ Wooseok terbata, mukanya merona merah. “Y- ya iya kak jangan makan sembarangan makanya!”

“Iya Seoook.”

Mereka pun melanjutkan berjalan kaki. Sesampainya di restoran, mereka langsung memilih tempat duduk di pojok ruangan dan memesan makanan masing-masing.

“Kak Woo, emang sering training kayak gini ya?” giliran Wooseok yang bertanya pada pria di depannya itu.

“Kalo sering sih nggak, paling beberapa bulan sekali. Ini juga karena akhir tahun jadi sekalian rekap sama briefing buat periode berikutnya,” jawab Seungwoo sambil memotong steak wagyu-nya.

Wooseok manggut-manggut. “Ooh, gitu. Sampe jam berapa kak?”

“Sorean sih Seok, kayaknya jam 5-an gitu. Kamu selesai jam berapa?”

“Hmm,” Wooseok menelan roasted chicken-nya, “Jam 5-an juga sih, soalnya aku ada pengarahan buat fashion show-nya.”

“Kamu gimana pulangnya nanti?”

“Pake kereta kayaknya. Seungyoun—fotografer aku, tadi pagi nganterin tapi nanti dia harus ke agensi dulu jadi aku nggak bisa nebeng.”

Seungwoo terdiam sejenak, lalu berucap, “Mau pulang bareng sama saya?”

Wooseok tertegun. “Eh, nggak usah kak, ngerepotin nanti.”

Seungwoo menggeleng, tersenyum tipis. “Nggak ngerepotin kok Seok, daripada kamu nanti jadi pepes pas rush hour? Sekalian kita jemput anak-anak juga—Jinwoo di daycare, kan?”

“Iya sih... yaudah deh, sama Kak Woo aja.”

“Nah, gitu dong.”

Mereka pun menghabiskan makanan masing-masing, beberes lalu kembali ke hotel. Wooseok memberi tahu Seungwoo untuk menunggunya nanti di lobby saat selesai, lalu mereka pergi ke ruangan masing-masing untuk melanjutkan pekerjaan.

———

Sore pun tiba. Pemotretan Wooseok akhirnya selesai, dan ia sedang berbincang dengan Jinhyuk, manajernya, untuk jadwal setelah tahun baru.

“Oke jadi nanti gue email ke lo aja ya Seok, jangan lupa follow up ke Minsik ya nanti,” ujar Jinhyuk sambil mengetik sesuatu di ponselnya.

Wooseok mengangguk. “Will do. Kalo gitu gue cabut dulu, ya?”

“Oke, Seok. Enjoy your holiday.” sahut Jinhyuk, tersenyum simpul.

“Makasih, Hyuk. Lo juga.”

Wooseok pun mulai berjalan keluar, namun Seungyoun menghampirinya di pintu.

“Wooseok! Lo udah mau balik?” tanya fotografernya itu.

“Iya, Youn.”

Seungyoun mengernyit. “Lah gajadi bareng gue? Nanti lo jemput Jinwoo gimana?”

“Gue ketemu Kak Seungwoo tadi, dia nawarin gue bareng,” jelas Wooseok, “nanti gue jemput Jinu juga sama dia.”

“Oh, Kak Seungwoo yang itu...” Seungyoun mengangkat alisnya, tersenyum jahil. “Emang ternyata duda-duda itu menarik banget ya. Hot daddies gitu lho.”

“Apaan sih,” Wooseok memukul lengan Seungyoun ringan. “Gue sama dia emang searah kok. Lagian kalo duda itu hot berarti gue juga dong?”

“Lo jadi yang paling hot, dong.” ujar Seungyoun, mencubit pipi Wooseok sambil nyengir. “Ya udah, berangkat sana. Kabarin gue kalo udah sampe rumah ya?”

Wooseok tersenyum tipis. “Oke, Youn.”

Ia pun langsung berjalan menuju lobby, menemukan Seungwoo yang menunggunya di salah satu sofa.

“Kak Woo,” sapanya.

Seungwoo menoleh. “Eh, Seok. Udah beres?”

“Udah, kak. Nunggu lama ya? Maaf tadi aku rekap jadwal dulu.”

“Nggak kok, tenang, saya juga baru selesai. Yuk, Seok.”

Mereka pun berjalan ke mobil, memasuki mobil Audi SUV hitam legam milik Seungwoo. Wooseok pun duduk di kursi penumpang, memasang sabuk pengamannya seraya Seungwoo menyalakan mesin. Tak lama kemudian, mereka berangkat.

Lagu Being Boring yang dinyanyikan Pet Shop Boys mengalun lembut dari stereo mobil, menemani kedua insan yang sedari tadi melanjutkan obrolan.

“Kak Woo, nanti natal rencananya mau ngapain?” tanya Wooseok, menoleh ke arah kursi pengemudi. Matanya seketika terpaku pada Seungwoo yang sedang berfokus pada jalanan di depan, rahang dan side profile-nya yang tajam dan tegas, serta rambutnya yang sudah sedikit acak-acakan, mungkin efek mondar-mandir dari pagi.

Oke, Wooseok, stop.

Seungwoo meliriknya sejenak sebelum kembali menatap ke depan. “Biasanya saya sama Pyo ke rumah orangtua, sih. Tapi tahun ini mereka mau honeymoon lagi katanya, pergi ke Paris. Kakak saya di luar negeri juga, jadi kayaknya nggak kemana-mana sampe tahun baru.” Ia tertawa kecil.

“Oh, gitu.”

“Kalo kamu gimana, Seok?”

“Di rumah sih, kak. Keluarga aku biasanya ngumpul pas Januari sekalian, soalnya ortu aku ulang tahun pernikahan.” jelas Wooseok.

“Ooh,” Seungwoo manggut-manggut tanda mengerti. Untuk beberapa saat mereka terdiam, Seungwoo fokus menyetir dan Wooseok melihat keluar jendela, melihat jalanan yang cukup padat sambil berpikir.

“Kak,” ucapnya pelan, menoleh dengan ragu-ragu.

“Ya?” sahut Seungwoo, satu tangannya berpindah ke persneling—mata Wooseok mengikuti gerakannya tanpa sadar.

“Mau natalan bareng aja nggak?” lanjutnya dengan cepat, lalu buru-buru menambahkan, “Nggak mau juga gapapa, tapi aku mikir daripada cuma sendiri kita b—“

“Mau, Seok,” Seungwoo memotongnya, seraya mobil berhenti di lampu merah.

Wooseok menatapnya bingung, matanya mengerjap berulang kali. “B- beneran, kak?” cicitnya terbata-bata.

“Ya masa saya bohong,” balas Seungwoo, tersenyum lembut. “Ayo, beneran. Biar Pyo ada temennya juga.”

Sudut bibir Wooseok tertarik perlahan, membentuk senyuman lebar karena senang. “Um, kalo gitu nanti di rumah aku, ya? Nanti aku masak.”

Seungwoo mengangguk. “Sounds good. Nanti saya beli bahannya sama christmas cake, gimana?”

“Boleh, kak,” jawab Wooseok malu-malu, bertatapan dengan Seungwoo.

Then it’s on.” balas Seungwoo, menancap gas karena lampu sudah hijau. Ia tersenyum kecil, melirik Wooseok yang kembali melihat pemandangan di luar jendela.

Ah, manis sekali.

———

“Daddy!” Dongpyo menghampiri Seungwoo yang langsung memeluknya.

Hey, pumpkin. Gimana hari ini?” tanya Seungwoo lembut.

Dongpyo tersenyum riang, berceloteh dalam rengkuhannya. “Hari ini Pyo tidur lagi! Terus masak sama Jinu!”

“Oh, ya? Masak apa, sayang?” sahut Wooseok yang berada di sebelahnya, menggendong Jinwoo.

“Masak pizza, Papa! Tuh,” Jinwoo menunjuk sebongkah lilin mainan pipih yang sepertinya merupakan pizza.

“Wah, enak ya,” Seungwoo terkekeh, melirik Wooseok yang juga tersenyum geli. “Ya udah, kita pulang ya? Tapi nganter Om Wooseok sama Jinu dulu.”

Dongpyo mengangguk. “Oke, Dad!”

Sesampainya di mobil, Seungwoo dan Wooseok menempatkan anak mereka masing-masing di kursi khusus anak di belakang, lalu kembali ke tempat mereka di depan.

“Rumah kamu ke arah tol, kan?” tanya Seungwoo, menyalakan GPS di mobilnya.

“Iya Kak, nanti lewat tol aja, terus exit di sini.” Wooseok menunjuk satu titik di rute perjalanan mereka.

“Oke, satu arah sama saya. Yang gede udah pada siaaap?” tanya Seungwoo pada anak-anak di belakang, yang langsung menyahut dengan “siaaaap” yang serentak.

Wooseok tertawa. “Yang gede?”

“Waktu itu saya panggil bocah pada protes. Ya udah sekarang saya panggilnya yang udah gede aja.” jawab Seungwoo, mendengus geli.

“Emang udah gede, Papa!” ujar Jinwoo dari belakang.

Wooseok menengok, mengangguk pada anaknya itu. “Iya, sayang, udah gede.” katanya setuju.

Sepanjang perjalanan Dongpyo dan Jinwoo terus berceloteh, diiringi Seungwoo dan Wooseok yang menimpali dari depan. Sesekali Wooseok melirik ke arah yang lebih tua, dan langsung merona begitu ia ketahuan melirik-lirik. Seungwoo hanya memperhatikan dari sudut matanya, setengah mati menahan senyuman gemas yang ingin tersungging karena pemuda manis di sebelahnya.

Setelah bertatap-tatapan singkat beberapa kali, Wooseok membuang muka karena malu dan melihat keluar jendela lagi. Tangannya ia letakkan di sisi kanan dan kiri jok.

Seungwoo melirik lagi, dan melihat muka Wooseok yang terkena cahaya lampu jalan—rahang dan tulang pipinya terlihat lebih tajam karena sinar yang mengenai mukanya.

Cantik.

Tangan kanannya yang berada di atas persneling bergeser dengan impulsif, pelan-pelan meraih tangan kiri Wooseok. Ia letakkan tangan lentik itu di atas tuas persneling, lalu meletakkan tangannya sendiri di atasnya.

Wooseok tersentak, kontan menoleh ke arah yang lebih tua. Matanya melebar seperti bambi, dan mukanya memanas hingga telinga karena tangannya yang digenggam tiba-tiba.

Ia membuka mulutnya hendak bersuara, namun terdiam karena matanya bertemu dengan Seungwoo yang melirik dari sudut matanya. Muka yang lebih tua tak kalah merona—bahkan ia dapat melihatnya walaupun dalam keadaan gelap.

Tangan Seungwoo terasa hangat dan halus di atas tangannya. Ia tersenyum kecil, bertatapan kembali dengan Seungwoo yang juga tersenyum lembut. Jantungnya berdegup tak karuan kala tangannya dipegang dengan erat saat Seungwoo memindahkan gigi.

Mereka bergenggaman tangan (kinda) hingga mereka sampai di rumah Wooseok, lalu melepasnya malu-malu.

“M- makasih ya kak, aku nggak tau gimana kalo nggak dianterin. Kayaknya aku beneran jadi pepes.” ucap Wooseok, terkekeh canggung.

Seungwoo menarik rem tangan, lalu tangannya maju menekan tombol sabuk pengaman Wooseok, memegang sabuknya pelan sehingga tidak lepas terlalu cepat.

“Sama-sama, Seok. Saya mau nganterin kamu kapanpun kok,” ujarnya.

There would be a next time, then, katanya implisit.

Wooseok tersenyum manis, menyentuhkan tangannya ke tangan Seungwoo dengan ringan, lalu keluar pintu tanpa suara. Ia membuka pintu tengah dan menggendong Jinwoo yang tertidur, kemudian baru membuka mulut.

Good night, kak. Drive safe and text me when you get home, okay?

Will do, Seok. Good night, and see you in Christmas, yeah?

See you. Oh iya, kak Woo?”

“Iya, Seok?”

“Stop pake ‘saya’. We’re on aku-kamu terms now.” tukas Wooseok.

Seungwoo tertegun, lalu tersenyum. Aduh, ganteng sekali.

Fokus, Wooseok.

Okay. Aku pulang dulu ya?”

“Iya. Dadah, kak.”

“Dadah.”

Wooseok pun menutup pintu, melangkah masuk ke dalam rumahnya, dan Seungwoo melanjutkan perjalanan pulang.

Keduanya tidur dengan nyenyak malam itu, seperti buah hati masing-masing—menantikan beberapa hari ke depan, saat mereka akan bertemu lagi.

Duh, natal, cepatlah datang!

Ya, aku bisa melihatnya.

Di saat dia bernyanyi lembut, aku mendengar merah berry yang pekat, lengkap dengan rasa pai blueberry yang baru keluar dari oven.

Di saat dia tertawa, aku mendengar orange marigold, penuh dengan kebahagiaan dan rasa jeruk sunkist di pagi yang cerah.

