monokrowm

ketahuan.

“udahan gue.” ucap mark sembari menggerus batang rokok yang sisa setengah ke atas tanah.

“nanggung banget. ini kotak kedua sebentar lagi abis.”

“abisin sendiri. gue ga mau tiba-tiba masuk rumah sakit.”

“si anjing.” umpat jeno lalu tertawa getir. ia dan sang kakak hampir menghabiskan dua kotak rokok yang masing-masing berisikan dua belas batang.

kembali menghisap batang rokok yang ia apit diantara jari telunjuk dan jari tengahnya, jeno menatap lurus ke depan pada tempat bermain anak-anak yang mana dulu saat kecil ia, mark, dan haechan sering menghabiskan waktu disana.

“tiba-tiba kepikiran ayah sama papi.”

hening terjadi diantara mark dan jeno setelah jeno berkata demikian.

“kalau ayah sama papi liat kita sekarang abis ngerokok gini, kira-kira mereka kaget gak?”

“ayah pasti marah. kalau papi... gue ga tau. kecewa mungkin? dari dulu papi selalu kasih peringatan ke kita buat ga ngerokok karena ga baik buat kesehatan.” jawab mark sembari menyisir rambutnya kebelakang lalu mengacaknya.

melihat yang lebih tua seperti itu, jeno meraih bungkus rokok yang tersisa dan menyodorkannya kepada mark.

“apaan?”

“ambil satu lagi nih, biar ga pusing.” ucap jeno di barengi dengan tawa kecil.

mark pun ikut tertawa dan mengambil satu batang rokok lalu menyalakannya. “satu doang. abis ini pulang.”

jeno hanya mengangguk kemudian menghembuskaan asap rokok dari belah bibirnya.

saat keduanya menikmati hisapan dari rokok terakhir yang akan mereka hisap sebelum hari berakhir, tiba-tiba saja terdengar seruan memanggil keduanya. suaranya familiar, sangat.

“mark! jeno!”

yang di panggil berjengkit kaget. sontak menoleh ke arah suara. terkejut bukan main kala keduanya melihat sosok kedua orangtuanya.

doyoung —sang papi— yang memanggil keduanya terlihat terengah-engah dengan satu tangannya menggenggam seseorang yang bersembunyi di balik punggungnya. itu haechan yang sudah memberi tahunya soal keberadaan kedua anaknya.

beberapa langkah di belakang doyoung, dapat kakak beradik itu lihat adanya sang ayah —jaehyun— dengan tatapan serta wajah tanpa ekspresi menatap tepat ke arah keduanya.

yang sebenarnya terjadi.

setelah menaruh ponsel miliknya pada saku jaket kebesaran milik sahabat kecilnya yang tengah ia kenakan, haechan melempar tas berukuran sedang kepada dua orang yang jauh di depannya yang sedari tadi asik menghisap rokok.

“apaan lagi sih, chan?” sahut salah satu diantaranya yang masih menggunakan setelan baru basket lengkap.

“lo berdua bangsat tau engga. ayah jae sama papi doie cariin anaknya eh malah yang dicari lagi asik ngerokok daritadi. pulang gih sana.” omel haechan pada keduanya.

“bawel lo.”

saat hendak membalas, haechan langsung menciut begitu saja karena di beri tatapan tajam. jeno, yang memberikan tatapan tajam itu terlihat berantakan, mulai dari baju hingga rambut.

seumur-umur, haechan belum pernah melihat kakak beradik itu sangat kacau seperti sekarang. ya, haechan tau penyebabnya. mark kalah pada pertandingan basket yang sudah sangat dinanti-nantikan dan di harapkan pihak sekolah untuk menang, tapi sayangnya kalah. dan jeno juga sama, olimpiade matematika kali ini harapkan untuk menang, namun pada akhirnya kalah. keduanya menempati posisi ke dua.

“papi doie tadi ngechat gue. bilang—”

“lo ga ngadu kan?”

“engga.”

“bagus.”

belum.

sungguh, jeno saat ini sangat menyeramkan! ingin rasanya haechan pergi, tapi tidak bisa. walaupun haechan membenci rokok, ia tetap tidak bisa meninggalkan mark dan jeno begitu saja. seperti ini saja haechan menjaga jarak dari keduanya serta menegang kipas elektronik untuk menghalau segala asap rokok yang mengarah kepadanya.

sebenarnya saat papi doie —panggilan haechan untuk papi dari kakak beradik itu— menghubunginya, ia ingin sekali memberi tahu jika kedua anaknya itu tengah asik menghisap batang rokok yang entah sudah ke berapa. namun urung dan memilih berbohong.

pusing. haechan bangkit dari duduknya serta membawa semua bawaannya.

