milkyuways

Wish

“Changmin.”

“Mm?”

“Kamu nggak kangen?”

Changmin lekas menodong Juyeon dengan tatapan herannya, tidak paham dengan maksud pertanyaan yang baru saja dilontarkan cowok tampan itu. “Kamu udah di sini, masa aku masih kangen?”

Kali ini Juyeon tertawa, kepalanya menggeleng pelan lantas menatap sosok manis di depannya lekat-lekat. “Bukan aku, tapi dia... Jaehyun. Udah lama banget kamu nggak hubungin dia, 'kan?”

Spontan manik Changmin mengerjap, tidak menyangka jika telinganya akan mendengar nama itu terucap dari balik katup bibir Juyeon lagi. “Bisa nggak, sih, kita jangan ngomong soal itu? I've been surviving all this time without him, jadi jangan tanya soal dia lagi, please?”

Kali ini Juyeon-lah yang tak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. Diam-diam dia merutuki dirinya sendiri yang terlampau cemburu dengan seorang Lee Jaehyun sampai-sampai dia menanyakan yang seperti tadi. Hanya melihat dari rautnya yang tiba-tiba berubah, kentara sekali Changmin memang tidak senang membicarakan soal itu.

Tangan besar Juyeon segera menangkup milik Changmin, menggenggamnya erat sebelum berikan elusan ringan dengan ibu jarinya. “Sori, aku nanyanya terlalu random. Maaf ya, Changmin?”

Changmin melengkungkan senyum lebar dan gelengkan kepala. “Udah, nggak apa-apa. Aku barusan tiba-tiba kepikiran, kenapa sampai sekarang soulmate kamu belum datang ya, Juyeon?”

Manik Juyeon mengerjap, terkejut. “Eh, harusnya punyamu duluan nggak, sih? Afterall, you deserve it more tho? Kalau soulmate kamu dateng artinya you'll get more happiness??”

“Nggak mau? I don't need my soulmate for now. Kamu aja udah cukup, soalnya kamu udah bikin aku bahagia.”

Lee Juyeon hampir melayang setinggi-tingginya jika dia tidak ingat kalau Changmin tetap saja bukan soulmate-nya. Dosakah jika Juyeon berharap soulmate Changmin tidak akan pernah datang? Dia juga ingin—sangat ingin—menghabiskan seluruh sisa umurnya bersama cowok berlesung pipi di depannya ini.

Sepasang manik Juyeon menatap jari kelingking Changmin tempat di mana tanda hati berwarna hitam itu berada... diam-diam dia berdoa jika suatu saat nanti benang merah mereka akan saling menyambung. Ya, Juyeon selalu berdoa untuk sebuah probabilitas yang terlampau kecil—Ji Changmin for him and him only.

Lotte World

“Kok tiba-tiba, sih?”

“Apa?”

“Ke Lotte World. Kenapa?”

Juyeon tersenyum, matanya menghilang akibat senyum lebarnya, lantas membungkus jemari Changmin dengan miliknya. “Cuma pengin aja sesekali main sama kamu. Emang nggak boleh?”

Dada Changmin seketika merasa hangat, semburat merah muda juga mungkin sudah muncul di pipinya. Sedikit malu, namun dia tetap berusaha untuk tidak tunjukkan luapan emosinya. Jemarinya yang lebih kecil dari Juyeon balik menggenggam erat, biarkan Juyeon membawanya bersenang-senang serta menguntai kenangan di tempat ini.

“Boleh banget, dong? Aku udah lama nggak pernah main ke sini, tahu. Makasih, ya?”

Telapak tangan Juyeon bergerak untuk mengusak rambut Changmin, sementara senyum kucingnya masih menghiasi wajah, Lee Juyeon terlihat begitu bahagia, eh?

“Aku sukaaaa!” pekik Changmin ketika keduanya sudah bersiap di atas Viking, tawanya mengembang sejak tadi, kentara sekali dia begitu menikmati waktunya mencoba banyak wahana di Lotte World. “Juyeoooonnn, aku sukaaaa!!!!”

Juyeon yang duduk di sampingnya hanya terkekeh, tangan kirinya masih menggandeng milik Changmin lantas ikut berteriak, “aku juga sukaaa! Aku suka kamu Changmiiiin.”

Keduanya saling tertawa, tak peduli kendati beberapa pasang mata sedang mengawasi. Baik Juyeon dan Changmin sudah terlalu larut dalam dunia mereka sendiri. Selesai dengan Viking, mereka terus berjalan membeli bandana, mencoba permainan lain, juga saling berpose dan mengambil foto masing-masing, hingga napas keduanya hampir habis lantaran terlalu asik bermain.

Changmin terkejut ketika sebuah kaleng kopi tiba-tiba menempel di pipinya, dan Juyeon hanya tertawa mendapati respons menggemaskan dari pacarnya itu. Setelah Changmin menerima kopinya, cowok yang lebih tinggi segera duduk di sebelahnya. Keduanya saling menatap ke arah langit dan terdiam.

“Seneng nggak?”

“Bangeeeeeeettt. Kita udah nyobain banyak permainan sekarang kakiku capek, napasku udah mau abis juga,” keluh Changmin, namun bibirnya terus kembangkan senyuman lebar. “Juyo, terima kasih, ya.”

