Four
tw // blood , gun , main character dead
Kedua kaki Lee Jaehyun terayun perlahan, isi kepalanya mengembara, dia bahkan tak terlalu fokus pada jalanan sepi yang dilaluinya. Di kepalanya hanya ada Changmin, Changmin, dan Changmin. Belum-belum dia sudah merindukan pacarnya itu. Cowok yang berhasil membebaskannya dari belenggu trauma yang menyiksa akibat kematian kedua orangtuanya, namun. Changmin jugalah yang akhirnya kembali melemparnya dari ketinggian nirwana, mengempasnya kembali ke daratan bumi.
Kenapa harus Changmin? Kenapa dunia ini seolah membenci eksistensi Lee Jaehyun? Tidak pantaskah seorang Lee Jaehyun bersanding dengan yang namanya kebahagiaan? Hidup Jaehyun terlampau berat, semua warna memudar berganti kelabu, dan kehadiran Changmin-lah yang kembali membuat dunianya berwarna.
Pria itu menghela napas, menatap penuh selidik ke sekeliling ketika telinganya mendengar bunyi gemerusuk. Sepi, tak tampak siapa pun di sana. Hanya lesir angin yang sesekali menyapa, membuat bulu kuduk meremang, sangat dingin.
Tubuh Jaehyun berjengit tiba-tiba, ketika merasakan dinginnya moncong pistol menyentuh belakang lehernya. Terlalu mendadak, Jaehyun bahkan tak menyadari langkah kaki yang mendekat kala itu. Dia hanya mengangkat kedua tangannya ke udara, sementara rentetan kata yang bisa dia teriakkan tercekat di kerongkongan.
“Maaf....”
Suara itu....
Jaehyun mengenalinya dengan pasti. Seratus persen dia yakin siapa sosok yang tengah menodongkan pistol ke arahnya. Dan airmatanya meluncur tanpa diperintah. Lee Jaehyun masih tak bergeming kendati dadanya sudah terasa sangat sesak. Sakit, dikhianati oleh seseorang yang sangat kaucintai.. sangat sakit rasanya.
“Maaf, Jaehyun. Maaf....”
Menahan hantaman rasa takut serta gugup, Jaehyun hanya bisa menggigit bibirnya kuat-kuat. Entah apa yang ditakutkan saat ini: mati di tangan orang yang begitu dicintainya atau karena rasa sesal pada kedua orangtuanya? Tubuhnya semakin gemetar ketika moncong pistol tersebut berpindah tempat ke pelipisnya, pun embusan napas hangat dari sang penodong tiba-tiba saja menampar pipinya.
“Chang... min?”
“Stop. Jangan sebut namaku, please? Jaehyun please forget me. I don't deserve you, sorry.“
Kendati kasar dan penuh intimidasi, nada suaranya masih terdengar bergetar. Bahkan tekanan pistolnya pada pelipis Jaehyun sedikit melemah, seolah dirinya sendiri tak yakin dengan apa yang dilakukannya sekarang. Jaehyun bisa melihat bongkahan besar berupa rasa ragu yang menghimpit dada Changmin. Dan memikirkannya pun sudah cukup untuk membuat senyum getir di bibir si pria Lee mengembang.
Setidaknya aku tahu kamu masih mencintaiku, Ji Changmin.
“Changmin, aku mau lihat kamu. Changmin, please look at me!”
“N-no.” Tangis Ji Changmin akhirnya tumpah juga. Lelehan airmata membasahi seluruh wajahnya. “Aku udah nggak punya muka lagi, Jaehyun. Sori. Sorry, I betrayed you. Sorry,” ujarnya sambil terisak.
Mendengar permintaan maaf Changmin, dada Jaehyun semakin sakit. Tidak bisakah dia bahagia hidup berdua saja dengan Changmin? Tidak bisakah, Tuhan?
Pertahanan Lee Jaehyun akhirnya runtuh juga. Dia memutar tubuhnya dengan paksa dan mendekap erat sosok terkasihnya itu. Tubuh Changmin gemetar di dalam pelukannya.
Keduanya menangis. Keduanya saling mengucap maaf. Keduanya sama-sama tersakiti.
“You saved me, but here I am... betraying you. I'm sorry.”
“No, stop saying sorry. I want you to know that you've saved me too, Changmin. Kamu udah bantu aku bangkit dari trauma itu. Aku sayang kamu, Changmin. Nggak akan pernah bisa benci kamu. Do it now!” Jaehyun menangkup kedua pipi Changmin, mengecup ujung hidung si lelaki Ji lantas kembali berbisik. “Ayo, Changmin?”
Kepala Changmin menggeleng keras. Tidak. Dia tidak akan pernah bisa melakukannya.
“No. Jaehyun, ayo kita kabur saja? I will tell Juyeon to let us go, he will understand, huh? Ayo pergi dari sini, sejauh mungkin. Aku cuma butuh kamu, I don't need anyone. Aku juga sayang kamu, Jaehyun.”
Senyuman getir itu masih menghiasi wajah Jaehyun. Diusapnya pelan pipi Changmin lantas ia menempelkan bibirnya pada dahi cowok di depannya, sedikit lama. Salurkan rasa hangat dan sayang, sengaja agar Changmin tahu betapa besar rasa sayang yang dia punya untuk seorang Ji Changmin.