“gue pergi dulu, ya. jaga diri baik-baik.”

“woy, cil, mau kemana?”

jeno beberapa kali memanggil haechan, tapi yang di panggil seakan tuli dan terus pergi.

tanpa mark dan jeno ketahui, haechan mengeluarkan ponsel dan dengan cepat menghubungi seseorang.

ayah jae ketemu nana

“nana!”

“eh, ayah jae?”

jaehyun mengatur nafasnya sebentar sebab habis berlari dari parkiran untuk menghampiri nana —jaemin— begitu jaehyun melihat jaemin keluar dari gelanggang olahraga tempat dimana mark bertanding.

“nana lihat mark?”

jaemin sedikit memiringkan kepalanya bingung. “kak mark? kak mark udah pulang duluan dari satu jam yang lalu. itu kata teman-temannya. begitu selesai tanding, kak mark langsung pergi duluan ke ruang ganti. kayaknya kak mark sedih soalnya tadi kalah. emangnya kak mark belum pulang ke rumah, yah?”

jaehyun terdiam. mark tidak biasanya begini. berusaha memutar otak dan mengira-ngira dimana mark berada sekarang ini.

“ayah jae?”

“a-ah, iya, nana.”

melihat reaksi ayah dari gebetannya tersebut, jaemin pun tau jika mark belum pulang ke rumah.

“mau nana bantu cari?”

jaehyun menggeleng lalu tersenyum, “ga perlu, makasih ya, nana. nana lebih baik pulang sekarang, udah malam. ayah duluan ya? maaf ga bisa antar nana pulang.” ujar jaehyun dengan cepat sembari mengetik sesuatu pada handphone.

“gak apa-apa, yah. ayah hati-hati di jalan, semoga kak mark cepat ketemu!”

masih tersenyum, jaehyun mengangguk kecil lalu dengan cepat berbalik menuju mobilnya dan pergi.

bohong.

berbohong adalah salah satu dari sekian banyak hal di dunia ini yang orang pasti tidak akan suka. begitu juga dengan jaehyun, dia paling tidak suka jika sudah dibohongi. terlebih lagi oleh orang tersayang.

“masuk.”

“jae—”

“masuk.”

doyoung tetap enggan masuk ke dalam pekarangan rumah yang ia tempati sendiri meskipun jaehyun terus memintanya masuk ke dalam. lelaki bermarga kim itu yakin jika ia menolak permintaan jaehyun sekali lagi, kekasihnya pasti akan marah.

“kim doyoung.”

sumpah, doyoung rasanya ingin menangis sekarang juga. perpaduan antara wajah dingin jaehyun, suaranya yang tegas serta caranya memanggil doyoung dengan nama lengkap membuatnya doyoung benar-benar merasa bersalah telah membohongi lelaki bermarga jung itu.

jaehyun menghela nafas panjang, meraih kunci yang tengah di genggam doyoung lalu ia bawa untuk membuka pagar rumah, kemudian menggandeng tangan doyoung dan berjalan masuk ke dalam pekarangan rumah.

sesampainya di depan pintu rumah, jaehyun kembali membuka pintu dengan kunci milik doyoung dan membiarkan pintu tersebut sedikit terbuka. “masih harus aku minta buat masuk?” tanya jaehyun. tentu dengan nada yang masih tegas.

doyoung diam, tidak menjawab. kepalanya tertunduk dengan salah satu tangannya perlahan menggenggam erat ujung jaket jeans yang jaehyun kenakan. menahan jaehyun agak tidak pergi.

“aku mau jelasin alasan aku ke festival cuma sendirian. dengerin sebentar, ya? abis ini kamu mau marah ngga apa-apa.” ucap doyoung dengan lirih. mengigit bibir bawahnya sembari menunggu jawaban jaehyun.

seakan tersadar, jaehyun baru ingat jika ia sama sekali belum mendengarkan secara langsung alasan kenapa doyoung nekat pergi ke festival besar seorang diri.

“aku dengerin.” kini nada jaehyun sedikit melembut.

menarik nafas perlahan, doyoung mulai menjelaskan semuanya serta yang sudah doyoung beri tahu di percakapan mereka sebelumnya. “kamu juga tau festival ini paling aku tunggu. sebenernya juga aku udah beli dua tiket, satu buat aku terus satunya lagi buat kamu. maaf, aku bohong lagi bilang ke kamu kalau aku beli tiket on the spot.”

yang lebih mudah masih terus memperhatikan yang lebih tua.

