milkyuways


Pagi itu Changmin tiba-tiba tersentak bangun dari tidurnya ketika mendadak sekelebat ingatan soal kejadian semalam mampir di kepala. Dengan mata yang belum terbuka sepenuhnya, cowok itu kembali memutar isi kepalanya; pergi berkuliah, mampir sejenak di kantin kampus, mengikuti kelas keduanya lantas melangkah pulang?

Eh? Seperti ada yang terlewat?

Sesekali dia meringis menahan sakit ketika rasa pengar mendera kepala. Dia tidak mabuk, 'kan? Jangan bilang kalau....

Astaga.

Changmin lekas-lekas meraih ponselnya dan melihat panggilan terakhir serta kotak pesan, hingga desahan napas serta umpatan kasar terlontar dari katup bibir si pemuda Ji. Oh, Tuhan. Dia melakukan hal bodoh lagi semalam.

Sialan. Seingatnya dia menelepon Juyeon? Kenapa... malah dia?

Hal apa lagi yang terjadi semalam... astaga, wira Ji itu bahkan tak sanggup mengingatnya lebih jauh. Mengusap wajahnya dengan dua telapak tangan, Changmin kembali mendesah berat. Dia melirik ke atas nakas dan mendapati sebuah sticky notes di atas sana.

Supnya di atas meja makan, jangan lupa dihangatkan dulu. Ok? Oke. :)

Ah, apa yang harus dilakukan sekarang? Meneleponnya dan berterima kasih atau....? Tidak perlu. Mari anggap kejadian itu tidak pernah terjadi. Yeah, begitu lebih baik.

Lupakan, Changmin. Lupakan. Kau mabuk semalam, jadi dia tak akan keberatan jika kau sesekali merepotkannya.

*

Lee Jaehyun mendengus kesal ketika Juyeon sudah meneleponnya pagi buta itu. Sepupunya itu meminta bantuan Jaehyun untuk menggantikan jadwal shift-nya bekerja di kafe hari ini. Dan di sanalah Jaehyun sekarang, sudah bersiap dengan apronnya menunggu jam kafe dibuka. Seharusnya dia libur hari ini... ah, menyebalkan.

Dimulai dengan membersihkan beberapa meja dan membantu menyiapkan semua kebutuhan, cowok tersebut sudah mulai menyibukkan diri dan tepat ketika kafe dibuka, dia terlihat semakin sibuk. Beberapa pelanggan sudah berlalu lalang, memesan kopi di pagi hari pun cemilan ringan untuk sekadar mengganjal perut. Sesekali dia melirik ke arah ponselnya, mendesah pelan seolah tengah menantikan notifikasi dari seseorang.

Namun, harapnya tampak tak bakal terwujud dalam waktu dekat?

Bunyi kling dari arah pintu refleks membuat Jaehyun lekas-lekas ucapkan selamat datang. Sepasang maniknya yang berkilauan berdilatasi dengan sempurna melihat siapa yang datang. Tubuhnya pun tersentak ketika berhasil memastikan bahwa sosok Ji Changmin kini sudah melangkah memasuki kafe dan bersikap terlampau santai.

Sekilas, Jaehyun sempat menangkap gerak-gerik ragu dari si cowok Ji—ingin berbalik tapi sudah terlanjur menjejakkan kaki di sana. Dia hanya tampilkan seulas senyum. Changmin terlihat sangat lucu, dengan agak kikuk, langkah cowok manis itu kemudian terarah ke arahnya.

Profesional, Lee Jaehyun.

Uh, oh, halo? Selamat pagi, jadi kau ingin memesan apa? Take away atau di tempat?”

Changmin, untuk sejenak berdeham lantas membaca menu yang tersedia. Mengabaikan pertanyaan tersebut sepersekian detik, sebelum akhirnya mengangkat kepala dan sebutkan pesannya. “Satu hot chocolate. Uh, take away saja.”

Jaehyun menganggukkan kepala, mengetikkan pesanannya di mesin kasir serta menghitung nominal harga pesanan pelanggannya yang ke-sekian itu. Tenggorokannya seolah tercekat, suaranya hampir tak keluar ketika dia menyebut nominal sejumlah uang yang harus dibayar. Dia sangat gugup.

“Um, omong-omong terima kasih? And... sorry, I guess?” Changmin menyerahkan sejumlah uang untuk membayar dan menunggu pesanannya.

Lee Jaehyun yang sepertinya belum siap dengan obrolan tersebut hanya terbatuk. Jemarinya masih bergerak menekan tombol di mesin kasir sebelum menyerahkan uang kembalian pada lawan bicaranya. Dia kemudian tersenyum lebar dan mengangguk paham.

Sial. Sejak kapan seorang Lee Jaehyun jadi super awkward begini, sih?

Yeah, no problem. You can always call me whenever you want, Changmin. Aku sama sekali nggak keberatan, kok,” ujarnya masih dengan senyum lebar yang terpoles di wajah tampannya. Changmin mengumpat di dalam hati, senyuman dan wajah Jaehyun ternyata (masih) sangat tidak baik untuk hatinya. “...senang, sih. Ternyata angka satu di panggilan darurat ponselmu masih nomorku.”

Changmin terkejut, sejujurnya dia malu, sih. Mau mengelak juga sudah terlambat. Faktanya memang angka pertama di ponselnya masih untuk Lee Jaehyun, mantan kekasihnya yang sudah dua bulan lalu dia putuskan.

“A-ah, aku lupa menggantinya. Nanti akan secepatnya aku gant—”

No. You don't have to. Aku masih suka direpotin kamu, Ji Changmin. Please, tetap biarin aku di tempat itu, ya?”

Changmin menelan ludah susah payah, berdoa agar pesanannya segera datang dan dia bisa lekas kabur dari sini. Terlalu lama bersama sang mantan bisa-bisa buat Changmin gagal move on lagi. Sialan.

“Oh, kamu juga masih belum mengganti kode pintu apartemenmu, 'kan?”

Shit. Changmin menepuk dahinya sendiri. Wajahnya sudah memerah, menahan malu. Jaehyun pasti berpikir jika dirinya masih terjebak di masa lalu. Dia masih menggunakan tanggal jadian mereka dulu. Bagaimana Changmin lupa untuk mengganti password apartemennya? Ini sudah hampir lewat dua bulan, Ji Changmin.

“A-ah, yeah.... sepertinya aku lupa juga.”

Jaehyun hanya tergelak. Niatnya untuk menggoda Changmin semakin menggebu. Dia tak akan melewatkan kesempatan ini. Dua bulan sudah cukup baginya untuk meyakinkan diri sendiri. Dua bulan sengaja dihabiskannya untuk berpikir, apakah dia benar-benar membutuhkan Changmin? Mengharapkan cowok itu untuk kembali menemani hari-harinya lagi? Dan inilah saatnya. Jaehyun akan mengatakannya sekarang juga. Dia tak ingin melewatkannya lagi.

