Of His Smile and Getting Back Together
Pagi itu Changmin tiba-tiba tersentak bangun dari tidurnya ketika mendadak sekelebat ingatan soal kejadian semalam mampir di kepala. Dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya, cowok itu kembali memutar isi kepalanya; pergi berkuliah, mampir sejenak di kantin kampus, mengikuti kelas keduanya lantas melangkah pulang?
Eh? Seperti ada yang terlewat?
Sesekali dia meringis menahan sakit ketika rasa pengar mendera kepala. Dia tidak mabuk, 'kan? Jangan bilang kalau....
Astaga.
Changmin lekas-lekas meraih ponselnya dan melihat panggilan terakhir serta kotak pesan, hingga desahan napas serta umpatan kasar terlontar dari katup bibir si pemuda Ji. Oh, Tuhan. Dia melakukan hal bodoh lagi semalam.
Sialan. Seingatnya dia menelepon Juyeon? Kenapa... malah dia?
Hal apa lagi yang terjadi semalam... astaga, wira Ji itu bahkan tak sanggup mengingatnya lebih jauh. Mengusap wajahnya dengan dua telapak tangan, Changmin kembali mendesah berat. Dia melirik ke atas nakas dan mendapati sebuah sticky notes di atas sana.
Supnya di atas meja makan, jangan lupa dihangatkan dulu. Ok? Oke. :)
Ah, apa yang harus dilakukan sekarang? Meneleponnya dan berterima kasih atau....? Tidak perlu. Mari anggap kejadian itu tidak pernah terjadi. Yeah, begitu lebih baik.
Lupakan, Changmin. Lupakan. Kau mabuk semalam, jadi dia tak akan keberatan jika kau sesekali merepotkannya.
*
Lee Jaehyun mendengus kesal ketika Juyeon sudah meneleponnya pagi buta itu. Sepupunya itu meminta bantuan Jaehyun untuk menggantikan jadwal shift-nya bekerja di kafe hari ini. Dan di sanalah Jaehyun sekarang, sudah bersiap dengan apronnya menunggu jam kafe dibuka. Seharusnya dia libur hari ini... ah, menyebalkan.
Dimulai dengan membersihkan beberapa meja dan membantu menyiapkan semua kebutuhan, cowok tersebut sudah mulai menyibukkan diri dan tepat ketika kafe dibuka, dia terlihat semakin sibuk. Beberapa pelanggan sudah berlalu lalang, memesan kopi di pagi hari pun cemilan ringan untuk sekadar mengganjal perut. Sesekali dia melirik ke arah ponselnya, mendesah pelan seolah tengah menantikan notifikasi dari seseorang.
Namun, harapnya tampak tak bakal terwujud dalam waktu dekat?
Bunyi kling dari arah pintu refleks membuat Jaehyun lekas-lekas ucapkan selamat datang. Sepasang maniknya yang berkilauan berdilatasi dengan sempurna melihat siapa yang datang. Tubuhnya pun tersentak ketika berhasil memastikan bahwa sosok Ji Changmin kini sudah melangkah memasuki kafe dan bersikap terlampau santai.
Sekilas, Jaehyun sempat menangkap gerak-gerik ragu dari si cowok Ji—ingin berbalik tapi sudah terlanjur menjejakkan kaki di sana. Dia hanya tampilkan seulas senyum. Changmin terlihat sangat lucu, dengan agak kikuk, langkah cowok manis itu kemudian terarah ke arahnya.
Profesional, Lee Jaehyun.
“Uh, oh, halo? Selamat pagi, jadi kau ingin memesan apa? Take away atau di tempat?”
Changmin, untuk sejenak berdeham lantas membaca menu yang tersedia. Mengabaikan pertanyaan tersebut sepersekian detik, sebelum akhirnya mengangkat kepala dan sebutkan pesannya. “Satu hot chocolate. Uh, take away saja.”
Jaehyun menganggukkan kepala, mengetikkan pesanannya di mesin kasir serta menghitung nominal harga pesanan pelanggannya yang ke-sekian itu. Tenggorokannya seolah tercekat, suaranya hampir tak keluar ketika dia menyebut nominal sejumlah uang yang harus dibayar. Dia sangat gugup.