Dan saat dia menangis, aku bisa mendengar hitam obsidian yang elegan, namun dengan kesedihan yang menyusup perlahan ke dalam otakku serta asamnya stroberi yang baru dipetik.

Tapi yang terpenting, Seungyoun adalah merah scarlet. Berkelas, namun berapi-api dan menarik banyak orang ke sekitarnya. Suaranya ringan, seringan bulu merpati yang kulihat di udara saat ia berbicara, dengan rasa buah-buahan yang bermacam sensasinya.

Aku, Seungwoo, yang merupakan biru azure yang tenang, terlihat biasa, namun seperti laut—di balik tenangnya permukaan, ada diriku yang lebih kompleks daripada apa yang terlihat di luar—pun tertarik oleh merahnya.

Aku punya disorder bernama Synesthesia. Aku bisa mendengar warna dan bentuk. Menurutku, semua hal mempunyai warna dan rasa tersendiri. Seperti suara musik elektronik yang seperti permen asam meletup-letup, atau musik klasik yang seperti dark chocolate pahit.

Orang-orang pun juga begitu. Hangyul berwarna merah crimson menyala, Jinhyuk dengan kuning bumblebee cerah, Wooseok yang mempunyai warna teal menenangkan dan Byungchan yang biru sapphire—seperti aku, namun tak serupa.

Semuanya kulihat dan kudengar. Aku tak pernah menyesal punya disorder ini. Aku jadi lebih peka pada lingkungan sekitar. Dan aku bisa mengetahui kebaikan, kejujuran atau perasaan orang-orang dari semburat yang lewat.

Seperti sekarang.

Aku telah meminta Seungyoun untuk menemuiku di padang rumput dekat sekolah, yang berhias banyak bunga liar seperti dandelion dan aster.

“Kenapa, kak Woo?” ia bertanya menggunakan panggilannya padaku. Suaranya penuh warna pink rose yang lembut, serta mulutku mencecap rasa buah kiwi yang manis dengan sedikit rasa asam yang segar.

“Uh,” aku bersuara, merasakan suaraku bergetar sedikit, “Aku... mau ngomong sesuatu.”

Seungyoun mengangkat satu alisnya, nyengir.

“Ngomong aja.”

Serabut berwarna pink bertebaran di udara, meliuk seiring nada suaranya.

Dan semuanya terjadi. Tanpa berpikir jernih, kata-kata berikut tumpah dari mulutku.

“Aku suka sama kamu.”

Mata Seungyoun membelalak sedikit dan ia diam selama beberapa detik.

”... Kenapa?” tanyanya, suaranya berisikan warna pink taffy yang agak vibrant. Ia buru-buru berbicara lagi, serabut pink tersebut bergetar panik.

“Eh—maksudnya, what made you like me? Apa yang spesial dari aku?”

“Karena...” aku berdeham.

“Karena kamu itu.. kamu, Youn. Sejujurnya aku nggak tau persis kenapa aku tertarik sama kamu sih. It’s a mix of your bright smile and soft voice, your kind demeanor and fun shenanigans, I guess. Like... your red attracted my blue. Ever since we met and conversed at times in that small jazzy cafe, I’ve been falling in love.” kataku dengan pikiran penuh letupan warna dan mulut penuh rasa membuncah.

Seungwoo bodoh, penjelasanmu nggak ada jelas-jelasnya sama sekali.

Seungyoun terdiam sejenak. Lalu ia berjalan mendekat— dan memelukku.

“Y- Youn—“

“Aku juga suka sama kamu, kak.” katanya, melepaskan pelukan dan tersenyum lembut.

Aku terpaku. Suaranya membuatku pusing—rasanya manis, manis sekali seperti tart buah berlapis madu untuk camilan sore hari.

Dalam kata-katanya, keluar berbagai warna merah; cherry, ruby, fuschia, punch, rouge, dan magenta. Rasanya seperti tenggelam dan sesak. Semua warna itu, mencerminkan perasaannya padaku, mendatangiku secara bersamaan, membuatku sangat kaget.

Aku tak menyangka—dia merasakan hal yang sama. Rasanya seperti ada aurora borealis menyala berseliweran di sekitar kami.

“Oh.. aku— um, aku nggak tau mau reaksi apa...” ucapku, agak pelan dan terbata-bata.

“Nggak usah reaksi, elah. Aku tau, kok.” Seungyoun nyengir lagi, memegang tanganku dengan erat.

Lalu kita tertawa. Pelan, namun lama-lama menjadi tawa bahagia. Aku tak pernah merasakan semburat warna seelok ini. Warna ungu; lilac, lavender, orchid, amethyst, violet dan iris. Mungkin—mungkin, merah dan biru kami bersatu?

Dan seiring matahari terbenam, aku dan Seungyoun bersender satu sama lain, duduk di rumput, dikelilingi bunga-bunga yang tertiup pelan oleh angin malam, obrolan kami mengalir tanpa henti.

Warna yang muncul, tak pernah seindah ini.

Thank you for today, semuanya. Kalian boleh tidur sekarang.” Seungwoo menutup evaluasi mereka hari itu, setelah tampil di panggung untuk kesekian harinya. Walaupun ditimpa rumor dan segala macam tuduhan, mereka terus maju. Sekarang mereka berada di hotel, siap untuk beristirahat dan tidur.

Atau tidak.

Seungwoo pun berjalan ke kamarnya setelah berbicara lagi dengan manajer mereka mengenai kegiatan esok hari, meletakkan kartunya di scanner dan membuka pintu. Ia akan langsung mendaratkan badannya di kasur putih yang empuk dan melihat komentar fans di fancafe—

—andai Seungyoun tidak sedang berbaring di kasurnya sekarang ini mengenakan kemeja putih oversized tanpa bawahan sehingga kakinya yang jenjang terlihat jelas.

“Seungyoun.” Seungwoo menjilat bibirnya, matanya memperhatikan tubuh Seungyoun yang tanpa cela, dan akhirnya bertemu dengan tatapan tajam yang lebih muda.

“Seungwoo,” jawab Seungyoun, mengubah posisinya menjadi duduk. Bibirnya membentuk senyum dingin yang tidak mencapai matanya.

“Udah selesai?” tanyanya, membuat gestur tangan ke arah pintu.

Seungwoo mengangguk. “Udah.”

Pemuda yang berada di kasur balas mengangguk. Seketika, senyum di bibirnya menghilang, matanya menatap Seungwoo lagi.

Kneel, will you?” perintahnya pelan.

Tanpa kata-kata, Seungwoo berlutut di lantai di pinggir kasur, meletakkan tangan di pahanya. Seungyoun lalu meletakkan ujung kaki kanannya di bahu kiri Seungwoo, dan dari sudut matanya Seungwoo dapat melihat sekelebat thong berenda dengan warna hitam yang dikenakan yang lebih muda.

Do you know what you did today, baby?” tanya Seungyoun, mengangkat dagu Seungwoo dengan punggung kakinya.

Seungwoo menggeleng, napasnya memberat kala tatapan mereka bertemu. “Ng-nggak, Youn,” jawabnya terbata.

I wouldn’t say it’s wrong, but,” Seungyoun menggantungkan kalimatnya, memilih untuk membuka kancing kemejanya sampai semuanya terbuka, menampilkan badannya yang terbentuk sempurna serta tato pistolnya yang menggoda.

My baby nae majimak love...” suara Seungyoun mendayu mengisi ruangan, menyanyikan bagian sakral milik Seungwoo itu sambil membuka kemejanya, membuat kainnya tersangkut di kedua siku. Seungyoun tersenyum, kepalanya dimiringkan. “Does that ring a bell, hm?

Seungwoo menelan ludah, mengingat “ulah”-nya di panggung tadi. Biasanya ia hanya melakukan koreo seperti biasa dan sedikit body roll, namun tadi ia benar-benar menikmati penampilannya dan menambah gimmick-nya dengan membuka jaket, memperlihatkan bahunya yang tidak tertutupi vest. Oh.

“Iya,” katanya pelan, “Tadi aku, um, kelewatan.”

“Ah, nggak, nggak.” Seungyoun meletakkan kakinya di kasur dan beringsut mendekatinya. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Seungwoo hingga hidung mereka hampir bersentuhan, lalu berbisik.

“Nggak kelewatan kok, sayang. You’re just a whore, right? It’s your thing, isn’t it?

Sekujur badan Seungwoo merinding, tangannya ia kepalkan erat-erat. Ejekan dari Seungyoun benar-benar mempengaruhi dirinya, dan ia bisa merasakan nafsu yang mulai bangun.

Y-yes,” jawabnya.

Yes what, baby?” desak Seungyoun, memaksanya untuk mengaku.

Seungwoo menghela napas, mengaturnya agar stabil. “Yes, Youn, I am a whore.

Seungyoun tersenyum simpul. “And you are my whore. Berarti jalangnya kamu, cuma buat aku. Correct?,” ujarnya sambil mengelus pipi Seungwoo.

Yes.”

Too bad you’re dumb and enjoys being a brat, huh? A brat never understands. A brat deserves to be punished, don’t you think?” Seungyoun meletakkan kaki kanannya di atas tenda di celana Seungwoo, menggesek dan menekannya pada kain celana menjadi satu-satunya penghalang antara telapak kaki Seungyoun dan ereksinya.

Seungwoo mendesah tertahan, bibir bawahnya ia gigit kuat-kuat untuk mencegah dirinya bersuara lebih keras. Seungyoun berdecak, kemudian menamparnya pelan. “Jawab.”

“Iya. Aku—aku harus dihukum, Youn. Please, I’ve—I’ve been b- bad.” jawab Seungwoo terbata-bata, pikirannya mulai kacau balau dengan nafsu.

Bad boys deserve to be punished, indeed. Sini naik, tengkurap di atas paha aku. Cepet.” perintah Seungyoun, dan tanpa basa-basi Seungwoo langsung menelungkup di atas paha Seungyoun yang meluruskan kakinya.

Seungyoun membuka celana dan boxer Seungwoo hingga ke atas lututnya, memperlihatkan pantat Seungwoo yang pucat dan tanpa cela.

“Hitung ya, lima belas kali. Salah sekali, nggak boleh klimaks malam ini, ngerti?” tanya Seungyoun, meletakkan tangannya di atas pantat Seungwoo dan mengelusnya lembut.

“Ng- uh—ngerti.” Seungwoo mengiyakan, matanya mengerjap berusaha fokus.

Seungyoun melanjutkan pertanyaannya, “Bagus. Your safeword please?

“Laika.”

Good. Mulai, ya?” tanpa menunggu jawaban, Seungyoun menampar pantat bagian kanan Seungwoo dengan keras, membuat suara seperti pecutan yang menggema di kamar.

“A- ah! Satu!” Seungwoo mulai bergerak ingin memberontak, tapi Seungyoun menahannya dengan kuat. Ia menamparnya lagi, kali ini di bagian kiri.

“Dua!”

Bekas tangan Seungyoun muncul di permukaan, berwarna merah muda merona yang kontras dengan kulit yang putih. Ia mendaratkan tamparan lagi, dan lagi, dan tiap kali Seungwoo menghitungnya dengan patuh. Seungyoun dapat merasakan ereksi Seungwoo di pahanya, seiring badannya yang mulai mengejar tamparannya—meminta lebih.

Pada saat hitungannya mencapai enam keatas, Seungwoo sudah menghitung sambil disertai banyak desahan kecil. Alisnya berkerut mencoba berkonsentrasi, napasnya terengah karena posisi dan rasa panas yang menjalar di seluruh tubuhnya.

“Tuj—tujuh! Ah, hng, Youn, Y—ah! Delapa—an!” ucap Seungwoo dengan susah payah.

Seungyoun tetap menamparnya dengan ritme yang stabil, tersenyum melihat yang lebih tua perlahan-lahan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

“S—seb- ngh—hhng,” Seungwoo mulai kesulitan untuk mengucapkan apa yang ada di otaknya. Seluruh badannya gemetar, dan pantatnya sudah merah sekali dengan bekas tamparan.

Seungyoun tertawa mengejek, “Oh, cuma segitu aja? Whores can’t be helped, huh, do you want more of these?

Seungwoo membelalak. “Sebelas! No, Youn, p—please. I wa- wah- want you.” pintanya. Seungyoun hanya terkekeh, dan lanjut mendaratkan tamparan yang tersisa sedikit lagi.

“Empat b—buh- belas-ah! A- ah—ah, li- lima belas!”

Seungwoo terengah-engah, desahan kecil yang hampir tak terdengar masih keluar dari mulutnya. Pantatnya benar-benar merah dan sensitif sekarang. Penisnya sedari tadi sudah mengalirkan banyak pre-cum ke paha Seungyoun dan kasur, dan hampir saja klimaks kalau tadi Seungyoun tidak memberi jeda beberapa detik menjelang hitungan terakhir.