“Changmin, sejak kapan kamu jadi pelupa berat seperti itu?”

“E-eh?” Changmin masih tergeragap, lantas menerima satu gelas hot chocolate yang sudah disodorkan ke arahnya. Pesanannya sudah datang, namun entah mengapa dia enggan beranjak kendati dia berani bertaruh jika mukanya sudah memerah.

Terlalu malu bahkan untuk melangkah pulang.

“Kamu masih berlatih menari bersama Juyeon?”

“Mhm, ya. Masih.”

“Pelatih ceweknya masih semanis yang dulu, nggak?”

“Hah?” Changmin membelalak, tak menyangka jika Jaehyun malah akan menanyakan pelatihnya. “Mana kutahu? Tanyakan saja pada yang lain. Lagian dia juga masih melajang tuh, kali aja kamu mau mendekatinya,” jawabnya ketus. Dia sendiri tak tahu kenapa nada suaranya tiba-tiba terdengar seolah tidak suka.

Jaehyun kembali terkekeh, gemas. Changmin yang sedang kesal dan mengerucutkan bibir di depannya... ah, benar-benar ingatkan dia pada masa lalu.

“Aku lebih suka muridnya, sih. Hehe, aku naksir murid dari pelatih menarimu. Ya, pelatihmu manis sih, tapi ada satu muridnya yang jauuuuh lebih menggemaskan.”

“Ngomong apa, sih? Ya sudah, kalau naksir sana dekatin saja. Kenapa harus lapor sama aku?”

“Boleh emangnya?”

Tatapan galak Changmin sudah menyerang Jaehyun di tempat. Apa-apaan sih, Lee Jaehyun ini. Menyebalkan sekali.

“Bukan urusanku.” Changmin yeng terlampau kesal itu sudah bersiap membalikkan badan, namun lagi-lagi kalimat terakhir Jaehyun kembali menahannya di tempatnya berdiri.

“Changmin, jadi pacarku lagi, mau?”

BUG.

Sebuah tepukan cukup keras diterima punggung Jaehyun, sebabkan pekikan mengaduh dari cowok tinggi itu. Di sebelahnya sudah berdiri sosok Younghoon yang menatapnya galak. Seolah menyuruhnya untuk berhenti menggoda Changmin dan kembali fokus bekerja.

“Apa, sih? Sakit banget, bodoh.”

“Fokus kerja, sialan. Malah merayu pelanggan,” decak Younghoon sebal. “Maaf ya, Changmin. Nanti biar kupotong gajinya bulan ini—”

“Hei, nggak adil? Lagipula belum ada pelanggan yang datang lagi, bukan?” Jaehyun bersungut-sungut, tak terima. “Gue cuma ngajakin mantan gue balikan. Cemburu ya, lo?”

“A-anu.... terima kasih hot chocolate-nya. Semoga hari kalian menyenangkan.” Changmin tiba-tiba melangkah mundur, menarik diri dari keributan Jaehyun dan sahabatnya—sekaligus pemilik kafe itu—Kim Younghoon.

“Tuh, kan. Gara-gara lo, sih.” Jaehyun menuding Younghoon menggunakan telunjuknya, kesal. Lantas dia kembali meneriakkan nama Changmin yang sudah akan membuka pintu kafe dan melenggang pergi.

“Changmin, murid pelatih menarimu yang menggemaskan itu.... namanya Ji Changmin, kalau kamu penasaran.”

Younghoon bergidik ngeri mendengar kalimat gombalan Jaehyun yang menurutnya sangat cringe itu. Tak paham kenapa Changmin masih gagal move on dari cowok seperti Jaehyun.

Sementara itu, Changmin hanya mendesah pasrah, ditatapnya sekali lagi sosok Jaehyun yang masih berdiri di belakang konter kasir, masih dengan senyuman lamanya yang sering Changmin usir karena tidak mau pergi dari pikirannya. Sebetulnya cowok Ji itu tidak tahu apakah ia ingin kembali pada Jaehyun atau memilih melanjutkan hidupnya tanpa lelaki yang lebih tua setahun darinya itu.

“Akan kutelepon lagi nanti,” sebut Changmin pada akhirnya. Dia bagikan seulas senyum simpul kemudian benar-benar melangkah tinggalkan kafe tersebut. Ya, biarkan dia memikirkannya lagi. Toh, kalau diingat-ingat lagi alasan keduanya putus saat itu juga karena kesalahpahaman yang tak sempat diluruskan.

Changmin masih rindu. Changmin masih suka memikirkannya sesekali. Changmin masih membutuhkannya, jujur saja.

Jaehyun tak bergeming selama beberapa detik, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Oh, Changmin bilang akan meneleponnya lagi nanti? Ya, 'kan?

“Yes!!! Berhasil.” Cowok Lee itu sudah mengangkat kepalan tangannya ke udara. Memekik histeris sambil menepuk-nepuk lengan Younghoon yang masih berdiri di sebelahnya. “GUE BALIKAN, BRO! GUE BALIKAN!”

Younghoon hanya memutar bola matanya jengah. Mengetuk dahi Jaehyun sebelum melangkah kembali ke dalam. “Dia cuma bilang mau nelepon lo, dudul. Jangan kepedean dulu.”

Shoot! Dia mau nelepon gue terus nerima ajakan gue buat balikan. Stop, jangan patahkan semangat gue yang sedang membara, Kim Younghoon. Lihat aja besok, gue akan kembali bekerja di kafe ini dengan status 'pacar Ji Changmin'.”

.

-fin.

.

milkyuways, ©2021

On the Phone

“Sumpah, kak. Lo di mana sekarang? Kemana aja? Ngapain? Makan lo gimana? Nggak lagi sakit, 'kan? Mau vidcall aja, nggak? Gue kangen banget sumpah.”

Harusnya Changmin tertawa mendengar pertanyaan beruntun dari Sunwoo, namun dia hanya tersenyum sekejap dan kembali hela napas panjang. “Nggak. Gue lagi jelek, udah begini aja.”

“Ya, oke. Jadi...?”

Terdengar suara tarikan napas dari seberang, dan Sunwoo lekas paham jika sosok di seberang sambungan sana sedang tidak baik-baik saja.

“Gue kayak anak kecil, ya?”

“Maksud lo?”

“Gue kabur gitu aja waktu tahu kalau dia udah ketemu soulmate. Childish. Bahkan sampai sekarang gue nggak tahu harus ngomong apa sama dia? I'm so clueless, nggak tahu harus ngapain sekarang, Sun.”

“Lo nggak childish, itu wajar. Lo pasti juga syok, apalagi hari itu juga hari spesial lo, menurut gue wajar aja, kok. Your feeling is valid, kak. Jangan ngerasa begitu.”