“aku pikir malam ini kita bisa quality time berdua di festival. selama dua minggu belakangan ini kita jarang ketemu. kamu sibuk sama rapat dan aku sibuk sama tugas.”

jaehyun kini sudah mengerti maksud dari doyoung. tanpa aba-aba, jaehyun menarik doyoung kedalam pelukannya. paham sekali jika doyoung kini sedang menahan rindu.

mengarahkan kepala doyoung agar dapat bersender pada pundaknya, serta sesekali ia usap rambut hitam legam milik doyoung dengan lembut.

“maaf, sayang.”

“kangen.”

doyoung membalas pelukan jaehyun dengan erat setelah dapat menyampaikan alasan utama ia berbuat sejauh ini. ia tenggelamkan wajahnya pada ceruk leher jaehyun dan sesekali bergumam kata maaf.

“berhenti bilang maafnya, ya? udah aku maafin. doie— hey, kamu nangis? kenapa sayang?”

panik. dengan cepat jaehyun menangkup kedua pipi doyoung lalu ia arahkan wajah doyoung agar menghadapnya. dapat jaehyun lihat air mata berlinang pada kedua mata doyoung serta doyoung yang mengigit bibir bawahnya kuat.

“bibirnya jangan digigit, nanti sakit.” ujar jaehyun sembari ibu jarinya mengusap lembut bibir bawah doyoung dan menekannya sedikit ke bawah supaya terlepas dari gigitan yang doyoung lakukan sendiri.

“jangan nangis, nanti mata kamu bisa perih.” kini jaehyun beralih mengecup seluruh wajah doyoung dengan mengucap maaf pada setiap kecupan yang ia bubuhkan.

“jaehyun serem.”

“serem banget?”

“banget.” jawab doyoung sesaat jaehyun selesai mengecup seluruh wajahnya. bibirnya tertekuk ke bawah. cemberut.

jaehyun yang melihatnya pun tertawa gemas. “makanya jangan bohong.”

doyoung mengangguk.

“janji?”

doyoung menggeleng.

“kok gak mau?”

“ngga mau janji kalau jaehyun juga ngga mau cuddle sama doyoung.” ucap doyoung sambil menatap jaehyun sama persis dengan emoji memohon yang sering ia gunakan kala meminta sesuatu pada kekasihnya itu.

sigh, jaehyun tidak kuat. ini semua terlalu gemas.

“jadi mau cuddle, hm? sure.”

iridescent pulang.

“adek! hansel!”

merasa dipanggil, hansel menghentikan langkahnya dan mencari sumber suara. ternyata yang memanggilnya adalah hendery, sang kakak.

“kenapa, kak?” tanya hansel sesaat setelah hendery berada di depannya.

“adek pulang sama siapa?”

“pulang sama—”

“hansel pulang bareng gue, bang. boleh?”

“minta izin nih ceritanya?”

“iya.”

hendery tersenyum kecil, sedangkan nathan menatapnya dengan serius.

entah darimana nathan tiba-tiba muncul begitu saja. padahal setelah pertunjukan kembang api selesai, hansel tidak dapat menemukan nathan di sampingnya.

“jangan serius gitu lah, nathan. boleh kok. tolong hati-hati, yang lo bawa itu adek gue satu-satunya.” ujar hendery sembari menepuk-nepuk pundak nathan, yang dibalas dengan anggukan mantap. kini nathan dapat bernafas lega.

lalu hendery beralih kepada hansel. “hati-hati ya pulangnya, dek. kalau kenapa-kenapa langsung telfon kakak, okay?”

“okay!”

hendery membalas hansel dengan mengusak surai legam adiknya itu dan mendapatkan pekikan kesal dari hansel.

tertawa sejenak, hendery berganti menatap nathan. “satu lagi, jangan lupa besok malem. masih inget, kan?”

balapan, pikir nathan.

“pasti inget, bang.”

nice. sampe ketemu besok malem.”

iridescent penutupan dan kembang api.

“ini yang di tunggu dari tadi. waduh, pake acara pegangan tangan lagi. cuy, liat nathan pegangan tangan sama siapa.”

suara ilhan yang cukup keras berhasil mengalihkan berapa pasang mata di sekitarnya untuk tertuju pada apa yang ia maksud. terutama teman-teman hansel.

nathan sedikit panik agaknya.

“gue—”

“tadi di sana tuh udah rame banget. engga ketolongan ramenya. jadi gue sama nathan pegangan tangan biar engga ilang.” ucap hansel menjelaskan semua pada teman-temannya sembari mengangkat tangannya dengan tangan nathan yang saling bertaut.

