monokrowm

haeziel langsung berlari mendekati renanda dan yang lain. sedangkan jevierno baru saja ingin menyusul haeziel, tapi urung karena ia sudah ditarik lebih dulu oleh harris.

“foto dulu lah, bro. kenang-kenangan.”

kembali ke haeziel.

“gimana yugo?”

mereka berempat sudah berdiri melingkar di tengah lalu lalang orang-orang di malam itu. jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. tepat.

“yugo udah diurus sama yang lain. lagi diobatin.” jawab sena.

“kejadiannya gimana?” tanya haeziel, lagi. raut wajahnya berubah serius kala mendengar kabar salah satu teman baiknya itu.

“yugo dihadang tengah jalan. tiba-tiba langsung di keroyok gitu aja. kurang lebih ada lima orang dan yugo cuma sendirian.”

haeziel berdecak. “motif?”

“belum tau.” ucap mirza sembari menggeleng.

renanda menjentikkan jarinya lalu menunjuk haeziel. yang ditunjuk malah bingung, “apa lo.”

“bisa jadi ga sih, tujuan sebenernya itu lo. inget cewek yang waktu itu lo keluarin? dia kan dari sma angkasa juga.” jelas renanda yang membuat semua mengangguk setuju.

“bisa jadi tuh. terus gimana nih?” tanya sena.

“kita omongin besok.” jawab haeziel tegas.

“WOI!”

merasa terpanggil, haeziel, renanda, sena, dan mirza sontak menoleh ke arah suara. itu harris.

“sini foto. ngapain coba melingkar gitu, konferensi meja bundar?”

“itu ga ada meja, njir.” kata rico sembari menoyor kepala harris.

“terus apa dong?”

“konferensi berdiri bundar.”

celetukan haeziel sukses membuat suasana cair. mereka semua tertawa, kecuali jevierno.

haeziel melihat bingung ke arah telapak tangan jevierno yang diarahka kepadanya. “ngapain?”

“tangan lo.” jawab jevierno sembari melihat lurus ke depan. sedangkan di sampingnya, haeziel pelan tapi pasti menaruh satu tangannya di atas telapak tangan jevierno tadi.

“udah.”

jevierno menoleh untuk menatap haeziel. perlahan ia tautkan jemari tangannya dengan milik haeziel. mereka berpegang tangan untuk pertama kalinya.

“ayo jalan lagi.”

“bagus ya, bel baru bunyi tapi udah di kantin duluan.” celetuk nares yang ditujukan untuk empat orang yang duduk di bangku kantin.

“suka-suka, siapa suruh ke kantin pas nunggu bel.”

“ini adalah strategi supaya kita bisa kebagian makanan dan bisa makan lebih tenang.”

“bener, tuh. biar ga di kejar waktu.”

“biar engga desak-desakan juga.”

nares menggeleng ketika mendengar ucapan dari renanda, haeziel, sena, dan mirza. “sesat nih anak-anak.”

“na, jevierno mana?” tanya haeziel.

“jevier tadi bilang kalau agak telat ke kantin. lagi di panggil pak satria— itu anaknya.”

haeziel dengan cepat menoleh ke arah jevierno datang. senyumnya mengembang begitu melihat jevierno juga mengembangkan senyum. namun tak lama senyum haeziel berubah menjadi decakan kesal. bagaimana tidak, saat jevierno tersenyum langsung saja para murid terfokus pada jevierno. tak sedikit pula yang berteriak histeris.

lebay, kata haeziel.

tiba-tiba saja haeziel berdiri membuat jevierno yang ingin mendekatinya jadi berhenti.

“mau ngapain lo?” tanya renanda.

“MULAI HARI INI GUE SAMA JEVIERNO SEDANG DALAM MASA PDKT. LO SEMUA JANGAN KEGATELAN SAMA CALON COWOK GUE.”

suasana kantin senyap, tak ada suara setelah haeziel berteriak. bahkan teman-teman mereka pun speechless.

semua pasang mata tertuju pada jevierno, seperti meminta kebenaran.

“iya, gue sama haeziel lagi pdkt. ikutin kata calon cowok gue ya.”

rasa rasanya jantung haeziel mau lepas dari tempatnya saat jevierno secara tiba-tiba memeluk dirinya. bahkan haeziel belum selesai membalas pesan dari orang yang tengah memeluknya saat ini. keduanya sama-sama sedang duduk di sofa saat ini.

“ma—maksud lo apa anjir tiba-tiba peluk gue kayak gini?!” tanya haeziel dengan nada cukup tinggi. percayalah, ia melakukannya supaya tidak kelihatan terlalu gugup.

jevierno diam. ia melingkarkan kedua tangannya pada pinggang haeziel lalu memeluknya erat dengan kepala yang ia tumpu pada pundak haeziel. “tadi lo bilang chat dari gue burem, kan? ini mau gue perjelas. gue, jevierno elrana cemburu lihat haeziel chandratama deket-deket sama harris. tapi lebih cemburu lagi karena lo sama renanda bisa pelukan kapan aja.”