Lagi-lagi terdengar helaan napas. Bahkan dari sini Sunwoo bisa mengerti betapa beratnya takdir ini untuk Changmin. Dia tumbuh bersama Jaehyun, lantas jatuh hati dan menyematkan perasaannya pada nama tersebut. Bertahun-tahun, hingga sampai pada sore hari tepat di tanggal sepuluh November, ketika usianya menginjak delapanbelas tahun, semua harap dan doanya seolah hancur. Lebur dan menyisa beberapa bongkah kenangan.

“Gue juga ngerasa jahat, Sun. Bahkan ketika gue udah tahu dia bukan takdir gue... tiap malem masih suka berharap kalau semua ini cuma mimpi, kalau Tuhan salah. Gue ngerasa jahat sama soulmate dia yang sebenarnya, Sun.”

“Kak, lo tuh nggak perlu kepikiran sampai jauh begitu. Bego banget, sih? Cukup pikirin diri lo sendiri. Ayo move on, lo pasti bisa. Lo juga bakal ketemu takdir dan bahagia lo, Kak. Nggak ada yang tahu kapannya juga, bisa aja besok, lusa? Semua bakal baik-baik aja.”

Tak ada sahutan lagi dari seberang. Hanya isakan kecil yang sesekali tertangkap pendengaran Sunwoo.

“Balas chatnya Bang Jae! Haknyeon juga. Mereka sama-sama khawatirin lo. Jangan lari lagi, lo itu kuat dan keren, kak.”

Panggilan telepon itu berlangsung sepanjang malam hingga Changmin mengadu kalau dirinya sudah mengantuk. Sunwoo sejak tadi hanya berdongeng, ceritakan ini dan itu, berharap jika kehadirannya malam itu cukup untuk bantu mendistraksi pikiran Changmin.

Sunwoo juga berhasil buat cowok Ji itu tertawa dengan cerita konyolnya soal kunci mobil Haknyeon yang tertinggal di kafe dan mengharuskan Sunwoo kembali ke sana demi mengambilnya setelah kalah adu suit. Haknyeon juga sempat mengancam untuk tidak memberinya tumpangan saat itu. Keduanya berdebat di tempat parkir dan kembali jadi bahan tontonan sebelum akhirnya Sunwoo mengalah dan tinggalkan Haknyeon yang sudah tertawa kencang di sana.

“Besok pagi balas chat mereka, ya?”

“Mhm, iya iya, dasar cerewet. Besok gue balas, deh. Thanks ya, Sun. Gue sampai ngantuk beneran dengar cerita lo.”

“Sunwoo sang penyelamat, ya?”

“Dih. Males banget.”

Telepon akhirnya ditutup setelah keduanya saling ucapkan selamat malam.

Changmin menghela napas, setidaknya malam itu dia mungkin saja bisa tidur dengan tenang. Rupanya rasa sakit yang menghimpit dadanya sudah berkurang, tak lagi dia rasakan sejak mendengar suara Sunwoo tadi.

Terima kasih kepada Kim Sunwoo dan cerita-cerita konyolnya.

.

Hari Itu....

“Tuh, dia udah datang!”

Begitu kalimat tersebut terlontar dari katup bibir Sunwoo, sepasang manik Jaehyun sudah terarah pada pintu masuk kafe. Suasana di dalam ruang yang didominasi warna cokelat dan bau kopi-kopian itu tak terlalu ramai. Jaehyun bisa melihat Changmin melangkah pelan ke arah mejanya bersama Sunwoo dan Haknyeon.

Senyum di bibir si cowok Lee terangkat beberapa derajat, sambut kehadiran sosok yang begitu dipuja.

Namun, tampaknya gemuruh di dalam dadanya setelah melihat sang pujaan hati tak berlangsung lama. Tepat ketika bunyi kling dari arah pintu kembali terdengar—dan terlihat dua orang pemuda tinggi bak model baru saja masuk—Lee Jaehyun memekik pelan. Telapak tangannya tiba-tiba memanas, tanda hati hitam di kelingkingnya juga perlahan berubah warna.

Gawat.

Bola mata Jaehyun bergerak gelisah. Rasanya benar-benar panas, gatal, persis seperti yang dia rasakan ketika tanda itu baru pertama muncul. Dan tiba-tiba saja tanda hati tersebut sudah menjadi semerah darah. Soulmate-nya ada di sini.

Sementara itu Changmin masih berdiri di tempatnya, melihat Sunwoo dan Haknyeon yang sudah panik, serta Jaehyun yang kesakitan sembari memandang ke arahnya dengan tatapan yang susah untuk diartikan. Changmin kembali melirik telapak tangan kanannya, dan tepat saat itulah airmatanya melebur tanpa diperintah. Dia hanya berhalusinasi, eh? Rasa sakit di telapak tangan seolah tersetrum aliran listrik hanyalah ilusi belaka yang sengaja diciptakan kepala Changmin. Sebuah bentuk penolakan rasa sakit?

Kenyataannya tanda hati miliknya masih berwarna hitam.

Dia bukan soulmate Lee Jaehyun.

Airmatanya mengalir semakin deras, namun si cowok Ji kembali menoleh ke belakang tatkala telinganya juga mendengar rintih kesakitan. Di sana, tepat beberapa langkah dari posisi Changmin berdiri, dia melihat seorang lelaki yang tampak kesakitan sembari memegang telapak tangannya yang sebelah kanan.

Persis seperti yang dilakukan Jaehyun.

Pandangannya memang jadi agak buram akibat gumpalan air bening menumpuk di matanya, namun Changmin bisa lihat dengan jelas jika tanda hati hitam di kelingking cowok bertubuh tinggi itu sudah jadi merah.

Mungkinkah? Dia soulmate Jaehyun?

“Kak Changmin!”

Sunwoo tiba-tiba memekik keras ketika melihat Changmin sudah berlari keluar kafe tanpa sempat berikan sepatah kata. Air mata tak lagi dapat dia bendung, dia sudah menangis. Dadanya sakit sementara terus berusaha memacu kedua kakinya untuk berlari tinggalkan tempat tersebut.

Sakit.

Kenapa harus sekarang? Kenapa harus di depan Changmin? Kenapa, Tuhan?

Sementara itu Sunwoo yang berencana mengejar Changmin kembali ditahan oleh Haknyeon. Biarin dia sendiri dulu, begitu bisik Haknyeon pada si pemuda Kim. Keduanya sudah paham situasi yang sedang terjadi, bahkan Haknyeon pun mengerti jika salah satu dari dua pemuda yang memasuki kafe setelah kedatangan Changmin tadi adalah soulmate Jaehyun.