“tapi sekarang kan udah selesai kan?” tanya rendra.

“udah.”

refleks, dua insan yang sedang berpegangan tangan itu langsung melepaskan tautan kedua tangan mereka. kemudian saling melirik satu sama lain dan tanpa sadar kedua tertawa kecil.

tiba-tiba lampu sorot mengarah pada nathan dan hansel. tak lama suara riuh tepuk tangan pun terdengar.

“aduh, aduhhhh, mesra banget ya kelihatannya. itu adalah mc kita tadi, nathan dan hansel! beri tepuk tangan yang meriah! nah, selanjutnyaaaaa, ini dia mc kita yang lainnya.”

dalam persekian detik, lampu sorot pun beralih menyorot dua orang di antara para penonton.

“CIEEEEEE DI BILANG MESRA.”

gerhana dengan suaranya yang membahana.

hansel melirik tajam ke arah gerhana. tapi hal tersebut justru membuat gerhana semakin semangat untuk meledek hansel. alhasil keduanya saling meledek satu sama lain. yang lain hanya cuek. itu pemandangan yang biasa mereka lihat.

“gimana, bro? ada kemajuan?” tanya ilhan kepada nathan.

“ada.”

“deg-degan ga abis gandengan sama hansel?”

nathan sedikit mengalihkan pandangannya ke arah lain supaya ilhan tidak dapat melihat ekspresi wajahnya. “yang kayak gitu ga perlu ditanya.”

jawaban nathan membuat ilhan tertawa. “semangat. dikit lagi udah setengah jalan.” ucap ilhan sembari menepuk pundak nathan. setelahnya ia berlalu pergi kembali ke tempat semula saat melihat hansel datang.

sekembalinya hansel di samping nathan tepat di saat sang mc mengumumkan akan adanya pesta kembang api sebagai simbolis penutupan dari acara dharmawangsa festival di tahun ini.

“wah, kembang api!”

“suka kembang api?”

“suka bangeeett. lo suka juga— KEMBANG APINYA UDAH MULAI!”

belum juga nathan menjawab pertanyaan hansel, hansel sudah lebih dulu fokus pada percikan cahaya warna-warni yang muncul di langit malam. dengan handphone pada tangannya, hansel tentu mengabadikan potret atau rekaman video. sesekali ia melihat secara langsung tanpa melalui kamera handphone.

lain dengan nathan. cowok dengan nama belakang jenandra itu bukannya menonton pertunjukan kembang api, tapi malah fokus menatap wajah si bungsu dari keluarga bramuda yang berasal disampingnya.

memperhatikan bagaimana cahaya warna-warni yang berasal dari satu semburan api yang tertuju ke langit lalu dengan cepat berpendar menjadi percikan kecil dengan berbagai warna yang cantik itu terpantul pada wajah hansel.

cantik.

ingin nathan merekam semuanya dengan baik di dalam memori ingatannya.

bagaimana senyum manisnya merekah. bagaimana kedua pipinya gembul itu naik seiring dengan senyumannya. bagaimana kedua bola mata itu berkali-kali lipat lebih berbinar dari biasanya. bagaimana, bagaimana, bagaimana, bagaimana caranya berhenti menatap wajah hansel? ah, sepertinya nathan tidak akan dapat menemukan jawabannya.

tanpa sadar nathan mengembangkan senyum, lalu bergumam, “suka.”

“siniin es krimnya!”

“ambil sendiri.”

“ga sampeee. es krimnya jangan di angkat ke atas gitu.”

“kecil sih.”

“aku ga kecil!”

“kecil. yang namanya haeziel kec— ah! ya ampun, sakit, ziel. rambut ku jangan di jambak. aduh.”

satu tangan haeziel tengah menjambak rambut jevierno, sedangkan satu tangannya fokus berusaha menggapai satu cup es krim berukuran sedang yang di pegang jevierno di udara.

keduanya sudah cukup lama sibuk dengan dunia milik mereka berdua. tanpa sadar jika keduanya menjadi tontonan orang-orang di arena termasuk teman tongkrongan masing-masing.

“YESSS DAPET AHAHAHAHAHA.”

haeziel segera berlari menjauh dari jevierno setelah berhasil meraih es krim dari tangan pacarnya itu.

jevierno tentu langsung mengejar haeziel. ingin sedikit membalas kelakuan pacar gemuknya itu yang telah menjambak rambutnya.

tak jauh dari kedua, ada renanda, sena, dan mirza yang juga menonton aksi kejar-kejaran haeziel dan jevierno.