“Aku cuma ngajak main ke Lotte World, Changmin. Jangan bilang terima kasih terus, ah.”

No. I mean, terima kasih... buat semuanya.”

Juyeon menolehkan kepala, menatap sosok berparas manis di sebelahnya dengan kerutan di dahi, belum bisa mencerna sepenuhnya maksud dari kalimat yang diucapkan Changmin barusan.

“Pokoknya, kamu udah nyelametin aku. So, thank you very much. Thank you for existing and giving me this amount of happiness.”

Changmin kini menolehkan kepala hingga pandangan mereka saling bertemu. Bibir mungil itu masih terus mengembangkan senyum, indah. Sangat indah, Juyeon terus memujinya di dalam hati. Di bawah sinar bulan begini, Ji Changmin terlihat puluhan kali lebih indah.

Dan salahkan Juyeon yang sudah tidak mampu kembalikan kewarasannya ketika dirinya sudah mengikis jarak dengan wajah Changmin, dan menempelkan bibirnya di sana—tepat di atas ranum milik cowok Ji yang semakin membuatnya jatuh hati.

Ciuman pertama Juyeon dan Changmin.


milkyu

“Semua orang pergi kencan. Aku punya pacar, berasa nggak punya. Yang difokusin kerjaannya mulu.”

Jaehyun yang saat itu menatap layar laptopnya tersenyum kecil. Dia tahu Changminnya sedang merajuk. “Ya, ayo? Katanya mau nonton?”

“Udah nggak mood.”

Kembali memandang ke arah layar, Jaehyun hanya mengedikkan bahu. “Aku udah nawarin, lho.”

Changmin mendecakkan lidah, semakin kesal. “Ayo pergi, Lee Jaehyuuuunn!”

“Nggak mau. Kamu nolak tawaranku terus dari tadi, kesempatannya habis.”

“Ih, harusnya yang marah itu aku nggak, sih?”

Jaehyun terkekeh, menarik lengan Changmin agar mendekat lantas menghujani pipi pacarnya yang menggembung itu dengan banyak kecupan. “Kalau kamu janji mau gandeng tanganku terus, kita pergi malam ini, deal?”

Oh, sialan Lee Jaehyun dan semua tingkah usilnya, kalau sudah begini bagaimana Changmin bisa merajuk lebih lama?


jukyu

Changmin mendesis pelan dan hampir melempar ponsel di tangannya kalau tidak mendengar bunyi langkah kaki Juyeon yang sudah mendekat. Dia sedang kesal, Chanhee baru saja membatalkan janji untuk menemaninya menonton film malam ini.

“Sayang? Ini pakai topimu dulu,” ujar Juyeon sambil menyodorkan topi milik Changmin sementara dirinya merapikan bucket hat yang dipakai sendiri.

Changmin mendongak dan terkejut melihat penampilan pacarnya yang sudah rapi. Seingatnya mereka tidak berencana pergi malam ini?

“Mau ke mana?”

“Nonton? Kamu udah lama pengin nonton Conjuring, bukan? Mumpung malam ini free, kenapa nggak sekarang?” jawabnya sambil menampilkan senyum bak anak kucing yang begitu tampan.

“Ah, Juyo....” Changmin lekas-lekas memeluk tubuh tinggi pacarnya itu erat. Gumpalan kekesalan yang semula memenuhi dada, seketika melebur.

Juyeon selalu bisa jadi penyelamatnya.

“Kamu nggak apa-apa? Nonton horor?”

“Hei, aku nggak secupu itu, ya? Daripada kamu kesel terus kayak tadi?”

“Hehehe sayang Juyo banyak-banyak.”

Juyeon mencubit gemas pipi Changmin lantas menggenggam jemarinya erat. “Hm, sayang Changmin juga nggak, ya?”

“Dih? Jadi ngeselin, nih?”

“Haha, iyaa. Sayang Changmin juga banyak-banyak. Ayo berangkat!”


sunkyu

Sunwoo yang sedang asik dengan webtoon favoritnya, memandang Changmin yang baru saja memanggilnya.

“Apa? Kalau mau ngajakin nonton film horor... aku skip dulu.”

Changmin tertawa. Dia bahkan belum mengatakan apa pun namun Sunwoo sudah lebih dulu menolak rencananya. “Kamu nemenin aku nonton, nanti gratis Starbucks tiga hari, deh?”

No. Kakak tahu aku nggak sebegitu fanatik sama kopi di sana.”

Changmin masih terkekeh, kepalanya memikirkan apa pun agar Sunwoo mau menemaninya menonton film malam ini.

“Temenin nonton dan gratis makan apa aja seminggu?”

“Apa aja?” Sunwoo, memastikan tawarannya sekali lagi. Dia mengulum senyum, sudah membayangkan apa saja yang akan dia minta dari Changmin nanti.

“Iyaaa, apa aja.”

“Hm....” Sunwoo bertingkah seolah tengah menimbang keputusan yang berat, padahal jelas-jelas dia yang sangat diuntungkan di sini. “Oke, deal. Apa aja. Seminggu. I love you, Kak Changmin.”