Haknyeon bisa melihat keduanya pun tampak kebingungan, mencari ke sekeliling kafe—meneliti satu-persatu, berharap bisa temukan kepada siapa benang merahnya tersambung—hingga akhirnya menemukan presensi Jaehyun yang juga tengah kesakitan.

Cowok yang lebih pendek—Haknyeon menduga dia adalah teman dari soulmate Jaehyun—sudah mengikis langkah mendekati meja mereka. Namun, belum sempat menghampiri dan bertegur sapa, Jaehyun sudah lebih dulu bangkit dan berlari keluar kafe. Seolah tak mengizinkan kedua cowok asing tadi menemukan keberadaannya.

“Hei? Lo mau ke mana?!”

“Anu... maaf, kayaknya dia masih agak... syok?” Itu Haknyeon yang akhirnya bicara. Dia menahan lengan cowok yang berniat mengejar Jaehyun. “Mm, kayaknya benang merahnya memang tersambung dengan milik temen lo. Uh....”

“Oh, gue Haknyeon, ini Sunwoo. Kita berdua temen cowok rese yang tadi. Maaf, ya. Nama dia Lee Jaehyun. Gue bisa minta nomor temen lo, nggak? Nanti gue bilangin temen gue biar hubungin temen lo lagi, gimana?”

Cowok tadi terdiam, menatap Haknyeon dan Sunwoo bergantian sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya dan berikan nomor sang teman.

“Thanks, ya. Nama gue Juyeon, temen gue yang tanda hatinya udah jadi merah itu... Kim Younghoon.”

Haknyeon tersenyum setelah berhasil menyimpan nomor cowok yang benang merahnya tersambung dengan milik Jaehyun itu. Kim Younghoon, namanya. Tak ingin berlama-lama sebabkan keributan, dia lantas mengajak Sunwoo berpamitan setelah meminta maaf sekali lagi. Kejadian hari ini benar-benar sangat mengejutkan, bahkan mereka sempat jadi tontonan satu kafe kalau Sunwoo tadi tak segera meminta maaf.

Hari yang melelahkan.

Kak Changmin bagaimana keadaannya , ya?

.

Soulmate

“Loh? Bang Jaehyun?”

Ju Haknyeon berteriak keheranan ketika maniknya melihat sosok Jaehyun yang terlihat tampan dan tenang seperti biasa sudah melangkah ke arahnya. Di belakangnya tak tampak siapa pun, sepertinya dia tak datang bersama Changmin, eh?

“Kirain lo masih kejebak macet di jalan?” tanya si cowok Lee pada Sunwoo setelah mendudukkan tubuhnya di kursi, tepat di depan Haknyeon.

“Gue akhirnya nebeng nih manusia,” sahut Sunwoo sambil mengerlingkan mata ke arah Haknyeon. “kalau nggak gitu, gue pasti belum sampai sini.”

Jaehyun hanya bergumam dan mengecek ponselnya kemudian. Gurat resah pun sarat kekhawatiran tampak jelas di wajahnya. Haknyeon yang sejak tadi diam dan mengamati, akhirnya buka suara. Dia menanyakan keberadaan Changmin, namun Jaehyun hanya menjawabnya dengan sebuah kedikan bahu.

“Tiba-tiba ada urusan sama klubnya dulu katanya.”

“Jadi lo sama sekali belum ketemu dia, Bang?”

Lee Jaehyun menggelengkan kepala. Tadi pagi dia hendak temui Changmin dan memastikan soal tanda hati hitamnya, namun mamanya meminta bantuan untuk mengurus sesuatu, dan niatnya untuk menjemputnya tadi pun berakhir gagal setelah dia menerima pesan dari si cowok Ji kalau dirinya akan sedikit terlambat karena harus pergi mengurus permasalahan klub terlebih dahulu.

Coba untuk cairkan suasana, Sunwoo lantas mengusulkan untuk memesan beberapa makanan ringan dulu sembari menunggu Changmin datang. Dan Haknyeon benar-benar manfaatkan momen tersebut dengan memesan banyak makanan. Yeah, kesempatan untuk memalak Lee Jaehyun.

Setelah ribut soal makanan bersama Haknyeon, serta ceritakan ini dan itu Sunwoo tiba-tiba menyeletuk, “Tuh, dia udah datang.”

Ji Changmin baru saja memasuki kafe, hendak lambaikan tangan ketika bunyi kling dari pintu kafe kembali terdengar, menandakan tamu lain baru saja memasuki tempat yang hangat dengan bau kopi yang menyebar ke seluruh penjuru ruang itu.

“Kak Changmin!!”

“Bang, dia lucu banget, ya?” tanya Sunwoo sambil melirik Jaehyun. Dia berniat menggodanya namun manik si pemuda Kim membulat ketika melihat telapak tangan kanan Jaehyun. Di sana, tepat di kelingkingnya yang sebelah kanan, tanda hati itu perlahan berubah warna.

“Bang Jaehyun?” Sunwoo panik. Cowok tertua itu tampak kesakitan dengan memegangi telapak tangan kanannya.

Haknyeon yang baru saja menyuapkan sepotong waffle ke dalam mulutnya pun tak kalah panik.

Ya Tuhan, jodoh Lee Jaehyun datang? Siapa?

Kak Changmin?

Ji Changmin menghentikan laju kedua kakinya. Dia melihat Jaehyun yang kesakitan di sana, pun Sunwoo dan Haknyeon yang mendadak panik. Lantas, kedua maniknya memeriksa telapak tangan kanannya sendiri.

Astaga...

Tidak mungkin?

Changmin masih belum melepaskan tatapnya dari telapak tangan kanannya, tanda hati hitam miliknya....

Bagaimana mungkin?

Tuhan, tolong katakan ini bukan sekadar mimpi, 'kan? Tolong yakinkan Changmin kalau semua ini nyata. Changmin tidak pernah merasa sebingung ini sebelumnya. Kedua kakinya seolah terpaku, tak tahu harus melangkah ke mana.

Sakit, dia juga merasakan sakitnya. Sangat sakit dan gatal seolah telapak tangannya baru saja tersetrum aliran listrik.

Sekali lagi, Changmin mengangkat kepala. Pandangannya kini tertuju pada sosok Lee Jaehyun, dan dari tempatnya berdiri dia bisa memastikan dengan matanya sendiri kalau tanda hatinya berubah warna.

Soulmate....

Dia bertemu soulmate-nya.

.

Batas Mimpi dan Kenyataan

Kabut putih.

Asap ringan itu mulai mengelilinginya. Mulanya hanya berupa gumpalan tipis, namun semakin menebal tak lama kemudian. Changmin yang masih tak mengerti kenapa dia ada di tempat seperti ini, tak bergeming. Maniknya menatap sekeliling dengan siaga. Takut-takut sesuatu yang buruk tengah mengincarnya di tengah kepulan kabut putih ini.

