1: Tentang Memulai Kembali

Bagaimana Cara untuk Memulai Kembali?

Memulai kembali—-di titik ini bagi saya—-berarti kembali kepada dua hal. Yang pertama adalah kembali pada kesederhanaan; yang kedua adalah kembali kepada pondasi-pondasi dasar.

Saya merasa bahwa kebuntuan yang saya alami datang dari kompleksitas. Hidup memang punya kompleksitasnya sendiri. Ketika saya datang menjawab tantangan hidup dengan solusi yang kompleks, seringkali saya terjerat dalam usaha itu tanpa bisa keluar dengan keberhasilan. Ada kebutuhan besar bagi saya untuk kembali pada kesederhanaan.

Selain itu, saya melihat ada hubungan antara kesederhanaan dan pondasi-pondasi dasar dari kehidupan saya sendiri. Pondasi dasar yang saya maksud mencakup antara lain: nilai yang saya anut dan teknik/kemampuan yang miliki. Di tatar nilai, saya merasakan tarikan kuat untuk kembali menilik sumber keyakinan yang saya punya. Di tatar pengetahuan, saya ditarik untuk melihat latihan-latihan atau pengetahuan dasar yang pernah saya pelajari.

Ini yang saya berusaha bangun; ini yang saya berusaha mulai kembali.

Tentu saja ada faktor kebiasaan yang bermain peran. Untuk itu saya perlu menentukan, bagaimana saya akan membangun kebiasaan baru yang mendukung usaha memulai kembali ini.

Salah satu teknik praktis yang sering saya lakukan adalah dengan melakukan sesuatu selama 21 hari berturut-turut. Ini dianjurkan dahulu, sewaktu saya untuk pertama kali belajar Reiki. Konteks kala itu adalah untuk melakukan pembersihan cakra diri selama 21 hari berturut-turut. Namun hikmah yang saya petik adalah sebuah kebiasaan berlatih menyembuhkan diri sendiri: bahwa merawat diri adalah sebuah kebiasaan yang harus dilakukan.

Kebiasaan dimulai dengan secara sadar melakukan sesuatu. Terkadang dengan sedikit paksaan yang terlibat di dalamnya. Namun “paksaan” ini adalah sesuatu yang penting; sesuatu yang memang saya inginkan.

Salah seorang guru yang lain mengingatkan demikian: “Kebiasaan lahir dari perulangan.” Maka penting bagi kita untuk mengulang hal-hal yang kita ingin tanamkan sebagai kebiasaan. Prinsip yang sesungghuhnya sangat sederhana, tetapi seringkali sulit untuk kita terapkan.

Elemen lain dari membentuk kebiasaan adalah disiplin. Disiplin bertalian erat dengan komitmen. Mungkin dengan hal inilah orang sering bergulat. Disiplin berarti berkomitmen untuk melakukan sesuatu dengan batasan yang jelas secara konsekuen. Seseorang yang kita sebut disiplin adalah orang yang berpegang pada satu komitmen. Kita kagum pada orang semacam itu karena kita tahu betapa besar motivasi yang dibutuhkan untuk berpegang teguh pada sebuah komitmen.

Disiplin—-bagi saya—-adalah perekat kebiasaan yang baru. Semakin sering sebuah tindakan dikerjakan maka semakin mudah tindakan tersebut menjadi sebuah kebiasaan. Seberapa sering tindakan ini diulang dan dalam batasan seperti apa tindakan ini dilakukan: inilah ranah disiplin. Kalau sesuatu dilakukan dengan kesadaran, maka kita sendirilah yang menentukan batasan-batasan tersebut.

Ucapan lain yang sering kita dengar: “Kebiasaan membentuk karakter.” Dari pengalaman pribadi, ini pun adalah hal yang bisa saya konfirmasi kebenarannya. Saya mengagumi orang karena karakter mereka. Di sisi yang lain, saya tidak menggemari sebagian karakter seseorang. Dari mana saya menilai karakter orang-orang ini (serta karakter saya sendiri)? Dari kebiasaan mereka; dari tingkah-laku mereka.

Penting bagi saya untuk menjadi seseorang yang berkarakter baik. Dalam hal ini saya tidak malu untuk mengucapkannya sekali lagi: marilah kita menjadi orang berkarakter baik. Saya ucapkan ini bukan karena saya sudah merasa menjadi orang yang demikian. Saya ucapkan hal tersebut karena saya pikir dunia ini butuh orang-orang dengan karakter yang baik. Terlalu banyak masalah dalam kehidupan ini. Kita semua sudah lelah karena tantangan kehidupan. Mengisi dunia ini dengan orang-orang yang berkelakuan buruk tidak membantu siapa pun. Mengharapkan orang lain untuk berubah tentu tidak mudah. Lebih mudah untuk mengharapkan perubahan datang dari diri kita sendiri.