Tepat saat itu, barulah Changmin menyadari jika tawarannya terdengar sangat bodoh. Hanya demi mengajak pacarnya menonton film horor, dia harus jadi bangkrut selama seminggu.

Oke, kalau setelah seminggu hubungan keduanya berakhir, kalian tahu siapa yang harus disalahkan, bukan?

*

milkyuways © 2021

1

Aji yang baru saja membaca grup chat dengan kedua sahabatnya itu segera membuka Twitter-nya. Mengetikkan username yang tadi Gema bagikan, lantas kerutan di dahinya semakin dalam ketika jemarinya menggulir profil milik si Janu yang sejak tadi jadi bahan gosip kedua temannya.

Cowok itu melirik pemuda tinggi di sebelahnya, mencocokkan dengan display picture si Januar, dan menahan napas sesudahnya.

Oh, dia… Januar?

“Lo… Januar?”

“Hah?”

Aji hanya menganggukkan kepala mendapati respons dari lawan bicaranya. Dari mimik muka yang sarat keterkejutan itu, dia menyimpulkan jika tebakannya benar.

“Oh, nggak. Lo belum cek Twitter, ya?”

“Emangnya kenapa?”

Kali ini Aji hanya gelengkan kepala, menurutnya memang lebih baik jika dia tidak melihat semua kerusuhan di autobase sekolah mereka.

“Gue tanya kenapa? Jawab.”

“Nggak ada apa-apa, gue cuma baru stalk akun lo—”

Belum sempat Aji meneruskan omongannya, tangan besar Janu sudah lebih dulu merebut benda pipih persegi panjang yang semula hendak dimasukkan ke dalam ransel oleh si pemilik. Aji terkejut dan kembali berusaha merebutnya. Namun, lengan panjang Janu tentu bukan tandingannya.

Suasana hening kembali selimuti keduanya dan Aji hanya bisa menghela napas. Dia tidak pandai mengubah suasana, jadi cowok yang ternyata memiliki lesung pipi itu hanya diam dan menunggu.

Beberapa saat kemudian, Janu menyerahkan ponsel dengan case berwarna peach itu kepada pemiliknya. Bibirnya tak ucapkan sepatah kata pun, well, Aji menebak jika cowok itu sudah menyaksikan keributan di linimasa Twitter sejak tadi.

“Kagak usah dipikirin. Inget, lo punya nomor gue,” ujar Aji setelah menarik napas panjang. Dia juga bukan termasuk orang yang pandai menghibur, jadi di saat seperti ini dia justru bingung harus melakukan apa. “Mana, kasih ke gue. Cepet!”

“Apa?”

Cutter yang lo simpen di ransel.”

Manik Janu sontak membelalak. Ah, ternyata dia menyadarinya, huh?

“Cepet, ih. Gue udah dijemput!” desak Aji dengan suara yang cukup tinggi. Namun, sampai detik kelima, masih belum ada pergerakan dari cowok di depannya itu. Aji jadi gemas sendiri. Dia merebut ransel Janu dan segera membuka resletingnya acak demi temukan benda sialan itu.

“Oke!” tandasnya lantas menegakkan tubuh. Dia memasukkan cutter milik Janu ke dalam ranselnya sendiri, membersihkan celananya dari debu sejenak sebelum melangkahkan kakinya menjauh.

Janu masih tak bergeming, menatap kepergian Aji yang terlihat sedikit tergesa. Entah sadar atau tidak, gemuruh di jantung Janu belum mereda sejak kejadian Aji menuliskan nomor di lengan kirinya.

Siapa sebenarnya cowok aneh itu?

“Oh, nama gue Ajisaka, by the way.”


Kedua cowok itu sedang berada di dalam kamar Changmin—Juyeon menempelkan punggung pada kepala ranjang sementara si pemilik kamar bersandar nyaman di dada pacarnya. Netra keduanya memandang ke arah akuarium berukuran sedang yang sudah jadi tempat tinggal empat ekor gold fish yang kemarin mereka beli.

“Jangan senyum-senyum terus lihatin mereka,” tegur Juyeon sambil mencubit hidung Changmin gemas. “Aku cemburu.”

Alihkan pandangan sejenak, si cowok Ji terkekeh sebelum menyamankan posisi dengan memeluk tubuh cowoknya dari samping. “Dasar aneh! Cemburu kok sama ikan?” sahutnya sembari merapatkan tubuhnya dengan Juyeon, mencari kehangatan.

Juyeon tertawa kecil, telapak tangan kanannya mengusap rambut Changmin sementara dia biarkan tangan kirinya bermain dengan lesung pipi kesukaannya. “Kita udah kayak keluarga kecil aja, Yang. Ngerawat ikan-ikan kamu 'kan kayak ngerawat anak kita sendiri—”

“Dih, apa, sih? Cheesy banget!” Changmin menghadiahi Juyeon dengan cubitan kecil di pinggang sebelum menenggelamkan wajahnya yang sudah memerah, agak salah tingkah.

Mereka sudah berpacaran selama empat tahun, tapi semua omongan Juyeon masih bisa hadirkan gemuruh hebat di dada Changmin. Hal kecil seperti tadi, misalnya. Juyeon dan kalimat-kalimat ajaibnya sudah berhasil membuat Changmin jatuh cinta lagi dan lagi. Ew, oke stop. Sekarang Changmin malah jadi ikutan cheesy.

