milkyuways


“Menyebalkan. Harusnya aku dapat jatah libur hari ini, tapi dosen botak itu malah meminta pergantian jadwal kuis mingguan.”

Kim Sunwoo melempar tumpukan kertas ke atas meja, menjumput sepotong roti lantas melahapnya rakus. Sementara Changmin yang kala itu meneguk jus jeruknya hanya menggumam sebagai respons singkat. Pandangannya mengikuti seluruh pergerakan si cowok Kim yang sedang terburu-buru dan hanya menggelengkan kepala.

Pacarnya itu terlihat sangat berantakan.

“Udah mandi emangnya?”

Sunwoo mendelik kesal. “Aku nggak sejorok itu pergi ke kampus tanpa mandi, ya!”

Changmin hanya mengedikkan bahu, beranjak dari duduknya demi menghampiri cowok rakun itu lantas berujar, “diem dulu!” Dia memutar badan Sunwoo agar lekas menghadapnya. “Rambutmu masih berantakan.”

Jarak yang memisahkan keduanya semakin menipis ketika kedua tangan Changmin mulai merapikan helaian rambut halus Sunwoo. Dari jarak sedekat ini, indera penciuman Sunwoo bisa menangkap aroma parfum yang dipakai pacarnya itu. Manis. Dan dari jarak sesempit ini pula, sepasang netra Sunwoo gagal temukan objek lain selain pada belah bibir Changmin.

Sialan.

Sunwoo mendesis pelan. Kenapa berat sekali cobaannya di pagi hari? Kalau meminta cium lagi, apakah dia akan mendapatkan sentilan di dahi seperti tempo hari?

Changmin masih merapikan rambut pacarnya itu ketika Sunwoo kesusahan menahan napas, tenggelam pada rasa menggelitik di sekujur badannya ketika napas hangat Changmin sesekali menerpa epidermisnya.

“Sudah cakep!”

Akhirnya. Sunwoo menghela napas panjang setelah beberapa sekon sebelumnya sibuk menahannya mati-matian. Ji Changmin memang akan selalu jadi kelemahan seorang Kim Sunwoo.

“Ngapain dari tadi tegang banget kayak mau ketemu malaikat maut?”

“Dih, kepo! Udah ah, aku berangkat dulu sebelum telat dan kena omel si botak—”

Kalimat Sunwoo belum rampung, namun si cowok Kim sudah terbungkam ketika kedua telapak tangan Changmin menangkup pipinya bersamaan dengan bibirnya yang sudah menempel sempurna dengan milik Sunwoo. Keduanya saling terdiam, sebelum Changmin mulai menekan ciumannya agar bertahan lebih lama dan membuat Sunwoo hampir kehabisan napas lantaran menahan debar jantungnya yang menderu.

“Itu lucky charm. Biar kuismu lancar!” Ji Changmin menyeringai usil ketika mengakhiri ciumannya. Terkekeh puas melihat Sunwoo yang masih tak merespons, juga semburat kemerahan yang samar-samar terlihat di pipinya. “Haha, kamu bilang kita harus ciuman tiap hari, 'kan?”

“Ah, nggak adil!” pekik Sunwoo selang beberapa detik kemudian. Dia sebenarnya malu. Bibirnya masih merasakan peach dan vanila dari lipbalm milik Changmin yang menempel di sana, juga ingatan tentang betapa lembut belah bibir milik pacarnya itu... ah, bagaimana bisa lancar mengerjakan kuisnya kalau di kepala Sunwoo malah terbayang ciumannya, sih?

“Bilang dulu dong kalau mau cium! Emangnya mau tanggung jawab kalau jantungku tiba-tiba copot?”

“Yeh, namanya juga surprise. Lagian, kayak baru pertama kali dicium aja? Udah sana berangkaat, nanti telat. Shoo shoo!!!”

“Mau lagi. Sekaliiiii lagi, ya?”

NOP—”

Sunwoo, dengan gerakan secepat kilat sudah bergerak mencuri sebuah ciuman dari bibir pacarnya, lagi. Hanya bertahan dalam hitungan detik, sebelum cowok berambut curly itu melesat menuju pintu, bersiap kabur. “Aku berangkaaaat! Trims buat lucky charm-nya. Besok-besok nilai ujianku pasti A+ kalau dicium terus kayak tadi.”

“YA! KIM SUNWOO!”

Qualms

Ji Changmin menghilang (lagi).

Baik Jaehyun, Sunwoo, atau Haknyeon sama-sama tak berhasil menghubunginya. Kondisi rumahnya pun selalu tampak sepi dan terkunci. Jaehyun ingat kalau kedua orangtua Changmin memang sedang berada di luar kota sejak beberapa hari lalu.

Fakta tersebut menambah kekhawatiran si cowok Lee. Apa Changmin baik-baik saja? Apa dia makan dengan teratur? Tidur yang cukup?

Jaehyun paham jika Changmin memang akan jadi seperti ini. Mereka menghabiskan hidup bersama selama ini, dan mendapati fakta bahwa Jaehyun akan segera meninggalkannya (tidak benar-benar meninggalkannya, tentu saja) sudah pasti membuatnya hancur.

Sebetulnya dia hanya perlu menunggu, Changmin akan kembali baik-baik saja nanti, namun. Jaehyun tak memiliki banyak waktu untuk diam dan menunggu. Tidak, ketika dirinya tahu kalau Changmin sedang sendirian saat ini. Dia tak punya siapa pun di sisinya, bagaimana Jaehyun bisa duduk dan bernapas dengan tenang?