Alih-alih sesuatu yang buruk, tiba-tiba saja Changmin merasa sepasang lengan sudah memeluknya dari belakang. Spontan buat pemuda itu memekik, terkejut. Dekapan misterius itu terlalu erat, Changmin bahkan susah sekadar untuk balikkan tubuhnya.

“Changmin?”

Uh, oh.

Kak Jaehyun?

“Changmin, kamu sudah delapanbelas tahun. Kamu bakal segera ketemu orang itu... orang yang akan sayang kamu selamanya. Tugasku kayaknya udah selesai, ya? Jagain kamu dari waktu kamu masih lima tahun. Bahagia terus ya, Changmin?”

“Kak....”

Suaranya terlalu pelan, seolah berat bahkan untuk menggerakkan bibirnya. Changmin merasa airmatanya sudah mengalir, dadanya sesak mendengar kalimat Jaehyun. Tidak, dia ingin bilang kalau Changmin lebih butuh Jaehyun lebih dari apa pun. Namun lagi-lagi dia tidak bisa egois bukan?

Bagaimana kalau nanti Jaehyun sudah menemukan belahan jiwanya? Bagaimana kalau nanti tanda hati hitam di kelingkingnya sudah memerah duluan? Changmin tidak boleh egois, atau lebih tepat jika dibilang Changmin tidak diizinkan untuk jadi egois.

Pelukan tersebut perlahan melemah dan kehangatannya mulai memudar. Changmin panik, dia lekas-lekas memutar badannya dan temukan sosok Jaehyun yang sudah menghilang. Tak ada siapa pun di sana, kabut putih yang semula mengelilingi pun sudah lenyap dalam sekejap.

Dan tepat saat itulah Changmin memekik kesakitan, telapak tangannya mulai memanas, serta rasa gatal yang tiba-tiba ikutan mendera. Ototnya serasa mengejang dan kram juga sempat menyerang lehernya. Changmin sudah mempersiapkan diri untuk hal ini, namun dia tak menyangka jika rasanya akan seperti ini.

Sakit.

Telapak tangan kanan, pun dadanya sama-sama merasakan sakit.

. .

Ji Changmin tersadar dan sudah melihat sang Mama yang duduk di tepian ranjang.

Ah, dia ketiduran dan bermimpi rupanya.

“Changmin?”

Setelah bungkam selama beberapa detik, cowok itu mengangkat tangan kirinya demi memastikan sesuatu. Tanda hati hitam itu sudah terlukis di sana, dan lagi-lagi air mata Changmin sudah basahi kedua pipinya.

Apa mimpinya adalah sebuah pertanda?

Pertanda yang sengaja dikirim Tuhan jika Changmin akan segera kehilangan cowok itu?

Dan Changmin kembali menangis ketika kepalanya sampai pada kesimpulan seperti itu. Dia harus segera melupakan Jaehyun, ya?

Mama lekas memeluknya, sesekali diciumnya puncak kepala Changmin dengan sayang. Mama memutuskan untuk mengecek Changmin di dalam kamarnya, setelah sejak tadi Jaehyun menelepon. Si anak tetangga itu melapor jika Changmin tak membalas pesannya sejak tadi. Dan benar saja, putranya memang ketiduran dan melewatkan detik-detik pergantian umurnya jadi delapanbelas tahun.

“Selamat ulang tahun, sayang. Mama akan selalu berdoa untuk kebahagiaan kamu. Tuhan tahu yang terbaik buat kamu, anak mama yang hebat.”


“Jadi, lo sekarang sama Sunwoo?”

Choi Chanhee baru saja sampai dan satu tanya itu cukup sebabkan Changmin terbatuk. Dia lantas menyeruput iced-cocholate pesanannya dan menghadiahi Chanhee dengan tatapan tajam. “Gue lagi sama kalian, 'kan?”

Lagi-lagi Chanhee menebar seringai usil sementara Juyeon dan Kevin hanya tergelak sembari pasang ekspresi polos seolah tak tahu apa-apa dan hanya melihat bagaimana Chanhee menggoda si cowok Ji. Ya, biarlah itu jadi tugas Chanhee mengusili Changmin. Keduanya cukup menikmati kegaduhan yang dibuat dua orang termuda di antara keempatnya. Lumayan sih, bisa sekalian mengenang masa sekolah dulu.

“Jawab, dong? Benar, ya?” tanya Juyeon iseng. Melihat rona kemerahan tiba-tiba muncul di kedua pipi Changmin, Juyeon bisa memastikan jika gosip itu bukan sekadar gosip lagi rupanya. “Oh, udah move on dari gue, dong?”

“HEH!” Changmin mengamuk lantas menepuk lengan Juyeon. “Gue udah move on dari lama???”

Lee Juyeon tertawa melihat respons mantan pacarnya itu. Dari dulu Ji Changmin tak pernah berubah, bahkan setelah hampir dua tahun mereka berpisah. Juyeon bukannya gagal move on, dia juga sudah punya pacar baru. Hanya saja, melihat bagaimana Changmin salting dan tersipu, mengingatkannya pada masa lalu. Dia masih lucu.

“Lucu, ya? Padahal lo dulu ribut mulu sama dia, eh malah jadi pacar.” Ini lagi, Kevin malah ikut-ikutan mengompori. Changmin hanya menggembungkan pipinya, sebal. Ini pertemuan pertama mereka setelah hampir tujuh bulan sibuk dengan dunia masing-masing, kenapa harus menggosipkan hubungan Changmin dengan Sunwoo, sih?

“Udah, deh. Ganti topik obrolan, dong. Lo semua nggak bosen apa isengin gue?!”

“LOH? KIM SUNWOO?”

EH?

Changmin sontak menolehkan kepala tepat ketika Chanhee teriakkan nama pacarnya sambil melambaikan tangan, seolah sedang menarik atensi seseorang.

“Loh? Kalian masih di sini ternyata?”

Dan benar saja dugaan Changmin. Kim Sunwoo yang baru jejakkan kaki di dalam kafe sudah mengikis jarak hampiri meja Changmin dan para sahabatnya. Si cowok Ji hanya menghela napas dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Merapal umpatan di dalam hati— sial. Kenapa Sunwoo tiba-tiba muncul lebih awal, sih?

“Kirain kalian udah selesai. Kak Changmin nyuruh gue jemput di sini tadi. Sori, sori.” Cowok bak rakun dengan rambut sedikit curly itu bagikan kekehan lebar sembari meminta maaf karena merasa telah mengganggu.

“Oh, asiknya pasangan baru. Hari ini sudah ada skejul untuk berkencan, ya?” Ini Chanhee.

“Nggak sih, kita udah selesai. Ya, 'kan, Changmin? Kamu udah boleh bawa Changmin pergi, kok.” Kalau yang ini Kevin ikutan menambahi.

Dasar usil.

