monokrowm

benar kata nares, di lapangan sudah berdiri haeziel seorang diri di tengah matahari bersinar terik. jelas, saat ini jam menunjukkan pukul sebelas tepat.

“jevierno, sini nak.”

jevierno berjalan mendekat bu tami —guru yang tadi memanggilnya— dengan arah mata terus tertuju pada haeziel.

“ibu minta tolong ya, jagain anak bandel itu sampai bel istirahat. biarin dia berdiri di sana. jangan sampai kabur. ibu percayakan ke kamu. toh, kamu biasanya juga yang ngurus dia, kan? nak nares, ibu duluan ya.”

nares spontan tersenyum kepada bu tami. namun setelahnya senyum itu luntur setelah sang guru pergi. nares mendekati jevierno, “tuh guru dah gila kali yak? ini sampai jam istirahat masih empat puluh lima menit, njir.”

jevierno tidak merespon. tatapannya kembali tertuju pada haeziel yang sedang menunduk untuk menghindari sinar matahari dengan kedua tangannya terlipat di depan dada.

dalam hati ia membenarkan perkataan nares kalau guru satu itu gila. bagaimana bisa ia harus mengawasi haeziel? dan juga, jevierno merasakan keanehan pada ucapan sang guru. entahlah, seperti ada sesuatu yang tersirat.

“udah, ikutin aja dulu maunya guru itu.”

“lo emang harus gue gandeng terus kalau lagi jalan bareng.”

fyi, gue bukan anak kecil.”

haeziel mencebikkan bibir kesal. setelah insiden 'haeziel keselek cilok di depan jevierno', mereka berdua memutuskan pergi ke taman kota yang lokasinya dekat dari tempat mereka makan tadi. ya, untuk sekedar jalan-jalan sore.

tertawa kecil, jevierno semakin erat menggenggam tangan haeziel. “iya, bukan anak kecil.”

“terus kenapa masih di gandeng?!”

“suka-suka gue.”

“bangke.”

kedua terdiam. saling menikmati suasana dan pemandangan yang ada. langit sore bewarna oranye, semilir angin yang berhembus, anak-anak kecil saling bermain dan berlarian, bahkan tak jarang terlihat beberapa pasangan kekasih.

“gue serius soal yang gue bilang di chat. ayo deket lagi.”

“tapi, gue mau tanya dulu.”

“silahkan.”

“hari itu, di basecamp, kenapa lo tiba-tiba pergi? lo ajak gue pulang bareng, tapi kenapa lo jadi pulang sendiri?”

jevierno berhenti melangkah, begitu juga dengan haeziel. keduanya kini saling berhadapan. menatap satu sama lain.

“gue marah.”

“lo marah sama gue?”

jevierno mengangguk, “maaf, ya?” ucapnya sembari mengusap lembut punggung tangan haeziel yang tengah ia genggam dengan ibu jarinya.

“lo harusnya bilang kalau marah. jujur, gue bingung. awalnya gue fikir lo marah, tapi lo masih hubungin gue. jadi gue bingung...”

“gini—”

“tunggu! IYA LO MARAH. walau kita masih ada interaksi, lo tuh lebih dingin dari biasanya tau engga? cuek banget kayak bebek— engga usah ketawa lo!”

jevierno tertawa kecil karena omelan dari haeziel. menurutnya itu lucu. bibirnya yang bergerak lucu, begitu juga sorot matanya. apalagi kedua bibir gembulnya itu.

menarik nafas perlahan, raut wajah jevierno berubah serius. “haeziel dengar. gue marah karena khawatir sama lo, tapi lo seolah ngeremehin rasa khawatir gue. gue tau, harusnya engga boleh kayak gini. lo sendiri bisa berantem. tetap, engga bisa di pungkiri kalau gue khawatir sama lo. gue aneh? iya.”

haeziel memilih diam mendengarkan semua penjelasan jevierno.

“soal gue yang masih hubungin lo, karena gue engga mau jauh dari lo. ya, walaupun kita jadi agak jauh sih.” jelas jevierno panjang lebar yang diakhiri dengan tawa canggung.

“kenapa marahnya tiga hari?” tanya haeziel.

“karena kalau marah kan engga boleh lebih dari tiga hari. ya udah, tiga hari aja.”

“bangsat lo.” haeziel memukul lengan atas jevierno dengan kesal.

“kok mukul?”

haeziel kembali memukul lengan atas jevierno, “lo ngeselin! kalau marah tuh dari awal bilang, jangan diem aja. pokoknya kalau apa-apa tuh langsung bilang. biar gue juga bisa langsung tau salah gue dimana. ngerti?” omel haeziel.

tangan jevierno terangkat untuk mengusap rambut haeziel. “ngerti. tapi pelan-pelan ya, gue orangnya emang begini.”

haeziel berhenti melangkah saat tangannya ditahan seseorang. Terkejut saat melihat jevierno lah yang menahan tangannya.