So good, baby. You did well, really well. Good boy.” Seungyoun mengelus pantat Seungwoo untuk terakhir kalinya, dan mendorong yang lebih tua untuk duduk di kasur dengan lembut. Seungwoo pun menurut, duduk di kasur sambil meringis kesakitan. Ia lalu melepas seluruh celananya, hanya menyisakan kaus putihnya di badan. Seungyoun sendiri telah melepas kemejanya, tak mengenakan apapun kecuali thong-nya.

You okay? What’s your color?” tanya Seungyoun, memastikan Seungwoo masih bisa melanjutkan.

Green, Youn.” jawab Seungwoo dengan jelas, walaupun suaranya pelan dan serak. Seungyoun mengangguk. Ia pun membuka kakinya ke samping lebar-lebar, menumpukan beratnya ke kedua tangan yang ia letakkan agak di belakang punggungnya. Posisi itu memperlihatkan dengan jelas thong yang sebetulnya tidak terlalu menutupi penis Seungyoun yang telah berdiri, dan—dan, butt plug yang kepalanya terlihat samar dari balik renda, berbentuk kristal bulat berwarna pink, terpasang rapi di anal Seungyoun.

Seungyoun nyengir menggoda, melirik ke bagian bawahnya. “Kamu mau ini, Woo-ah?”

Menelan ludah, Seungwoo merangkak ke arahnya dengan tatapan memohon dan alis berkerut. “M—mau, Youn. B- boleh ya? Have I been good?

“Hmm...” Seungyoun bergumam, pura-pura berpikir. “Maybe if you prepare me well, I’d even ride you.

Seungwoo menatapnya penuh harap. “O- oke. Aku boleh-?,” ia melirik bagian bawah Seungyoun, meminta izin. Seungyoun mengangguk, lalu mengambil ponselnya dari kabinet di samping tempat tidur. Ia menidurkan kepalanya di bantal, memainkan ponsel sambil tetap membuka kedua tungkainya.

“Boleh,” kata Seungyoun, matanya melirik Seungwoo, “Let’s see if you can wet my pussy enough to make me care.

Dengan itu, Seungwoo memposisikan dirinya di tengah kedua kaki Seungyoun. Ia melepas thong berenda itu, menariknya hingga lepas sepenuhnya dari kaki yang lebih muda. Seungwoo menghela napas dengan memburu, mendesah kecil kala di depannya langsung terlihat penis Seungyoun yang ereksi dengan semburat merah muda serta butt plug-nya yang menggoda.

“Youn, I’ll—can I eat you out? Eat- eat your pussy out, please?” pintanya, menaruh tangannya di bagian dalam paha Seungyoun.

“Mm-hm, I just cleaned up,” jawab Seungyoun dengan tidak acuh, asyik memainkan ponselnya.

Seungwoo pun memulai dengan melepaskan plug Seungyoun, lalu menempatkan bibirnya di lubang yang berkilau karena lube itu. Dijilatnya bagian luar yang merona pink, kemudian ia menjulurkan lidahnya—berusaha memasukkannya ke liang sempit itu.

Walaupun matanya tertuju pada layar, Seungyoun tetap merasakan nikmat yang diberikan Seungwoo pada analnya. Ia memutuskan untuk bermain sedikit, menjahili yang lebih tua—ia eratkan dinding analnya, membuat Seungwoo kesulitan untuk memasukkan lidahnya.

“Youn, hng,” Seungwoo menyadari apa yang dilakukannya, dan ia menatap Seungyoun dengan sayu. Seungyoun melihatnya dengan cuek.

“Kenapa? Ayo, lanjut.”

Seungwoo menjilat bibirnya. “Renggangin, ya? Bo- boleh, ya?” ia mengecup perineum Seungyoun, lalu turun dan menghisap bibir analnya.

“Ngh,” Seungyoun mendesah pelan, menyerah dan meregangkan dindingnya. Ia masih memainkan ponselnya, matanya tertuju pada layar. Seungwoo sendiri langsung memasukkan lidahnya—menggerakkannya di dalam, merasakan dinding ketat itu yang bercampur dengan rasa strawberry dari lube yang dipakai Seungyoun.

Beberapa saat kemudian, Seungyoun tidak tahan—ia melempar ponselnya dan meletakkan tangannya di rambut Seungwoo, lalu mendorongnya lebih dalam hingga hidungnya menyentuh perineum Seungyoun.

“H-hng!” Seungwoo terkejut, namun tetap melanjutkan kegiatannya. Dagunya sekarang basah dengan saliva, sama dengan bibir anal Seungyoun dan daerah di sekitarnya. Suara slurping yang keras terdengar di ruangan, diiringi desahan mereka berdua.

“Sayangnya aku,” ujar Seungyoun, menggerakkan pinggulnya sedikit. “My best baby. So eager for me, hm? You think you deserve a reward?

Ia menarik rambut Seungwoo dalam kepalan tangannya, membuat yang lebih tua mengangkat kepalanya. Seungwoo memandangnya dengan mata setengah terbuka, bibirnya bengkak dan memerah.

“I, hng, baby,” kata Seungwoo tidak jelas, lalu berhenti untuk menyusun kata-kata.

“Aku tanya sekali lagi. Do you think you deserve a reward?

“Hng, iya, Youn, I’ve been good, please,” jawab Seungwoo, matanya terpejam saat Seungyoun menarik rambutnya lagi dan memiringkan kepalanya ke samping. Seungyoun pun duduk, membuka kaus Seungwoo dan menerjang leher jenjang yang lebih tua.

“Hng, Youn—Youn, ngh, Youn,” Seungwoo merapalkan nama yang lebih muda berulang kali seperti mantra, tangannya menggenggam bahu Seungyoun dengan gemetar. Kepalanya masih miring karena rambutnya ditarik untuk mempermudah akses Seungyoun dalam mencium, menjilat dan menghisap leher leadernya itu, membubuhkan tanda-tanda berwarna merah keunguan. Tanda itu adalah sebuah klaim, sebuah pengingat untuk Seungwoo bahwa sejauh apapun ia pergi, Seungyoun-lah tempatnya berpulang.

“Hush hush, baby. Let’s give you the reward now, hm?” Seungyoun pun melepaskan pegangannya, menidurkan Seungwoo di atas kasur. Ia memposisikan dirinya di depan penis Seungwoo yang telah ereksi sedari tadi, menatapnya, lalu memegangnya dan mendaratkan kecupan kecil di ujungnya.

Seungyoun tersenyum mencemooh, “Besar banget. Sayang kamu nggak bisa pakenya, hm?”

Seungwoo menatapnya nanar, napasnya mulai terengah. “Iya, Youn, ng- nggak bisa,” katanya pelan, mukanya memerah karena malu.

It’s okay, baby. You’re just a little bit dumb, right? Let me take care of you. It’s okay.” ujar Seungyoun, lalu langsung mengulum bagian kepalanya, mengisapnya sedikit. Kemudian ia majukan mulutnya hingga penis itu memenuhi mulut sampai menyentuh tenggorokannya. Ukuran Seungwoo sama sekali tidak kecil; bahkan ada bagian yang tidak dapat diraih Seungyoun. Ia pun menstimulasi bagian yang tersisa dengan tangannya.

Tangan Seungwoo meremas sprei kuat-kuat, air mata meleleh di pipinya seraya ia meracau. Tatapan mereka bertemu, dan Seungwoo menarik napas panjang saat ia melihat Seungyoun dengan lirikan tajam melihat lurus padanya, mulut penuh dengan penisnya.

“Hhh, ng, Y- Youn, please, m- mau, mau masuk.” pinta Seungwoo tak berdaya.

Seungyoun pun melepaskan mulutnya, benang saliva menghubungkan ujung penis yang basah tersebut dengan bibirnya.

Only because you asked so nicely,” katanya, lalu mengubah posisi menjadi duduk di atas selangkangan Seungwoo, membiarkan permukaan lubangnya menggesek penis yang lebih tua.

Ia memaju-mundurkan pinggulnya dengan sensual, penisnya sendiri bergesek dengan pelvis Seungwoo. Tangannya bertumpu pada dada bidang leadernya.

“Ah, mm, you want to get in, baby? Kapan terakhir kali kamu tes?” tanyanya, disambut dengan anggukan Seungwoo.

“S-seminggu lalu, Youn, n—negatif, please, wanna make- make you feel good, please,”

Alright.” dengan itu, Seungyoun pun mengambil lube yang ia pakai tadi di kabinet, menbalurkannya pada ereksi Seungwoo. Ia mengangkat dirinya sedikit dan memegang penis Seungwoo—memasukkan ereksi tersebut ke dalam lubangnya. Perlahan ia turunkan badannya sampai masuk seluruhnya. Ia terdiam sesaat, menyesuaikan diri dengan sensasi yang memenuhi analnya.

“Hng, you’re so huge, baby. Gon- gonna ride it for days, huh? My personal little whore, ah, for my eyes only, hm?” goda Seungyoun, menggerakkan pinggulnya dengan melingkar.

Seungwoo menatapnya dengan sayu, alisnya berkerut seraya tangannya memegang pinggul Seungyoun, mengikuti gerakannya. “Ah, Y- yes, I’m your whore, please—feels so good, so warm,”

Seungyoun pun mulai bergerak naik-turun dengan ritme yang cukup cepat, mengeluarkan penis Seungwoo hingga kepalanya saja yang masuk, lalu segera menurunkan badannya dalam sekali sentak.

“Enak, sayang? hm? Penuh—hng, penuh banget lho, di dalam,” kata Seungyoun sambil mengencangkan dinding analnya lagi, menyebabkan Seungwoo mendesah keras.

“Ah, hng, sem—sempit, Youn, hng,” balas Seungwoo lemah, tangannya memegang paha Seungyoun dan meremasnya erat.

Yeah? Gon- gonna stuff myself with your cum and plug it in, hm? You’d like that?

Seungwoo bersusah payah membentuk jawaban, “Y- hhh, y—yes, hng, please.” Pinggulnya mulai ikut bergerak naik, menemui ritme Seungyoun di tengah-tengah. Penisnya tepat mengenai prostat Seungyoun, dan yang lebih muda mempercepat ritmenya, berusaha mengenai spot itu berulang-ulang.

Beberapa lama kemudian, mereka berdua mulai mempercepat ritmenya lagi, mengejar klimaks masing-masing.

“Ah, ah, ah,” Seungyoun mendesah pendek-pendek, ritmenya mulai tidak beraturan saat ia merasakan klimaksnya mulai mendekat. Seungwoo sendiri tidak jauh berbeda, matanya berkabut dan tidak fokus, mulutnya setengah terbuka mengeluarkan desahan dan saliva yang mengalir dari sudut bibirnya. Seungyoun menunduk, mempertemukan bibirnya dengan Seungwoo dalam kecupan basah, menjulurkan lidahnya dan memagut yang lebih tua. Ia gigit bibir bawah Seungwoo pelan, matanya membuka melihat ekspresi Seungwoo yang kepayahan dalam mengimbanginya.

Seungyoun pun melepaskan ciumannya, mengangkat wajahnya sedikit sehingga hidung mereka bersentuhan. Ritmenya sudah benar-benar berantakan, dan cairan precum-nya menggenang di abdomen Seungwoo.

“S- sayang, bareng ya? Sama aku, ya? Fill my pussy nicely, would you?” ajaknya pada Seungwoo, napas mereka beradu.

Seungwoo mengangguk pelan, tangannya meraih kedua belahan pantat Seungyoun dan menariknya sambil menusuk ke atas, melebarkan lubang Seungyoun.

“Hng, iya, Youn—hhng, I can’t, please, now, please,” racaunya, matanya menatap Seungyoun putus asa.

Seungyoun terengah, mengecup bibir Seungwoo sekali, dua kali, lalu berbisik, “Sekarang, sayang. Come on. Come for me, fill me up. Ah!”

“Y- Youn! Ng- ah!”

Ia pun klimaks, disusul sepersekian detik kemudian oleh Seungwoo yang menanamkan penisnya dalam-dalam di analnya. Cairan spermanya mengenai abdomennya dan Seungwoo, sedangkan Seungwoo menumpahkan miliknya di dalam, mengisinya penuh dengan sperma—banyak, karena stimulasi yang diberikan Seungyoun sejak awal tadi.

Seungyoun merasakan Seungwoo gemetar di bawahnya, terdiam dan tak berkata apa-apa. Ia pun menarik bahu Seungwoo, membuat posisinya menjadi tegak. Tangannya merengkuh kepala yang lebih tua, lalu meletakkannya di dada kirinya—tempat jantungnya berdegup.

So good, baby. You did so well. I’m so proud of you, pretty baby, sayang banget sama kamu. Yuk, napas bareng aku, yuk? Pelan-pelan, ya?”

Ia mengelus rambut Seungwoo dengan lembut, mengecup ubun-ubunnya sesekali. Napasnya ia stabilkan agar Seungwoo dapat mengikutinya. Pujian demi pujian terus keluar dari mulut Seungyoun untuk kesayangannya—paling baik, paling cantik, Seungyoun bangga.

Perlahan-lahan, napas Seungwoo mulai stabil, dan tangannya balas memeluk pinggang Seungyoun. Kepalanya ia angkat, melirik yang lebih muda yang balas menatapnya dengan penuh kasih.

