monokrowm

Lee Jeno as Lee Jeno.

Pure Blood. — Slytherin tingkat 3. — Kembaran Eric, tapi Jeno lebih tua 8 menit. — Masuk ke dalam tim Quidditch sebagai Beater. — Dingin, pendiam, dan hanya hangat untuk orang-orang tertentu.

Eric Sohn as Eric Lee.

Pure Blood. — Slytherin tingkat 3. — Kembaran Jeno. — Masuk ke dalam tim Quidditch sebagai Seeker. — Dingin di luar, banyak bicara di dalam.

Kim Sunwoo as Kim Sunwoo.

Half-Blood. — Gryffindor tingkat 3. — Kembaran Haechan, tapi Sunwoo lebih tua 2 menit. — Tidak mengikuti kegiatan tambahan, karena menurutnya tidak ada yang cocok. Sunwoo tidak suka bermain Quidditch, kecuali permainan itu dimainkan di tanah, bukannya di udara. — Officiall sunshine bersama Haechan.

Lee Haechan as Kim Haechan.

Half-Blood. — Gryffindor tingkat 3. — Kembaran Sunwoo. — Salah satu anggota choir yang biasa mengisi acara Pesta Natal, sampai acara besar seperti Yule Ball. — Official sunshine bersama Sunwoo.

jevierno berjalan santai menuju parkiran sekolah. ia ingin cepat pulang dan sampai ke pulau kapuk kesayangannya.

langkahnya terhenti begitu sampai. terdiam sejenak saat melihat motor yang tepat disampaikan sudah tidak ada.

udah pulang duluan ternyata.

menghela nafas perlahan, jevierno mendekati motornya lalu meraih paper bag yang tergantung di stang motor miliknya. aneh, jevierno tidak merasa pernah meninggalkan paper bag disana.

penasaran, jevierno pun melihat isi paper bag tersebut. ada minuman bervitamin, serta banyak tablet, kapsul, sampai permen bervitamin juga. oh, ada sticky notes.

“ini buat jevierno elrana. kalau lo bukan jevierno elrana, mending taruh lagi atau gue gebuk.

hai, jejeee! gue ada vitamin buat lo. jangan lupa di minum atau di makan ya. projek besar lo ini tinggal 2 hari lagi. semangat!

satu lagi, gue dapet laporan dari nares katanya lo telat makan. sekali lagi kayak gitu gue tonjok. beneran ini ga main-main. ga usah ketawa!

sekian dan terima gaji. byeeee. salam haeziel tampan.”

wow, haeziel. lihat, sekarang senyum jevierno terus mengembang tanpa tau kapan harus berhenti.

nares sebisa mungkin menahan tawa kala melihat reply jevierno pada cuitan haeziel. berbanding terbalik dengan keadaan di balkon, karena renanda sudah tertawa terbahak-bahak. toh, posisi balkon dan ruang tamu tidak lah jauh.

“aduh, maaf. gue ga bisa nahan ketawa HAHAHAHAHA.”

yang menjadi bahan tawa menatap bingung pada semua orang. ketika tatapannya sampai pada haeziel, ia bertanya, “gombalan gue gagal, ya?”

haeziel bingung mau jawab apa.

“bukannya gagal, tapi— itu, ga biasa aja liat lo ngegombal.” ucap haeziel dengan gugup dengan satu tangan menggaruk kepalanya.

aneh, kenapa juga ia harus gugup.

“oh, ya udah. gue ga ngegombal lagi.”

“ga gitu—”

“JANGAN BERHENTI, JEV. asli, ini si gembul jantungnya udah kayak orang disko. deg deg deg deg gitu. HAHAHAHA SUKA INI MAH HAEZIEL DI GOMBALIN.” seru renanda sembari menggoda haeziel.

“RENANDA BANGSAAATTT.”

“weleh weleh, berdua pelukan. awas yang ketiga setan.”

“ya lo setannya.”

“kampret—”

nares baru saja ingin mengomel ke haeziel, tapi langsung ciut seketika saat tatapan tajam jevierno mengarah padanya.

“hehehehe, punten pak ketos, ini berkas yang diminta dan ada makanan serta minuman. silahkan, pak.”

tanpa mengucapkan sepatah kata, jevierno mengembalikan handphone haeziel kepada pemiliknya lalu kembali fokus berkutat dengan laptop. jari jemarinya terus bergerak menekan tombol keyboard.

haeziel sedari tadi memperhatikan jevierno dalam diam. sudah lima belas menit jevierno terlihat seram. sungguh, haeziel tidak berbohong. tatapan tajam dan serius —seakan memberi peringatan supaya tidak mengganggu— terhalang dengan kaca mata yang bertengger pada hidung bangirnya.

'ganteng hehehehehehe', batin haeziel.

“kenapa?”

“h—hah?”