“mau kemana?” tanya jevierno.

“ya mau pulang.” jawab haeziel sembari mencoba melepaskan tangannya dari genggaman jevierno.

jevierno malah menarik tangan haeziel sampai haeziel tertarik dan mendekat ke arahnya. “pulang sama bule itu maksudnya? ga boleh.”

“suka-suka gue. lo tadi ke kelas gue terus ngajak pulang bareng tapi tau-tau pergi gitu aja tuh maksudnya apa, hah? gue di tinggal—”

“bawel.” sela jevierno dengan satu tangannya yang menutupi mulut haeziel supaya berhenti berbicara.

kesal, haeziel menggigit telapak tangan jevierno dengan keras sampai jevierno meringis lalu berlari menjauh dari jevierno secepat yang ia bisa.

baru saja sampai di area parkiran khusus pada siswa, haeziel merasa tubuhnya terangkat di udara.

“ANJIR, WOI TURUNIN!”

“JEV, LO JANGAN GILA. TURUNIN GUE.”

“TURUNIN GUE, BANGSAATT.”

haeziel heboh sendiri. mencoba melepaskan diri dari gendongan jevierno. ya, jevierno menepati ucapannya.

ralat, ketikannya.

tenang, jevierno merasa tidak terganggu dengan tingkah heboh haeziel yang mencoba turun dari gendongannya dengan sesekali memukuli punggung jevierno.

“pulang sama gue.”

“GA MAO! LO NYEBELIN BANGET. GUE MALU, ANJING. TURUNIN!”

“ITU KAK MAHEN GIMANA?”

“bodo amat.”

“ANJIR YA ORANG INI. AT LEAST LO GENDONG GUE YANG NORMAL. JANGAN KAYAK BAWA KARUNG BERAS.”

“berarti selain gaya itu gue boleh gendong lo?”

“GA GITU MAKSUDNYA WAHAI JEVIERNO ELRANA!”

“haeziel di cari sama pak ketos nih.”

haeziel menghapus papan tulis kala mendengar temannya yang mengatakan jika dirinya di cari oleh pak ketos yang tidak bukan adalah jevierno. ia menaruh penghapusan papan tulis lalu berjalan keluar kelas. benar saja, jevierno sudah di depan kelasnya, bersandar pada besi pembatas.

“kenapa?”

“ayo pulang.”

“gue masih piket. belum lagi mau kerkom di sini.”

jevierno mengangguk paham lalu berdiri tegak dari posisi menyandarnya, “oke.”

setelah berucap sepatah kata singkat, padat, dan jelas, jevierno berlalu pergi meninggalkan haeziel. udah, begitu saja. haeziel sampai melongo bingung.

“tuh orang kenapa, njir.”

entah ini sudah pertanyaan dan obrolan ke berapa yang haeziel lontarkan kepada jevierno selama perjalanan mereka menunju sekolah.

“kenapa ya kalau emak-emak naik motor tuh berasa kayak penguasa jalan?”

“jev, disana ada toko baru!”

“lo hari ini ada ekskul?”

“ada rapat osis?”

“eh, masa katanya pak wawan botak tau. di kasih tau renan nih barusan.”

sayang, semuanya mendapat respon tidak memuaskan —bagi haeziel—. jevierno hanya membalas dengan iya, tidak, mengangguk dan menggeleng.

haeziel cemberut selama perjalanan sampai ke sekolah.

“haeziel, kenapa?”

“maksudnya?”

“berantem— atau gimana lah lo sebutnya.”

“oh, itu. cuma balas dendam dan peringatan doang. sedikit.”

“harus?”

haeziel mendongakkan kepalanya kala mendengar pertanyaan jevierno dengan nada suaranya yang agak tidak mengenakan, begitu juga dengan raut wajahnya.

“sekali lagi, apa harus lo dan yang lain lakuin hal yang tadi?”

“harus.”

jawaban haeziel membuat jevierno menghela nafas berat. ia mengalihkan pandangannya dari haeziel. “kalau gue minta lo untuk engga lakuin itu, apapun alasannya, gimana?”

kini kedua kembali bertatapan.

ada jeda di antara mereka berdua, suasana hening. hanya terdengar suara deru dari air conditioner dan suara tawa atau teriakan dari luar basecamp yang berasal dari teman-teman mereka.

suasana hening akhirnya terpecah setelah haeziel tertawa geli. “ya engga bisa lah. gue bakal tetap lakuin hal yang kayak tadi, apapun alasannya.” jawab haeziel santai.

haeziel dapat merasakan tatapan tajam di hadapannya, tapi ia berusaha tetap terlihat santai. padahal hatinya udah terasa campur aduk.

