writer's note:
HAI! ini angst, ya. and this is a break-up story, jadi kalau sekiranya nggak bisa baca yang begini, jangan dilanjutin.
triggered warning: smoking
Enjoy the ride! <3
“Kenapa masih di sini?”
Tubuh jangkung itu bersandar pada dinding, sementara jemarinya bergerak merogoh saku mantel demi meraih sebungkus rokok beserta pemantiknya. Rokok keempatnya hari ini, namun wira bernama Lee Jaehyun itu belum terlihat ingin menyudahi aktivitasnya.
Netranya lantas memandang lurus pada kelamnya langit malam. Sambil mengembuskan gulungan asap ke udara melewati mulut serta hidungnya, pemuda itu kembali terdiam. Raut muka kelelahan pun kantung mata yang mulai menghitam sengaja ia abaikan, luka di hatinya sepertinya jauh lebih menyakitkan. Beberapa menit dia habiskan dalam diam sebelum hela napas kasar terembus kemudian.
“Pulang, Changmin. Ini sudah lewat tengah malam.”
“Aku pulang kalau kamu juga ikut, Kak.”
Tawa pilu itu akhirnya terdengar dan memecah keheningan malam, samar namun masih sarat akan kesakitan. Sesekali dia juga menepuk keras dadanya, berharap rasa sakit itu akan sedikit berkurang, namun. Selama presensi Ji Changmin belum hilang dari jarak pandangnya, rasa sakit dan sesak di dadanya itu tidak akan pernah hilang sepertinya.
Dan keduanya kembali terdiam. Lee Jaehyun memilih untuk tidak peduli kendati beberapa kali pemuda yang lebih kecil itu sempat terbatuk akibat menghirup asap rokok yang sejak tadi diisapnya.
Jaehyun lantas membuang sisa batang rokok yang tinggal separuh ke tanah, diinjaknya dengan ujung sepatu, lantas berdeham tenang. “Ayo, kuantar pulang.” Cowok jangkung itu bersiap melangkahkan kakinya, sebelum melirik sekilas pada sosok yang sempat jadi pemegang kendali nomor satu pada kehidupannya itu. “Nanti kamu sakit,” ujarnya pelan dan tenang, Jaehyun sempat melepas mantel yang ia pakai kemudian menyampirkannya pada tubuh kecil Changmin yang hanya berbalut kaus tipis berlengan panjang.
“Kak,”
Jemari Changmin mencengkeram erat lengan Jaehyun, menahannya untuk kembali merajut langkah. Nada suaranya pelan, namun kentara terdengar jika dia tengah menahan isakan. “...aku nggak mau.”
Hening.
Sosok pemuda yang lebih tinggi lekas-lekas menaikkan arah tatapnya, beralih pada bintang-bintang malam di atas sana, apa pun asal tidak memandang Changmin yang kini sudah memeluknya dengan tubuh yang gemetar. Saraf-saraf di otak Jaehyun lantas melakukan reminisensi secara tiba-tiba, kembali mengingat bagaimana senyum secerah dan sehangat mentari milik Ji Changmin sanggup mengenalkannya pada warna-warni kehidupan.
Senyum lebar sehangat dan secerah sinar mentari itu... Jaehyun menemukannya dari lantai dua gedung sekolahnya untuk pertama kali. Senyum itu bahkan tak diberikan kepadanya, Changmin hanya sedang bercanda dengan beberapa karibnya kala itu. Namun, siapa yang bakal mengira jika untaian senyum lebar itu justru secara ajaib sudah melemparkan panah cupid tepat di jantung Jaehyun?
Kali kedua Jaehyun melihatnya—senyum lebar sehangat dan secerah sinar mentari itu—mungkin hanyalah sebuah kebetulan. Changmin hanya berjalan di sepanjang koridor sementara Jaehyun yang saat itu sudah kehilangan fokus berakhir menubruk ring basket. Kepalanya memar, lantaran dahinya berhasil mencumbu dingin dan kerasnya ring basket. Lee Jaehyun habis ditertawakan beberapa siswa yang kebetulan melihat, namun dia tak acuh. Selama bisa melihat Changmin dengan senyum favoritnya, menubruk ring basket setiap hari pun akan dia lalukan.
“Aku minta maaf, Kak. Maaf, maaf....”
Kesadaran Jaehyun kembali pada kenyataan ketika rungunya tiba-tiba mendengar suara Changmin yang sudah bercampur dengan getaran tangis. Punggung tangan Jaehyun bergerak cepat menghapus setitik airmata yang hampir menetes dari pelupuknya. Dadanya kembali sakit menyaksikan orang yang begitu dicintainya semakin mengeratkan pelukan. Dia kembali mendongakkan kepala, menahan sekuat tenaga agar tidak terlihat hancur, setidaknya di depan Changmin—untuk saat ini saja.
Tidak, jangan menangis sekarang, Changmin. Kumohon, jangan pernah jatuhkan airmatamu untuk orang sepertiku lagi.