Jangan tanya alasan dia merahasiakan semuanya dari Changmin, karena dia bahkan tak tahu apa yang membuatnya ingin menyembunyikan berita soal kepindahannya kepada cowok Ji itu. Sebagai bentuk pencegahan? Dia hanya berharap Changmin tidak menangisinya. Itu saja. Toh, cepat atau lambat keduanya memang akan berpisah. Jaehyun belum punya cukup keberanian melihat cowok manis itu menangisi kepergiannya.

“Hei? Kamu oke?”

Lee Jaehyun menghela napas, lantas temukan wajah Younghoon yang sudah menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Beri sebuah gelengan, dia hanya berusaha memastikan semuanya baik-baik saja. Dia tak ingin membuat Younghoon ikut-ikutan mengkhawatirkan kebodohannya.

“Mhm, aku baik, kok. Kamu capek? Makan siang dulu mau? Aku udah agak lapar, sih.”

Younghoon memasukkan tumpukan buku-buku milik Jaehyun ke dalam kardus yang sudah disiapkan sembari menggumam. Keduanya sibuk merapikan barang-barang milik Jaehyun sejak pagi tadi. Oh, bicara soal Younghoon... Jaehyun sudah mengenalkannya kepada kedua orangtuanya beberapa hari yang lalu.

Tentu saja Mama senang, meskipun terlihat sedikit kekhawatiran dari sorot matanya yang terus menatap Jaehyun. Papa Lee bahkan langsung bersemangat ketika mengetahui Younghoon juga akan berkuliah di kampus yang sama dengan anak lelakinya. Tak butuh waktu lama bagi Younghoon untuk menarik hati keluarga Lee, rupanya. Semua anggota keluarga sudah saling menerima satu sama lain, jadi tak ada alasan bagi Jaehyun untuk melepas belahan jiwanya kali ini.

“Tadi Mama bawain sesuatu, kayaknya udah ngomong sama Mama kamu tuh.”

Younghoon tersenyum kecil sembari mendorong kardus yang sudah penuh agar tak halangi jalan. Kembali menatap ke arah Jaehyun yang masih terdiam lantas terkekeh kecil dan menepuk-nepuk pahanya pelan. Ah, Younghoon kenapa harus sebaik ini, sih? Jaehyun jadi benar-benar tidak bisa menyakitinya.

Sebuah desahan napas kembali diembuskan oleh si lelaki Lee, dia merasa belum pantas mendapatkan seorang Kim Younghoon sementara kepalanya masih suka memikirkan Changmin, kadang-kadang.

“Ayo makan! Udah laper banget, ya?”

Jaehyun beranjak dari tempatnya, ulurkan tangan yang lantas disambut oleh jemari Younghoon sebelum keduanya melangkah keluar kamar.

“Makasih, udah bantu beresin barangku juga.”

“Kayak sama siapa aja? Haha, kalau kamu lagi kalem begini kenapa mirip Bori, sih? Lucu.”

Jaehyun tertawa. “Aku lebih ganteng dari Bori, ya. Enak aja.”

Disappointed

Changmin menelungkup di atas kasur, badannya yang gemetar akibat tangis sudah terbungkus selimut. Lelehan airmata sesekali masih membasahi wajah serta bantalnya. Dia tidak tahu kenapa dadanya masih merasa sangat sakit.

Tubuhnya lemas, seolah tak punya tenaga lagi sementara dadanya seperti diremuk habis-habisan. Sakit, dia seakan merasa dunia tengah menghukumnya. Dia kira, semuanya akan berjalan normal setelah mengikhlaskan persoalan tempo hari. Dia pikir Tuhan hanya akan berikan bahagia kepadanya setelah harapan serta impiannya sejak dulu dirampas begitu saja.

Ternyata keadaannya justru semakin memburuk.

Jaehyun dan keluarganya akan pergi. Itu artinya Changmin tidak akan punya alasan untuk bertemu dengannya lagi? Belum lagi, fakta bahwa tetangganya itu sengaja menyembunyikan semuanya dari Changmin, jadikan Changmin satu-satunya yang bodoh di sini.

Menyebalkan.

Changmin sangat kesal. Dia mengumpati Jaehyun sejak tadi. Kecewa, perasaan itu membuncah dan menggunung di dalam dadanya. Semakin lama membuatnya semakin sesak, bahkan dia sendiri pun tak tahu bagaimana cara mengurangi rasa sakitnya.

Changmin hanya ingin semuanya menghilang. Dia sudah tidak peduli lagi dengan apa pun, yang dia tahu hanyalah fakta bahwa hatinya terlampau sakit.

Apa Tuhan sebegitu membencinya?

notes: Ada tiga short story, masing-masing 100 words dan semuanya ada di universe yang beda, ya! Jadi Changmin pacarnya bukan tiga at the same time. :D


milkyu's story.

“Apa?!” bentaknya galak.

Kedua tangan tersilang di depan dada, Changmin lantas embuskan napas kasar sementara cowok yang dibentaknya terkekeh dan gelengkan kepala.

“Maafin makanya?”

“Kamu ini memang nggak ngerti, atau ingin menguji kesabaranku sih, Kak?”

Lee Jaehyun menarik tangan Changmin lantas digenggamnya erat. “Demi Tuhan, dia yang suka nempel-nempel. Aku udah selalu menghindar, lho.”

“Tapi dia hampir cium kam-”

Cup.

“Enggaak. Aku lebih suka cium kamu.” Jaehyun tertawa tanpa rasa berdosa dan cubit pipi Changmin gemas. “Lucu banget sih pacarku kalau cemburu.”