Olá, meu querido.

Seungyoun tersenyum lebar, matanya menyipit membentuk eye-smile yang manis. Seungwoo balik tersenyum lembut, mendongak untuk mencium leher Seungyoun.

“Artinya apa?” tanyanya pelan.

Hello, my dear.

Seungwoo mengeratkan pelukannya dan mendaratkan kecupan lembut di bibir Seungyoun, mereka berdua menahannya beberapa detik. Begitu lepas, dahi mereka bersentuhan, menatap satu sama lain dalam diam.

“Gimana?” tanya Seungyoun, “Enak?”

“Enak,” Seungwoo mengangguk.

Anything I should be concerned with?”

Seungwoo menggeleng. “Nggak, cuma...” ia meringis, “pantat aku perih sekarang.”

“Oh iya!” Seungyoun tertawa kecil, lalu memegang bahu Seungwoo dan melepaskan penis yang masih tertanam dalam dirinya. Mereka berdua mendesah karena sensasi hangat yang perlahan hilang. Cairan putih perlahan mengaliri paha Seungyoun.

Sorry to say, tapi besok kita berangkat pagi jadi kayaknya nggak jadi aku plug,” ujar Seungyoun, “Nah, ayo balik badan. Punggung kamu di atas.”

Seungwoo pun menurutinya, berbalik sehingga ia berbaring di perutnya. Seungyoun mengambil gel aloe vera yang ia tempatkan di kabinet, membukanya, lalu perlahan mengoleskannya ke pantat Seungwoo yang masih merona.

“Aw!” Seungwoo berjengit kala gel yang dingin bertemu dengan kulit sensitifnya.

I was a little bit rough, eh? Maaf, ya.” Seungyoun nyengir.

“Mmm, nothing new.” sahut Seungwoo, matanya mulai terpejam. “Nggak apa-apa, aku suka, kok.”

Seungyoun mendengus, tersenyum lebar. “Baguslah.”

Setelah selesai, ia meletakkan aloe vera-nya kembali, lalu memindahkan baju-baju di atas tempat tidur ke keranjang laundry (kecuali thong-nya, ia simpan di plastik tersendiri lalu ia letakkan di koper. Nggak mau ambil resiko ketahuan). Lalu ia ambil handuk kecil di kamar mandi, membasahinya dengan air hangat, dan kembali ke kasur. Ia pun mengelap badannya dan badan Seungwoo—yang lebih tua merengek karena sudah hampir ketiduran—dan melempar handuk tersebut ke keranjang laundry lagi.

“Yoooun, siniiii.” Seungwoo yang sekarang berbaring telentang di tempat tidur merentangkan tangannya, disambut Seungyoun yang langsung merebahkan dirinya di samping sang leader. Ia tarik duvet untuk menutupi mereka, lalu memeluk Seungwoo. Mereka bertatap muka, merengkuh satu sama lain dengan erat.

Seungwoo tersenyum—senyum paling indah, paling Seungyoun jaga.

“Makasih ya, Youn. I needed that relief.

My pleasure.

Seungwoo pun menyamankan dirinya dalam pelukan Seungyoun, berlindung dengan aman dari dunia. Ia pun melepaskan seluruh beban pikirannya, dan menutup mata.

“Youn?”

“Hm?”

Can you sing me a lullaby?

Seungyoun tersenyum, mengecup kening Seungwoo dengan sayang. “Of course.” dengan itu, ia pun mulai menyanyikan lagu lembut, mengantar Seungwoo ke alam mimpi dengan suaranya.

Gosto muito de te ver, leãozinho, caminhando sob o sol...” Seungyoun menutup mata.

gosto muito de te ver, leãozinho (i really like to see you, little lion)

caminhando sob o sol (walking under the sun)

gosto muito de você, leãozinho (i really like you, little lion)

para desentristecer, leãozinho (to make you sad, little lion)

o meu coração tão só (my heart so lonely)

basta eu encontrar você no caminho (just meet you on the way)

um filhote de leão, raio da manhã (a lion cub in the morning ray)

arrastando o meu olhar como um ímã (dragging my gaze like a magnet)

o meu coração é o sol, pai de toda cor (my heart is the sun, father of every color)

quando ele lhe doura a pele ao léu (when he gilded her skin in the face)

gosto de te ver ao sol, leãozinho (i like to see you in the sun, little lion)

de te ver entrar no mar (to see you enter the sea)

tua pele, tua luz, tua juba (your skin, your light, your mane)

gosto de ficar ao sol, leãozinho (I like to be in the sun, little lion)

de molhar minha juba (wet my mane)

de estar perto de você e entrar no mar (to be near you and get in the sea)

—fin.

Capek.

Itu yang ada di pikiran Seungyoun, yang sedang duduk lemas, notebook di depan mata penuh dengan coret-coretan yang berantakan.

Seungyoun menggaruk kepalanya, frustasi. Tinggal sehari lagi tenggat waktunya untuk menyelesaikan album. Manajernya sudah menelpon berkali-kali, meminta konfirmasi bahwa albumnya sudah siap diserahkan.

Tidak. Albumnya belum selesai. Dan yang dia butuhkan hanyalah satu lagu lagi.

Ah, sial! Udah jam 3.. 24 jam kurang 3 jam.. 21 jam lagi buat bikin lagu, itu belom ditambah gig yang ada nanti siang dan sore.. ARGH! Susah banget sih! Di mana inspirasi pas lo lagi butuh?!

Seungyoun memaki-maki dalam hati. Diminumnya kopi yang menjaganya dari tidur, walaupun matanya sendiri sudah mulai sayu dan pikirannya sudah tidak jernih.

“Lho, sayang, kamu kok belom tidur?”

Seungyoun memalingkan kepalanya ke arah suara bariton yang serak. Rupanya Seungwoo, tunangannya—sebulan lagi mereka menikah—yang sepertinya terbangun dari tidurnya, menghampiri Seungyoun yang masih menggerutu di mejanya.

“Woo,” Seungyoun bangkit dari duduknya, “Iya, nih, aku belum dapet inspirasi, padahal tinggal satu lagu. Rasanya frustasi banget.”

Seungwoo menghela napas, lalu merengkuh Seungyoun. “Udah, kamu tidur aja dulu. Kalo bangun terus malah nggak bisa mikir, lho. Ujung-ujungnya malah sakit atau nggak dapet inspirasi sama sekali.”

“Tapi, Woo, tenggat waktunya—” ucapan Seungyoun terpotong oleh kecupan lembut yang didaratkan Seungwoo ke bibirnya.

“Nggak ada tapi-tapian. Aku tau kamu dan aku nggak mau kamu kenapa-kenapa, oke? Udah, tidur.”

Seungyoun hanya mengangguk dan mengikuti Seungwoo kembali ke kamar.

Mereka berbaring di tempat tidur, merengkuh satu sama lain di balik duvet yang hangat.

“Tidur ya, sayang. Mimpi sama aku dulu, susahnya nanti lagi.” kata Seungwoo, mencium kening Seungyoun penuh kasih.

Seungyoun mengangguk, menempatkan kepalanya di ceruk leher Seungwoo dan perlahan terlelap dalam pelukan hidup sematinya.

———

Seungyoun terbangun oleh deringan ponselnya. Dilihatnya sisi sampingnya dan nihil. Tidak ada Seungwoo. Oh iya, dia berangkat pagi hari ini, batinnya.

Dengan enggan ia mengambil ponselnya dan melihat nama si penelpon. Dengan jelas terpampang nama “Christian”—manajernya—di depannya.

Fuck.

“Halo?”

“Seungyoun! Lo kemana aja daritadi gue telpon? Buruan ke agensi, lo kan ada kerjaan!”

“Eh, sorry, Ian. Gue baru bangun. Hehe.”

“Haha hehe haha hehe! Ini gue serius, buruan, lo mulai sejam lagi!”

“HAH? GIG GUE KAN JAM DUA!” pekik Seungyoun, membelalak.

“Ya iya, duh! Udah jam satu, sana siap-siap! Album lo udah selesai belom?” tanya Ian dengan nada kesal. Pasti di balik telepon ia sedang memutar bola matanya.

Seungyoun melihat jam, melotot. Jam 1?! Jadi Seungwoo nggak bangunin dia?! Nggak tega sih, nggak tega, tapi kalo telat begini ia bisa mati digorok Ian!

“Eh—dikit lagi, kok.”

“Jadi nanti lo serahin nggak?”

“Nggak, kayaknya. Masih ada yang mau gue revisi.” Ehm, bukan revisi tapi tulis sebetulnya. Tapi bohong sedikit nggak apa-apa lah ya.

“Halah. Yaudah, gue tunggu lo ya.”

“Oke.”

Seungyoun menutup telepon. Ia menghela napas dalam. Ayo kuat. Seungyoun kuat, Seungyoun pasti bisa, katanya dalam hati, menyemangati diri sendiri.

Ia pun bersiap-siap, mengenakan kaus, bomber jacket dan jeans hitam. Dengan berbekal ponsel, dompet dan roti untuk sarapan kecil-kecilan, Seungyoun pun berangkat dengan mobil Fiat 500-nya.

———

“Seungyoun! Akhirnya nyampe juga! Lo telat 15 menit, tau! Untung aja fotografernya sabar.”

Begitu sampai di lokasi, seperti yang sudah diduga, Seungyoun langsung diomeli Ian.

Sorry, Macet tadi—hah? Fotografer?”

“Iya, lo hari ini ada pemotretan buat Harper's Bazaar, plus artikel, jadi bakal ada wawancara.”

“Oh, oke.”

“Yaudah, siap-siap gih. Cepet ya.”

“Iya, mamaaa.” ejek Seungyoun, yang dibalas dengan lemparan gelas plastik bekas kopi penuh kasih sayang dari Ian.

Setelah dipulas makeup dan berganti baju, Seungyoun menuju ke tempat pemotretan.

“Halo, Seungyoun. Gue Sunghwa, fotografer lo hari ini. Mohon kerjasamanya yah.”

Seungyoun pun bersalaman dengan Sunghwa. “Iya, maaf gue telat tadi, hehe.” jawabnya sambil nyengir.

“Iya, nggak apa-apa. Agak cepetin aja yah.”

“Siaap.”

“Oke, lo duduk di situ. Agak ke sana sedikit. Sip! Posenya natural aja—nah iya, segitu! Jangan gerak, ya. 1, 2, 3, ...”

Seusai pemotretan (yang berlangsung selama dua jam, sedihnya), Seungyoun berlanjut ke wawancara dengan jurnalis Harper's Bazaar yang bernama Dabin.

“Hai, Seungyoun! Sini, duduk. Make yourself comfortable.” ucapnya.

Seungyoun mengangguk sambil tersenyum simpul dan duduk di depan Dabin yang memegang notes kecil dan pensil. Rekorder mini terletak di meja kecil depan mereka.

“Oke, berhubung waktu, sekarang gue bakal langsung wawancarain lo, ya. Dibawa santai aja, gue bukan yang suka nulis artikel menye-menye kok.” kata Dabin sambil nyengir.

“Ahahaha, oke oke.” balas Seungyoun ringan.

“Oke, pertanyaan pertama. Apa yang membuat lo jadi penyanyi? Kayak sebab atau motivasi lo, gitu.”

“Hm, jadi dulu tuh gue kuliah abroad, tapi pas udah tahun-tahun akhir sayangnya duit gue tipis dan gue nggak mau ngeribetin orang tua lagi, plus gue harus paroan bayar kos-kosan sama, um, pacar gue, Seungwoo. Akhirnya gue mutusin buat kerja sampingan, tapi gue bingung mau kerja apa. Jadi barista atau pelayan, gue takut nggak bisa cepet. Jadi pekerja di bengkel atau kuli, guenya udah lemes duluan. Ya yang gue bisa cuma nyanyi dan nulis lagu, akhirnya gue ngelamar kerja di café deket kampus, perform pas malem gitu. Well, kayaknya orang-orang pada suka suara gue, jadi suatu hari ada orang dari agency yang nawarin gue kerjaan. Jadilah gue penyanyi.” jelas Seungyoun panjang lebar.

“Berarti kuliah lo nggak selesai, dong?” tanya Dabin.

“Gue vakum kuliah dulu, hehe,” ujar Seungyoun, “Dengan dukungan Seungwoo dan orang tua gue tentunya. Terus pas abis promo album pertama gue selesai, gue balik belajar lagi. Kira-kira satu tahun gue cuti kuliah.”

“Wow. Sekarang lo udah lulus berarti. Degree lo apa, kalo boleh tau?” Dabin mengetukkan pensilnya di dagunya, matanya berbinar tertarik.

Bachelor of Arts,” jawab Seungyoun, nyengir.

I see. Album kedua lo udah mau keluar kan sebentar lagi? Plus katanya lo mau tour. Gimana perasaan lo tentang semua ini, jadi penyanyi, songwriter, being popular, et cetera?”