Oh, Babe. Here's the concept... me and you married. Jadi, kita bisa ngerawat anak-anak kita duapuluh empat jam full nonstop. Gimana menurutmu?”

Changmin hampir menggigit dada Juyeon saking gemasnya mendengar kalimat yang dilontarkannya barusan. Demi Tuhan, Lee Juyeon itu sangat aneh dan ajaib! (Ah, tapi Changmin sayang banget, sih.)

Did you just propose me....?”

Tawa Juyeon kembali memecah hening, dia lekas-lekas mengubah posisinya agar tertidur di sebelah Changmin lantas melingkarkan lengannya pada tubuh cowok yang lebih kecil itu. Manik keduanya saling bersirobok, sebelum Juyeon mencuri sebuah kecupan pada ujung hidung Changmin.

Nah, nope. Nanti aku propose-nya pakai cara yang lebih romantis. Masa cuma di atas kasur begini, jelek banget.”

Changmin terkekeh, kembali sembunyikan wajahnya yang masih merona sebelum cowoknya itu kembali menggoda.

“Tapi, Sayang, serius deh. Emangnya kamu udah siap ngabisin duapuluh empat jam dan tujuh hari punyamu sama aku?”

“Apa sih, Lee Juyeon? Bisa diem, nggak? Nggak usah ngomong lagi kalau belum serius!”

“Oooh, udah mau diseriusin banget nih, ya? Hm, ketahuan ya, Ji Changmin.”

“Berisik.”

Dan monster tupai bernama Ji Changmin sudah menggigit tulang selangka cowok Lee itu pada akhirnya. Abaikan pekikan dan tawa Juyeon yang memenuhi kamarnya, seolah merasa puas setelah menggoda Changmin dan melihat rona merah tercetak jelas di kedua pipi pacarnya itu.


milkyuways @ 2021

Terluka

Panik.

Juyeon memacu motornya dengan kecepatan tinggi tepat setelah dia mengetahui di mana posisi Changmin saat ini. Gemuruh di dadanya semakin menggebu, dia hanya berdoa semoga Changmin baik-baik saja. Sejujurnya dia masih tak habis pikir, bagaimana Changmin bisa tersesat sedangkan niat awalnya hanya ingin pergi membeli ramyeon di minimarket terdekat?

Apa yang sedang dipikirkannya?

Berkali-kali Juyeon meminta kepada Tuhan agar menjaga Changmin sampai dia tiba. Dia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa cowok kesayangannya itu. Ya, Ji Changmin, kesayangannya.

Terdengar sedikit lucu ketika Juyeon menyebut Changmin sebagai orang yang disayanginya. Tujuan awalnya mengenal Changmin hanyalah sekadar mencari pengalih perhatian, namun siapa yang menyangka jika seiring berjalannnya waktu, semakin sering dia menghabiskan hari bersamanya, eksistensi Ji Changmin jadi begitu berharga? Juyeon sudah sangat terbiasa dan nyaman berada di sekitarnya.

Lee Juyeon membutuhkannya. Dan dia... sudah jatuh cinta kepadanya.

Ketika tempat yang dituju sudah dekat, netra Juyeon bisa menangkap siluet tubuh Changmin yang terduduk di atas trotoar sembari memeluk kedua lututnya. Jalanan sepi, Juyeon menghela napas lega ketika menghentikan laju motornya lantas berlari demi menenggelamkan tubuh kecil yang sedang gemetar itu ke dalam pelukannya.

“Ah, syukurlah. Changmin. Changmin. Changmin....”

Cowok jangkung itu tak dapat menahan tangisnya lagi. Dipeluknya tubuh Changmin dengan erat, seolah tak ingin melepasnya untuk waktu yang begitu lama, Juyeon bersumpah tidak akan membiarkan hal ini terjadi lagi. Sementara Changmin yang juga sudah terisak mencengkeram erat sweater Juyeon. Tubuhnya masih gemetar, bibirnya terus gumamkan beberapa kata samar. Kentara terlihat jika pemuda Ji itu sedang ketakutan.

“Takut. Juyeon. Aku takut....”

“Hei, aku sudah di sini. Tenang, oke? Kamu sudah aman, Changmin.”

Juyeon menunggu sampai Changmin sedikit lebih tenang sebelum membawanya pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan dia selalu memastikan jika lengan Changmin masih melingkar di pinggangnya dan Changmin sudah aman bersamanya. Setakut itu dia kehilangan Changmin.

Ji Changmin, mantra sihir apa yang kamu rapalkan sampai-sampai membuat seorang Lee Juyeon lebih mengkhawatirkanmu daripada dirinya sendiri?

Setelah memastikan Changmin tertidur di atas ranjangnya dengan nyaman, Juyeon hanya memandang cowok itu, lama. Mengamati figur Changmin yang terlihat tenang dengan napas yang sudah teratur, Juyeon lagi-lagi bersumpah dia akan selalu berusaha melindungi cowok itu.

Ji Changmin adalah dunianya, untuk saat ini. Dan Juyeon tidak akan meminta lebih, selama Tuhan selalu memberinya kekuatan untuk terus menjaga serta membahagiakan Changmin.