Changmin otomatis bungkam. Malu mendengar seruan heboh beberapa siswa ketika melihat Jaehyun menciumnya barusan.

Ah, sialan, Lee Jaehyun.


Jukyu's story.

“Mau peluk sebentar.”

“Eh?”

Changmin baru saja keluar dari ruang latihan ketika sosok pacarnya muncul dan menarik tubuhnya ke dalam dekapan erat.

Hening. Hanya terdengar napas Juyeon yang menderu sebelum akhirnya kembali normal ketika Changmin mengusap-usap punggungnya, coba menenangkan. Juyeon selalu meminta peluk jika harinya sedang berjalan tidak lancar.

“Presentasinya kacau. Semua persiapan kayak sia-sia. Capek.”

You have done great, Juyo. Nggak apa-apa, nanti dicoba lagi, ya?”

Changmin beri tepukan di punggung sebelum melepas pelukan dan menangkup pipi Juyeon. Dia berjinjit lantas sematkan kecupan di semua sisi wajah pacarnya dan tersenyum.

“Hadiah. Pacarku udah kerja keras dan keren hari ini.”


Sunkyu's story.

“Kak?”

“Mm?” Changmin masih memaku fokus pada ponselnya ketika Sunwoo tiba-tiba duduk di sebelahnya.

“Kata orang kita harus ciuman tiap hari biar hubungannya makin oke.”

Changmin tersedak keripik kentangnya mendengar ujaran sang pacar. Dia menempelkan punggung tangan di dahi Sunwoo, lantas mengerutkan kening.

“Nggak demam.”

“Serius.”

“Itu hugs kali? Kan yang lagi rame itu pelukan.”

“Bukan, kok ngeyel. Ciuman. Katanya juga kalau three of those kisses need to be passionate kisses. Jadi, ayo coba?”

Kali ini Changmin terbatuk.

Menatap horor ke arah Sunwoo sebelum menyentil dahi cowok itu tiga kali.

“Tuh, ciuman di dahi tiga kali.”

“A-RGH. SAKIT. JI CHANGMIN.”

A Proper Meeting

“Uh, penampilanku aneh, ya?”

Lee Jaehyun yang baru saja tiba menatap heran pada seseorang yang sejak tadi mengamatinya tanpa berkedip. Cowok itu memandanginya sejak Jaehyun melangkahkan tungkai kakinya memasuki kafe, wajar saja jika kalimat tanya itu adalah yang pertama terucap dari bibir si Lee. Sebetulnya dia sedang dilanda rasa gugup yang tak berkesudahan, namun saat senyum lebar dan tatap ramah itu menyambutnya, sedikit demi sedikit dia bisa mengatasinya.

“Ah, maaf. Nggak sopan, ya, daritadi aku ngelihatin kamu begitu,” jawabnya sembari persilakan Jaehyun untuk segera duduk. Cowok itu melempar pandangan ke arah lain ketika Jaehyun memilih untuk duduk di depannya dan bau parfum yang serta merta menyerbu indera penciuman, membuat jantungnya mulai berdebar tak wajar. “U-uh, kau mau pesan apa?”

Yang ditanya segera ucapkan minuman yang diingankan kemudian kembali menaruh fokus pada sosok di depannya. Dia sangat tampan- demi Tuhan, dengan proporsi tubuh yang sedemikian sempurna, Jaehyun berani bertaruh dia bisa saja jadi model yang sukses di masa depan. Ya, dia, belahan jiwanya.

Sesekali sepasang netranya juga mengamati untaian benang merah yang menyambungkan kelingking mereka, pun tanda hati berwarna merah itu. Dada Jaehyun berdesir lembut, sekelebat perasaan aneh itu tiba-tiba saja membuatnya nyaman dan... bahagia? Seolah-olah rasa sakit yang sejak kemarin menyiksa dada, lenyap begitu saja. Senyum manis milik sang belahan jiwa mampu sembuhkan semua luka, rupanya.

Keduanya masih saling terdiam, hingga pesanan masing-masing sudah tersaji di atas meja.

“Younghoon?”

“Ya?”

“Maaf. Aku pergi ninggalin kamu... hari itu.”

Cowok bernama Kim Younghoon itu tersenyum, “No. You don't have to say sorry. Kita sama-sama syok hari itu, 'kan? Afterall, we still made it here. Dan aku lega? Kukira kamu nggak akan pernah mau nemuin aku lagi.”

Jaehyun tersenyum kecil, apa cowok di depannya ini selalu setenang ini? Kalau diingat-ingat, hari itu juga dia tidak terlalu menunjukkan kepanikan. God, what did Jaehyun do to deserve this angel here? Jaehyun jadi merasa bersalah sudah bersikap kekanakan hari itu.

“Tetap saja, aku minta maaf. Kayak anak kecil, ninggalin soulmate-ku begitu aja,” ujarnya sambil menghela napas. “Alright then, hope we can get along very well. Honestly I'm still wondering what did I do to deserve you? Kamu kelihatan... um, terlalu baik?”

No, who said that? Kamu bahkan baru pertama kali ketemu aku. Kita jalanin aja deh, I believe you're not so bad yourself, Jaehyun. Aku nggak sebaik itu, tahu.”

Lee Jaehyun terkekeh, “Ya sudah, aku tunggu kamu jadi nggak kelihatan baik, deh?”

“Kok??”

“Hahah, bercanda. Do tell me if you need something, okay? You can also go looking for me if you need a shoulder to lean, I'm all here for you, as your soulmate?