Seungyoun tersenyum simpul, matanya berkilau penuh nostalgia. “Menurut gue ini berkah banget. Gue nggak pernah nyangka suatu hari passion gue bisa membawa gue ke career sebesar ini. It feels amazing, you know, doing your hobby as your job.”

“Iya, hobi jadi pekerjaan emang paling enjoyable. Oh iya! Elo sama Seungwoo sebentar lagi bakal nikah kan?” Seungyoun mengangguk, mukanya merona manis mendengar pertanyaan Dabin tersebut. “Gimana sih hubungan kalian selama ini?”

“Gue udah kenal Seungwoo sejak gue mulai SMA, dan kita jadi deket banget. He has been my lover slash best friend slash anchor and safe haven for about 10 years now.”

“Wah, longlast banget. Terus plan pernikahannya gimana sejauh ini?”

“Hm, kita udah dapet venue, dan bakal diselenggarain 14 Maret nanti. Palingan sederhana aja, nggak hedon-hedon. Nggak rame-rame juga tamunya.”

Okay then. Terakhir, harapan lo selanjutnya gimana? Tentang karir lo, hubungan lo dan Seungwoo, keluarga, dan lain-lain.”

Seungyoun terdiam sejenak, berpikir.

“Buat karir gue.. I'm enjoying it as much as I can. Cape banget maintain-nya, tapi Seungwoo dukung gue untuk terus maju dan ini emang kegemaran gue untuk nyanyi dan menghibur orang-orang. Jadi, ya, gue harap yang terbaik aja buat karir gue. Buat hubungan gue dan Seungwoo, sih, ya.. Gue harap longlast, pasti. And I'm looking forward to build a wonderful family with him. Till death do us part, deh.” jawab Seungyoun.

Okay, thanks ya, Seungyoun. Best of luck for you always.” kata Dabin, tersenyum sambil mematikan rekorder dan merapikan papan jalannya.

No prob. I'll see you soon at the album launching event?.” tanya Seungyoun.

Dabin pun bangkit dari kursinya. Mereka berjabat tangan kembali. “Hope so. See ya!

See ya!

Setelah Dabin pergi dari tempat wawancara, Ian duduk di depan Seungyoun.

“Hoi, lo nggak boleh pulang sampe albumnya selesai ya. Tinggal revisi kan?” tukas managernya yang badannya diselimuti tattoo itu.

Seungyoun terbelalak. “Hah?! Ya kali! Masa gue ngadat disini sampe larut?”

“Ya lo buruan selesein, dong. Biar nggak pulang malem.”

“Ya nggak gitu juga, Ian...” Seungyoun menjawab lirih.

“Udah, gue nggak terima alasan apapun dari lo sekarang. Nggak mau tau, lo harus udah selesai malam ini.”

Seungyoun tertunduk lemas. Astaga! Bisa meledak otak gue. Inspirasi.. Buruan muncul dong, gila! Sambil menggerutu di dalam hati, Seungyoun menundukkan kepalanya sampai menyentuh lututnya.

Saking kerasnya ia berpikir, ia tak sadar bahwa seseorang telah menempati kursi di depannya.

“Sayangnya aku kok nunduk gini, ya?”

Seungyoun mendongak ke depan. “Seungwoo?!” katanya terkejut, “Kok ada disini?”

“Hehe, aku pulang lebih cepet. Mau surprise-in kamu.”

“Tapi kenapa kamu tau kalo aku ada di sini?”

“Tau dong. Kalo kamu sih aku pasti tau.” jawab Seungwoo, nyengir.

“Ahahaha. Iya juga.” sahut Seungyoun lemas. Seungwoo mengangkat satu alisnya. “Kenapa, Youn?”

“Ah, nggak.. Belom dapet inspirasi buat lagu. Kata Ian, aku harus disini sampe albumnya selesai.”

“Ooh..” Seungwoo menggeser kursinya ke sebelah Seungyoun. “Mau aku bantuin?” tanyanya lembut.

“Hm.. boleh deh, Woo.”

“Oke, sekarang kamu tanya apa aja ke aku.”

Seungyoun menyandarkan kepalanya ke bahu Seungwoo. “Apa ya..” katanya sambil menutup mata, “Menurut kamu, gimana perjalanan kita selama ini? Through thick and thin?”

“Menurut aku..” Seungwoo menyenderkan kepalanya ke kepala Seungyoun dan merengkuh bahu kekasihnya itu, bibirnya menyunggingkan senyum manis.

We've overcome everything that came to us, babe. Inget kan, kita tinggal berdua di flat kecil itu, sempet di basement malah, cuma dengan keinginan buat bahu-membahu membiayai hidup berdua. Ada saatnya kita susah, kayak pas musim dingin basement bikin kita menggigil setengah mati, cuma bisa pelukan di balik selimut sampai pagi. Ada saatnya kita nggak punya uang, kerja sana-sini buat bayar sewaan, pulang malam bahkan sampe dini hari. Ada juga saatnya kita berantem, karena uang lah, makanan lupa dibeli lah, jarang ketemu lah... Tapi bareng kamu, aku nggak pernah capek. Rasanya emang kita ditakdirkan buat ngelewatin semuanya bareng, buat susah seneng bareng. Semuanya berasa petualangan, journey kamu dan aku. Dan di saat bahagia.. Aku ngerasa kita memang pantes. Kita memang ditakdirkan buat kayak gini. And I'm proud I can get through everything with you. We're so strong nothing can break us apart, Youn, and even if we break, I’m willing to go through hell and put us back up again.”

Mata Seungyoun mulai berkaca-kaca, namun ia melanjutkan pertanyaannya. Ia menggigit bibirnya, menahan rasa cinta dan isak tangis yang ingin menyeruak.

“Arti aku buat kamu itu kayak gimana?”

Seungwoo mengecup lembut kepala Seungyoun.

“Kamu itu seseorang yang bikin semua pengorbanan nggak sia-sia. Semua rencana, semua harapan, aku bakal terus berusaha buat wujudin itu demi kamu. Mau sesusah apa, mau gimana juga.. Kalo itu bisa bikin kita tetep bareng, I'll do anything for it. Kamu juga seseorang yang... how to say it? Kamu itu jangkar aku, Youn. Kamu satu-satunya tambatan aku kalo rasanya dunia nggak pantes lagi aku huni. Dan... you’re the red to my blue, I guess? You’re my heart, my sunshine, my everything, Youn. Jujur aja aku nggak merasa semua yang aku bilang ini cukup buat menggambarkan betapa berartinya kamu buat aku.”

Seungyoun tersenyum, lalu menengadah menghadap muka Seungwoo, hidung mereka bersentuhan.

I cannot thank you enough.”

Me neither. You don't need to, though.”

Mereka tersenyum dan menyentuhkan bibir satu sama lain, tanpa bahasa namun penuh sejuta rasa.

“Udah, gih, kamu tulis lagu dulu. Pasti udah dapet inspirasi, kan?” Seungwoo melepas tautan bibir mereka sambil nyengir kecil, mengelus kepala Seungyoun.

“Iya.” jawab Seungyoun, tersenyum simpul, dan mulai menorehkan lirik-lirik ke dalam notebooknya.

Liriknya mungkin tidak bisa mengekspresikan luasnya semesta dalam diri mereka berdua, but, oh well, paling tidak Seungyoun bisa menunjukkan sedikit cinta mereka kepada dunia, dan hal itu lebih dari cukup—albumnya selesai, diiringi pelukan hangat dan kecupan manis dari belahan jiwa di sebelahnya.

Seungyoun mengambil paket kiriman yang baru saja diletakkan oleh kurir di depan dorm, membawanya hati-hati dari pintu depan ke kamarnya, memastikan tidak ada yang melihat dirinya membawa kotak itu.

Sesampainya di kamar, ia duduk di kasur dan dengan berhati-hati membuka kotak itu, tersenyum senang saat ia melihat barang di balik plastik pembungkus yang melindunginya. Seungyoun pun meraih barang itu dan mengamatinya dengan mata berbinar.

Barang itu adalah sebuah butt plug dengan ukuran sedang, berwarna perak mengkilat dengan pangkalnya berbentuk bulat dengan aksen kristal berwarna biru lembut yang berkilau saat tertimpa cahaya.

Tanpa menunggu lebih lama, Seungyoun melepaskan celana boxer yang dikenakannya, mendesah pelan saat udara dingin ruangan menyerbu bagian privatnya. Ia bersandar pada dipan, membuka kakinya sehingga lututnya hampir menyentuh dada. Pemuda itu mengambil tube lubrikan dari kabinet di samping, membalurkannya pada jari-jarinya yang mungil.

Perlahan, Seungyoun meletakkan jarinya di pinggiran lubangnya, napasnya memburu seraya ia meraba rim-nya dengan pola melingkar. Lalu ia memasukkan jari telunjuknya ke dalam dan menggerakkannya.

“H-hng,” desah Seungyoun tertahan seraya ia menambahkan jari tengahnya, membuat gerakan menggunting untuk meregangkan analnya yang sempit. Sekujur tubuhnya merinding, rasa nikmat menjalar sepanjang tulang punggungnya. Setelah beberapa saat, Seungyoun pun menambah jari manisnya untuk masuk, penisnya yang sudah ereksi mengeluarkan cairan pre-cum yang menggenang di torsonya.

Tepat sebelum ia mencapai puncak, Seungyoun dengan paksa menghentikan pergerakan jarinya, rengekan kecil melesak keluar dari bibirnya saat ia mengambil butt plug tadi dan menambatkan benda itu dalam analnya yang sudah diregangkan. Setelah itu, ia memakai boxernya kembali dan merapikan barang-barangnya, lalu keluar ruangan.

Menuju kamar Seungwoo.

———

Seungyoun mengetuk pintu tiga kali sambil berujar, “Hyung, ini Seungyoun. Boleh masuk, nggak?” yang langsung dijawab oleh sang empunya ruangan dengan kata silahkan.

Saat ia membuka pintu, terlihat Seungwoo sedang membaca buku sambil berbaring di tempat tidurnya. Pemuda yang lebih tua darinya itu terlihat serius, matanya fokus pada bacaan di depannya.

Hyung,” mulai Seungyoun, menggigiti bibir bawahnya dengan gugup, “I have a surprise.

Seungwoo menurunkan bukunya dan tersenyum, membuat Seungyoun lemas dengan tatapannya yang terfokus padanya. “What kinda surprise, hm?

You wanna know?” goda Seungyoun sambil mendaratkan dirinya di pangkuan Seungwoo, yang diduduki pun spontan melingkarkan lengannya di pinggang yang lebih muda. Ia mengangguk antusias, matanya berkilat penasaran. “Then find out yourself.” lanjut Seungyoun, menggesekkan pantatnya dengan sensual di atas paha Seungwoo.

“Misterius banget, sih,” ujar Seungwoo sambil tertawa kecil, tangannya mulai menggerayangi badan Seungyoun di balik kaus tipisnya, jempolnya sesekali mengusap kedua puting pemuda itu, membuat Seungyoun mendesah tertahan. “Buka bajunya yuk, sayangnya hyung?” permintaan Seungwoo adalah komando untuk Seungyoun, maka dengan patuh yang lebih muda langsung membuka kausnya—memperlihatkan badannya yang menunjukkan otot perut sempurna dan putingnya yang masing-masing berhiaskan tindikan berbentuk cincin berwarna perak.

Seungwoo pun mendaratkan bibirnya pada puting kanan Seungyoun, mengisap dan menjilatnya sampai pucuk berwarna merah muda itu mengeras.

“Hng—Ah, hyung—“ Seungyoun mendesah saat Seungwoo sesekali menggigit tindikan itu dan menariknya lembut, tangannya yang berada di surai hitam yang lebih tua gemetar dan menekan kepala hyung-nya itu. Seungwoo bergumam, memainkan puting yang satu lagi sehingga sekarang kedua putingnya basah, keras dan berwarna lebih gelap dari sebelumnya.

Beralih ke atas, Seungwoo mengecup bibir Seungyoun yang menatapnya dengan pandangan berkabut, napas yang lebih muda terengah saat lidah Seungwoo melesak ke dalam mulutnya, mencumbunya tanpa ampun yang membuat ereksinya kembali berdiri dan membasahi boxernya.

“Aw, my baby is that eager, huh? Getting hard over few tugs on your pretty nubs?” goda Seungwoo saat melepas ciuman mereka. Muka Seungyoun merona merah, bibirnya agak membengkak karena cumbu mereka tadi. Saliva membasahi bibir dan sedikit mengaliri dagunya, matanya berair dan pandangannya tak fokus.

Seungyoun terdiam beberapa saat, membuat Seungwoo menampar pantatnya pelan. Ia berusaha fokus, mulutnya membuka namun jawabannya baru keluar beberapa detik kemudian.

“H-hng,” gumamnya sambil mencengkeram bahu Seungwoo dengan lemah, “Eager. Yes—yes I am,”

My eager baby, so good for me, hm? Even got me a little surprise...,” Seungwoo mengelus pipi Seungyoun dengan tangan kanannya, menatap lurus ke netra yang lebih muda. “Okay, baby. Let’s get started, alright? What’s the safeword?