“misi lo sama harris berhasil. selamat ya, mbul.”

selama jevierno berbicara, haeziel terus menatap jevierno. berusaha mencari kebohongan, karena takut-takut jevierno hanya berpura-pura menyukainya juga. tapi, haeziel tidak menemukan sedikit pun.

“kenapa lo bisa tau gue sama harris cuma bohongan?”

simple, harris cinta mati sama mirza.”

kini keduanya saling bertatapan. selang beberapa detik kemudian, jevierno kembali membuka suara. “sadar engga? kalau di luar baru aja ada suara petir. tapi, lo engga takut atau kaget sama sekali.”

haeziel mengerjapkan matanya bingung, “masa sih?”

“iya.” jevierno perlahan melepaskan pelukannya dan bagkit dari sofa. “maaf, gue tiba-tiba peluk lo gitu aja. lo udah engga takut lagi, kan? gue pulang ya. tugas gue udah selesai hari ini.” ucap jevierno diiringi senyuman dan satu tangannya yang mengusak lembut rambut haeziel.

haeziel termenung melihat jevierno berlalu pergi. bahkan sampai pintu tertutup dan sosoknya tidak terlihat lagi sejauh mata memandang, ia tetap terdiam.

haruskah ia menerima penawaran jevierno tempo hari?

pintu terbuka memperlihatkan haeziel tengah menutup kedua telinganya dengan kedua tangan. “masuk.” haeziel mempersilahkan jevierno untuk masuk lalu ia berjalan ke arah ruang tengah.

jevierno membuka sepatu dan kaus kakinya sebelum melangkah masuk ke dalam. ini kedua kalinya ia menginjakkan kaki di apartemen haeziel. begitu masuk, tatapannya langsung tertuju pada jendela berukuran cukup besar yang memperlihatkan langit sore yang kini berwarna abu-abu hingga hitam pekat serta beberapa kali terlihat cahaya kilat.

menaruh tas sekolahnya di sofa, jevierno mendekati jendela itu lalu menutupinya dengan gorden. “jangan dilihat.”

“apa?”

“langit di luar.”

haeziel hanya mengangguk, karena sungguh, detak jantungnya berpacu dengan sangat cepat saat ini. ia takut jika kejadian seperti di rooftop kembali terulang. itu sangat memalukan.

“lo mau minum apa? biar gue bikin—” ucapan haeziel terpotong begitu saja kala suara petir kembali terdengar. ia memejamkan kedua matanya erat dan menutup telinganya rapat. yang tadi itu mengagetkan sekali.

“haeziel.”

membuka kedua matanya kala namanya di panggil, hampir saja haeziel melompat ke belakang ketika melihat jevierno berdiri tepat di depannya.

“ke—kenapa?”

“ga perlu repot bikinin gue minum. gue disini buat jagain lo, bukan buat cobain minuman yang lo bikin.”

“kurang ajar.”

jevierno mengangkat kedua bahunya masa bodoh. “biasanya lo sama renanda kalau kayak gini ngapain aja?”

“pelukan.”

mobil jevierno berhenti ketika sampai di area parkir basement apartemen haeziel.

“makasih.” ucap haeziel sembari membuka seatbelt dengan cepat.

“tunggu.”

sebuah tangan kembali memegang tangannya. tatapan haeziel tertuju kepada jevierno.

“apa?”

“gue mau ngomong sama lo.”

“soal?”

“soal ajakan gue tempo hari lalu.” ujar jevierno tegas sembari menatap kedua mata haeziel.

yang ditatap justru mengalihkan pandangannya. berusaha untuk tidak tersenyum, walaupun semburat merah muda perlahan muncul pada kedua pipi gembilnya.

“haeziel, liat sini.”

“ga mau! ka—kalau mau ngomong ya udah ngomong aja.”

“lo beneran suka sama harris atau akal-akalan lo buat balas dendam?”

“pulang sama gue.”

haeziel baru saja ingin naik ke jok belakang motor harris terhenti karena tangan kanannya di tahan oleh seseorang.

“gue mau pulang sama harris.” ucap haeziel sembari berusaha melepaskan tangannya.

“pulang sama gue. gue perlu ngomong sama lo.” ujar jevierno penuh penekanan kepada haeziel.

okay, suasana sekarang cukup menyeramkan.

“o-oh iya, hahahaha haeziel gue lupa nih, gue harus anter bunda ke rumah temennya. jalannya kapan-kapan aja ya. hehehe punten pak bos.” harris langsung melajukan motornya dengan cepat meninggalkan area parkir.

haeziel berdecak kesal. gagal rencananya untuk hari ini.

“ayo, cepetan. mana motor lo?”

“gue bawa mobil.”

“seru banget kan, ya? nonton yuk, mumpung filmnya masih ada di bioskop.”