Juyeon sedang merapikan selimut yang membungkus tubuh Changmin ketika tubuh kecil itu menggeliat pelan. Bibirnya terus gumamkan sesuatu hingga beberapa sekon berselang dada Juyeon seolah terhantam oleh bebatuan besar secara tiba-tiba.

Sakit.

Dia lagi-lagi dihantam oleh kenyataan... ketika Changmin mengigau... dan nama Lee Jaehyun terucap dari bibirnya.

Ah, Lee Jaehyun masih jadi nomor satu bagimu ya, Changmin?

Patah hati.

Tentu saja Lee Juyeon sangat patah hati, namun tidak ada yang bisa dia lalukan, bukan? Sejak awal dirinya memang merupa orang asing saja bagi Changmin. Toh, mereka juga cuma pacar—hubungannya bahkan tidak digariskan oleh sang takdir. Lee Juyeon tetaplah bukan siapa-siapa bagi Changmin.

Firasat

“Kamu melamun lagi, Lee Jaehyun.”

Yang disebut namanya hanya tersenyum kecil, gelengkan kepala lantas menarik lengan Younghoon yang baru saja menghampirinya sebelum membawanya agar berdiri lebih dekat dan melingkarkan lengannya pada tubuh belahan jiwanya itu. Keduanya saling diam—Jaehyun masih menempelkan kepala pada dada Younghoon sementara yang satu hanya memberi tepukan-tepukan ringan di punggungnya.

“Kenapa lagi, huh?”

Jaehyun lagi-lagi hanya menggelengkan kepala, tanpa mengubah posisinya. Pelukan Younghoon sudah jadi tempat ternyaman baginya, Jaehyun tak perlu memasang topeng dan berpolah sok kuat jika sedang bersama cowok itu. Namun, tidak untuk kali ini. Si Lee tak sampai hati jika harus mengatakan penyebabnya melamun lagi hari ini.

“Jangan mikirin laporan terus, ih. Badanmu juga butuh istirahat dan makan. Aku masih ada kelas duapuluh menit lagi jadi...” Younghoon mengangkat kepala kekasihnya itu sebelum berikan sebuah kecupan di bibir lantas melanjutkan, “masuk ke dalam sekarang dan habiskan makananmu. Tidur dulu sebelum lanjutin laporanmu, oke?”

Kim Younghoon segera pergi selepas ingatkan soulmate-nya itu untuk menghangatkan makanannya terlebih dahulu. Tinggalkan Jaehyun sendiri di apartemen yang sengaja disewa oleh keduanya.

Lelah, manik Jaehyun hanya menatap kepergian kekasihnya dalam diam. Kemelut di pikirannya masih berkecamuk, dia sedang merindukan Changmin. Bagaimana kabar cowok manis itu, ya?

Sebelas bulan sudah berlalu. Mulanya mereka memang masih saling bertukar kabar, sebelum berakhir tanpa komunikasi sejak tujuh bulan terakhir. Jika ditanya apa Jaehyun sudah melupakan perasaannya terhadap Changmin yang sengaja dikubur dalam-dalam, jawabannya adalah tidak tahu. Dia sendiri bahkan sulit menjelaskan kondisi hatinya saat ini.

Namun, satu hal yang pasti, nama Changmin masih ada di sana. Meskipun sudah terpendam jauh di sudut hatinya yang paling dalam... bukan berarti dia tidak bisa merindukannya, 'kan?

Lukanya memang sembuh, terima kasih kepada Younghoon, cowok itu benar-benar menyelamatkan Jaehyun selama ini. Pun bukan berarti Jaehyun memanfaatkan Younghoon, sih. Perasaannya tulus. Dia sudah jatuh cinta pada soulmate-nya itu. Younghoon adalah segalanya. Hanya saja, bayangan Changmin masih sesekali menyambangi pikirannya, seperti hari ini misalnya.

Ada kalanya Jaehyun ingin sekali menekan tombol dial pada nomor Changmin, meneleponnya, mendengar suaranya... mencoba membunuh rindu yang sesekali mendera, namun. Berkali-kali juga cowok itu menahan keinginannya. Dia sudah berjuang untuk menjauhi Changmin selama ini, dan dia tidak ingin menghancurkan semua usahanya hanya dengan 'rindu' semata.

Lee Jaehyun hanya bisa berdoa semoga Changmin baik-baik saja di sana, juga semoga Changmin segera bertemu dengan takdirnya dan selalu bahagia.


Jemari Chanhee kembali menggulir layar ponselnya setelah membuka sebungkus roti dan melahapnya santai. Perhatian dan fokusnya tertuju pada halaman Instagram sebuah kafe baru yang tak sengaja ditemukannya barusan. Terlihat puas dengan beberapa pos foto di feed-nya, cowok itu akhirnya sampai pada kesimpulan untuk mengunjungi kafe yang dimaksud, nanti.

Tangannya kembali berniat mendorong rotinya ke dalam mulut ketika sosok Ji Changmin tiba-tiba sudah ikutan menggigit roti di tangannya dengan gerakan cepat. Cowok yang baru saja tiba itu hampir menempelkan bibirnya dengan milik Chanhee—ya, Changmin seolah sengaja menggigit bagian dari roti yang nyaris Chanhee habiskan.