Seungyoun menjawab tanpa jeda. “Vulpes.”

Good boy.” Seungwoo mengecup lembut bibir Seungyoun. “Kalo kamu nggak bisa ngomong, What should you do?” tanyanya lagi.

“Tepuk hyung dua kali, atau gumamin nada apapun.”

“Bagus.” puji Seungwoo, “My pretty baby. Can you be good for me?

Seungyoun mengangguk, menahan setengah mati keinginannya untuk menggerakkan tubuhnya dibatas paha Seungwoo. “Yes, hyung.

Alright,” Seungwoo tersenyum, lalu kembali mencium pemuda itu. Seungyoun membiarkan mulutnya dijelajahi, saliva mengaliri dagu dan lehernya dan rengekannya semakin kentara saat Seungwoo memainkan putingnya kembali.

Hy—hng, ah, jangan ditarik—ah,” Seungyoun mengerang nikmat saat tindikannya kembali ditarik oleh Seungwoo, diputar dan dimainkan berulang kali. Tanpa sadar, pinggulnya bergerak mencari friksi untuk meredakan ereksinya, membuat Seungwoo menghentikan stimulasinya. Seungyoun memekik saat pahanya ditampar dengan cukup keras oleh Seungwoo, meninggalkan bekas kemerahan di kulit putihnya.

“Mana yang tadi katanya mau nurut, hm? Disentuh dikit aja udah nakal?” ejek Seungwoo, tangannya menelusup ke boxer Seungyoun, meremas pantatnya sebelum akhirnya mengarahkan jarinya ke arah lubang sensitif milik yang lebih muda.

Seungwoo tertegun. Jarinya meraba sesuatu yang keras tertanam dalam lubang sempit itu. “Oh?” ujarnya, menatap Seungyoun yang menggigiti bibir bawahnya, mukanya memerah lebih dari sebelumnya.

Is this your surprise, baby?” tanya Seungwoo, memainkan ujung butt plug yang ditemukannya; memutar-mutarnya dalam lubang Seungyoun yang membuat sang empunya merengek manja sambil mengangguk.

“Pakai kata-kata dong, sayang.” bujuknya sambil menekan ujung plug sehingga melesak lebih dalam.

“Hhh,” Seungyoun susah payah membentuk jawaban, matanya mengerjap berusaha fokus, “Hng. Yes,”

Such a good boy,” Seungwoo kembali memujinya, perlahan mengangkat Seungyoun untuk duduk dan melepas celananya sehingga yang lebih muda sekarang tidak memakai sehelai pun kain di tubuhnya. “Cantik. Cuma buat hyung, kan?”

Seungyoun menggenggam erat bahu Seungwoo, meremat-remat dengan jarinya. Pahanya gemetar saat yang lebih tua mulai memainkan butt plug tersebut, mengeluarkannya hingga ujungnya yang lancip, lalu memasukkannya lagi dengan cepat, berulang-ulang.

“C-cuma,” jawabnya terbata-bata, “Cuma—buat hyung.”

Good.” tanggap Seungwoo, mengambil jeda sejenak untuk mengisap dan menandai leher Seungyoun sambil tetap memainkan plugnya, meninggalkan tanda kepemilikan pada orang di pangkuannya tersebut. “So good. A good slut, yeah? Hyungie’s good slut?

Seungyoun mengangguk lemah, badannya bergerak membalas tusukan plug yang terus dimainkan Seungwoo, “I- I’m, a slut, yes. Hng—w- wanna be good. Good sl- hng- slut.” cicitnya pelan, termakan oleh sebutan yang ditujukan padanya.

“Jalang.” Seungwoo mendengus geli, menanam kembali butt plug ke dalam anal Seungyoun, jari tengahnya menekan perineum yang lebih muda, memunculkan desahan keras yang keluar dari bibir Seungyoun. “Maunya kamu apa, hm? Mau gimana sama hyung?”

“M—mau, hhhn,” perkataan Seungyoun terputus saat perineumnya ditekan berulang kali, membuat tekanan plug di dalam liangnya lebih terasa. “Hhhng,” gumamnya tak jelas.

“Mau apa, Youn?”

“Hhhh,” mata Seungyoun menyayu ke bawah, mulutnya terbuka tanpa ada kata-kata jelas yang keluar—terlihat jelas ia berusaha menguasai dirinya untuk memberi jawaban di atas segala nikmat yang ia rasakan. Badannya bergerak tanpa sadar, menggesekkan diri di tangan dan paha Seungwoo, mencari pelepasan yang sedari tadi rasanya tertahan.

Harus jawab, pakai kata-kata. Perintah Seungwoo-hyung. Seungyoun anak baik, kan?

Tapi hampir sampai, sebentar lagi Seungyoun klimaks, ayo, sedikit lagi—

“Jawab.” Seungwoo menampar pahanya lagi, membuatnya tersentak dan hampir klimaks kalau saja Seungwoo tidak memegang pangkal penisnya dengan telunjuk dan jempolnya.

“Hhhhng,” Seungyoun bergumam, air mata meleleh mengaliri pipinya. “Hyu-hyung—

What do you want, Youn? Masa kamu mau release gitu aja, hm?”

Seungyoun merengek, isakan mulai mengiringi lelehan air matanya. “Y-youn—“ ia menahan isakannya, “Youn wants to—to be fucked. And w—wrecked,”

Fucked and wrecked, huh? By who?

“Woo-hyung,”

Seungwoo tersenyum mendengar Seungyoun yang mulai memanggil dirinya sendiri dengan sudut pandang orang ketiga. Artinya, Seungyoun sudah tenggelam dalam headspace-nya.

He’s fully in Seungwoo’s control now.

Okay,” Seungwoo mengecup bibir Seungyoun lembut, “Hyung’s gonna wreck you, yeah? Stuff you nicely with his cock, fill you warmly with his cum? Does that sound good?

Seungyoun mengeluarkan desahan manja, napasnya memburu mendengar tawaran Seungwoo itu. Ia menatap Seungwoo dengan matanya yang berair, bibirnya terbuka sedikit karena napasnya yang terengah.

Use me—hyung. I’m—y- your slut. Y-your doll. Please? Pakai Youn, ya?” mata Seungyoun membulat penuh harap, alisnya mengerut. Tangannya perlahan meraih penis Seungwoo yang berbalut celana boxer, merabanya dari luar, membuat yang empunya mengeluarkan erangan rendah.

“Segitu pengennya, ya?” Seungwoo melepas kausnya, lalu memindahkan Seungyoun untuk berbaring di kasur dan melepaskan boxernya sendiri. Mereka berdua sekarang benar-benar telanjang, tanpa satu pun pakaian. “How bad do you want it?

Seungyoun menghela napas, matanya berkedip sayu sambil melihat badan Seungwoo yang sempurna di atasnya. “So bad, hyung. W-want it so bad, please,

Pretty baby,” ucap Seungwoo, “Beg so pretty for me, hm? What’s your safeword, baby?

“Vulpes.”

Good. Your color?

Green. So green, hyung.” jawab Seungyoun tanpa ragu.

Seungwoo pun mengangguk, memposisikan dirinya di bawah dan mengangkat kaki Seungyoun dan meletakkannya di bahunya, sehingga ia berhadapan dengan lubang Seungyoun yang terlihat cantik dengan kristal biru yang menghiasi cincinnya.

“Cantik.” kata Seungwoo, mengeluarkan butt plug itu perlahan, diikuti dengan rengekan Seungyoun yang menggerakkan pinggangnya, ingin segera dimasuki. “Hei, cantiknya hyung nggak boleh nakal.” Seungwoo menampar paha Seungyoun lagi yang disambut erangan tertahan dan badan yang berusaha menahan untuk tidak bergerak dari yang empunya.

Seungwoo memilih untuk meletakkan beberapa tanda di paha bagian dalam Seungyoun terlebih dahulu, lalu langsung meletakkan mulutnya di bibir lubang tersebut, menjulurkan lidahnya untuk meraba bagian pinggirnya yang berwarna merah muda. Seungyoun gemetar di atasnya, susah payah menahan kakinya untuk tetap berada di bahu Seungwoo.

“Hng, hyung. Please? please—” racau Seungyoun.

Please what, baby?

“Lubang Youn, hyung. Buat hyung. Jus’ cleaned up. Taste it.” bujuk Seungyoun, membuka kakinya lebih lebar. “Please.” katanya lagi.

“Hm, since you asked so nicely,” Seungwoo pun memasukkan lidahnya ke lubang Seungyoun, kedua jempolnya membantu memperlebar lubang tersebut. Seungyoun mendesah panjang, tangannya meraih bagian bawah lutut untuk mempertahankan posisi kakinya yang terangkat. Seungwoo dengan lihai memainkan lidahnya di dalam, menggerakkannya kesana kemari dan menghisap lubang itu dengan bibirnya.

“Ah—ah, hng, hyuuuuung.” Seungyoun merengek, napasnya memburu. Kamar itu dipenuhi dengan suara kecipak yang berasal dari stimulasi Seungwoo. Setelah beberapa saat ia melepas mulutnya, menjilat permukaan lubang itu sekali lagi. Seungyoun sendiri sudah kembali terisak, matanya setengah tertutup dan mulutnya meracau pelan.

Kneel.” komando Seungwoo singkat, dan Seungyoun dengan cepat menurutinya, tangannya ia letakkan di atas paha. Seungwoo memegang dagu Seungyoun, mendongakkan kepala yang lebih muda ke atas. Seungyoun menatapnya dengan sayu, mulutnya terbuka dan lidahnya sedikit menjulur keluar—mengantisipasi apa yang akan Seungwoo lakukan.

Seungwoo memegang penisnya sendiri di tangan satunya, meletakkannya di lidah Seungyoun yang tetap diam dan membuka mulutnya, menunggu perintah selanjutnya. “My baby,” katanya lembut, “Always so obedient for me, hm? How about we stuff that slutty mouth of yours?

Yang lebih muda mengangguk pelan, saliva mengalir dari sudut mulutnya karena terbuka terlalu lama. Seungwoo pun perlahan memasukkan penisnya ke dalam mulut Seungyoun—mengerang seraya ia mendorongnya terus hingga kepalanya menyentuh ujung tenggorokan Seungyoun. Seungyoun sendiri membuka mulutnya lebar-lebar, merilekskan rahangnya dan menjulurkan lidahnya sepanjang bagian bawah penis Seungwoo. Ia bernapas melalui hidungnya, menarik udara dalam-dalam. Ukuran Seungwoo tidak main-main—ukurannya besar, dan panjangnya cukup untuk benar-benar memenuhi mulut Seungyoun.

Hidung Seungyoun akhirnya menyentuh pelvis Seungwoo, dan Seungwoo menekan kepala Seungyoun dengan tangannya, menunggu beberapa detik sambil memerhatikan Seungyoun dengan intens—siapa tahu yang lebih muda tidak tahan dan butuh berhenti—kemudian melepaskannya.

“Hhhng—akh!” Seungyoun berdeguk, matanya berair dan napasnya lebih terengah dari tadi. Seungwoo mengelus pipi Seungyoun dengan lembut, menghapus air matanya.

So good, baby. What’s your color?” tanyanya.

Tatapan Seungyoun berhenti berkabut untuk sesaat. “Green, hyung.” katanya dengan yakin.

Okay. I’m gonna fuck your mouth now, baby, how does that sound?” tawar Seungwoo, memegang rambut Seungyoun dalam genggamannya, namun tidak ia tarik.

Seungyoun mengangguk. “G-good, hyung.” Ia pun membuka mulutnya lagi dan menjulurkan lidahnya. Seungwoo pun memasukkan penisnya kembali, tangannya mencengkeram erat rambut Seungyoun sekarang.

“Nggak boleh nyentuh diri sendiri, ya. Tap everywhere twice if it gets too much.” perintah Seungwoo, lalu ia langsung memaju-mundurkan pinggulnya—menahan kepala Seungyoun di tempat seraya yang lebih muda mengatur napasnya. Napas Seungyoun menderu seiring ritme Seungwoo yang semakin cepat, tangannya mengepal di atas pahanya.

“Hng—kh—,” Seungyoun mengeluarkan suara seakan tersedak, namun tidak, ia tidak ingin berhenti. Kepalanya dipenuhi oleh Seungwoo—ingin menurut, ingin menjadi anak baik. Ingin mematuhi dan mengikuti perintah yang lebih tua dengan baik.

Seungyoun anak baik—

Pikirannya berkabut, segala hal selain Seungwoo menghilang dari otaknya. Ia menatap Seungwoo, dan tatapannya dibalas balik dengan lirikan tajam yang penuh dominasi, tapi penuh kasih sayang juga di baliknya. Ia tahu Seungwoo sangat memperhatikannya, dan akan segera berhenti bila ia tidak mampu melanjutkan. Maka dari itu Seungyoun melemaskan rahangnya, merasakan tekstur penis Seungwoo yang beradu dengan dinding, lidah dan langit-langit mulutnya, berusaha sebaik mungkin untuk menerima perlakuan hyung-nya.