“kenapa ngeliatin gue terus?” tanya jevierno sembari menghadapkan tubuhnya ke arah haeziel. ia lepas kaca mata miliknya dan ia taruh di samping laptop.

“ga usah geer, gue ga ngeliatin lo.” membuang muka, haeziel bergeser menjauh dari jevierno.

jevierno yang melihatnya pun tertawa kecil. “jangan jauh-jauh, gue mau peluk. sebentar aja. boleh?”

“ga boleh.”

“oke.”

kaget bukan main ketika tubuhnya di tarik begitu saja lalu masuk ke dalam dekapan erat jevierno. ingin rasanya memberontak, tapi percuma. haeziel sudah pernah melakukannya, justru yang ia dapat malah pelukan dari jevierno yang semakin erat.

“gue bilang ga boleh?!”

“oh, masa?”

“anjir.”

ya, terkadang haeziel tidak habis pikir dengan jevierno.

hari demi hari, bulan demi bulan telah berlalu. kini mereka yang menyandang status sebagai murid kelas sebelas telah berubah menjadi murid kelas dua belas. kakak kelas, tertua, yang di harapkan sekolah sebagai lulusan terbaik dari sekolah yang ada di kotanya.

soal jevierno dan haeziel, mereka semakin dekat, tentu saja. dan pastinya tidak luput dari pertengkaran kecil seperti awal.

tapi, kira-kira status mereka masih seperti awal atau sudah berubah?

“gimana ceritanya?”

“gini, tadi itu ada pelajarannya bu sri. tapi lo tau kan kalau bu sri lagi hamil? ya, dia ga masuk. gantinya ada tugas. yang anter informasinya itu si tami karena dia jadwal piket hari ini!”

“udah tuh dikasih tau tugasnya segala macem. tiba-tiba dia nyeletuk, 'haeziel chandratama ada?'. ya gue langsung angkat tangan dong,

eh dia malah bilang, 'oh kamu toh yang kata anak-anak lagi deket sama jevierno. duh, jauh banget ya. kamu pelet jevierno atau gimana?'. kesel banget! dia ngomong begitu sambil ketawa padahal sekelas ga ada yang ketawa loh?”

jevierno fokus mendengarkan cerita haeziel tentang hari ini dengan satu tangannya yang sesekali mengusap lembut kepala haeziel.

“terus?”

“terus gue jahilin aja. gue keluarin tikus mainan yang bisa di gerakin pakai remote control dan gue deketin ke tuh guru gila. tau ga? DIA LANGSUNG TERIAK TERUS LARI KELUAR KELAS HAHAHAHA— uhuk!”

gerak cepat, jevierno langsung memberi segelas minuman pada haeziel saat haeziel tersedak permen coklatnya di tengah ia sedang asik berceloteh panjang lebar.

“pelan-pelan. makanya jangan makan sambil ngomong.”

“gue puas pake banget bisa jahilin tuh guru!”

“iya. udah ceritanya?””

“udah hehehehe” haeziel terkekeh sembari memasukkan lima permen coklat sekaligus ke dalam mulutnya.

jevierno menggeleng melihat kelakuan haeziel. ia menyodorkan satu tangannya dan mengadah di depan haeziel.

“ngapain?” tanya haeziel bingung. bukannya menjawab, jevierno justru menatap haeziel lekat.

coba-coba, haeziel menaruh satu permen coklat di telapak tangan jevierno. laki-laki di depannya tetap diam. percobaan kedua, haeziel menaruh dua permen coklat. hasilnya tetap sama. percobaan terakhir, ia langsung menaruh satu bungkus permen coklat. sayang, jevierno masih diam.

“ih, maunya apa sih?!”

“tangan.”

ragu, haeziel mengganti posisi satu bungkus permen coklat tadi dengan tangannya. begitu dia taruh, tangannya digenggam erat begitu saja oleh jevierno.

“dih, bilang dong kalau mau pegangan tangan.”

“gue mau minta peluk juga. boleh?”

jam menunjukkan pukul satu siang. sekolah pulang cepat hari ini. entah apa alasannya, haeziel tidak peduli. ia hanya ingin cepat sampai apartemen lalu tidur.

melihat sekitar, hanya tinggal delapan motor yang terparkir di parkiran. haeziel mengalihkan pandangannya ke jevierno yang tengah mempersiapkan motornya.

“kamu sama jevierno tuh kayak matahari sama bulan. engga akan bisa bareng.”

sadar atau tidak, haeziel perlahan mengadahkan kepalanya lalu menatap langit cerah diatasnya. sampai matanya tertuju pada matahari.

benarkah ia seperti matahari dan jevierno seperti bulan? tidak bisa bersama?

“jangan dilihat.”

haeziel refleks menghadap belakang saat merasa pandangannya tidak lagi silau melainkan teduh. tangan jevierno ternyata yang menghalau silau.

“kenapa jangan dilihat?”

“lo lupa? lo kalau lihat matahari nanti bisa bersin.”

