“lo emang harus gue gandeng terus kalau lagi jalan bareng.”
“fyi, gue bukan anak kecil.”
haeziel mencebikkan bibir kesal. setelah insiden 'haeziel keselek cilok di depan jevierno', mereka berdua memutuskan pergi ke taman kota yang lokasinya dekat dari tempat mereka makan tadi. ya, untuk sekedar jalan-jalan sore.
tertawa kecil, jevierno semakin erat menggenggam tangan haeziel. “iya, bukan anak kecil.”
“terus kenapa masih di gandeng?!”
“suka-suka gue.”
“bangke.”
kedua terdiam. saling menikmati suasana dan pemandangan yang ada. langit sore bewarna oranye, semilir angin yang berhembus, anak-anak kecil saling bermain dan berlarian, bahkan tak jarang terlihat beberapa pasangan kekasih.
“gue serius soal yang gue bilang di chat. ayo deket lagi.”
“tapi, gue mau tanya dulu.”
“silahkan.”
“hari itu, di basecamp, kenapa lo tiba-tiba pergi? lo ajak gue pulang bareng, tapi kenapa lo jadi pulang sendiri?”
jevierno berhenti melangkah, begitu juga dengan haeziel. keduanya kini saling berhadapan. menatap satu sama lain.
“gue marah.”
“lo marah sama gue?”
jevierno mengangguk, “maaf, ya?” ucapnya sembari mengusap lembut punggung tangan haeziel yang tengah ia genggam dengan ibu jarinya.
“lo harusnya bilang kalau marah. jujur, gue bingung. awalnya gue fikir lo marah, tapi lo masih hubungin gue. jadi gue bingung...”
“gini—”
“tunggu! IYA LO MARAH. walau kita masih ada interaksi, lo tuh lebih dingin dari biasanya tau engga? cuek banget kayak bebek— engga usah ketawa lo!”
jevierno tertawa kecil karena omelan dari haeziel. menurutnya itu lucu. bibirnya yang bergerak lucu, begitu juga sorot matanya. apalagi kedua bibir gembulnya itu.
menarik nafas perlahan, raut wajah jevierno berubah serius. “haeziel dengar. gue marah karena khawatir sama lo, tapi lo seolah ngeremehin rasa khawatir gue. gue tau, harusnya engga boleh kayak gini. lo sendiri bisa berantem. tetap, engga bisa di pungkiri kalau gue khawatir sama lo. gue aneh? iya.”
haeziel memilih diam mendengarkan semua penjelasan jevierno.
“soal gue yang masih hubungin lo, karena gue engga mau jauh dari lo. ya, walaupun kita jadi agak jauh sih.” jelas jevierno panjang lebar yang diakhiri dengan tawa canggung.
“kenapa marahnya tiga hari?” tanya haeziel.
“karena kalau marah kan engga boleh lebih dari tiga hari. ya udah, tiga hari aja.”
“bangsat lo.” haeziel memukul lengan atas jevierno dengan kesal.
“kok mukul?”
haeziel kembali memukul lengan atas jevierno, “lo ngeselin! kalau marah tuh dari awal bilang, jangan diem aja. pokoknya kalau apa-apa tuh langsung bilang. biar gue juga bisa langsung tau salah gue dimana. ngerti?” omel haeziel.
tangan jevierno terangkat untuk mengusap rambut haeziel. “ngerti. tapi pelan-pelan ya, gue orangnya emang begini.”