“Um, omong-omong terima kasih? And... sorry, I guess?” Changmin menyerahkan sejumlah uang untuk membayar dan menunggu pesanannya.
Lee Jaehyun yang sepertinya belum siap dengan obrolan tersebut hanya terbatuk. Jemarinya masih bergerak menekan tombol di mesin kasir sebelum menyerahkan uang kembalian pada lawan bicaranya. Dia kemudian tersenyum lebar dan mengangguk paham.
Sial. Sejak kapan seorang Lee Jaehyun jadi super awkward begini, sih?
“Yeah, no problem. You can always call me whenever you want, Changmin. Aku sama sekali nggak keberatan, kok,” ujarnya masih dengan senyum lebar yang terpoles di wajah tampannya. Changmin mengumpat di dalam hati, senyuman dan wajah Jaehyun ternyata (masih) sangat tidak baik untuk hatinya. “...senang, sih. Ternyata angka satu di panggilan darurat ponselmu masih nomorku.”
Changmin terkejut, sejujurnya dia malu, sih. Mau mengelak juga sudah terlambat. Faktanya memang angka pertama di ponselnya masih untuk Lee Jaehyun, mantan kekasihnya yang sudah dua bulan lalu dia putuskan.
“A-ah, aku lupa menggantinya. Nanti akan secepatnya aku gant—”
“No. You don't have to. Aku masih suka direpotin kamu, Ji Changmin. Please, tetap biarin aku di tempat itu, ya?”
Changmin menelan ludah susah payah, berdoa agar pesanannya segera datang dan dia bisa lekas kabur dari sini. Terlalu lama bersama sang mantan bisa-bisa buat Changmin gagal move on lagi. Sialan.
“Oh, kamu juga masih belum mengganti kode pintu apartemenmu, 'kan?”
Shit. Changmin menepuk dahinya sendiri. Wajahnya sudah memerah, menahan malu. Jaehyun pasti berpikir jika dirinya masih terjebak di masa lalu. Dia masih menggunakan tanggal jadian mereka dulu. Bagaimana Changmin lupa untuk mengganti password apartemennya? Ini sudah hampir lewat dua bulan, Ji Changmin.
“A-ah, yeah.... sepertinya aku lupa juga.”
Jaehyun hanya tergelak. Niatnya untuk menggoda Changmin semakin menggebu. Dia tak akan melewatkan kesempatan ini. Dua bulan sudah cukup baginya untuk meyakinkan diri sendiri. Dua bulan sengaja dihabiskannya untuk berpikir, apakah dia benar-benar membutuhkan Changmin? Mengharapkan cowok itu untuk kembali menemani hari-harinya lagi? Dan inilah saatnya. Jaehyun akan mengatakannya sekarang juga. Dia tak ingin melewatkannya lagi.
“Changmin, sejak kapan kamu jadi pelupa berat seperti itu?”
“E-eh?” Changmin masih tergeragap, lantas menerima satu gelas hot chocolate yang sudah disodorkan ke arahnya. Pesanannya sudah datang, namun entah mengapa dia enggan beranjak kendati dia berani bertaruh jika mukanya sudah memerah.
Terlalu malu bahkan untuk melangkah pulang.
“Kamu masih berlatih menari bersama Juyeon?”
“Mhm, ya. Masih.”
“Pelatih ceweknya masih semanis yang dulu, nggak?”
“Hah?” Changmin membelalak, tak menyangka jika Jaehyun malah akan menanyakan pelatihnya. “Mana kutahu? Tanyakan saja pada yang lain. Lagian dia juga masih melajang tuh, kali aja kamu mau mendekatinya,” jawabnya ketus. Dia sendiri tak tahu kenapa nada suaranya tiba-tiba terdengar seolah tidak suka.
Jaehyun kembali terkekeh, gemas. Changmin yang sedang kesal dan mengerucutkan bibir di depannya... ah, benar-benar ingatkan dia pada masa lalu.
“Aku lebih suka muridnya, sih. Hehe, aku naksir murid dari pelatih menarimu. Ya, pelatihmu manis sih, tapi ada satu muridnya yang jauuuuh lebih menggemaskan.”