Selang beberapa saat, Seungwoo pun berhenti dan mengeluarkan penisnya dari mulut Seungyoun dengan sekali sentak. Seungyoun langsung mendengus keras lewat mulutnya, dadanya naik-turun berusaha menarik napas sedalam-dalamnya. Seungwoo menghujaninya dengan pujian—so good for me, you did well, hyung’s good boy—mengelus kepalanya sambil menunggu napasnya stabil.

“Hhh,” Seungyoun membuka mulutnya, alisnya mengerut berusaha mengeluarkan kata-kata melewati pikirannya yang berkabut, “Hyung,

Seungwoo menunggunya dengan sabar, tangannya diam di atas kepala Seungyoun. Seketika, yang lebih muda mendongak dan menatapnya penuh harap.

“Hng, hy- hyung,” katanya tak jelas, menelan ludah. “Hyung. Please? Y—you—

“Yang jelas, sayang.”

“P—“ Seungyoun menggigit bibirnya, pinggulnya mulai bergerak lagi. “F-fuck Youn? Please, want it bad, hyung- Youn’s good, wanna be good, please—wan’ it bad, please,” katanya, mencoba sebaik mungkin untuk mengatakan keinginannya dengan kata-kata.

“Mhm? Baby wanna be fucked? Want hyung to fuck you til you cry and whine, yeah? Fuck you dumb?” Seungwoo menjawab, mendorong Seungyoun untuk berbaring telentang di kasur, mengangkat satu kakinya dan meletakkannya di bahu. Tangannya telah menggenggam lube yang ia ambil beberapa detik lalu di nightstand. Walaupun Seungyoun telah meregangkan dirinya sebelumnya dengan plug, namun Seungwoo akan tetap mempersiapkannya—plus, untuk menggoda Seungyoun.

“Hhng—yes, wan- wanna be fucked. Fucked dumb, please,” mohon Seungyoun, kedua tangannya meraih pipi Seungwoo dan menangkupnya lembut.

Okay, baby,” Seungwoo pun membalurkan lube di jarinya, memasukkan jari telunjuknya dengan lancar ke dalam lubang Seungyoun yang telah diregangkan sebelumnya. Jari tengahnya mengikuti, menelusup ke dalam dan meraih ke bagian atas, menstimulasi prostat yang lebih muda.

Seungyoun tersentak, desahan keluar dari mulutnya dan pinggulnya bergerak ingin lebih merasakan nikmat di prostatnya. Tangan Seungwoo yang bebas menahan pinggulnya di tempat, dan ia membuat gerakan menggunting di lubang Seungyoun. Ia pun menyentuh prostatnya lagi, kali ini dengan jempolnya menekan perineum Seungyoun dari luar.

“Hhhng—hh, m—mau, mau keluar, hyung,” Seungyoun merengek, torsonya berkontraksi tanda ia akan segera klimaks. Dengan sigap Seungwoo memegang penisnya yang tegang, menekan bagian bawahnya. Menghalanginya dari klimaks untuk kedua kalinya.

Seungyoun mengerang, terisak dan tubuhnya gemetar, merasakan sensasi orgasme keringnya karena ditahan oleh Seungwoo.

You’re not allowed to come until I say so, baby,” tukas Seungwoo, tak menyisakan ruang untuk membantah. Ia menambah jari manisnya dan mempercepat stimulasinya, diiringi suara Seungyoun yang meracau tidak jelas. Seungwoo memutuskan untuk tidak memakai kondom kali ini, ia baru saja tes HIV 2 minggu lalu dan hasilnya negatif.

I’m gonna enter you now,” Seungwoo memposisikan dirinya di depan Seungyoun, mengangkat kedua kaki yang lebih muda hingga lututnya hampir menyentuh dada—seperti melipat badannya jadi dua.

Seungyoun menggerakkan pinggulnya, tangannya lurus ke atas menggapai Seungwoo, merengkuh leher yang lebih tua dengan lemah.

Hyung, please, please enter Youn now pleasepleaseplease,” Seungyoun memohon, suaranya pecah dan benar-benar terdengar putus asa, benar-benar rusak—Ia serahkan dirinya pada Seungwoo, sepenuhnya, seutuhnya.

“Sssh. I am, baby. I am entering you.” dengan itu, Seungwoo memasukkan penisnya ke anal Seungyoun, diiringi isakan Seungyoun dan gumaman rendah darinya. Ia memasukkannya dengan perlahan, sampai akhirnya seluruh ereksinya tertanam dalam liang Seungyoun yang hangat.

“Sempit banget, hm? How are you so tight?” Seungwoo mulai memaju-mundurkan pinggulnya dengan ritme yang stabil, merasakan bagaimana dinding Seungyoun menjepit dirinya. Ia mendaratkan bibirnya pada mulut yang lebih muda, mengecup dan mencumbunya dengan lihai. Seungyoun dengan patuh membuka mulutnya, menggapai apa yang diberikan Seungwoo, matanya terbuka sedikit menatap lawan mainnya.

“Hhh,” hanya desah yang bisa Seungyoun keluarkan, bahkan pikirannya sudah tidak ada lagi—yang ada hanya Seungwoo, dan rasa nikmat yang membuatnya melayang. “Hng,” ia mencoba bicara lagi, namun gagal.

Seungwoo mempercepat ritmenya. Seiring pinggulnya bekerja menusuk Seungyoun tanpa ampun, mulutnya ada di puting Seungyoun, menghisap dan memainkan tindikannya lagi. Kedua pucuk itu sekarang berwarna pink kemerahan, dengan kilat saliva menghiasinya.

How does it feel, baby? Good? How are you feeling?” tanya Seungwoo, mengganti ritmenya menjadi pelan namun sekali hentak dan keluar, membuat badan Seungyoun membusur keenakan.

Seungyoun membuka mulutnya lagi, kini dagu dan lehernya sudah basah dengan saliva yang terus mengalir—air mata mengaliri pipinya dengan bebas. “Hhhng,” ia mengangguk, menggeleng pelan, lalu mengangguk lagi, bibirnya perlahan membentuk senyum kecil. “Hhhh, ah,” demi apapun! Tak ada kata-kata yang koheren keluar dari mulutnya, hanya senyuman dan desah pelan.

Seungwoo tersenyum melihat yang lebih muda kesulitan untuk berkata-kata, senyuman polos tersungging di wajahnya yang, oh, sangat cantik—dihiasi dengan pandangan sayu dan saliva serta air mata. Seungyoun terlihat sangat, sangat cantik, sangat indah, karena inilah Seungyoun yang telah menyerahkan diri, mempercayakan segalanya pada Seungwoo. Take care of me, mukanya menyiratkan. Please take care of me. I’m yours.

My baby’s fucked dumb, hm? Got fucked so dumb he can’t even talk? Too bad, apa nggak usah lanjut aja kalo nggak bisa jawab?” goda Seungwoo, memelankan ritmenya.

Seungyoun menolak, merengek—pinggulnya tak berhenti bergerak mencari friksi. “Hhh, hy—hyung, Youn’s yours, please- y- your dumb baby, please—please, fuck me dumb, please,” ia akhirnya berkata dalam satu tarikan napas, matanya menatap Seungwoo tak berdaya.

You want it so bad, huh?” Seungwoo pun mempercepat tusukannya kembali, kini benar-benar mengejar klimaksnya. Kaki Seungyoun ia buka lebar-lebar, memastikan prostatnya selalu terkena di setiap tusukan.

“Sayangnya hyung, keenakan, ya? Enak ya, cantik?” godanya.

Hy-hyung. Enak—penuh, penuh b- banget, please, wan- wanna, hyung, wanna make you feel good.” balas Seungyoun, tangannya kini mencengkeram bahu Seungwoo. “Hng, enak, hyung, enak,” ulangnya.

Seungwoo tersenyum manis, mengecup bibir Seungyoun—tidak, lebih ke menyentuhkan bibirnya dan bernapas di depan satu sama lain—satu tangannya memegang penis Seungyoun dan mulai mengocoknya, jempolnya ia letakkan di belahan di puncaknya, menekannya lembut.

“Ah-ah,” Seungyoun mendesah tertahan, badannya kian aktif mengikuti gerakan Seungwoo dan menusukkan penisnya sendiri dalam genggaman yang lebih tua, mengejar klimaksnya yang akan sampai. “Hyung. Youn mau- mau keluar. B-boleh ya? Please? Hh- please, Youn mau keluar, hyung,”

“Sebentar ya, Youn. Bareng sama hyung, ya, sayang? My pretty baby gonna wait for me? So good for me, so pretty, so obedient. My baby, feels perfect, born to take my cock, hm?”

Seungyoun mengangguk, tenggelam dalam pujian yang ditimpakan pada dirinya dan bertekad untuk menurut. Ia merengkuh erat bahu Seungwoo.

Yes, I’m your s-slut, your, hng, your baby, hyung—your everything, please.

Dunianya seakan hilang, hanya ada sensasi dari Seungwoo, dan wangi Seungwoo, dan tatapan lembut Seungwoo—dunianya hilang, dan semestanya hanya berfokus pada orang di depannya. Hanya satu tujuannya saat ini, menjadi yang terbaik untuk Seungwoo.

Ia merasakan rasa hangat di perutnya memuncak, ritme Seungwoo pun tidak beraturan, mereka berdua mengejar klimaks bersama.

Hyung, Seungwoo-hyung, please, please—hng—ah, hhhng, Woo-hyung,”

So good, Seungyoun. Yuk—ah—bareng, yuk? Come with me, baby. My prettiest baby, come for hyung, come on, make me proud.

Dengan itu, Seungyoun pun klimaks—badannya membusur, kaku, bola matanya berbalik ke atas menyisakan sclera-nya saja, mulutnya terbuka tanpa mengeluarkan suara. Spermanya keluar, membasahi tangan Seungwoo dan perutnya, beberapa bahkan mengenai dadanya. Ia terengah, pikirannya melayang, dirinya hanya tertambat oleh Seungwoo. Seungwoo sendiri melihat muka klimaksnya dengan intens, melukiskan wajahnya dalam memori. Hanya ia lah yang dapat membuat Seungyoun seperti ini, dan ia bangga karenanya.

Seungwoo pun klimaks tak lama kemudian, mengerang saat spermanya tumpah di dalam lubang Seungyoun, beberapa tetes keluar dan mengalir di atas kulit putih yang lebih muda.

Ia rengkuh Seungyoun, menghujaninya dengan kecupan lembut di kening, pipi, dan bibirnya, menghujaninya dengan pujian dan kata-kata manis.

You did so well, baby, so good for hyung. Sayangnya hyung, you’re the best, always the best for me.

Seungyoun terdiam, badannya lemas, matanya, berkabut. Tatapannya menerawang jauh seakan sedang berada di tempat lain. Napasnya mulai stabil, dan pegangannya di bahu Seungwoo meregang.

Seungwoo mengeluarkan penisnya, meringis saat rasa dingin menerpanya dan spermanya mengalir lebih banyak dari lubang Seungyoun.

Setelah itu ia terus peluk Seungyoun, menimangnya dan mendaratkan banyak kecupan sayang, tangannya mengelus pipi Seungyoun yang penuh jejak air mata. Hal ini berlangsung beberapa menit, Seungyoun terdiam diiringi suara Seungwoo yang memberinya afeksi tanpa henti.

Seungwoo tersenyum penuh kasih, mengecup pipi Seungyoun dan menatapnya dengan lembut.

“Sayangnya hyung, Youn, sayang, balik yuk? Balik ke aku, yuk?” bujuknya.

Perlahan-lahan, tatapan Seungyoun kembali jelas, matanya berfokus pada Seungwoo yang menunggunya dengan sabar. Ia mengerjap, lalu tersenyum lugu, tangannya balas merengkuh Seungwoo pelan-pelan.

Seungyoun nyengir penuh ekstasi,—subspace memang seperti mabuk, sih—tawa kecil keluar dari mulutnya seraya ia mengecup bibir Seungwoo dan mengusak kepalanya di leher yang lebih tua.

Hyung,” katanya pelan, namun riang.

“Udah balik, hm? How are you feeling?” tanya Seungwoo, mengecup puncak kepala Seungyoun dan mengelus punggungnya.

“Enak,” jawab Seungyoun malu-malu, “Aku nggak kelamaan kan perginya?”

“Nggak,” sanggah Seungwoo, “You okay? Ada yang sakit?”

Seungyoun menggeleng. “Nggak,” jawabnya. Ia menjilat bibirnya, lalu menatap Seungwoo. “Gimana surprisenya?”

Seungwoo tertawa kecil, merengkuhnya erat. “Bagus. Kamu cantik pake itu. Sering-sering pake aja, biar pamer.”

“Apaan sih,” Seungyoun memukul dada Seungwoo tanpa tenaga, mukanya merona merah. “Makasih, hyung.” ujarnya.