Chanhee tertawa kencang, tak gentar kendati Changmin sudah menginjak kakinya dan menyuruhnya diam sejak tadi. Ya Tuhan, hari ini kenapa Changmin sial banget, sih?

“Oh, ini pacar baru Changmin? Hai, Sunwoo? Kenalin, gue Juyeon—”

“Mantannya Kak Changmin, ya?” Sunwoo lebih dulu memutus kalimat Juyeon dan membuat Kevin ikutan tertawa. “Gue kenal muka lo, Kak. Hehe. Tapi sekarang dia udah punya gue, lho.”

Lee Juyeon hanya tertawa, kedua matanya hampir menghilang saking lebarnya dia tertawa dan berikan anggukan kepala. Dia menepuk lengan Sunwoo sembari berujar, “Iya, gue udah tahu. Tolong bahagiain Changmin, ya? Tenang aja, urusan hati gue sama dia udah kelar, kok. Long last, ya.”

Changmin yang tidak tahan dengan situasi yang menghimpitnya, memutuskan untuk segera angkat kaki. Dia melirik kesal pada Chanhee lantas menggamit lengan Sunwoo sebelum berpamitan pada ketiga temannya. Dia harus segera keluar dari situasi 'menyeramkan' seperti ini.

“Gue balik dulu, deh? Next time gue mau balas dendam. Awas aja!” ujarnya galak kemudian menghentakkan kaki dan menarik lengan Sunwoo untuk keluar dari kafe.

Muka Changmin sudah memerah, entah karena malu lantaran sejak tadi jadi objek iseng kawan-kawannya atau malu karena Sunwoo kini sudah berganti menggenggam telapak tangannya. Membungkus jemari Changmin dengan miliknya serta salurkan kehangatan hanya dengan sebuah genggaman.

“Kak?”

Sunwoo yang sejak tadi hanya diam akhirnya membuka suara. Keduanya sudah sampai di tempat parkir, tepat di samping mobil Sunwoo. Changmin mengangkat wajah demi menatap netra cowoknya sambil bergumam. Matanya mengerjap lucu, dan dia masih menunggu Sunwoo melanjutkan bicaranya.

Sebuah senyum lebar terpahat di wajah tampan si cowok rakun, sebelum dia melepas tautan tangannya dengan milik Changmin dan beralih menangkup pipi tembam pacarnya itu.

“Cium?”

Satu kata itulah yang baru saja keluar dari bibir Kim Sunwoo. Satu kata yang cukup untuk membuat Changmin mengatupkan bibirnya sementara kedua maniknya membulat, masih kebingungan namun Sunwoo menemukan ekspresinya sangat lucu dan menggemaskan.

“Lo kalau lagi malu, suka makin bikin gemas begini, ya?”

Tepat setelah merapal kalimat tersebut, Sunwoo sudah menempelkan bibirnya dengan milik Changmin, menekannya lembut dan hati-hati. Ciuman tersebut bertahan cukup lama lantaran isi kepala Changmin masih terlena serta dadanya pun berdesir tiba-tiba.

“Hehe, manis. Kayak iced-choco.”

Sunwoo terkekeh setelah melepas tautan bibir keduanya, berikan usapan lembut pada sepasang pipi Changmin sebelum menyematkan kecupan singkat di sudut bibir sang pacar, sekali lagi. Sementara wajah Changmin mulai memanas dan bersemu merah muda. Yang tadi itu bukan ciuman pertama mereka sih, namun Changmin masih suka malu ketika Sunwoo bersikap seperti ini kepadanya.

“Ya Tuhan, Kak Changmin stop. Gue bisa cium lo lagi kalau lo masih malu-malu begitu?”

“Berisik. Ayo cepet pergi! Malu dilihat orang.”

“Lego! Kita punya banyak to do list buat kencan hari ini, Kak. Lo udah janji seharian ini bakal sama gue sampai malam.”

Ji Changmin menggerutu kemudian segera masuk ke dalam mobil Sunwoo. Dia mengutuk dirinya sendiri, menepuk-nepuk kedua pipinya sambil menyembunyikan semburat merah yang mungkin masih terlukis di sana. Apa-apaan yang tadi? Berciuman di tempat parkir—astaga, Ji Changmin lo pasti udah sinting.

.

fin.


milkyuways © 2021

Jaehyun di Mata Changmin

Umurnya empat tahun kala itu.

Ji Changmin masih duduk di teras rumahnya menunggu kedatangan kedua orangtuanya. Dia sudah dijanjikan mobil-mobilan baru, dan dia tengah menantikannya dengan dada berdebar. Tepat ketika telinganya menangkap suara klakson di depan pagar, dia melompat kesenangan lantas berlari hendak menyambut mama dan papanya.

Namun, senyum merekah di bibirnya spontan lesap seiring dengan sepasang netranya yang gagal temukan presensi mama dan papa. Bukanlah keduanya yang baru saja datang, melainkan orang lain. Lebih tepatnya keluarga lain, tetangga baru yang akan tempati rumah kosong di depan rumahnya.

Dan di sanalah Changmin pertama kali melihatnya. Cowok itu... cowok yang lantas dikenalnya sebagai Lee Jaehyun. Cowok yang akhir-akhir ini namanya kerap kali membuat kepala Changmin pening. Cowok yang diam-diam selalu disebut namanya, dengan harap dialah yang akan menjadi belahan jiwanya kelak.

“Aku Changmin. Kamu Jaehyun, 'kan? Mama memanggilmu begitu.”

“Mhm. Aku Lee Jaehyun.”

Changmin kecil tersenyum lebar. “Mulai sekarang kita berteman, ya! Jaehyun. Jaehyun. Jaehyun. Akan kupanggil namamu tiga kali dan kamu harus muncul, soalnya kita udah berteman.”

Sejak saat itu keduanya tak terpisahkan. Changmin selalu membutuhkan Jaehyun pun begitu sebaliknya. Bak sepasang saudara kandung, keduanya saling melengkapi. Changmin yang berisik, Jaehyun yang kadang lebih berisik. Changmin yang tidak suka matematika dan Jaehyun yang sebetulnya terhitung anak pintar itu akan selalu membantu mengerjakan PR matematikanya.

Sebetulnya keduanya juga tak sadar kapan mulai menaruh hati pada teman masa kecilnya itu. Terkadang Changmin juga berpikir, apakah rasa menggebu di dalam dadanya hanyalah bentuk rasa nyaman lantaran dia sudah tumbuh bersama Jaehyun sejak dulu? Cinta itu seperti apa, sih? Sangat susah dibedakan.

“Kak, kalau lo nanti ketemu soulmate lo duluan, lo masih mau jadi teman gue nggak?”

Itu percakapan mereka di suatu sore, beberapa tahun lalu, Changmin masih kelas pertama di SMP.

“Ya iyalah? Kenapa harus nggak berteman lagi?”