“ah— bener juga.”

“ayo pulang.”

haeziel mengikuti langkah jevierno kala tangannya di genggaman erat. seketika haeziel merasa dejavu.

BRAK

“WANJAY.”

“COPOT COPOT.”

“GUE KAGET, SAT.”

renanda, sena, dan mirza berteriak kaget saat haeziel tiba-tiba menggebrak meja kantin yang tengah mereka tempati. bukan hanya mereka berempat, tapi ada jevierno, nares, harris serta rico.

setelah hukuman haeziel selesai, jevierno langsung saja menggeret haeziel ke kantin. membawanya ke meja paling ujung dan menyuruhnya untuk diam ditempat. sedangkan ia pergi membeli minuman dan makanan.

“gue keseeeelll! sebel, marah, kesel, marah, mau ngamuk! ini sekolah kalau bisa udah gue jungkir balikkin.” gerutu haeziel dengan kedua tangan yang tak hentinya menggebrak meja kantin.

turun tangan, jevierno sebisa mungkin menahan kedua tangan haeziel dari belakang —justru terlihat seperti jevierno sedang memeluk haeziel dari belakang— “mejanya jangan di gebrak terus.”

“noh, dengerin. orang mau makan aja susah. udah kayak makan di tengah simulasi gempa.”

“ANJING LO.”

“KOK JADI GUE? LO NYET YANG ANJING.”

“LO.”

“LO.”

“POKOKNYA LO!”

“haeziel.”

“ITU RENAN ANJING NGESELIN.”

“biarin aja. lanjutin makannya. marah juga butuh tenaga.”

hampir saja terjadi perang dunia ke tiga jika kalau jevierno tidak langsung menahan haeziel yang hendak berdiri untuk menghampiri renanda di seberangnya. jevierno menarik tubuh haeziel dan mendekatkan padanya, hingga akhirnya haeziel menyenderkan tubuh pada tubuhnya. kali ini jevierno hanya dengan menggunakan satu tangan untuk menahan haeziel. dengan cara memeluk pinggangnya dan langsung menariknya ke bawah. tenaga jevierno bukan kaleng-kaleng.

“tenang, oke?”

“ga mau. inget, gue masih marah sama lo.” ujar haeziel dengan bibirnya yang mengerucut sebal, alis menukik tajam, dan tatapan yang menyeramkan. tapi, bagi jevierno itu semua terlihat gemas.

uhuk, bulol.

hanya selang tiga menit, haeziel kembali berulah dengan kedua kakinya diangkat ke banku panjang yang ia dan jevierno duduki, lalu menghentak-hentakkan kakinya berkali-kali.

“SEBEEEELLLL!”

“haeziel, tenang. ini di kantin.”

“bodo amat.”

“haeziel.”

“lo tuh ga tau, gue sebel banget sama itu guru sialan!”

“haeziel chandratama.”

“rasanya mau gue tonjok, terus—”

“diem.”

satu meja sontak terdiam. terlalu kaget karena melihat sesuatu yang sangat sangat— wow, mengejutkan sekali.

kurang lima belas menit lagi sampai bel istirahat kedua berbunyi. sekaligus penanda hukuman untuk haeziel selesai.

selama hukuman berlangsung, haeziel selalu menunduk dan hanya sekali saja mengadahkan kepala saat teriakan renanda serta tawa membahana sena terdengar. jevierno sendiri tak barang sedikitpun melepas pandangannya dari haeziel.

kini di mimbar sudah ada penambahan manusia. ada renanda, sena, dan mirza. bahkan ada harris dan rico yang baru datang.

sepuluh menit lagi, batin jevierno.

“haeziel! siapa suruh kamu nunduk terus? malu kamu dilihat sama jevierno?”

semua orang refleks menoleh ke arah suara. di samping mimbar ada bu tami berdiri dengan kedua tangan berada di pinggangnya, menatap haeziel tajam. haeziel mau tak mau kembali menatap tak kalah tajam kepada guru itu. walaupun harus sudah payah, karena sungguh, matahari sedang bersinar sangat terik.

“heran ibu, kok modelan seperti kamu suka sama jevierno. sadar, nak. sadar. kamu sama jevierno tuh kayak matahari sama bulan. engga akan bisa bareng.” ucap bu tami pada haeziel. setelahnya guru itu berlalu pergi dari sana.

renan sudah mencak-mencak kesal, sena sudah melepas sepatunya siap untuk dilayangkan ke pada guru tadi, bahkan mirza sampai membuka mbah gugel dan mencari situs santet online.

“ZIEL, OMONGAN TUH GURU GA USAH DI DENGERIN.” teriak renanda.

haeziel tertawa kecil, tapi pikirannya tertuju pada omongan guru tadi.

benarkah ia dan jevierno tidak bisa bersama? itu baru satu orang yang berfikiran seperti guru tadi, bagaimana jika ada banyak?