Memikirkan kontribusi

Banyak definisi tentang seperti apa orang yang berkarakter baik. Terkadang, ini membuat saya tenggelam di perairan filosofis yang terlampau luas. Saya sederhanakan belakangan ini dengan sebuah renungan: “Apa kontribusi saya pada kehidupan?”

Ya, mari kita tanya diri kita sendiri, setiap kali kita kebingungan dalam menentukan tindakan kita, “Saya ini mau berkontribusi apa pada hidup lewat tindakan ini?” Dari pengalaman pribadi, hal ini punya dua manfaat: yang pertama, saya merasa jadi lebih rendah hati; yang kedua, saya terajak untuk berpikir dengan pola yang lebih bermanfaat. Pikiran saya tidak hanya berputar pada diri sendiri, melainkan pada alam sekitar dan masyarakat yang hidup di dalamnya.

Juga, dengan cara ini, pikiran saya mengajak untuk melihat diri saya di “saat ini”. Apa yang saya punya saat ini? Tindakan apa yang bisa saya lakukan di “sini”? Tidak muluk-muluk memikirkan yang jauh atau yang saya tidak punya, melainkan melihat yang ada di sekitar saya dan yang saya miliki saat itu.

Lebih jauh, jika kita biasa merenung dengan cara ini, saya dapati bahwa tidak ada yang sia-sia dalam hidup. Pilihan karier yang salah, keputusan yang kita sesali, ucapan yang terlanjur terlontar: semua ini punya fungsinya sendiri. Sekarang, apa yang mau kita lakukan, agar kontribusi kita pada kehidupan lebih baik dari sebelumnya? Tidak ada yang sia-sia. Saya percaya pada hukum karma.

Pemahaman saya tentang hukum karma dirangkum baik sekali oleh seorang biksu: “Ilmu hukum karma itu ilmu tanam padi. Barangsiapa menanam padi akan menuai padi.” Dengan kata lain, dalam situasi keseharian: barangsiapa menanam kemudahan akan mendapat kemudahan; barangsiapa menanam kebencian, akan menuai kebencian. Kalau saya memudahkan hidup orang lain, maka hidup saya pun akan mudah. Tidak perlu untuk menjadi seorang penganut ajaran Buddha untuk menguji fenomena keseharian ini. Mari kita praktikan dan amati hasilnya.

Mengingat “ilmu padi” yang satu inilah yang membuat saya untuk kembali berpikir secara mendasar. Penggambaran “menanam padi” punya imaji mengenai “kesederhanaan hidup”. Mungkin, saya tidak terlalu sadar mengenai apa yang saya tanam dalam hidup. Boleh jadi, kerumitan hidup yang saya alami datang dari benih kerumitan yang saya tanam sendiri. Saya sendiri—-lewat tindakan, ucapan, serta pikiran—-menciptakan kerumitan yang saya alami saat ini. Bagaimana cara bisa keluar dari kerumitan ini? Menurut ilmu ini, saya cukup “menyederhanakan”. Mari menanam benih “kesederhanaan”.

Padi tentu tidak tumbuh begitu saja. Ada musim untuk menanam padi. Selain itu, sebuah sawah perlu digarap: diairi, dibajak, disiangi, dan lain sebagainya. Saya bukan petani dan tidak tahu apa-apa mengenai sulitnya menggarap sebuah sawah. Tetapi dari contoh ini, saya tahu, bahwa untuk menuai padi yang bernas diperlukan usaha. Kalau seorang petani lalai dan malas maka panennya akan gagal.

Kalau kita bisa dengan sadar penuh melihat bahwa semua ini terhubung, maka tidak perlu motivasi khusus: kita akan terpanggil sendirinya untuk bangun pagi dan menggarap sawah kehidupan kita sendiri. Tidak perlu ada alarm; tidak perlu ada polisi yang mengawasi disiplin kita.

Lalu bagaimana memulainya? Bagaimana memulai perubahan yang baru, memulai proses penyederhanaan hidup, di tengah kehidupan yang terlanjur becek dan berantakan ini? Kita—-atau paling tidak saya—-seringkali memikirkan kebaruan sebagai sebuah barang yang datang dalam kotak pembungkus asli: masih steril, bau pabrikan, dan mengkilat. Kita membayangkan satu tombol reboot yang membuat semua aplikasi di komputer kita kembali sebagaimana dahulu pertama dibeli. Terkadang, orang bisa melakukan ini pada hidup mereka. Seringkali, orang kebanyakan—-juga saya—-tidak bisa melakukan itu. Ada komitmen hidup yang sudah “terlanjur” berjalan.