“Ngomong apa, sih? Ya sudah, kalau naksir sana dekatin saja. Kenapa harus lapor sama aku?”
“Boleh emangnya?”
Tatapan galak Changmin sudah menyerang Jaehyun di tempat. Apa-apaan sih, Lee Jaehyun ini. Menyebalkan sekali.
“Bukan urusanku.” Changmin yeng terlampau kesal itu sudah bersiap membalikkan badan, namun lagi-lagi kalimat terakhir Jaehyun kembali menahannya di tempatnya berdiri.
“Changmin, jadi pacarku lagi, mau?”
BUG.
Sebuah tepukan cukup keras diterima punggung Jaehyun, sebabkan pekikan mengaduh dari cowok tinggi itu. Di sebelahnya sudah berdiri sosok Younghoon yang menatapnya galak. Seolah menyuruhnya untuk berhenti menggoda Changmin dan kembali fokus bekerja.
“Apa, sih? Sakit banget, bodoh.”
“Fokus kerja, sialan. Malah merayu pelanggan,” decak Younghoon sebal. “Maaf ya, Changmin. Nanti biar kupotong gajinya bulan ini—”
“Hei, nggak adil? Lagipula belum ada pelanggan yang datang lagi, bukan?” Jaehyun bersungut-sungut, tak terima. “Gue cuma ngajakin mantan gue balikan. Cemburu ya, lo?”
“A-anu.... terima kasih hot chocolate-nya. Semoga hari kalian menyenangkan.” Changmin tiba-tiba melangkah mundur, menarik diri dari keributan Jaehyun dan sahabatnya—sekaligus pemilik kafe itu—Kim Younghoon.
“Tuh, kan. Gara-gara lo, sih.” Jaehyun menuding Younghoon menggunakan telunjuknya, kesal. Lantas dia kembali meneriakkan nama Changmin yang sudah akan membuka pintu kafe dan melenggang pergi.
“Changmin, murid pelatih menarimu yang menggemaskan itu.... namanya Ji Changmin, kalau kamu penasaran.”
Younghoon bergidik ngeri mendengar kalimat gombalan Jaehyun yang menurutnya sangat cringe itu. Tak paham kenapa Changmin masih gagal move on dari cowok seperti Jaehyun.
Sementara itu, Changmin hanya mendesah pasrah, ditatapnya sekali lagi sosok Jaehyun yang masih berdiri di belakang konter kasir, masih dengan senyuman lamanya yang sering Changmin usir karena tidak mau pergi dari pikirannya. Sebetulnya cowok Ji itu tidak tahu apakah ia ingin kembali pada Jaehyun atau memilih melanjutkan hidupnya tanpa lelaki yang lebih tua setahun darinya itu.
“Akan kutelepon lagi nanti,” sebut Changmin pada akhirnya. Dia bagikan seulas senyum simpul kemudian benar-benar melangkah tinggalkan kafe tersebut. Ya, biarkan dia memikirkannya lagi. Toh, kalau diingat-ingat lagi alasan keduanya putus saat itu juga karena kesalahpahaman yang tak sempat diluruskan.
Changmin masih rindu. Changmin masih suka memikirkannya sesekali. Changmin masih membutuhkannya, jujur saja.
Jaehyun tak bergeming selama beberapa detik, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Oh, Changmin bilang akan meneleponnya lagi nanti? Ya, 'kan?
“Yes!!! Berhasil.” Cowok Lee itu sudah mengangkat kepalan tangannya ke udara. Memekik histeris sambil menepuk-nepuk lengan Younghoon yang masih berdiri di sebelahnya. “GUE BALIKAN, BRO! GUE BALIKAN!”
Younghoon hanya memutar bola matanya jengah. Mengetuk dahi Jaehyun sebelum melangkah kembali ke dalam. “Dia cuma bilang mau nelepon lo, dudul. Jangan kepedean dulu.”
“Shoot! Dia mau nelepon gue terus nerima ajakan gue buat balikan. Stop, jangan patahkan semangat gue yang sedang membara, Kim Younghoon. Lihat aja besok, gue akan kembali bekerja di kafe ini dengan status 'pacar Ji Changmin'.”
.
-fin.
.
milkyuways, ©2021