Terlambat, Changmin tak mampu menahan laju airmatanya lagi. Tubuh kecilnya lantas terjatuh lemah sementara jemarinya masih erat mencengkeram lengan Jaehyun, seolah tengah salurkan gumpalan emosi pun rasa putus asa yang sejak tadi menyumbat rongga dadanya. Tangan kanannya mengepal, sesekali berikan tinju ringan pada tubuh Jaehyun, berharap cowok itu ucapkan sesuatu.
They need to talk, Changmin needs him to talk about them.
Sepersekon berikutnya lengan Jaehyun sudah merengkuh tubuh Changmin ke dalam pelukan. Abaikan rasa sakit pun amarah yang nyaris membabat habis kewarasannya, si Lee coba menenangkan cowok yang berada dalam dekapannya. Kendati bibir Changmin terus ucapkan kata 'maaf' di sela isakannya, Jaehyun tetap berdiri kukuh, menolak untuk berikan respons.
Because once he opened his mouth, he would break out and crying out loud at that moment. His chest is throbbing with pain already, he cannot make himself or even Changmin suffers more. They have had enough.
And Jaehyun have asked him to end everything.
Jaehyun sudah jelas mengutarakan keputusannya beberapa saat yang lalu. Membunuh habis sisa rasa yang masih memenuhi dada, keputusannya untuk mengakhiri semuanya sudah final. Tidak ada alasan untuk tetap mempertahankan ikatan yang memang sudah hampir putus itu. Berat, namun Jaehyun tetap harus melepasnya.
Lee Jaehyun bukanlah takdir yang menggenggam kebahagiaan Changmin.
“Changmin, let's stop it.” Jaehyun akhirnya mengembuskan desah napas berat sebelum melonggarkan pelukannya. “Why do you think this wouldn't hurt me, huh? Dari awal hati kamu memang bukan buat aku, and I still can't change it even after three years of our relationship. Tiga tahun sudah cukup buat aku nyoba, dan sekarang aku lelah. Aku menyerah, Changmin you can go to him now. I will never stop you. Apa yang kurang jelas, huh? You hurt me, and I unconsciously hurt you too. Both of us have had enough. It's done for us, Changmin.”
Malam itu, keduanya hanya menangis—ya, pertahanan sekokoh Tembok Cina yang dibangun Jaehyun pun runtuh juga pada akhirnya. Tiga tahun sudah cukup bagi Jaehyun untuk mencoba merebut hati Ji Changmin, meskipun hasilnya tak seperti yang dia perkirakan, dia sama sekali tak menyesal. Pada akhirnya dia memang tak bisa membenci seorang Ji Changmin, mataharinya.
Rasa sakit hati, putus asa, kecewa, semua bercampur menjadi satu... luruh bersamaan dengan semakin derasnya airmata keduanya mengalir dan membasahi pipi masing-masing.
Changmin bisa saja membuatnya begitu hancur dan Jaehyun masih akan tetap terus mengaguminya. He just can't unlove Changmin with his bright and warm smile.
Lengan panjang Jaehyun masih memeluk erat tubuh hangat Changmin, abaikan lesir angin malam yang semakin dingin, cowok itu meletakkan dagunya di atas kepala Changmin, biarkan lelaki yang lebih kecil menyandarkan kepala dengan nyaman di dadanya. Jaehyun lantas menyematkan sebuah ciuman panjang di puncak kepala Changmin sebelum melepas pelukannya.
Senyum yang masih terbalut luka itu sengaja ditampilkan setelah telapak tangannya bergerak menghapus sisa airmata di wajah mantan kekasihnya itu. “I love you, but I don't want this feeling to become a burden to you. Aku sama sekali nggak menyesal, Changmin. Tiga tahun itu nggak sebentar, and I can proudly tell the world that I'm the luckiest man ever for this past three years. Stop saying sorry, hm?”
Changmin hanya berikan anggukan pelan seolah tak yakin, karena jauh di palung hatinya yang paling dalam dia masih membenci dirinya sendiri. He hates himself for giving him this much of pain. Semuanya salah Changmin. Ya, Changmin yang sengaja menerima pernyatan cinta Jaehyun lantaran kesal melihat orang yang dikaguminya sudah 'menembak' orang lain. Changmin yang menjadikan Lee Jaehyun sebagai tempat pelampiasan. Changmin yang menghabiskan tiga tahun Lee Jaehyun tanpa pernah membalas perasaannya. Changmin yang sampai saat ini malah menjadikan Lee Juyeon sebagai pemilik hatinya yang nomor satu. Changmin yang bodoh... kekacauan ini terjadi karena Changmin yang sangat naif dan egois.
“Ayo pulang, udaranya semakin dingin.”
Maaf, Kak. Maaf....
Bahkan kata maaf saja nggak cukup buat menebus semua dosa-dosaku selama tiga tahun ini. I don't deserve someone with the biggest heart like you. I don't deserve you, Lee Jaehyun.
milkyuways © 2021