Haha. Changmin tersenyum sedih. Kenapa di saat seperti ini dia justru tak ingin bertemu Jaehyun? Kepalanya terus memikirkan skenario terburuk tentang hari di mana Jaehyun akan memberinya kabar jika dia sudah menemukan soulmate-nya. Akan jauh lebih baik jika dirinya sama sekali tak tahu dan menutup telinga, bukan?

Setidaknya rasa sakitnya tak akan begitu besar pengaruhnya? Cepat atau lambat dia memang akan kehilangan sosok Lee Jaehyun yang begitu berharga. Satu-satunya orang yang melihatnya tumbuh selain keluarganya sendiri. Satu-satunya orang yang jadi saksi berapa kali Changmin terjatuh kala belajar bersepeda dulu kala. Satu-satunya orang yang begitu mengerti Changmin luar dan dalam.

Dan Changmin benar-benar harus mempersiapkan diri untuk hari itu.

Concern

Entah sudah berapa puluh kali Changmin selalu menolak ajakan random Jaehyun untuk pulang bersama semenjak hari ulang tahunnya yang ke-18. Mulai dari rapat klub, urusan kelas, mengerjakan tugas kelompok, proyek menjelang ujian semester, bahkan dijemput sang kakak sudah dilontarkan Changmin. Jaehyun tahu semuanya hanyalah alibi belaka. Jaehyun tahu kalau cowok yang tumbuh bersamanya itu sedang melancarkan aksi 'mari menjauhi Lee Jaehyun' atau apalah namanya.

Ji Changmin menghindarinya, dan jangan tanyakan apakah Jaehyun baik-baik saja dengan perubahan itu.

Mereka masih saling mengabari dalam beberapa kesempatan, masih suka pergi berdua, namun tetap saja intensitasnya jauh lebih berkurang. Tak ada lagi ucapan selamat pagi dari si cowok Ji. Dia hanya akan menghubungi Jaehyun untuk hal-hal yang darurat saja.

“Sun, Changmin baik-baik aja, 'kan? Jujur sama gue. Ini udah hampir bulan Juni dan itu artinya udah hampir total sembilan bulan dia jadi aneh.”

“Aneh gimana sih, Bang? Biasalah, lo kayak nggak tahu dia aja. Sejak lo dapet tuh tanda soulmate, dia selalu panik. Mikirin gimana nasib dia nanti,” jawab Sunwoo santai sambil menyeruput milkshake-nya.

Sementara Haknyeon daritadi hanya bungkam, hikmat menikmati waffle yang dipesannya sambil menanggapi sesekali. Ketiganya berkumpul tanpa Changmin. Ya, seperti biasa. Alasan aneh lainnya yang disebutkan tadi demi menolak ajakan Haknyeon untuk sekadar hangout bersama.

“Dia tuh nggak lagi marah sama gue 'kan, ya? Sumpah, gue berasa orang bego, clueless banget lihat dia tiba-tiba kayak berubah gitu.”

“Bukannya lo sama dia masih sering jalan bareng, Bang?”

“Tahu, tuh! Kemarin aja lo baru nonton di bioskop berdua, 'kan? Apanya yang berubah, sih? Gue rasa sama aja.”

“Yep. Bang Jae masih suka bucin, Kak Changmin kadang juga masih suka post sesuatu soal lo di Twitter.”

Jaehyun menghela napas lantas mengusak rambutnya, sedikit frustrasi. “Ah, lo berdua nggak akan paham. Pokoknya Changmin berubah sama gue, dan bikin khawatir.”

“Eleuh, bucin betul nih abang satu. Positive thinking, Kak Changmin juga emang akhir-akhir ini sibuk sama kegiatan klub, plus event juga bukannya?”

Sunwoo mengangguk, menyetujui kalimat Haknyeon. Dan lagi-lagi itu membuat Jaehyun kesal.

Apa iya Jaehyun hanya terlalu sensitif dan berlebihan? Akhir-akhir ini dia memang jadi agak uring-uringan soal banyak hal. Jadwal ujian yang semakin dekat, masa depannya setelah lulus SMA juga memberatkan kepala. Dan omong-omong soal tanda hati berwarna hitam... masih terlihat di ujung kelingkingnya, kok. Tandanya masih ada di sana. Ya, cowok itu belum bertemu belahan jiwanya bahkan setelah hampir sembilan bulan sejak dia pertama kali mendapatkannya.

Seharusnya dia menikmati hidupnya bersama Changmin selama 'dia yang ditakdirkan untuknya' belum muncul, bukan? Tapi, kenapa malah seperti ini? Kenapa Changmin malah terlihat seolah sedang menjauhinya?

Happy Birthday!

Seharusnya Changmin tidak perlu repot-repot untuk datang menginvasi rumah Jaehyun pagi buta begitu. Seharusnya dia juga tidak membangunkan sang Mama demi membantunya buatkan panekuk untuk diberikan pada Jaehyun. Ya, seharusnya sih memang begitu, tapi Changmin tak mau hanya datang tanpa bawakan apa pun untuk orang terdekatnya itu.

Maka ketika netranya menangkap sosok Jaehyun yang sudah mengikis jarak lantas bukakan pagar rumahnya, senyum di wajah si pemuda Ji sudah mengembang. Mereka berpisah hanya dalam hitungan jam, namun Changmin kepalang merindukannya. Jaehyun baru akan menyapanya ketika Changmin sudah menubrukkan dirinya pada si tetangga.

Pelukannya sangat erat, cukup untuk membunuh rasa dingin yang sejak tadi melingkupi tubuh kecil Changmin. “Ha... lo udah delapanbelas tahun, Kak,” ucapnya pelan. Dia bahkan tak sadar jika sudut matanya sudah basah.

Jaehyun yang kebingungan hanya terkekeh sambil menepuk pelan punggung Changmin. Sepersekon berikutnya sang tuan rumah sudah menarik tangan Changmin, menyeretnya masuk ke dalam rumah. “Katanya tadi dingin, ayo masuk!”

“Loh? Changmin?” Itu Mama Jaehyun yang bertanya. Tampak sedikit terkejut melihat presensi anak tetangga sekaligus teman Jaehyun dari kecil itu sudah menampakkan batang hidungnya pagi buta begini. “Jaehyun bikin kesalahan apa lagi sampai dijemput pagi-pagi begini?”

Changmin hanya meringis dan gelengkan kepala, “Nggak, Tante. Cuma mau ngucapin selamat ulang tahun, tapi kayaknya ini kepagian, ya? Hehe.”

Mama Jaehyun hanya tertawa, hendak mengomentari lebih lanjut kalau saja Jaehyun tidak usil dengan menarik Changmin ke dalam kamarnya, sengaja bawa dia kabur dari Mama. Jaehyun tak suka berbagi atensi Changmin- bahkan dengan mamanya sendiri.