Semburat merah itu tiba-tiba muncul di pipi Younghoon, sementara Jaehyun tak dapat menahan telapak tangannya untuk mengusap lembut punggung tangan cowok di depannya. Ya, memang itu yang seharusnya dilakukan mereka sebagai sepasang soulmate, bukan?

Dan hari itu Jaehyun pulang dengan hati yang berbunga pun dilema. Dia tak mengelak jika dirinya terlampau bahagia karena pertemuannya dengan sang soulmate hari ini. Namun, jauh di sudut hatinya yang lain, dia juga masih memikirkan Changmin. Dia merasa bersalah, tidak seharusnya dia berbahagia sendiri sementara Changmin....

Ah, Changmin... sebenarnya apa yang sedang dia rasakan sekarang? Mungkinkah dia terluka? Atau Jaehyun hanya terlalu berharap saja?

Four

tw // blood , gun , main character dead


Kedua kaki Lee Jaehyun terayun perlahan, isi kepalanya mengembara, dia bahkan tak terlalu fokus pada jalanan sepi yang dilaluinya. Di kepalanya hanya ada Changmin, Changmin, dan Changmin. Belum-belum dia sudah merindukan pacarnya itu. Cowok yang berhasil membebaskannya dari belenggu trauma yang menyiksa akibat kematian kedua orangtuanya, namun. Changmin jugalah yang akhirnya kembali melemparnya dari ketinggian nirwana, mengempasnya kembali ke daratan bumi.

Kenapa harus Changmin? Kenapa dunia ini seolah membenci eksistensi Lee Jaehyun? Tidak pantaskah seorang Lee Jaehyun bersanding dengan yang namanya kebahagiaan? Hidup Jaehyun terlampau berat, semua warna memudar berganti kelabu, dan kehadiran Changmin-lah yang kembali membuat dunianya berwarna.

Pria itu menghela napas, menatap penuh selidik ke sekeliling ketika telinganya mendengar bunyi gemerusuk. Sepi, tak tampak siapa pun di sana. Hanya lesir angin yang sesekali menyapa, membuat bulu kuduk meremang, sangat dingin.

Tubuh Jaehyun berjengit tiba-tiba, ketika merasakan dinginnya moncong pistol menyentuh belakang lehernya. Terlalu mendadak, Jaehyun bahkan tak menyadari langkah kaki yang mendekat kala itu. Dia hanya mengangkat kedua tangannya ke udara, sementara rentetan kata yang bisa dia teriakkan tercekat di kerongkongan.

“Maaf....”

Suara itu....

Jaehyun mengenalinya dengan pasti. Seratus persen dia yakin siapa sosok yang tengah menodongkan pistol ke arahnya. Dan airmatanya meluncur tanpa diperintah. Lee Jaehyun masih tak bergeming kendati dadanya sudah terasa sangat sesak. Sakit, dikhianati oleh seseorang yang sangat kaucintai.. sangat sakit rasanya.

“Maaf, Jaehyun. Maaf....”

Menahan hantaman rasa takut serta gugup, Jaehyun hanya bisa menggigit bibirnya kuat-kuat. Entah apa yang ditakutkan saat ini: mati di tangan orang yang begitu dicintainya atau karena rasa sesal pada kedua orangtuanya? Tubuhnya semakin gemetar ketika moncong pistol tersebut berpindah tempat ke pelipisnya, pun embusan napas hangat dari sang penodong tiba-tiba saja menampar pipinya.

“Chang... min?”

“Stop. Jangan sebut namaku, please? Jaehyun please forget me. I don't deserve you, sorry.

Kendati kasar dan penuh intimidasi, nada suaranya masih terdengar bergetar. Bahkan tekanan pistolnya pada pelipis Jaehyun sedikit melemah, seolah dirinya sendiri tak yakin dengan apa yang dilakukannya sekarang. Jaehyun bisa melihat bongkahan besar berupa rasa ragu yang menghimpit dada Changmin. Dan memikirkannya pun sudah cukup untuk membuat senyum getir di bibir si pria Lee mengembang.

Setidaknya aku tahu kamu masih mencintaiku, Ji Changmin.

“Changmin, aku mau lihat kamu. Changmin, please look at me!”

N-no.” Tangis Ji Changmin akhirnya tumpah juga. Lelehan airmata membasahi seluruh wajahnya. “Aku udah nggak punya muka lagi, Jaehyun. Sori. Sorry, I betrayed you. Sorry,” ujarnya sambil terisak.

Mendengar permintaan maaf Changmin, dada Jaehyun semakin sakit. Tidak bisakah dia bahagia hidup berdua saja dengan Changmin? Tidak bisakah, Tuhan?

Pertahanan Lee Jaehyun akhirnya runtuh juga. Dia memutar tubuhnya dengan paksa dan mendekap erat sosok terkasihnya itu. Tubuh Changmin gemetar di dalam pelukannya.

Keduanya menangis. Keduanya saling mengucap maaf. Keduanya sama-sama tersakiti.

You saved me, but here I am... betraying you. I'm sorry.”

No, stop saying sorry. I want you to know that you've saved me too, Changmin. Kamu udah bantu aku bangkit dari trauma itu. Aku sayang kamu, Changmin. Nggak akan pernah bisa benci kamu. Do it now!” Jaehyun menangkup kedua pipi Changmin, mengecup ujung hidung si lelaki Ji lantas kembali berbisik. “Ayo, Changmin?”

Kepala Changmin menggeleng keras. Tidak. Dia tidak akan pernah bisa melakukannya.