“Ih, ngapain, sih?”

Chanhee mendorong wajah pacarnya itu menjauh. Mukanya semerah tomat lantaran embusan napas Changmin sudah mengelus permukan wajahnya dari jarak yang begitu dekat.

“Itu roti di atas meja masih banyak?” keluhnya sambil menutupi kedua pipinya yang memanas. “Kenapa harus makan punyaku, sih?”

Ji Changmin hanya mengedikkan bahu sembari berujar, “ya memang kenapa, sih? Aku malas buka bungkusnya.”

Bibir Chanhee mengerucut kesal—tidak benar-benar kesal sebenarnya. Dia hanya salah tingkah dan cukup susah mengatur debaran jantungnya yang sudah menggebu. Mereka nyaris saling menempelkan bibir di depan umum akibat menggigit bagian roti yang sama... gila. Ji Changmin memang sudah gila.

“Kenapa, sih? Mukamu juga merah gitu. Aku salah?”

“Ih, nggak tahu deh.”

“Loh? Aku tanya serius. Kenapa? Kamu kok jadi marah-marah?”

Chanhee mendecak kesal. “Malu dilihat orang, Jichang bodoh!”

“Oooh, malu punya pacar aku?”

“NGGAK GITU!” pekik Chanhee cepat-cepat. “Kamu sih, tiba-tiba dateng terus asal gigit roti yang tadi mau kumakan juga. Kan jadi kelihatan uh... awkward? Malu dilihat banyak orang, kayak lagi mau ngapain aja....”

Lagi-lagi Changmin hanya mengedikkan bahu, tak peduli. Memangnya kenapa kalau dilihat orang, sih? Toh, mereka berdua memang berpacaran, tidak akan ada yang protes. “Ya, udah, sori. Jangan cemberut gitu bibirnya, nanti kamu kubuat makin malu lagi tahu rasa.”

“Ih, apaan sih, Ji Changmin. Mesum banget?”

“Cium pacar sendiri kok mesum, sih? Mukamu merah, tuh. Sebenernya suka, 'kan?”

“Nggak.”

“Bohong. Kapan-kapan boleh deh kita cobain ciuman di tempat yang lebih ramai. Biar semua orang tahu pacarku sebenernya juga jago cium- hmpf! Choi Chanhee!!!” Changmin mendelik kesal ketika mulutnya tiba-tiba disumpal dengan sisa roti yang semula dia makan.

“Jangan berisik makanya.” Chanhee tergelak gemas melihat pipi pacarnya sudah menggembung lucu lantaran dia menyumpalnya dengan cukup banyak roti. Ji Changmin benar-benar terlihat seperti seekor hamster dengan kedua pipi penuh begitu.

“Ah, lucu banget hamster gantengku, Jichang.” Choi Chanhee segera mengarahkan lensa kamera ponselnya pada cowok di depannya, menangkap beberapa gambar hamster!Changmin sambil terkekeh geli.

Changminnya terlihat sangat lucu dan menggemaskan. Changminnya... ahem, Changminnya Chanhee.

writer's note: HAI! ini angst, ya. and this is a break-up story, jadi kalau sekiranya nggak bisa baca yang begini, jangan dilanjutin.

triggered warning: smoking

Enjoy the ride! <3


“Kenapa masih di sini?”

Tubuh jangkung itu bersandar pada dinding, sementara jemarinya bergerak merogoh saku mantel demi meraih sebungkus rokok beserta pemantiknya. Rokok keempatnya hari ini, namun wira bernama Lee Jaehyun itu belum terlihat ingin menyudahi aktivitasnya.

Netranya lantas memandang lurus pada kelamnya langit malam. Sambil mengembuskan gulungan asap ke udara melewati mulut serta hidungnya, pemuda itu kembali terdiam. Raut muka kelelahan pun kantung mata yang mulai menghitam sengaja ia abaikan, luka di hatinya sepertinya jauh lebih menyakitkan. Beberapa menit dia habiskan dalam diam sebelum hela napas kasar terembus kemudian.

“Pulang, Changmin. Ini sudah lewat tengah malam.”

“Aku pulang kalau kamu juga ikut, Kak.”

Tawa pilu itu akhirnya terdengar dan memecah keheningan malam, samar namun masih sarat akan kesakitan. Sesekali dia juga menepuk keras dadanya, berharap rasa sakit itu akan sedikit berkurang, namun. Selama presensi Ji Changmin belum hilang dari jarak pandangnya, rasa sakit dan sesak di dadanya itu tidak akan pernah hilang sepertinya.

Dan keduanya kembali terdiam. Lee Jaehyun memilih untuk tidak peduli kendati beberapa kali pemuda yang lebih kecil itu sempat terbatuk akibat menghirup asap rokok yang sejak tadi diisapnya.

Jaehyun lantas membuang sisa batang rokok yang tinggal separuh ke tanah, diinjaknya dengan ujung sepatu, lantas berdeham tenang. “Ayo, kuantar pulang.” Cowok jangkung itu bersiap melangkahkan kakinya, sebelum melirik sekilas pada sosok yang sempat jadi pemegang kendali nomor satu pada kehidupannya itu. “Nanti kamu sakit,” ujarnya pelan dan tenang, Jaehyun sempat melepas mantel yang ia pakai kemudian menyampirkannya pada tubuh kecil Changmin yang hanya berbalut kaus tipis berlengan panjang.