“udah gue kasih tau juga. gue sama yang lain barantem sama orang-orang bangsat itu karena mereka duluan yang hajar yugo sampai babak belur dan mereka juga ajak duel. mereka bilang gue lemah, ya gue engga terima!” haeziel melanjutkan penjelasannya sembari sesekali melirik ke arah jevierno.

“gue engga terima alasan apapun. pokoknya lo engga boleh berantem sama orang-orang tadi lagi, terima duel, dan lainnya yang berhubungan sama adu jotos. ayo pulang.”

setelah jevierno berucap, ia langsung menggenggam erat tangan haeziel dan berjalan menuju pintu.

“kalaupun alasannya cuma mau balas dendam karena teman baik di hajar habis-habisan? tetap engga boleh?”

langkah jevierno terhenti sejenak ketika mendengar pertanyaan dari haeziel. “engga.”

“orang kayak lo emang susah sih di ajak ngobrol soal begini. secara temen lo cuma sedikit, bahkan bisa dihitung dengan jari.”

“coba ulang.”

dengan posisi haeziel berada di belakang jevierno dan jevierno yang membelakangi haeziel, suasana kembali hening sejenak. tapi, dengan adanya sedikit ketegangan yang terasa. karena sungguh, bagi haeziel sekarang ini jevierno menyeramkan.

“temen lo cuma sedikit, jadi lo engga akan tau rasanya tau temen babak belur sama orang lain.”

jevierno diam. marah. tapi, tidak marah karena perkataan haeziel barusan, toh haeziel bukan orang pertama yang berkata seperti itu padanya. ia marah karena hal lainnya.

“terserah.” memilih untuk pergi, jevierno melepaskan genggaman tangannya dan melangkah pergi meninggalkan haeziel sendirian.

“maaf.”

“lo bikin gue panik setengah mati.”

“iyaaa, maaf.”

“mulai besok harus pulang sama gue.”

“kalau gue ga mau?”

“lo bakal gue gendong sampai parkiran.”

“orang gila.”

jevierno dan kawan masuk ke dalam basecamp milik tim haeziel. sontak semua orang didalam menoleh ke arah pintu. tak terkecuali haeziel. tatapan haeziel dan jevierno saling bertemu. tidak perlu menunggu waktu lama, jevierno berjalan cepat menuju haeziel yamg yang sedang duduk di salah satu sofa.

peka, renanda mengajak semua orang disana kecuali dua orang yang akan berbicara serius itu untuk keluar. tersisa haeziel dan jevierno.

jujur, haeziel merasa gugup saat ini. tapi ia berusaha untuk menutupinya. “kenapa?”

ada jeda sebelum jevierno menjawab pertanyaan yang terlontar kepadanya. tatapannya terpaku pada haeziel. perasaannya campur aduk saat ini.

“gue khawatir sama lo.”

haeziel kira ia akan terkena ayunan tongkat baseball saat ia memejamkan kedua matanya. ternyata tidak.

terkejut bukan main ketika membuka mata, haeziel melihat jevierno di hadapannya tengah menghajar dengan membabi buta lawannya tadi. benar-benar mengerikan. bahkan haeziel sampai terbengong dibuatnya.

“ziel, bangun.”

“tapi, itu jevier—”

“biar dia sama yang lain urus sisanya. kalo lo masih disini, bisa abis nanti.” jelas renanda. ia membantu haeziel berdiri dan berjalan cepat meninggalkan lokasi bersama haeziel.

mereka kalah jumlah. haeziel tidak menyangka jika lawannya akan membawa pasuka yang lebih banyak dari yang di janjikan. haeziel dengan lima orang lainnya dan lawan mereka berjumlah sepuluh orang. ini jelas tidak imbang.

wajah terluka? jelas. seragam kotor dan ada yang robek? tentu. mengumpat? sudah pasti.

itulah yang terjadi pada jalanan sepi di dekat salah satu tongkrongan. ya, haeziel dan kawan merasa tidak terima yugo —teman mereka— menjadi sasaran pengeroyokan sekelompok siswa dari sma sebelah. jadi, mereka tengah melakukan aksi balas dendam dengan sedikit perjanjian.

“renan, lo kalo udah ga kuat mending mundur. bisa-bisa gue di omelin sama nares nanti.” ujar haeziel sembari memukul atau menhindar dari musuh.

“terus lo sama yang lain gimana? dah gila.”

“gue bisa urus.” setelah berkata seperti itu, haeziel dengan sekuat tenaga berlari mendekati lawannya, si ketua dari sma angkasa.

“akh!”

“haeziel!”