No. Jaehyun, ayo kita kabur saja? I will tell Juyeon to let us go, he will understand, huh? Ayo pergi dari sini, sejauh mungkin. Aku cuma butuh kamu, I don't need anyone. Aku juga sayang kamu, Jaehyun.”

Senyuman getir itu masih menghiasi wajah Jaehyun. Diusapnya pelan pipi Changmin lantas ia menempelkan bibirnya pada dahi cowok di depannya, sedikit lama. Salurkan rasa hangat dan sayang, sengaja agar Changmin tahu betapa besar rasa sayang yang dia punya untuk seorang Ji Changmin.

“Hei, that's not fair. Juyeon yang akan menanggung semuanya, kamu yakin? This is your mission, do it now. Aku udah nggak punya siapa-siapa di sini dan itu lebih mudah, no one will go looking for me. Beda sama kamu? Juyeon still needs you, kamu juga punya banyak teman. So, please live your life, Changmin.”

Tangan Jaehyun menggenggam milik Changmin, perlahan dia kemudian mengarahkan kembali moncong pistol tersebut pada pelipisnya sendiri. Changmin mengerang, marah. Tangannya meronta, berusaha terlepas dari paksaan Jaehyun yang semakin menekan pistol tersebut ke arah pelipisnya. Tangis Changmin masih belum kering, dadanya sakit melihat orang yang dicintainya tersenyum sendu seperti itu.

Changmin, now!”

No.”

Do it now!” bentak Jaehyun keras. Tangannya sendiri menahan jemari Changmin agar segera menekan pelatuknya saat itu juga.

Changmin masih menangis histeris ketika akhirnya mendengar bunyi tembakan sebanyak dua kali, membelah sunyi pun akibatkan tubuh Jaehyun ambruk. Likuid merah pekat itu tiba-tiba sudah mengalir dari bahu serta punggung si pria Lee. Changmin memekik sekuat tenaga sambil mendekap tubuh Jaehyun yang mulai hilang kesadaran.

“Jaehyun! Jaehyun, bangun. Lee Jaehyun.”

Ji Changmin menangis histeris. Dia tidak bisa kehilangan Jaehyun.

Bukan. Dua tembakan yang akhirnya menembus tulang Jaehyun bukanlah berasal dari pistol Changmin. Pelakunya tiba di tempat beberapa saat kemudian. Menarik tangan Changmin agar segera bangkit dan lari lantaran sirine polisi terdengar mendekat. Mereka tak bisa berlama-lama di tempat ini.

“Changmin, ayo pergi.”

Lee Juyeon memasukkan kembali pistolnya ke dalam saku mantel sembari berusaha mengangkat tubuh Changmin. Dia mulai panik, dia tak mau usahanya menembakkan pistol ke arah Jaehyun tadi sia-sia jika polisi berhasil menangkap keduanya.

“Kenapa, Juyo?”

“Changmin?”

Pria yang lebih kecil masih terduduk di bawah, memangku dan mendekap erat tubuh Jaehyun yang sudah kehabisan darah. Pada akhirnya dia benar-benar menyaksikan orang terkasihnya meregang nyawa, tepat di hadapannya. Kenapa? Juyeon bahkan sudah berjanji tak akan ikut campur soal ini.

“Kenapa lo akhirnya bunuh Jaehyun... kenapa, Juyo?”

“Changmin, we don't have much time. Polisi sudah dekat, dan sebentar lagi mereka akan tiba. Sori, gue terpaksa ngelanggar janjinya. But look? We did it, right? Sekarang ayo cepat pergi sebelum mereka datang,” desak Juyeon dengan suara parau. Dia juga merasa bersalah, namun tidak ada waktu untuk itu. Prioritas utamanya adalah kabur, bersama Changmin.

Suara tawa itu akhirnya meledak, membuat Juyeon menatap Changmin was-was. Sementara si pria Ji mengais kesadaran di sela perih yang tiba-tiba menjalar ke seluruh sisi tubuh, dia berdiri hingga bertatap muka dengan Lee Juyeon. Tangannya yang sudah lemah itu lantas menempelkan moncong pistol yang sejak tadi digenggamnya ke arah pelipisnya sendiri.

“Ji Changmin! Buang benda itu sekarang juga. Jangan nekat!”

Tawa yang menyiratkan kesakitan itu masih terlihat jelas di sana, pun sepasang mata yang kehilangan sinarnya. Ji Changmin seolah tak main-main dengan aksinya. Cowok yang lebih tinggi bergerak gelisah, dia paham Changmin sedang tidak bermain-main. Juyeon tidak boleh gegabah, salah langkah sedikit saja, nyawa Changmin taruhannya.

“Juyo, thank you? You know that you're always be my best, right? Tapi aku juga butuh dia, Lee Jaehyun... aku butuh dia, Juyo. Maaf, selama ini gue banyak nyusahin lo. You deserve happiness, Lee Juyeon. Long life, hm?

“Changmin, please? Changmin gimana sama gue? Di sini... gue juga butuh lo. Ji Changmin. Can't you just stay here with me? Apa eksistensi gue nggak cukup buat nahan lo?”

“Sampai akhir ternyata gue tetep jadi teman yang nggak berguna buat lo, ya? Maaf, Lee Juyeon. Gue sayang lo.”

Ji Changmin tersenyum, kelu. Jemarinya bersiap menarik pelatuk dan sejenak dia melirik ke arah Jaehyun yang sudah terbujur kaku di bawah sana. Dadanya kembali merasa sakit, seolah tengah diremas kuat-kuat, meremukkan semua tulang dada lantas menghancurkan hatinya.