“Kak,”

Jemari Changmin mencengkeram erat lengan Jaehyun, menahannya untuk kembali merajut langkah. Nada suaranya pelan, namun kentara terdengar jika dia tengah menahan isakan. “...aku nggak mau.”

Hening.

Sosok pemuda yang lebih tinggi lekas-lekas menaikkan arah tatapnya, beralih pada bintang-bintang malam di atas sana, apa pun asal tidak memandang Changmin yang kini sudah memeluknya dengan tubuh yang gemetar. Saraf-saraf di otak Jaehyun lantas melakukan reminisensi secara tiba-tiba, kembali mengingat bagaimana senyum secerah dan sehangat mentari milik Ji Changmin sanggup mengenalkannya pada warna-warni kehidupan.

Senyum lebar sehangat dan secerah sinar mentari itu... Jaehyun menemukannya dari lantai dua gedung sekolahnya untuk pertama kali. Senyum itu bahkan tak diberikan kepadanya, Changmin hanya sedang bercanda dengan beberapa karibnya kala itu. Namun, siapa yang bakal mengira jika untaian senyum lebar itu justru secara ajaib sudah melemparkan panah cupid tepat di jantung Jaehyun?

Kali kedua Jaehyun melihatnya—senyum lebar sehangat dan secerah sinar mentari itu—mungkin hanyalah sebuah kebetulan. Changmin hanya berjalan di sepanjang koridor sementara Jaehyun yang saat itu sudah kehilangan fokus berakhir menubruk ring basket. Kepalanya memar, lantaran dahinya berhasil mencumbu dingin dan kerasnya ring basket. Lee Jaehyun habis ditertawakan beberapa siswa yang kebetulan melihat, namun dia tak acuh. Selama bisa melihat Changmin dengan senyum favoritnya, menubruk ring basket setiap hari pun akan dia lalukan.

“Aku minta maaf, Kak. Maaf, maaf....”

Kesadaran Jaehyun kembali pada kenyataan ketika rungunya tiba-tiba mendengar suara Changmin yang sudah bercampur dengan getaran tangis. Punggung tangan Jaehyun bergerak cepat menghapus setitik airmata yang hampir menetes dari pelupuknya. Dadanya kembali sakit menyaksikan orang yang begitu dicintainya semakin mengeratkan pelukan. Dia kembali mendongakkan kepala, menahan sekuat tenaga agar tidak terlihat hancur, setidaknya di depan Changmin—untuk saat ini saja.

Tidak, jangan menangis sekarang, Changmin. Kumohon, jangan pernah jatuhkan airmatamu untuk orang sepertiku lagi.

Terlambat, Changmin tak mampu menahan laju airmatanya lagi. Tubuh kecilnya lantas terjatuh lemah sementara jemarinya masih erat mencengkeram lengan Jaehyun, seolah tengah salurkan gumpalan emosi pun rasa putus asa yang sejak tadi menyumbat rongga dadanya. Tangan kanannya mengepal, sesekali berikan tinju ringan pada tubuh Jaehyun, berharap cowok itu ucapkan sesuatu.

They need to talk, Changmin needs him to talk about them.

Sepersekon berikutnya lengan Jaehyun sudah merengkuh tubuh Changmin ke dalam pelukan. Abaikan rasa sakit pun amarah yang nyaris membabat habis kewarasannya, si Lee coba menenangkan cowok yang berada dalam dekapannya. Kendati bibir Changmin terus ucapkan kata 'maaf' di sela isakannya, Jaehyun tetap berdiri kukuh, menolak untuk berikan respons.

Because once he opened his mouth, he would break out and crying out loud at that moment. His chest is throbbing with pain already, he cannot make himself or even Changmin suffers more. They have had enough.

And Jaehyun have asked him to end everything.

Jaehyun sudah jelas mengutarakan keputusannya beberapa saat yang lalu. Membunuh habis sisa rasa yang masih memenuhi dada, keputusannya untuk mengakhiri semuanya sudah final. Tidak ada alasan untuk tetap mempertahankan ikatan yang memang sudah hampir putus itu. Berat, namun Jaehyun tetap harus melepasnya.

Lee Jaehyun bukanlah takdir yang menggenggam kebahagiaan Changmin.

“Changmin, let's stop it.” Jaehyun akhirnya mengembuskan desah napas berat sebelum melonggarkan pelukannya. “Why do you think this wouldn't hurt me, huh? Dari awal hati kamu memang bukan buat aku, and I still can't change it even after three years of our relationship. Tiga tahun sudah cukup buat aku nyoba, dan sekarang aku lelah. Aku menyerah, Changmin you can go to him now. I will never stop you. Apa yang kurang jelas, huh? You hurt me, and I unconsciously hurt you too. Both of us have had enough. It's done for us, Changmin.”

Malam itu, keduanya hanya menangis—ya, pertahanan sekokoh Tembok Cina yang dibangun Jaehyun pun runtuh juga pada akhirnya. Tiga tahun sudah cukup bagi Jaehyun untuk mencoba merebut hati Ji Changmin, meskipun hasilnya tak seperti yang dia perkirakan, dia sama sekali tak menyesal. Pada akhirnya dia memang tak bisa membenci seorang Ji Changmin, mataharinya.