“ga salah liat nih gue?”

“tumben mesra di sini.”

“kasian cuy anak yang lain pada planga-plongo ziel sama jevierno.”

iridescent kesana.

“mereka semua udah jalan ke panggung utama, katanya penutupan sebentar lagi mulai. mau kesana?”

nathan mengalihkan pandangannya dari layar handphone saat hansel berucap, lalu melihat sekitar. benar, orang-orang sudah beranjak meninggalkan tempat untuk pergi ke panggung utama.

“mau. ayo?” setelah mengantungi kembali handphonenya ke dalam saku jaket, nathan mengulurkan tangannya ke depan hansel.

mengerti maksud dari nathan, hansel pun dengan senang hati meraih tangan nathan untuk ia genggam.

dan keduanya kembali berpegangan tangan untuk kedua kalinya.

jevierno berlari keluar rumah dan sudah ada haeziel yang sedang berdiri di teras rumah leo —adik sepupu jevierno— dengan harris di sampingnya.

“ke sini sama siapa? tau dari mana?”

“sendiri. tau dari nares.” jawab haeziel dengan nada sebal. terlihat dari kedua tangannya yang terlipat didepan dada, tatapan tajam yang tertuju pada jevierno, serta bibirnya yang sedikit cemberut membuat pipinya sedikit mengembung.

jevierno menghela nafas pelan. melirik pada harris, meminta harris supaya masuk terlebih dulu.

setelah harris masuk ke dalam rumah, jevierno mendekati haeziel dan mencoba meraih tangannya karena haeziel menjauh begitu ia dekati.

“sini dong, aku mau jelasin sesuatu sama kamu.”

“ya udah jelasin aja dari situ.”

bukan jevierno namanya jika langsung menyerah begitu saja pada haeziel.

dengan gerakan cepat, jevierno dapat membawa haeziel ke dalam pelukannya. ya, walaupun haeziel tidak membalasnya.

“jangan cemburu.” ucap jevierno sembari satu tangannya menepuk-nepuk lembut puncak kepala haeziel.

“idih siapa juga yang cemburu.”

“aku bilang jangan cemburu kan bukan buat kamu. ngerasa ya?”

“iiihhh!” kesal haeziel sembari memukul lengan atas kekasihnya. sial, dia masuk kedalam jebakan jevierno.

jevierno tertawa gemas. pukulan haeziel tidak terasa sakit baginya, hanya sedikit. ia menggenggam tangan haeziel yang tadi sehabis memukulnya, dan pelukan mereka terlepas.

“ayo, masuk. aku jelasin di dalam aja.”

haeziel menggeleng. memang membujuk haeziel bukan lah hal yang mudah.

“haeziel ganteng, haeziel manis, haeziel lucu, haeziel gembul, yuk masuk ikut masuk ke dalam.” bujuk jevierno dengan satu tangannya berada di bawah dagu haeziel guna memainkan secara lembut.

ada keheningan di antara mereka.

merasa haeziel tidak memberikan penolakan. jevierno pun membawa haeziel masuk ke dalam rumah.

baru saja membua pintu, haeziel sudah berteriak.

“LUCU BANGEETTT. INI SIAPA?”

begitu pintu terbuka, renanda langsung saja berlari menuju kamar haeziel. tak lupa ia memberikan barang bawaannya pada jevierno.

“zieeelll.”

pintu tertutup. dan ya, tidak ada yang tau apa yang sedang dua orang manis itu bicarakan.

“jev, gimana? aman? renan bilang haeziel nangis gara-gara lo ilang.” tanya nares sembari berjalan mendekati jevierno sembari menenteng keranjang buah di tangan kanannya.

“gue ga ilang. cuma ke minimarket bawah. pas gue ke bawah ya emang haeziel lagi tidur. terus katanya, dia mimpi gue di ngap sama megalodon. makanya begitu bangun jadi nangis.” cerita jevierno diakhiri tawa kecil.

nares menggeleng-gelengkan kepalanya. “gokil. ada yang lain?”

“ada.” jawab jevierno. ia berjalan menuju meja makan untuk menaruh bawaan makanan dari renanda. di belakangnya ada nares yang mengikuti.

“apa tuh?”

“misalnya kita telfon ke nomor sendiri. itu berarti kita lagi nelfon atau ditelfon?”

“hah?”

“ya itu. coba jawab.”

nares terdiam beberapa saat. terlihat sekali tengah berfikir keras.

“masa bodo lah. skip. sakit kepala gue.”