Konyol. Satu nama yang sejak tadi masih memenuhi rongga kepalanya hanyalah Lee Jaehyun. Lagi-lagi, Ji Changmin tersenyum kecil. Ya, setidaknya dia masih mengingat nama pria itu sampai di ujung napasnya, dia bisa merasa sedikit tenang sembari menghampiri mulut neraka yang sudah menantinya.

.

-fin.

Three


Lee Jaehyun tiba lebih dulu di tempat yang sudah dijanjikan. Dia sengaja duduk di meja pojok kafe, tepat di sebelah kaca. Orang misterius yang masih menerornya itu memintanya untuk menghadap ke tembok, dia tak ingin bertemu muka dengan Jaehyun saat berbicara. Terlampau penasaran dengan maksud dan tujuannya, Lee Jaehyun pun menyanggupi saja. Dia cuma mau tahu soal Changmin seperti yang dijanjikan orang tersebut. Masa bodoh dengan wajah si pria asing.

“Sori, gue terlambat.”

Cowok Lee itu terkejut, merasakan sebuah pergerakan dari arah bangku di belakangnya yang baru saja diduduki. Mati-matian dia menahan diri untuk tidak membalikkan badan dan melihat sosok tersebut. Namun, dari suaranya yang baru saja menyapa, Jaehyun bisa memastikan jika umur mereka tak terpaut terlalu jauh sepertinya.

Fine. Gue juga baru sampai, sih. Jadi?”

Pria itu berdeham, kembali terdengar bunyi berisik kursi-kursi dari arah punggung Jaehyun sebelum akhirnya dia mulai bersuara. “Ji Changmin. He's actually a secret agent? Yah, bisa disebut seperti itu? But he's been working for a mafia gang. Dia bukan orang polos dan baik. Dia sudah terbiasa bekerja dengan baluran darah, luka tembakan, bau tembakau, obat-obatan dan hal-hal seperti itu. Dia punya misi, dan misinya saat ini melibatkan lo, Lee Jaehyun.”

“G-gue?”

Lee Jaehyun tergagap, mulutnya masih membuka lebar, tak percaya dengan apa yang baru saja ditangkap oleh gendang telinganya. Changmin... secret agent? Changmin... mafia gang's member? Changmin...?

“Ya, lo. Gue tahu, pertemuan pertama kalian memang nggak sengaja. Inget 'kan, waktu itu Changmin udah hampir sekarat. Luka tembak di bahunya juga luka-luka di seluruh bagian tubuhnya... apa lo sama sekali nggak curiga? I bet he never told you about 'that' evening, huh? Or he prolly lied and told you something weird buat nutupin kejadian yang sebenarnya.”

Jeda selama beberapa menit. Cowok asing itu sebetulnya menunggu respons Jaehyun, namun setelah beberapa menit berlalu dan lelaki di belakangnya tak kunjung keluarkan suara, dia kembali melanjutkan ceritanya.

His mission... uh, misi kami... mengakhiri hidup dari saksi kejadian dua tahun lalu, Lee company's owner and his wife's murderer. Iya, saksi pembunuhan keluarga lo. Dan orang itu adalah lo, 'kan? Orangtua lo, basically mati di tangan Changmin... he's not literally the one who killed them but... hope you understand what I meant.”

Jaehyun menutup mulutnya untuk tidak berteriak. Dadanya bergemuruh hebat, kepalanya sedikit pusing akibat gempuran informasi yang berada di luar dugaannya itu. Sebentar, semuanya terlalu banyak untuk diterima kepalanya.

“Gue partner dia. Bos kami udah kasih waktu dua bulan buat misi ini, tapi Changmin... dia terus-terusan bilang 'nanti'. Gue nggak punya pilihan lain, sisa waktu kita nggak banyak. Sori kalau cerita gue terlalu banyak buat lo.”

“Kenapa?”

Huh?”

“Kenapa lo nggak bunuh gue sekarang aja? Lo juga bisa langsung bunuh gue, Changmin nggak ada di sini,” ujar Jaehyun dengan suara yang bergetar. Dia menahan isakan serta tangis yang bisa saja pecah saat itu juga.

I wish I could do it now, tapi gue juga bego. Gue nggak bisa nyakitin Changmin dengan cara kayak begini. Gue udah janji sama dia nggak akan ikut campur soal ini. Gue cuma bisa nunggu dan beresin sisanya. Sori, Lee Jaehyun.”

Hari itu, Jaehyun pulang kembali ke apartemennya dengan langkah gontai. Lemas, simpul-simpul di pikirannya berhamburan. Ingin menangis, namun airmata seolah sudah terlalu susah untuk dikeluarkan. Hanya sesak dan sakit hati yang seolah menghunjam jantung, terus-terusan menyiksanya.

Pertemuan dengan pria tadi benar-benar jadi bumerang. Menusuknya tepat di jantung, membuat Jaehyun susah sekadar untuk meraup oksigen banyak-banyak.

Changmin, apa yang harus kulakukan sekarang?

*

Two

tw // blood


Malam sudah semakin memekat dan jalanan tersebut melompong, sepi. Ji Changmin menyusur trotoar dengan langkah tertatih. Lelehan merah darah masih menetes dari pelipis serta bahunya, sebabkan tubuh kecil itu limbung jatuh mencumbu si pematang jalan. Jemarinya susah payah merogoh saku celananya, ponselnya masih di sana. Dia harus segera menelepon Juyeon sebelum sekarat.

Pemuda itu mengerang kesakitan, luka tembak di bahunya rupanya sudah melebar. Darah pun tak berhenti mengucur lantaran Changmin masih terus berusaha menggerakkan tubuhnya, cari bantuan.