“Makasih juga, Youn.” jawab Seungwoo, “Kamu mau mandi?”

“Mhm,”

“Ada tapinya nih pasti.”

“M-mau, tapi gendong.” pinta Seungyoun, kembali nyengir.

“Bayi.” dengus Seungwoo, meletakkan tangannya di bawah lutut dan bahu Seungyoun dan mengangkatnya, sedangkan Seungyoun spontan langsung melingkarkan lengan di sekeliling bahu Seungwoo.

“Bayinya Seungwoo-hyung.” katanya.

Exactly. You’re mine, my good boy, my prettiest baby.

Dengan itu, Seungwoo pun menggiring mereka berdua ke kamar mandi, mengisi bathtub dengan air hangat dan masuk ke dalam bersama Seungyoun, yang lebih muda bersandar dengan nyaman di dadanya. Seungwoo mengambil shampoo dan mulai mencuci rambut Seungyoun, memijat kepalanya lembut. Seungyoun sendiri mulai terkantuk-kantuk, air hangat dan rengkuhan Seungwoo membuat lelahnya semakin berasa.

“Seungwoo,” Seungyoun menengok ke belakang.

“Hm?” Seungwoo menyahut sambil membilas rambut Seungyoun, menyadari hilangnya panggilan hyung dari yang lebih muda.

I love you,” kata Seungyoun pelan, suaranya agak teredam karena kantuknya yang menyerang.

Seungwoo tersenyum, mengecup bibir Seungyoun lembut.

Seungyoun pun perlahan tertidur, menutup matanya diiringi dengan balasan “I love you too, Seungyoun-ie,” penuh cinta dari Seungwoo tepat sebelum ia memasuki dunia mimpi.

Seungyoun meregangkan badannya di karpet yang baru saja mereka gelar di ruang tamu, membunyikan beberapa sendinya yang sedari tadi terasa kaku karena mengangkat banyak kardus dan barang-barang untuk diletakkan di rumah baru mereka. Seungwoo tak kalah repot, ia mendapat tugas bersih-bersih seluruh ruangan rumah dan perabot baru.

“Nih,” Seungwoo datang dan duduk di sebelahnya, menyodorkan secangkir teh krisan hangat yang asapnya masih mengepul. Seungyoun tersenyum seraya ia duduk bersila di sebelah suaminya itu, mengambil cangkir dan menyesapnya perlahan.

“Makasih,” katanya manis. Seungwoo balas tersenyum, lesung pipitnya muncul malu-malu di sudut bibir. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Seungyoun, mendaratkan kecupan seringan bulu di kening pujaan hatinya.

Seungyoun menghela napas, lalu menyenderkan kepalanya di bahu Seungwoo. Untuk beberapa saat, mereka terdiam tanpa kata-kata, membiarkan suara malam menyelimuti diri masing-masing.

“Youn,” Seungwoo berbisik pelan, menoleh untuk menatap suaminya, “Aku—duh, this is so cliche and cheesy, tapi aku sayang banget sama kamu.”

Cup.

Seungyoun ganti mengecup lembut Seungwoo di bibirnya, seribu kata cinta tak terucap ikut terbawa di sana. Seungyoun tersenyum, senyum penuh cinta kasih, determinasi dan harapan, sorotan matanya berkilau di tengah redupnya malam. Seungwoo mengecupnya lagi, kemudian dalam beberapa menit ke depan tak ada suara selain deru napas dan suara cumbu yang bertalu.

Diri mereka memeluk satu sama lain, tangan menangkup wajah masing-masing—merengkuh seluruh dunia dalam jari-jemari.

Tangan Seungyoun menggenggam pergelangan tangan suaminya, lalu memindahkannya sehingga telapak tangan Seungwoo berada tepat di atas dadanya, tempat jantungnya berdegup.

“Sekarang,” ia memulai, meletakkan tangannya di atas punggung tangan Seungwoo, “Yang berdetak ini, punya kamu. Sampai detaknya berhenti. Sampai aku jadi debu, dan semoga terbawa lagi ke kamu di kehidupan selanjutnya.”

Seungwoo pun melakukan hal yang sama pada tangan Seungyoun, keduanya terdiam merasakan detak jantung masing-masing.

We’ve come a long way to reach this part of our life, Youn. It’s been years of you and me, mengarungi apapun itu yang ditimpakan semesta buat kita. Sejak itu juga detak ini jadi milik kamu. Nggak akan mudah buat jagainnya, tapi aku yakin—“ ia menelan ludah, matanya berkaca-kaca, “—aku yakin, kita mampu lewatin semua itu lagi.”

Bulir air mata mulai jatuh dari mata keduanya, membuat mereka tertawa kecil atas momen melankolis di tengah malam ini.

“Udah, ah,” Seungwoo beranjak dari karpet, melangkahkan kakinya ke arah pemutar vinyl yang ada di pojok ruangan. Ia menarik keluar piringan hitam dari album Sade, sebuah band dari Inggris.

Ia pun memasang piringan tersebut, dan melodi mulai memenuhi ruangan itu. Seungwoo mengulurkan tangan kanannya sambil membungkuk ke arah Seungyoun, yang segera berdiri dari duduknya.

There must have been an angel by my side Something heavenly led me to you Look at the sky It's the colour of love

May I have a dance with you, angelface?” ajak Seungwoo, lengkap dengan panggilan sayang favoritnya.

Seungyoun menyambut dengan senang hati, tangan kirinya menerima uluran tersebut. Ia meletakkan tangan kanannya di bahu Seungwoo, sedangkan Seungwoo meletakkan tangan kirinya di pinggang ramping suaminya.

There must have been an angel by my side Something heavenly came down from above He led me to you He led me to you

Shall we?” Seungwoo bertanya lagi.

Of course.” Seungyoun menjawab, dan dengan itu kaki telanjang mereka mulai bergerak mengikuti nyanyian merdu, bergerak dalam satu ritme sambil menatap satu sama lain.

He built a bridge to your heart All the way How many tons of love inside I can't say

When I was led to you I knew you were the one for me I swear the whole world could feel my heartbeat

When I lay eyes on you Ay ay ay You wrapped me up in The colour of love

Mereka berdansa dalam indahnya malam, telanjang kaki dengan kaus tipis dan celana pendek, serta rambut yang melekat di dahi karena keringat akibat pindahan tadi. Di antara mereka hadir gugusan bintang dan cahaya bulan yang menjadi hiasan dalam panggung kecil pasangan itu.

Tak hanya kaki yang seirama, detak jantung mereka pun juga—dan pada saat itu, waktu seakan berhenti, membiarkan kedua sejoli itu bertatap dan bercumbu mesra seakan dunia hanya milik berdua.

You gave me the kiss of life Kiss of life You gave me the kiss that's like The kiss of life

Wasn't it clear from the start Look The sky is full of love Yeah The sky is full of love

“Cho Seungyoun, I love you,” “So do I, Han Seungwoo. I love you, and always will.

You gave me the kiss of life Kiss of life You gave me the kiss that's like The kiss of life You gave me the kiss of life Kiss of life You gave me the kiss that's like The kiss of life

You wrapped me up in the colour of love Must have been an angel Came down from above Giving me love, yeah Giving me love, yeah You gave me the kiss of life Kiss of life You gave me the kiss that's like The kiss of life...

—fin.

“Iya, iya Kak! Saya sudah di depan!”

Seorang pria berperawakan kecil, mengenakan sweater hitam berpadu dengan kulot berwarna sama itu menutup teleponnya. Ia melangkahkan kakinya dengan cepat, setengah berlari menuju bangunan ruko bertuliskan “DAYCARE” di depan setelah mengunci mobil.

Tergesa, ia membuka pintu ruko tersebut, menghadapkan dirinya dengan meja resepsionis sambil terengah.

“Maaf terlambat, saya Kim Wooseok. Mau jemput Lee Jinwoo.” pria bernama Wooseok itu berujar, kakinya berketuk-ketuk di lantai tanda tak sabar.

“Sebentar ya, Kak,” resepsionis di meja tersebut membalikkan badan hendak menghubungi rekannya di dalam ruang penitipan. Namun sebelum ia sempat berdiri, pria lain memasuki ruangan.

“Maaf, saya terlambat. Mau jemput Han Dongpyo—saya Han Seungwoo.” katanya. Pria itu tinggi, dengan fitur yang tegas dan rambut hitam yang tak lagi rapi, nampak seperti sudah diacak-acak. Ia mengenakan kemeja kerja berwarna putih yang berantakan, celana hitam dan dress shoes mengkilat.

Resepsionis tersebut menatap mereka berdua, lalu berdiri. “Ya sudah, kalian berdua langsung ikut saya ke tempat penitipannya.” Dengan itu, ia berjalan duluan, kedua pria itu mengikuti di belakangnya.

“Telat jemput juga?” Seungwoo bertanya, tersenyum tipis sambil menatap Wooseok (yang terlihat pendek di sebelahnya).

Wooseok tersenyum simpul. “Iya,” jawabnya, “Pemotretan telat mulai, jadi telat selesai juga.”

“Kamu fotografer?” Seungwoo mengangkat alisnya penasaran.

“Nggak, aku model.”

“Oalah.”

Wooseok menatap pria itu (he’s not looking at Seungwoo’s disheveled hair and cute nose. He’s not.) dan kembali bertanya. “How about you? Kerjaan telat selesai?”

“Iya,” Seungwoo mengangguk, “Hari ini mulai audit. Semua orang panik, terus tiba-tiba banyak hal yang harus direkap. Perks of year end season.

“Yaampun,” Wooseok mengernyit, “Posisi apa kamu emangnya?”

“Saya direktur bagian kredit,” jawab Seungwoo, menghela napas. “Berurusan sama nasabah-nasabah super ribet dan banyak mau. Super fun.” katanya sarkas.

Wooseok tertawa—dan Seungwoo nggak memperhatikan bagaimana matanya menyipit lucu dan tawanya yang manis, kok, nggak—seraya mereka memasuki ruangan tempat penitipan anak.

“Papa!”

“Daddy!”

Terdengar suara dari kedua anak yang sedang bermain bersama di karpet, balok-balok susun dan berbagai mainan bertebaran di sekeliling mereka tidak dipedulikan lagi saat mereka melihat ayah mereka masing-masing.

Wooseok mengangkat Jinwoo ke rengkuhannya, mencium dahinya lembut. “Maafin Papa datengnya telat ya, sayang? Tadi ditahan Om Seungyoun lamaaaa banget.” katanya sambil mengerucutkan bibirnya.

“Ga pa-pa, tadi Jinu main ama Pyo, kok!” anaknya yang sudah mulai pandai bicara itu menunjuk anak di gendongan Seungwoo.

“Iya, daddy! Tadi kita bikin gedung, loh!” Dongpyo bercerita riang, tak tampak sedikitpun lelah walaupun hari sudah malam.

“Oh, ya?” Seungwoo tersenyum, menatap anaknya dan Wooseok serta Jinwoo bergantian. “Seru dong?”

“Iya!”

Wooseok tertawa lagi, mengusak kepala Jinwoo gemas. “Ya sudah, besok main sama Dongpyo lagi, ya? Sekarang kita pulang dulu?”

“Oke, pa!”

Mereka pun berjalan beriringan ke luar tempat Wooseok dan Seungwoo memarkir mobil mereka.

Wooseok menghampiri Seungwoo, menyerahkan ponselnya pada pria itu. “Kak Seungwoo, um,” mulainya, “Boleh minta nomornya? Kalo kamu telat lagi dan aku nggak, mungkin aku bisa bantu-bantu jagain Dongpyo.”

Seungwoo tersenyum,—dia dipanggil kak! Lucu sekali—mengambil ponsel Wooseok dan mengetik nomornya. Ia menyimpan kontaknya dan menyerahkan ponsel tersebut kembali.

“Nanti telepon atau iMessage saya, ya,” katanya, “biar saya bisa simpen nomor kamu. Oh iya, saya juga bisa bantu jaga Jinwoo kalo giliran kamu yang telat.”

“Oke, beres,” Wooseok mengambil ponselnya dan menengok ke Jinwoo yang mulai ditelan kantuk di gendongannya. “Jinu, ayo pamit sama Dongpyo dan Kak Seungwoo.”

Jinwoo tersenyum, tangannya mengangkat sedikit lalu melambai. “Dadah Pyo, dadah Om Seungwoo, besok main lagi ya..”

Dongpyo balas melambai. “Dadah, Jinu!”

“Yaudah, aku cabut dulu ya Kak?” tanya Wooseok.

“Iya. Sampai jumpa lagi, Seok.”

“Dadah, Kak.”

“Dadaaah.”

Mereka pun masuk ke mobil, memasang sabuk pengaman pada anak masing-masing, dan pulang ke rumah. Merutuki diri sendiri karena telat, tapi dengan secercah rasa senang di hati karena bertemu satu sama lain.

Mungkin, mungkin akhirnya permulaan yang baru telah tiba. Untuk diri sendiri, dan untuk malaikat kecil mereka.