“bioskop deket sini masih ada?”

“MASIH! YUK NONTON YUUKKK.”

perhatian jevierno yang tengah mengobrol bersama teman osis-nya teralihkan ketika mendengar suara haeziel yang sedang mengobrol dengan harris, lagi.

tumben, pikirnya. haeziel dan harris ini anak ips, tapi kenapa lewat tangga yang dekat dengan kelas anak ipa?

jevierno terus memperhatikan haeziel dan harris, sampai tatapannya menyipit tidak suka.

“stoopp. berhenti, saya sepertinya mencium aroma.. aroma coty! wihh, harris gandeng haeziel nih.” ucap salah satu murid kala haeziel dan harris berjalan.

“iyaaa dong, gue sama harris mah pasti coty.” kata haeziel menanggapi ucapan dari murid di depannya sembari menyenderkan kepalanya pada pundak harris.

haeziel tau betul ada jevierno yang sedang memperhatikannya.

harris membalas dengan merangkul pundak haeziel, “doain aja ya yang terbaik buat kita berdua. semoga kedepannya ada hilal dan mohon di tunggu undangan perni—”

“heh, masih sekolah!” potong haeziel sembari mencubit pinggang harris.

“sakit— cuma bercanda yang.”

“MAKSUD LO MANGGIL YANG?”

“peyang, tuh kepala lo peyang— AMPUN WOI. TOLONG GUE DI KEJAR BERUANG NGAMOK.”

“HARRIS!”

haeziel dan harris kini berlarian di lorong kelas. tak jarang kedua saling melontarkan tawa.

jevierno? ia sedang meremat kuat botol minuman plastik sampai tak berbentuk. nares yang melihatnya sampai bergidik ngeri.

baru saja memasuki area kantin, jevierno langsung disuguhi pemandangan dimana haeziel dan harris tengah bercanda dan tertawa lepas. tidak ada teman yang lain, hanya mereka berdua.

berusaha masa bodoh, jevierno melengos begitu saja berbelok ke arah kanan untuk masuk ke kantin lebih dalam. wajahnya jauh lebih datar dari sebelumnya.

“lo yakin ini berhasil?”

“yakin, lah! rencana haeziel chandratama tuh selalu berhasil.”

“apaan, waktu lo mau kabur ke puncak aja gagal.”

“diem deh lo, berisik.”

kali ini jevierno dapat menghindari bantal melayang dari haeziel. dapat ia lihat wajah haeziel yang memerah kesal bercampur malu. salting, mungkin?

“gue ga tau udah kesekian kalinya gue bilang ini, tapi asli, lo benar-benar nyebelin banget!” ujar haeziel sembari meniup poninya di akhir kata.

jevierno bersender pada sofa dengan menatap lurus ke haeziel. “lo ga penasaran di malam itu lo ngapain aja?”

“malam apa?”

“pas lo mabuk.”

“ga mau.”

“ya udah, gue kasih tau.”

“gue bilang ga mau???”

“gue tetep kasih tau. setelah gue berhetiin lo sebelum lo minum lagi, tiba-tiba aja lo berdiri dan peluk gue erat banget. sambil bilang 'yeaaaay, jeje datang!'

kedua mata haeziel membola kaget. bisa-bisanya ia melakukan hal seperti itu?!

jevierno memposisikan tubuhnya menghadap haeziel, “sampai renanda sama nares berusaha lepasin pelukan lo dari gue. ga bisa. sekalinya bisa, lo malah nangis. terus bilang kalau renanda dan nares itu jahat, soalnya mau pisahin lo dari gue.”

wajah haeziel semakin memerah malu. sungguh, ini di luar pemikirannya. “udah.. i—itu aja?”

“siapa bilang udah selesai? this is the best part.” jevierno tersenyum kecil, “lo peluk gue terus sepanjang perjalanan pulang. bahkan gue harus gendong lo ala koala sampai ke kasur. gue ga masalah sama sekali harus lakuin semua demi lo. karena dari situ, gue tau kalau sebenernya gue suka sama lo.”

“hah?”

“gue suka sama lo, haeziel chandratama. dari lama. tapi, gue baru sadar sekarang.” tawa canggung keluar dari bibir jevierno sembari mengusap belakang lehernya canggung.

“dan bodohnya gue kira, gue suka sama renanda. gue minta maaf.”

haeziel terdiam, ini semua terlalu mendadak.

“lain kali tolong, utamain kebahagiaan lo, ya?” jevierno bangkit, masa bodoh jika harus mendapat lemparan bantal lagi.

ia sedikit menunduk, mensejajarkan wajahnya di depan wajah haeziel yang merah padam. “gue tau ini tiba-tiba banget, tapi.. lo mau lebih deket sama gue?”

demi apapun, detak jantung jevierno kini berpacu dengan cepat. rasanya ingin copot.

“jevierno.”

“ya?”

“maaf.. tapi, gue uncrush ke lo.”