“H-hei, perlu bantuan?”

Changmin tersentak di tempat. Sesosok pemuda tinggi tiba-tiba saja sudah menahan badannya yang kembali limbung. Ah, dia terlalu fokus mencari bantuan sampai tak menyadari bunyi langkah kaki yang mendekat. Terima kasih, Tuhan. Salah satu malaikat-Mu sudah mengampiri. Seulas senyum kecil tercipta di bibir si lelaki Ji, rupanya Tuhan belum mengizinkannya meregang nyawa malam itu.

Dalam kurun waktu kurang dari sedetik, lelaki asing itu menyuruh Changmin untuk bertumpu pada tubuh jangkungnya. Sementara dia mengeluarkan ponsel dan berniat menghubungi ambulans. Changmin yang kesadarannya tinggal setengah itu kukuh mengatakan bahwa dia masih sanggup berdiri dan berjalan meski dengan tersaruk-saruk. Namun, lelaki yang menemaninya itu tak lagi membeli omongannya.

“No. Kamu udah nggak sanggup berdiri, tunggu sampai ambulans datang, ya?”

*

Lee Jaehyun.

Changmin terkejut ketika pertama kali mengetahui bahwa lelaki yang menyelamatkannya di saat ia hampir sekarat itu adalah Lee Jaehyun. Genap seminggu dirinya menetap di kediaman si Lee, dan selama itu juga kepala Changmin serasa dihantam batu besar berkali-kali. Bagaimana bisa takdir memperlakukannya dengan begitu kejam? Lee Jaehyun itu... terlampau baik untuk sekadar ditendang tulang keringnya.

Ponselnya melengking dan mengejutkannya yang kala itu sedang melamun. Dia memijat pelipis serta mendesah berat ketika melihat nama yang terpampang di layar. Changmin segera melangkah ke luar ruangan, menutup pintu rapat-rapat, bersembunyi di balik semak, sebelum mengangkatnya.

“Tak bisakah kamu membujuk Bos, Juyo? Demi Tuhan, cowok ini sama sekali nggak terlihat berbahaya.” Changmin menarik ponselnya jauh-jauh dari telinga ketika seseorang di seberang sana merespons kalimatnya. Terdengar seperti makian dan Changmin kembali mengumpatinya di dalam hati.

Tangan kanannya mengepal, tahan amarah dan ogah meladeni lawan bicaranya.

“Ya, ya. Kita masih punya waktu dua bulan. Sudah cukup, aku malas dengar omelanmu.”

Panggilan tersebut di akhiri dengan sepihak oleh Changmin. Lagi-lagi embusan napas berat keluar dari mulutnya. Dia kemudian membalikkan badan dan terkejut melihat Jaehyun sudah berdiri di belakangnya.

“Ya Tuhan!”

Jaehyun mengerutkan dahi, lantas terkekeh melihat raut kaget yang sedang ditampilkan Changmin. Lelaki itu mengusak rambut Changmin kemudian beralih cubit pipi gembilnya. “Kenapa, huh? Siapa yang menelepon sampai kamu bersembunyi di semak begini?”

“A-ah, bukan siapa-siapa. Aku hanya nggak mau ganggu kamu kalau tiba-tiba berteriak memaki temanku yang menyebalkan ini.”

Bohong. Entah sudah berapa kali Changmin harus membohongi malaikat penolongnya ini. Dia merasa bersalah, namun dia tak punya banyak pilihan. Misi tetaplah sebuah misi, Changmin harus menyelesaikannya atau nyawanya sendiri yang akan jadi taruhan.

“Mau makan di luar?”

Jaehyun terdiam sejenak kemudian anggukkan kepala bersemangat. “Boleh, yuk. Sekalian cari udara segar!”

Ji Changmin hanya tersenyum, mendekatkan wajahnya dengan milik Jaehyun, sedikit menjinjitkan badan sebelum curi sebuah ciuman di sudut bibir lelaki yang lebih tinggi. Rona merah spontan tercipta di sepasang pipinya, ia lantas menarik tangan Jaehyun untuk segera beranjak.

“Lucu banget, sih?”

“Ah, stop. Kamu lebih lucu, Lee Jaehyun.”

*

One

tw // smoking , cigarettes , mention of drugs


Kepulan asap rokok itu berembus dari mulutnya, dan dia juga sempat terbatuk. Namun, alih-alih mengakhiri aktivitasnya, selepas usap wajahnya dengan kasar ia kembali menyulut sebatang rokok lantas selipkan di antara belah bibirnya. Desahan napas lelah terdengar dari jarak dekat, lelaki tampan itu jelas terlihat sedang berantakan.

“Stop ngerokok lagi, Juyo! Lo mau mati, ya?” Sebuah tangan kecil milik pemuda lain yang berada di sana lekas merampas rokok yang masih terselip di sela bibir sang lawan bicara. “Mana?”

Cowok yang dipanggil Juyo itu hanya mendengus dan kembali embuskan gulungan asap dari lubang hidungnya. Menepis tangan lelaki yang lebih kecil darinya sembari mendesis pelan. Sepasang maniknya tak fokus, bergerak gelisah menatap apa saja asal bukan bertemu tatap dengan Ji Changmin.

“Juyo mana?! Rokokmu,” pekik Changmin yang sejak tadi merasa diabaikan.

“Apa, sih? Berhenti ngatur-ngatur hidup gue lagi, Ji Changmin. Urus tugas-tugas lo dan cepat selesaikan semuanya sebelum dia datang dan ambil nyawa lo.”