“Hei, that's not fair. Juyeon yang akan menanggung semuanya, kamu yakin? This is your mission, do it now. Aku udah nggak punya siapa-siapa di sini dan itu lebih mudah, no one will go looking for me. Beda sama kamu? Juyeon still needs you, kamu juga punya banyak teman. So, please live your life, Changmin.”
Tangan Jaehyun menggenggam milik Changmin, perlahan dia kemudian mengarahkan kembali moncong pistol tersebut pada pelipisnya sendiri. Changmin mengerang, marah. Tangannya meronta, berusaha terlepas dari paksaan Jaehyun yang semakin menekan pistol tersebut ke arah pelipisnya. Tangis Changmin masih belum kering, dadanya sakit melihat orang yang dicintainya tersenyum sendu seperti itu.
“Changmin, now!”
“No.”
“Do it now!” bentak Jaehyun keras. Tangannya sendiri menahan jemari Changmin agar segera menekan pelatuknya saat itu juga.
Changmin masih menangis histeris ketika akhirnya mendengar bunyi tembakan sebanyak dua kali, membelah sunyi pun akibatkan tubuh Jaehyun ambruk. Likuid merah pekat itu tiba-tiba sudah mengalir dari bahu serta punggung si pria Lee. Changmin memekik sekuat tenaga sambil mendekap tubuh Jaehyun yang mulai hilang kesadaran.
“Jaehyun! Jaehyun, bangun. Lee Jaehyun.”
Ji Changmin menangis histeris. Dia tidak bisa kehilangan Jaehyun.
Bukan. Dua tembakan yang akhirnya menembus tulang Jaehyun bukanlah berasal dari pistol Changmin. Pelakunya tiba di tempat beberapa saat kemudian. Menarik tangan Changmin agar segera bangkit dan lari lantaran sirine polisi terdengar mendekat. Mereka tak bisa berlama-lama di tempat ini.
“Changmin, ayo pergi.”
Lee Juyeon memasukkan kembali pistolnya ke dalam saku mantel sembari berusaha mengangkat tubuh Changmin. Dia mulai panik, dia tak mau usahanya menembakkan pistol ke arah Jaehyun tadi sia-sia jika polisi berhasil menangkap keduanya.
“Kenapa, Juyo?”
“Changmin?”
Pria yang lebih kecil masih terduduk di bawah, memangku dan mendekap erat tubuh Jaehyun yang sudah kehabisan darah. Pada akhirnya dia benar-benar menyaksikan orang terkasihnya meregang nyawa, tepat di hadapannya. Kenapa? Juyeon bahkan sudah berjanji tak akan ikut campur soal ini.
“Kenapa lo akhirnya bunuh Jaehyun... kenapa, Juyo?”
“Changmin, we don't have much time. Polisi sudah dekat, dan sebentar lagi mereka akan tiba. Sori, gue terpaksa ngelanggar janjinya. But look? We did it, right? Sekarang ayo cepat pergi sebelum mereka datang,” desak Juyeon dengan suara parau. Dia juga merasa bersalah, namun tidak ada waktu untuk itu. Prioritas utamanya adalah kabur, bersama Changmin.
Suara tawa itu akhirnya meledak, membuat Juyeon menatap Changmin was-was. Sementara si pria Ji mengais kesadaran di sela perih yang tiba-tiba menjalar ke seluruh sisi tubuh, dia berdiri hingga bertatap muka dengan Lee Juyeon. Tangannya yang sudah lemah itu lantas menempelkan moncong pistol yang sejak tadi digenggamnya ke arah pelipisnya sendiri.
“Ji Changmin! Buang benda itu sekarang juga. Jangan nekat!”
Tawa yang menyiratkan kesakitan itu masih terlihat jelas di sana, pun sepasang mata yang kehilangan sinarnya. Ji Changmin seolah tak main-main dengan aksinya. Cowok yang lebih tinggi bergerak gelisah, dia paham Changmin sedang tidak bermain-main. Juyeon tidak boleh gegabah, salah langkah sedikit saja, nyawa Changmin taruhannya.
“Juyo, thank you? You know that you're always be my best, right? Tapi aku juga butuh dia, Lee Jaehyun... aku butuh dia, Juyo. Maaf, selama ini gue banyak nyusahin lo. You deserve happiness, Lee Juyeon. Long life, hm?“
“Changmin, please? Changmin gimana sama gue? Di sini... gue juga butuh lo. Ji Changmin. Can't you just stay here with me? Apa eksistensi gue nggak cukup buat nahan lo?”
“Sampai akhir ternyata gue tetep jadi teman yang nggak berguna buat lo, ya? Maaf, Lee Juyeon. Gue sayang lo.”
Ji Changmin tersenyum, kelu. Jemarinya bersiap menarik pelatuk dan sejenak dia melirik ke arah Jaehyun yang sudah terbujur kaku di bawah sana. Dadanya kembali merasa sakit, seolah tengah diremas kuat-kuat, meremukkan semua tulang dada lantas menghancurkan hatinya.
Konyol. Satu nama yang sejak tadi masih memenuhi rongga kepalanya hanyalah Lee Jaehyun. Lagi-lagi, Ji Changmin tersenyum kecil. Ya, setidaknya dia masih mengingat nama pria itu sampai di ujung napasnya, dia bisa merasa sedikit tenang sembari menghampiri mulut neraka yang sudah menantinya.
.
-fin.