Rasa sakit hati, putus asa, kecewa, semua bercampur menjadi satu... luruh bersamaan dengan semakin derasnya airmata keduanya mengalir dan membasahi pipi masing-masing.

Changmin bisa saja membuatnya begitu hancur dan Jaehyun masih akan tetap terus mengaguminya. He just can't unlove Changmin with his bright and warm smile.

Lengan panjang Jaehyun masih memeluk erat tubuh hangat Changmin, abaikan lesir angin malam yang semakin dingin, cowok itu meletakkan dagunya di atas kepala Changmin, biarkan lelaki yang lebih kecil menyandarkan kepala dengan nyaman di dadanya. Jaehyun lantas menyematkan sebuah ciuman panjang di puncak kepala Changmin sebelum melepas pelukannya.

Senyum yang masih terbalut luka itu sengaja ditampilkan setelah telapak tangannya bergerak menghapus sisa airmata di wajah mantan kekasihnya itu. “I love you, but I don't want this feeling to become a burden to you. Aku sama sekali nggak menyesal, Changmin. Tiga tahun itu nggak sebentar, and I can proudly tell the world that I'm the luckiest man ever for this past three years. Stop saying sorry, hm?”

Changmin hanya berikan anggukan pelan seolah tak yakin, karena jauh di palung hatinya yang paling dalam dia masih membenci dirinya sendiri. He hates himself for giving him this much of pain. Semuanya salah Changmin. Ya, Changmin yang sengaja menerima pernyatan cinta Jaehyun lantaran kesal melihat orang yang dikaguminya sudah 'menembak' orang lain. Changmin yang menjadikan Lee Jaehyun sebagai tempat pelampiasan. Changmin yang menghabiskan tiga tahun Lee Jaehyun tanpa pernah membalas perasaannya. Changmin yang sampai saat ini malah menjadikan Lee Juyeon sebagai pemilik hatinya yang nomor satu. Changmin yang bodoh... kekacauan ini terjadi karena Changmin yang sangat naif dan egois.

“Ayo pulang, udaranya semakin dingin.”


Maaf, Kak. Maaf....

Bahkan kata maaf saja nggak cukup buat menebus semua dosa-dosaku selama tiga tahun ini. I don't deserve someone with the biggest heart like you. I don't deserve you, Lee Jaehyun.


milkyuways © 2021

Date

“Kenapa?”

Changmin menoleh ke samping dan didapati wajah tampan Juyeon sudah menatapnya seolah menagih jawaban. Sebuah desahan napas keluar dari bibir Changmin sebelum dia menggeleng pelan.

“Tapi muka kamu jelek banget, Changmiiinnn. Kayak habis ditinggal soulmate aja.”

“Dih,” protesnya sambil mencubit lengan Juyeon. “Ngaca dong! Kamu juga mukanya jelek banget, abis ditinggal Younghoon.”

Juyeon hanya tertawa, sama sekali tak terlihat terganggu dengan jawaban Changmin yang jelas-jelas menyindirnya. “Aku enggak tuh? Udah biasa, ditinggal si Younghoon,” ujarnya pelan. Tatapannya lantas terarah jauh lurus ke depan, Juyeon seolah tengah memikirkan satu hal. “Sebenernya aku juga nggak tahu, did I really love him or I'm just too comfortable to be with him? Nggak segede rasa yang kamu punya buat Jaehyun, I guess?”

“Sok tahu!!”

Lagi-lagi tawa Juyeon mengudara sementara dirinya hanya mengedikkan bahu. Ya, Lee Juyeon memang masih terhitung orang baru di kehidupan Changmin, sih. Namun, entah mengapa... tepat saat kedua maniknya menatap sosok manis itu untuk pertama kali, Juyeon bisa mengerti seberapa besar Changmin menyukai cowok bernama Lee Jaehyun itu. Dia berani bertaruh, perasaan yang dia punya untuk Younghoon sama sekali tak sebanding dengan milik Changmin.

He's deeply and madly in love with that Jaehyun guy.

“Beneran nggak sedih?”

“Hm? Kenapa?”

“Ditinggal Younghoon... lo beneran nggak sedih?”

Juyeon tersenyum, tangannya lantas terangkat demi mengusap ujung rambut Changmin. “Nggaak. Lagian sekarang 'kan lagi nemenin pacarku juga? Masa sedih, sih?”

“DIH! JUYEON SERIUS.”

I'm beyond serious, Changmin. I'm totally fine with it, kamu yang kelihatan jelek, tahu. Waktu aku nawarin soal pacaran ini, aku juga serius. Sama sekali nggak ada niat buat mainin kamu. Jangan mikir aku sejahat itu buat permainin hati kamu, ya? Aku nggak sejahat itu.” Juyeon tersenyum kecil, dan Changmin bersumpah dadanya berdesir melihat senyuman yang terlihat begitu tulus itu.

“Sini, mau peluk nggak? Badanku juga gede, nggak kalah hangat sama pelukan Jaehyun.”

“LEE JUYEON DIEM NGGAK??!!”