Aroma tembakau yang menguar dan memenuhi ruang, kembali buat Changmin terbatuk-batuk. Tatapnya sendu ke arah partner sekaligus temannya sejak kecil itu. Juyeon memang perokok berat, dia bisa menyulut sebungkus rokok dulu, sebelum Changmin habis-habisan mengomeli dan berikan ceramah soal penyakit ini dan itu. Dia sempat berhenti selama beberapa tahun sebelum kembali jatuh pada lubang yang sama dan kembali jadikan rokok sebagai penyelamatnya. Omongan Changmin sudah tak lagi berguna.

“Juyo....”

And for God's sake, stop calling me with that name Ji Changmin.

Juyeon mendesah berat, merogoh kantung celananya demi meraih sebuah pemantik dan sebungkus rokok yang hanya tersisa sebatang... rokok kelimanya hari ini. Sepasang mata Changmin menatap tak percaya pada sosok di hadapannya. Juyeon yang dulu akan segera membuang semua rokoknya melihat Changmin terbatuk.... tapi sekarang sudah tidak lagi. Tidak ada Juyeon yang mengkhawatirkan Changmin seperti waktu itu, tidak ada tatap hangat yang disalurkan Juyeon tiap kali mereka bersua dan bertatap muka. Juyeon benar-benar sudah berbeda.

“Mereka akan segera sampai, lo udah siap sama laporannya, 'kan?” tanya Juyeon lantas bersiap pergi. “Oh, paket yang kemarin Kak Sang kirim.... lo bawa juga, 'kan? That's for our Boss, he needs the marijuana and Kak Sang help me to buy it.”

“Juyo, bilang sama gue kalau lo nggak pakai barang itu juga, 'kan?” tanya Changmin gelisah.

“Bukan urusan lo. Lebih baik lo kelarin tugas-tugas sialan itu sebelum Bos juga masukin nama gue di daftar eksekusi.”

Langkah dari sepasang kaki panjang Juyeon bergerak tinggalkan Changmin yang masih terdiam. Menatap nanar ke arah teman kecilnya itu dengan dada bergemuruh, kesal. Dia kesal pada dirinya sendiri: lagi-lagi Changmin tak mampu menjaga Juyeon, juga soal tugas-tugas menyebalkan yang harus dia selesaikan... Tuhan, bunuh Changmin sekarang juga, dia sudah tidak sanggup meraup oksigen dan lanjutkan hidup di dunia ini.

.

Broken

Hari itu Jaehyun pulang ke rumah dengan membanting pintu cukup keras. Lebih tepatnya dia tak sengaja menutup pintu rumah dengan tenaga serta luapan emosi yang berlebihan. Mama yang kala itu sudah mendekatinya hanya menatap keheranan. Samar, Mama juga bisa melihat raut wajah anak lelakinya itu sangat kusut. Sesuatu pasti sudah merusak harinya.

Jaehyun lekas-lekas masuk ke dalam kamar setelah sempat abaikan sapaan sang Mama yang tampak khawatir. Cowok itu butuh waktu untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia sedang tak ingin bicara dengan siapa pun, termasuk mama.

Dadanya sesak, hingga tangis cowok tersebut akhirnya luruh juga. Airmatanya mengalir deras, tumpahkan seluruh rasa kesal yang merambati hatinya. Entah pada siapa dirinya memendam amarah; kepada Tuhan yang tak menjadikan Changmin soulmate-nya? Atau kepada dirinya sendiri yang terlampau pengecut untuk sekadar mengaku bahwa ia menyayangi Changmin sejak dulu.

Tapi, nasi sudah jadi bubur.

Dia tak punya kesempatan seperti itu lagi. Di sana, di seberang benang merah yang menggantung di kelingkingnya, sudah ada seseorang yang tengah menunggunya. Takdirnya, belahan jiwanya. Dan Jaehyun (lagi-lagi) tidak boleh jadi egois dengan mengabaikan perasaan sang takdir kendati dirinya belum sepenuhnya jadikan nama cowok itu sebagai pemilik hatinya.

Jaehyun tak tahu, apa yang sedang terjadi pada Changmin saat ini. Kenapa tetangganya itu tiba-tiba kabur begitu saja? Kenapa dia meninggalkan Jaehyun di saat-saat krusial? Kenapa harus di waktu Jaehyun sangat membutuhkan kehadiran pemilik hatinya itu?

Tangisnya semakin menjadi, ditepuknya dadanya sendiri berkali-kali dengan harap bisa kurangi rasa sesak dan sakit yang mendera. Pikirannya pun sama kacau, bayangan senyum Changmin serta wajah sang belahan jiwa bergantian menghantui kepalanya.

Tuhan, apa yang harus dilakukannya sekarang?

Changmin. Changmin. Changmin.

Gue sayang lo, Changmin. Maaf karena terlalu jadi pengecut. Maaf, Ji Changmin.

Pintu kamar Jaehyun tiba-tiba menjeblak terbuka. Mama dengan air muka yang sarat tampilkan kekhawatiran lekas memeluk Jaehyun erat setelah mendapati tanda hati berwarna merah di kelingking anaknya tersebut. Dengan hal itu saja, Mama sudah bisa menarik sebuah kesimpulan. Anaknya sudah menemukan soulmate-nya.

Dan tepat saat itu juga, tangisnya kembali pecah. Di dalam pelukan hangat sang mama, Lee Jaehyun kembali menangisi takdirnya.

“Ma, aku sayang Changmin. Dari dulu, cuma ada Changmin.”

Sakit, Ma. Ternyata rasanya sangat sakit.