Sebuah perubahan yang efektif—-bagi saya—-adalah perubahan yang halus dan kecil. Perubahan ini demikian halus sampai-sampai ia masih bisa demikian terhubung dengan hidup kita “saat ini”. Tentu saja ada pengecualian. Juga dalam hidup, orang mesti membuat perubahan radikal. Misalnya, di situasi perang, adalah bijak untuk mengungsi dan “memulai kembali” dalam skala yang signifikan. Pun demikian, seseorang tidak bisa lepas dari dirinya sendiri. Akan selalu ada membuat hubungan dengan kehidupan yang ditinggalkan. Dalam hal ini tentu saja hubungan yang bermanfaat. Tentu kita ingin membuat perubahan atas hal-hal yang kita anggap tidak bermanfaat bagi hidup kita.

Tidak ada satu cara pasti yang cocok untuk setiap orang. Kalau ada seribu manusia maka ada seribu jalan. Ini perkataan sebuah peribasa dari Tiongkok yang pernah saya dengar dan saya yakini.

Kalau ditanya metode apa yang baik, alat apa yang baik, maka jawaban saya: gunakan hal yang dirasa cocok dan membawa hasil yang diinginkan. Pada akhirnya, orang itu sendiri yang bisa menentukan apakah jalan satu membawanya pada arah yang ingin dituju. Orang mesti kembali “merasa”. Tidak cukup hanya mendengar saran ini dan itu; hal yang dewasa ini cukup hingar-bingar.

Marilah kita tidak terjebak untuk mencari “satu jalan yang sempurna”. Seringkali, jalan ini tidak satu dan tidak lurus. Gunakan jalan yang membawa kita lebih dekat pada tujuan kita; gunakan jalan yang kita memang sanggup untuk jalani. Bagi adik saya, sebuah bukit di belantara bisa didaki dan dilewati dalam satu hari. Bagi saya, mungkin dua hari perjalanan. Itu pun, saya lebih baik jalan memutar ke lembah lereng. Itu yang saya sanggup.

Juga tidak mesti semua dibangun dari awal. Kita sudah menanam sesuatu dalam kehidupan. Mungkin kita hanya perlu melihatnya secara berbeda. Peradaban dibangun di atas pekerjaan para leluhur. Hidup kita dibangun di atas pilihan-pilihan yang telah kita buat. Dengan laku yang berbeda, kita akan melihat hasil keputusan kita ini dengan cara yang berbeda pula.

Saya mendapati dalam praktik, bahwa medium yang berbeda akan memberikan inspirasi serta hasil yang juga berbeda. Dalam artian inilah “mencoba hal baru” punya fungsinya sendiri.

Sebuah medium menentukan bentuk ekspresi yang berbeda. Sebuah gitar akan menghasilkan musik, namun idiomnya akan berbeda saat saya duduk di depan sebuah gender. Memegang kuas kaligrafi akan menuntun saya menghasilkan sesuatu yang berbeda dengan duduk di hadapan kode program.

Sebuah ekspresi yang jujur tidak perlu paksaan. Dia akan muncul dengan sendirinya, kalau diberi sarana dan kesempatan yang tepat. Kalau kita cukup peka terhadap hal ini, banyak yang bisa kita pelajari. Mari kita amati apa yang tubuh kita berusaha sampaikan pada kita; mari kita amati apa yang perasaan kita berusaha sampaikan pada kita. Bahkan juga: pikiran kita. Kita bukan pikiran kita.

Memilih medium yang tepat akan memudahkan ekspresi tertentu keluar. Mungkin kita terlalu keras kepala dan berusaha bermain piano dengan martil. Ini yang saya sering lakukan dan saya sadari sebagai sesuatu yang sebenarnya menggelikan. Bermain piano hanya membutuhkan tangan yang lentur dan terlatih. Atau menggoreng tempe dengan sendok teh? Saya tidak sarankan untuk coba, karena akan sangat mudah terkena minyak panas. Dari mana saya tahu? Saya sudah pernah lakukan.

Prinsip Sederhana

Dahulu ada zaman seorang ulama kondang membuat ceramah di televisi. Ibu saya suka menonton beliau, karena pesan-pesan beliau cukup bisa diterapkan lintas keyakinan. Ulama tersebut bilang, bahwa kebaikan itu harus: dimulai dari yang dekat, dari yang sederhana, dan—-yang terpenting—-dimulai dari sekarang. Ibu saya sangat menyenangi pesan tersebut. Itu hal yang saya berusaha untuk terapkan. Maka tulisan ini adalah tulisan pertama dalam rentang dua puluh satu hari ke depan.

#etika #kesederhanaan