“MAU LIHAT!!!” pekik Changmin lantas menarik tangan kanan cowok yang lebih tua setahun darinya itu. Maniknya berbinar melihat bentuk hati berwarna hitam yang sudah tercetak di sana. “Cantik banget!! Astaga, nggak nyangka kalau bakalan secantik ini? Jadi kayak ada tatonya, ya?”

Binar mata penuh kekaguman itu menatap ke arah Jaehyun, sebelum kembali fokuskan atensi pada si pengantar takdir. “Punya gue masih akan muncul tahun depan. Lamaaaaa, padahal gue udah nggak sabar!”

“Oh iya, gimana rasanya? Kata Mama sakit, ya?”

Jaehyun terperenyak. Barangkali ada lima puluh sekon dia sibuk mengagumi sosok di depannya sebelum kembali dilempar pada kenyataan. Dia mengembuskan napas sejenak, lantas berdeham.

“Mhm, sakit, gatal, dan terasa sedikit panas. Terus tahu-tahu udah ada tuh hati warna item aja. Gue kira bakal ada yang lebih ajaib, ternyata begitu doang. Cil, berani taruhan besok kalau lo dapet juga, lo bakal nangis.”

Changmin memberengut, kemudian memukul lengan Jaehyun. “Ish, sempet aja ngeledek. Kak, lo selangkah lagi ketemu jodoh lo, tahu. Gimana rasanya? Deg-degan nggak?”

Genggaman tangan Changmin dilepas begitu saja, Jaehyun lantas meraih kotak makan yang tadi diletakkan di atas nakas. “Wah? Panekuk? Ini siapa yang bikin? Mama?” Ya, alih-alih menjawab, si cowok Lee malah mengalihkan pembicaraan.

“Enak aja. Ini gue yang bikin?? Cobain cepet!! Kalau nggak enak, jangan dimakan.”

Tapi sepertinya Changmin juga tak terlalu memedulikan tingkah aneh si tetangga. Netranya mengamati sosok Jaehyun yang kini sudah menyantap panekuk buatannya. Sesekali cowok itu mengangkat jempol tanda jika rasa panekuknya masih layak untuk dikonsumsi.

Ha. Semakin lama bareng sama lo, semakin gue berharap sama hal yang nggak pasti, Kak. Gue nggak seharusnya begini, 'kan?

“Oh iya! Kak, selamat ulang tahun. Gue yakin lo bakal jadi lebih keren tahun ini- ah, nggak deh, gue tetep paling keren nomor satu.”

Tentang Jaehyun

Sudah hampir jam tiga dini hari, namun cowok bernama Lee Jaehyun itu belum juga memejamkan matanya. Pikirannya berkecamuk. Perihal menginjak umur delapanbelas tahun, soulmate, masa depan, serta Ji Changmin bergantian menyerbu kepalanya. Ada banyak yang hal menahannya terserang kantuk.

Tepat tengah malam tadi, saat pergantian detik dari tanggal duabelas ke tigabelas, tiba-tiba kelingkingnya yang sebelah kanan terasa sangat panas. Gabungan antara rasa panas, sakit, dan gatal yang begitu hebat tiba-tiba saja sudah menimbulkan simbol hati berwarna hitam di sana. Simbol magis yang konon akan mengantarnya berjumpa dengan sang belahan jiwa.

Mama sempat heran, Jaehyun sama sekali tak menunjukkan reaksi apa pun selain mendesiskan bibirnya. Sangat berbeda reaksinya dengan sang kakak yang dulu bahkan sampai menangis lantaran tak sanggup menahan rasa sakit dan gatal yang berlebihan. Perempuan paruh baya itu juga menangkap gurat tak berminat yang terpancar dari wajah tampan sang anak lelaki.

“Ma, kenapa ya, Tuhan juga harus mengatur dengan siapa kita akan menghabiskan sisa umur kita? Kenapa kita nggak bisa suka dengan orang yang kita mau?”

Tepat setelah lontaran kuriositas tersebut menguar dari mulut sang anak, Mama pun akhirnya paham. Lee Jaehyun sudah memiliki seseorang yang dia inginkan di ujung seberang benang merahnya.

“Ma, dulu waktu ketemu Ayah apa nggak kaget? Ayah bilang from stranger to soulmate, bukan?” tanya Jaehyun lagi setelah mengamati simbol hati di ujung kelingkingnya sekali lagi. “Aku takut, Ma.”

Mama tak langsung merespons, dia hanya menarik tubuh sang anak dan mendekapnya erat. Ditepuknya pelan punggung Jaehyun dan coba beri ketenangan. Dan tengah malam itu akhirnya Mama menceritakan semuanya. Perihal tanda hati berwarna hitam, takdir, serta belahan jiwa.

Hati berwarna hitam itu akan berubah warna menjadi merah terang ketika seseorang telah bertemu belahan jiwanya. Hati berwarna merah lantas membentuk benang merah yang kemudian menuntun setiap manusia pada takdirnya. Saling terikat, berbagi suka pun duka, lantas habiskan seluruh sisa hidup bersama-sama. Konsep yang terdengar sangat ajaib dan menyenangkan, ya?

Namun, Jaehyun sama sekali tak merasa bahagia rupanya.

Konsep tanda hati tersebut justru terdengar sangat payah dan menyebalkan. Lagi-lagi dia kesal, kalau memang sejak awal Tuhan sudah menentukan takdir semua manusia, lantas mengapa Tuhan juga membuat dia jatuh cinta pada seseorang yang tidak akan jadi soulmate-nya? Kenapa Tuhan tidak membuat konsep bahwa manusia hanya akan jatuh cinta pada soulmate-nya saja, sih?

Kenapa?

Kenapa semua terasa menakutkan sekaligus menyedihkan? Jaehyun tak mungkin sampai bertindak bodoh dengan melawan takdir, dia juga tak yakin Changmin mau melakukannya. Ya, Mama juga bilang jika sebetulnya setiap orang bisa menghapus tanda tersebut kalau memang dirinya ingin, menentang takdir dan coba hidup dengan jalannya sendiri. Namun, tak ada yang mengerti masa depan seperti apa yang akan menunggu setelah kalian menentang Tuhan. Mama sempat melarangnya melakukan hal tersebut.

Jaehyun menghela napas panjang. Bagaimana caranya dia tertidur jika nanti dia terhantam kenyataan bahwa Changmin bukanlah seseorang yang berada di ujung benang merahnya? Dilihatnya lagi tanda hati tersebut lamat-lamat.

“Hey, tolong sambungkan red string-nya dengan milik Ji Changmin, ya? Gue cuma sayang sama dia, tolong bilangin ke Tuhan,” bisiknya pelan sebelum menggerakkan badannya untuk kembali merebahkan diri dan coba untuk tidur.